BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah investasi paling mahal guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam era globalisasi ini kemajuan teknologi mampu memberikan pengaruh perubahan sosial yang begitu cepat. Perubahan tersebut mempunyai konsekuensi secara umum dibidang kesehatan dan secara khusus di bidang kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan memprihatinkan. Kementerian kesehatan RI dalam acara peringatan Hari Kesehatan Jiwa sedunia pada tanggal 10 Oktober 2015 mengangkat tema “Dignity in Mental Health atau Martabat dalam Kesehatan jiwa”. Tema ini memberikan makna bahwa kesehatan jiwa itu selalu melekat pada kesehatan setiap individu atau dengan makna lain seseorang belum dapat dikatakan sehat jika jiwanya belum sehat. Menurut Kusumawati (2010) mengatakan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri, serta terbebas dari stres yang serius. Sedangkan gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (Cognitive), emosi (Affective), serta tindakan (Psychomotor) (Yosep, 2013). Menurut Townsend (2009), gangguan jiwa merupakan respon maladaptif baik dari faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang berhubungan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan norma kebiasaan, kegiatan, fungsi tubuh serta mampu mempengaruhi interaksi sosial individu. 1 2 Di berbagai belahan negara di dunia, fenomena mental disorder atau gangguan jiwa terus meningkat secara signifikan. Menurut data dari WHO (World Health Organization) terdapat satu dari empat populasi manusia di dunia yang mengalami gangguan jiwa. Menurut Yosep (2013) dari WHO menyebutkan terdapat sekitar 450 juta orang mengalami gangguan jiwa di seluruh dunia. Dalam sebuah penelitian dari Rudi Muslim dalam Mubarta (2011) prevalensi atau kejadian yang sering terjadi dalam sekelompok orang menyatakan bahwa kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6.55%. Menurut data dari 33 Rumah Sakit Jiwa yang berada di Indonesia menyebutkan terdapat 2.5 juta penderita gangguan jiwa di Indonesia. Menurut Keliat (2011) pasien gangguan jiwa akan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama dan 70% pada tahun kedua. Sedangkan menurut Dr Tun Kurniasih Bastaman,SpKJ (Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran UI) 75-80% pasien gangguan jiwa dapat disembuhkan,dan sisanya mengalami kekambuhan. Menurut Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas tahun 2007 di Indonesia lebih dari satu juta jiwa mengalami gangguan jiwa berat, diketahui bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa sebesar 11,6%. Pada tahun 2013 jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mengalami penuruan, yaitu mencapai 1.7 juta/mill mengalami gangguan jiwa atau prevalensinya 6,0%. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada 3 penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0%. Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Riskesdas, 2013). Provinsi Jawa Tengah terdapat prevalensi gangguan jiwa mencapai 3,3% dari populasi penduduk di Jawa Tengah (Balitbangkes, 2008). Terdapat 1.091 kasus yang mengalami gangguan jiwa dan beberapa kasus hidup dalam pasungan, data tersebut diambil dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah melalui pendataan dari bulan Januari hingga November 2012 (Hendry, 2012). Berdasarkan studi pendahuluan, di Kabupaten Sukoharjo banyak penderita gangguan jiwa. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo terdapat 2778 kasus gangguan jiwa atau mental disorder (DKK Sukoharjo, 2013). Pada tahun 2013 di Kabupaten Sukoharjo jumlah penderita gangguan jiwa mencapai 2537 orang (DKK Sukoharjo, 2013). Penderita gangguan jiwa tahun 2014 di Kabupaten Sukoharjo turun menjadi 1138 kasus. (DKK Sukoharjo, 2014). Berdasarkan data dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta penderita gangguan jiwa dari Kabupaten Sukoharjo sebanyak 4707 penderita, yaitu sebanyak 331 pasien rawat inap dan 4376 pasien rawat jalan (Rekam Medik RSJD Surakarta, 2013). Kecamatan Kartasura juga terdapat banyak penderita gangguan jiwa. Terdapat 95 kasus gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas kartasura data 4 tersebut diambil dari kunjungan pasien gangguan jiwa di puskesmas Kartasura pada tahun 2013. Tahun 2015 penderita gangguan jiwa di Kecamatan Kartasura mengalami kenaikan, yaitu sebanyak 163 penderita gangguan jiwa. Dari hasil pengamatan dilapangan, diwilayah Kartasura masih banyak ditemukan penderita gangguan jiwa yang berada dijalanan dan mereka tidak mendapatkan kehidupan yang layak meskipun kondisinya sedang mengalami gangguan jiwa. Setidaknya setiap hari peneliti menemukan satu sampai dua orang gangguan jiwa berkeliaran di jalanan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Desa Makam haji sendiri menurut data dari bidan desa setempat, penderita gangguan jiwa tahun 2015 mencapai 11 kasus. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan mengingat cakupan desa mencapai 11 kasus penderita gangguan jiwa. Dalam pelayanan kesehatan jiwa tidak lagi difokuskan pada upaya penyembuhan klien semata, tetapi juga dilakukan upaya pendidikan kesehatan jiwa atau upaya pencegahan dengan sasaran selain klien gangguan jiwa, juga klien dengan penyakit kronis dan individu yang sehat sebagai upaya preventif. Upaya ini tidak hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan tetapi juga melibatkan unsur pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan memberikan pemahaman, meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap masalah kesehatan jiwa warganya. Upaya dalam pemberdayaan masyarakat terhadap kesehatan jiwa dapat dicapai dengan manajemen pelayanan kesehatan khusunya pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Bentuk pendekatan manajemen pelayanan 5 kesehatan jiwa komunitas ini salah satunya melalui pendeteksian dini gangguan jiwa yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat melalui kader kesehatan. Kader yaitu seseorang yang karena keterampilan dan kemahiran atau kecakapannya diangkat, dipilih atau ditunjuk untuk mengemban peran dalam sebuah kegiatan masayarakat seperti posyandu dan kegiatan kesehatan lainnya (Mubarak, 2009). Sebagian besar kader kesehatan ialah seorang wanita dan anggota PKK yang sudah menikah dan berumur 20-40 tahun serta memenuhi syarat-syarat tertentu semisal harus bisa membaca, menulis, sehat secara jasmani dan rohani serta tinggal menetap di daerah atau desa tersebut (berdomisili). Dalam hal ini kader kesehatan berperan penting untuk mengubah stigma buruk bagi keluarga dan penderita gangguan jiwa. Selain itu, kader juga berfungsi mendeteksi sedini mungkin kekambuhan bagi penderita gangguan jiwa agar penderita gangguan jiwa tidak bertambah parah atau bertambah banyak, karena kebanyakan penderita gangguan jiwa mengalami kekambuhan penyakitnya. Menurut Konginan (2013) staf psikiatri dan paliatif RSUD Dr. Soetomo dalam seminarnya di kantor Dinas Kesehatan Kota Surabaya menjabarkan tujuan serta manfaat dari pendeteksian dini gangguan jiwa yakni untuk pemberian informasi pengetahuan dan pemahaman serta perhatian terhadap kondisi psikologis. Sehingga masyarakat atau keluarga dan penderita gangguan jiwa mampu menghindari dan menanggulangi akan terjadinya gangguan-gangguan jiwa atau mental 6 disorder. Pemberdayaan kader kesehatan untuk pendeteksian dini kekambuhan gangguan jiwa sangat diperlukan di dalam masyarakat, untuk mencegah terjadinya stigma buruk bagi penderita gangguan jiwa seperti pemasungan. Kader kesehatan dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan sikap yang baik guna mencegah, mendeteksi dan meningkatkan kesehatan masyarakat, terlebih dalam kesehatan jiwa. Pengetahuan sendiri menurut Notoatmodjo (2011) merupakan hasil dari tahu atau mengerti, dan hal ini terjadi dari proses pengindraan melalui panca indra terhadap sebuah objek tertentu, biasanya melalui indra penglihatan dan pendengaran. Sedangkan sikap adalah bentuk keadaan dalam rangka merespon stimulus yang ada. Sehingga sikap melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan lain. Sikap sendiri memiliki tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan perilaku (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan dan sikap kader yang baik, dapat dicapai dengan cara memberikan pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan merupakan sebuah kegiatan atau cara untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang, keluarga, kelompok maupun kominitas dalam mempertahankan kondisi kesehatan yang maksimal sehingga mampu mengurangi ketergantungan (Nursalam, 2003). Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai media, salah satunya melalui leaflet, poster, kuesioner dan lembar bolak-balik (Notoatmodjo, 2010). 7 Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh pendidikan kesehatan tentang deteksi dini gangguan jiwa pada pengetahuan dan sikap kader” B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalah yaitu “Bagaimana Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perubahan tingkat pengetahuan dan sikap kader kesehatan mengenai deteksi dini kekambuhan gangguan jiwa di Desa Makam haji Kecamatan Kartasura ?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perubahan tingkat pengetahuan dan sikap kader kesehatan mengenai deteksi dini kekambuhan gangguan jiwa di Desa Makam haji Kecamatan Kartasura. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: a. Mengetahui karakteristik personal kader. b. Mendiskripsikan tingkat pengetahuan kader. c. Mengetahui tingkat pengetahuan kader kesehatan mengenai deteksi dini kekambuhan gangguan jiwa sebelum dilakukan pendidikan kesehatan di Desa Makam haji Kecamatan Kartasura. 8 d. Mengetahui tingkat pengetahuan kader kesehatan mengenai deteksi dini kekambuhan gangguan jiwa setelah dilakukan pendidikan kesehatan di Desa Makam haji Kecamatan Kartasura. e. Mengetahui kekambuhan sikap kader gangguan kesehatan jiwa mengenai sebelum dilakukan deteksi dini pendidikan kesehatan di Desa Makam haji Kecamatan Kartasura. f. Mengetahui sikap kader kesehatan mengenai deteksi dini kekambuhan gangguan jiwa setelah dilakukan pendidikan kesehatan di Desa Makam haji Kecamatan Kartasura. g. Mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan mkengenai deteksi dini kekambuhan gangguan jiwa. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis a. Bagi peneliti dapat menambah ilmu pengetahuan, wawasan dalam ilmu kesehatan jiwa, serta mampu memecahkan dan memberikan ide bagi permasalahan kesehatan jiwa yang ada. b. Bagi institusi pendidikan yaitu untuk menambah literatur tentang penderita gangguan jiwa, dan hasil dari penelitian dapat digunakan sebagai sumber dalam pengembangan ilmu pengetahuan penelitian selanjutnya. 9 2. Secara Praktis a. Bagi kader kesehatan dapat dijadikan sebagai masukan untuk membantu proses pemberdayaan kader, pendeteksian dini gangguan jiwa dan memberikan dukungan yang tepat untuk penderita gangguan jiwa. b. Bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai masukan dan evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan jiwa terutamanya. E. Keaslian Penelitian 1. Pramujiwati (2013) dengan judul “Pemberdayaan Keluarga dan Kader Kesehatan Jiwa dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronis dengan Pendekatan Model Precede L. Green di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru Bogor Utara”. Penelitian ini menggunakan metode serial studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan dengan pemberian kombinasi tindakan keperawatan dan pemberdayaan kader memiliki hubungan yang erat. Peningkatan kemampuan akan menyebabkan peningkatkan kemandirian pasien harga diri rendah. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada tempat, variabel yang digunakan,serta metode penelitian. Penelitian ini menggunakan metode serial studi. 10 2. M, Anny (2015) dengan judul “Pelatihan Kader Kesehatan Jiwa Desa Undaan Lor Dengan Cara Deteksi Dini Dengan Metode Klasifikasi”.Penelitian ini menyimpulkan bahwa setelah dilakukan pelatihan, kader kesehatan jiwa mampu melakukan deteksi dini,menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam penyuluhan kelompok sehat, serta mampu melakukan perujukan kasus dan pelaporan. Kegiatan yang dilakukan oleh kader kesehatan jiwa mendapat supervisi dari perawat CMHN atau penanggung jawab program kesehatan jiwa dari Puskesmas Undaan lor. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode yang digunakan serta tempat penelitian. 3. Murhayanto (2008) dengan judul “Keefektifan Pelatihan Tenaga Medis dan Paramedis Puskesmas Terhadap Deteksi Dini Gangguan Jiwa di Kabupaten Sukoharjo”. Penelitian inimenggunakan jenis penelitiaan kuasi eksperimental dengan rancangan Randomised Controlled Group Design yang dilakukan di Kabupaten Sukoharjo. Kesimpulan daripenelitian ini adalah pelatihan diagnosis dan penatalaksanaan gangguan jiwa di Puskesmas terhadap tenaga medis dan paramedis efektif dalam meningkatkan pemahaman dokter dan perawat tentang gangguan jiwa dan deteksi dini gangguan jiwa di Puskesmas Kabupaten Sukoharjo. 11 Perbedaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian dan variabel penelitian. Penelitian ini menggunakan rancangan Randomised Controlled Group Design. 4. Pratomo (2013) dengan judul “pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perubahan tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat pada gangguan jiwa di Desa Nguter Kabupaten Sukoharjo”. Hasil dari penelitian inni adalah terdapat pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai gangguan jiwa. Perbedaan dengan penelitian ini adalah subjek atau responden serta metode penelitiannya.