20 HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi DNA
Sumber DNA pada Aves biasanya berasal dari darah. Selain itu bulu juga
dapat dijadikan sebagai alternatif sumber DNA. Hal ini karena pada sebagian jenis
Aves memiliki pembuluh darah yang kecil seperti kakatua (Psittacidae) dan beo
(Sturnidae) sehingga ekstraksi DNA dari darah sulit dilakukan. Selain itu
penggunaan bulu dapat mengurangi stres pada burung dan mempermudah
pengambilan sampel pada jenis Aves yang ukuran tubuhnya kecil (Bello et al.,
2001). Cerit dan Avanus (2007b) menambahkan bahwa penggunaan bulu dapat
menghindari rasa sakit pada burung dan menurunkan resiko kontaminasi sehingga
biaya yang dibutuhkan lebih rendah.
Metode ekstraksi DNA dari sampel harus ditentukan dengan tepat. Ekstraksi
DNA pada penelitian ini dilakukan secara konvensional dan menggunakan extraction
kit (kit). Ekstraksi DNA yang berasal dari darah dilakukan dengan menggunakan
metode konvensional atau phenol chloroform, sedangkan ekstraksi DNA yang
berasal dari bulu dilakukan dengan menggunakan kit. Hal ini karena darah
merupakan sumber DNA yang paling umum digunakan sehingga dapat digunakan
metode phenol chloroform untuk efisiensi biaya. Dubiec dan Zagalska-Neubaurer
(2005) menjelaskan bahwa ekstraksi DNA dengan metode phenol chloroform
(Sambrook et al., 1989) menghasilkan kualitas dan kuantitas DNA yang optimal
dengan biaya lebih murah. Hickman et al. (1984) menyatakan bahwa sumber DNA
pada bulu didapat dari pangkal bulu (calamus) yang banyak mengandung sel epitel
dan mengandung penghambat (inhibitor) yaitu keratin sehingga proses ekstraksi
menjadi cukup sulit. Hasil ekstraksi DNA dengan menggunakan kit menghasilkan
kualitas DNA yang lebih baik, namun penggunaaan kit akan meningkatkan biaya.
Kualitas DNA
Kualitas DNA berkorelasi dengan kemurnian dan intensitas molekul dari
DNA. Pengujian kemurnian dan konsentrasi DNA hasil ekstraksi dapat diketahui
dengan menggunakan alat spektrofotometer dan intensitas molekul DNA dapat
diketahui dengan melihat intensitas cahaya dari pita DNA pada gel (Muladno, 2002).
20
Pengukuran jumlah DNA dengan spektrofotometer didasarkan pada prinsip
iradiasi sinar ultraviolet yang diserap oleh nukleotida dan protein dalam larutan.
Analisis asam nukleat umumnya dilakukan untuk penentuan konsentrasi rata-rata dan
kemurnian DNA yang terdapat dalam sampel. Jumlah dan kemurnian tertentu
diperlukan untuk kinerja optimal sampel DNA yang digunakan. Asam nukleat
menyerap sinar ultraviolet dengan pola tertentu. Sampel ditembus sinar ultraviolet
dan fotodetektor cahaya pada 260 nm, semakin besar cahaya yang diserap sampel,
maka semakin tinggi konsentrasi asam nukleat dalam sampel (Sambrook & Russel
2001). Hasil kemurnian dan konsentrasi DNA darah disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Kemurnian dan Konsentrasi DNA Darah
Sumber DNA
Kemurnian (A260/A280)
Konsentrasi (µg/µl)
Ayam 1
Ayam 2
Ayam 3
Ayam 4
Puyuh 1
Puyuh 2
Puyuh 3
Puyuh 4
Itik 1
Itik 2
Itik 3
Itik 4
Merpati 1
Merpati 2
Merpati 3
Merpati 4
1,546
1,438
0,965
1,741
1,417
1,417
1,391
1,100
1,100
1,200
1,433
1,611
1,571
1,667
1,429
1,500
1670
230
5640
1010
340
170
320
110
110
60
2020
580
110
100
100
150
Rataan
1,408
795
Konsentrasi DNA yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 50 μg/ml,
adapun untuk sampel yang memiliki konsentrasi DNA di atas 50 μg/ml dilakukan
pengenceran dengan menambahkan air destilata. Penggunaan sampel dengan
konsentrasi DNA yang sama dilakukan agar keberhasilan amplifikasi seragam. Tabel
3 menunjukkan konsentrasi DNA darah hasil ekstraksi memiliki nilai yang bervariasi
antara 60 sampai 5640 μg/ml. Hal ini disebabkan sampel darah yang diekstraksi
berasal dari sumber yang berbeda sehingga memiliki pengotor DNA yang berbeda.
21
Adanya bahan pengotor pada sumber DNA akan mempengaruhi konsentrasi DNA
yang diperoleh.
Hasil rasio absorbansi pada panjang gelombang 260/280 nm menunjukkan
tingkat kemurnian dari DNA. Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata kemurnian DNA
darah sebesar 1,408 yang berarti DNA yang dihasilkan tidak terlalu murni. Sambrook
et al. (1989) menjelaskan DNA dapat dikatakan murni apabila rasio absorbansi pada
panjang gelombang 260/280 nm dalam kisaran 1,8 – 2,0. Hal ini disebabkan oleh
adanya pengotor yang terdapat pada darah seperti protein sehingga menjadi sumber
kontaminan pada DNA. Selain itu enzim proteinase tidak bekerja secara optimal saat
proses ekstraksi DNA darah yang dilakukan dengan metode konvensional. Sambrook
et al, (1989) menjelaskan bahwa rasio A260/A280 akan semakin besar atau kecil dari
nilai 1,8-2,0 jika ditemukan kontaminasi dari protein atau fenol. Secara umum DNA
darah hasil ekstraksi dapat digunakan untuk proses amplifikasi.
Bulu burung merupakan suatu modifikasi dari jaringan kulit yang menanduk.
Bulu dapat dijadikan sebagai alternatif sebagai sumber DNA. Hasil kemurnian dan
konsentrasi DNA bulu disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Kemurnian dan Konsentrasi DNA Bulu
Sumber DNA
Kemurnian (A260/A280)
Konsentrasi (µg/µl)
Beo nias
Kakatua molukan 1
Kakatua molukan 2
Kakatua kecil jambul kuning 1
Kakatua kecil jambul kuning 2
1,429
1,273
1,643
1,250
1,400
200
280
230
200
210
Rataan
1,399
224
Nilai konsentrasi DNA bulu hasil ekstraksi memiliki hasil yang seragam
dengan kisaran antara 200 sampai 280 μg/ml (Tabel 4). Hal ini disebabkan oleh
metode ekstraksi pada bulu dilakukan dengan menggunakan kit ekstraksi. Hasil
rasio absorbansi pada panjang gelombang 260/280 nm menunjukkan tingkat
kemurnian dari DNA. Rata-rata kemurnian DNA bulu yaitu 1,399 yang berarti DNA
yang dihasilkan berada dibawah kisaran DNA murni yaitu 1,8 – 2,0. Hal ini karena
bulu banyak mengandung protein (keratin) yang dapat menjadi pengotor DNA
maupun penghambat (inhibitor) saat ekstraksi (Schill, 2007).
22
Pengujian kualitas DNA dengan menggunakan gel ditentukan oleh intensitas
cahaya dari pita DNA pada media gel. Penilaian kualitas DNA dilakukan dengan
elektroforesis pada gel agarose 1,5% dengan tegangan 100 volt selama 45 menit.
Hasil uji kualitas DNA pada gel agarose 1% disajikan pada Gambar 5.
Darah
Bulu
M
Gambar 5. Elektroforesis DNA Hasil Ekstraksi pada Gel Agarose 1,5%
Pita DNA darah lebih terang daripada pita DNA bulu pada gel agarose 1,5%
(Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh konsentrasi DNA darah yang lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi DNA bulu. Hasil ekstraksi darah pada gambar terlihat ada
bagian smear. Smear merupakan bagian DNA yang terdegradasi sehingga
menghasilkan DNA dalam berbagai ukuran. Sampel DNA yang berkualitas baik,
tidak mengandung DNA yang terdegradasi. Tebalnya smear yang terlihat pada
gambar dapat disebabkan oleh kurangnya TE (Tris-EDTA) ketika melarutkan sampel
DNA.
Amplifikasi Gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD)
Penelitian ini menggunakan gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD)
untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada Aves dengan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR). Primer spesifik yang digunakan pada penelitian ini yaitu primer P2
dan P8 karena primer ini yang paling sering digunakan untuk identifikasi jenis
23
kelamin pada Aves. Griffith et al. (1998) membuktikan bahwa primer P2 dan P8 ini
berhasil mengamplifikasi 27 jenis dari 28 spesies burung yang diteliti.
Amplifikasi gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) dilakukan pada
mesin thermal cycler dengan suhu annealing 60 ºC. Penentuan jenis kelamin dengan
primer P2 dan P8 dilakukan dengan melihat jumlah pita hasil elektroforesis. Jantan
memiliki satu pita dan betina memiliki dua pita. Hal ini karena Aves memiliki
kromosom sex yang berbeda dengan mamalia. Sifat heterogametik pada burung
dimiliki oleh betina (ZW) sedangkan jantan merupakan homogametik (ZZ)
(Ellergren, 1996). Gen CHD (Chromo Helicase DNA binding) dapat menunjukkan
perbedaan antara alel Z dan W pada betina (Griffiths et al,. 1996). Perbedaan ini
terjadi karena adanya keterpautan (linkage) antara posisi gen CHD dengan
kromosom kelamin pada Aves (kromosom Z dan W) (Griffith dan Korn, 1997).
Sebanyak 21 sampel Aves telah berhasil diamplifikasi dengan menggunakan
primer P2 dan P8. Hasil amplifikasi gen CHD menggunakan primer P2 dan P8
disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil Amplifikasi Gen CHD Menggunakan Primer P2 dan P8 pada Ayam
Kampung (A), Puyuh (B), Itik (C), Merpati (D), Beo Nias (E), Kakatua
Molukan (F) dan Kakatua Kecil Jambul Kuning (G) dengan
Elektroforesis Gel Agarose 2%.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pola pita pada ayam, puyuh dan itik tidak
berbeda antara jantan dan betina yaitu sama-sama memiliki pita tunggal pada gel
agarose 2%. Berbeda halnya pada merpati, beo nias, kakatua molukan dan kakatua
kecil jambul kuning yang memiliki pola pita berbeda antara jantan dan betina pada
24
gel agarose 2%. Penelitian ini menggunakan sembilan spesies Aves yang berbeda
sehingga setiap spesies memiliki ukuran fragmen yang berbeda pula karena memiliki
urutan basa yang berbeda. Panjang produk hasil amplifikasi gen CHD pada
penelitian ini dengan menggunakan primer P2 dan P8 berkisar antara 300-400 bp.
Hal ini sesuai dengan Griffiths et al. (1998) yang menemukan panjang produk hasil
amplifikasi gen CHD menggunakan primer P2 dan P8 dengan kisaran yang sama.
Fridolfsson & Ellergen (1999) dan Jensen et al. (2003) menjelaskan bahwa
perbedaan ukuran antara fragmen spesifik Z dan W pada primer P2 dan P8 sekitar
10-80 bp.
Hasil amplifikasi gen CHD pada ayam kampung (Gallus gallus domesticus)
tidak menunjukkan pola pita yang berbeda antara jantan dan betina pada gel agarose
2% (Gambar 6). Sekuen gen CHD yang ditemukan dari genBank berasal dari ayam
hutan (Gallus gallus) memiliki panjang fragmen spesifik Z dan W yaitu 345 bp dan
362 bp yang diketahui dari sekuen gen CHD-Z (GenBank Nomor Akses AF006659)
dan CHD-W (GenBank Nomor Akses AF006660) sehingga memiliki perbedaan
fragmen Z dan W sebesar 17 bp (Gambar 7). Sekuen gen ini dapat dijadikan sebagai
acuan untuk ayam kampung dengan perbedaan fragmen yang tidak jauh berbeda
dengan ayam hutan (Gallus gallus).
Hasil amplifikasi gen CHD pada puyuh yang tidak menunjukkan pola pita
yang berbeda antara jantan dan betina (Gambar 6). Hal ini disebabkan oleh
perbedaan ukuran pita Z dan W yang tipis yang mengakibatkan pita Z dan W
berimpit. Hal ini terbukti dengan panjang fragmen spesifik Z dan W adalah 385 dan
379 dari sekuen gen CHD-Z (GenBank Nomor Akses HQ175997) dan CHD-W
(GenBank Nomor Akses HQ175998) (Gambar 7). Perbedaan ukuran fragmen hanya
6 bp yang mengakibatkan pita Z dan W tidak terpisah pada gel agarose 2%. Morinha
et al. (2011) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa primer P2 dan P8 tidak
berhasil membentuk pola pita yang berbeda antara jantan dan betina di gel agarosa,
namun mendapat hasil yang berbeda dengan menggunakan resolusi gel yang sangat
tinggi yaitu PCR-SSCP pada Coturnix c. japonica.
Hasil amplifikasi gen CHD pada itik tidak menunjukkan pola pita yang
berbeda antara jantan dan betina (Gambar 6). Hal ini diduga bahwa perbedaan
ukuran pita Z dan W yang relatif sedikit sehingga tidak dapat dipisahkan pada media
25
gel agarose 2%. Informasi mengenai sekuen gen CHD-Z dan CHD-W pada itik
belum ditemukan sehingga perbedaan ukuran fragmen spesifik Z dan W belum dapat
diketahui.
forward (P8)
Cl_CHD-Z
: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTGTGTCTTGGTTCTGATTGACTTGTGCTTTTGTGTTGCT
Cl_CHD-W
: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTATCTCTGGGTTTTGACCAACTAACTTCTTGTTGTTGTG
Ccj_CHD-Z
: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTACCTCTGGGTTTTGACTGTATTGTGTTTTTATTTTGAT
Ccj_CHD-W : CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTATCGTTGGGTTTTGACTGATTTTTTTTCTTTGATACTT
Gg_CHD-Z
: CTCCCGAGGATGAGAAACTGTGCAAAACAGGTACCTCTGGGTTTTGACTGTCTTGCGTCTTTATGTTGAT
Gg_CHD-W : CTTCCAAGAATGAGAAACTGTGCAAAACAGGTATCTCTGGGTTCTGACTGATTTTTTTCTTTGATACTTC
Cl_CHD-Z
: GTTGGTTTAGTTTGTTGGGGATTGTTGTTGGGTTTTGTTTTTTTAGGGTTTTTTCCGTTTTCTGAACACG
Cl_CHD-W
: TTTCTTTGTTTTTTCATTACTGTTGTTTTTGGCTTGTACTTTTCACCCCCCATTTTTGACAGGCTAGATA
Ccj_CHD-Z
: ATTTTGATTTTGGTTTTTGCCTTCGTGTTTTGTTTTGTTTTGTTTTTTGTTTGTTTTTTGGTTTTTTTCT
Ccj_CHD-W : CCATTGCTGATGTTTTGGCTTGTACTTTTGTGTTGCGTGGTTTTCATCTGTTTTCCCCCCCAAATATTTT
Gg_CHD-Z
: ATTTTCATTTGAGTTTTTGCCTTTTTTCCCCCTTCTCTGAATTCATATTTTTGTCAGGCTAGATAAGACT
Gg_CHD-W : TATTGCTGATGTTTTGACTTGTACTTTTGTGTTGTGTGGTTTTCGTGTGTTTTTCCCCCAAAATATTTTT
Cl_CHD-Z
: TATTTTTGACAGGTTAGGCAAAACTTGACCTGTGTTTGTCAATCGCATAGCTTTGAACTACTTATTCTGA
Cl-CHD-W
: GCACATTATTAAAATGTTTTAGTCACATAGCTTTGAACTACTTAATCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAAT
Ccj_CHD-Z
: CCTTCTCTGAATTCATATTTTTGTCAGGCTAGATAAGACTTTACTGTGTGTGAGTAAATCATGTAGTTTT
Ccj_CHD-W : TAATGGACAACATTAAAACACGTGACTTAAACAACACATAAGTTGTTTTAGTCACGTAGCTTTGAACTAG
Gg_CHD-Z
: TTACTATGTTTGAGATAATCATGTGGTTTTGAATTCTCATGCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAATGGGAG
Gg_CHD-W : ATGGACTAGGTAACACATAAATAAAATGTTTTAGTCATGTAGCTTTGAACTAGTTACTCTGAAATTCCAG
Cl_CHD-Z
: AATTCCAGATCAGCTTTAATGGAAGTGAAGGAAGGCGCAGTAGGAGCAGAAGATACTCTGGATCTGATAG
Cl_CHD-W
: GGAAGTGAAGGGAAATGCAGTAGAAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGACTCCATGTCAGAAAGAA
Ccj_CHD-Z
: GAATTCTTATTCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAATGGAAGTGAAGGAAGACGTAGTAGGAGCAGAAGATA
Ccj_CHD-W : TTACTCTGAACTTCCAGATCAGCTTTAATGGAAAGGAAGGGAGATGCAGTAGGATCAGAAGATATTCTGA
Gg_CHD-Z
: TGAAGGAAGACGCAGTAGGAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGACTCCATCACAGAAAGAAAACGG
Gg_CHD-W : ATCAGCTTTAATGGAAATGAAGGGAGATGCAGTAGGAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGATTCCA
Cl_CHD-Z
: TGACTCCATATCAGAAAGAAAACGGCCAAAAAAACGTGGAAGACCA
Cl_CHD-W
: AACGACCAAAAAAACGTGGACGACCACGAACTATTCCTCGAGAAAA
Ccj_CHD-Z
: TTCCGGATCTGATAGTGACTCCATCACAGAAAGAAAACGGCCAAAA
Ccj_CHD-W : ATCTGATAGTGATTCCATCTCAGAAAGAAAACGACCAAAAAAACGT
Gg_CHD-Z
: CCAAAAAAGCGTGGAAGACCTCGAACCATTCCTCGAGAAAATATTA
Gg_CHD-W : TCTCAGAAAGAAAACGACCAAAAAAACGTGGACGACCACGAACTAT
Cl_CHD-Z
Cl_CHD-W
Ccj_CHD-Z
Ccj_CHD-W
Gg_CHD-Z
Gg_CHD-W
: CGAACCATTCCTCGAGAAAATATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA
(370)
(350)
: AAGCGTGGGAGACCTCGAACTATTCCTCGAGAAAATATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA
: GGACGACCACGAACTATTCCCCGTGAAAACATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA (379)
: AAGGATTTAGTGATTGCAGA (345)
: TCCCCGTGAAAACAATTAAAGGATTTAGTGATGCAGA (362)
: TATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA
(385)
reverse (P2)
Gambar 7. Sekuen Gen CHD-Z dan CHD-W pada Merpati (Cl), Puyuh (Ccj), Ayam
(Gg) dan Posisi Primer (warna kuning) (gen bank code ; GU289183,
GU289184, HQ175997, HQ175998, AF006659, dan AF006660)
26
Hasil amplifikasi gen CHD menunjukkan pola pita yang berbeda antara
jantan dan betina pada merpati (Gambar 6). Hal ini dibuktikan dengan ukuran
fragmen pita Z dan W yaitu 350 bp (GenBank Nomor Akses GU289184) dan 370 bp
(GenBank Nomor Akses GU289183) sehingga memiliki perbedaan ukuran fragmen
sebesar 20 bp (Gambar 7). Perbedaan 20 bp dapat membentuk pola pita yang terpisah
antara jantan dan betina.
Hasil amplifikasi gen CHD pada beo nias, kakatua molukan dan kakatua kecil
jambul kuning menunjukkan terdapat perbedaan pola pita antara jantan dan betina
(Gambar 6). Hal ini diduga bahwa perbedaan ukuran fragmen pita Z dan W relatif
besar sehingga dapat terpisah pada media gel agarose 2%. Belum adanya informasi
mengenai sekuen gen CHD-Z dan CHD-W dari spesies-spesies tersebut
menyebabkan perbedaan ukuran pita Z dan W belum dapat diketahui. Sekuen gen
CHD-Z pada merpati (Columba livia), puyuh (Coturnix coturnix japonica) dan ayam
(Gallus gallus) ditampilkan pada Gambar 7.
Implementasi Penentuan Jenis Kelamin secara Molekuler dalam
Pengembangan Riset dan Studi Keilmuan
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa primer
spesifik P2 dan P8 dapat mengidentifikasi jenis kelamin pada merpati, kakatua kecil
jambul kuning, kakatua molukan dan beo Nias. Namun primer spesifik P2 dan P8
belum bisa mengidentifikasi jenis kelamin pada ayam, puyuh dan itik.
Identifikasi jenis kelamin sangat penting dilakukan untuk memperbaiki
manajemen dalam budidaya ternak. Ayam dan itik telah dapat diketahui jenis
kelaminnya sejak masih anakan, namun pada puyuh sulit dilakukan sehingga saat ini
anakan puyuh masih dijual dipasaran secara unsex. Saat ini para peternak telah
mengetahui cara menentukan jenis kelamin pada ayam, puyuh maupun itik baik
secara fenotipik maupun vent sexing yang berdasarkan kloaka. Identifikasi jenis
kelamin secara molekuler pada ayam, puyuh dan itik dalam penelitian ini dilakukan
sebagai acuan lebih lanjut dalam studi molekuler.
Saat ini populasi burung endemik Indonesia mengalami penurunan drastis
akibat permintaan konsumen yang luar biasa. Selain itu burung endemik Indonesia
memiliki nilai jual yang tinggi. Soehartono & Mardiastuti (2002) menjelaskan bahwa
semua burung paruh bengkok Indonesia terdaftar dalam Appendix CITES yaitu
27
Appendix I (terancam punah) sebanyak 4 spesies dan Appendix II (genting)
sebanyak 73 spesies. Salah satu spesies yang termasuk dalam Appendix I yaitu
kakatua molucan (Cacatua moluccensis) dan kakatua kecil jambul kuning (Cacatua
shulpurea) termasuk dalam Appendix II.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi burung endemik
Indonesia yaitu pengembangbiakan, salah satunya penangkaran. Penangkaran burung
endemik masih belum berkembang di Indonesia. Hal ini karena para penangkar
masih sulit untuk menentukan jenis kelamin. Identifikasi jenis kelamin merupakan
hal yang utama dalam pengembangbiakan burung endemik Indonesia karena
sebagian besar burung termasuk jenis yang monomorfik. Identifikasi jenis kelamin
ini dapat bermanfaat untuk memperbaiki manajemen penangkaran, seperti
pemasangan ring pada anakan, menyatukan anakan jantan dan betina pada satu
kandang, meningkatkan ekonomi masyarakat dan sebagai studi keilmuan.
Pemasangan ring berfungsi untuk identifikasi secara legal pada burung
endemik Indonesia. Penyatuan anakan jantan dan betina pada satu kandang dapat
mempercepat proses dewasa kelamin sehingga dapat langsung dijodohkan.
Manajemen penangkaran yang baik akan dapat meningkatkan populasi burung
endemik Indonesia dan menekan biaya perawatan yang sangat tinggi. Burung
endemik Indonesia memiliki harga jual yang tinggi dan permintaan pasar yang tinggi
pula sehingga dengan identifikasi jenis kelamin ini dapat meningkatkan ekonomi
masyarakat. Selain itu identifikasi jenis kelamin dapat menjadi suatu studi keilmuan
mengingat minimnya informasi tentang identifikasi jenis kelamin secara molekuler
pada burung endemik Indonesia.
28
Download