PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH Tesis, Agustus 2013 Efektivitas Skin Preparation Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri dan Kejadian SSI di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta. xvi + 120 hal + 20 tabel + 15 gambar + 20 lampiran ABSTRAK Surgical Site Infection (SSI) adalah kasus infeksi nosokomial tertinggi ketiga di Rumah Sakit, terutama pada operasi intra abdomen (>20%), akibat masuknya mikroorganisme (Staphylococcus Aureus) ke jaringan melalui insisi bedah. Mandi Pencegahan Infeksi (MPI) dilakukan untuk menurunkan jumlah bakteri di permukaan kulit, sehingga menurunkan risiko SSI. Penelitian ini menggunakan desain pre experimental dengan One-group Pretest-Posttest design, di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, selama Mei-Juli 2013, pada 40 pasien laparotomi, yang diambil secara exhaustive sampling. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh MPI terhadap penurunan koloni bakteri dan pengaruh penurunan koloni bakteri terhadap SSI. Pemeriksaan apusan debris di Regio Iliaka Kanan, Kiri, dan Umbilikal dilakukan dengan teknik Total Plate Counter (TPC). SSI diobservasi pada hari ketiga post operasi. Pada hasil diperoleh penurunan jumlah koloni bakteri 41,42%, dengan penggunaan sabun anti bakteri (47,5%), usia < 35 tahun (57,5%), kadar gula darah 100-199 mg/dl (60%), tidak merokok (72,5%), klasifikasi luka bersih (97,5%), dan kejadian Superficial Incisional Infection sebesar 32,5%. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan ada perbedaan penurunan jumlah koloni bakteri sebelum dan setelah MPI (p=0,000). Hasil uji Regresi Logistik Binary menunjukkan ada pengaruh sabun anti bakteri terhadap penurunan jumlah koloni bakteri (p = 0,033; Nagelkerke R2= 0,226; OR =6,353), dan ada pengaruh penurunan jumlah koloni bakteri terhadap pencegahan SSI (p=0,03; R = 0,689, Nagelkerke R2= 0,689; OR = 5,047). Selain itu, penurunan koloni bakteri berpeluang 2,16 kali pada penggunaan sabun anti bakteri, sedangkan SSI berpeluang 34,14 kali pada pasien merokok, dan 28 kali pada jumlah koloni bakteri yang tidak berkurang. Kata kunci: Skin preparation, Mandi Pencegahan Infeksi, Koloni Bakteri, Surgical Site Infection. Daftar Pustaka: 55 (1995-2013) 1 MASTER OF MEDICAL SURGICAL NURSING SINT CAROLUS SCHOOL OF HEALTH SCIENCES Thesis, Augst 2013 An Effect of Skin Preparation to Decrease Bacteria Colonies Genesis and Incident of Surgical Site Infection in Special Surgery Hospital of Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta xvi + 120 pages + 20 tables + 15 pictures + 20 attachment ABSTRACT Surgical Site Infection (SSI) is the third highest of Nosocomial Infection, in patients with intra abdominal surgery (>20%), caused by the entry of microorganisms (Staphylococcus Aureus) into the tissue through a surgical incision. Preoperative showering was aimed to reduce the bacterial number on the skin surface, that decrease SSI risk. This study utilized a pre experimental with One-group pretest-posttest design, in 40’s Laparotomy patients, taken by exhaustive sampling. The research objective was to determine an effect of presurgical showering in decreasing the number of bacterial colonies, and to determine an effect of the decrease number of bacterial colonies to SSI. The debris swabs at Right Iliac region, Umbilical and Left Iliac were counted by Total Plate Counter (TPC) technique. The decrease mean of bacterial colony count was 41.42%, used anti-bacterial soap (47.5%), age <35 years (57.5%), blood glucose 100-199 mg/dl (60%), no smoker patients (72.5%), classification of clean wounds (97.5%), the incidence of Superficial Incisional Infection 32.5%. The Wilcoxon test proved that there was a difference in decreased number of bacterial colonies before and after presurgical showering (p=0.000). By using binary logistic regression test, it was shown the effect of using anti-bacterial soap decreased the number of bacterial colonies (p=0.033; Nagelkerke R2=0.226; OR=6.353), it was also proven that there was an effect of decreased number of bacterial colonies on the incidence of SSI (p=0.03; Nagelkerke R2=0.689; OR=5.047). The decreased number of bacterial colonies has a chance of 2.16 times in those who used anti bacterial sapp, while SSI has a chance of 34,14 times in smoker patient, and 28 times in patient with no decrease in bacterial colony. Keywords: Skin preparation, Preoperative showering, Colony of Bacteria, Surgical Site Infection. References: 55 (1995-2013) 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Surgical Site Infection (SSI) terjadi sebanyak 15% dari seluruh kejadian infeksi nosokomial, yang merupakan kasus tertinggi ketiga di rumah sakit (Centre for Healthcare Related Infection Survailliance and Prevention & Tuberculosis Control, 2012). Kejadian SSI di Amerika Serikat lebih besar terjadi pada operasi intra-abdomen (>20%) dibandingkan operasi ekstraabdomen; sebesar 2%–5% (Kamel et al, 2012). Kejadian SSI berdampak pada meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat panjangnya masa rawat inap di rumah sakit dan tingginya biaya perawatan. Healthcare-associated infections (HAIs) mencatat sebesar 1,7 juta infeksi dan 99.000 kematian tiap tahun (Garbutt, 2011). Hasil survey nasional Inggris didapatkan data 1% sampai 10% pasien mengalami SSI (Health Protection Agency, 2011). Indonesia meneliti sepuluh Rumah Sakit Umum pendidikan didapatkan infeksi nosokomial terjadi sebesar 6-16% dengan rata-rata 9,8%, dan kejadian SSI antara 2-18 % (Balaguris. 2009, dalam Raihana, Nadia. 2011). Patofisiologis SSI disebabkan oleh masuknya bakteri ke dalam luka bedah, yang sering terjadi di ruang operasi, yang berasal dari beberapa sumber termasuk lingkungan, tenaga kesehatan, dan pasien. Sebagian besar bakteri yang masuk ke dalam luka selama prosedur bedah itu berasal dari pasien sendiri (Centre for Healthcare Related Infection Survailliance and Prevention & Tuberculosis Control, 2012). Faktor-faktor risiko terjadinya SSI antara lain diabetes mellitus, obesitas, malnutrisi, perokok, hipotermia, usia lanjut, dan kolonisasi dengan mikroorganisme (Pear, 2007). Mikroorganisme dibersihkan dari permukaan kulit dengan skin preparation pada persiapan pre operasi; terutama dengan mandi sebelum operasi; selanjutnya akan digunakan istilah Mandi Pencegahan Infeksi (MPI). Pelaksanaan MPI pada pasien sebelum masuk ke kamar operasi bertujuan untuk mengurangi beban bakteri normal pada kulit yang merupakan risiko utama untuk terjadinya infeksi pasca bedah. Selain paparan mikroorganisme, 3 kejadian SSI meningkat pada pasien dengan faktor-faktor risiko seperti diabetes mellitus, usia lanjut, kebiasaan merokok, dan kontaminasi luka. Melalui MPI diharapkan akan menurunkan jumlah koloni bakteri invasif ke dalam insisi bedah, sehingga mencegah terjadinya SSI. Penurunan jumlah koloni bakteri akan berdampak terhadap pencegahan SSI sehingga akan mempercepat proses penyembuhan, memperpendek lamanya masa perawatan, dan pada akhirnya akan menekan biaya perawatan yang dibebankan pada pasien. Pembuktian selanjutnya dilakukan menggunakan alat bantu pemeriksaan laboratorium untuk hitung jumlah koloni bakteri, sehingga dapat diuji apakah skin preparation dapat menurunkan jumlah koloni bakteri pada pasien pre operasi laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, dan observasi implikasinya terhadap kejadian SSI. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah penelitian, “Apakah skin preparation dengan mandi pencegahan infeksi dapat menurunkan jumlah koloni bakteri dan kejadian SSI pada pasien laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta?”. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Diketahui pengaruh skin preparation dengan mandi pencegahanan infeksi (MPI) terhadap penurunan jumlah koloni bakteri dan implikasinya terhadap kejadian SSI pada pasien laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, periode Mei-Juli 2013. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Diketahui Distribusi Frekuensi Cara MPI, Alat MPI (sabun), Usia, GDS, Intensitas Merokok, GDS, Kontaminasi Luka, Penurunan Jumlah Koloni Bakteri dan Kejadian SSI pada pasien laparotomi. 4 2. Diidentifikasi perbedaan jumlah koloni bakteri berdasarkan permukaan kulit abdomen sebelum dan setelah MPI pada periode pre operasi laparotomi. 3. Diidentifikasi pengaruh MPI dan faktor-faktor perancu: usia, GDS, merokok, dan kontaminasi luka secara simultan terhadap penurunan jumlah koloni bakteri berdasarkan permukaan kulit abdomen pada pasien pre operasi laparotomi. 4. Diidentifikasi pengaruh penurunan jumlah koloni bakteri setelah MPI, usia, GDS, merokok, dan kontaminasi luka secara simultan terhadap kejadian SSI pada periode pasca operasi. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain pre experimental dengan One-group Pretest-Posttest design, di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, pada pasien laparotomi. Sampel penelitian berjumlah 40 pasien, yang diambil secara exhaustive sampling selama periode Mei-Juli 2013. Sampel penelitian adalah pasien dengan diagnosis tindakan laparotomi terencana (operasi elektif), berusia ≥ 13 tahun, kadar GDS dalam batas 80-199 mg/dl, BMI normal: 18 – 25 kg/m2, dan pasien masuk ruang rawat inap sekurang-kurangnya 1-2 jam sebelum operasi. Intervensi dilakukan berupa tindakan MPI, kemudian dilakukan pemeriksaan apusan debris di Regio Iliaka Kanan, Umbilikal, dan Iliaka Kiri; sebelum dan setelah MPI, dengan teknik Total Plate Counter (TPC) di Laboratorium Mikrobiologi FKUI. Instrumen yang digunakan berupa lembar pengkajian, lembar observasi tanda-gejala infeksi, brosur MPI, dan prosedur klinik pelaksanaan MPI. Analisis data menggunakan Uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan jumlah koloni bakteri sebelum dan setelah MPI, dan Uji Regresi Logistik Binary untuk mengetahui pengaruh MPI dan faktor-faktor perancu terhadap penurunan jumlah koloni bakteri dan kejadian SSI. 5 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Distribusi Frekuensi Cara MPI, Alat MPI (sabun), Usia, Intensitas Merokok, GDS, Kontaminasi Luka, dan Kejadian SSI Seluruh responden penelitian mendapatkan intervensi MPI, yang dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu dengan cara mandi sendiri dan cara dimandikan. Alat MPI yang dimaksud adalah penggunaan sabun, dengan kategori sabun anti bakteri dan non anti bakteri. Sedangkan variabel lain-lain seperti usia, GDS, merokok, dan kontaminasi luka ditentukan sesuai kriteria inklusi penelitian. 2,5 27,5 45 42,5 47,5 32,5 40 97,5 72,5 55 Mandi Sendiri 57,5 52,5 Sabun Anti bakteri Tidak Merokok Usia < 35 tahun 67,5 60 GDS 100199 mg/dl Luka Bersih Tidak SSI (Sumber: Data Primer Diolah) Gambar 3.1. Distribusi Frekuensi Cara MPI, Alat MPI, Intensitas Merokok, Usia, GDS, Klasifikasi Luka dan Kejadian SSI pada Pasien Laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta Distribusi frekuensi tertinggi responden ditunjukkan pada Gambar 1 yaitu cara MPI mandi sendiri (55%), alat MPI sabun non anti bakteri (52,5%), usia responden <35 tahun (57,5%), tidak merokok (72,5%), GDS 100-199 mg/dl (60%), klasifikasi luka bersih (97,5%), dan tidak terjadi SSI (67,5%). Tanda-gejala SSI diobservasi setelah hari ke-3 pasca operasi. Jenis SSI diklasifikasikan menjadi tiga kategori; yaitu Superficial, Deep, dan 6 Organ. Berdasarkan hasil observasi pada area insisi bedah, maka didiagnosis seluruh responden yang menunjukkan tanda-gejala SSI adalah klasifikasi Superficial Incisional Infection (32,5%); yaitu tanda kemerahan (17,5%), panas (2,5%), nyeri (7,5%), dan 50% bengkak. 3.2 Distribusi Frekuensi Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Tiap responden diambil apusan debris sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan setelah MPI, di tiga area; Regio Iliaka Kanan, Regio Umbilikal, dan Regio Iliaka Kiri. Sampel selanjutnya disimpan dalam tabung berisi NaCl 0,9% agar bakteri mendapatkan lingkungan tumbuh yang fisiologis sehingga dapat bertahan hidup sampai di laboratorium mikrobiologi. Selanjutnya ditanam dalam media Nutrient Agar (NA) dan dan jumlah koloni bakteri dihitung dari pertumbuhan bakteri setelah pembiakan selama 48 jam. Sebelum MPI Setelah MPI % Selisih 41,42 77,63 26,48 65,03 30,13 15,54 77,7 132,43 68,8 9,95 54,85 88,48 22,78 53,7 98,93 91,98 64,8 76,48 Iliaka kanan- Iliaka kanan- Umbilikal-1 Umbilikal-2 Iliaka kiri-1 Iliaka kiri-2 1 2 (Sumber: Data Primer Diolah) Gambar 3.2. Distribusi Frekuensi Rata-rata Penurunan Jumlah Koloni Bakteri pada Pasien Laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta Rata-rata penurunan jumlah koloni bakteri tergambarkan dalam Gambar 2. Jumlah koloni bakteri tertinggi sebelum MPI ditemukan di regio iliaka kanan 132,43 CFU/cm3 dan di regio ini yang mengalami penurunan terbanyak (41,42%), sedangkan nilai penurunan terendah terjadi di regio umbilikal (15,54%). 7 Jenis koloni bakteri yang diamati adalah Staphylococcus Aureus dan Bassilus. Sifat Staphylococcus Aureus adalah kompetitor lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya (Ash, 2000). Selain itu, menurut Le Loir et al (2003), pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh suhu, pH, aktivitas air (aw), atmosfer, natrium clorida, kelembaban, cahaya, dan oksigen. Staphylococcus Aureus tumbuh pada suhu optimum pertumbuhan 3037oC. Kisaran pH pertumbuhan antara 4,5 hingga 9,3, dengan pH optimum 7.07.5 (Bennet dan Monday, 2003). Berdasarkan aktivitas air (a w), Staphylococcus Aureus mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan Staphylococcus Aureus tetap terjadi pada aw 0,83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri. Kebanyakan galur-galur Staphylococcus Aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif Staphylococcus Aureus (Le Loir et al., 2003). 3.3 Perbedaan Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Sebelum dan Setelah MPI Tabel 3.1. Perbedaan Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Sebelum dan Setelah MPI pada Pasien Laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta Regio Iliaka Kanan Tidak turun Turun Total Regio Umbilikal Tidak turun Turun Total Regio Iliaka Kiri Tidak turun Turun Total F 5 35 40 F 16 24 40 F 16 24 40 (Sumber: Data Primer Diolah) 8 % 12,5 87,5 100,0 % 40,0 60,0 100,0 % 40,0 60,0 100,0 p value 0,000 p value 0,178 p value 0,045 Pada Uji Wilcoxon didapatkan perbedaan penurunan jumlah koloni bakteri yang bermakna terjadi di regio iliaka kanan (p. = 0,000) dan regio iliaka kiri (p. = 0,045). Pengamatan di area permukaan kulit abdomen menunjukkan bahwa mikrobakteri jenis Staphylococcus Aureus dan Bassilus mampu bertahan hidup dan berkembangbiak di permukaan kulit manusia. Media kulit yang efektif untuk tumbuh kembangnya mikrobakteri ini dipengaruhi oleh lingkungan yang mendukung seperti kelembaban kulit, rambut, dan lipatanlipatan kulit yang mendukung mikrobakteri mudah tinggal/menempel di atasnya. Mikrobakteri berkurang setelah dibersihkan dengan tindakan MPI. Dari nilai signifikan di atas menunjukkan bahwa penggunaan bahan air bersih dan sabun mandi dalam MPI terbukti efektif dalam membasmi bakteri yang menempel di permukaan kulit abdomen. Adanya perbedaan penurunan jumlah koloni bakteri di Regio Iliaka kanan dan kiri ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, Veiga et al (2008). Veiga melakukan penelitian terhadap 114 pasien dalam perawatan rumah sakit di Brazil, pada pasien bedah plastik abdomen dan thorax dengan klasifikasi luka bersih. Pada kelompok intervensi mendapat perlakuan mandi menggunakan PI, sedangkan pada kelompok kontrol mandi dengan sabun mandi biasa. Hasilnya diperoleh p. = 0,0019 < 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok yang mendapatkan PI dengan kelompok yang mandi dengan sabun biasa. Atau dengan kata lain, penggunaan sabun mandi dapat menurunkan jumlah koloni bakteri. 3.4 Pengaruh Cara MPI, Alat MPI (Sabun), dan Intensitas Merokok Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Pengamatan terhadap variabel yang mempengaruhi penurunan jumlah koloni bakteri seperti cara MPI, alat MPI, dan intensitas merokok ditunjukkan dalam Gambar 3.3. 9 1 0,9 0,937 0,8 0,7 0,6 Cara MPI 0,5 Sabun 0,4 0,33 0,3 0,383 Rokok 0,2 0,1 0 Cara MPI Sabun Rokok (Sumber: Data Primer Diolah) Gambar 3.3. Pengaruh Cara MPI, Alat MPI (sabun), dan Intensitas Merokok Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri pada Pasien Laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta Nightingale menekankann bahwa pemeliharaan kulit merupakan bagian penting dalam pemeliharaan kesehatan (George, 1995 dan Tomey, 2004). Menurutnya, banyak penyakit yang dapat ditimbulkan akibat kerusakan kulit, oleh sebab itu ekskresi pada kulit harus dibersihkan dengan cara mandi atau menggunakan pakaian bersih. Dalam keadaan sakit, kulit harus tetap dijaga kebersihannya, bersihkan dan keringkan kulit agar pasien merasa nyaman. Bahkan saat pasien terbaring di tempat tidur, perawat harus dapat membantu memandikan pasien. Nightingale juga menyarankan penggunaan sabun mandi dan air hangat untuk mandi atau membersihkan kulit. Mandi memiliki efek tidak sekedar kebersihan semata. Kulit menyerap air dan menjadi lebih lembut dan menghapus ekskresi yang dikeluarkan keringat. Oleh sebab itu, dalam aplikasi keperawatan perioperatif, mandi dinilai sangat penting untuk membersihkan debu-debu dan kotoran yang menempel di kulit, sehingga akan menurunkan risiko terjadinya infeksi. 10 Gambar 3.4. Model Efektivitas Skin Preparation Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri dan Implikasinya Terhadap Kejadian Surgical Site Infection Dengan Pendekatan Model Keperawatan Lingkungan Menurut Florence Nightingale (Model dikembangkan oleh Peneliti) Menurut Nightingale, ventilasi dan kebersihan kulit adalah sama pentingnya. Faktor adanya transmisi mikroorganisme dari udara dalam ruangan merupakan pencetus terpaparnya pasien dengan mikroorganisme saat dalam masa perawatan. Wikansari et al (2012), melakukan penelitian observasional di Rumah Sakit X Semarang yang bertujuan mengetahui perbedaan kuman total udara dalam ruangan perawatan kelas II dan kelas III serta mengidentifikasi Staphylococcus aureus dalam ruang rawat inap, dengan sampel 16 kamar rawat inap. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kuman pada kamar rawat inap pasca bedah kelas II dan III sebesar 281 CFU/m3 dan 717 CFU/m3 dan rata-rata kuman pada kamar rawat inap penyakit dalam kelas II dan III sebesar 1.095 CFU/m3 dan 1.522 CFU/m3. Sejumlah 10 kamar memilki angka kuman udara melebihi ambang batas total kuman di ruang rawat inap. Berdasarkan uji t, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan total kuman udara di ruang rawat 11 inap pasca bedah dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan total kuman udara di ruang rawat inap penyakit dalam. Pada ruang rawat inap penyakit dalam di kamar 1 dan 4 ruang ditemukan Staphylococcus aureus. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa di dalam ruangan rawat inap ditemukan adanya Staphylococcus aureus. Secara alamiah, Staphylococcus aureus yang melayang-layang di udara ruangan bisa berpindah ke area kulit atau ke alat dan bahan-bahan yang digunakan untuk pemeriksaan apusan debris. Alat MPI diobservasi berdasarkan jenis sabun mandi yang digunakan responden, dibedakan menjadi dua; mengandung anti bakteri dan non-anti bakteri. Sebanyak 19 responden (47,5%) menggunakan sabun mandi yang mengandung antibakteri. Anti bakteri yang digunakan adalah Methylchloroisothiazolinone dan Methylosthiazolinone. Bahan anti bakteri yang terkandung di dalam sabun memberikan efek anti alergi dan mendesinfeksi mikroorganisme di permukaan kulit. Dengan demikian disimpulkan bahwa mandi dengan sabun sudah cukup efektif untuk menurunkan jumlah koloni bakteri, dan efektivitasnya semakin meningkat pada penggunan anti bakteri. Menurut Reichman efektivitas penggunaan antiseptik sangat bervariasi, tergantung konsentrasi, suhu, tingkat keasaman, jenis kuman atau virus tertentu, dan waktu kontak (Reichman, 2009). Faktor-faktor seperti suhu, pH, aktivitas air, cahaya dan oksigen menjadi bagian yang belum dikontrol, sehingga masih banyak faktor perancu yang mendukung pertumbuhan koloni bakteri. Faktor-faktor tersebut menjadi bagian yang belum dikontrol, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran lebih detail. Uji statistik untuk pengaruh intensitas merokok terhadap penurunan jumlah koloni bakteri menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh intensitas merokok terhadap penurunan jumlah koloni bakteri. Hasil ini mendukung Sriandayani (2002) yang telah melakukan penelitian untuk mengetahui sampai sejauh mana asap rokok mempengaruhi pertumbuhan bakteri in vitro. Hasil penelitian menunjukkan asap rokok menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus in vitro, tetapi penghambatan ini 12 bersifat sementara karena setelah dipindahtanamkan ke Manitol Salt Agar (MSA) hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Namun demikian, menurut Hussey (2007), rokok mempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh (Hussey LC et al, dalam Pear, 2007, 61). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa intensitas merokok tidak secara langsung mampu menurunkan jumlah koloni bakteri, tetapi pengaruh rokok itu sendiri akan memberikan risiko tinggi terhadap penurunan sistem kekebalan tubuh. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Supardi dan Sukamto (1999), bahwa persentase Staphylococcus aureus yang hidup dan berkembang di dalam tubuh sangat besar pada perokok aktif, jika dibandingkan dengan yang tidak merokok. 3.5 Probabilitas Individu Rancangan cohort prospektif regresi logistik dapat digunakan untuk memprediksi probabilitas individu berdasarkan nilai-nilai sejumlah variabel yang diukur padanya (Munor, 2000, 296). 1. Peluang Penurunan Jumlah Koloni Bakteri pada Responden yang Menggunakan Alat MPI Sabun Anti Bakteri Berikut ini dihitung nilai probabilitas personal untuk memprediksi besarnya peluang penurunan jumlah koloni bakteri pada pasien yang menggunakan sabun anti-bakteri (Tabel 5.8). Tabel 3.2 Pengaruh Alat MPI: Sabun Anti Bakteri Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Nama Responden Kar Yoh 0 1 0 0 1 1 Sabun Merokok MPI Constant (Sumber: Data Primer Diolah) B 0,068 1,850 0,069 -0,778 Kedua responden di atas (Kar dan Yoh) memiliki kebiasaan tidak merokok dan pelaksanaan MPI dimandikan. Tetapi, Kar menggunakan sabun non-anti bakteri, sedangkan Yoh menggunakan sabun anti 13 bakteri. Untuk mengetahui probabilitas penurunan jumlah koloni bakteri pada Kar dan Yoh digunakan model logistis sebagai berikut: Model Logistik p = 1 / 1+e-z e = bilangan natural 2,718 z = constant + b1x1 + b2x2+b3 Yoh (Sabun anti bakteri) z = -0,778 + 0,068(1) + 1,850 (1) + 0,069(0) z = 1,072 Kar (Sabun non-anti bakteri) z = – 0,778 + 0,068(1) + 1,850 (0) + 0 ,069(0) z = – 0,641 Rumus menentukan estimasi probabilitas individu yang menggunakan sabun anti bakteri untuk mengalami penurunan jumlah koloni bakteri adalah sebagai berikut: Yoh (sabun anti bakteri) p = 1 / 1+e-z p = 1 / 1+2,718-(1,072) p = 1 / 1+ p = 1 / 0,342 p = 0,745 Kar (sabun non-antibakteri) p = 1 / 1+e-z p = 1 / 1+2,718-(-0,641) p = 1 / 1+1,898 p = 1 / 2,898 p = 0,345 OR= 0,745 = 2,16 0,345 Hasil penghitungan menunjukkan bahwa Yoh (menggunakan sabun anti bakteri) berpeluang sebesar 2,16 kali lebih tinggi mengalami penurunan 14 jumlah koloni bakteri dibandingkan Kar (menggunakan sabun non-anti bakteri). 2. Peluang Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Pada Responden yang Tidak Merokok Berikut ini dihitung nilai probabilitas personal untuk memprediksi besarnya peluang penurunan jumlah koloni bakteri pada pasien yang tidak merokok (Tabel 2.3). Tabel 3.3 Pengaruh Merokok Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Nama Responden Mrgn Wil 1 0 1 1 1 1 Merokok Sabun MPI Constant B 1,850 0,068 0,069 0,778 (Sumber: Data Primer Diolah) Kedua responden di atas (Mrgn dan Wil) menggunakan sabun anti bakteri, dan pelaksanaan MPI dimandikan, perbedaannya adalah Mrgn tidak merokok sedangkan Wil merokok. Untuk mengetahui probabilitas dari tiap individu digunakan model logistis sebagai berikut: Model Logistik p = 1 / 1+e-z e = bilangan natural 2,718 z = constant + b1x1 + b2x2+b3 Mrgn (tidak merokok) z = – 0,778 + 1,850 (1) + 0,068(1) + 0,069(1) z = 1,209 Wil (merokok) z = – 0,778 + 1,850 (0) + 0,068(1) + 0,069(1) z = – 0,641 Rumus untuk menentukan estimasi probabilitas individu yang tidak merokok untuk mengalami penurunan jumlah koloni bakteri adalah sebagai berikut: 15 Mrgn (tidak merokok) p = 1 / 1+e-z p = 1 / 1+ 2,718-(1,209) p = 1 / 1 + 3,35 p = 1 / 4,35 p = 0,23 Wil (merokok) p = 1 / 1+e-z p = 1 / 1+2,718-(-0,641) p = 1 / 1+ 1,89 p = 1 / 2,89 p = 0,34 OR= Wil = 0,34 / 0,23 = 1,5 Mrgn Hasil penghitungan menunjukkan bahwa Wil (merokok) berpeluang sebesar 1,5 kali lebih tinggi untuk tidak mengalami penurunan jumlah koloni bakteri dibandingkan Mrgn (tidak merokok). 3. Peluang Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Pada Responden dengan yang Dimandikan Berikut ini dihitung nilai probabilitas personal untuk memprediksi besarnya peluang penurunan jumlah koloni bakteri pada pasien yang mandi sendiri (Tabel 3.4). Tabel 3.4 Pengaruh MPI Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Nama Responden Fit Nur 1 0 0 0 0 0 MPI Merokok Sabun Constant (Sumber: Data Primer Diolah) 16 B 0,069 1,850 0,068 0,778 Kedua responden di atas (Fit dan Nur) tidak merokok, dan menggunakan alat MPI sabun non-anti bakteri, perbedaannya adalah Fit dimandikan sedangkan Nur mandi sendiri di kamar mandi. Untuk mengetahui probabilitas dari tiap individu digunakan model logistis sebagai berikut: Model Logistik p = 1 / 1+e-z e = bilangan natural 2,718 z = constant + b1x1 + b2x2+b3 Fit (dimandikan) z = – 0,778 + 0,069(1) + 1,850 (1) + 0,068(0) z = 1,141 Nur (mandi sendiri) z = – 0,778 + 0,069(0) + 1,850 (0) + 0,068(0) z = – 0,778 Rumus untuk menentukan estimasi probabilitas individu yang mandi sendiri untuk mengalami penurunan jumlah koloni bakteri adalah sebagai berikut: Fit (dimandikan) p = 1 / 1+e-z p = 1 / 1+2,718-(1,141) p = 1 / 1+ 3,13 p = 1 / 4,13 p = 0,24 Nur (mandi sendiri) p = 1 / 1+e-z p = 1 / 1+2,718-(-0,778) p = 1 / 1+2,18 p = 1 / 3,18 p = 0,31 OR= Nur = 0,31 / 0,24 = 1,29 Fit 17 Hasil penghitungan menunjukkan bahwa Nur (mandi sendiri) berpeluang sebesar 1,29 kali lebih tinggi mengalami penurunan jumlah koloni bakteri dibandingkan Fit (dimandikan). 3.6 Pengaruh Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Setelah MPI, Usia, GDS, Merokok, dan Kontaminasi Luka Terhadap Kejadian SSI Tabel 3.5 Uji Koefisien Regresi Pengaruh Penurunan Jumlah Koloni Bakteri Setelah MPI, Usisa, GDS, Merokok, dan Kontaminasi Luka Terhadap Kejadian SSI pada Pasien Laparotomi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta Sig. X Hosmer and Lemshow’s Goodness of Fit Test B Variabel 1. Koloni Bakteri 0,030 Iliaka Kanan 2. Koloni Bakteri 0,020 Umbilikal 3. Koloni Bakteri 0,182 Iliaka Kiri 4. Usia 0,995 5. GDS 0,246 6. Merokok 0,067 7. KlasLuka 1,000 Constant 1,000 (Sumber: Data Primer Diolah) 1,619 0,703 -2 Log Likelihood Block- Block 0 -1 50,446 23,19 6 Nagelkerke R2 0,689 -1,265 ,968 ,004 -1,004 4,270 -21,132 29,293 Pada Uji Regresi Logistik Binary diperoleh nilai Hosmer and Lemeshow Test SSI 0,703 > 0,05 ini berarti bahwa model regresi binary layak dipakai untuk analisis selanjutnya karena tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Pada Angka -2 Log likehood (-2 LL) (Blok-0) mengalami penurunan pada angka -2 LL Blok-1. Penurunan ini menunjukkan model regresi yang baik. Nilai Beta seluruh variabel yang diteliti dapat dirumuskan persamaan matematis Regresi Logistik Binary sebagai berikut: Z = 29,293 + 1,619 X1 - 1,256 X2+ 0,968 X3 + 0,004 X4 - 1,004 X5 + 4,270 X6 - 21,132 X7 18 Nilai probabilitas jumlah koloni bakteri setelah MPI signifikan terhadap kejadian SSI di Regio Iliaka kanan (0,030<0,05) dan Regio Umbilikal (0,020<0,05). Maka disimpulkan, ada pengaruh penurunan jumlah koloni bakteri di regio kanan dan pusat terhadap kejadian SSI. Sedangkan pada faktor usia, GDS, merokok, dan kontaminasi luka tidak berpengaruh terhadap kejadian SSI. Nagelkerke R2= 0,689 = 68,9%, dengan demikian dapat dijelaskan meskipun pada analisis masing-masing variabel tidak memberikan nilai signifikan (untuk variabel penurunan jumlah koloni bakteri di iliaka kiri, usia, GDS, merokok, dan kontaminasi luka, namun secara simultan keseluruhan variabel memberikan kontribusi terhadap kejadian SSI. Menurut Munor (2000, 296), rancangan cohort prospektif regresi logistik dapat digunakan untuk memprediksi probabilitas individu berdasarkan nilai-nilai sejumlah variabel yang diukur padanya. Dengan menggunakan Model Logistik p = 1 / 1 + e-z, maka diperoleh hasil pada pasien yang tidak mengalami penurunan jumlah koloni bakteri berpeluang sebesar 28 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian SSI dibandingkan pasien yang mengalami penurunan jumlah koloni bakteri, dan pasien yang merokok berpeluang sebesar 34,14 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian SSI diabndingkan pasien yang tidak merokok. Tanda dan gejala SSI diperoleh dari hasil anamnesis dan observasi pada area insisi bedah, ditemukan adanya nyeri, kemerahan, panas, dan bengkak (klasifikasi Superficial Incitional Infection). Ketika kulit diinsisi, jaringan terpapar dengan flora di atasnya (Reichman et al, 2009, 212-221), dengan tingginya jumlah mikroorganisme yang menempel di permukaan kulit maka akan meningkatkan risiko masuknya mikroorganisme tersebut ke dalam jaringan melalui insisi bedah, dan pada akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi setelah pembedahan. Risiko infeksi bervariasi menurut jenis insisi bedah. Misalnya, prosedur invasif yang menyebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh terutama usus, lebih rentan terhadap infeksi. Mikroorganisme penyebab SSI adalah Staphylococcus aureus, koagulase-negatif Staphylococci, Enterococcus spp, dan Escherichia coli. Patogen sebagian besar adalah aerob khususnya gram positif seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus (Owens, 2008, 5). 19 Pengamatan terhadap 40 responden, dipilih 10 sampel apusan debris secara acak, kemudian dilakukan pengamatan dalam laboratorium untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang tumbuh di permukaan kulit abdomen yang diperiksa. Ditemukan bahwa mikroorganisme yang hidup adalah jenis Staphylococcus aureus dan Basilus (flora normal). Kedua jenis mikroorganisme tersebut merupakan flora normal yang hidup di permukaan kulit, akan tetapi Staphylococcus aureus dan Basilus akan menjadi patologis jika masuk ke dalam jaringan. Hasil akhir pada penelitian ini mendukung standar perawatan perioperatif yang dibuat oleh National Institute for Health and Clinical Excellence (2008), bahwa untuk mencegah terjadinya SSI, harus dimulai sejak awal perawatan pre operasi, intra operasi, sampai dengan post operasi. Sesuai dengan rekomendasi Association of Surgical Technologists, bahwa tindakan terbaik untuk mencegah infeksi pembedahan adalah dengan (1) preoperative skin preparation, (2) pemberian antibiotic prophylaxis (3) kontrol gula darah, (4) perawatan luka (5) dan hand washing (Haycock et al, 2005). Jika semua tindakan itu dapat dilakukan idealnya pasien yang tidak mengalami infeksi tidak memerlukan antibiotik pasca bedah. IV. SIMPULAN 1. Variasi distribusi frekuensi tertinggi dari 40 responden yang diteliti pelaksanaan MPI (55%) mandi sendiri, Sabun yang digunakan 52,5% jenis non antibakteri, Usia 57,5% < 35 tahun, GDS, 60% kadar > 100- 199 mg/dl, kebiasaan Merokok, 72,5% tidak merokok, klasifikasi luka 97,5% jenis luka bersih, dan kejadian SSI (67,5%). Penurunan jumlah koloni bakteri, di Regio Iliaka Kanan (87,5%), Regio umbilikal (60%), Regio Iliaka Kiri (72,5%). 2. Ada perbedaan penurunan jumlah koloni bakteri sebelum dan setelah MPI di area permukaan kulit abdomen Regio Iliaka Kanan (p value 0,000 < 0,05) dan Kiri (p value 0,045 < 0,05) secara bermakna. 20 3. Ada pengaruh jenis sabun terhadap penurunan jumlah koloni bakteri di regio Umbilikal (p value 0,03), dengan nilai OR 6,358, dan tingkat determinasi sebesar 22,6%. 4. Ada pengaruh penurunan jumlah koloni bakteri setelah MPI di Area abdomen Regio Iliaka Kanan dan Regio Umbilikal terhadap kejadian SSI, dengan p value 0,030 (OR. 5,47) dan 0,020, dengan tingkat determinasi sebesar 68,9%. V. SARAN 1. Bagi Rumah Sakit 1.1 Menjadikan tindakan MPI sebagai standar prosedur persiapan operasi di unit Keperawatan dan Kebidanan. 1.2 Perawat menganjurkan pasien untuk mandi sebelum operasi, jika keadaan umum pasien lemah maka perawat berinisiatif untuk memandikan pasien. 1.3 Menyediakan sabun mandi anti-bakteri sebagai alat mandi bagi pasien pra-operasi. 1.4 Memisahkan ruang perawatan bedah dan perawatan penyakit dalam untuk mencegah transmisi mikroorganisme. 1.5 Melengkapi ruangan dengan exhouse untuk memfasilitasi sirkulasi udara sehingga udara dalam ruangan rumah sakit dapat berganti dengan udara yang baru dari luar. 1.6 Melakukan tindakan pencegahan penyebaran mikroorganisme di dalam ruang rawat inap dengan cara melakukan sterilisasi ruangan rawat inap secara berkala untuk membersihkan kembali ruangan dari kontaminasi mikroorganisme yang dibawa baik oleh pasien, perawat, maupun pengunjung. 1.7 Untuk mengetahui adanya pencemaran udara di dalam ruang Rumah sakit yang dapat mebahayakan pasien, diperlukan alat pengujian kualitas udara. 2. Bagi STIK Sint Carolus 2.1 Mengembangkan Daftar Tilik MPI sebagai salah satu materi yang diajarkan dalam praktikum mata kuliah keperawatan medikal bedah. 21 2.2 Melatih mahasiswa untuk mengenal sedini mungkin tanda-gejala infeksi pasca pembedahan, dan perawatannya. 3. Bagi Pasien Pre operasi Laparotomi 3.1 Persiapan operasi dilakukan sejak dua hari sebelum jadwal operasi yang direncanakan. Pasien dianjurkan untuk mandi 2x sehari selama dua hari berturut-turut, dan mandi pagi di hari pelaksanaan operasi yang telah direncanakan. 3.2 Memperhatikan area lipatan lubang pusat, membersihkannya lebih hatihati untuk mengangkat debu-debu yang menempel di sudut-sudut lubang pusat. 4. Bagi Penelitian Selanjutnya 4.1 Melakukan penelitian menggunakan variabel-variabel suhu, pH, aktivitas air, atmosfir, natrium clorida, kelembaban udara, cahaya, dan oksigen sehingga diketahui pengaruhnya terahadap penurunan jumlah koloni bakteri serta implikasinya terhadap kejadian SSI. 4.2 Menguji kembali variabel yang bermakna pada hasil penelitian ini seperti pengaruh rokok dan penurunan jumlah koloni bakteri, menggunakan desain penelitian true experiment dengan membagi responden atas dua kelompok (kelompok intervensi dan kontrol), serta menambahkan jumlah sampel penelitian. DAFTAR PUSTAKA Akbari CM,et.al. dalam Pear, Suzanne M. (2007). Patient Risk Factors and Best Practices for Surgical Site Infection Prevention. Education & Training. Copyright 2007/ Workhorse Publishing L.L.C/ All Rights Reseved. p.60. Badan Standarisasi Nasional. (2011). Cara Uji Mikrobiologi-Bagian 9 Penentuan Staphylococcus Aureus pada Produk Perikanan. Standar Nasional Indonesia, Badan Standarisasi Nasional. p.1-19. http://www.bkipm.kkp.go.id/bkipm/public/files/sni/SNI%202332.92011%20UJI%20S%20AUREUS.pdf. Akses 12/02/2013, pk.00.53. Fry DE dalam Pear, Suzanne M. (2007). Patient Risk Factors and Best Practices for Surgical Site Infection Prevention. Education & Training. Copyright 2007/ Workhorse Publishing L.L.C/ All Rights Reseved. p.62. Garbutt, Maj. Susan J. (2011). Preparing the Skin Before Surgery. OR Nurse Journal. 22 George, Julia B. (1995). Nursing Theories: The Base for Professional Nursing Practice. Fourth edition. United States of America: Appleton & Lange. p.35-45. Gulanick, Myers. (2006). Nursing Care Plans Nursing Diagnosis and Intervention. 6th edition. United States: Mosby. p.106, 1050. Guy’s and St Thomas’ NHS Foundation. (2012). Preparing Your Skin Before Cardiac or Vascular Surgery Using Chlorhexidine Gluconate Skin Preparations. http://www.guysandstthomas.nhs.uk/resources/patientinformation/infection/3472-preparing-your-skin-before-cardiac-orvascular-surgery-using-chlorhexidine-gluconate-skin-preparations.pdf. Akses: 07/ 02/ 2013. pk.01.00. Haycock, Camille. et.al. (2005). Implementing Evidencebased Practice Findings to Decrease Postoperative Sternal Wound Infections Following Open Heart Surgery. Journal of Cardiovascular Nursing. Vol. 20, No. 5, pp 299– 305 ❘ © 2005 Lippincott Williams & Wilkins, Inc. Heisler, Jennifer. (2011). What Is an Exploratory Laparotomy Surgery. About.com Health's Disease and Condition content is reviewed by the Medical Review Board. http://surgery.about.com/od/proceduresaz/ss/LaparotomySurge_3.htm. Akses 17/02/2013, pk.08.50. Horan TC, et.al. CDC Definitions of Nosocomial Surgical Site Infections, 1992: aAModification of CDC Definitions of Surgical Wound Infections. Infect Control Hosp Epidemiol 1992; 13:606 608. Dalam Owens, C.D. and K. Stoessel. (2008). Surgical Site Infections: Epidemiology, Microbiology and Prevention. Journal of Hospital Infection (2008) 70(S2) 3–10. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved. http://www.ccih.med.br/m/aluno/mod/biblioteca_virtual/revistas_2008/jor nal_of_hospital_infection/novembro_suplemento/03.pdf. Akses 07/02/2013, pk.10.44. Hussey LC. et.al. dalam Pear, Suzanne M. (2007). Patient Risk Factors and Best Practices for Surgical Site Infection Prevention. Education & Training. Copyright 2007/ Workhorse Publishing L.L.C/ All Rights Reseved. p.61. Jakobsson J.et.al. 2011. dalam Kamel, Chris. et.al. (2012). Preoperative Skin Antiseptic Preparations for Preventing Surgical Site Infections: A Systematic Review. p. 615. Kamel, Chris. et.al. (2012). Preoperative Skin Antiseptic Preparations for Preventing Surgical Site Infections: A Systematic Review. p. 608-617. http://www.ccih.med.br/m/aluno/mod/biblioteca_virtual/revistas_2012/IC HE/Junho/0608.pdf. Akses: 06/02/2013, pk.00.24. Kozier, Barbara. et al. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 7. Alih bahasa, Pamilih Eko Karyuni et al. Editor edisi bahasa Indonesia, Dwi Widiarti et al. Jakarta: EGC. Lewis, et al. (2011). Medical-Surgical Nursing Assessment and Management of Clinical Problems. Eighth edition. United States of America: Elsevier Mosby. p.334 – 335. Murti, Bhisma. (2010). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kuaitatif di Bidan Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 23 Nurkusuma, Dudy Disyadi. (2009). Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah. Universitas Diponegoro Semarang. http://eprints.undip.ac.id/28863/1/Dudy_Disyadi_Nurkusuma_Tesis.pdf. Akses: 17/02/2013, pk.18.04. Owens, C.D. and K. Stoessel. (2008). Surgical Site Infections: Epidemiology, Microbiology and Prevention. Journal of Hospital Infection (2008) 70(S2) 3–10. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved. http://www.ccih.med.br/m/aluno/mod/biblioteca_virtual/revistas_2008/jor nal_of_hospital_infection/novembro_suplemento/03.pdf. Akses 07/02/2013, pk.10.28. Pear, Suzanne M. (2007). Patient Risk Factors and Best Practices for Surgical Site Infection Prevention. Education & Training. p.56-54. Copyright 2007/ Workhorse Publishing L.L.C/ All Rights Reseved. Raihana, Nadia. (2011). Profil Kultur dan Uji Sensitivitas Bakteri Aerob dari Infeksi Luka Operasi Laparotomi di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang. http://pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/artikel5.pdf. akses: 12/ 02/ 2013, pk.23.13. Ramadhan. et.al. (2009). Effective foot disinfection: an Evaluation of Scrubbing Technique using Chlorhexidine Glukonate and Centrimide Combined With Povidine Iodine Solutions. Makassar: Universitas Hassanudin. Reichman, David E and James A Greenberg. (2009). Reducing Surgical Site Infections: A Review. Revewes in Obstetrics and Gynecology. p.212-221. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2812878/. Akses: 06/ 02/ 2013,pk. 000.32. Sayed, Imam A.El. et.al. (2008). Patient Skin Preparation for Surgery. J Egypt Public Health Assoc Vol. 83 No. 3 & 4, 2008. Susilo, Wilhelmus Hary dan M. Havidz Aima. (2013). Penelitian dalam Ilmu Keperawatan Pemahaman dan Penggunaan Metode Kuantitatif Serta Aplikasi dengan Program SPSS dan Lisrel. Jakarta: Penerbit In Media. Sriandayani, Fanny Rahardja, Widura. (2002). Pengaruh Asap Rokok Terhadap Pertumbuhan Bakteri In Vitro. Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Tomey, Ann Marriner adn Martha Raile Alligood. (2004). Nursing Theorists and Theri Work. Fifth Edition. Philippines: Mosby an imprint of Elseivier. Walker, Jan. and Palo Almond. (2010). Interpreting Statistical Findings A Guide for Health Professionals and Students. London: The McGraaw Hill Companies. Wikansari, Nurvita. et.al. (2012). Pemeriksaan Total Kuman Udara dan Staphylococcus Aureus di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 384 392 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm. Akses: 12/02/2013, pk.23.25. 24