HAK DAN KEWAJIBAN MEMBELA DIRI DALAM HUKUM INTERNASIONAL Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional Dosen M. Holly One. NS, SH, MH Disusun Oleh Kelompok : 1. M. Nurzaman 2. Untung Hadi 3. Dedi 4. Dewi Citra PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG 2011 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional, negara pengemban hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak-hak negara yang berhubungan dengan kedudukan negara terhadap negara lain yang sering diutarakan ialah hak kemerdekaan, hak kesederajatan dan hak untuk mempertahankan diri/membela diri. Adapun kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukan negara tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan ialah tidak melakukan perang, melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik dan tidak mencampuri urusan negara lain. Pengertian ini mengandung makna bahwa negara berperan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban dalam hukum internasional, pemegang hak istimewa procedural untuk mengadakan tuntutan di depan Mahkamah Internasional dan juga sebagai pemilik kepentingan yang diatur oleh hukum internasional. Pernyataan yang dikatakan oleh Daniel Webster, seorang dari sekretariat Amerika Serikat. Beliau menyatakan keperluan sebuah pembelaan diri harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. instant (cepat), 2. overwhelming situation (mendukung), 3. leaving no choices of means (tidak ada cara lain), 4. no moment for deliberation (tidak ada waktu untuk menimbang). Syarat-syarat tersebut yang harus dapat dipenuhi oleh sebuah atau sekelompok negara apabila ingin menegakkan hak-nya untuk melakukan pembelaan diri dengan cara menggunakan kekerasan bersenjata. Hak untuk Membela Diri adalah sebuah pengecualian dalam penggunaan paksaan atau kekerasan dalam hukum internasional, meskipun hal ini tidak terlepas dari kontroversi. Salah satu kontroversi adalah hak dalam pembelaan diri secara antisipatif (right of anticipatory self-defense). Dalam pengaturan Pasal 51 digunakan kalimat “if an armed attack occurs…” Hal ini jika dimaknai secara harfiah, maka sebuah serangan bersenjata harus ada terlebih dahulu agar dapat digunakan sebuah kekerasan dalam rangka upaya bela diri. Para pendukung hak dalam pembelaan diri secara antsipatif ini menyatakan bahwa Pasal 51 tidak membatasi keadaan-keadaan menetukan dimana bela diri dapat dilakukan. Ada dua pandangan mengenai hak membela diri. Pertama, adalah Teori kumulatif, teori tersebut menyebutkan bahwa serangan yang dilakukan oleh gerilyawan di sekitar perbatasan dilihat sebagai sebuah keseluruhan. Jadi, tindakan penyerangan terhadap gerilyawan tersebut dapat dilakukan sebagai sebuah antisipasi terhadap kemungkinan serangan berikutnya yang akan dilakukan oleh gerilyawan tersebut. Serangan pencegahan dapat dijustifikasi dalam kerangka hak membela diri antisipatif. Tindakan tersebut harus didasarkan atas serangan yang terus-menerus serta keyakinan bahwa serangan tertentu akan tetap terus berlangsung. Kedua, hak membela diri dilakukan apabila telah terjadi sebuah serangan bersenjata, pendapat ini sepaham dengan bunyi pasal 51. Henkin menyatakan bahwa dalam draft penyusunan pasal 51 tidak ditemukan bahwa penafsiran atas hak membela diri dapat dilakukan secara meluas. Bunyi pasal secara eksplisit menyatakan bahwa hak membela diri timbul ketika terjadi serangan bersenjata. Pasal tersebut tidak boleh diartikan bahwa negara dapat melakukan sebuah serangan lebih dahulu atas asumsi melakukan pembelaan diri. Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). Bowett misalnya mengatakan bahwa pasal 51 diartikan untuk melindungi hak untuk membela diri bukan untuk membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Pelaksanaan hak membela diri apabila dikaitkan dengan pasal 2(4), maka akan terlihat bahwa negara dalam melaksanakan hak-nya tidak boleh menggunakan ancaman atau kekuatan yang mengganggu kesatuan wilayah dan kemerdekaan politik negara lain. Tindakan yang diambil pun tidak boleh bertentangan dengan tujuan PBB itu sendiri yakni, mencapai perdamaian dan keamanan dunia. Bunyi pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Konsep membela diri dalam ketentuan pasal 51 piagam PBB, dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa setiap tindakan bela diri yang dilakukan oleh negara (individu maupun kolektif) harus dilaporkan kepada dewan keamanan sebagai organ PBB yang memiliki otoritas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Kewajiban yang dimiliki oleh pihak yang melakukan tindakan bela diri tersebut dalam prakteknya sulit untuk dilakukan, karena yang biasa terjadi adalah setelah serangan pembelaan diri itu dilakukan, baru kemudian dilaporkan oleh para pihak.