Contoh sastra bandingan

advertisement
PERSPEKTIF KRITIK SASTRA FEMINIS
DAN KESETARAAN GENDER : KAJIAN SASTRA BANDINGAN
TERHADAP NOVEL CIUMAN DI BAWAH HUJAN
DAN ONE FOR THE MONEY
Oleh: Maulfi Syaiful Rizal (09745039)
Abstrak
Kaum laki-laki dan kaum perempuan pada dasrnya memiliki posisi yang
sama atau memiliki kesetaraan gender. Hal ini yang ada dalam novel karya Lan
Fang yang berjudul Ciuman Di Bawah Hujan dan novel karya Janet Evanovich
yang berjudul One For The Money. Dalam kedua novel tersebut, kaum
perempuan bisa bekerja seperti kaum laki-laki dan melakukan pekerjaan yang
dilakukan oleh laki-laki dan juga memiliki kedudukan yang setara jika diberikan
kesempatan untuk melakukannya. Selain itu, perempuan sering mengalami
kemarginalan dalam hidup yang mereka jalani dan juga mengalami
ketidakadilan. Perempuan sering digambarkan atau dilukiskan melalui bentuk
fisiknya bahkan perempuan merupakan simbol seks. Hal ini yang menjadikan
posisi perempuan selalu kalah oleh laki-laki.
PENDAHULUAN
Sastra tidak lahir dari kekosongan. Sastra adalah gambar kehidupan yang
ada di sekitar kita karena sastra adalah cerminan masyarakat. Sastra adalah dunia
kecil yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat masalah-masalah
kehidupan yang bersumber dari realitas sosial atau kehidupan lingkungan sosial
yang ada di alam pikiran pengarang maupun yang dilihat oleh pengarang. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Damono dalam Najid (2003:9) bahwa
sastra adalah cermin kehidupan. Sastra merupakan kristalisasi nilai dan
pengalaman hidup.
Karya sastra merupakan cermin masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat
yang ada di dalam teori mimetik. Sebagai sebuah cermin masyarakat, karya sastra
merupakan cermin realitas sosial yang ada di masyarakat. Kenyataan yang terus
berkembang dan tetap hidup sampai sekarang adalah posisi dan tugas perempuan
dan laki-laki sesuai kodratnya di dalam kehidupan.
PEMBAHASAN
Kesetaraan Gender dalam dalam Novel “Ciuman Di Bawah Hujan” dan
Novel “One For The Money”
Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan
dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang mendudukkan posisi
perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior. Berarti gender
itu menggambarkan tentang perbedaan status sosial antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa gender dan jenis kelamin yaitu femininmaskulin ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali
infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas
mengandung pengertian psikologis kultural, seseorang tidak dilahirkan ”sebagai”
perempuan, melainkan ”menjadi” perempuan (Ratna, 2009: 184-185).
Di dalam kedua novel ini, penulis mencoba menulis tentang kesetaraan
gender dan posisi perempuan di dalam kehidupan. Dalam beberapa tahun terakhir,
masalah kesetaraan gender menjadi masalah yang sering diperdebatkan. Hal ini
tidak lepas dari pendapat yang mengatakan bahwa perempuan juga bisa
melakukan apa yang laki-laki lakukan. Jadi, mereka beranggapan bahwa
perempuan memiliki posisi yang sama di dalam kehidupan. Kalau dulu
perempuan hanya dianggap remeh yang hanya bisa berada di rumah dan mengurus
rumah tangga, sekarang pendapat itu mulai berubah karena perempuan juga bisa
menjadi pekerja atau perempuan karir. Bahkan perempuan juga bisa sekolah
sampai dia bisa menggapainya seperti laki-laki yang bisa sekolah sampai setingitingginya.
Penulis mencoba untuk mendeskripsikan pandangannya terhadap realitas
yang menyatakan bahwa banyak perempuan yang bisa menyamai peran laki-laki.
Pandangan tersebut muncul ketika membaca novel Ciuman Di Bawah Hujan dan
novel One For The Money ini. Dalam kedua novel ini, penulis mewakilkan
gagasannya terkait peran kaum perempuan dalam pekerjaan. Dalam dunia
globalisasi sekarang ini, yang bekerja tidak hanya laki-laki atau yang menjadi
tulang punggung keluarga tidak hanya laki-laki., tetapi kaum perempuan juga bisa
bekerja untuk membantu keluarganya bahkan menjadi tulang punggung keluarga
dalam kehidupan. Selain itu, kaum perempuan juga mampu mencari pekerjaan
untuk menghidupi kebutuhannya sendiri. Hal tersebut tercermin dari kutipan di
bawah ini:
“Otakku yang sederhana, tidak terlalu pusing untuk menghitung berapa
keuntungan yang dia dapat dalam sebulan, asalkan aku menerima uang
gajiku yang cukup untuk membayar uang sekolah adik-adikku, karena ibu
hanya hanya memiliki sepetak kecil sawah warisan dari bapak.” (Lan
Fang, 2010:122).
Kutipan di atas merupakan sebuah kutipan dari novel yang ditulis oleh
Fung Lin. Dari kutipan di atas, kesetaraan gender sudah tercermin di dalamnya.
Kutipan tersebut berisi potret kehidupan seorang anak perempuan yang harus
membantu orang tuanya untuk membiayai uang sekolah adik-adiknya. Di sini,
seorang anak perempuan digambarkan seperti laki-laki yang harus bekerja untuk
membantu memenuhi kebetuhan hidup keluarganya. Kutipan tersebut juga tidak
memasalahkan jika perempuan harus bekerja tidak hanya laki-laki. Dalam
kehidupan yang modern sekarang ini, pandangan yang patriarki yang men gatakan
bahwa yang bekerja harus laki-laki sudah mulai hilang. Hal ini dikarenakan
kondisi yang ada sekarang ini yang menuntut semua orang untuk bekerja, tidak
hanya laki-laki saja. Hal ini juga tercermin dalam kutipan di atas. Kutipan di atas
menggambarkan seorang anak perempuan yang harus bekerja keras karena
kondisi dan juga tuntutan zaman.
Hal tersebut juga tampak dari kutipan novel One For The Money di bawah
ini:
.... Singgah di lampu merah, aku melirik spion dan menyumpah begitu
melihat Lenny Gruber dalam sedan perunggu, dua mobil di belakangku.
Kujedotkan jidatku ke setir. “Setan”. Aku satu SMU dengan Gruber. Dulu
dia bedebah, dan sekarangpun masih bedebah. Sialnya, dia bedebah yang
punya wewenang: pelunasan Matia ini bermasalah, dan Gruber bekerja
sebagai juru sita. (Evanovich, 2006: 11).
Dalam kutipan di atas, terlihat jelas pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh lakilaki yaitu sebagai juru sita tetapi juga bisa dilakukan oleh seorang perempuan.
Dalam hal ini, kesetaraan gender yang selama ini diperdebatkan di negara
Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah di dunia barat apalagi di negara
Amerika Serikat. Hal tersebut terlihat dalam kutipan novel di atas yang
mengambil latar belakang kehidupan masyarakat yang ada di negara Amerika
Serikat. Dari kutipan novel di atas, pekerjaan juru sita yang di negara kita masih
didominasi oleh kaum laki-laki, di Amerika pekerjaan tersebut juga bisa dilakukan
oleh kaum perempuan, tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki.
Selain karena tuntutan dan kondisi zaman sekarang ini, perempuan juga
bisa bekerja seperti kaum laki-laki dilihat dari kemampuan yang dimiliki oleh
kaum perempuan sesuai dengan bidangnya. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah
ini:
“Yau Man memberikan kebebasan ruang gerak yang cukup luas untukku
sehingga aku banyak mengisinya dengan berorganisasi di banyak
kegiatan. Dari sekedar kegiatan seni dan teater sampai aku aktif di NGO
semacam LSM di Hong Kong yang berada di bawah Indonesian Migrant
Workers Union.
Terakhir Yau Man mereferensiku kepada pemilik tabloid yang beredar di
Hong Kong. Aku diterima bekerja sebagai korespondennya untuk
wilayah Hong Kong.” (Lan Fang, 2010:242).
Kutipan di atas menceritakan kisah TKW yang bekerja di Hongkong yang
merupakan cerita yang ditulis oleh Fung Lin dalam novel yang akan dibuatnya.
Dari kutipan di atas, peran perempuan dan juga kerja yang dilakukan oleh
perempuan tidak hanya bekerja di dapur atau di rumah tetapi jiga bisa bekerja di
kantor. Dalam kutipan di atas, seorng perempuan juga bisa bergerak bebas sesuai
dengan apa yang dia inginkan dan sesuai dengan tujuan yang ingin dia capai.
Kebebasan gerak ini yang menjadikan tokoh dalam kutipan tersebut memiliki
peran yang sama dengan laki-laki. Kalau selama ini yang bebas bergerak
menentukan apa yang diinginkan adalah kaum laki-laki, maka hal itu ditentang
dalam kutipan di atas. Kaum perempuan juga bebas bergerak untuk menentukan
arah hidupnya.
Hal tersebut juga terdapat dalam novel One For The Money. Di dalam
novel tersebut diceritakan bahwa sang tokoh utama dipecat dari pekerjaannya dan
akhirnya dia diberi saran oleh orang tuanya untuk mencoba menghubungi
sepupunya yang bekerja sebagai pemimpin perusahaan sebuah agen yang dapat
menyelesaikan masalah-masalah tindak pidana ringan (hal 20). Dari penjelasan di
atas dapat dikatakan bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi pemimpin pada
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang memerlukan usaha yang
keras dan juga mengandalkan fisik. Hal ini juga menandakan bahwa perempuan
itu bebas bergerak dengan menentukan pekerjaan apa yang ingin dilakukannya
asalkan itu dapat memenuhi kebutuhannya.
Selain bebas bergerak, salah satu yang menyetarakan posisi laki-laki
dengan perempuan adalah pekerjaan. Di dalam pekerjaan biasanya kaum
perempuan selalu di bawah, tetapi berdasarkan kemampuan yang kaum
perempuan miliki hal itu bisa diubah. Hal ini tampak dalam kutipan di atas.
Kutipan di atas menceritakan pekerjaan yang diperoleh sang tokoh yaitu sebagai
seorang responden dari sebuah majalah di Hongkong karena atas rekomendasi
dari majikannya di Hongkong karena kemampuan yang dia miliki. Hal ini berawal
dari perintah yang diberikan oleh majikannya untuk membantu melihat email
yang masuk ke alamat email majikannya dan ternyata dia lancar. Karena hl
tersebut, dia direkomendasikan menjadi seoarang responden di majalah tempat
majikannya bekerja (hal 119).
Selain itu, kesetaraan gender yang ada dalam novel ini juga dilihat dari
adanya pejabat dari kaum perempuan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah
ini:
”Diantara mereka juga ada tiga perempuan. Perempuan-perempuan itu
tampak cantik. Lipstik mereka menyala sehinggah memberikan kesan bibir
yang segar. Salah seorang diantara mereka mengenakan kebaya yang
mengilat. Selendangnya disampirkan ke bahu dan berkibar-kibar ditiup
angin. Mirip bidadari turun dari langit, pikir Fung Lin. (Lan Fang,
2010:63).
Dari kutipan di atas, kita bisa melihat bahwa tidak hanya laki-laki yang menjadi
pejabat, tetapi perempuan juga bisa menjadi pejabat. Dalam hal ini, tidak hanya
laki-laki yang bisa menjadi pemimpin, perempuan juga bisa menjadi pemimpin.
Pandangan seperti inilah yang menandakan bahwa kaum perempuan juga bisa
seperti kaum laki-laki asal diberikan kesempatan. Kesempatan tersebut juga harus
diiringi dengan kemampuan yang dimiliki oleh kaum perempuan maupun kaum
laki-laki.
Dari kutipan-kutipan di atas, kesetaraan antara kaum laki-laki dengan
kaum perempuan bisa dilihat dari banyak hal diantaranya adalah posisi mereka di
dalam kehidupan dan pekerjaan yang mereka peroleh. Dalam kutipan di atas, hal
tersebut tampak dari sosok Ngatinah yang dihadirkan oleh Lan Fang melalui novel
yang dibuat oleh Fung Lin yang harus menjadi tulang punggung keluarga dan juga
dari segi menjadi seorang pejabat. Selain itu, dari novel One For The Money
kesetaraan gender yang terlihat dari pekerjaan yang dilakukan oleh sang tokoh
utama yang bernama Stephanie Plum yang menjadi agen penyelesaian masalah
tindak perkara ringan yang harus mencari buronan polisi. Kesetaraan gender inilah
yang ingin diangkat oleh Lan Fang dalam novelnya dan juga Janet Evanovich
dalam novelnya yang merupakan novel terpopuler pada tahun tersebut di Amerika
Serikat.
Penggambaran Perempuan dalam Novel “Ciuman Di Bawah Hujan” dan
Novel “One For The Money”
Ratna (2009:221) mengatakan bahwa feminisme memandang manusia
memiliki kodrat yang sama secara natural (nature), tetapi peran laki-laki dan peran
perempuan dapat dibedakan dalam masyarakat melalui kebudayaan atau budaya.
Secara umum keturunan berpusat pada ayah (patriarki), segala sesuatu
penentunya adalah laki-laki atau dengan kata lain berpusat pada laki-laki
(phalocentrik), gaya menulis adalah gaya menulis laki-laki (pallogencentric
writing), ditulis oleh laki-laki (androtext), yang menafkahi adalah laki-laki dan
lain sebagainya. Dengan demikian hubungan antara studi kultural dengan feminis
dan gender terjadi sebagai akibat kontradiksi perempuan yang tersubordinasi atas
kebudayaan.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan deskripsi tentang
perempuan dalam kedua novel ini. Penggambaran perempuan dalam kedua novel
ini bisa dilihat dari penggambaran perempuan yang hanya dilihat dari segi fisik
saja. Seolah-olah perempuan hanya menarik dari segi fisik saja. Hal ini terlihat
dari kutipan di bawah ini:
“Ari mencuri lihat Fung Lin. Kali ini ia mendapati yang beriak bukan
Cuma matanya yang segaris. Tetapi juga bibir perempuan itu sudah
membentuk garis lurus yang melengkung tajam. Alis dan keningnya
berkerut-kerut membentuk gelombang kecil di dahi.....” (Lan Fang,
2010:20).
Berdasarkan kutipan di atas, perempuan sering digambarkan dari segi fisiknya
saja. Hal inilah yang menjadikan posisi perempuan sering termarginalkan karena
sering digambarkan hanya dari segi fisik. Setiap laki-laki kalau menilai
perempuan pasti melihat dari segi fisiknya terlebih dahulu. Hal ini yang
membedakan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki jarang dipandang dari segi
fisiknya tetapi lebih pada kekayaan atau materi yang dia miliki. Tampak jelas dari
kutipan di atas bahwa laki-laki sering mengamati perempuan dari tubuh
perempuan itu sendiri.
Hal di atas juga terlihat dalam novel One For The Money. Hal tersebut
terlihat dari kutipan di bawah ini:
“Seharusnya kamu pakai gaun,” cela Ibu seraya menyajikan buncis dan
krim bawang mutiara di atas meja. “Umumrmu 30 dan gayamu masih
kayak ABG. Bagaimana mau menjerat pria baik-baik kalau begitu?”
(Evanovich, 2006:15).
Berdasarkan kutipan di atas, perempuan masih saja beranggapan bahwa laki-laki
itu hanya bisa ditarik dengan mengandalkan bentuk fisik dari perempuan itu saja.
Seorang laki-laki dalam kutipan novel di atas akan tertarik jika melihat wanita
dari segi fisik atau lahiriah saja. Hal inilah yang menjadikan pandangan terhadap
wanita itu hanya menarik jika kita menilai atau melihat dari segi fisik saja dan
inilah yang kali pertama dilakukan untuk menilai seoarang perempuan yaitu dari
segi fisk saja. Hal inilah yang tergambar dari kutipan kedua novel tersebut.
Hal di atas hanya contoh kecil saja dari penggambaran fisik dari sosok
perempuan. Selain itu, perempuan juga sering dimarginalkan sebagai simbol seks.
Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini:
“Mama Lie Ming memang tidak berhenti sampai telinganya saja.
Perempuan setengah baya itu kemudian memutar-mutar tubuhnya. Lalu ia
meraba pinggang dan pinggulnya. Kemudian perempuan itu tertawa,
“Hahaha...., boleh juga.... dia bisa melahirkan banyak anak laki-laki.” (Lan
Fang, 2010:151).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa perempuan adalah objek laki-laki dan hanya
untuk melahirkan saja. Banyak orang berpikir bahwa tubuh perempuan itu indah,
molek, lentur, dan dianggap sebagai citra baku melalui lekuk-lekuk tubuhnya.
Anggapan seperti ini tetap berkembang karena tidak hanya laki-laki saja yang
memandang perempuan dari segi bentuk saja bahkan sebagai simbol seks, tetapi
perempuan juga ada memiliki pandangan atau anggapan yang sama terhadap
perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di atas. Kutipan di atas
menunjukkan bahwa orang tua dalam memilih pasangan untuk anaknya melihat
dari segi bentuk saja apakah bisa melahirkan anak banyak. Hal inilah yang
membuat laki-laki selalu merasa menang dibandingkan perempuan karena
pandangan tersebut didukung sendiri oleh kaum perempuan.
Seperti yang dikatakan pada penjelasan di atas, selain dilihat dari segi fisik
atau lahariah saja ketika menilai seorang perempuan, perempuan juga sering
dijadikan sebagai simbol seks seperti yang terdapat di kutipan novel Ciuman Di
Bawah Hujan di atas. Selain dalam novel tersebut, pandangan perempuan sebagai
simbol seks juga terdapat dalam novel One For The Money di bawah ini:
“Mungkin kita bisa mengatur kesepakatan,” tawarku pada Gruber.
“Apakah melibatkan tubuhmu dalam keadaan telanjang?” (Evanovich,
2006:12).
Dalam kutipan di atas, kadang untuk menyelasaikan masalah yang dihadapi oleh
seorang perempuan bisa diselesaikan dengan seks. Hal inilah yang menjadikan
kaum perempuan lebih mudah dikaitkan sebagai simbol seks dibandingkan
dengan laki-laki. Dalam kutipan di atas, tidak hanya laki-laki yang menginginkan
dan juga mendukung hal tersebut tetapi juga kaum perempuan yang mendukung
pandangan tersebut. Dalam kutipan di atas, Lenny Gruber memberikan tawaran
untuk menyelesaikan masalah yang menimpa sang tokoh utama yaitu Stephanie
Plum agar mobilnya tidak disita yaitu dengan bertelanjang dihadapan Lenny. Hal
inilah yang menjadikan pandangan atau pendapat bahwa perempuan sering
dikaitkan sebagai simbol seks juga didukung oleh kaum perempuan itu sendiri.
Selain termarginalkan dari segi fisik saja, perempuan juga sering
mengalami ketidakadilan dalam beberapa masalah yang ada terutama di bidang
politik. Hal ini bisa dilihat dari kutipan di bawah ini:
“Sudah terlalu banyak legenda, mitos bahkah sejarah mencatat perempuan
sebagai sumber kekacauan dan biang kegagalan para politisi.....” (Lan
Fang, 2010:214).
Dalam kutipan di atas, kita bisa melihat bahwa wanita sering mengalami
ketidakadilan karena sering dianggap sebagai pokok masalah dari hancurnya karir
politisi. Tidak hanya sebagai sumber masalah yang dihadapi oleh politisi tetapi
juga menjadi sumber kekacauan yang dialami oleh politisi. Hal ini yang sering
menjadikan perempuan memiliki posisi yang lemah ketika harus berhadapan
dengan politik karena mereka sering dianggap sebagai biang kekacauan dan
kegagalan para politisi. Dan kenyataan tersebut memang terjadi karena tergiur
dengan perempuan, politisi bisa kehilangan karir politiknya.
Hal tersebut juga di dukung oleh kutipan di bawah ini:
“.... Perempuan dijadikan umpan lezat bagi pertandingan para politisi.
Masyarakat melahap dan mengunyahnya untuk kemudian dimuntahkan
kembali. Maka perempuan-perempuan yang awalnya bukan apa-apa
langsung melejit menjadi apa-apa, sedangkan politisi-politisi yang
awalnya tidak apa-apa, langsung kena apa-apa.” (Lan Fang, 2010:128).
Kutipan di atas menunjukkan adanya ketiadakadilan yang dialami oleh
perempuan. Di dunia politik, perempuan hanya dijadikan sebagai alat saja untuk
menjadi terkenal di mata masyarakat meskipun itu menggunakan cara-cara yang
salah atau keliru. Selain itu, perempuan juga sering dijadikan sebagai umpan
dalam pertandingan antara politisi yang satu dengan yang lainnya, mungkin
dengan cara saling memberikan perempuan untuk menemani meeka sehingga
mereka bisa salaing bertukar informasi tentang masalah yang dialami dalam
bidang politik maupun yang lainnya. Hal ini yang menjadikan perempuan itu
selalu memiliki posisi yang sering ditindas dan laki-laki merasa bahwa dirinya
lebih baik dibandingkan kaum perempuan.
Kalau di dalam novel Ciuman Di Bawah Hujan karya Lan Fang wanita
termarginalkan karena selau menjadi korban dalam dunia politik, hal ini sedikit
berbeda dengan apa yang ditulis dalam novel One For The Money karya Janet
Evanovich. Hal tersebut terdapat dalam beberapa kutipan di bawah ini:
“Apa nama permainan ini?” tanyaku pada Joseph Morelli
“Ting-ting,” sahutnya sambil jongkok, berlutut, lalu merangkak ke antara
pahaku, dan kepalanya nyangkut di kolong rok pendekku yang berwarna
merah jambu. “Kamu jadi terowongan, aku jadi kereta.” (Evanovich,
2006:8)
....................
Dua pekan sesudahnya, Joe Morelli datang ke Tasty Pastry, tempatku
bekerja saban hari sepulang sekolah. Ia memesan cannoli bertabur butiran
coklat, berceriat bahwa ia bergabung dengan angkatan laut, dan secara
ajaib melucuti celana dalamku, empat menit selepas tutup toko, di ubin
Tasty Pastry, di belakang konter kue sus rasa coklat (Evanovich, 2006:10).
Dalam kutipan novel di atas, terlihat jelas bahwa kaum perempuan sering
termarginalkan dalam kehidupan seks. Mereka selalu berada di bawah tekanan
atau kekuasaan laki-laki meskipun itu berhubungan dengan masalah seks.
Meskipun perempuan sudah tahu bahwa laki-laki yang dekat dengan dia adalah
seorang yang jahat yang selalu mempermainkan perempuan tetapi tetap saja
mereka kalah atau berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam masalah seks.
Kalau bagian awal dikatakan bahwa wanita sering dikaitkan sebagai simbol seks
tetapi dalam kutipan novel di atas dikatakan bahwa wanita termarginalkan dalam
masalah seks. Pendapat seperti inilah yang penulis dapatkan ketika mambaca dan
menganalisis kedua novel tersebut.
Simpulan
Kaum laki-laki dan kaum perempuan pada dasarnya memiliki posisi yang
sama atau memiliki kesetaraan gender. Kaum perempuan bisa bekerja seperti
kaum laki-laki dan melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan juga
memiliki kedudukan yang setara jika diberikan kesempatan untuk melakukannya.
Selain itu, perempuan sering mengalami kemarginalan dalam hidup yang mereka
jalani dan juga mengalami ketidakadilan. Perempuan sering digambarkan atau
dilukiskan melalui bentuk fisiknya bahkan perempuan merupakan simbol seks.
Hal ini yang menjadikan posisi perempuan selalu kalah oleh laki-laki.
Daftar Rujukan
Evanovich, Janet. 2006. One For The Money (Uang Nomor Satu). New York: St.
Martin’s Griffin.
Lan Fang. 2010. Ciuman Di Bawah Hujan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unversity Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Download