Kelahiran Kembali Serikat Yesus

advertisement
Kelahiran Kembali Serikat Yesus
R. Sani Wibowo
Pada 7 Agustus 1814, Paus Pius VII merayakan Ekaristi di altar Santo
Ignasius di Gereja Gesu. Setelah Ekaristi selesai, dokumen restorasi Serikat Yesus
(selanjutnya dapat disebut Serikat) oleh Paus Pius VII dipromulgasikan di kapel
Sodality of Nobles. Kapel itu masih termasuk kompleks kuria. Di hadapan para
kardinal, bangsawan, dan kurang lebih seratus lima puluh anggota Serikat yang
dibubarkan, Monseigneur Cristaldi membaca dengan lantang bulla Sollicitudo
Omnium Ecclesiarum untuk menandai kelahiran kembali Serikat Yesus. Bulla itu
lebih singkat dibandingkan dengan Dominus ac Redemptor, dokumen yang
menandai pembubaran Serikat, karena hanya empat belas paragraf. Pius VII
memberikan pokok gagasannya pada paragraf pertama dengan mengatakan bahwa
restorasi Serikat terjadi dalam kerangka tugas pastoralnya yang memaksanya untuk
menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh Tuhan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan umat beriman di seluruh penjuru dunia. 1
Uraian sederhana ini hendak memaparkan perjalanan Serikat Yesus sesudah
restorasi, sampai kematian Jendral Roothaan yang berjarak empat puluh tahun dari
promulgasi Sollicitudo Omnium Ecclesiarum.
Bulla Sollicitudo Omnium Ecclesiarum
Keputusan untuk me-restorasi Serikat Yesus secara universal yang tertuang
dalam bulla Sollicitudo Omnium Ecclesiarum, tidak muncul begitu saja. Sebelumnya
telah ada dokumen yang menunjukkan izin untuk me-restorasi Serikat dalam
wilayah tertentu. Sebuah dokumen yang menjadi cikal bakal bulla yang
dipromulgasikan tahun 1814 tersebut, adalah Catholicae Fidei. Melalui dokumen
itu, Paus Pius VII, pada 7 Maret 1801, secara resmi mengakui Serikat Yesus di Russia
yang beranggotakan sekitar dua ratus orang. Satu dekade kemudian, dokumen itu
melahirkan gelombang permintaan untuk bergabung dengan Serikat Yesus di Russia
yang dilindungi oleh Catharina II. Paus mengabulkan permintaan yang datang dari
Swiss, Belgia, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Pemberian izin resmi dari Pius
VII menandai penjungkir-balikkan Dominus ac Redemptor yang dipromulgasikan
oleh Paus Clement XIV. 2
Menurut Miguel Coll, ada tiga faktor yang mempercepat pembalikan bulla
yang dipromulgasikan oleh Paus Clement XIV. 3 Pertama, terjadi perpecahan
1
William V. Bangert SJ, 1986, A History of The Society of Jesus, St. Louis: The Institute of Jesuit Resources,
hlm. 429.
2
Coll SJ, hlm. 66
3
Coll SJ, hlm. 66
|1
kesatuan pendapat dalam Wangsa Bourbon terkait para Yesuit. Pangeran Ferdinand
dari Parma membatalkan bulla pembubaran Serikat dan memanggil para Yesuit
untuk bekerja di wilayahnya. Dia meminta kepada Catharina II sekelompok Yesuit
pada 1793. Pada 30 Juli 1804, Pius VII memperluas konsesi yang ada pada
Catholicae Fidei bagi Kerajaan Dua Sisilia. Ferdinand IV yang tersentak oleh Revolusi
Perancis, meminta Paus untuk mengizinkan para Yesuit kembali ke Napoli. Faktor
kedua adalah perubahan bertahap sikap Pius VI yang semula sangat berhati-hati
dalam memberikan izin. Dia kemudian secara eksplisit menginginkan restorasi
Serikat Yesus meskipun sampai meninggalnya tidak dapat membuat suatu dokumen
resmi tentang hal itu. Faktor terakhir adalah ketetapan hati Pius VII yang setelah
kembali ke Roma, memutuskan untuk me-restorasi Serikat Yesus secara universal
demi menjamin rekonstruksi yang diperlukan setelah revolusi (Perancis).
Dari Restorasi sampai Periode Jenderal Fortis
Sebelum dibubarkan pada 1773, Serikat Yesus hidup dalam suasana
kerajaan-kerajaan nasional dan terbiasa dengan kedekatan antara tahta dan altar.
Ketika Serikat lahir kembali pada 1814, kondisi Eropa sudah sangat berbeda.
Revolusi Perancis beberapa puluh tahun sebelumnya, menghendaki de-kristianisasi
negara. J.C. Murray dengan meminjam ungkapan Geoffrey Brunn, melukiskan
suasana abad ke-19 sebagai penjungkalan civitas humana atas civitas Dei,
superioritas otoritas akal budi atas otoritas wahyu, dan penggantian doktrin
pengampunan yang menakjubkan dengan doktrin tentang ke-dapatsempurna-an
manusia yang kemudian terwujud dalam doktrin bahwa manusia terus mengarah
pada kemajuan (the doctrine of progress). 4 Menjelang pergantian abad 18 dan 19,
Paus Leo XIII menerima adanya sebuah teori konspirasi besar bertujuan untuk
mengendalikan semua mekanisme pemerintahan dan untuk menghancurkan Gereja
secara keseluruhan yang disimbolkan oleh penghancuran kota Roma. 5
Sementara itu, Padberg menunjukkan bahwa karena Revolusi Perancis dan
gerakan-gerakan setelahnya, Gereja Katolik kehilangan, dalam jumlah besar, sumber
kehidupan yang telah diandalkannya selama seribu tahun. 6 Pendidikan yang
sebelumnya menjadi hak prerogatif Gereja, hampir hilang sepenuhnya. Kecuali
beberapa fakultas kepausan di Roma, semua universitas di Eropa yang dulu
didirikan oleh gereja, tersekularisasi. Contoh lain datang dari salah satu ordo besar
dalam gereja, yaitu Benediktin. Sebelum Revolusi Perancis pecah, ada sekitar dua
ribu biara Benediktin di seantero Eropa, tetapi pada akhir revolusi, hanya tinggal
dua puluh biara yang masih hidup. Selama bertahun-tahun, terjadi sede vacante di
4
J.C. Murray SJ, 1952, “The Church and Totalitarian Democracy” dalam Theological Studies, XIII, hlm. 528.
J.C. Murray SJ, 1953, “Leo XIII on Church and State: The General Studies of the Controversy” dalam
Theological Studies XIV, hlm. 4-5.
6
Padberg SJ, hlm. 33.
5
|2
banyak keuskupan, banyak paroki tidak memiliki pastor, dan panggilan untuk
menjadi imam dan religius turun tajam.
Dalam situasi seperti itu, Serikat Yesus lahir kembali dengan kurang lebih
600 anggota. Sebagian dari antara para anggota adalah mereka yang sudah
bergabung dengan Serikat sebelum dibubarkan. Sebagian lagi adalah mereka yang
pergi Russia Putih dan menjadi bagian dari mata rantai yang hidup antara Serikat
sebelum pembubaran dan sesudah restorasi. Sebagian lain lagi berasal dari anggota
Fathers of Faith dan imam-imam dioses yang baru saja diterima. Ke-enamratus
anggota Serikat itu tercerai berai di seluruh Eropa dan beberapa bagian bumi lain.
Sebagian dari mereka sudah berusia tua.
Ketika dilahirkan kembali, Serikat dipimpin oleh Tadeo Brzozowski yang
secara ironis tinggal ribuan mil dari Roma. Brzozowski harus tinggal di Russia
sampai meninggal pada 1820 dan tidak pernah bisa menempati posnya di Roma
karena pemerintah Russia tidak memberinya izin. Sikap Russia yang dipimpin oleh
Tsar Alexander mulai berubah drastis sejak 1814. Pemerintah Russia secara resmi
memusuhi Serikat Yesus karena beberapa alasan. 7 Pertama, Tsar Alexander
menerima anggapan bahwa akan menjadi bahaya bagi Russia jika pemimpin Serikat
Yesus hidup di luar Russia. Kedua, Brzozowski menolak permintaan Tsar Alexander
untuk membangun sebuah agama yang sama bagi semua penduduk Russia. Ketiga,
ada seorang keponakan Pangeran Golitzyn yang pada suatu makan malam saat Natal
mengungkapkan keinginannya untuk menjadi Katolik. Keinginan itu mungkin
dipengaruihi oleh ajaran jernih yang disampaikan oleh seorang Yesuit Perancis, Jean
de Rozaven. Pangeran Golitzyn kemudian memindahkan keponakannya dari kolese
Yesuit dan menempatkannya di bawah pengawasan pemuka Orthodoks.
Menghadapi situasi itu, Brzozowski memberikan mandat besar kepada ViceJenderal, Mariano Petrucci, untuk menjalankan gubernasi Serikat. Petrucci harus
menjadi nahkoda Serikat untuk mengarungi krisis yang menerpa Serikat pada awal
kelahirannya kembali.
Krisis hebat terjadi sekitar Kongregasi Jendral pertama sesudah restorasi
dan kematian Brzozowski. Muncul dua kubu yang sudah bersilang pendapat
sebelum Kongregasi Jendral dilaksanakan. Kubu yang satu dimotori terutama oleh
Luigi Rezzi, Yesuit dari Sisilia. Kubu ini mempersoalkan keabsahan beberapa
delegasi dan menantang validitas pengucapan kaul yang dilakukan di Russia. Tujuan
kubu ini adalah menunda Kongregasi Jendral supaya mereka dapat menguasai suara
semakin banyak delegasi dan mengubah Konstitusi. Mariano Petrucci termasuk
dalam kubu ini. Kubu lain dipimpin oleh Jean de Rozaven yang dengan dukungan
delapan belas delegasi berhasil mengegolkan tuntutan akan pemilihan yang bebas.
Kubu ini kemudian mendekati sekretaris negara Vatikan, Kardinal Ercole Consalvi,
dan membuat Pius VII mengakui secara kanonis semua kaul yang diucapkan di
Russia Putih. Sebelum memilih Jenderal baru, Kongregasi Jenderal menurunkan
7
Bangert SJ, hlm. 434.
|3
Petrucci dan Pietroboni, Provinsial Itali, dari tugas mereka dan menghapus hak-hak
mereka dalam Kongregasi Jenderal. Kongregasi juga mengeluarkan seorang imam
dan seorang skolastik karena bersikukuh bahwa Serikat sesudah restorasi tidak
sama dengan Serikat sebelum pembubaran. Kongregasi Jendral kemudian memilih
Luigi Fortis, Yesuit Verona, untuk menjadi Jenderal dan mengeluarkan Rezzi dari
Serikat. Menurut Padberg, Fortis dipilih tidak hanya karena memiliki karakter dan
pengalaman untuk menjadi Jenderal, tetapi sebagai anggota yang sudah bergabung
sebelum Serikat dibubarkan, Fortis menjadi simbol dan realitas kontinuitas yang
sangat penting bagi Serikat pada awal kelahirannya kembali. 8
Sesudah restorasi, Serikat juga menghadapi tiga masalah internal lain.
Masalah pertama sebenarnya membahagiakan di samping mengkhawatirkan.
Terjadi pertumbuhan luar biasa dalam jumlah orang yang ingin bergabung dengan
Serikat. Namun, karena banyaknya karya yang harus ditangani oleh anggota yang
terbatas, penugasan Yesuit tertentu untuk formasi menjadi tidak memungkinkan di
banyak situasi. Masalah kedua berasal dari sebagian Kuria Kepausan yang
mempertanyakan karakteristik Serikat sebagai konggregasi religius dan karyakarya Serikat. Beberapa prelat menginginkan bahwa Serikat tidak sebebas seperti
sebelumnya. Masalah ketiga datang dari komposisi anggota Serikat pada awal
kelahirannya kembali. Ada tiga golongan anggota. Golongan pertama adalah mereka
yang sudah bergabung dengan Serikat sebelum pembubaran dan ketika Serikat direstorasi mereka telah berusia tua. Mereka telah bertahan dalam harapan sehingga
sesudah 1814, diri mereka penuh dengan ingatan-ingatan tentang masa lalu.
Golongan kedua adalah mereka yang bergabung setelah Serikat dibubarkan. Mereka
bertahan selama berjuang di Russia berkat ide tentang Serikat sehingga muncul
dalam diri mereka ketaatan berlebihan pada Serikat yang menekankan kejelasan
dalam struktur dan peraturan. Golongan ketiga adalah mantan anggota Serikat Hati
Kudus dan Fathers of Faith. Golongan keempat adalah mereka yang bergabung
sesudah Serikat di-restorasi dan jumlahnya bertambah secara sangat pesat. Dengan
komposisi keanggotaan semacam itu, jalan yang mudah dan mungkin satu-satunya
yang paling memungkinkan waktu itu untuk mengatur hidup Serikat adalah dengan
menekankan keseragaman. Keseragaman dipandang dapat menjadi suatu jalan
untuk menjamin sebuah vitalitas identitas spiritual dan untuk menyediakan
ketersediaan apostolis universal.
Dalam usahanya menanggapi pelbagai masalah yang ada dalam tubuh Serikat
pada periode awal sesudah restorasi, Fortis sungguh mendedikasikan dirinya meski
mendapat tantangan berupa ketidaksetujuan beberapa sektor, terutama di Italia.
Kesuksesan terbesar Fortis terletak dalam usaha untuk menyiapkan generasi masa
depan bagi Serikat Yesus. Pada 1820, ada sekitar 1300 Yesuit dan ketika Fortis
meninggal pada 27 Januari 1829, sudah terdapat 2100 Yesuit. 9
8
9
Padberg SJ, hlm. 34.
Coll SJ, hlm. 67.
|4
Sang Pendiri Kedua
Pada 9 Juli di tahun kematian Luigi Fortis, Kongregasi Jenderal ke-21
memilih Jan Philip Roothaan sebagai Jenderal baru. Yesuit yang berasal dari
Amsterdam, Belanda itu lahir pada 23 November 1785 dari pasangan Mathew
Egbert Roothan dan Mary Angel der Horst. Sejak kecil Jan Philip diajak ibunya pergi
ke Gereja Krijtberg yang dilayani oleh sekelompok imam dari Serikat Yesus yang
telah dibubarkan. Salah satunya adalah Adam Beckers yang menjadi pembimbing
rohani sekaligus guru bahasa Latin bagi Roothaan muda.
Pada diri Roothaan disematkan tiga julukan sekaligus, yaitu Paus Hitam,
Jenderal Latihan Rohani, dan Pendiri Kedua Serikat. Julukan pertama kemudian
melekat kepada setiap Jenderal Serikat Yesus setelah Roothaan. Julukan itu muncul
karena ada dugaan bahwa pengaruh Roothaan terutama selama masa pontifikal
Paus Gregorius XVI (1831-1846) sangat dalam. Dalam penelitiannya, Marcel
Chappin yang berkonsultasi dengan catatan Manfredini yang pernah menjadi
sekretaris Gregorius XVI dan Dom Gueranger, menemukan bahwa dugaan tersebut
tidak terbukti. Meskipun sering terjadi kontak antara Roothaan dan Paus, tidak ada
kebijaksanaan Tahta Suci yang diputuskan di Piazza del Gesu. 10 Meskipun demikian,
Roothaan dan Gregorius XVI berbagi visi konservatif yang sama, tetapi Paus itu
membangun visi itu secara mandiri dan tidak ada pengaruh Jenderal dalam hal ini.
Tentang keputusan-keputusan besar Tahta Suci, Roothaan biasanya tidak dimintai
konsultasi dan jika dimintai konsultasi, nasihatnya tidak selalu diikuti sepenuhnya.
Di luar beberapa urusan kecil, bukan Roothaan yang membuat Paus melakukan
sesuatu, tetapi malah sebaliknya. Inisiatif untuk menyalakan kembali semangat
misioner Serikat justru datang dari Paus. Peran Roothaan dalam Kuria Roma juga
terbatas. Perannya dalam Kongregasi untuk Pemilihan Uskup dan Disiplin Religius
sebagai anggota juga tidak signifikan. Memang sejak 1836, Roothaan dipilih menjadi
anggota sebuah kongregasi penting, yaitu Congergazione degli Affari Straordinari,
tetapi penelitian lebih mendalam dari arsip kongregasi itu menunjukkan bahwa dia
jarang dimintai konsultasi. Pengaruhnya yang terbatas juga terlihat dalam
hubungannya dengan Propaganda Fidei: dia tidak dapat menahan para Yesuit dari
menjadi vikaris apostolis dan jabatan uskup.
Julukan kedua “Jenderal Latihan Rohani” dilekatkan kepada Roothaan karena
selama menjadi Jenderal, dia menekankan ketepatan pemahaman tentang Latihan
Rohani (selanjutnya dapat disingkat: LR). Dia meyakini bahwa Latihan Rohani
adalah jantung spiritualitas Yesuit dan bahwa tidak ada masa depan bagi Serikat jika
anggotanya tidak mengerti Latihan Rohani secara akurat dan menerapkannya dalam
hidup mereka. 11 Keyakinan itu sangat kuat dalam diri Roothaan bagai batu karang
10
Marcel Chappin SJ, 1993, “Jan Philip Roothaan: The General of the Spiritual Exercises” dalam Centrum
Ignatianum Spiritualitatis vol. XXIV 1993:2, hlm. 46.
11
Chappin SJ, hlm. 48.
|5
karena dua hal. Pertama, pengalaman pribadi yang positif dan meyakinkan dalam
melakukan Latihan Rohani. Kedua, kecerdasan, keahlian, dan ketrampilannya yang
sangat tinggi dalam hal filologi. Catatan pribadinya dalam retret-retret pribadi
selama menjadi Jenderal (1829-1852), menunjukkan keinginannya yang kuat untuk
setia dengan gagasan Santo Ignasius.
Julukan ketiga bagi Roothaan, yaitu sebagai “Pendiri kedua Serikat” muncul
paling terakhir. Awalnya adalah seorang Yesuit Belgia, Victor de Buck yang sewaktu
menghadiri Konsili Vatikan I sebagai peritus, menjadi saksi atas meninggalnya P.
Joseph Pierling SJ, Yesuit Jerman dan Asisten Pater Jenderal waktu itu, Pater Beckx.
De Buck kemudian menulis sebuah biografi singkat untuk yang meninggal dan
biografi itu dikirim pada Provinsialnya di Brussel untuk dicetak dan disebarluaskan.
Tulisan itu menyebut bahwa Pierling masuk novisiat di Dunaburg setahun sebelum
Jan Roothaan yang digambarkan de Buck sebagai “seorang lelaki luar biasa dalam
setiap aspek hidupnya yang suatu hari akan menjadi Jenderal bagi seluruh Serikat
Yesus dan seakan menjadi pendiri kedua Serikat di seluruh dunia” 12. Perbandingan
tersebut dapat dimengerti meski Roothaan, seperti halnya terjadi pada Ignasius,
tidak mau mendapat julukan “Pendiri” karena sadar akan besarnya
penyelenggaraan Ilahi yang mendasari pembentukan dan berlangsungnya Serikat.
Roothaan dapat disandingkan dengan Ignasius karena tiga pokok. Pertama,
Roothaan memiliki perhatian sangat besar terhadap Latihan Rohani yang telah kita
lihat menjadi jantung spiritualitas Yesuit. Kedua, gaya kepemimpinan Roothaan
muncul secara alamiah dari dirinya. Dia memiliki ketangkasan dalam memilih
tindakan, insight yang spontan untuk memberi aneka tanggapan cepat, dan
pengaruh misterius bagi orang lain. 13 Ketiga, melalui suratnya pada 1883, Roothaan
mengobarkan kembali semangat misioner yang dimiliki oleh Serikat sebelum
pembubaran. Dalam surat itu, Roothaan menjelaskan sebuah rencana kerja,
menunjukkan daerah-daerah yang perlu dipanen bagi Allah, membangkitkan
ambisi-ambisi misioner yang menarik, dan meminta para Provinsial untuk dengan
murah hati membantu pelbagai karya di seberang lautan. Maka, muncul nama-nama
seperti Madurai, Nanking, Ceylon, Brazil, Argentina, Cili, Colombia bersamaan
dengan nama-nama baru seperti St. Louis, Oregon, San Fransisco, dan Santa Fe. 14
Sebagai Jenderal, Roothaan memiliki kesempatan untuk mengalami secara
personal yang dialami oleh putra-putra Ignasius pada zaman itu, yaitu
ketidaknyamanan dan penderitaan akibat pengusiran. Selama bulan Maret 1848,
kebencian para pendukung gagasan republik Italia di Roma semakin memuncak
sehingga sangat mungkin terjadi kekejaman terbuka. Karena kondisi itu Paus Pius IX
menyarankan Jenderal Roothaan meninggalkan kota Roma. Dalam penyamaran
Roothaan meniggalkan Roma dan berlayar menuju Marseilles. Dia tidak segera
kembali sampai 20 April 1850. Di sisi lain, masa itu memberi kesempatan bagi
12
Lighthart SJ, hlm. 3350.
Lighthart SJ, hlm. 357.
14
Bangert SJ, hlm. 437.
13
|6
Roothaan untuk mengunjungi karya-karya Serikat di pelbagai negara Eropa.
Kematian mengakhiri periode pemerintahan Roothaan yang sangat berpengaruh
pada 8 Mei 1853. 15
Situasi di Berbagai Penjuru Eropa
Italia pada abad ke-19 ditandai dengan meluasnya gerakan untuk
membangun satu Italia di bawah pemerintahan republik. Gerakan itu muncul
sebagai buntut Zaman Pencerahan dan tiga tokohnya adalah Cavour, Mazzini, dan
Garibaldi. Ketiganya melihat Serikat sebagai ancaman untuk mewujudkan satu Italia
karena kedekatan para Yesuit dengan para bangsawan dan bahkan para pangeran.
Meskipun 57 rumah Serikat pernah dirusak pada periode 1859-1860 dan Parlemen
dari Kerajaan-Kerajaan di Italia yang bersatu memerintahkan pengusiran semua
ordo religius pada 1873, Serikat tetap dapat berkarya, terutama dalam bidang
pendidikan karena status Yesuit adalah imam sekuler dan bukan biarawan.
Selama kurang lebih 40 tahun sesudah restorasi, keterlibatan Serikat di Italia
juga menyentuh bidang teologi. Kontribusi dalam bidang teologi salah satunya
terkait dengan dogma Maria Dikandung tanpa Noda Dosa. Yesuit yang berada di
balik perumusan dogma tersebut adalah Passaglia. Dia bersama Dom Prosper
Gueranger mengajukan draf tentang Maria Immaculata setelah Paus Pius IX
mengeluarkan ensiklik Ubi Primum pada 2 Februari 1849 yang berisi permintaan
tanggapan atas keinginannya untuk merumuskan dogma tentang status Maria
sewaktu dikandung. Draf pertama dan kedua dari Passaglia ditolak, tetapi dia
kemudian diminta menjadi ketua komisi para teolog perumus karena pengetahuan
patristiknya yang luas. Passaglia hadir dalam pertemuan para Uskup dari pelbagai
negara sebelum promulgasi dogma tersebut. Dalam pertemuan itu, terungkap
pelbagai tanggapan dan kritik dengan macam-macam argumentasi. Passaglia ikut
menjawab semua pertanyaan terkait dogma yang kemudian dipromulgasikan pada
8 Desember 1854. Teologi yang dibangun di Roma bukannya tanpa kritik. Teologi
Thomistis dan Neo-Thomistis yang terus dikembangkan di Roma pada abad ke-19
dinilai oleh Kardinal Guillaume-Rene Meignan sebagai teologi yang tidak attentif
atau tidak menaruh perhatian pada yang terjadi di dunia tentang bahan yang sedang
dibahas. Singkatnya model teologi yang dibangun di Roma waktu itu terlalu
spekulatif.
Sementara itu, di Spanyol Serikat masuk dalam pusaran tragedi yang
mengiringi perjalanan Spanyol selama abad ke-19. Negara itu kehilangan banyak
jajahan di Amerika Latin dan dikalahkan oleh tentara Amerika Serikat. Di dalam
negeri, pemerintahan konstitusional menantang kerajaan autokratik yang terpecah
antara pengikut Carlos dan Ferdinand VII.
15
Bangert SJ, 437-438.
|7
Serikat Yesus di Spanyol mulai abad ke-19 mengalami tiga kali diaspora. 16
Yang pertama dan paling singkat terjadi antara 1820-1823. Lima tahun sebelumnya,
pada 1815, rombongan Yesuit pertama kembali ke Spanyol dengan beranggotakan
112 imam dan 10 bruder. Mereka datang atas undangan Ferdinand VII, tetapi
ternyata undangan itu menjadi bencana bagi para Yesuit. Sebelum 1820, 25 Yesuit
terbunuh dalam pemberontakan menuntut pemerintahan konstitusional. Ketika
Ferdinand menyetujui konstitusi anti-klerus, Serikat harus meninggalkan Spanyol.
Pada 1823, Serikat kembali lagi setelah pasukan Perancis berhasil menguasai
Spanyol dan mendudukkan Ferdinand sebagai penguasa tunggal. Selama 12 tahun
kemudian Serikat berkembang hingga mencapai 350 anggota dan mengurus kolesekolese di Madrid, Alcala, Loyola, Majorca, Manresa, dan Valencia.
Setelah Ferdinand meninggal pada 1833, saudaranya, Don Carlos, berusaha
menurunkan Isabella, putri Ferdinand, dari tahta sehingga meletus perang saudara.
Maria Christina, ibu Isabella, membuat perjanjian dengan kelompok liberal dan
mengalahkan Don Carlos. Mulai tahun 1833, wabah kolera menyebah di seluruh
Spanyol dan membunuh banyak orang. Ketika kolera menjangkiti Madrid pada
1834, sebagian penduduk Madrid yang gelisah menyerang rumah-rumah religius.
Empat imam Yesuit, delapan skolastik, dan tiga bruder terbunuh dalam rangkaian
peristiwa itu. Setahun setelah itu, pemerintah mengumumkan dekrit tentang
pembubaran Serikat Yesus di Spanyol. Serikat baru kembali lagi ke Spanyol pada
1851 setelah Isabella II membuat perjanjian dengan Tahta Suci yang memberi izin
bagi masuknya tiga ordo religius.
Krisis politik dan situasi yang terus bergejolak juga terjadi di Portugal selama
abad ke-19. Keberadaan Serikat di negara paling barat dari semenanjung Iberia itu
sangat terpengaruh oleh dinamika politik intern Portugal. Baru pada 1829
pemerintah memberi izin bagi Serikat untuk kembali ke Portugal. Lima Yesuit dari
Perancis merintis jalan, tetapi lima tahun kemudian Serikat harus meninggalkan
Portugal ketika revolusi meletus. Pada 1858, Serikat baru bisa kembali memasuki
Portugal dan mulai berkarya dengan membuka tujuh kolese.
Serikat Yesus di Perancis sesudah restorasi menghadapi tantangan terusmenerus dari kaum anti-klerus. Pada 1828, tidak ada Yesuit yang dapat masuk ke
kelas karena Charlez X telah mengeluarkan dekrit yang meminta semua guru di
Perancis untuk menandatangani pernyataan bahwa dia bukan bagian dari bagian
dari suatu organisasi yang memiliki otoritas untuk mengajarkan sesuatu pada
murid. Ketika Revolusi Juli 1830 pecah, para superior memindahkan para novis
Perancis ke Spanyol dan Italia. Hanya tinggal 56 imam dan beberapa bruder yang
tersebar dan menyamar di seluruh Perancis. Pada Juli 1842, Monarki Louis Philippe
berkuasa sehingga Serikat kembali ke Perancis dan mereorganisasi komunitaskomunitas. Badai datang pada 1843. Ketika itu gerakan orang-orang Katolik untuk
menuntut kebebasan Gereja untuk mendidik di tingkat menengah semakin kuat.
16
Bangert SJ, hlm. 450-451.
|8
Para tokoh anti-klerus kemudian mengarahkan kebencian mereka kepada Yesuit
yang waktu itu belum mengelola satu sekolah pun. Pada Juni 1845, Jenderal
Roothaan menasihati rekan-rekannya di Perancis untuk mengurangi jumlah anggota
dalam satu residensi mengingat kebencian yang begitu tinggi pada Yesuit. Pada
1850, mulailah periode kedua Repbulik Napoleon Bonaparte dan pada Maret tahun
itu berlaku hukum Falloux yang memberikan kebebasan bagi konggregasi religius
untuk membuka sekolah-sekolah.
Di Swiss, Serikat sudah mulai berkarya sejak zaman Brzozowski yang
membuka misi pada 1810. Tiga puluh lima tahun kemudian hubungan antara orang
Katolik yang menginginkan bentuk negara federasi dan golongan anti-klerus yang
menghendaki negara terpusat menegang sampai berujung perang saudara. Setelah
orang Katolik kalah, Serikat harus meninggalkan Swiss pada 3 September 1847 dan
berkarya di wilayah Jerman. Karena semangat Protestantisme dan Pencerahan,
sempat ada usaha untuk melarang serikat bekerja di Jerman untuk selamanya.
Gagasan itu ditentang delegasi Katolik atas nama kebebasan dan pda 30 November
1848, artikel tentang pembubaran Serikat dihapus dari konstitusi. 17 Sementara itu,
di Austria, Serikat diterima secara resmi oleh Raja Francis I pada 14 Agustus 1820.
Yang menjadi anggota Provinsi Austria adalah para Yesuit yang diusir dari Russia
oleh Tsar Alexander I. Penerimaan itu bernuansa sangat politis karena Francis I
berpikir bahwa Yesuit dapat memperkuat posisi politisnya dengan membuka
sekolah yang mendidik muridnya untuk mendukung raja. Motif ini membuat Serikat
harus meninggalkan Austria pada 1848-1852 ketika terjadi revolusi.
Di Belgia, Serikat menemukan jalan yang luas dan terbuka untuk berkarya
setelah Belgia merdeka pada 1830. Pada 1832, 105 Yesuit menjalankan dua kolese
dengan 167 murid dan pada 1907, 1168 Yesuit menjalankan lima belas kolese
dengan rata-rata murid mencapai angka 1000 orang. Sedikit bergeser ke utara,
Serikat mendapat kebebasan lebih luas di Belanda setelah pemerintah secara
bertahap mengurangi sikap kerasnya terhadap Gereja Katolik. Pada 1849, Jan
Roothaan memisahkan Belanda dari Belgia dan menjadi-kannya vice-provinsi
dengan 95 orang Yesuit yang tinggal di sembilan rumah, termasuk dua kolese. Di
Inggris, Serikat ditolak oleh hampir semua vikaris apostolik dengan alasan bahwa
kehadiran Serikat di Inggris tidak disukai pemerintah dan menghalangi emansipasi
yang sedang berusaha diraih oleh umat Katolik di Inggris. Setelah terjadi
korespondensi panjang dan kompleks antara Roma dan Inggris, Paus Leo XII pada
1829 akhirnya menulis dengan tangannya sendiri bulla Sollicitudo Omnium
Ecclesiarum, mengirimkannya, dan menyatakan bahwa bulla itu berlaku di Inggris
seperti di negara-negara lain juga.
17
Bangert SJ, hlm. 461-463.
|9
Situasi Serikat di Daerah-Daerah Misi 18
Serikat kembali ke Cina pada 1842 yang ditandai dengan kedatangan dua
Yesuit Perancis di Shanghai. Waktu itu Provinsi Perancis bertanggungjawab atas
Vikariat Nanking sementara Provinsi Champagne atas Vikariat Tschi-li. Seperti
tradisi yang dikembangkan oleh Ricci, Schall, dan Parrenin, para sarjana Yesuit
dalam keinginan mereka untuk memahami masyarakat Cina, sekali lagi mempelajari
secara mendalam dan menerbitkan karya-karya yang dengan sangat dalam,
memasuki pelbagai aspek hidup masyarakat dan literatur sastra Cina. Leo Winger,
salah satu sinolog terkemuka waktu itu, menghasilkan dua belas volume karya
berjudul Rudiments of Chinese Speech and Style. Kesulitan utama masih berada pada
pertanyaan tentang ritus Cina. Meskipun telah menghabiskan seluruh tenaga untuk
mendidik orang agar dapat mengambil posisi-posisi yang memiliki tanggung jawab
besar dalam hidup bersama, orang-orang Katolik masih harus menemui tembok
tebal berupa penghormatan bagi Confucius bagi mereka yang masuk dalam urusan
pemerintahan.
Jepang, salah satu tanah misi favorit di Timur Jauh, baru dimasuki lagi oleh
Serikat pada 1804. 50 tahun kemudian, Serikat atas instruksi Paus Pius X membuka
lembaga pendidikan tinggi di Jepang dan Sophia University baru dibuka pada 1913.
Sementara itu, berkat arahan Jan Roothaan, India kembali menjadi tanah misi
yang diperhatikan Serikat. Para Yesuit Belgia pergi ke Bengal dan Ceylon, Yesuit
Perancis ke malabar dan Madurai, Yesuit Jerman ke Bombay, dan Yesuit Italia ke
Mangalore. Salah satu tokoh misionaris pasca-restorasi yang layak disebut adalah
Constant Lievens yang bekerja selama tiga belas tahun di antara orang miskin di
Bengal. Dia mendalami struktur hukum yang berlaku dan ketika dia menjadi
penasihat seorang miskin di pengadilan, orang itu menang. Banyak orang lalu
meminta bantuan Lievens. Sayang dia harus meninggal pada usia 38 tahun karena
TBC. Lievens pernah bekerja sama dengan Silvanus Grosjean, salah satu superior
misi India terbesar. Grosjean memiliki visi yang tajam, kemampuan menemukan
cara-cara baru, dan inisiatif untuk mengambil kesempatan. Ketika dia menjadi
superior, populasi orang Katolik di Bengal meningkat dari 500 menjadi 80.000.
Terkait situasi di Amerika Latin yang diwarnai oleh pemberontakan pada
penjajah, muncul pertanyaan: sampai pada taraf apa Yesuit mendorong
pembangkangan terhadap negara-negara kolonialis? Jawaban atas pertanyaan ini
beragam. Beberapa ahli sejarah merujuk pada abad ke-16 dan dalam pemikiran
Francisco Suarez mereka menemukan bibit intelektual yang mendorong wilayahwilayah di Amerika Selatan berupaya menggapai kemerdekaan. Mereka menilai
bahwa doktrin Suarez tentang otoritas sipil yang mengafirmasi bahwa pemerintah
menerima otoritasnya dari Tuhan secara tidak langsung dan melalui mediasi
rakyatnya, telah mendorong kelas terpelajar untuk memisahkan diri dari kekuasaan
autokratik kerajaan. Sebagian ahli sejarah lain menilai bahwa kekuatan yang
18
Bangert SJ, hlm. 471-478.
| 10
mendorong perjuangan kemerdekaan Amerika Latin berasal dari para Yesuit yang
menjalani pembuangan di Italia. Mereka lahir di salah satu wilayah Amerika Latin,
membangun ide tentang nasionalisme, dan menyebarkannya melalui tulisan-tulisan.
Sebagian ahli sejarah lain menyatakan bahwa selalu ada Yesuit di balik setiap
perjuangan menuntut kemerdekaan di Amerika Latin.
Dua ciri Serikat Yesus di Amerika Latin pada periode pasca-restorasi adalah
penganiayaan yang tiada henti dan komposisi misionaris yang sangat kosmopolitan.
Pada 1821 Yesuit dibubarkan di Meksiko lalu direstorasi pada 1853. Di Argentina,
Yesuit harus pergi ke Paraguay dan Uruguay dan pada 1843 ke Chili. Yesuit diusir
dari Kolombia pada 1850 lalu bekerja di Ecuador. Dua tahun kemudian Yesuit diusir
sehingga harus bekerja di Guatemala.
Dari semua daerah misi, perkembangan Serikat paling menjanjikan ada di
wilayah Amerika Serikat yang sampai 1908 masih berada di bawah Propaganda
Fidei. Itu dapat terjadi karena ada jaminan kemerdekaan religius yang dijamin oleh
Konstitusi Amerika Serikat. Ketika di-restorasi, sekitar dua puluh Yesuit mendirikan
Kolese Georgetown dan memperhatikan orang-orang Katolik miskin sepanjang
Maryland, Pennsylvania, dan New York. Kebanyakan dari mereka terusir dari
negara asalnya karena sikap pemerintah asal yang anti-Katolik. Maryland dan
Missouri menjadi dua tempat penting bagi misi Yesuit karena jutaan imigran
mendarat di kedua pelabuhan di pinggir Samudra Atlantik dan banyak di antara
mereka Katolik. Pendidikan menjadi salah satu pokok perhatian Yesuit Amerika
Serikat sehingga mereka dengan kebebasan religius di Amerika leluasa mendirikan
banyak seminari, kolese-kolese, bahkan universitas-universitas yang masih lestari
sampai sekarang.
***
Daftar Bacaan
Bangert SJ, William V. 1986. A History of The Society of Jesus. St. Louis: The Institute
of Jesuit Resources.
Chappin SJ, Marcel. 1993. “Jan Philip Roothaan: The General of the Spiritual
Exercises” dalam Centrum Ignatianum Spiritualitatis vol. XXIV.
Coll SJ, Miguel. 2014. “The Beginnings of the New Society” dalam 2014 Jesuits:
Yearbook of the Society of Jesus. Rome: General Curia of the Society of Jesus.
Lighthart SJ, C.J. 1978. The Return of the Jesuits: The Life of Jan Philip Roothaan
terjemahan dari De Nederlandse Jezuitengeneraal: Jan Philip Roothaan oleh Jan J.
Slijkerman SJ. London: T. Shand Publications.
| 11
Martinez SJ, Jorge Enrique Salcedo. 2014. “Who was John Philip Roothaan?” dalam
2014 Jesuits: Yearbook of the Society of Jesus. Rome: General Curia of the Society
of Jesus.
Murray SJ, J.C. 1952. “The Church and Totalitarian Democracy” dalam Theological
Studies, XIII.
Murray SJ, J.C. 1953. “Leo XIII on Church and State: The General Studies of the
Controversy” dalam Theological Studies XIV.
Padberg SJ, John W. 1993. “A Body Brought to Life Again” dalam Centrum
Ignatianum Spiritualitatis vol. XXIV 1993:2.
| 12
Download