Praktek-Praktek Diskriminasi terhadap Manusia Diawali dari Anak-Anak: Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 24) : 1 I. Pendahuluan Istilah diskriminasi tidak didefinisikan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), termasuk di dalamnya prinsip non diskriminasi. Namun, Komite Hak Asasi Manusia (The Human Rights Committee), melalui Komentar Umum Nomor 18 (General Comment) pada 1989, menekankan bahwa ”non diskriminasi” , kesajajaran di muka hukum dan kesamaan perlindungan hukum tanpa diskriminasi, menjadi basis dan prinsip umum upaya perlindungan hak asasi manusia. Kemudian Komite mengutip Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial2 (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/CERD), yang menyatakan : suatu pembedaan, pengucilan, pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau asal usul etnik atau kebangsaan, yang bertujuan atau berakibat mencabut atau mengurangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, dalam suatu kesederajatan, di bidang pilitik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan lainnya. Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 3 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) juga mendefiniskan hal yang serupa, yakni : setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.4 Lebih lanjut, Komite memberikan catatan bahwa istilah diskriminasi yang digunakan dalam Kovenan harus dipahami menyiratkan setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pilihan politik atau opini lain, asal-usul kebangsaan, kepemilikan, kelahiran atau status lain, yang mana ditujukan atau mengakibatkan dihapuskannya atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau penggunaan oleh setiap manusia berdasarkan kesejajaran kedudukan atas semua hak dan kebebasannya. 5 Dalam konteks diskriminasi terhadap anak Komentar Umum Komite menegaskan bahwa Kovenan meminta bahwa anak harus diberikan perlindungan terhadap diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asal usul kebangsaan dan sosial, kepemilikan atau kelahiran. Sedangkan prinsip-prinsip non diskriminasi, dimaknai sebagai jaminan penikmatan atas semua hak-hak yang dijamin dalam Kovenan (Pasal 2) ; persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan (Pasal 3), persamaan kedudukan di hadapan pengadilan dan badan peradilan (Pasal 14), mempunyai hak dan kesempatan tanpa pembedaan untuk ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan (Pasal 25); dan kesederajatan di muka hukum (Pasal 26); Komitmen negara ditandai dengan sampai sejauhmana praktek-praktek dan legislasi memastikan upayaupaya perlindungan dan penghapusan setiap diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan.6 Lebih jauh Komite juga menekankan bahwa penikmatan hak dan kebebasan atas dasar kesamaan Disampaikan sebagai bahan masukan bagi upaya penyusunan Laporan Alternatif (Inisiatif) Implementasi Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang dikoordinasi oleh HRWG 1 Pemerintah RI telah meratifikasi melalui UU Nomor 29 Tahun 1999 Pemerintah RI telah meratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 4 Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York, 1998, hal. 21 5 ibid 6 Lihat General Comment Nomor 18 : non-discrimination : .10/11/89, par. 3 1 2 3 kedudukan diupayakan melalui tindakan afirmatif (affirmative action) yang ditujukan untuk menghapuskan kondisi-kondisi yang melanggengkan diskriminasi sebagaimana telah dilarang oleh Kovenan.7 Bahasa Pasal 2 KHA diinterpretasi oleh Komite Hak Anak (Committee on the Rigts of the Child) dengan menekankan bahwa kewajiban negara pihak untuk mencegah diskriminasi dalam setiap aspek implementasi yang meliputi tinjauan legislasi, perencanaan strategis, pemantauan, penyadaran publik, pendidikan dan kampanye, dan evaluasi upaya-upaya yang telah diambil untuk mengurangi disparitas. Philip Alston dalam Bulletin of Human Rights memberikan komentar yang menyatakan bahwa istilah hukum internasional kewajiban untuk menghargai (to respect) menyaratkan negara pihak untuk menahan diri dari setiap tindakan yang dapat melanggar setiap hak anak. Di samping itu, kewajiban untuk memastikan (to ensure) menyiratkan kewajiban afirmatif dalam rangka mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan hak-hak anak yang relevan.8 Implementasi prinsip nondiskriminasi diturunkan lebih jauh dengan mengkaitkan ketentuan Pasal 3, Pasal 6, dan Pasal 12. 9 Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, anak-anak dikategorikan sebagai kelompok yang rentan (vulnerable groups), di samping kelompok rentan lainnya seperti : pengungsi (refugees), pengungsi dalam negeri (internally displaced persons/IDP’s), kelompok monoritas (national minorities), pekerja migrant (migrant workers), penduduk asli pedalaman (indigenous peoples), anak-anak (children), dan perempuan (women).10 Kerentanan tersebut semakin bertambah manakala anak-anak menempati dan menjadi bagian dari kelompok rentan tersebut. Dengan demikian negara dibebani kewajiban untuk melakukan intervensi lebih dan tindakan yang berbeda demi mewujudkan terpenuhinya hak-hak anak, terlebih pada anak-anak berada pada situasi dan kondisi kelompok rentan. Sebagai contoh, intervensi negara terhadap anak yang berada dalam pengungsian karena konflik tentu berbeda dengan intervensi pada anakanak yang berada dalam situasi damai. Demikian pula halnya pada anak-anak miskin kota, anakanak penduduk asli pedalaman, anak-anak kelompok minoritas, anak-anak pekerja migran, anak-anak perempuan, dan anak-anak kelompok rentan lainnya. Dalam kerangka hukum KHA, terdapat sekelompok anak yang disebut childern in need of special protection/CNSP atau anakanak dalam situasi khusus. Mengacu pada Komite Hak Anak PBB terdapat 4 (empat) kelompok anak yang termasuk kategori ini11 : 1. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally displaced people)12dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict)13 2. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi 14, penyalahgunaan obat (drug abuse)15, eksplotasi seksual16, perdagangan anak (trafficking17), dan ekploitasi bentuk lainnya18 ibid, hal. 22 ibid 9 ibid 10 Willem Van Genugten J.D dalam Iskandar Hoesin, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, AnakAnak, Suku Terasing, dll) dalam Perspketif HAM, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum VIII, 2003. Pengkategorian serupa juga dilakukan oleh Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Commitee on Economic, Social, and Cultural Rights), mengidentifikasi kelompok rentan sebagai berikut : petani yang tidak memiliki tanah, pekerja di desa, pengangguran di desa, pengangguran di kota, kaum miskin kota, anakanak, usia lanjut, dan kelompok khusus lainnya. Lihat Asbjorn Eide, Hak Atas Standar Hidup yang Layak Termasuk Hak Pangan dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (ed.), Jakarta, 2001, hal. 108. 11 Lihat Overview of the reporting procedured : 24/10/94 CRC/C/33 12 Lihat Pasal 22 KHA 13 Lihat Pasal 38 KHA 14 Lihat Pasal 32 KHA 15 Lihat Pasal 33 KHA 2 7 8 3. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law)19 4. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous people and minorities)20 Sebangun dengan konsep hukum di atas, Vivit Muntarbhorn mengidentifikasi kelompokkelompok anak yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan (children in especially difficult circumstances/ CEDC) sebagai berikut :21 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Anak-anak pedesaan Anak-anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan Anak perempuan Pekerja anak Pelacuran anak Anak-anak diffabel Anak-anak pengungsi dan tidakberkewarganegaraan Anak-anak dalam penjara Anak-anak korban kekerasan dan terlantar Meskipun, eksistensi anak sebagai subyek hukum hak asasi manusia internasional telah dijamin, namun dalam realitanya terdapat kesenjangan antara apa yang seharusnya (das sollen) diidealkan oleh tatanan hukum dengan implementasi dalam kehidupan keseharian anak-anak (das sein). Situasi ini menimbulkan pertanyaan yang bersifat mendasar yakni sampai sejauhmana kesungguhan negara dalam menjalani komitmen untuk memberikan perlindungan secara khusus kepada anak-anak ? Pertanyaan ini menjadi titik acuan untuk melihat keberpihakan negara dalam membuat kebijakan publik yang termanifestasi dalam regulasi dan anggaran publik yang ditujukan secara khusus untuk memenuhi hak-hak anak.22 Data-data berikut mengungkapkan realita kegagalan negara untuk memenuhi kewajiban untuk menghargai (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fullfil), dan memajukan (to promote) hak-hak anak: 1. International Labor Organization (ILO) [Organisasi Buruh Internasional] memperkirakan bahwa terdapat lebih banyak anak perempuan di bawah usia enam belas tahun yang bekerja di bidang jasa rumah tangga dibandingkan dengan kategori pekerjaan buruh anak yang lain. Indonesia, di mana terdapat ratusan ribu anak perempuan yang melakukan pekerjaan berat sebagai pekerja rumah tangga, tidak terkecuali. Menurut ILO, saat ini ada 2,6 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, sedikitnya 688.132, sebagian besar adalah anak-anak perempuan di bawah usia delapan belas tahun, adalah pekerja rumah tangga- anak.23 2. Diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.00070.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun.24 3. Sekitar 1,8 juta anak SD berusia 7 – 12 tahun, dan 4,8 juta anak usia 13 – 15 tahun, tidak bersekolah (SUSENAS, 2002). Jika dilihat dari pendapatan keluarga, jumlah anak Lihat Pasal 34 KHA Lihat pasal 35 KHA 18 Lihat Pasal 36 KHA 19 Lihat Pasal 37, 39, dan 40 KHA 20 Lihat Pasal 30 KHA 21 Candra Gautama, Konvensi Hak Anak : Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta, LSPP, 2001, hal. 6 – 10 22 Lihat Pasal 4 KHA 23 Human Rights Watch, Always on Call Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia, June 2005 Vol. 17, No. 7(C), hal. 7 24 Lembar Fakta tentang Eksploitasi Seks Komersial dan Perdangangan Anak, UNICEF 3 16 17 bersekolah dari setiap kelompok keluarga terpaut jauh. Penduduk dengan pendapatan terendah yang jumlahnya 20 persen dari seluruh penduduk memiliki APM yang jauh lebih rendah (49,9 persen) dibandingkan dengan 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi (72,2 persen).25 Meskipun pelaksanaan kebijakan pendidikan, sejak tahun 1994 telah mengantarkan Indonesia pada angka partisipasi di tingkat sekolah dasar sebesar 94%. Namun demikian, angka partisipasi di tingkat sekolah menengah pertama hanya mencapai 65%.26 4. Angka kematian balita yang memiliki perbedaan dramatis antar propinsi, dengan jangka mulai dari 23 kematian per 1.000 kelahiran hidup hingga 103 kematian per 1000 kelahiran hidup. Sekitar separuh dari jumlah kematian bayi dan anak mungkin bisa dikaitkan pada kekurangan gizi, yang sering diawali dengan rendahnya berat bayi pada saat kelahiran. Tingkat kekurangan berat badan balita memang telah menurun secara nasional, namun masih lebih dari 40 % di kawasan timur Indonesia, dengan perbedaan yang sangat besar dibandingkan bagian barat Indonesia. Kurangnya tinggi badan dan berat badan anak masih tetap tinggi, masing-masing sekitar 34% dan 16 %. Demikian juga halnya dengan wilayah perkotaan dan pedesaan. 76% kematian anak balita terjadi pada usia di bawah 12 bulan, dan sebanyak 45% kematian bayi terjadi pada usia di bawah 28 hari (neonatal). Tiga penyebab utama kematian bayi adalah komplikasi perinatal (di bawah usia 7 hari), infeksi pernapasan akut, dan diare. Sekitar sepertiga kematian balita dan separuh kematian bayi terjadi pada masa perinatal (dibawah usia 7 hari), yang berkaitan dengan layanan penting selama kehamilan dan persalinan. Sedangkan penyebab utama kematian anak (usia 1– 4 tahun) adalah infeksi pernapasan akut, diare, penyakit yang ditularkan melalui binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi.27 5. Sekitar separuh kematian bayi dan anak kemungkinan berkaitan dengan kekurangan gizi yang sering diawali dengan rendahnya berat badan bayi ketika dilahirkan. Kasus kurangnya berat badan anak balita secara nasional telah menurun, tetapi angkanya masih lebih dari 40% di kaw asan timur Indonesia, yang menunjukkan terjadinya kesenjangan antar daerah. Kurangnya tinggi dan berat badan anak masih tetap terjadi, yang angkanya berkisar pada 34 dan 16 %.28 6. Angka kematian ibu masih tinggi, yaitu 307 per 100.000. Sebagai perbandingan angka rata-rata di Asia Timur adalah 110 per 100.000. Penyebab utama kematian ibu antara lain adalah perdarahan, eclampsia (keracunan kehamilan) dan tekanan darah tinggi, komplikasi akibat keguguran, persalinan yang terganggu, serta infeksi. Satu dari empat persalinan masih mengandalkan bantuan dukun bersalin.29 7. Meskipun 73 % rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium pada tahun 2003 (meningkat dari angka yang sebelumnya 50% pada tahun 1995), sekitar 58 juta orang masih beresiko kekurangan yodium. Beberapa survei di tingkat nasional juga menunjukkan tingginya angka anemia di kalangan perempuan hamil (40%) dan perempuan usia subur (28%).30 8. Penyebaran HIV-AIDS di Indonesia masih terkonsentrasi di 12 propinsi, saat yang penting untuk menghindari epidemi yang lebih luas. Cara penularan utama melalui penggunaan narkoba suntik dan hubungan seks menempatkan remaja-remaja Indonesia pada resiko yang lebih tinggi. Pada tahun 2010, diperkirakan ada 110.000 orang yang menderita atau telah meninggal karena AIDS dan satu juta lainnya positif HIV. Meskipun prevalensi HIV diantara perempuan hamil yang menjalani tes kurang dari 3%, data handal bagi masyarakat umum masih kurang. Stigma, diskriminasi dan ketidaktahuan merupakan hambatan utama. Pada tahun 2003, sepertiga remaja putri dan seperlima remaja putra berusia 15-24 tahun belum pernah mendengar tentang HIV-AIDS. Di Lembar Fakta tentang Pendidikan untuk Anak perempuan Indonesia, UNICEF http://www.unicef.org/indonesia/id/SOWCR_2006_bi.pdf 27 ibid 28 ibid 29 ibid 30 ibid 4 25 26 Indonesia, sama halnya dengan kebanyakan negara lain di dunia. Anak-anak masih merupakan kelompok yang belum diperhatikan dalam hal HIV/AIDS. Padahal mereka menanggung beban akibat penyebaran HIV/AIDS, yaitu ketika mereka kehilangan orang tuanya akibat HIV/AIDS. Pada kebanyakan kasus, mereka kemudian terlempar ke jalanan, menjadi buruh anak dan menjajakan seks agar bisa bertahan hidup. Perkiraan Departemen Kesehatan pada 2002 mengenai orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS menunjukkan bahwa 59 anak yang tinggal di jalanan mengidap HIV, virus penyebab AIDS. Jumlah kasus yang dilaporkan mungkin jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan angka yang sebenarnya. Berdasarkan angka kesuburan total sebesar 2,5 pada tahun 2003, diperkirakan ada 2.250 hingga 3.250 bayi yang beresiko tertular HIV setiap tahunnya di Indonesia.31 9. Sekitar 60% anak balita di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran; setengah diantaranya bahkan kelahirannya tidak tercatat dimanapun juga. Anak-anak yang tak tercatat kelahirannya tidak muncul dalam statistik resmi dan tidak diakui sebagai anggota masyarakat. Tanpa identitas yang tercatat, anak-anak tidak ter jamin pendidikan dan kesehatannya, serta layanan-layanan dasar lainnya yang berdampak pada masa kanakkanak dan masa depannya. Tidak adanya pencatatan kelahiran mempertinggi resiko anak terhadap eksploitasi dan pemalsuan umur serta identitas. Terdapat tiga juta anak yang memiliki pekerjaan berbahaya. Setidaknya 30% dari para pekerja seks perempuan di Indonesia berusia dibawah 18 tahun, bahkan ada yang berusia 10 tahun yang dipaksa terlibat dalam pelacuran. Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia dan luar negeri. Sekitar 12% perempuan dinikahkan pada usia sekitar atau sebelum 15 tahun. Sekitar 4.000 hingga 5.000 anak berada di lembaga pemasyarakatan, lembaga rehabilitasi dan penjara; 84% dari anak-anak yang dihukum ini ditahan bersama para penjahat dew asa. Studi baru-baru ini mengungkap bahw a penganiayaan dan kekerasan terhadap anak dan perempuan lazim terjadi di Indonesia, termasuk di rumahrumah, kantor-kantor, dan lembaga-lembaga. Sekitar 20% anak-anak yang terkena pengaruh konflik bersenjata mengalami tekanan psikososial tingkat madya, serta terdapat sejumlah anak yang terpisah dari keluarganya atau terlibat dengan kelompok bersenjata.32 10. Angka terjadinya aborsi di Indonesia mencapai 750.000 sampai 1.000.000 kejadian per tahun. Antara 40 sampai 50% (sebagian besar adalah aborsi yang tidak aman) dilakukan oleh remaja perempuan. Aborsi biasanya dilakukan secara terselubung tanpa ada jaminan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan termasuk tata laksana penanganan komplikasi akibat aborsi. Hanya sedikit lembaga di Indonesia yang secara profesional menyediakan pelayanan aborsi dan sedikit pula lembaga yang mampu memberikan pelayanan pengaturan haid (menstrual regulation) berkualitas termasuk bagi remaja yang belum menikah (UNFPA 2001).33 Permasalahan tersebut di atas telah menjadi keprihatinan Komite Hak Anak PBB dalam Pandangan Atas Laporan Indonesia khususnya terhadap pelaksanaan kewajiban Negara Indonesia dalam menjamin hak anak khususnya hak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman, sebagai berikut : 1. Permasalahan hak anak atas pendidikan : 34 a. Pendidikan dasar masih harus bayar b. Pendidikan tinggi tidak mudah di akses oleh kelompok masyarakat miskin c. Angka drop out terus menerus tinggi d. Anak perempuan yang menikah dan hamil tidak bisa melanjutkan pendidikan ibid ibid 33 PKBI, Kebutuhan akan Informasi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja : Laporan Need Assessment di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon, dan Tasikmalaya, PKBI, UNPF, dan BKKBN, 2001, hal. 8 34 Lihat Concluding Observation CRC/C/15/Add.223, Paragraf 61 5 31 32 e. f. Ratio guru-murid tidak seimbang, kualitas guru masih rendah Kekerasan terhadap anak di sekolah tinggi dan tidak ada peraturan yang melarang pendisiplinan murid dengan menggunakan hukuman fisik 2. Permasalahan hak anak atas kesehatan : 35 a. Angka kematian bayi tetap tinggi karena malnutrisi, lahir dengan berat kurang, terinfeksi penyakit yang di sebarkan nyamuk, tingkat peserta imunisasi rendah Situasi dan kondisi tersebut di atas merupakan fakta empiris kegagalan negara mengemban tugas konstitusi untuk memenuhi dan melindungi hak-hak asasi anak. Kegagalan tersebut merupakan bentuk pengingkaran dan pelanggaran hak-hak asasi anak sebagaimana telah dijamin dalam instrumen hukum hak asasi internasional Apabila ditelisik lebih jauh muara pelanggaran hak-hak asasi anak tersebut bersumber pada : pertama, kebijakan publik yang terformulasikan dalam regulasi dan anggaran publik tidak berbasis pemenuhan dan perlindungan anak. Kedua, masyarakat sipil termasuk di dalamnya anak-anak tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan kebijakan publik. Disiplin Hukum Hak Asasi Manusia mengkategorikan tindakan negara demikian ini sebagai bentuk pelanggaran hak asasi anak melalui tindakannya (act by commission). Dalam titik ini negara dapat dikatakan telah melakukan diskriminasi secara vertikal. Untuk dapat memetakan tindakan diskriminasi terhadap anak, khususnya dalam pemenuhan hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan, maka indikator-indikator pemenuhan hak-hak tersebut perlu dijadikan rujukan. Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan dan kesehatan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Committee on Economic, Social, and Cultural) telah menetapkan kriteria terpenuhinya hak-hak tersebut dalam komentar umumnya. 1. Hak atas pendidikan dikatakan telah terpenuhi apabila indikator-indikator di bawah ini terpenuhi , yakni :36 a. Ketersediaan (availability) : keberfungsian institusi pendidikan dan programprogram pendidikan mesti dapat tersedia secara layak bagi semua orang. b. Aksesibilitas (accessibility) : setiap orang punya akses atas lembaga, institusi dan program-program pendidikan tanpa diskriminasi. Prinsip non diskriminasi, dimaknai bahwa pendidikan harus dapat diakses bagi semua orang, khususnya kelompok rentan. Dalam hal ini aksesibilitas pendidikan diartikan biaya pendidikan mesti terjangkau. c. Akseptibilitas (acceptability) : format, substansi pendidikan seperti kurikulum, metode pengajaran mesti berkesesuaian dengan situasi, kondisi dan budaya siswa; d. Adaptibilitas (adaptability) : pendidikan mesti fleksibel, dapat disesuaikan dengan perubahan situasi masyarakat. 2. Hak atas kesehatan dikatakan telah terpenuhi apabila indicator-indikator di bawah ini terpenuhi , yakni : 37 a. Ketersediaan (availability) : keberfungsian fasilitas kesehatan, obat-obatan dan pelayanan kesehatan publik serta program-program kesehatan mesti dapat dinikmati oleh setiap orang. b. Aksesibilitas (accessibility) : fasilitas dan layanan kesehatan mesti dapat diakses secara layak bagi semua orang tanpa diskriminasi. Prinsip non diskriminasi mensyaratkan bahwa kelompok yang rentan semestinya mendapatkan jaminan pemenuhan hak atas kesehatan. c. Akseptabilitas (acceptability) : semua fasilitas kesehatan mesti dilaksanakan berdasarkan etika medis dan kebudayaan, seperti penghormatan budaya individu, Lihat Concluding Observation CRC/C/15/Add.223 Paragraf 57 Committee on Economic, Social, and Cultural Rights, General Comment No. 13, The right to education (art. 13), par. 6 37 Committee on Economic, Social, and Cultural Rights General Comment No. 14, The right to the highest attainable standard of health (art. 12)., par. 12 6 35 36 minoritas, penduduk dan komunitas, dan memenuhi prinsip-prinsip sensitive gender. d. Kualitas (quality) : prinsip kualitas mempunyai arti secara medis dan ilmu pengetahuan (scientifically) layak dan berkualitas baik. Berdasarkan paparan di atas, diskriminasi terhadap anak dapat dipetakan dengan tabel berikut ini.38 Lingkup Tindakan Diskriminatif Obyek Tindakan Diskriminatif Akibat Tindakan Diskriminatif Tindakan membedakan Tindakan mengecualikan Tindakan membatasi Tindakan memilih Kelompok anak-anak pada umumnya karena dianggap belum menjadi manusia seutuhnya baik secara hukum, sosial, dan budaya Anak yang berada dalam situasi khusus (CNSP/CEDC) Anak sebagai bagian dari kelompok rentan : perempuan, pengungsi (refugees), pengungsi dalam negeri (internally displaced persons/IDP’s), kelompok monoritas (national minorities), pekerja migrant (migrant workers), penduduk asli pedalaman (indigenous peoples), petani yang tidak memiliki tanah, pekerja di desa, pengangguran di desa, pengangguran di kota, kaum miskin kota Menghapus atau mengurangi : pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi anak, martabat, dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, sipil, ekonomi, sosial, dan budaya Dalam perspektif sosiologis, sumber diskriminasi terhadap anak dapat diidentifikasi sebagai berikut : 39 1. Alasan-alasan yang berdasarkan pada sikap sosial : a. Anak-anak dipandang tidak matang, tidak kompeten, tidak bertanggung jawab dan irasional, karenanya tidak dipercaya untuk berpartisipasi b. Karena orang dewasa pernah menjadi anak-anak, maka orang dewasa merasa layak untuk bertindak atas nama anak-anak c. Anak-anak dilihat sebagai urusan domestik keluarga karena itu sudah sepantasnya diperlakukan sebagai pihak yang pasif dan bergantung pada orang tua Mengadopsi Ester Indahyani Yusuf, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Sebuah Kajian Hukum tentang Penerapannya di Indonesia, Bahan Bacaan, Kursus HAM untuk Pengacara X, Elsam, 2005 39 Mengadopsi Victoria Jhonson, et.al, Institusi dan Kekuasaan, dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta, REaD Book, 2002, hal. 483 - 485 38 7 d. Bagi kebanyak orang dewasa memberikan apa yang seharusnya menjadi hak-hak anak dipandang sebagai ancaman terhadap relasi kekuasaan antara orang dewasa dengan anak-anak e. Masih hidup kultur ketidakberdayaan dan nonpartisipasi bagi anak 2. Alasan-alasan yang terkait dengan struktur dan fungsi otoritas setempat : a. Sikap paternalistik birokrat yang mendasarkan pada pandangan bahwa selaku abdi negara mereka diberikan legitimasi untuk mengambil keputusan bagi anak-anak berdasarkan perspektif orang dewasa b. Struktur birokrasi yang ada tidak membuka ruang-ruang yang memungkinkan anak untuk berpartisipasi c. Kerangka legislatif menghambat partisipasi d. Anak-anak cenderung tidak terlihat dalam hitungan statistik 3. Alasan-alasan yang terkait dengan adanya pandangan bahwa issue anak tidak berdampak secara politis sehingga tidak masuk dalam agenda politik : a. Kebijakan pemerintah cenderung didominasi masalah perekonomian ketimbang tujuan-tujuan pelayanan jaminan sosial sehingga cenderung rekatif daripada proaktif b. Anak-anak dipandang sebagai anggota masyarakat yang tidak produktif c. Anak-anak tidak diberikan haknya untuk memberikan suaranya sehingga kebutuhan dan kepentingan mereka dikalahkan oleh kebutuhan orang dewasa yang mempunyai suara II. Jaminan dan Perlindungan Hukum Internasional terhadap Anak dari Tindakan Diskriminasi Merujuk pada Komentar Umum Nomor 18 Komite Hak Asasi, maka landasan yuridis larangan untuk melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap anak terdiri atas : 1. 8 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik a. Pasal 2 ayat (1) : Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. b. Pasal 3 : Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini. c. Pasal 14 ayat (1) : Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. d. Pasal 25 huruf a : Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan. e. Pasal 26 : Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain. f. Dalam konteks hak anak, Komentar Umum Nomor 17 Komite Hak Asasi Manusia menjadikan Pasal 24 Kovenan Hak Sipil dan Politik menjadi landasan yuridis yang utama.40 Pasal 24 berbunyi : (1) Setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran. (2) Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus memperoleh suatu nama. (3) Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan. 2. Konvensi Hak Anak KHA sebagai instrumen utama yang secara sui generis mengatur hak-hak anak ditegakkan berdasar 4 prinsip utama sebagai pilar pemenuhan dan perlindungan hak anak , yakni :41 a. Pasal 2 : Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun (the obligation of States to respect and ensure the rights set forth in the Convention to each child within their jurisdiction without discrimination of any kind) b. Pasal 3 (1): Kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama dalam semua tindakan yang diambil mengenai anak (the best interests of the child as a primary consideration in all actions concerning children). c. Pasal 6 : tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupan dan Negaranegara Pihak harus menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak (the child’s inherent right to life and States parties’ obligation to ensure to the maximum extent possible the survival and development of the child). d. Pasal 12 : Anak mempunyai hak untuk mengutarakan pendapat sesuai dengan pandangannyat dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu, pendapat-pendapat anak itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan anak (the child’s right to express his or her views freely in “all matters affecting the child”, those views being given due weight). III. Tindakan Diskriminasi terhadap Anak melalui Kebijakan Publik Tindakan diskriminasi terhadap anak dilakukan oleh negara melalui kebijakan publik yang terformulasikan ke dalam regulasi dan anggaran publik. Diskriminasi tersebut diindikasikan dengan ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (uncapable) negara untuk menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas penetapan kebijakan publiknya. Kewajiban afirmatif yang menjadi konsekuensi yuridis bagi Pemerintah Republik Indonesia, tidak nampak dalam langkah-langkah implementasi. Pada akhirnya, pilihan politik ini berdampak pada terhambatnya penikmatan hak-hak anak yang seharusnya melekat pada setiap individu anak seperti yang telah dijamin dalam instrumen hukum hak asasi manusia. Selain itu, instrumen hukum yang seharusnya menghilangkan praktek-praktek diskriminasi terhadap anak yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat belum nampak. 42 Komite Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa pelaksanaan kewajiban Pasal 24 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik harus diinterpretasikan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 26. Lihat General Comment No. 17 : Rights of the Child (Art. 24) :.07/04/89, par. 5 41 COMMITTEE ON THE RIGHTS OF THE CHILD : GENERAL COMMENT No. 5 (2003) : CRC/GC/2003/5 : General measures of implementation of the Convention on the Rights of the Child (arts. 4, 42 and 44, para. 6). Lihat Paragraph 12. 9 40 Kondisi ini disebabkan karena instrumen hukum nasional secara substansi tidak selaras dengan substansi instrumen hukum hak asasi internasional yang menjamin pemenuhan hak-hak anak. Kemudian instrumen hukum nasional ini dijadikan rujukan oleh alat-alat negara. Prinsip “equality before the law” yang seharusnya menempatkan permasalahan anak setara dengan permasalahan kenegaraan lainnya, tidak nampak dalam praktek-praktek kenegaraan. Hal ini disebabkan adanya kesenjangan relasi kuasa antara pengambil kebijakan dengan anak-anak. Anak-anak secara struktur sosial menempati lapisan bawah, tentu saja secara politik tidak mendapatkan akses untuk dilibatkan pelaksanaan jalannya pemerintahan. Kata persamaan seharusnya dimaknai tidak hanya pada akses terhadap penerapan pemenuhan hak asasi manusia yang sama bagi anak-anak tetapi juga persamaan terhadap manfaat atau pada hasilnya (equality of acces, equality of opportunity and equality of result). 43 Selanjutnya, dalam titik ini negara dilekati 2 (dua) unsur kewajiban negara untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM, yakni : (i) kewajiban mengenai tindakan (obligation of conduct) dan (ii) kewajiban mengenai hasil (obligation of result). Kewajiban yang pertama membutuhkan tindakan yang diperhitungkan dengan cermat untuk menjamin dipenuhinya suatu hak tertentu. Sedangkan kewajiban yang kedua, mengharuskan negara untuk mencapai target tertentu guna memenuhi standar substantif terinci.44 Anggaran publik yang disusun berbasis pemenuhan hak anak menjadi konsekuensi logis, politik, dan yuridisnya. Oleh karenanya politik kebijakan anggaran publik sudah semestinya merealisasikan tujuan negara tersebut. Pencapaian hasil dari suatu hak memang tergantung pada ketersediaan finansial yang memadai dan sumber daya yang lain. Namun, kurangnya sumber daya tidak mengurangi kewajiban negara untuk menjamin sedikitnya tingkat minimum dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi semua penduduk. 45 Terkait dengan hal ini, General Comment Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB Nomor 3 (1990) tentang Sifat dari Kewajiban-Kewajiban Negara Peserta (On teh Nature of State Obligations) menegaskan bahwa realisasi progresif memiliki batas-batas. Dalam hal halangan sumber daya, negara harus menjamin sedikitnya tingkat minimal dari tiap-tiap hak untuk dipenuhi.46 Dengan kata lain, terdapat ambang batas di mana keterbatasan sumber daya tidak dapat dijadikan dalih bagi negara untuk mengingkari atau tidak mampu memenuhi hak-hak tersebut. Ambang batas inilah yang disebut sebagai minimum core content of rights, di mana negara harus segera mewujudkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negaranya.47 IV. Beberapa Produk Peraturan Perundang Undangan dan Praktek Praktek Aparatus Negara yang Diskriminatif 1. Bidang Kesehatan a. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Kewajiban yuridis ini diamanatkan Pasal 4 CERD dan Pasal 2 huruf f CEDAW Mengadopsi pemikiran Ratna Batara Munti, Sejauhmana Negara Memperhatikan Masalah Perempuan (CEDAW dan Pertanyaan tentang Kebijakan-Kebijakan Negara), Jurnal Perempuan, Edisi 45, Jakarta, YJP, 2006 44 Lihat Pedoman Maastricht, bagian II Paragraf 2 45 Lihat Kovenan Hak Ekonomi, Sosila, dan Budaya, Pasal 4 : Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa dalam hal pemenuhan hak-hak yang dijamin oleh Negara sesuai dengan Kovenan ini, Negara hanya dapat mengenakan pembatasan hak-hak tersebut sesuai dengan ketentuan hukum, sepanjang hal ini sesuai dengan sifat hak-hak tersebut, dan semata-mata dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis. 46 Allan McChesney, Memajukan dan Membela : Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta, Insist Human Right, 2003, hal. 29 47 Naning Mardiniah, Meneropong Hak atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan : Analisis Situasi Tiga Kabupaten : Indramayu, Sikka, dan Jayapura, Jakarta, CESDA-LP3ES, hal. 15 10 42 43 UU ini sangat minim mengatur tentang pemenuhan hak anak atas derajat kesehatan yang optimal. Hak anak atas kesehatan hanya diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 17. Pasal-pasal tersebut tidak secara eksplisit mengatur hak anak atas fasilitas kesehatan, layanan kesehatan, dan obat-obatan. Contoh kasus: Dalam penangan kasus HIV/AIDS tindak diskriminasi dan stigmatisasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) justru 30 % dilakukan oleh petugas kesehatan seperti dokter dan perawat. Sementara 70% dilakukan pihak instansi dan organisasi pemerinahan dan masyarakat tertentu lainnya lainnya.48 Kenyataan ini tentu sangat mengkuatirkan bagi anak penderita HIV/AIDS. Padahal epidemi HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Data nasional hingga 30 Juni 2005 menunjukkan 7.098 kasus HIV/AIDS, atau meningkat signifikan dari data sebelumnya, yaitu 6.789 kasus per 31 Maret 2005. Selama April sampai Juni 2005 terdapat 72 kasus infeksi HIV dan 237 kasus AIDS baru. Dari 7.098 kasus tersebut, 1.498 di antaranya adalah kaum perempuan dan 54 balita. Parahnya lagi, angka tersebut belum memperlihatkan kondisi yang sebenarnya terjadi karena angka kasus tersebut hanyalah yang tercatat dalam laporan. Berdasarkan pakar epidemiologi, YPI menyebutkan angka sesungguhnya bisa mencapai 90.000 hingga 130.000 kasus HIV/AIDS.49 Remaja juga sangat rentan tertular HIV/AIDS, mengingat faktor yang sangat berpengaruh pada penularan HIV/AIDS adalah perilaku seks berisiko tinggi, makin maraknya industri seks, kian banyak pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif ( NAPZA) suntik, serta kemiskinan. Menurut Samsuridjal Djauzi, Ketua Yayasan Pelita Ilmu, 87 persen pengidap HIV/AIDS disebabkan oleh penggunaan jarum narkoba yang tercemar dan 11 persen disebabkan oleh seks bebas. Sebagian besar pengguna narkoba itu adalah remaja putus sekolah dan pengangguran.50 Demikian pula hak anak perempuan untuk melakukan aborsi dan hak atas layanan dan fasilitas aborsi yang aman belum diatur dalam UU ini. Padahal tingkat aborsi yang dilakukan oleh anak-anak tinggi. CEDAW, Pasal 12 mewajibkan negara untuk membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita di bidang kesehatan berkaitan dengan kehamilan. Lebih jauh, meskipun tindakan ini melanggar prinsip non diskriminasi, sanksi hukum bagi petugas kesehatan yang melakukan tindak diskriminasi tidak diatur dalam UU ini. Tindakan ini jelas menghambat penikmatan hak anak atas kesehatan yang optimal. Celakanya UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang mengatur petugas kesehatan, khususnya dokter, dinilai belum mengakomodasi hak-hak pasien karena pada UU tersebut hak dan kewajiban pasien masih bersifat umum. Praktisi hukum Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji SH MH mengatakan UU ini lebih banyak mengarahkan apa yang harus dilakukan para medikus dalam menjalankan fungsi, kewenangan, dan tindakan medis. Porsi perlindungan pasien masih sangat terbatas dan hanya terakomodasi dalam 2 pasal yakni pasal 52-53.51 b. Perda swastanisasi RSUD di DKI http://www.kompas.co.id/metro/news/0511/30/173105.htm http://situs.kesrepro.info/pmshivaids/agu/2005/pms05.htm 50 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0312/15/iptek/743221.htm 51 http://www.depkes.go.id/index.php 11 48 49 Kebijakan Pemda DKI Jakarta untuk merubah status/bentuk badan hukum RSUD-RSUD menjadi Perseroan Terbatas (PT) melalui peraturan daerah52 menjadi faktor yang menghalangi terpenuhinya hak anak atas kesehatan khsusunya bagi anak-anak keluarga miskin. Keterjangkaun biaya menjadi hambatan utama akses mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan. Contoh Kasus :53 Seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi,Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi. Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya. Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya. c. Praktek-Praktek Tindak Diskriminasi Terhadap Anak Contoh Kasus : 54 Dana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) pada tahun 2006 hanya akan diberikan bagi warga miskin di Jakarta. Itu berarti, warga miskin yang mendapatkan pelayanan gratis atau keringanan biaya berobat di rumah sakit atau puskesmas hanyalah warga yang memiliki kartu tanda penduduk DKI atau kartu JPK Gakin. Hal itu disampaikan Kepala Seksi Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Zelvino, Senin (6/6). Menurut Zelvino, masyarakat miskin yang bukan penduduk Jakarta sudah dikover oleh Asuransi Kesehatan (Askes) yang sudah diprogramkan oleh Departemen Kesehatan sehingga tak perlu lagi dikover JPK Gakin.Menurut Zelvino, kebijakan tersebut sudah mulai dilakukan tahun ini. Ia mengharapkan tahun 2006 tidak ada lagi masyarakat miskin yang bukan penduduk Jakarta mendapatkan dana JPK Gakin. Dana JPK Gakin bisa diambil warga miskin di DKI dengan syarat bisa menunjukkan kartu JPK Gakin. Sementara itu, masyarakat yang tidak memiliki kartu bisa mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) asalkan warga tersebut memiliki KTP DKI. PT RS Haji semula berbentuk Yayasan RS haji, perubahan bentuk badan hukum ini dilandasi dengan Perda Nomor 13 Tahun 2004. RSUD Pasar Rebo berubah menjadi PT RS Pasar Rebo diatur dengan Perda Nomor 15 Tahun 2004. RSUD Cengkareng berubah menjadi PT dilandasi dengan Perda Nomor 14 Tahun 2004. Lihat Nota Keuangan APBD DKI 2005 Bab II, hal 36 – 37. Semua Perda ini telah dicabut oleh Mahkamah Agung (MA) melalui mekanisme judicial review yang diajukan oleh YLKI. Hanya saja kepatuhan Pemda DKI Jakarta untuk melaksanakan putusan MA perlu mendapatkan perhatian karena sampai saat ini pencabutan perda-perda tersebut belum dibuat oleh Pemda DKI Jakarta. http://kompas.com/metro/news/0606/27/143942.htm 53 http://kompas.com/metro/news/0506/09/090859.htm 54 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/07/metro/1797500.htm 12 52 Kebijakan ini, tentu akan berdampak terhambatnya pemenuhan hak anak atas kesehatan, terutama anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga miskin kota. Menurut data dari Bapeda DKI Jakarta terdapat 16.158 anak yang terlantar; 7991 anak jalanan; 3424“anak nakal”; 17.241 anak menggelandang dan mengemis.55 Kemudian jumlah keluarga miskin di DKI Jakarta, menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Chalik Masulili, tercatat sebanyak 542.000 jiwa hingga akhir 2004. Sedangkan warga tidak mampu jumlahnya sekitar 700.000 jiwa pada akhir 2004.56 2. Bidang Pendidikan a. o o UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Beberapa ketentuan dalam UU ini bertentangan dengan prinsip non diskriminasi, yakni : Pasal 12 : Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; Pasal 55 ayat (1) : Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Kedua pasal ini mengancam pemenuhan hak anak atas pendidikan yang disebabkan agama dan keyakinan yang dianut oleh anak berbeda dengan institusi pendidikan dan masyarakat setempat. o Pasal 5 ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.57 Gejala munculnya pengategorisasian institusi pendidikan ke dalam sejumlah kelompok sekolah, seperti sekolah internasional, sekolah unggulan, sekolah biasa, dan sebagainya, merupakan indikasi situasi pendidikan yang diskriminatif. Kemudian penentuan kelulusan dengan standardisasi nilai minimal mata pelajaran tertentu dan pembagian jalur pendidikan berdasarkan kategorisasi kemampuan finansial dan akademik seseorang, dapat dikualifikasikan sebagai politik pendidikan yang diskriminatif. Politik pendidikan yang diskriminatif malah mendapatkan dukungan dari Wapres yang menanggapi secara dingin protes siswa SMU. Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi dingin protes siswa yang tak lulus ujian akhir nasional serta orang tua dan guru mereka. Kalla menegaskan, tak akan membatalkan hasil ujian serta tidak akan menggelar ujian ulangan. Kalla menambahkan, dalam ujian memang biasa ada yang tak lulus. Kondisi ini juga terjadi di sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Karena itulah pemerintah tak akan menggelar ujian ulangan. 58 Pasal 54 ayat (1) : Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Pasal ini menjadi legitimasi penyelenggaraan komersialisasi pendidikan. Dampaknya keterjangkauan biaya pendidikan akan menjadi permasalahan bagi anak-anak dari keluarga miskin. o Bagian Kesejahteraan Masyarakat, Bappeda DKI, 2005 http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi 57 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur hal yang sama. Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 52 menyatakan anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. 58 Liputan 6. com 13 55 56 3. Bidang Kesejahteraan Anak b. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU ini didasari pendekatan sekterian (berbasis agama) yang mana dampaknya akan menghalangi anak untuk mendapatkan haknya untuk mendapatkan perlindungan dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Adopsi merupakan alternatif bagi anak untuk medapatkan haknya tersebut. Prinsip yang mendasari hak ini menurut KHA adalah kepentingan terbaik untuk anak bukan berdasarkan agama atau keyakinan. Namun prinsip ini dilanggar oleh Pemerintah RI dalam mengatur permasalahan kuasa asuh, perwalian, pengaushan, dan adopsi anak. Pasal 31 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan : Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya. Demikian pula masalah perwalian anak, Pasal 33 ayat (2) menyatakan : Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak. Kemudian masalah pengasuhan anak, Pasal 37 ayat (3) menyatakan : Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan. Ayat selanjutnya menyatakan : Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan. Pengaturan yang sama juga dijumpai Pasal 39 ayat (3) : Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Ayat (5) dari pasal yang sama menegaskan : Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. V. Anggaran Tidak Berbasis Hak Anak Salah satu fungsi pemerintah yang tidak dapat digantikan oleh institusi lain —merujuk pada Samuelson (1995)— adalah mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan. Peran ini dapat dilakukan melalui dua instrumen yaitu regulasi dan anggaran. Berdasarkan beberapa studi, kegagalan pemerintah dalam merancang instrumen regulasi tidak hanya menyebabkan ketimpangan pendapatan, tetapi juga menghambat orang-orang miskin mengakumulasi kekayaan. Untuk instrumen anggaran, yang penting adalah pajak dan belanja pemerintah. Melalui pajak, pemerintah mengumpulkan pemasukan dari warga negara yang lebih mampu, selanjutnya uang yang terkumpul dibelanjakan untuk biaya operasional organisasi pemerintahan, untuk pelayanan publik, dan mengurangi kemiskinan. 59 Namun secara teoritis, upaya penghapusan separuh angka kemiskinan pada tahun 2015 sebagaimana ditegaskan dalam MDGs gagal terealisasi, kecuali jika Pemerintah Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi dan melaksanakan kebijakan pro rakyat kecil, serta tidak terperangkap dalam utang.60 Ketiadaan good will pemerintah nampak pada kebijakan menaikan harga BBM 2 (dua) kali dalam periode satu tahun, yakni Bulan Maret dan Bulan Oktober. Di sisi lain Pemerintah malahan menaikan tunjangan DPR sebesar Rp 10 juta dan peningkatan anggaran lembaga kepresidenan61 Proses kenaikan anggaran tersebut amat tertutup, karenanya cenderung koruptif. Suhirman mengutip Hernando de Soto, Perencanaan dan Penganggaran Daerah : Sudah Pro-Poor kah, Buletin Lesung, Edisi III nomor 1, November 2004 60 Ivan A Hadar mengutip Daseking dan Kozack, Utang dan Pengurangan Kemiskinan, Kompas, 14 November 2005 61 Denny Indrayana, Korupsi Anggaran Jelang Lebaran, Kompas, 7 November 2005. Dalam RUU APBN 2006 direncanakan anggaran kepresidenan meningkat dari Rp 727,209 miliar pada 2005 menjadi Rp 1,147 trilyun pada 2006. Ini berarti naik sekitar 50%. Sementara anggaran wapres direncanakan meningkat dari Rp 165,744 14 59 Proses pengambilan kebijakan yang tertutup perlu dicurigai sebagai indikasi awal praktik korupsi. Rumusnya, corruption is authority plus monopoly minus transparency. Rumus ini amat relevan untuk diterapkan dalam penyusunan anggaran publik. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan memberikan monopoli penyusunan APBN/APBD kepada eksekutif dan legislatif. Sayang monopoli ini amat rentan diselewengkan. Jika relasi eksekutif dan legislatif cenderung kolutif maka amat mungkin anggaran yang dihasilkan menjadi koruptif. Itulah yang terjadi dengan kenaikan tunjangan DPR dan anggaran kepresidenan. Hal yang sama terjadi dengan kenaikan pendapatan DPRD Jakarta, atau beberapa daerah lain di Tanah Air. Eksekutif yang mengharap dukungan politik dari legislatif cenderung memanfaatkan penyusunan anggaran tahunan guna ”membeli dukungan” legislatif. Pembelian dukungan adalah bentuk telanjang money politics yang dibungkus melalui peraturan perundang-undangan. Lebih jauh, anggaran publik yang disusun dalam atmosfer relasi kolutif eksekutiff-legislatif berpotensi menjadi praktik state corruption. Dalam penyusunan anggaran publik, terlihat ada pola relasi eksekutif menyogok legislatif dengan kenaikan tunjangan, sebagai imbal baliknya, legislatif tidak kritis atas kebijakan pemerintah. State corruption dengan peraturan perundang-undangan penganggaran seakan sah secara prosedural karena dilakukan melalui mekanisme legislasi. 62 Perspektif HAM mengkategorikan alokasi yang koruptif demikian sebagai pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif melalui politik kebijakan anggaran publik (act of commission). Alokasi anggaran yang tidak adil tersebut, nyata-nyata menghalangi penikmatan hak-hak asasi warga negara yang seharus dapat terpenuhi apabila anggaran tersebut dialokasikan untuk publik. Kewajiban utama negara untuk memenuhi HAM warga negaranya (obligation to fulfill) melalui pengambilan tindakan melalui regulasi dan anggaran gagal pula ditunaikan. Dalam wilyah ini pula, pelanggaran HAM dapat disebabkan oleh penempatan skala prioritas program yang satu dengan program yang lain serta besaran alokasi anggaran publik untuk mendanai suatu program. Perbandingan persentase alokasi anggaran antara sektor pendidikan, kesehatan, dan pertahanan keamanan dengan total APBN di bawah ini menjadi bukti empiris pelanggaran HAM tersebut. Grafik : Perbandingan persentase antar sektor 63 miliar pada 2005 menjadi 179,203 miliar pada 2006. Lihat www.kompas.com, 25 Oktober 2005. Bandingkan dengan distribusi dana kompensasi BBM melalui BLT dimana orang-orang miskin hanya menerima Rp 100.000 per bulan. 62 ibid 63 J. Danang Widoyoko, Menyoal Anggaran Pertahanan, Makalah untuk Workshop Reformasi Sektor Pertahanan Imparsial di Jakarta, 25 – 26 April 2005, hal. 8 15 Grafik Anggaran Pertahanan dan Polri tahun 2005 64 30.000, 00 25.000, 00 20.000, 00 15.000, 00 (Dalam Milyar Rupiah) 26.095, 30 21.978, 60 18.159,3 0 DEPDIKNAS 11.272,5 11.165,9 0 0 10.000, 00 6.762, 00 DEPHAN DEP PU DEPKES POLRI DEPAG 5.000, 00 0,0 0 TA. 2005 Grafik tersebut memperlihatkan pada tahun 2004 – 2005, anggaran pertahanan di atas anggaran pendidikan. Peningkatan yang cukup besar terjadi pada tahun 2004. Padahal konsitusi menentukan anggaran pendidikan minimal mencapai 20% dari APBN. Namun, anggaran pendidikan dalam RAPBN 2005 hanya Rp 25,71 triliun atau hanya 9,7% dari APBN. Seharusnya untuk memenuhi ketentuan konstitusi, alokasi anggaran pendidikan harus mencapai Rp. 52,97 triliun atau dua kali lipat anggaran yang dialokasikan pada RAPBN 2005. Komparasi ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah memprioritaskan pendidikan. Hal ini tercermin dari tujuh program pemerintahan Yudhoyono, pendidikan tidak termasuk di dalamnya. Sementara itu, alokasi untuk kesehatan jauh di bawah alokasi pertahanan dan pendidikan. APBN 1999 – 2005 mengalokasikan anggaran kesehatan yang terbatas, hanya 1%-3%. Keterbatasan anggaran ini membuat pelayanan kesehatan semakin mahal. Pada akhirnya masyarakat yang harus menanggung sepenuhnya pengeluaran kesehatan. 65 Padahal UUD 1945 telah menetapkan besarnya alokasi untuk sektor pendidikan minimal 20% dari APBN/APBD. WHO mensyaratkan bahwa untuk dapat memenuhi hak atas derajat kesehatan yang tinggi, negara seharusnya mengalokasikan anggarannya minimal 20% dari APBN. Untuk sektor pemukiman setidaktidaknya negara mengalokasikan anggarannya minimal 10% dari APBN. Menurut GAPRI, dibutuhkan minimal 55% alokasi anggaran dari total anggaran publik yang berasal dari penerimaan dalam negeri, untuk memenuhi hak-hak asasi yang bersifat mendasar seperti Andi Widjayanto, Ekonomi Pertahanan Indonesia, 2005 ibid 16 64 65 pendidikan, kesehatan, perumahan, pangan, pekerjaan, layanan air, lingkungan yang bersih, dan partisipasi. Kemudian pereferensi politik alokasi anggaran publik yang lebih mengutamakan prioritas membayar utang luar negeri ketimbang mengalokasikan dan mendistibusikan bagi kepentingan publik juga merupakan pelanggaran HAM. Pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Alokasi ini terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp 46,84 trilyun. Selain utang luar negeri, anggaran negara juga digerogoti utang dalam negeri, akibat politik pereferensi negara yang lebih memilih menyelamatkan kolapsnya perbankan. Dalam nota keuangan APBN-P, pembayaran bunga hutang dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 41.587,1 miliar, atau Rp 2.592,6 millliar (6,8 %) lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam APBN 2005.66 Artinya puluhan tahun ke depan alokasi pemerintah untuk pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya jelas akan dikorbankan. Padahal menurut seorang ekonom untuk menggratiskan pendidikan dasar cukup mengalokasikan dana sebesar Rp 10 trilyun. 67 Hal ini tentu tidak lah adil jika kita membandingkannya dengan alokasi anggaran publik untuk menutup kejahatan perbankan yang besarnya mencapai puluhan trilyun per tahun. Seharusnya dana masyarakat tersebut harus dikembalikan dalam bentuk pemenuhan hak konstitusi rakyat. Namun karena alokasi pembayaran utang sudah menyedot lebih dari sepertiga dari anggaran belanja pemerintah. Tentu saja alokasi untuk memenuhi kebutuhan pubik yang bersifat fundamental dan subsisten yang menjadi korban. Kebijakan pemerintah yang mengorbankan pemenuhan hak konstitusi rakyat ini disebabkan ketiadaan good will pemerintah untuk mengatasi beban utang yang sudah menguras uang rakyat dalam pos belanja negara. Ketimpangan alokasi tersebut, nampak dalam grafik perbandingan pembayaran utang luar negeri dengan alokasi untuk menjalani kewajiban konstitusional negara (belanja sosial) dalam RAPBN 2005. 68 66 67 68 17 Isadi, Analisa APBN-P dan Pendidikan, www.kau.or.id, 2005 Eko Prasetyo, Orang Miskin Tanpa Subsidi, Yogyakarta, Resist Book, 2005, hal. 75 – 76 Kusfiardi, RAPBN 2005 Melanggar Hak Konstitusi Rakyat, www.kau.or.id Memang terdapat kebijakan pemerintah yang ditujukan bagi kepentingan kelompok miskin baik di perdesaan maupun di perkotaan guna merespon terjadinya krisis ekonomi seperti JPS, beras miskin, IDT, dan lain-lain. Namun kebijakan tersebut hanya bersifat karitatif dan didesain dalam rangka memperoleh donasi dari luar negeri. Senada dengan pola tersebut, untuk mengantisipasi dampak sosial kenaikan harga BBM, pemerintah juga mengalokasikan anggarannya untuk kepentingan kelompok miskin. Alokasi tersebut ditujukan untuk menggratiskan biaya pendidikan dasar (BOS), pengobatan gratis, dan pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah yang masih tertinggal. Kendati ditujukan untuk kelompok miskin, namun alokasi tersebut dimotivasi untuk memberikan legitimasi kebijakan kenaikan harga BBM, bukan melaksanakan kewajiban konstitusional pemerintah. Sektor lain yang juga menyerap anggaran lebih banyak adalah belanja daerah, meliputi (a) dana bagi hasil (Rp 59.358.4 miliar); (b) dana alokasi umum (Rp 145.664.2 miliar); (c) dana alokasi khusus (Rp 11.569.8 miliar); dan (d) dana otonomi khusus(Rp 3.477.1 miliar). Seluruh sektor ini mencapai Rp 220.068.5 miliar atau lebih besar 30 persen APBN.69 Alokasi ini ditujukan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi). Namun dalam perjalanannya konsepsi desentralisasi berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran. Pada akhirnya hanya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.70 Sehingga menyebabkan terjadinya distorsi penggunaan dana APBD antara lain : (1) terjadinya asimetri anggaran dengan problem nyata yang dihadapi masyarakat; (2) sebagian besar dinikmati birokrat; (3) anggaran tidak peka gender; (4) oligarkhi parlemen; 71 (5) kesenjangan antara pendapatan aktual dan potensinya; dan (6) belanja rutin semakin tinggi. 72 Distorsifitas ini nampak pada Nota Keuangan APBD Pemda DKI tahun Anggaran 2005. Dalam nota tersebut persoalan pemenuhan hak-hak anak tidak menjadi arus utama (paradigma) dalam penyusunan anggaran. Berdasarkan nota tersebut permasalahan anak hanya menjadi sub bagian dari 8 (delapan) program prioritas yang telah ditetapkan. 73 Dalam arti issue anak belum menjadi arus utama bagi pengambil kebijakan. Kondisi ini dapat dilihat dari penetapan prioritas program yang kira-kira berdampak pada anak hanya dialokasikan untuk bidang pendidikan dan kesehatan dan bidang sosial budaya. Alokasinya pun masih terbagi ke dalam anggaran biaya langsung dan biaya tidak langsung. Di samping itu program tersebut hanya menjadi sub program bidang prioritas pembangunan. Tabel Alokasi anggaran yang kira-kira berdampak kepada anak Uraian I. Fungsi Pendidikan Program Pengembangan Pendidikan Sekolah Tingkat Besaran Alokasi Rp 698.665.941.490,00 Lihat H. Soedijarto, Pendidikan dan Pelanggaran UUD 1945, Kompas, 14 Januari 2006, hal. 7 Adnan Topan Husodo,Laporan Akhir Tahun 2004 Indonesia Corruption Watch, Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi. 71 Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) mulai Januari hingga Desember 2004, terdapat 239 kasus korupsi di berbagai daerah dengan bermacam aktor, modus dan tingkat kerugian yang diderita oleh negara. Yang mengkhawatirkan, sebagian besar praktek korupsi yang terjadi pada era desentralisasi justru dilakukan oleh anggota parlemen (DPRD) yang notabenenya secara fungsional merupakan lembaga kontrol yang seharusnya merepresentasikan kehendak publik. Setidaknya sudah ada 102 kasus korupsi DPRD yang diberitakan oleh media massa selama kurun waktu Januari-Desember 2004.ibid 72 Lihat Suhirman & Dedi Haryadi, Distorsi Proses Anggaran dan Penguatan Masyarakat Sipil, Bandung, BIGS, 2002, hal 10 - 16 73 Berdasarkan Nota Keuangan APBD Pemda DKI 2005 ditetapkan 8 (delapan) program dan kegiatan prioritas yang meliputi : (1) Bidang hukum, ketentraman ketertiban umum dan kesatuan bangsa, (2) Bidang Pemerintahan, (3) Bidang Ekonomi, (4) Bidang pendidikan dan kesehatan, (5) Bidang kependudukan dan ketenagakerjaan, (6) Bidang sosial dan budaya, (7) Bidang sumber daya alam, dan lingkungan hidup, dan (8) Bidang sarana dan prasarana kota. 18 69 70 Dasar Program Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah Program Pengembangan Pendidikan Sekolah Tingkat Menengah Umum dan Kejuruan II. Fungsi Kesehatan Program Peningkatan Kesehatan Masyarakat Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan Program Penanganan Gawat Darurat Program Perbaikan Kebijakan dan Manajemen Kesehatan III. Fungsi Kesejahteraan Sosial Program Peningkatan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Program Peningkatan Peran Serta Sosial Masyarakat IV. Fungsi Pemberdayaan Masyarakat Program Pemberdayaan Perempuan Total Rp Rp 20.268.897.000,00 322.398.808.265,00 Rp Rp Rp Rp 71.823.026.500,00 305.378.019.048,00 10.362.672.500,00 257.583.747.185,00 Rp Rp 74.765.645.332,00 8.187.029.000,00 Rp Rp 7.804.000.000,00 1.777.237.786.320,00 Sumber : Diolah dari Nota Keuangan APBD DKI 2005 Alokasinya pun, tidak diterjemahkan ke dalam program yang bersifat konkrit untuk memecahkan persoalan anak, seringkali alokasi itu diejawantahkan ke dalam program yang masih dalam tataran wacana, perencanaan, dan kegiatan yang bersifat seremonial. Penetapan alokasi anggaran publik seperti ini berimplikasi terhadap upaya penghargaan, pemenuhan, dan perlindungan hak anak. Alokasi anggaran publik yang demikian menunjukkan distorsifitas alokasi APBD akibat dominannya kepentingan ideologi pengambil kebijakan (top down approach). Padahal persoalan utama untuk sektor pendidikan adalah naiknya angka putus sekolah akibat semakin mahalnya biaya pendidikan dasar. Berdasarkan penelitian ICW angka anak putus sekolah di wilayah DKI masih tinggi berkisar 15 ribu orang. 74 Faktor utama biaya pendidikan semakin mahal akibat aneka pungutan yang membebani orang tua peserta didik masih terus terjadi di wilayah DKI.75 Akibatnya keluarga miskin enggan menyekolahkan anaknya karena terbentur faktor biaya. Faktor ini diperburuk terdapatnya kultur masyarakat yang beranggapan anak sebagai penopang ekonomi keluarga. Akibatnya anak cenderung diarahkan untuk membantu orang tua mencari nafkah keluarga. Namun respon Pemda DKI sangat minimalis dn hanya berorientasi proyek. Hal ini dapat dilihat capaian program yang hanya mengidentifikasi, menganalisis serta menyusunan data penyebab anak putus sekolah. Pihak yang akan menerima manfaat dalam program ini hanya ditargetkan sebanyak 1.187 siswa SD dan 2.263 siswa SMP termasuk anak usia sekolah yang bekerja76. Melihat respon seperti ini maka eradikasi anak putus sekolah akan sulit terealisasi. Kondisi-kondisi yang telah diuraikan di atas semakin diperburuk dengan banyaknya fasilitas SD dan SMP yang rusak. Catatan Dinas Pendidikan Dasar DKI menyebutkan di wilayah DKI terdapat 68 SDN dan 50 SLTPN ambruk yang perlu diperbaiki. Program rehabilitasi gedung sekolah yang terancam ambruk hanya mendapatkan kucuran dana sebesar Rp 200 miliar. Bandingkan dengan program Busway yang lebih Lihat Ade Irawan, et.al, Mendagangkan Sekolah : Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI, Jakarta, ICW, 2004, hal 4 – 5 75 Temuan ICW dilapangan berdasarkan FGD di 5 (lima) wilayah di DKI Jakarta bersama guru, orang tua siswa, dan siswa. Dari FGD tersebut ditemukan aneka pungutan yang diterapkan pihak sekolah. Berdasarkan temuan tersebut paling tidak ada 17 dana potongan ditemukan di SD di Jakarta seperti biaya ujian, bagunan sekolah, seragam sekolah, seragam SD, buku paket, wisata belajar, kegiatan ekstrakurikuler, daftar ulang, uang rapor, OSIS, UKS, perpustakaan, perayaan hari besar, gaji guru honorer, dana taktis sekolah, hingga mutasi kepala sekolah. Akibatnya porsi penghasilan orang tua tersedot untuk membiayai sekolah anaknya. Untuk itu mereka kerap mengorbankan kebutuhan primer lainnya seperti makan, baik kualitas maupun kuantitas, ibid, hal. 94 – 97 76 Lihat Nota Keuangan APBD DKI 2005, Bab IV Program dan Kegiatan Prirotas, bidang Pendidikan dan Kesehatan khususnya Program Pengembangan Pendidikan Sekolah Tingkat Dasar. Lihat halaman IV-37. 19 74 diprioritaskan oleh PemdaDKI yang menyediakan dana mencapai Rp 458,8 miliar. 77 Perefensi politik kebijakan alokasi ini jelas berdampak pada jaminan penikmatan hak atas sarana pendidikan yang aman dan nyaman. Demikian pula halnya, sektor kesehatan yang tidak dijadikan sebagai kegiatan dengan skala besar dan prioritas (dedicated program), Pemda DKI malahan lebih mengalokasikan anggarannya untuk membangun flyover dan underpass Pasar Minggu sebesar Rp 153,8 milyar, Islamic Center sebesar Rp 61,2 milyar, dan penguatan manajemen kecamatan dan kelurahan sebesar Rp 81,4 milyar,78 ketimbang mengalokasikannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya. Padahal, sebagaimana disinyalir oleh media massa hampir setiap tahun wabah demam berdarah menjangkiti warga DKI Jakarta di mana sebagian besar korbannya adalah anakanak. Respon Pemda DKI dengan kebijakan pengobatan gratis bagi penderita demam, memang perlu mendapatkan apresiasi, namun upaya ini belum menjawab akar masalah munculnya wabah demam berdarah yang justru timbul karena kesehatan lingkungan yang buruk. Permasalahan ini menyangkut terhambatnya akses untuk mendapatkan perumahan yang layak, air bersih, dan kecukupan pangan yang bergizi. Selain itu, Pemda DKI juga telah menganggarkan dana kesehatan sebesar Rp 100 milyar melalui program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) bagi 291.324 orang penduduk miskin yang ber KTP Jakarta. Program JPK Gakin ini sudah mulai diuji cobakan sejak 2004 dan akan berakhir pada tahun 2006.79 Namun program ini, selain bersifat diskriminatif terhadap keluarga miskin pendatang, pendekatannya berorientasi proyek bukan bersifat programatik dalam rangka menunaikan kewajiban negara. Selanjutnya, untuk menjamin hak atas permukiman yang layak, Pemda DKI justru mengalokasikan anggaran yang berpotensi menghilangkan hunian-hunian warga miskin DKI. Program-program yang berpotensi melanggar hak atas permukiman antara lain : Program Banjir Kanal Timur didanai sebesar Rp 450 miliar untuk membebaskan tanah seluas 401,2 ha.; program Kali Angke, Kali Ciliwung, dan situ-situ didanai sebesar Rp 401,5 miliar; penghijauan sebesar Rp 30,5 miliar. Potensi ini akan semakin meningkatkan angka backlog (kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi). Padahal kebutuhan unit perumahan baru di Indonesia memiliki backlog sebesar 4,5 juta unit (2001), 7,3 juta unit (2004), dan 11,7 juta unit (2009). Sementara pembangunan rumah susun dianggarkan sebesar Rp 166,8 miliar. 80 APBD DKI 2005 apabila ditelisik lebih jauh dengan perspektif gender maka anggaran yang tersedia belum mencerminkan keadilan gender (gender justice) dan responsif secara gender. Hal ini nampak pada distribusi alokasi anggarannya belum tersegregasi menurut jenis kelamin. Artinya masalah-masalah anak-anak perempuan yang mengalami hambatan untuk menikmati hak-haknya belum teridentifikasi dan terakomodasi ke dalam program. Seharusnya kultur patriarkhi yang masih menghinggapi sebagian besar masyarakat dapat dieliminasi melalui intervensi aktif negera melalui kebijakannya, salah satunya melalui anggaran publik. Dengan demikian, sudah semestinya alokasi anggaran didesain secara de jure dan de facto mewujudkan tatanan yang berkesetaraan gender (gender equality). Namun dalam APBD DKI 2004 hanya terdapat satu program yang menggunakan term pemberdayaan perempuan dengan alokasi dana sebesar 7,8 milyar. Alokasi-alokasi belanja sosial sebagaimana telah diurai di atas jauh lebih kecil dibandingkan dengan belanja untuk melaksanakan fungsi pemerintahan. Tabel Alokasi anggaran untuk melaksanakan fungsi kepemerintahan Pemerintah Daerah Uraian 1. Bidang Hukum, Trantib, dan Kesbang 2. Pemerintahan Total Besaran Alokasi Rp 634.993.282.400,00 Rp 3.518.399.713.349,00 Rp 4.153.392.995.749,00 Lihat Nota Keuangan APBD DKI 2005, Bab III bagian 3.3. Arah dan Kebijakan Umum, halaman III-4 ibid, hal. III-5 79 Lihat www.kompas.com, 5 April 2005 80 Lihat Nota Keuangan APBD DKI 2005, Bab III bagian 3.3. Arah dan Kebijakan Umum, op. cit 20 77 78 Sumber : Diolah dari Nota Keuangan APBD DKI 2005 Sementara, melalui Peraturan Gubernur Nomor 114 tahun 2005 tentang Belanja DPRD DKI yang ditetapkan 30 September sehari menjelang kenaikan harga BBM sebesar lebih dari 100%, peraturan tersebut menaikan tunjangan kesejahteraan anggota DPR sebesar 100% dibanding tahun sebelumnya. Melalui peraturan ini anggota DPRD DKI mendapat 8 (delapan) bentuk pendapatan, yaitu uang representasi, uang paket, dan 6 (enam) jenis tunjangan khusus keluarga meliputi istri/suami dan anak-anak serta tunjangan beras 10 kg per bulan. Uang representasi bagi ketua DPRD dibeikan Rp 3 juta, wakil ketua Rp 2,4 juta dan anggota Rp 2,25 juta. Sementara uang paket diberikan sebesar 10% dari uang representasi masing-masing kedudukan. Anggota DPRD juga mendapatkan tunjangan jabatan Rp 4,35 juta (ketua), Rp 3,48 (wakil ketua), dan Rp 3,26 juta (anggota). Tunjangan sebagai anggota panitia atau alat kelengkapan dewan lainnya diberikan sebesar 3 – 7,5% dari tunjangan jabatan. Tunjangan kunjungan kerja Rp 1,5 juta/ sekali kunjungan. DPRD DKI mendapatkan jatah kunjungan kerja 17 kali tiap bulan. Kalau kegiatan ini diambil penuh maka seorang anggota bisa mengantongiRp 25,5 juta/bulan. Semua ini belum termasuk tunjangan lain, termasuk menerima delegasi. 81 Korupsi model ini dianggap seolah-olah bukan merupakan tindakan korupsi karena telah dinaungi dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang legal. Padahal dari sisi materi peraturan, banyak terdapat penyimpangan (corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepantasan umum atau kelaziman. Oleh karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi. Mengingat legalisasi penyimpangan ini didasari atas kesepakatan dua pihak pengelola daerah. Korupsi yang telah melibatkan anggota dewan itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab pihak eksekutif sebagai penyusun anggaran publik.82 Gejala ini, dalam perspektif Aristotelian, merupakan pemerintahan yang dilaksanakan oleh sekelompok orang untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Negara yang dikawal dengan pemerintahan semacam ini dikenal dengan oligarchie. Dalam hal pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan orang-orang kaya , pemerintahan ini dikenal dengan plutokrasi. Kedua bentuk pemerintahan ini merupakan pemerosotan bentuk ideal negara (good form of government) menuju bentuk negara yang tidak baik (bad form of government). VI. Rekomendasi : 1. Mengamandemen substansi instrumen hukum nasional yang secara substansi bertentangan dengan substansi instrumen hukum hak asasi manusia 2. Menjadikan indikator pemenuhan hak asasi manusia sebagai rujukan dalam menyusun kebijakan publik 3. Paradigma child mainstreaming harus dijadikan paradigma baru penetapan kebijakan publik baik regulasi maupun anggaran publik www.kompas.com. 14 Oktober 2005 Adnan Topan Husodo, op. cit. 21 81 82