PERSPEKTIF KRITIK SASTRA FEMINIS DAN KESETARAAN GENDER : KAJIAN SASTRA BANDINGAN TERHADAP NOVEL CIUMAN DI BAWAH HUJAN DAN ONE FOR THE MONEY Oleh: Maulfi Syaiful Rizal (09745039) Abstrak Kaum laki-laki dan kaum perempuan pada dasrnya memiliki posisi yang sama atau memiliki kesetaraan gender. Hal ini yang ada dalam novel karya Lan Fang yang berjudul Ciuman Di Bawah Hujan dan novel karya Janet Evanovich yang berjudul One For The Money. Dalam kedua novel tersebut, kaum perempuan bisa bekerja seperti kaum laki-laki dan melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan juga memiliki kedudukan yang setara jika diberikan kesempatan untuk melakukannya. Selain itu, perempuan sering mengalami kemarginalan dalam hidup yang mereka jalani dan juga mengalami ketidakadilan. Perempuan sering digambarkan atau dilukiskan melalui bentuk fisiknya bahkan perempuan merupakan simbol seks. Hal ini yang menjadikan posisi perempuan selalu kalah oleh laki-laki. PENDAHULUAN Sastra tidak lahir dari kekosongan. Sastra adalah gambar kehidupan yang ada di sekitar kita karena sastra adalah cerminan masyarakat. Sastra adalah dunia kecil yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat masalah-masalah kehidupan yang bersumber dari realitas sosial atau kehidupan lingkungan sosial yang ada di alam pikiran pengarang maupun yang dilihat oleh pengarang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Damono dalam Najid (2003:9) bahwa sastra adalah cermin kehidupan. Sastra merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Karya sastra merupakan cermin masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang ada di dalam teori mimetik. Sebagai sebuah cermin masyarakat, karya sastra merupakan cermin realitas sosial yang ada di masyarakat. Kenyataan yang terus berkembang dan tetap hidup sampai sekarang adalah posisi dan tugas perempuan dan laki-laki sesuai kodratnya di dalam kehidupan. PEMBAHASAN Kesetaraan Gender dalam dalam Novel “Ciuman Di Bawah Hujan” dan Novel “One For The Money” Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang mendudukkan posisi perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior. Berarti gender itu menggambarkan tentang perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa gender dan jenis kelamin yaitu femininmaskulin ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas mengandung pengertian psikologis kultural, seseorang tidak dilahirkan ”sebagai” perempuan, melainkan ”menjadi” perempuan (Ratna, 2009: 184-185). Di dalam kedua novel ini, penulis mencoba menulis tentang kesetaraan gender dan posisi perempuan di dalam kehidupan. Dalam beberapa tahun terakhir, masalah kesetaraan gender menjadi masalah yang sering diperdebatkan. Hal ini tidak lepas dari pendapat yang mengatakan bahwa perempuan juga bisa melakukan apa yang laki-laki lakukan. Jadi, mereka beranggapan bahwa perempuan memiliki posisi yang sama di dalam kehidupan. Kalau dulu perempuan hanya dianggap remeh yang hanya bisa berada di rumah dan mengurus rumah tangga, sekarang pendapat itu mulai berubah karena perempuan juga bisa menjadi pekerja atau perempuan karir. Bahkan perempuan juga bisa sekolah sampai dia bisa menggapainya seperti laki-laki yang bisa sekolah sampai setingitingginya. Penulis mencoba untuk mendeskripsikan pandangannya terhadap realitas yang menyatakan bahwa banyak perempuan yang bisa menyamai peran laki-laki. Pandangan tersebut muncul ketika membaca novel Ciuman Di Bawah Hujan dan novel One For The Money ini. Dalam kedua novel ini, penulis mewakilkan gagasannya terkait peran kaum perempuan dalam pekerjaan. Dalam dunia globalisasi sekarang ini, yang bekerja tidak hanya laki-laki atau yang menjadi tulang punggung keluarga tidak hanya laki-laki., tetapi kaum perempuan juga bisa bekerja untuk membantu keluarganya bahkan menjadi tulang punggung keluarga dalam kehidupan. Selain itu, kaum perempuan juga mampu mencari pekerjaan untuk menghidupi kebutuhannya sendiri. Hal tersebut tercermin dari kutipan di bawah ini: “Otakku yang sederhana, tidak terlalu pusing untuk menghitung berapa keuntungan yang dia dapat dalam sebulan, asalkan aku menerima uang gajiku yang cukup untuk membayar uang sekolah adik-adikku, karena ibu hanya hanya memiliki sepetak kecil sawah warisan dari bapak.” (Lan Fang, 2010:122). Kutipan di atas merupakan sebuah kutipan dari novel yang ditulis oleh Fung Lin. Dari kutipan di atas, kesetaraan gender sudah tercermin di dalamnya. Kutipan tersebut berisi potret kehidupan seorang anak perempuan yang harus membantu orang tuanya untuk membiayai uang sekolah adik-adiknya. Di sini, seorang anak perempuan digambarkan seperti laki-laki yang harus bekerja untuk membantu memenuhi kebetuhan hidup keluarganya. Kutipan tersebut juga tidak memasalahkan jika perempuan harus bekerja tidak hanya laki-laki. Dalam kehidupan yang modern sekarang ini, pandangan yang patriarki yang men gatakan bahwa yang bekerja harus laki-laki sudah mulai hilang. Hal ini dikarenakan kondisi yang ada sekarang ini yang menuntut semua orang untuk bekerja, tidak hanya laki-laki saja. Hal ini juga tercermin dalam kutipan di atas. Kutipan di atas menggambarkan seorang anak perempuan yang harus bekerja keras karena kondisi dan juga tuntutan zaman. Hal tersebut juga tampak dari kutipan novel One For The Money di bawah ini: .... Singgah di lampu merah, aku melirik spion dan menyumpah begitu melihat Lenny Gruber dalam sedan perunggu, dua mobil di belakangku. Kujedotkan jidatku ke setir. “Setan”. Aku satu SMU dengan Gruber. Dulu dia bedebah, dan sekarangpun masih bedebah. Sialnya, dia bedebah yang punya wewenang: pelunasan Matia ini bermasalah, dan Gruber bekerja sebagai juru sita. (Evanovich, 2006: 11). Dalam kutipan di atas, terlihat jelas pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh lakilaki yaitu sebagai juru sita tetapi juga bisa dilakukan oleh seorang perempuan. Dalam hal ini, kesetaraan gender yang selama ini diperdebatkan di negara Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah di dunia barat apalagi di negara Amerika Serikat. Hal tersebut terlihat dalam kutipan novel di atas yang mengambil latar belakang kehidupan masyarakat yang ada di negara Amerika Serikat. Dari kutipan novel di atas, pekerjaan juru sita yang di negara kita masih didominasi oleh kaum laki-laki, di Amerika pekerjaan tersebut juga bisa dilakukan oleh kaum perempuan, tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Selain karena tuntutan dan kondisi zaman sekarang ini, perempuan juga bisa bekerja seperti kaum laki-laki dilihat dari kemampuan yang dimiliki oleh kaum perempuan sesuai dengan bidangnya. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini: “Yau Man memberikan kebebasan ruang gerak yang cukup luas untukku sehingga aku banyak mengisinya dengan berorganisasi di banyak kegiatan. Dari sekedar kegiatan seni dan teater sampai aku aktif di NGO semacam LSM di Hong Kong yang berada di bawah Indonesian Migrant Workers Union. Terakhir Yau Man mereferensiku kepada pemilik tabloid yang beredar di Hong Kong. Aku diterima bekerja sebagai korespondennya untuk wilayah Hong Kong.” (Lan Fang, 2010:242). Kutipan di atas menceritakan kisah TKW yang bekerja di Hongkong yang merupakan cerita yang ditulis oleh Fung Lin dalam novel yang akan dibuatnya. Dari kutipan di atas, peran perempuan dan juga kerja yang dilakukan oleh perempuan tidak hanya bekerja di dapur atau di rumah tetapi jiga bisa bekerja di kantor. Dalam kutipan di atas, seorng perempuan juga bisa bergerak bebas sesuai dengan apa yang dia inginkan dan sesuai dengan tujuan yang ingin dia capai. Kebebasan gerak ini yang menjadikan tokoh dalam kutipan tersebut memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Kalau selama ini yang bebas bergerak menentukan apa yang diinginkan adalah kaum laki-laki, maka hal itu ditentang dalam kutipan di atas. Kaum perempuan juga bebas bergerak untuk menentukan arah hidupnya. Hal tersebut juga terdapat dalam novel One For The Money. Di dalam novel tersebut diceritakan bahwa sang tokoh utama dipecat dari pekerjaannya dan akhirnya dia diberi saran oleh orang tuanya untuk mencoba menghubungi sepupunya yang bekerja sebagai pemimpin perusahaan sebuah agen yang dapat menyelesaikan masalah-masalah tindak pidana ringan (hal 20). Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi pemimpin pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang memerlukan usaha yang keras dan juga mengandalkan fisik. Hal ini juga menandakan bahwa perempuan itu bebas bergerak dengan menentukan pekerjaan apa yang ingin dilakukannya asalkan itu dapat memenuhi kebutuhannya. Selain bebas bergerak, salah satu yang menyetarakan posisi laki-laki dengan perempuan adalah pekerjaan. Di dalam pekerjaan biasanya kaum perempuan selalu di bawah, tetapi berdasarkan kemampuan yang kaum perempuan miliki hal itu bisa diubah. Hal ini tampak dalam kutipan di atas. Kutipan di atas menceritakan pekerjaan yang diperoleh sang tokoh yaitu sebagai seorang responden dari sebuah majalah di Hongkong karena atas rekomendasi dari majikannya di Hongkong karena kemampuan yang dia miliki. Hal ini berawal dari perintah yang diberikan oleh majikannya untuk membantu melihat email yang masuk ke alamat email majikannya dan ternyata dia lancar. Karena hl tersebut, dia direkomendasikan menjadi seoarang responden di majalah tempat majikannya bekerja (hal 119). Selain itu, kesetaraan gender yang ada dalam novel ini juga dilihat dari adanya pejabat dari kaum perempuan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini: ”Diantara mereka juga ada tiga perempuan. Perempuan-perempuan itu tampak cantik. Lipstik mereka menyala sehinggah memberikan kesan bibir yang segar. Salah seorang diantara mereka mengenakan kebaya yang mengilat. Selendangnya disampirkan ke bahu dan berkibar-kibar ditiup angin. Mirip bidadari turun dari langit, pikir Fung Lin. (Lan Fang, 2010:63). Dari kutipan di atas, kita bisa melihat bahwa tidak hanya laki-laki yang menjadi pejabat, tetapi perempuan juga bisa menjadi pejabat. Dalam hal ini, tidak hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin, perempuan juga bisa menjadi pemimpin. Pandangan seperti inilah yang menandakan bahwa kaum perempuan juga bisa seperti kaum laki-laki asal diberikan kesempatan. Kesempatan tersebut juga harus diiringi dengan kemampuan yang dimiliki oleh kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Dari kutipan-kutipan di atas, kesetaraan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan bisa dilihat dari banyak hal diantaranya adalah posisi mereka di dalam kehidupan dan pekerjaan yang mereka peroleh. Dalam kutipan di atas, hal tersebut tampak dari sosok Ngatinah yang dihadirkan oleh Lan Fang melalui novel yang dibuat oleh Fung Lin yang harus menjadi tulang punggung keluarga dan juga dari segi menjadi seorang pejabat. Selain itu, dari novel One For The Money kesetaraan gender yang terlihat dari pekerjaan yang dilakukan oleh sang tokoh utama yang bernama Stephanie Plum yang menjadi agen penyelesaian masalah tindak perkara ringan yang harus mencari buronan polisi. Kesetaraan gender inilah yang ingin diangkat oleh Lan Fang dalam novelnya dan juga Janet Evanovich dalam novelnya yang merupakan novel terpopuler pada tahun tersebut di Amerika Serikat. Penggambaran Perempuan dalam Novel “Ciuman Di Bawah Hujan” dan Novel “One For The Money” Ratna (2009:221) mengatakan bahwa feminisme memandang manusia memiliki kodrat yang sama secara natural (nature), tetapi peran laki-laki dan peran perempuan dapat dibedakan dalam masyarakat melalui kebudayaan atau budaya. Secara umum keturunan berpusat pada ayah (patriarki), segala sesuatu penentunya adalah laki-laki atau dengan kata lain berpusat pada laki-laki (phalocentrik), gaya menulis adalah gaya menulis laki-laki (pallogencentric writing), ditulis oleh laki-laki (androtext), yang menafkahi adalah laki-laki dan lain sebagainya. Dengan demikian hubungan antara studi kultural dengan feminis dan gender terjadi sebagai akibat kontradiksi perempuan yang tersubordinasi atas kebudayaan. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan deskripsi tentang perempuan dalam kedua novel ini. Penggambaran perempuan dalam kedua novel ini bisa dilihat dari penggambaran perempuan yang hanya dilihat dari segi fisik saja. Seolah-olah perempuan hanya menarik dari segi fisik saja. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini: “Ari mencuri lihat Fung Lin. Kali ini ia mendapati yang beriak bukan Cuma matanya yang segaris. Tetapi juga bibir perempuan itu sudah membentuk garis lurus yang melengkung tajam. Alis dan keningnya berkerut-kerut membentuk gelombang kecil di dahi.....” (Lan Fang, 2010:20). Berdasarkan kutipan di atas, perempuan sering digambarkan dari segi fisiknya saja. Hal inilah yang menjadikan posisi perempuan sering termarginalkan karena sering digambarkan hanya dari segi fisik. Setiap laki-laki kalau menilai perempuan pasti melihat dari segi fisiknya terlebih dahulu. Hal ini yang membedakan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki jarang dipandang dari segi fisiknya tetapi lebih pada kekayaan atau materi yang dia miliki. Tampak jelas dari kutipan di atas bahwa laki-laki sering mengamati perempuan dari tubuh perempuan itu sendiri. Hal di atas juga terlihat dalam novel One For The Money. Hal tersebut terlihat dari kutipan di bawah ini: “Seharusnya kamu pakai gaun,” cela Ibu seraya menyajikan buncis dan krim bawang mutiara di atas meja. “Umumrmu 30 dan gayamu masih kayak ABG. Bagaimana mau menjerat pria baik-baik kalau begitu?” (Evanovich, 2006:15). Berdasarkan kutipan di atas, perempuan masih saja beranggapan bahwa laki-laki itu hanya bisa ditarik dengan mengandalkan bentuk fisik dari perempuan itu saja. Seorang laki-laki dalam kutipan novel di atas akan tertarik jika melihat wanita dari segi fisik atau lahiriah saja. Hal inilah yang menjadikan pandangan terhadap wanita itu hanya menarik jika kita menilai atau melihat dari segi fisik saja dan inilah yang kali pertama dilakukan untuk menilai seoarang perempuan yaitu dari segi fisk saja. Hal inilah yang tergambar dari kutipan kedua novel tersebut. Hal di atas hanya contoh kecil saja dari penggambaran fisik dari sosok perempuan. Selain itu, perempuan juga sering dimarginalkan sebagai simbol seks. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini: “Mama Lie Ming memang tidak berhenti sampai telinganya saja. Perempuan setengah baya itu kemudian memutar-mutar tubuhnya. Lalu ia meraba pinggang dan pinggulnya. Kemudian perempuan itu tertawa, “Hahaha...., boleh juga.... dia bisa melahirkan banyak anak laki-laki.” (Lan Fang, 2010:151). Kutipan di atas menunjukkan bahwa perempuan adalah objek laki-laki dan hanya untuk melahirkan saja. Banyak orang berpikir bahwa tubuh perempuan itu indah, molek, lentur, dan dianggap sebagai citra baku melalui lekuk-lekuk tubuhnya. Anggapan seperti ini tetap berkembang karena tidak hanya laki-laki saja yang memandang perempuan dari segi bentuk saja bahkan sebagai simbol seks, tetapi perempuan juga ada memiliki pandangan atau anggapan yang sama terhadap perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan di atas. Kutipan di atas menunjukkan bahwa orang tua dalam memilih pasangan untuk anaknya melihat dari segi bentuk saja apakah bisa melahirkan anak banyak. Hal inilah yang membuat laki-laki selalu merasa menang dibandingkan perempuan karena pandangan tersebut didukung sendiri oleh kaum perempuan. Seperti yang dikatakan pada penjelasan di atas, selain dilihat dari segi fisik atau lahariah saja ketika menilai seorang perempuan, perempuan juga sering dijadikan sebagai simbol seks seperti yang terdapat di kutipan novel Ciuman Di Bawah Hujan di atas. Selain dalam novel tersebut, pandangan perempuan sebagai simbol seks juga terdapat dalam novel One For The Money di bawah ini: “Mungkin kita bisa mengatur kesepakatan,” tawarku pada Gruber. “Apakah melibatkan tubuhmu dalam keadaan telanjang?” (Evanovich, 2006:12). Dalam kutipan di atas, kadang untuk menyelasaikan masalah yang dihadapi oleh seorang perempuan bisa diselesaikan dengan seks. Hal inilah yang menjadikan kaum perempuan lebih mudah dikaitkan sebagai simbol seks dibandingkan dengan laki-laki. Dalam kutipan di atas, tidak hanya laki-laki yang menginginkan dan juga mendukung hal tersebut tetapi juga kaum perempuan yang mendukung pandangan tersebut. Dalam kutipan di atas, Lenny Gruber memberikan tawaran untuk menyelesaikan masalah yang menimpa sang tokoh utama yaitu Stephanie Plum agar mobilnya tidak disita yaitu dengan bertelanjang dihadapan Lenny. Hal inilah yang menjadikan pandangan atau pendapat bahwa perempuan sering dikaitkan sebagai simbol seks juga didukung oleh kaum perempuan itu sendiri. Selain termarginalkan dari segi fisik saja, perempuan juga sering mengalami ketidakadilan dalam beberapa masalah yang ada terutama di bidang politik. Hal ini bisa dilihat dari kutipan di bawah ini: “Sudah terlalu banyak legenda, mitos bahkah sejarah mencatat perempuan sebagai sumber kekacauan dan biang kegagalan para politisi.....” (Lan Fang, 2010:214). Dalam kutipan di atas, kita bisa melihat bahwa wanita sering mengalami ketidakadilan karena sering dianggap sebagai pokok masalah dari hancurnya karir politisi. Tidak hanya sebagai sumber masalah yang dihadapi oleh politisi tetapi juga menjadi sumber kekacauan yang dialami oleh politisi. Hal ini yang sering menjadikan perempuan memiliki posisi yang lemah ketika harus berhadapan dengan politik karena mereka sering dianggap sebagai biang kekacauan dan kegagalan para politisi. Dan kenyataan tersebut memang terjadi karena tergiur dengan perempuan, politisi bisa kehilangan karir politiknya. Hal tersebut juga di dukung oleh kutipan di bawah ini: “.... Perempuan dijadikan umpan lezat bagi pertandingan para politisi. Masyarakat melahap dan mengunyahnya untuk kemudian dimuntahkan kembali. Maka perempuan-perempuan yang awalnya bukan apa-apa langsung melejit menjadi apa-apa, sedangkan politisi-politisi yang awalnya tidak apa-apa, langsung kena apa-apa.” (Lan Fang, 2010:128). Kutipan di atas menunjukkan adanya ketiadakadilan yang dialami oleh perempuan. Di dunia politik, perempuan hanya dijadikan sebagai alat saja untuk menjadi terkenal di mata masyarakat meskipun itu menggunakan cara-cara yang salah atau keliru. Selain itu, perempuan juga sering dijadikan sebagai umpan dalam pertandingan antara politisi yang satu dengan yang lainnya, mungkin dengan cara saling memberikan perempuan untuk menemani meeka sehingga mereka bisa salaing bertukar informasi tentang masalah yang dialami dalam bidang politik maupun yang lainnya. Hal ini yang menjadikan perempuan itu selalu memiliki posisi yang sering ditindas dan laki-laki merasa bahwa dirinya lebih baik dibandingkan kaum perempuan. Kalau di dalam novel Ciuman Di Bawah Hujan karya Lan Fang wanita termarginalkan karena selau menjadi korban dalam dunia politik, hal ini sedikit berbeda dengan apa yang ditulis dalam novel One For The Money karya Janet Evanovich. Hal tersebut terdapat dalam beberapa kutipan di bawah ini: “Apa nama permainan ini?” tanyaku pada Joseph Morelli “Ting-ting,” sahutnya sambil jongkok, berlutut, lalu merangkak ke antara pahaku, dan kepalanya nyangkut di kolong rok pendekku yang berwarna merah jambu. “Kamu jadi terowongan, aku jadi kereta.” (Evanovich, 2006:8) .................... Dua pekan sesudahnya, Joe Morelli datang ke Tasty Pastry, tempatku bekerja saban hari sepulang sekolah. Ia memesan cannoli bertabur butiran coklat, berceriat bahwa ia bergabung dengan angkatan laut, dan secara ajaib melucuti celana dalamku, empat menit selepas tutup toko, di ubin Tasty Pastry, di belakang konter kue sus rasa coklat (Evanovich, 2006:10). Dalam kutipan novel di atas, terlihat jelas bahwa kaum perempuan sering termarginalkan dalam kehidupan seks. Mereka selalu berada di bawah tekanan atau kekuasaan laki-laki meskipun itu berhubungan dengan masalah seks. Meskipun perempuan sudah tahu bahwa laki-laki yang dekat dengan dia adalah seorang yang jahat yang selalu mempermainkan perempuan tetapi tetap saja mereka kalah atau berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam masalah seks. Kalau bagian awal dikatakan bahwa wanita sering dikaitkan sebagai simbol seks tetapi dalam kutipan novel di atas dikatakan bahwa wanita termarginalkan dalam masalah seks. Pendapat seperti inilah yang penulis dapatkan ketika mambaca dan menganalisis kedua novel tersebut. Simpulan Kaum laki-laki dan kaum perempuan pada dasarnya memiliki posisi yang sama atau memiliki kesetaraan gender. Kaum perempuan bisa bekerja seperti kaum laki-laki dan melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan juga memiliki kedudukan yang setara jika diberikan kesempatan untuk melakukannya. Selain itu, perempuan sering mengalami kemarginalan dalam hidup yang mereka jalani dan juga mengalami ketidakadilan. Perempuan sering digambarkan atau dilukiskan melalui bentuk fisiknya bahkan perempuan merupakan simbol seks. Hal ini yang menjadikan posisi perempuan selalu kalah oleh laki-laki. Daftar Rujukan Evanovich, Janet. 2006. One For The Money (Uang Nomor Satu). New York: St. Martin’s Griffin. Lan Fang. 2010. Ciuman Di Bawah Hujan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unversity Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.