- Universitas Udayana Repository

advertisement
1
FORMAT IDEAL PENYELESAIAN SENGKETA PEREBUTAN TANAH
KUBURAN (SETRA) DESA PAKRAMAN PADANG SAMBIAN DAN
DESA PAKRAMAN KEROBOKAN1
I Made Dedy Priyanto, I Wayan Suandi dan I Wayan Novy Purwanto2
Abstrak
Kehidupan masyarakat Bali yang semakin kompleks tidak dapat terhindar dari
nuansa konflik. Salah satu penyebab konflik adat di Bali adalah mengenai
perebutan tanah kuburan/setra. Banyak kasus perebutan setra yang berakhir
dengan korban jiwa dan harta benda. Tanah kuburan (setra) merupakan tanah adat
yakni tanah yang dikuasai oleh desa pakraman sebagai masyarakat hukum adat
dan dipergunakan secara bersama-sama oleh anggota desa pakraman. Setra
merupakan salah satu harta kekayaan desa pakraman. Oleh sebab itu tanah ini
sering diperebutkan. Format ideal penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan
(setra) Batu Paras antara Desa Pakraman Kerobokan dengan Desa Pakraman
Padang Sambian adalah melalui penyelesaian sengketa non litigasi yakni melalui
negosiasi. Hasil negosiasi dituangkan dalam kesepakatan tertulis.
Kata kunci: sengketa, setra, penyelesaian sengketa dan desa pakraman.
Abstract
Balinese life is increasingly complex can not avoid the sense of conflict. One of
the causes of indigenous conflict in Bali is about the seizure grave/ setra. Many
cases of grave struggle that ended with the loss of life and property. Graveyard
(Setra) is lands the land held by customary village as indigenous people and used
jointly by members of customary villages. Setra is one customary village’s wealth.
Therefore, the soil is often contested. Ideal format disputes of graveyard (Setra)
Batu Paras between Kerobokan customary village and Padang Sambian
customary village are through the non-litigation dispute resolution through
negotiation. The results of the negotiations set forth in a written agreement.
Keywords: conflict, Setra, dispute resolution and customary village.
1
Dibiayai dari Dana DIPA, PNBP Universitas Udayana 2011 dengan Surat Perjanjian
Pelaksanaan Kegiatan (Kontrak) Nomor : 21.37/UN14/KU.03.04/2012 Tanggal: 16 MEI 2012.
2
I Wayan Suandi adalah Dosen pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Udayana. I Made Dedy Priyanto dan I Wayan Novy Purwanto adalah
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Penggunaan setra secara bersama-sama antara beberapa desa pakraman
bertendensi menimbulkan konflik. Desa Adat Besang Kangin, Desa Pakraman
Padang Sambian dan Desa Pakraman Kerobokan, Desa Pakraman Kemoning dan
Desa Pakraman Budaga adalah sedikit dari banyak contoh desa pakraman yang
pernah berkonflik karena penggunaan setra secara bersama-sama. Kovach
menganggap konflik sebagai suatu perjuangan mental dan spiritual manusia yang
menyangkut perbedaan berbagai prinsip, pernyataan dan argumen yang
berlawanan. Dalam istilah asing, konflik (conflict) dibedakan dengan sengketa
(dispute). Namun dalam penggunaan secara umum di Indonesia, istilah konflik
selalu ditukargunakan (interchangeably) dengan sengketa. Beberapa penyebab
atau akar timbulnya konflik, dinyatakan oleh Mitchell, adalah sebagai berikut: (1)
Perbedaan pengetahuan atau pemahaman (informasi/fakta); (2) Perbedaan nilai
(prinsip); (3) Perbedaan kepentingan (alokasi untung rugi); dan (4) Perbedaan
latar belakang personal/sejarah.3
Tendensi konflik penggunaan setra Batu Paras antara Desa Pakraman
Kerobokan dengan Desa Pakraman Padang Sambian telah terdeteksi sejak tahun
1999. Riak-riak konflik tersebut disebabkan karena dualisme penggunaan setra
antara empat banjar dari dua desa pakraman yang berbeda. Desa pakraman
tersebut berada pada dua wilayah hukum yang berbeda dimana Desa Pakraman
Kerobokan masuk ke wilayah Kabupaten Badung, sedangkan Desa Pakraman
Kerobokan berada di wilayah hukum Kota Denpasar. Di era otonomi daerah,
keberadaan desa pakraman di wilayah kabupaten/ kota yang berbeda
menimbulkan permasalahan terutama dari segi penanggaran. Perbedaan PAD
masing-masing kabupaten/ kota berimplikasi pada besaran bantuan yang diberikan
oleh masing-masing kabupaten/ kota kepada desa pakraman.
3
Putut Handoko, 2007, “Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi Kasus
Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali)”, Tesis, Program Magister Ilmu Lingkungan”, Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, hal. 11.
3
Sengketa perebutan setra merupakan salah satu konflik adat di Bali. Latar
belakang terjadinya konflik adat disebabkan oleh adanya perubahan sosial yang
tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat dan terjadinya pergeseran nilai
budaya.4 Di masa lalu mereka selalu berpegang pada filosofi Tat Twam Asi (aku
adalah kamu), sehingga menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai itu semakin memudar.
Budaya komunal sedikit demi sedikit berubah menjadi budaya individualis yang
menekankan pada kepemilikan. Budaya individualis ini tentu bertentangan dengan
ciri komunal dari masyarakat hukum adat. Dalam budaya individualis milik satu
pihak tidak boleh digunakan oleh pihak lain sedangkan dalam budaya komunal
setiap benda memiliki fungsi sosial sehingga dapat digunakan oleh pihak lain.
Sengketa perebutan setra telah bertentangan dengan konsep-konsep filsafat
Hindu, budaya masyarakat dan mengancam stabilitas keamanan, oleh sebab itu,
sengketa setra harus diselesaikan dengan damai.
Perumusan Masalah
a. Bagaimanakah status hukum tanah kuburan (setra)?
b. Bagaimanakah metode penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan (setra)?
Tinjauan Pustaka
Konflik adat dalam sengketa perebutan setra terjadi di sejumlah wilayah di
Bali. Dari penelitian awal yang dilakukan, diketahui bahwa konflik antara desa
pakraman dalam perebutan setra disebabkan karena otonomi yang dimiliki oleh
desa pakraman. Dalam menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, desa
pakraman harus memiliki harta kekayaan sebagai modal dalam melaksanakan
pemerintahannya itu. Pasal 9 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001
Tentang Desa Pakraman menyebutkan bahwa harta kekayaan desa pakraman
adalah harta yang menjadi milik desa pakraman. Milik desa pakraman dikenal
dengan istilah duwe atau druwe desa (duwe = milik atau kekayaan). Milik desa
pakraman ada yang memiliki nilai ekonomi dan ada pula yang tidak mempunyai
nilai ekonomi. Pura dan berbagai perlengkapan upakara dalam pura yang
4
I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Bali, Udayana University,
Denpasar, hal. 75.
4
dimaksud, areal kuburan desa adat, dan lain-lain, termasuk bagian dari milik desa
pakraman yang tidak mempunyai nilai ekonomi.5
Penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan (setra) antara desa
pakraman lebih baik jika diselesaikan melalui metode penyelesaian sengketa di
luar pengadilan atau alternative dispute resolution (ADR). Penyelesaian sengketa
melalui alternative dispute resolution (ADR) kini menjadi the first resort yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Altschul mengartikan ADR sebagai a
trial of a case before a private tribunal agreed to by the parties so as to save legal
costs, avoid publicity and avoid lengthy trial delays.6 Penyelesaian sengketa non
litigasi dapat dilakukan melalui negosiasi atau mediasi. Penyelesaian sengketa
juga dapat dilakukan melalui jalur peradilan yakni peradilan perdata. Untuk
kerusakan yang ditimbulkan akibat sengketa dapat diproses secara perdata berupa
gugatan ganti kerugian maupun secara pidana seperti penganiayaan, pengrusakan
barang dan sebagainya.
Tujuan Penelitian
a. Untuk menganalisis status hukum tanah kuburan (setra).
b. Untuk menganalisis metode penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan
(setra).
Manfaat Penelitian
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan mengenai komunikasi, sosiologi dan hukum. Secara praktis
penelitian ini bermanfat sebagai bahan referensi dalam penyelesaian konflik adat.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris. Dalam penelitian
empiris digunakan dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. Data
primer dikumpulkan melalui teknik observasi dan wawancara. Data sekunder
dikumpulkan melalui teknik studi kepustakaan. teknik ini merupakan teknik awal
5
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 58.
6
Jony Emirzon, Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 37.
5
yang digunakan dalam setiap penelitan hukum. Teknik penentuan sampel yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling yang digunakan
dalam menentukan lokasi penelitian dimana Desa Pakraman Kerobokan dan Desa
Pakraman Padang Sambian merupakan desa pakraman yang dapat menggunakan
tanah kuburan bersama-sama secara damai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Hukum Tanah Kuburan (Setra)
Tanah memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan manusia.
Bagi masyarakat hukum adat, maka “Tanah mempunyai fungsi yang sangat
penting. Tanah merupakan tempat di mana warga masyarakat hukum adat
bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan penghidupan baginya”.7 Sebagai
salah satu unsur dasar pembentuk negara, tanah memegang peranan penting dalam
kehidupan berbangsa sebagai pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih
yang corak agrarisnya berdominasi. ”Di negara yang rakyatnya berhasrat
melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.”8
Penggunaan dan peruntukan tanah menjadi indikator perkembangan ekonomi
masyarakat.
Kepentingan manusia akan tanah juga dapat dilihat dari kehidupan sosial
masyarakat hukum adat di Bali. Desa Pakraman sebagai masyarakat hukum adat
melakukan pengaturan terhadap tanah. Dalam pengaturan tersebut, desa pakraman
membagi-bagikan tanah kepada warganya. Tanah kuburan (setra) merupakan
tanah adat yakni tanah yang dikusai oleh desa pakraman sebagai masyarakat
hukum adat dan dipergunakan secara bersama-sama oleh anggota desa pakraman.
“Wilayah tersebut adalah pemberian suatu kekuatan yang gaib atau peninggalan
nenek moyang yang diperuntukkan bagi kelangsungan hidup dan penghidupannya
sepanjang masa. Maka hubungan itu pada dasarnya merupakan hubungan abadi”.9
7
Soerjono Soekanto dan Soeleman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, Rajawali,
Jakarta, hal. 192.
8
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat : Sketsa Asas, Liberti, Yogyakarta, hal. 1.
6
Tanah kuburan (setra) adalah harta kekayaan desa pakraman yang tidak
bergerak dan bersifat religious magis. Kepemilikan setra oleh desa pakraman
menunjukkan eksistensi desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
yang ada di Bali. Dengan demikian tanah kuburan (setra) memiliki arti penting
bagi desa pakraman. Secara filosofis, keberadaan tanah kuburan (setra) di Bali
merupakan implementasi dari konsep parahyangan (hubungan antara Tuhan
dengan manusia). Kuburan bagi umat Hindu di Bali dipandang sebagai tempat
suci dan dilengkapi dengan tempat peribadahan yang disebut Pura Dalem,
Kahyangan dan Prajapati. Adapun pemakaiannya hanya dibenarkan untuk umat
Hindu yang menjadi karma desa adat di desa yang bersangkutan. Jika ada
penduduk lain yang meninggal di desa itu, menguburkan jenazah yang
bersangkutan di kuburan desa, hal ini hanya dibolehkan, asalkan jenazahnya itu
diupacarai secara keagamaan Hindu dengan status titipan dengan membayar
semacam sewa kuburan kepada desa yang dinamai “petukon aturu” atau
“penanjung batu.” Sedangkan kuburan campuran misalnya antara sesama umat
beragama tidak dibenarkan karena alasan-alasan antara lain:
a. Upacara keagamaan yang berbeda.
b. Kuburan umat Hindu tidak bersifat permanen dan sewaktu-waktu akan
dibongkar kembali oleh keluarganya setelah tiba waktunnya mengadakan
upacara pembakaran mayat (ngaben).
c. Upacara pembakaran mayat ini menyebabkan tanah kuburan itu bisa dipakai
lagi oleh karma desa, sehingga desa tidak pernah mengalami kekurangan
tanah kuburan misalnya; karena kuburan itu penuh dengan makam-makam
permanen. Sedang bagi umat beragama lainnya tidak ada upacara ngaben
sehingga dikhawatirkan kuburan itu akan penuh dengan makam-makam
permanen.10
Tanah kuburan (setra) sebagai tanah yang dikuasi oleh desa pakraman
memiliki karakter hukum tersendiri. Tanah ini sepenuhnya diatur oleh desa
pakraman masing-masing. Wewenang pengaturan desa pakraman menurut Wayan
P. Windia dan Ketut Sudantra dibatasi oleh karakter tanah desa sebagai berikut :11
9
Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 123.
10
I Wayan Surpha, op.cit., hal. 44-45.
11
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, op. cit., hal. 128-129.
7
(1) Masyarakat dan anggota-anggotanya dapat menggunakan tanah sebagai
dasar bagi kehidupannya;
(2) Orang bukan warga masyarakat hukum adat tidak dapat menggunakan hak
itu, kecuali mendapat izin masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
(3) Orang lain yang menggunakan hak itu harus membayar sesuatu kepada
masyarakat hukum adat.
(4) Masyarakat hukum adat bertanggung jawab terhadap segala perbuatan
hukum yang terjadi di atas tanah tersebut;
(5) Masyarakat
hukum
adat
tidak
boleh
mengasingkan
atau
memindahtangankan tanah kepada siapapun untuk selama-lamanya;
(6) Masyarakat hukum adat dapat mencampuri terhadap penggunaan tanahtanah yang telah digarap oleh anggotanya, agar dimanfaatkan secara wajar
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Setra adalah milik dari satu atau beberapa desa pakraman. Awalnya satu
setra dimiliki oleh satu desa pakraman.
Namun dengan peningkatan jumlah
penduduk yang begitu cepat maka desa pakraman yang memiliki jumlah krama
desa yang cukup banyak dimekarkan menjadi desa pakraman baru. Pemekaran
desa pakraman tersebut juga sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah pasca
pengundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Untuk melaksanakan tata kehidupan masyarakat, maka desa pakraman
juga memerlukan setra sebagai tempat untuk menguburkan atau membakar
jenazah. Desa pakraman yang baru terbentuk tadi biasanya tetap menggunakan
setra yang sama dengan desa pakraman yang lama. Dengan demikian setra yang
tadinya adalah milik satu desa pakraman kini dimiliki oleh dua desa pakraman.
Setra tersebut digunakan secara bersama-sama oleh dua desa pakraman dan
sebaliknya desa pakraman tersebut juga memiliki kewajiban yang sama terhadap
setra yang digunakan itu.
Penggunaan setra secara bersama-sama terjadi di pelbagai tempat di Bali,
salah satunya adalah penggunaan setra Batu Paras secara bersama-sama oleh Desa
Pakraman Padang Sambian dan Desa Pakraman Kerobokan. Desa Pakraman ini
justru berada dalam wilayah kabupaten yang berbeda. Desa Pakraman Padang
Sambian berada di wilayah hukum kota Denpasar sedangkan Desa Pakraman
Kerobokan berada di wilayah hukum Kabupaten Badung. Setra Batu Paras secara
de facto berada di Banjar Batu Paras, Desa Pakraman Padang Sambian. Setra ini
digunakan secara bersama-sama oleh empat banjar yakni Banjar Uma Klungkung
dan Banjar Kerobokan (termasuk dalam Desa Pakraman Kerobokan) serta Banjar
8
Pagutan dan Banjar Batu Paras (termasuk dalam Desa Pakraman Padang Sambian.
Berdasarkan kesepakatan kedua desa pakraman tersebut, maka Setra Batu Paras
dibagi menjadi dua bagian dan memiliki dua pintu masuk.
Metode Penyelesaian Sengketa
Sengketa (konflik) terjadi karena adanya perubahan yang berarti bahwa
sesuatu akan berbeda dalam beberapa hal dari yang ada sekarang, dimana konflik
merupakan perilaku bersaing di antara dua orang atau kelompok. Timbulnya
sengketa merupakan pertanda akan adanya krisis manusia, dan tindakan yang
harus dilakukan untuk mengatasi konflik (sengketa) ini adalah dengan
mengadakan usaha untuk memperbaiki hubungan tersebut.12 Secara yuridis, upaya
penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua jalur yakni melalui jalur
litigasi (melalui pengadilan) dan non litigasi (di luat pengadilan).
Adanya sengketa dalam kasus perebutan penggunaan setra menjadi ciri sifat
keperdataan. Penyelesaian sengketa sedapat mungkin dilakukan melalui cara-cara
di luar pengadilan.13 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesungguhnya
berasal dari karakter hukum adat di Indonesia. Hukum adat pada hakikatnya
mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, baik dalam hubungan keluarga,
kekerabatan, ketetanggaan, memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri
12
I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business
Law Center (IBLC) bekerja sama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, Jakarta, hal.11.
13
Perkara yang dapat diselesaikan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
adalah sengketa keperdataan. Ketentuan ini dapat dilihat pada dasar menimbang disebutkan bahwa
“berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di
samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase
dan alternatif penyelesaian sengketa.” Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa:
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak
dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara
tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin
timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui
alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa ditentukan bahwa Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
menentukan bahwa “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”
9
pekerjaan, apalagi yang bersifat ‘peradilan’ dalam menyelesaikan perselisihan
antara yang satu dan yang lainnya, diutamakan jalan penyelesaiannya secara
rukun dan damai dengan musyawarah mufakat. Corak musyawarah dan mufakat
ini dalam penyelesaian perselisihan biasanya didahului oleh adanya itikad baik,
adil dan bijaksana dari orang yang dipercaya sebagai penengah perkara atau dari
majelis permusyawaratan adat.14
Penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal pada peradilan desa
tersebut pada asasnya menjalankan pendidikan diciptakan tidak untuk dilanggar,
tetapi untuk dihormati dan ditaati agar tercapai perdamaian. Pada saat itu, orang
yang melanggar hukum dipandang sebagai melanggar ketertiban umum. Peradilan
desa
sebagai
disciplinaire
rechstspraak
(pengadilan
ketertiban),
yang
diselenggarakan bukan untuk membalas dendam atau membalas kesalahan,
melainkan untuk membangun perdamaian.15 Perdamaian pasca konflik menjadi
suatu kebutuhan pokok sebab pada dasarnya desa pakraman yang terlibat konflik
berada pada area yang berbatasan. Jika ditelusri dari segi silsilah mereka pun
sesungguhnya adalah saudara.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan baik dengan cara negosiasi atau
mediasi diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Mengenai musyawarah
mufakat ini Koesnoe mengemukakan:
Di dalam masyarakat adat, istilah ini mengandung suatu pengertian yang isinya
primair sebagai suatu tindakan seseorang bersama orang-orang lain untuk
menyusun suatu pendapat bersama yang bulat atas sesuatu permasalahan yang
dihadapi oleh seluruh masyarakatnya. Dari itu musyawarah selalu menyangkut
soal hidupnya masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu ajaran
musyawarah menegaskan bahwa di dalam hidup bermasyarakat, segala
persoalan yang menyangkut hajat hidup dan kesejahteraan bersama harus
dipecahkan bersama-sama oleh para anggauta-anggautanya atas dasar
kebulatan kehendak mereka bersama.16
14
Dewi Wulansari, C., 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, hal. 21.
15
Ibid., hal. 105.
16
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga
University Press, Surabaya, hal. 45.
10
Negosiasi pada dasarnya adalah basic of means untuk mendapatkan apa
yang diingingkan dari orang lain. Negosiasi diartikan sebagai komunikasi dua
arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak
memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.17 Para pihak ini bisa
jadi adalah pihak yang bersengketa atau wakil dari pihak yang bersengketa.
Secara teoretis, negosiasi dilakukan dalam beberapa tahapan. Adapun tahapantahapan yang menjadi elemen penting menurut Haley dari negosiasi ini adalah:
1. Perencanaan dan analisa (planning and analysis).
2. Pertukaran informasi (exchanging information).
3. Konsensi dan kompromi (concessions and compromise).
4. Pencapaian persetujuan (reaching agreement)18
Metode negosiasi adalah memenuhi dua sasaran objektif yakni melindungi
dari pembuatan persetujuan yang sebaiknya ditolak dan membantu untuk
memanfaatkan semaksimal mungkin aset yang benar-benar dimiliki sehingga
setiap persetujuan yang dicapai akan memuaskan kepentingan sebaik mungkin.19
Metode negosiasi adalah metode yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa
setra Batu Paras antara Desa Pakraman Padang Sambian dengan Desa Pakraman
Kerobokan. Negosiasi dilakukan dengan berlandaskan asas kekeluargaan. Dilihat
dari sejarahnya, kedua desa pakraman ini sesungguhnya adalah bersaudara.
Bendesa Desa Pakraman Padang Sambian, I Gusti Putu Gede Suwira
menjelaskan, pada abad ke 17, 12 orang warga Kerobokan (dahulu bernama
Lambih Kauh) dititipkan di wilayah Padang Sambian (dahulu bernama Lambih
Kangin) untuk menjaga soroh kayu selem dari serangan Badung.
Negosiasi dilakukan oleh prajuru desa di masing-masing desa pakraman.
Negosiasi dilakukan sebanyak tiga kali dan menghasilkan kesepakatan berupa
pembagian wilayah setra menjadi dua yakni bagian utara yang dikuasai oleh Desa
Pakraman Kerobokan dan bagian selatan dikuasi oleh Desa Pakraman Padang
17
Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal, 59
18
I Made Widnyana, op.cit., hal. 91.
19
Roger Fisher, William Ury dan Bruce Patton, 2003, Getting to Yes Teknik Berunding
Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksa Kehendak, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 115-126.
11
Sambian. Setra tersebut ditembok dengan dua pintu masuk. Dalam negosiasi
tersebut, Desa Pakraman Padang Sambian bersedia untuk membangun Pura
Prajapati baru. Kesepakatan tersebut kemudian dilaporkan ke Pesamuan Agung
Desa Kesepakatan penggunaan setra Batu Paras secara bersama-sama oleh Desa
Pakraman Krobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian dituangkan dalam
kesepakatan tertulis yang berbentuk pararem penepas wicara.
Selain dengan metode negosiasi, penyelesaian sengketa setra juga dapat
dilakukan dengan mediasi. Mediasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa
dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga yang netral tersebut adalah
mediator. Mediator dalam penyelesaian konflik adat berasal dari Majelis Desa
Pakraman (MDP). Dalam praktik penyelesaian sengketa adat, mediator dari MDP
mempertemukan masing-masing prajuru desa yang berkonflik. Pertemuan
bertempat di kantor MDP yang berlokasi di Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Dalam pertemuan tersebut mediator menjelaskan posisi dari masing-masing pihak
dan memberikan rekomendasi dari permasalahan yang terjadi. Rekomendasi ini
tidak bersifat mengikat artinya kesepakatan mengenai penyelesaian tetap dipegang
oleh para pihak. Tidak ada sanksi jika para pihak tidak mengikuti rekomendasi
dari mediator.
Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil maka desa
pakraman dapat menyelesaikannya melalui pengadilan. Pada sidang pertama di
pengadilan maka agenda yang dilakukan adalah mediasi. Mediasi di dalam
pengadilan dan di luar pengadilan memiliki kesamaan yakni bertujuan untuk
mendamaikan para pihak yang bersengketa. Ketentuan nasional yang menjadi
dasar hukum penyelesaian sengketa setra harus bersesuaian dengan hukum adat
Bali termasuk di dalamnya adalah ketentuan dalam aturan desa pakraman. Dengan
adanya kesesuaian antara aturan-aturan desa pakraman dengan aturan-aturan
hukum yang ditetapkan, baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah
menunjukkan bahwa secara yuridis, aturan hukum itu sah berlaku karena telah
ditetapkan, baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Secara sosiologis,
aturan hukum itu telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat,
maksudnya aturan hukum itu telah mendapat pengakuan dari warga masyarakat.
Secara filosofis, aturan hukum itu sesuai dengan cita hukum yang ada dalam
12
pikiran warga masyarakat. Dengan demikian, kesesuaian hukum yang ditetapkan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan aturan-aturan desa pakraman
menunjukkan bahwa aturan hukum tersebut mempunyai daya kerja untuk
mengatur atau memaksa warga masyarakat agar mematuhi hukum. Kenyataan
demikian ini dapat dikatakan bahwa hukum tersebut berlaku secara efektif.
Penyelesaian sengketa setra di pengadilan didasarkan pada adanya
perbuatan melanggar hukum. Unsur-unsur perbuatan melanggar hukum (tort)
didasarkan atas ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Adanya perbuatan melanggar
hukum ditandai dengan perbuatan aktif. Sebelum tahun 1919, perbuatan
melanggar hukum diidentikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang.
Namun setelah adanya Arrest Lindebaum-Cohen tahun 1919, maka perbuatan
melanggar hukum meliputi juga:20
a)
b)
c)
d)
Melanggar hak orang lain.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat.
Berlawanan dengan kesusilaan.
Berlawanan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri
atau benda orang lain.
Dasar hukum dalam gugatan sengketa setra berdasarkan perbuatan
melawan hukum ini dimungkinkan karena blokade yang dilakukan oleh satu desa
pakraman dengan memberikan izin kepada desa pakraman lain untuk
menggunakan setra adalah bentuk dari pelanggaran terhadap hak orang lain. Hal
ini juga bertentangan dengan kewajiban hukum dari pihak yang memblokade
untuk menggunakan setra secara bersama-sama dengan desa pakraman lain.
Dalam hal ini pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Menurut Mariam
Darus Badrulzaman, tidak harus terdapat hubungan perjanjian sebelumnya, untuk
dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat
dari perbuatan melanggar hukum yang harus memenuhi unsur-unsur perbuatan
melawa hukum.21 Ganti rugi yang dimaksud tidak terbatas pada ganti rugi yang
sifatnya material namun ganti rugi yang sifatnya immaterial.
20
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 107.
21
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 127
13
Dalam memutus sengketa hukum adat, hakim juga harus memperhatikan
hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hukum yang hidup dan dicatat dalam
aturan-aturan desa pakraman ini diperlukan dalam kehidupan bernegara karena
dalam kenyataannya, hukum tertulis atau hukum positif yakni hukum yang
ditetapkan oleh Pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang
selalu berkembang. Aturan-aturan desa pakraman ini, pada mulanya berupa
“Kebiasaan-kebiasaan dan yang kemudian menebal menjadi adat-istiadat dan
akhirnya terwujud dalam aturan hukum adat, adalah merupakan gejala yang tetap
mempunyai eksistensi sepanjang masa”.22 Jadi, aturan-aturan Desa Pakraman
sebagai hukum tidak tertulis ini tumbuh dari kesadaran akan kebutuhannya.
“Kesadaran inilah yang menyebabkan timbulnya hukum secara langsung. Itulah
hukum yang hidup (living law)”.23 Hukum yang hidup adalah “Hukum yang
dilaksanakan dalam masyarakat, sebagai lawan dari hukum yang diterapkan oleh
negara”.24
Penyelesaian sengketa penggunaan setra melalui jalur pengadilan bertujuan
untuk menjamin kepastian hukum. Kepastian hukum mengharuskan bahwa
diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku
umum. Agar supaya tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam
masyarakat, maka peraturan-peraturan termaksud harus ditegakkan serta
dilaksanakan secara tegas. Untuk kepentingan itu maka kaedah-kaedah hukum
tersebut harus diketahui sebelumnya dengan pasti”.25 Kepastian hukum mengenai
kepemilikan dan penggunaan setra bertujuan untuk mencegah terulangnya
sengketa kembali.
22
Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, 1989/1990, Mengenal Dan
Pembinaan Desa Adat Di Bali, Proyek Pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 (delapan)
Kabupaten Dati II, Denpasar, hal.20.
23
Bernard L. Tanya, et al., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, CV. Kita, Surabaya, hal. 117.
24
Soerjono Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali,
Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), hal. 19.
25
Soerjono Soekanto, 1976, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto
II), hal. 41.
14
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Format ideal penyelesaian sengketa perebutan tanah kuburan (setra) Batu
Paras adalah melalui penyelesaian sengketa non litigasi yaitu diselesaikan di luar
pengadilan. Model penyelesaian sengketa ini mendahulukan tipe penyelesaian
konflik yang berbasis kearifan lokal yakni dengan metode musyawarah untuk
mencapai mufakat, dalam hukum nasional hal ini dikenal dengan negosiasi dan
mediasi.
Negosiasi dilakukan antara
prajuru desa (perangkat desa) yang
berkonflik. Dalam kasus sengketa tanah kuburan (setra) Batu Paras, prajuru desa
Kerobokan dan prajuru desa Padang Sambian melakukan negosiasi mengenai
penggunaan setra Batu Paras secara bersama-sama.
Dalam negosiasi tersebut disepakati bahwa setra Batu Paras dibagi menjadi
dua areal yakni bagian utara yang dikuasai oleh Desa Pakraman Kerobokan dan
bagian selatan dikuasi oleh Desa Pakraman Padang Sambian. Setra tersebut
ditembok dengan dua pintu masuk. Dalam negosiasi tersebut, Desa Pakraman
Padang Sambian bersedia untuk membangun Pura Prajapati baru. Kesepakatan
tersebut kemudian dilaporkan ke Pesamuan Agung Desa Kesepakatan penggunaan
setra Batu Paras secara bersama-sama oleh Desa Pakraman Krobokan dan Desa
Pakraman Padang Sambian dituangkan dalam kesepakatan tertulis yang berbentuk
pararem penepas wicara. Apabila metode negosiasi tidak berhasil maka desa
pakraman dapat menyelesaikan sengketa dengan cara mediasi yakni dengan
meminta batuan mediator. Mediator dalam penyelesaian sengketa adat di Bali
adalah Majelis Desa Pakraman. Jika hasil kesepakatan tetap tidak dilaksanakan
oleh pihak yang bersengketa, maka penyelesaian sengketa yang dapat digunakan
adalah melalui jalur litigasi yakni dengan berperkara perdata di pengadilan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Udayana, Program
Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Desa
Pakraman Padang Sambian, Desa Pakraman Kerobokan, para narasumber, serta
pihak-pihak yang turut membantu terselesaikannya penelitian ini.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran seputar Masalah Hukum Tanah,
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.
Bernard L. Tanya, et al., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi, CV. Kita, Surabaya.
Dewi Wulansari, C., 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Refika
Aditama, Bandung.
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat : Sketsa Asas, Liberti, Yogyakarta.
Jony Emirzon, Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Koesnoe, Moh., 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,
Airlangga University Press, Surabaya.
Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, 1989/1990, Mengenal
Dan Pembinaan Desa Adat Di Bali, Proyek Pemantapan Lembaga Adat
Tersebar di 8 (delapan) Kabupaten Dati II, Denpasar.
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Roger Fisher, William Ury dan Bruce Patton, 2003, Getting to Yes Teknik
Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksa Kehendak, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Sirtha, I Nyoman, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Bali, Udayana
University, Denpasar.
Soerjono Soekanto dan Soeleman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia,
Rajawali, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1976, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta.
________________, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat,
Rajawali, Jakarta.
Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Widnyana, I Made, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia
Business Law Center (IBLC) bekerja sama dengan Kantor Hukum Gani
Djemat & Partners, Jakarta.
Windia, Wayan P. dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar.
Tesis
Putut Handoko, 2007, “Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi
Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali)”, Tesis, Program Magister Ilmu
Lingkungan”, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Download