BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal jantung

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dan
menjadi penyakit yang terus meningkat kejadiannya. Studi Framingham
memberikan gambaran yang jelas tentang gagal jantung. Pada studinya disebutkan
bahwa kejadian gagal jantung per tahun pada orang berusia > 45 tahun adalah 7,2
kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan. Di
Amerika hampir 5 juta orang menderita gagal jantung (Sani, 2007).
Pasien gagal jantung mengalami peredaran darah sistemik dan sirkulasi
yang berjalan lambat. Pemindahan O2 dan CO2 dalam paru-paru yang
berlangsung lambat akan menyebabkan kebutuhan oksigen dan zat-zat makanan
seluruh organ dan jaringan tubuh tidak dapat dipenuhi. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya kesulitan bernafas secara mendadak dan perasaan
tercekik (Rilantono, 2004).
Data Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan RI tahun 2007
menyebutkan bahwa penyakit jantung masih merupakan penyebab utama dari
kematian terbanyak pasien di rumah sakit Indonesia. Sedangkan menurut data
Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan RI tahun 2013, prevalensi gagal
jantung berdasarkan wawancara di Indonesia sebesar 0,13 %, dan yang
terdiagnosis dokter sebesar 0,3 %. Prevalensi gagal jantung berdasarkan
1
2
terdiagnosis dokter tertinggi DI Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur
(0,19%), dan Jawa Tengah (0,18%).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Majid (2010) yang berjudul “Analisis
Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Rawat Inap Ulang Pasien
Gagal Jantung Kongestif di Rumah Sakit Umum Yogyakarta”, mengatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung
kongestif adalah hipertensi, derajat penyakit, dukungan keluarga dan sosial,
kepatuhan (terapi, diet dan cairan tubuh), tingkat aktivitas dan istirahat serta
tingkat kecemasan pasien gagal jantung kongestif. Menurut hasil penelitian
Inayah (2009), yang berjudul “Hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme
koping pada pasien gagal jantung kongestif di RSU Pandan Arang Boyolali”,
didapatkan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif.
Pasien dengan gagal jantung sering merasa cemas, ketakutan dan depresi.
Hampir semua pasien menyadari bahwa jantung adalah organ yang penting dan
ketika jantung mulai rusak maka kesehatan juga terancam. Ketika penyakitnya
meningkat dan manifestasinya memburuk, pasien sering memiliki ketakutan yang
berlebihan karena cacat permanen dan kematian. Para pasien mengekspresikan
ketakutan dengan berbagai cara seperti mimpi buruk, insomnia, kecemasan akut,
depresi dan memungkiri kenyataan (Black, 2005).
Ketika seseorang mengetahui tentang penyakitnya, maka ia akan berpikir
tentang penyakitnya, cara pengobatan yang akan ditempuh, biaya yang
dihabiskan, prognosis penyakitnya, dan lama penyembuhan dari penyakitnya.
3
Pasien gagal jantung yang menjalani terapi pengobatan yang lama dan sering
keluar masuk rumah sakit akan memberikan dampak terhadap kecemasan yang
dirasakan oleh pasien terhadap penyakit yang dialaminya. Dampak yang dialami
merupakan reaksi psikologis terhadap dampak dari gagal jantung yang dihadapi
oleh pasien (Zaviera, F. 2007).
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis RSUP Sanglah
Denpasar, pada tahun 2011 pasien yang menjalani perawatan di ruang rawat
intensif jantung RSUP Sanglah Denpasar dengan gagal jantung berjumlah 38
pasien, pada tahun 2012 berjumlah 56 pasien, sedangkan data pasien gagal
jantung dari bulan Januari 2013 sampai dengan bulan Desember 2013 berjumlah
64 orang.
Menurut Potter dan Perry (2005), perawat mengembangkan berbagai
intervensi untuk membantu klien membentuk koping terhadap stress. Perilaku
koping yang benar dari pasien dapat mengatasi atau mengurangi kecemasan
pasien itu sendiri. Teori psikoanalitis klasik menyatakan bahwa pada saat individu
menghadapi situasi yang dianggapnya mengancam, maka secara umum ia akan
memiliki reaksi yang biasanya berupa kecemasan. Kecemasan sebagai syarat bagi
ego untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat (Zaviera, 2007).
Pasien gagal jantung banyak yang mengalami kecemasan yang bervariasi
dari kecemasan ringan sampai dengan kecemasan berat. Kecemasan yang dialami
pasien mempunyai beberapa alasan diantaranya cemas akibat sesak nafas, cemas
akan kondisi penyakitnya, cemas jika penyakitnya tidak bisa sembuh, cemas dan
takut akan kematian, yang dapat dilihat dari seringnya pasien bertanya tentang
4
penyakitnya dan berulang meskipun pertanyaan sudah dijawab, pasien terlihat
gelisah, sulit istirahat dan tidak bergairah saat makan (Sani, 2007).
Perencanaan pulang yang berhasil adalah suatu proses yang terpusat,
terkoordinasi, dan terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang memberi kepastian
bahwa pasien mempunyai suatu rencana untuk memperoleh perawatan yang
berkelanjutan setelah meninggalkan rumah sakit (AHA, 1983 dalam Potter &
Perry, 2005). Menurut Jurnal Managemen Keperawatan (2013), pelaksanaan
perencanaan pulang telah menjadi salah satu program kegiatan dalam sistem
pemberian asuhan keperawatan pada klien. Perawat sebagai tenaga kesehatan
yang secara langsung terlibat dengan perencanaan pulang sangat menentukan
proses pelaksanaan perencanaan pulang. Komitmen rumah sakit juga sangat
berpengaruh besar terhadap pelaksanaan perencanaan pulang bagi pasien.
Pelayanan keperawatan di rumah sakit di Indonesia telah merancang
berbagai bentuk format discharge planning. Untuk itu pelaksanaan discharge
planning di rumah sakit apalagi dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung
sangat penting diberikan sehingga pasien dan keluarga dalam memahami kondisi
kesehatannya dan mengurangi kecemasannya (Siahaan, Marthalena, 2009).
Wulandari (2011) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pelaksanaan
discharge planning di ruang rawat inap kelas III RSUP Sanglah masih belum
optimal. Hal itu terjadi karena pelaksanaannya bersamaan dengan health
education dan dokumentasi berupa resume keperawatan belum diinformasikan
secara lengkap oleh petugas kesehatan kepada pasien serta keluarganya.
5
Dari pihak RSUP Sanglah khususnya dari petugas ruang emergency PJT
sudah melakukan upaya untuk menangani kecemasan pasien. Salah satu cara
untuk mengurangi kecemasan tersebut adalah melalui pemberian discharge
planning berupa informasi intervensi medis dan non medis yang akan diberikan
selama perawatan, jadwal kontrol dan kebutuhan gizi yang harus dipenuhi setelah
di rumah, makanan atau minuman yang dapat memperberat sakit pasien, dosis
minum obat, serta kemana harus menghubungi jika sakitnya kambuh (Pedoman
Implementasi Standar JCI RSUP Sanglah Denpasar, 2012). Perencanaan pulang
ini dimulai ketika pasien masuk dalam rangka mempersiapkan pemulangan yang
awal dan kebutuhan yang mungkin untuk perawatan tindak lanjut di rumah.
Namun tidak semua penyampaian perencanaan pulang diberikan dengan lengkap
akibat
banyaknya
jumlah
pasien
dengan
berbagai
diagnose
gangguan
kardiovaskuler, kurangnya jumlah tenaga, serta tingginya rutinitas petugas,
sehingga akan menyebabkan pasien menjadi kurang mengerti dengan apa yang
disampaikan oleh tenaga kesehatan dan pasien akan merasa cemas dengan
kondisinya.
Studi pendahuluan yang dilakukan di Ruang Emergency PJT RSUP
Sanglah Denpasar pada tanggal 6 Oktober 2014 diperoleh data pasien gagal
jantung berjumlah enam orang, diantaranya sebanyak empat pasien menyatakan
cemas menunggu hasil pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan lebih lanjut dari
dokter, dua orang menyatakan merasa cemas karena merasakan sesak, kelelahan,
dan keterbatasan aktivitas yang dialami.
6
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan pemberian discharge planning dengan tingkat
kecemasan pada pasien gagal jantung di Ruang Emergency PJT RSUP Sanglah
Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara
pemberian discharge planning dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal
jantung di Ruang Emergency PJT RSUP Sanglah Denpasar?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui adanya hubungan antara pemberian discharge planning
dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal jantung di Ruang Emergency PJT
RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2
Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi pemberian discharge planning pada pasien gagal jantung
di Ruang Emergency PJT RSUP Sanglah Denpasar.
2) Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien gagal jantung di Ruang
Emergency PJT RSUP Sanglah Denpasar.
7
3) Menganalisis hubungan antara pemberian discharge planning dengan
tingkat kecemasan pada pasien gagal jantung di Ruang Emergency PJT
RSUP Sanglah Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Untuk menambah pembendaharaan ilmu pengetahuan dalam bidang
keperawatan, khususnya dalam penanganan kecemasan pasien dengan gagal
jantung dengan pemberian discharge planning. Selain itu juga diharapkan
penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya terkait dengan
pemberian discharge planning dengan tingkat kecemasan pada pasien dengan
gagal jantung.
1.4.2
Manfaat Praktis
Untuk
menambah
pengetahuan
dan
pemahaman
perawat
dalam
memberikan pelayanan keperawatan pasien gagal jantung, khususnya kecemasan
pasien gagal jantung, sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam
memberikan perawatan yang optimal.
1.5 Keaslian Penelitian
Berdasarkan telaah literatur, penelitian yang berkaitan dengan judul dari
penelitian ini adalah:
8
1. Inayah (2008), dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan tingkat
kecemasan dengan mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif
di RSU Pandan Arang Boyolali” Jenis penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan desain penelitian mengunakan rancangan deskriptif
korelatif. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah cross
sectional. Hasil analisis korelasi Kendal tau-b menunjukkan nilai
probabilitas sebesar 0,000 (p<α) dan hasil uji z sebesar 5,782 (5,782>1,96)
hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
tingkat kecemasan dengan mekanisme koping. Perbedaan dengan
penelitian ini terletak pada varibel terikat yang digunakan.
2. Wulandari (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan
Pelaksanaan Discharge Planning dengan Kesiapan Pulang Pasien di
Ruang Rawat Inap Kelas III RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2011”.
Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas yaitu pelaksanaan discharge
planning dan variabel terikat yaitu kesiapan pulang pasien. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah non-eksperimental dengan pendekatan
cross sectional. Metode sampling yang digunakan adalah consecutive
sampling dengan jumlah sampel sebanyak 123 pasien. Analisis data yang
digunakan adalah uji korelasi spearman rank. Hasil penelitian berdasarkan
uji korelasi didapatkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,409 dengan nilai
p sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan ada hubungan yang
sedang antara pelaksanaan discharge planning dengan tingkat kesiapan
9
pulang pasien. Perbedaan dengan penelitian ini antara lain terletak pada
varibel terikat yang digunakan.
Download