BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Darah a. Definisi Darah merupakan sel yang berbentuk cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit. Perbandingan volume darah dengan berat badan adalah 1:12, atau sekitar 5 liter. Darah terdiri dari beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45% bagian dari darah. Bagian 55% yang lain berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut plasma darah (Pearce, 2006). b. Plasma Plasma darah merupakan cairan didalam darah yang mengandung ion (natrium, kalium, magnesium, klorida, dan bikarbonat), protein plasma (albumin dan fibrinogen). Fungsi dari Ion dan protein plasma adalah keseimbangan osmotik (Williams, 2007). c. Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel yang terdapat dalam darah, fungsi utamanya 4 5 adalah sebagai pengangkut hemoglobin yang akan membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 2008). Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks, membrannya terdiri dari lipid dan protein, sedangkan bagian dalam sel merupakan mekanisme yang mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta menjaga fungsi hemoglobin selama masa hidup sel tersebut (Williams, 2007). Eritrosit berbentuk bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 μm, dan tebal 2 μm namun dapat berubah bentuk sesuai diameter kapiler yang akan dilaluinya, selain itu setiap eritrosit mengandung kurang lebih 29 pg hemoglobin, maka pada pria dewasa dengan jumlah eritrosit normal sekitar 5,4jt/ μl didapati kadar hemoglobin sekitar 15,6 mg/dl (Williams, 2007). d. Trombosit Trombosit adalah sel darah tak berinti yang berasal dari sitoplasma megakariosit. Kadar normal trombosit dalam tubuh manusia sekitar 150 – 450 x 103/µl. Dalam keadaan inaktif trombosit memiliki bentuk seperti cakram bikonveks dengan diameter 2 – 4 µm. Trombosit dapat bertahan didalam tubuh selama 7-10 hari. Peran trombosit didalam tubuh adalah sebagai pembentukan sumbatan selama respon hemostatik normal terhadap luka (Hoffbrand et al., 2005). 6 e. Leukosit Leukosit atau sel darah putih adalah sel darah yang memiliki nukleus. Dalam darah manusia normal, ditemukan jumlah leukosit berkisar antara 4500-10.000 sel/mm3 (Vapjayee, 2011). Secara umum leukosit berperan dalam pertahanan seluler dan humoral manusia, leukosit dapat meninggalkan pembuluh darah dengan proses diapedesis, menerobos diantara sel-sel endotel dan menembus ke jaringan ikat (Effendi, 2003). Berdasarkan ada atau tidaknya granula, leukosit dibagi menjadi 2 jenis, yaitu granulosit dan agranulosit. Saat leukosit yang memiliki granula spesifik (granulosit) dalam keadaan hidup dilihat di bawah mikroskop cahaya maka akan terlihat bentuk nukleus yang bervariasi dan granula yang terlihat berupa tetesan setengah cair dalam sitoplasmanya. Leukosit yang tidak memiliki granula (agranulosit) memiliki sitoplasma homogen dengan inti berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Terdapat 3 jenis leukosit granulosit, yaitu neutrofil, basofil dan eosinofil; serta 2 jenis leukosit agranuler, monosit dan limfosit (Effendi, 2003). Jenis-jenis leukosit: 1) Neutrofil 7 Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dan dikeluarkan ke sirkulasi darah, sel ini merupakan 6070% dari seluruh leukosit yang beredar. Sel ini memiliki diameter sekitar 12 µm, satu inti, dan 2-5 lobus. Sitoplasmanya memiliki granula azurofilik yang mengandung enzim lisosom dan peroksidase, serta granula spesifik yang lebih kecil yang mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (fagositin) (Segal, 2005). Neutrofil memiliki metabolisme secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup di lingkungan anaerob sangat menguntungkan karena sel ini dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik (Segal, 2005). Neutrofil bekerja dengan cara memfagositosis bakteri dan fungi yang masuk ke dalam tubuh. Netrofil memiliki enzim oksidase, yang akan memasukkan elektron ke dalam vakuola yang bersifat fagositik, dan bakteri akan terfagositosis dalam vakuola (Segal, 2005). 2) Basofil Basofil memiliki diameter 12 µm, satu inti besar yang umumnya berbentuk huruf S, sitoplasma basofilik yang berisi granula yang besar sehingga seringkali menutupi inti. Granula basofil berbentuk ireguler 8 berwarna metakromatik. Granula basofil mensekresi histamin dan heparin. Basofil adalah tipe leukosit yang paling sedikit dapat ditemukan dalam pemeriksaan (Parwaresch, 2012). 3) Eosinofil Eosinofil memiliki diameter 9 µm. Intinya biasanya berlobus dua, retikulum endoplasma, mitokondria, dan apparatus golgi kurang berkembang. Eosinofil memiliki granula ovoid yang mengandung fosfatase asam, katepsin, dan ribonuklease. Kemampuan fagositosis eosinofil lebih lambat daripada neutrofil, namun lebih selektif. Eosinofil dapat ditemukan pada darah ketika terjadi inflamasi karena alergi dan asma (Davoine et al., 2013). 4) Monosit Merupakan sel leukosit dengan diameter 9-10 µm, tapi pada sediaan darah kering dapat mencapai 20 µm. Inti biasanya eksentris dan berbentuk seperti tapal kuda. Sitoplasma relatif banyak dan memiliki warna biru abuabu pada pulasan Wright. Monosit memiliki fungsi fagositik yaitu membuang sel-sel mati, fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme (Bell, 2005). 5) Limfosit 9 Limfosit adalah sel berbentuk sferis, dengan diameter 6-8 µm. Inti relatif besar dan bulat. Sitoplasma sedikit sekali dan sedikit basofilik. Limfosit yang berada dalam kelenjar limfe akan tampak dalam darah pada keadaan patologis (Bell, 2005). Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit bergantung pada timus, berumur panjang dan terbentuk dalam timus. Limfosit B tidak bergantung pada timus, tersebar dalam folikel-folikel kelenjar getah bening (Bell, 2005). 2. Kelainan Hematologi a. Eritrosit 1) Mikrositosis Keadaan dimana diameter rata rata dari sel eritrosit <7µ dengan tebal rata rata 1,5-1.6µ. Biasanya ditermukan pada pasien penderita anemia defisiensi besi (Corwin, 2010). 2) Makrositosis Keadaan dimana diameter rata rata dari sel eritrosit >8,5µ dengan tebal rata rata 2,3µ. Biasanya makrositosis dapat ditemukan pada pasien anemi megaloblastik, anemi pada kehamian, dan anemi karena malnutrition (Corwin, 2010). 10 Keadaan dimana diameter rata rata dari sel eritrosit <7µ dengan tebal rata rata 1,5-1.6µ. Biasanya ditermukan pada pasien penderita anemia defisiensi besi (Corwin, 2010). 3) Anemia Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count) (Bakta, 2009). Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) serta proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) (Bakta, 2009). Anemia bisa ditentukan dari kadar hemoglobin, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuslar Hemoglobin (MCH). Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Ibu hamil dianggap mengalami anemia bila kadar Hb-nya di 11 bawah 11,0 g/dL. Sementara itu, laki-laki berusia ≥15 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hb <13,0 g/dL dan wanita usia subur 15-49 tahun mengalami anemia bila kadar Hb <12,0 g/dL (Riskesdas, 2013). Mean Corpusculer Volume (MCV). MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Apabila dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah, nilai normal dari MCV adalah 80100 fl. Seseorang dapat dikatakan mikrositik apabila nilai MCV adalah < 80 fl dan dapat dikatakan makrositik apabila nilai MCV adalah > 100 fl (Kemenkes RI, 2011). Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH). MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Apabila dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal dari MCH adalah 2834 pg. Pasien dapat dikatakan mikrositik hipokrom apabila nilah MCH < 27 pg dan dapat dikatakan makrositik apabila nilai MCH > 31 pg (Kemenkes RI, 2011). b. Trombosit 1) Trombositopenia 12 Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi darah. Terdapat 2 jenis trombositopenia, yaitu, trombositopenia primer dan trombositopenia sekunder. Trombositopenia primer dapat terjadi akibat penyakit autoimun yang ditandai pembentukan antibodi terhadapt trombosit. Trombositopenia sekunder dapat terjadi akibat efek samping dari obat, infeksi virus atau bakteri tertentu (Corwin, 2010). 2) Trombositosis Trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit dalam sirkulasi darah. Terdapat 2 jenis trombositosis, yaitu trombositosis primer dan trombositosis sekunder. Trombosistosis primer biasa terjadi pada penderita leukimia, dan penyakit sumsum tulang. Trombositosis sekunder biasa terjadi pada pasien yang mengalami infeksi, melakukan olahraga, stress, dan ovulasi pada pasien wanita (Corwin, 2010). c. Leukosit (Shagana, 2014) 1) Hipergranulasi netrofil Merupakan suatu granula kecil berwarna biru tua (azurofilik). Hipergranulasi netrofil muncul pada keadaan inflamasi, luka bakar, dan trauma. Granula ini memberikan reaksi positif pada pulasan peroksidase dan pada pulasan alkali fosfatase menunjukkan peningkatan 13 aktivitas enzim. Keadaan hipergranulasi netrofil juga dikenal sebagai granula toksik. 2) Leukositosis Pemeriksaan apusan darah harus diperiksa apabila terjadi leukositosis, limfositosis, dan monositosis yang tidak diketahui penyebabnya. Terjadinya peningkatan jumlah leukosit dapat ditandai dengan ditemukannya selsel leukosit imatur (bergeser ke kiri). Peningkatan jumlah leukosit dapat disebabkan oleh keadaan inflamasi. 3) Leukopenia Leukopenia adalah penurunan jumlah sel darah. Leukopenia dapat disebabkan oleh berbagai sebab, termasuk stres berkepanjangan, penyakit atau kerusakan sumsum tulang, radiasi, atau kemoterapi. Penyakit sistemik yang parah misalnya lupus eritematosus, leukemia, penyakit tiroid, dan sindrom cushing, dapat menyebabkan penurunan jumlah sel darah putih. Seluruh atau hanya satu jenis sel darah putih yang dapat terpengaruh. Leukopenia menyebabkan individu menjadi rentan terhadap infeksi. 4) Dohle bodies Dohle bodies adalah sisa-sisa ribosom dan retikulosit yang rusak dalam bentuk oval atau bulat, berwarna biru abu-abu. Dohle bodies biasanya ditemukan di bagian 14 perifer netrofil dan dapat dijumpai pada keadaan infeksi berat, keganasan, luka bakar, dan setelah pengobatan kemoterapi. 5) Granula Alder-Reilly Granula Alder-Reilly adalah granula azurofilik besar, kasar, dan berwarna ungu tua dan dapat ditemukan di sitoplasma granulosit. Granula Alder-Reilly dapat ditemukan pada pasien dengan anomali Alder-Reilly dan pasien dengan mukopolisakaridosis. 6) Hipersegmentasi netrofil Peningkatan jumlah lobus pada nukleus granulosit merupakan tanda khas yang ditemukan pada anemia megaloblastik, tetapi dapat pula ditemukan pada pasien dengan kelainan autosomal dominan. 7) Hiposegmentasi netrofil Netrofil dengan satu atau dua lobus, bisa merupakan kelainan keturunan maupun didapat pada pasien dengan keganasan myeloproliferatif dan infeksi atau pada pasien dengan tumor yang telah bermetastasis ke sumsum tulang. 8) Limfosit atipik Limfosit yang besar dengan diameter lebih dari 20 µm, sitoplasma berwarna lebih biru, inti besar dengan kromatin terbuka dan sitoplasma berlebihan. Limfosit atipik dapat disebabkan sebagai reaksi imunologis dan infeksi virus. 15 9) Vakuolisasi sitoplasma Pada sediaan hapusan darah yang langsung dibuat, terlihat vakuola berukuran kecil. Ini menunjukkan adanya infeksi berat dan ketoasidosis diabetik. Vakuolisasi perinuclear umumnya terjadi akibat diberikan paparan selama 2-3 jam. Apabila pemberian paparan dihentikan maka vakuola akan hiang dalam waktu 3-4 jam setelah paparan hilang. Apabila pemberian paparan masih berkanjut, maka vakuolisasi dapat menyebar ke perifer dalam waktu 12-14 jam dan dapat menyebabkan kematian sel. Timbulnya vakuolisasi dapat disebabkan oleh bakteri atau parasit yang difagositosis oleh leukosit, sisa sia dari protein bakteri atau parasit yang difagositosis oleh leukosit dapat menimbulkan vakuolisasi. Selain itu, munculnya vakuolisasi dapat disebabkan oleh patogen yang mengeluarkan toksin (Henics dan Wheatley, 2007). 3. Pemeriksaan Hematologi a. Definisi Pemeriksaan hematologi adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui kelainan dari kuantitas dan kualitas sel darah merah, sel darah putih dan trombosit serta menguji perubahan yang terjadi pada plasma. Pemeriksaan 16 pada sel darah meliputi kadar hemoglobin, jumlah eritrosit, hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit. Selain itu, pemeriksaan hematologi yang terpenting adalah pemeriksaan hitung jenis leukosit disertai dengan penilaian morfologi sel darah yang dapat diketahui dengan pemeriksaan gambaran darah tepi. Pemeriksaan gambaran darah tepi dapat menilai kelainan bentuk dari eritrosit, leukosit dan trombosit yang dapat menimbulkan kelainan secara hematologi (Kemenkes RI, 2011). b. Preparasi Pemeriksaan Hematologi 1) Pengambilan Sampel (Tahono et al., 2012) Pengambilan sampel darah dilakukan dengan teknik venipuncture, dan memilih vena di fossa ante cubiti sebagai lokasi pengambilan sampel karena vena lebih besar dan terfiksir. Sebelum melakukan pengambilan sampel darah, identitas pasien yang ingin diambil sampel harus jelas. Pengambil sampel juga harus menjelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien. Setelah pasien paham dan setuju, pasien disiapkan dalam posisi duduk atau berbaring. Alat yang dibutuhkan dalam pengambilan sampel darah adalah jarum, holder, tabung, sarung tangan, tourniquet, kapas alkohol, kassa steril, plester, dan tempat sampah. Lakukan sterilisasi tangan dan gunakan sarung 17 tangan selama prosedur berangsung. Instruksikan pasien untuk menggenggam tangan agar vena lebih mudah teraba saat palpasi, lalu pasang tourniquet diatas lokasi penusukan jarum, dengan jarak antara tourniquet dan tempat penusukan jarum 1-2 inci. Desinfeksi tempat pengambilan sampel darah dengan alkohol 70% secara sirkuler. Setelah desinfeksi selesai, fiksasi vena dibawah tempat tusukan dengan ibu jari, jari tengah, dan jari telunjuk. Masukkan jarum ke dalam pembuluh darah yang telah dipilih, lalu ambil darah kira-kira dua kali jumlah yang diperlukan untuk analisis. Setelah darah sudah masuk ke dalam spuit, tourniquet dilepas dan pasien diberi instruksi untuk melepas genggamannya. Tarik jarum setelah jumlah sampel darah yang diinginkan sudah cukup, lalu tutup daerah bekas tusukan dengan kassa steril. Sampel yang sudah diambil kemudian dicampur dalam tabung yang sudah terkandung antikoagulan. 2) Antikoagulan Antikoagulan adalah suatu zat yang digunakan untuk mencegah pembekuan darah. Antikoagulan biasanya digunakan apabila pemeriksaan darah tidak dilakukan segera setelah sampel darah diambil. Beberapa jenis 18 antikoagulan yang banyak digunakan dalam pemeriksaan laboratorium adalah: a) Ethylene Diamene Tetraacetic Acid (EDTA) Ethylene Diamene Tetraacetic Acid (EDTA) umumnya tersedia dalam bentuk garam natrium dan kalium. Ethylene Diamene Tetraacetic Acid (EDTA) mencegah koagulasi dengan cara mengikat ion kalsium dan mengubahnya menjadi bentuk garam kalsium yang tidak larut. Kalsium adalah salah satu faktor pembekuan darah sehingga tanpa kalsium tidak terjadi pembekuan darah. Ethylene Diamene Tetraacetic Acid (EDTA) memiliki keunggulan dibanding antikoagulan lainnya, yaitu tidak mempengaruhi sel-sel darah sehingga ideal untuk pemeriksaan hematologi (Gandasoebrata, 2009). Pada proses pembekuan darah diperlukan ion kalsium untuk dapat mengaktivasi kerja prothrombin membentuk thrombin. Selanjutnya peranan ion kalsium diperlukan kembali pada proses aktivasi fibrin lunak menjadi fibrin dengan gumpalan keras. Proses ini tidak memerlukan waktu yang begitu lama, jika semua faktor pembekuan dalam keadaan normal maka proses akhir pembekuan dapat terjadi dalam waktu 5-15 menit (Kemenkes RI, 2011). 19 Ada tiga macam EDTA, yaitu dinatrium EDTA (Na2EDTA), tripotasium dipotasium EDTA EDTA (K2EDTA) dan (K3EDTA). Na2EDTA dan K2EDTA biasanya digunakan dalam bentuk kering, sedangkan K3EDTA digunakan dalam bentuk cair. Ethylene Diamene Tetraacetic Acid (EDTA) yang digunakan dalam bentuk kering harus digoyanggoyangkan selama pencampuran dengan darah, karena lambat larut (Cushman, 2011). Penggunaannya harus tepat. Bila jumlah EDTA kurang, darah dapat mengalami koagulasi. Sebaliknya, bila EDTA berlebihan, eritrosit mengalami krenasi, trombosit membesar dan mengalami disintegrasi yaitu trombosit membengkak sehingga tampak adanya trombosit raksasa yang pada akhirnya mengalami fragmentasi membentuk fragmen-fragmen yang masih dalam rentang pengukuran trombosit oleh alat hitung sel otomatis sehingga dapat menyebabkan peningkatan palsu jumlah trombosit (Cushman, 2011). b) Natrium sitrat Natrium sitrat bersifat isotonis dengan darah dan tidak bersifat toksik, sehingga sering digunakan untuk transfusi darah. Antikoagulan ini biasa digunakan 20 dalam pemeriksaan laju endap darah (LED) (Wirawan, 2006). Natrium sitrat tersedia dalam konsentrasi 3,2% dan 3,8%. Natrium sitrat 3,2% digunakan dengan perbandingan 1 bagian sitrat berbanding 9 bagian darah. Sedangkan natrium sitrat konsentrasi 3,8% penggunaannya adalah 1 bagian sitrat berbanding 4 bagian darah (Mulyono, 2011). c) Heparin Antikoagulan mukopolisakarida ini yang merupakan bekerja dengan asam cara menghentikan pembentukan trombin dari protrombin, sehingga menghentikan pembentukan fibrin dari fibrinogen. Ada tiga macam heparin yang tersedia, yaitu amonium heparin, litium heparin, dan sodium heparin. Jenis heparin yang paling sering digunakan adalah litium heparin (Cushman, 2011). Heparin tidak mempengaruhi bentuk sel-sel darah, tetapi tidak boleh digunakan untuk pembuatan sediaan hapusan darah karena akan menyebabkan terjadinya dasar biru kehitaman pada preparat yang diwarnai dengan pengecatan Wright (Cushman, 2011). c. Pemeriksaan Darah Tepi 21 Pemeriksaan apusan darah tepi merupakan salah satu pemeriksaan paling informatif yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan. Belakangan ini telah ditemukan alat analisis sel darah otomatis sehingga pemeriksaan apusan darah tepi tampak kurang bermanfaat, tetapi hasil pemeriksaan darah dengan teknologi analisis sel darah otomatis tidak dapat menggantikan interpretasi pemeriksaan apusan darah tepi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Hal ini disebabkan karena tenaga kesehatan tersebut mengetahui keadaan klinis pasien, perjalanan penyakitnya, riwayat keluarga dan riwayat sosial ekonominya (Longo, 2012). Darah yang digunakan dalam pembuatan apusan darah tepi dapat berasal dari vena maupun dari kapiler. Apabila spesimen darah diambil dari vena, maka apusan darah harus segera dibuat setelah spesimen didapatkan, karena penundaan pemeriksaan dapat menyebabkan perubahan morfologi komposisi darah (Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2013). Pemeriksaan darah tepi dapat menggunakan apusan darah tipis. Apusan darah tipis merupakan sediaan apusan darah dengan ketebalan yang semakin berkurang saat mendekati ujungnya yang berbentuk seperti bulu. Pada ujung tersebut, sel-sel darah dapat terlihat jelas tanpa saling 22 bersentuhan, sehingga lebih mudah diidentifikasi (Pramudianti, 2013). Cara pembuatan apusan darah tipis adalah (Pramudianti, 2013): a) Satu tetes darah diletakkan di ujung slide yang sudah dibersihkan dan diberi label berisi nama pasien dan waktu spesimen darah didapatkan b) Slide lain diletakkan dengan sudut 30-450 terhadap tetesan darah, sehingga darah tersebar pada garis pertemuan kedua slide c) Dengan cepat, slide yang berfungsi untuk mengoleskan darah, digerakkan menuju ujung slide satunya Slide apusan darah tipis yang baik memiliki panjang apusan kurang lebih 2/3 panjang slide; terdapat bagian yang tebal, tipis, dan peralihan tebal tipis; apusan lebih sempit dari slide dengan tepi yang halus; bebas goresan, lubang, tonjolan, kerutan, dan kontaminasi. Setelah kering, apusan darah harus diberi pewarnaan supaya pemeriksa dapat mengidentifikasi sel-sel darah di bawah mikroskop. Pewarnaan yang digunakan untuk melihat morfologi sel darah adalah pewarnaan Giemsa. Berikut adalah cara pewarnaan untuk melihat morfologi sel darah di bawah mikroskop (Pramudianti, 2013): 23 a) Slide apusan darah dibiarkan mengering b) Slide digenangi dengan larutan giemsa selama 2 menit c) Slide digenangi dengan larutan penyangga yang memiliki pH 6.4-6.8 d) Alirkan air secara tidak langsung mengenai slide, kurang lebih 30 detik e) Letakkan slide miring di rak pengering f) Setelah kering, baca di bawah mikroskop Pembagian zona apusan darah yang dapat diamati melalui mikroskop (Pramudianti, 2013): a) Zona I: Zona ireguler (± 3%) Penyebaran tidak teratur, bergerombol sedikit/banyak dan tidak selalu sama pada tiap preparat. b) Zona II: zona tipis (± 14%) Penyebaran tidak teratur, saling bertumpukan dan berdesakan. c) Zona III: zona tebal (± 45%) Penyebaran sel darah rapat/padat, saling bertumpukan dan berdesakan. d) Zona IV: zona tipis (± 18%) Penyebaran tidak teratur, saling bertumpukan dan berdesakan. e) Zona V: counting area/zona reguler (± 11%) 24 Sel-sel tersebar secara merata, tidak saling bertumpukan dan berdesakan, bentuknya terlihat masih utuh. f) Zona VI: zona sangat tipis (± 9%) Daerah sebelum ekor terlihat eritrosit tersusun longgar, cenderung membentuk gerombolan sel-sel yang berderet. Gambar 2.1. Pembagian Zona Apusan Darah d. Indikasi Pemeriksaan Darah Tepi Seorang dokter dapat meminta laboratorium untuk melakukan pemeriksaan apusan darah tepi atas indikasi (Bain, 2005): 1) Keadaan terjadinya klinis pasien anemia, menunjukkan ikterus yang kemungkinan tidak diketahui penyebabnya. 2) Keadaan klinis pasien menunjukkan kemungkinan terjadi penyakit sel sabit – pada pemeriksaan fisik anak 25 ditemukan keadaan splenomegali mendadak dan kepucatan, atau pada orang dewasa ditemukan nyeri pada ekstremitas, abdomen, atau dada 3) Keadaan klinis pasien menunjukkan adanya kemungkinan terjadi trombositopenia (contohnya ditemukannya petechiae atau memar abnormal) atau neutropenia (contohnya terjadinya infeksi berat yang tidak terduga) 4) Keadaan klinis pasien menunjukkan adanya kemungkinan terjadi limfoma atau kelainan limfoproliferatif lainnya, seperti limfadenopati, splenomegali, pembesaran kelenjar timus maupun organ limfoid lainnya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri pada tulang dan gejala sistemik seperti demam, berkeringat, dan penurunan berat badan 5) Keadaan klinis pasien menunjukkan adanya kemungkinan terjadi kelainan myeloproliferatif 6) Kecurigaan adanya koagulasi intravaskular yang meluas 7) Pada keadaan ginjal yang membesar atau pada pasien dengan gagal ginjal akut, terutama pasien anak 8) Kecurigaan adanya infeksi bakteri atau parasit yang bisa didiagnosis dengan apusan darah, seperti malaria 9) Pada penyakit-penyakit secara umum, biasanya pada pasien yang datang dengan demam dan malaise yang menunjukkan keadaan infeksi. 26 4. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Morfologi Leukosit a. Pemakaian EDTA berlebihan Penggunaan EDTA yang tidak sesuai dengan perbandingan darah dan antikoagulan dapat menyebabkan perubahan morfologi leukosit, terutama neutrofil. Perubahan morfologi neutrofil disebabkan oleh pembengkakan sel, hilangnya lobus neutrofil, dan disintegrasi sel (Sukorini et al., 2007). b. Penundaan pemeriksan yang terlalu lama Analisis pemeriksaan darah tepi harus dilakukan maksimal 2 jam setelah spesimen dikeluarkan dari tubuh pasien. Penundaan pemeriksaan yang terlalu lama dapat menyebabkan degenerasi elemen darah, termasuk leukosit (Adewoyin dan Nwogoh, 2014). 27 B. Kerangka Pemikiran Pemeriksaan Darah Tepi Leukosit Eritrosit Trombosit Parasit Penundaan Pemeriksaan Waktu Penundaan Pemberian EDTA berlebihan Perubahan Morfologi Leukosit Keterangan : diteliti : tidak diteliti Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran C. Hipotesis Ada pengaruh waktu penundaan preparasi spesimen darah tepi terhardap perubahan morfologi leukosit darah tepi.