IMPLIKASI EKSISTENSI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL ALAL HUDA JAYA. S SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan lokal” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Desember 2006 Alal Huda Jaya. S NRP. A451030041 ABSTRAK ALAL HUDA JAYA. S. Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI dan SOEKISMAN TJITROSEMITO. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan agens hayatinya C. connexa, serta mempelajari struktur komunitas serangga dan tumbuhan lokal di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata. Kegiatan yang dilakukan adalah survei lokasi penelitian, analisis vegetasi, dan koleksi serangga. Penelitian ini berlokasi di Jawa Barat yang meliputi daerah Parung Panjang, Setu, Darmaga, Gunung Bunder, Gunung Salak, Gunung Halimun, Pakuwon, Ciawi, Cisarua, dan Cianjur. Lokasi penelitian tersebut ditentukan berdasarkan metode purposive sampling. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat. Koleksi serangga dilakukan di dalam petak contoh dengan memasang perangkap pitfall trap dan yellow pan trap, sedangkan perangkap malaise trap diletakkan secara diagonal diantara jalur transek. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata terdapat disemua lokasi penelitian dan dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat baik habitat perkebunan, hutan buatan, ladang dataran rendah, maupun ladang dataran tinggi dengan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Keberadaan C. odorata diikuti pula dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa pada semua lokasi pengamatan, kecuali di Gunung Halimun dan Cianjur. Saat ini lalat puru C. connexa telah mapan dan menyebar secara alami. Adanya barier seperti pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Komunitas tumbuhan yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari 131.132 individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies. Sedangkan jumlah total komunitas serangga yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder terdiri dari 24.213 individu serangga yang termasuk ke dalam 14 ordo, 132 famili, dan 568 spesies. Ordo Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera merupakan tiga ordo terbesar yang ditemukan dengan kelimpahan individu (species abundance) dan kekayaan spesies (species richness) paling tinggi. Implikasi keberadaan C. odorata telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang oleh C. odorata terhadap spesies tumbuhan lokal serta penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada disekitarnya. Introduksi tumbuhan eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya C. connexa telah menyebabkan terjadinya asosiasi dengan serangga-serangga lokal. ABSTRACT ALAL HUDA JAYA. S. Implication of existence both of Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) and its biological control agent Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) to local plant and insect community structure. Supervisors: DAMAYANTI BUCHORI and SOEKISMAN TJITROSEMITO. The aims of this research were (1) to study density and population distribution of C. odorata and its biological control agent - C. connexa, and (2) to study local plant and insect community structure in invaded area of C. odorata. Several activities have been conducted i.e. survey of research sites, vegetation analysis, and insect sampling. The study sites were selected base on purposive sampling method. All area located in Bogor district (Parung Panjang, Setu, Darmaga, Gunung Bunder, Ciawi, and Cisarua), Sukabumi district (Gunung Salak, Gunung Halimun, and Pakuwon), and Cianjur district. Analysis of vegetation were conducted using combination of transect and quadrate method. Insect were sampled by setting up several traps inside the plots. Pitfall trap and yellow pan trap were set up inside the plot, whereas malaise trap were placed between two transect lines. The result found that invasive exotic plant species (C. odorata) spread on whole study sites and well-growth on different habitat types (plantations, production forest, low land, and high land). Their population densities tend to decrease with increasing altitude. The occurrences of C. odorata co-exist with its biological control, the gall flies C. connexa. Almost all study sites (except Gunung Halimun and Cianjur) found these flies. Recently, C. connexa have established and wide spread, although the present of barrier (like mountain) is restriction factor for distribution of flies in West Java. Over 131.132 individual of plants consist of 21 families and 44 species were identified co-exist with C. odorata in Bogor area (Parung Panjang, Setu, Darmaga, and Gunung Bunder). In the same area, over 24.213 individual of insect consist of 14 orders, 132 families, and 568 species were found in C. odorata habitat. Three dominance insect orders i.e. Hymenoptera, Diptera, and Hemiptera were collected with high species richness and abundance. Implication of existence of C. odorata caused replacement local plant species and homogenization habitat on spatial scale. Introduction of C. odorata and its biological control agent caused and consequently associate with local insects. © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya IMPLIKASI EKSISTENSI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA DAN TUMBUHAN LOKAL ALAL HUDA JAYA. S Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 Judul Tesis : Nama : NRP : Program Studi : Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal Alal Huda Jaya. S A451030041 Entomologi/Fitopatologi Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Ketua Dr. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 28 September 2006 Tanggal Lulus: 18 Desember 2006 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penelitian dan penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah spesies eksotik invasif, dengan judul Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. dan Dr. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc. selaku komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan motivasi yang telah diberikan selama persiapan penelitian sampai penulisan tesis. Kepada Akhmad Rizali, SP, M.Si terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan teknis ilmiahnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Nasional RI melalui Hibah Tim Pascasarjana atas bantuan dana yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terlaksana, kepada kepala Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB yang telah memberikan izin untuk menggunakan fasilitas yang tersedia di laboratorium. Kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Banding Ratu (alm) dan Ibu Sundarti, semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala yang tak terhingga. Kepada kakakku Eteh Marina dan adik-adikku tercinta, Syukrida, Desrina, dan seluruh saudara serta Keluarga Besar di Lampung, terima kasih atas perhatian dan dukungannya selama ini. Terima kasih kepada semua pihak dan rekanrekan sekalian, anggota tim Hibah Pascasarjana, anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, serta seseorang yang akan mendampingiku kelak dikemudian hari, semoga Allah SWT membalasnya. Akhir kata tak ada gading yang tak retak, semoga tulisan ini bermanfaat, Amin!!!. Bogor, Desember 2006 Alal Huda Jaya. S RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Menggala pada tanggal 7 Juni 1979 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari Ayah Banding Ratu (alm) dan Ibu Sundarti. Tahun 1997 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Bandar Lampung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Proteksi Tanaman Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains Entomologi /Fitopatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh penulis pada tahun 2003. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiii .................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ................................................................................ 3 Manfaat Penelitian .............................................................................. 3 PENDAHULUAN Latar Belakang DISTRIBUSI, KELIMPAHAN POPULASI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI BOGOR, JAWA BARAT Pendahuluan ........................................................................................ 4 Bahan dan Metode .............................................................................. 6 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 7 Metode Pengukuran Kelimpahan Populasi ....................... 7 Metode Survei Keberadaan Lalat Puru C. connexa .......... 8 Pengambilan Contoh Tumbuhan ................................................ 8 Estimasi Populasi C. odorata dan Lalat Puru C. connexa ......... 10 Analisis Data .............................................................................. 10 Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 11 Distribusi dan Kelimpahan Populasi C. odorata ........................ 11 Distribusi dan Kelimpahan Populasi Lalat Puru C. connexa ..... 14 Kekayaan Spesies Tumbuhan di Habitat C. odorata ................. 18 Implikasi Keberadaan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata terhadap Keberadaan Tumbuhan Lokal ..................................... 21 Kesimpulan ......................................................................................... 24 STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA PADA HABITAT TUMBUHAN EKSOTIK INVASIF: STUDI KASUS PADA HABITAT Chromolaena odorata (L.) KING & ROBINSON (ASTERACEAE) DI BOGOR, JAWA BARAT Pendahuluan ........................................................................................ 26 Bahan dan Metode .............................................................................. 27 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 27 Pengambilan Contoh Serangga .................................................. 27 Analisis Data .............................................................................. 30 Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 30 Kekayaan Spesies Serangga di Habitat C. odorata .................... 30 Kekayaan Spesies Hymenoptera dan Diptera di Habitat C. odorata ................................................................................... 34 Hubungan Keanekaragaman Serangga dengan Kondisi Habitat ......................................................................................... 37 Asosiasi Serangga Lokal dengan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata dan Agens Hayatinya C. connexa ............................ 41 Kesimpulan ................................................................................. 43 PEMBAHASAN UMUM ............................................................................. 44 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ......................................................................................... 47 Saran ................................................................................................... 48 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 49 LAMPIRAN .................................................................................................. 52 DAFTAR TABEL Halaman 1 2 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode pengukuran populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa ....................................................... 7 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa ........................................................................................ 8 3 Jumlah Famili (F), Spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan kemerataan (E) tumbuhan pada tiap habitat C. odorata ........................... 20 4 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies tumbuhan antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata ............................................................ 20 5 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan tegak pada empat habitat C. odorata ................................................................................................. 22 6 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan merambat pada empat habitat C. odorata ...................................................................................... 23 7 Deskripsi lokasi yang dipilih untuk penelitian .......................................... 28 8 Jumlah ordo (O), famili (F), spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan kemerataan (E) serangga pada tiap habitat C. odorata ............... 31 9 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Hymenoptera pada tiap habitat C. odorata ...................................................................................... 34 10 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Diptera pada tiap habitat C. odorata ..................................................................................... 36 11 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies serangga antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata ............................................................ 38 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Metode analisis vegetasi ............................................................................ 9 2 Kelimpahan populasi C. odorata pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel ........................................................................... 13 3 Distribusi lalat puru C. connexa dari titik pelepasan Parung PanjangJasinga, Bogor, dan Parung Kuda-Sukabumi, Jawa Barat ........................ 14 4 Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel ........................................................ 17 5 Kurva akumulasi spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata ........ 19 6 Dendogram pengelompokan spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata ................................................................................................. 21 7 Perangkap serangga; (a) yellow pan trap (b) pitfall trap (c) malaise trap ............................................................................................................ 29 8 Kurva akumulasi spesies serangga pada empat habitat C. odorata .......... 31 9 Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata .................................................. 32 10 Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga tanpa Formicidae yang diperoleh pada empat habitat C. odorata ...................... 33 11 Dendogram pengelompokan seluruh spesies serangga pada empat habitat C. odorata ..................................................................................... 39 12 Dendogram pengelompokan serangga predator dan parasitoid pada empat habitat C. odorata ........................................................................... 40 13 Dendogram pengelompokan serangga herbivor pada empat habitat C. odorata ................................................................................................. 40 14 Asosiasi serangga pada tumbuhan eksotik invasif C. odorata .................. 41 15 Serangga predator yang berasosiasi dengan lalat puru C. connexa .......... 42 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Parung Panjang ................................................................... 53 2 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Setu ...................................................................................... 53 3 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Darmaga .............................................................................. 54 4 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Gunung Bunder ................................................................... 54 5 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Parung Panjang ....................................................... 55 6 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Setu ......................................................................... 55 7 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Darmaga .................................................................. 55 8 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Gunung Bunder ....................................................... 56 9 Jumlah spesies (S), Individu (N) dan peranan serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata .................................................................. 57 PENDAHULUAN Latar Belakang Banyak biota yang secara langsung maupun tidak langsung terbawa oleh manusia ke bagian dunia yang lain. Hal ini dimungkinkan dengan dimulainya era eksplorasi yang dapat menghilangkan penghalang biogeografi yang sebelumnya mengisolasi biota benua selama jutaan tahun (Mooney & Cleland 2001). Setelah keluar dari habitat alaminya, biota asing tersebut segera menjadi penginvasi agresif yang lebih kompetitif daripada biota lokal dan mengakibatkan pengaruh merusak dalam ekosistem serta menimbulkan kerugian yang nyata bagi produksi pertanian (Schoonhoven et al. 1996). Sifat invasif biota eksotik pada habitat baru disebabkan karena tidak ada musuh alami (natural enemy) yang mampu mengendalikan seperti di habitat aslinya. Spesies eksotik invasif pada habitat baru dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik yaitu pengantian spesies lokal oleh spesies pendatang (Olden et al. 2004). Sebagai contoh, Bromus tectorum merupakan tanaman yang diintroduksi ke Amerika Utara sekitar tahun 1890. Dalam kurun waktu 20 tahun B. tectorum telah mapan di daerah pegunungan bagian barat Amerika Utara. Pada tahun 1930 B. tectorum telah berhasil menginvasi dan mendominasi lebih dari 200.000 km2 habitat pegunungan di bagian barat Amerika Utara karena peningkatan kemampuan migrasi dan populasinya (Mooney & Cleland 2001). Contoh lain adalah Eichhornia crassipes atau eceng gondok merupakan tumbuhan eksotik invasif pada ekosistem perairan di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara (Kasno et al. 2001). Dampak keberadaan gulma ini sangat nyata akibat adanya akumulasi biomassa, penutupan permukaan danau dan sungai secara cepat, serta dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan danau dan sungai. Keberadaan spesies eksotik invasif cenderung merugikan karena merupakan ancaman yang serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Spesies eksotik invasif mampu beradaptasi dan mendominasi suatu habitat baru yang awalnya di dominasi oleh spesies lokal sehingga bisa memicu terjadinya homogenisasi biotik dan perubahan struktur komunitas pada habitat baru tersebut. Selain itu, kemampuan kompetisi spesies eksotik invasif 2 mampu mengalahkan spesies lokal sehingga dapat menyebabkan spesies lokal kalah bersaing dan akhirnya bisa memicu terjadinya kepunahan (Olden et al. 2004; Untung 2005). Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) atau kirinyuh merupakan spesies tumbuhan eksotik invasif dan merupakan gulma penting pada habitat perkebunan di Indonesia (Anonim 1991). Tumbuhan ini berasal dari Amerika yang diintroduksi ke kebun raya di Dakka (India), Jawa, dan Peradeniya (Srilanka) pada abad ke-19 (Binggeli 1997). Di Indonesia tumbuhan ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 di Lubuk Pakam, Sumatera Utara (Tjitrosemito 1999). Saat ini persebaran C. odorata sudah sangat luas, meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya (Sipayung & Chenon 1995). Tjitrosemito (1998) melaporkan bahwa persebaran tumbuhan ini sangat cepat karena kemampun dan efisiensinya, bahkan di laboratorium pertumbuhan C. odorata sangat cepat pada 8 minggu pertama. Pengendalian C. odorata dengan memanfaatkan agens hayatinya telah dilakukan di Indonesia. Upaya ini diawali dengan mengintroduksi serangga herbivor Pareuchaetes pseudoinsulata Rego Barros (Lepidoptera: Arctiidae) dari Guam, Amerika Serikat dan pertama kali di lepaskan pada tahun 1992. Namun P. pseudoinsulata hanya berhasil menekan populasi tumbuhan tersebut di Sumatera Utara, sedangkan di Jawa dilaporkan tidak berhasil. Selanjutnya pada tahun 1993 kembali diintroduksi lalat puru Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) dari Columbia dan mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian (Tjitrosemito 1998; Chenon et al, 2002). Sampai saat ini lalat puru C. connexa keberadaannya telah mapan dan menyebar secara alami khususnya di Jawa Barat. Sayangnya sampai saat ini, kajian terhadap lalat puru C. connexa sebagai agens hayati C. odorata masih terbatas pada keberhasilan pelaksanaan introduksi, perbanyakan massal, dan pelepasannya di lapangan tanpa diikuti kajian secara komprehensif. Belum pernah dilakukan penelitian untuk memonitor distribusi, kelimpahan populasi, dan bagaimana dampak keberadaan spesies eksotik invasif C. odorata dan agens hayati C. connexa terhadap struktur komunitas serangga dan 3 tumbuhan lokal. Tanpa adanya usaha monitoring, dikhawatirkan terjadi penurunan tingkat keanekaragaman hayati pada ekosistem tersebut tidak dapat dipantau, terutama tempat atau habitat yang jauh dari titik pelepasan (Simberloff 1996). Bertitik tolak dari uraian di atas, kajian terhadap spesies eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya C. connexa dianggap penting sehingga nantinya dapat digunakan untuk menganalisis dampak yang terjadi akibat introduksi spesies eksotik invasif tersebut dan agens hayatinya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan agens hayatinya lalat puru C. connexa, (2) mempelajari struktur komunitas serangga dan tumbuhan di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai (1) distribusi dan kelimpahan populasi spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya lalat puru C. connexa, (2) struktur komunitas serangga dan tumbuhan di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata, (3) fenomena ekologi introduksi spesies eksotik dapat menyebabkan terjadinya asosiasi antara spesies eksotik tersebut dengan serangga lokal dalam struktur komunitas baru, sehingga menjadi rekomendasi bagi pemerintah bahwa perlunya upaya perhatian dan penyaringan yang ketat terhadap spesies eksotik yang didatangkan dari luar. DISTRIBUSI, KELIMPAHAN POPULASI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI BOGOR, JAWA BARAT PENDAHULUAN Invasi spesies eksotik merupakan ancaman yang serius terhadap suatu ekosistem alami dan keanekaragaman hayati. Penghalang alami seperti samudera, pegunungan, dan padang pasir telah terlampaui sekitar abad ke dua puluh, sehingga memberikan peluang suatu spesies untuk mengalami koevolusi dan berkembang dalam suatu ekosistem baru. Keadaan ini disebabkan karena adanya aktivitas manusia seperti perdagangan dan perjalanan, sehingga dapat menyebabkan perpindahan suatu spesies baik disengaja maupun tidak disengaja ke berbagai bagian dunia lainnya (Wittenberg & Cock 2003). Setelah keluar dari habitat alaminya, spesies eksotik tersebut berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar sehingga menjadi penginvasi yang agresif. Selain itu, spesies eksotik tersebut mampu berkompetisi dengan spesies lokal, menggeser keberadaannya, menyebabkan kerusakan ekosistem alami, serta menimbulkan kehilangan yang nyata bagi produksi pertanian (Schoonhoven et al. 1996). C. odorata merupakan tumbuhan eksotik invasif yang berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang telah menyebar ke Asia, Asia Tenggara, dan beberapa daerah di Afrika (Anonim 1991). Tumbuhan ini sengaja diintroduksi ke Kalkuta (India) sebagai tanaman hias pada tahun 1840-an (Ramachandra 1920 dalam Tjitrosemito 1997). Persebaran tumbuhan tersebut saat ini telah mencapai Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Australia yang telah berubah status menjadi gulma yang tumbuh secara mapan dan sangat merugikan (Tjitrosemito 1997). Di indonesia persebaran C. odorata sudah sangat luas, meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya (Sipayung & Chenon 1995). Spesies ini dapat menyebar secara cepat karena kemampuan dan efisiensi persebarannya (Binggeli 1997). 5 Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan untuk mengatasi pesatnya perkembangan populasi C. odorata di Indonesia. Salah satu teknik yang dikembangkan adalah pengendalian hayati secara klasik dengan mengintroduksi lalat puru Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) dari Columbia pada tahun 1993 dan mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Pelepasan lalat puru C. connexa telah dilakukan di Jawa Barat yang meliputi daerah Hutan Tanaman Industri Parung Panjang-Jasinga, Bogor pada tahun 1995, Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi tahun 1996, dan padang pengembalaan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada tahun 1999. Selain itu, pada tahun 1996 pelepasan lalat puru C. connexa juga dilakukan di Saradan, Madiun, Jawa Timur (Tjitrosemito 1998; Tjitrosemito 2000; Widayanti et al. 2001). Sampai saat ini, lalat puru C. connexa telah menyebar secara alami khususnya di daerah Bogor, Jawa Barat . Lalat puru C. connexa merupakan lalat berwarna hitam yang berukuran panjang 6.9 mm dan lebar 2 mm dengan rentang sayap 11.2 mm untuk imago betina, sedangkan imago jantan berukuran panjang 5.6 mm dan lebar 1.8 mm dengan rentang sayap 10 mm (Widayanti et al. 1999). Lalat puru C. connexa meletakkan telur pada pucuk terminal maupun lateral daun C. odorata yang belum membuka. Telur menetas 4-7 hari setelah oviposisi dan larva yang baru menetas masuk ke dalam jaringan batang. Menjelang instar akhir, larva akan membuat saluran keluar yang disebut dengan jendela puru. Stadia pupa membutuhkan waktu 15-25 hari. Lama hidup lalat puru C. connexa dewasa berkisar antara 5-11 hari (McFadyen et al. 2003), sedangkan siklus hidupnya antara 47-73 hari dengan rata-rata 60 hari (Chenon et al. 2002) Penggunaan lalat puru C. connexa sebagai agens hayati untuk mengendalikan C. odorata pada beberapa daerah khususnya di Bogor, Jawa Barat kurang memberikan hasil yang memuaskan. Hasil survei di lapangan memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi C. odorata tetap tinggi meskipun telah terinvestasi oleh lalat puru C. connexa. Tjitrosemito (1999b) melaporkan bahwa pada musim kemarau populasi C. odorata sebagai inang bagi lalat puru C. connexa menjadi kering dan sangat rendah sehingga telur yang diletakkan oleh 6 imago betina lalat puru C. connexa tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Ketika musim hujan, C. odorata tumbuh kembali secara serentak yang berasal dari populasi sebelumnya dimana pucuk C. odorata bertambah banyak dan meningkat dengan pesat. Keadaan ini menyebabkan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa tidak mampu mengimbangi populasi inangnya yang tumbuh dengan populasi yang sangat berlimpah sehingga mengakibatkan kurang efektifnya lalat puru tersebut untuk menekan populasi C. odorata. Selain itu, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa batang C. odorata yang terinvestasi oleh puru justru memiliki jumlah pucuk yang lebih banyak dibandingkan yang tidak terinvestasi oleh puru. Penelitian di Indonesia hanya terfokus pada keberhasilan pelaksanaan introduksi lalat puru C. connexa dan pengembangan metode pembiakan massal dalam upaya pemanfaatan serangga ini untuk mengendalikan C. odorata. Belum pernah dilakukan evaluasi distribusi dan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa sebagai agens hayati untuk mengendalikan spesies eksotik invasif C. odorata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa, serta mempelajari struktur komunitas tumbuhan di daerah yang telah di invasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu (1) metode pengukuran kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa, (2) metode survei keberadaan lalat puru C. connexa. Metode pertama difokuskan untuk mempelajari secara spesifik kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa berdasarkan perbedaan habitat dan ketinggian tempat. Metode kedua hanya difokuskan untuk melihat distribusi dan keberadaan lalat puru C. connexa pada suatu lokasi berdasarkan gradien jarak dari titik pelepasan, ketinggian tempat, serta adanya barier berupa pegunungan. 7 Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengukuran Kelimpahan Populasi. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan tipe habitat dan ketinggian tempat. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel: (1) Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang-Jasinga mewakili habitat perkebunan dan tempat pelepasan lalat puru C. connexa, (2) Desa SetuJasinga mewakili habitat ladang dataran rendah, (3) Kampus IPB Darmaga mewakili habitat hutan buatan, dan (4) Gunung Bunder mewakili habitat ladang dataran tinggi (Tabel 1). Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2004 hingga Juni 2005. Tabel 1 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode pengukuran kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa Koordinat (LS dan BT)1) 060.42 LS 1060.48 BT Ketinggian (mdpl)2) 128 Setu 060.46 LS 1060.45 BT 128 6 Lahan terbuka dengan dominasi Melastoma affine dan C. odorata yang berbatasan dengan lahan tanaman budidaya (kacang tanah, kedelai, dan jagung) Darmaga 060.55 LS 1060.72 BT 170 30 Tanaman sengon (Albizia falcataria) dengan dominasi C. odorata dan Widelia trilobata yang berbatasan dengan jalan raya Gunung Bunder 060.66 LS 1060.69 BT 650 35 Lahan terbuka dengan dominasi Ageratum conyzoides dan Boreria alata yang berbatasan dengan lahan persawahan dan tanaman budidaya (jagung, talas, pisang, kopi, dan singkong) Lokasi/Desa Parung Panjang 1) LS = Lintang selatan, BT = Bujur timur, titik pelepasan C. connexa 2) Jarak Kondisi Habitat (km)3) 0 Hutan tanaman industri dengan tanaman utama Acacia mangium disertai populasi C. odorata dominan Meter di atas permukaan laut, 3) Jarak lokasi dari 8 Metode Survei Keberadaan Lalat Puru C. connexa. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan gradien jarak dari tempat pelepasan lalat puru C. connexa, ketinggian tempat, serta adanya barier berupa pegunungan. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel, yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung PanjangJasinga, Bogor dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi sebagai tempat pelepasan lalat puru C. connexa, Desa Setu-Jasinga, Kampus IPB Darmaga, Gunung Bunder, Gunung Salak, Gunung Halimun, Ciawi, Cisarua, dan Cianjur (Tabel 2). Tabel 2 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa Parung Panjang1) Koordinat (LS dan BT)2) 060.42 LS, 1060.48 BT Ketinggian (mdpl)3) 128 Jarak (km)4) 0 Jarak (km)5) 55 Pakuwon1) 060.84 LS, 1060.74 BT 300 55 0 Setu 060.46 LS, 1060.45 BT 128 6 52 Darmaga 060.55 LS, 1060.72 BT 170 31 32 Gunung Bunder 060.66 LS, 1060.69 BT 650 35 21 Gunung Salak 060.78 LS, 1060.61 BT 700 42 17 Gunung Halimun 060.89 LS, 1060.51 BT 650 52 27 Ciawi 060.64 LS, 1060.84 BT 443 48 25 Cisarua 060.69 LS, 1060.93 BT 962 60 28 Cianjur 1 060.80 LS, 1070.09 BT 714 80 39 Cianjur 2 060.80 LS, 1070.11 BT 608 82 42 Lokasi/Desa 1) Lokasi pelepasan lalat puru C. connexa, 2) LS = Lintang selatan, BT = Bujur timur, 3) Meter di atas permukaan laut, 4) Jarak lokasi dari titik pelepasan di Parung Panjang, 5) Jarak lokasi dari titik pelepasan di Pakuwon Pengambilan Contoh Tumbuhan Pengambilan contoh tumbuhan dilakukan dengan cara analisis vegetasi menggunakan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat (Cox 2002). Pada masing-masing lokasi dibuat 5 jalur transek sepanjang 30 m dengan 9 jarak antara transek 15 m (Gambar 1). Sepanjang jalur transek dibuat petak contoh berbentuk bujur sangkar (2 m x 2 m) dengan jarak 15 m, sehingga pada masing-masing transek terdapat 3 petak contoh, jadi ada 15 petak contoh pada setiap lokasi penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap lokasi penelitian, yaitu bulan Agustus 2004, Mei 2005, dan Juni 2005. Pengambilan sampel antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 bukan merupakan petak contoh yang permanen, tetapi antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 merupakan petak contoh yang permanen. Gambar 1 Metode analisis vegetasi. Semua spesies tumbuhan dalam petak contoh dihitung jumlah individunya. Setiap spesies tumbuhan diambil contoh spesimennya dan selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi 10 dilakukan dengan mengacu buku Kostermans et al. (1987) dan Laumonier et al. (1987). Spesies tumbuhan yang tidak diketahui nama ilmiahnya diidentifikasi di Herbarium SEAMEO-BIOTROP Bogor. Estimasi Populasi C. odorata dan Lalat Puru C. connexa Untuk mengestimasi populasi C. odorata, di dalam setiap petak contoh jumlah pucuk C. odorata dihitung sehingga setiap batang C. odorata bisa terdiri dari beberapa pucuk. Jumlah pucuk lebih akurat untuk mengestimasi populasi C. odorata dibandingkan jumlah batang karena serangan lalat puru C. connexa terdapat di pucuk tanaman yang merupakan tempat terbentuknya bunga dan buah. Populasi lalat puru C. connexa diestimasi dengan menghitung kelimpahan jumlah puru di dalam setiap petak contoh, sedangkan populasi C. odorata ditentukan dengan menghitung jumlah pucuk pada setiap batang C. odorata dalam setiap petak contoh tersebut. Analisis Data Data keseluruhan spesies tumbuhan yang diperoleh pada setiap lokasi dapat diduga dengan menggunakan kurva akumulasi spesies yang dibuat dengan program EstimateS 6.0b1 (Colwell 2000). Jumlah spesies tumbuhan yang diperoleh pada setiap petak contoh diacak sebanyak 50 kali menggunakan program tersebut. Prediksi kekayaan spesies tumbuhan diduga dengan abundance-based coverage estimator (ACE) (Colwell & Coddington 1994). Indeks keanekaragaman tumbuhan diukur berdasarkan Shannon-Wiener (H’) = -Σ pi ln pi dimana pi = proporsi spesies ke-i terhadap total jumlah spesies, Indeks kemerataan berdasarkan Shannon-Wiener (E) = H’/ln (S) dimana S = total jumlah spesies yang diperoleh. Kemiripan komunitas tumbuhan antar lokasi diukur dengan menggunakan Indeks Sorensen (Cs) = 2j / a+b dimana j adalah jumlah spesies yang ditemukan di daerah a dan b, a = jumlah spesies yang ditemukan di daerah a, b = jumlah spesies yang ditemukan di daerah b (Magurran 1988; Kreb 1998). Indeks tersebut dihitung dengan mengggunakan Biodiv97 yang merupakan perangkat lunak macro pada Microsoft Excel. Matrik yang diperoleh 11 kemudian di analisis lanjut dengan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) (Krebs 1998). Pengelompokan dalam bentuk dendogram menggunakan Unweighted Pair-Group Average (UPGMA) dan jarak Euclidean yang dibuat dengan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0 (StatSoft 1995). Analisis vegetasi dihitung dengan menentukan kerapatan, frekuensi, dan indeks nilai penting (INP) menggunakan rumus Dumbois-Mueller (Cox 2002) sebagai berikut: Kerapatan Mutlak (i) = Jumlah individu suatu spesies i -------------------------------------Jumlah total luas area petak sampel Kerapatan Relatif (i) = Kerapatan mutlak spesies i --------------------------------Kerapatan total seluruh spesies = Jumlah satuan petak sampel yang diduduki spesies i --------------------------------------------------------------Jumlah petak sampel yang dibuat dalam analisis = Frekuensi mutlak spesies i -------------------------------Frekuensi total seluruh spesies Frekuensi Mutlak (i) Frekuensi Relatif (i) Indeks Nilai Penting (i) = Kerapatan relatif (i) + Frekuensi relatif (i) HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi dan Kelimpahan Populasi C. odorata Tumbuhan eksotik invasif C. odorata merupakan tumbuhan asli dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara (Anonim 1991). Hasil pengamatan pada semua lokasi penelitian di Jawa Barat khususnya daerah Bogor, C. odorata cenderung menempati lahan yang terbuka seperti di sisi jalan, tepian sawah yang kondisi tanahnya kering, ladang, dan perkebunan. Selain itu, C. odorata juga dapat tumbuh di bawah tegakan hutan yang terbuka tajuknya, bahkan masih bisa hidup pada daerah yang didominasi oleh batu-batuan. Pada lahan yang dibudidayakan seperti sawah, 12 ladang, dan hutan tanaman industri, keberadaan C. odorata memiliki status sebagai gulma penting yang merugikan karena populasinya sangat padat sehingga mampu berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam memperoleh unsur hara yang dibutuhkan (Tjitrosemito 1998). Persebaran C. odorata saat ini sudah sangat luas yang dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat dengan kelimpahan populasi yang berbeda, namun kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Binggeli (1997) melaporkan bahwa C. odorata hanya dapat tumbuh pada ketinggian dibawah 1000 mdpl. Keadaan ini dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan di Gunung Bunder, dimana populasi C. odorata hanya ditemukan sampai pada ketinggian 650 mdpl. Pada ketinggian lebih dari 650 mdpl C. odorata tidak dijumpai tetapi lebih didominasi oleh Austroeupatorium inulaefolium (L.) (Asteraceae) dengan kelimpahan populasi yang sangat tinggi. A. inulaefolium merupakan spesies tumbuhan yang secara taksonomi masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan C. odorata yang berada dalam satu famili yaitu Asteraceae (McFadyen et al. 2003). Untuk melihat kelimpahan populasi C. odorata pada berbagai tipe habitat yang berbeda, dipilih empat lokasi yang mewakili habitat perkebunan (Parung Panjang), hutan buatan (Darmaga), ladang dataran rendah (Setu), dan ladang dataran tinggi (Gunung Bunder). Dari hasil observasi yang dilakukan pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi C. odorata tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang dibandingkan dengan habitat C. odorata lainnya (Gambar 2). Habitat C. odorata di Parung Panjang adalah perkebunan yang merupakan Hutan Tanaman Industri dengan tanaman utama Acacia mangium. Kelimpahan populasi C. odorata pada empat habitat tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengambilan sampel yang dilakukan sebanyak tiga kali kecuali pada habitat C. odorata di Darmaga (Gambar 2). Kelimpahan populasi C. odorata antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 mengalami peningkatan, tetapi bukan berasal dari populasi yang sama. Sedangkan antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 kelimpahan populasi C. odorata 13 juga mengalami peningkatan yang berasal dari populasi waktu pengamatan sebelumnya. Pada bulan Agustus 2004 kelimpahan populasi C. odorata mencapai titik terendah kemudian meningkat pada bulan Mei 2005 kecuali pada habitat C. odorata di Darmaga dan mencapai puncaknya pada bulan Juni 2005. Menurunnya populasi C. odorata di Darmaga pada bulan Mei 2005 disebabkan karena adanya pemangkasan di habitat tersebut, namun pada bulan berikutnya yaitu Juni 2005 kelimpahan populasi C. odorata kembali mengalami peningkatan. P. Panjang Darmaga Setu Gn. Bunder 8 2 Jumlah pucuk/m 10 6 4 2 0 Agustus 2004 Mei 2005 Juni 2005 Waktu pengamatan Gambar 2 Kelimpahan populasi C. odorata pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel. Rendahnya populasi pucuk C. odorata pada bulan Agustus disebabkan karena kondisi iklim yang memasuki musim kemarau sehingga menyebabkan batang C. odorata menjadi kering. Keringnya bagian batang dan daun C. odorata tidak menyebabkan kematiannya, karena walaupun terlihat seperti mati tetapi akar yang berada di dalam tanah tetap hidup. Bulan Mei batang kirinyuh tumbuh kembali sehingga pucuk C. odorata bertambah banyak sampai menjelang waktu berbunga (fase vegetatif). Kemudian pada bulan berikutnya yaitu bulan Juni populasi C. odorata akan tumbuh secara serentak sehingga populasinya meningkat dengan pesat dimana sebagian pucuk telah berubah menjadi bunga (fase generatif) (Tjitrosemito 1999). Keadaan inilah yang menyebabkan kurang 14 efektifnya lalat puru C. connexa untuk menekan populasi C. odorata karena kelimpahan populasi lalat puru tidak mampu mengimbangi populasi inangnya yang tumbuh dengan populasi yang sangat berlimpah. Distribusi dan Kelimpahan Populasi Lalat Puru C. connexa Lalat puru C. connexa mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh surat izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Di Jawa Barat ada tiga titik pelepasan lalat puru C. connexa yang dilakukan di Parung PanjangJasinga, Bogor pada bulan Desember tahun 1995, Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi pada bulan Mei dan Juni tahun 1996, dan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada bulan Oktober tahun 1999 (Tjitrosemito 1998; Widayanti et al. 2001). Dalam penelitian ini, pengamatan terhadap distribusi lalat puru C. connexa hanya difokuskan pada titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga (128 mdpl) dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (300 mdpl). Distribusi lalat puru C. connexa berdasarkan lokasi penelitian disajikan pada gambar 3. Gambar 3 Distribusi lalat puru C. connexa dari titik pelepasan Parung PanjangJasinga, Bogor, dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi Jawa Barat. 15 Hasil observasi berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa, memperlihatkan bahwa setelah 10 tahun dilepas lalat puru C. connexa memiliki kemampuan menyebar cukup jauh dari titik pelepasannya baik dari Parung Panjang-Jasinga, Bogor maupun dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Secara spesifik, untuk mengetahui keberadaan lalat puru C. connexa pada suatu lokasi berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor atau dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi sulit untuk diketahui secara pasti. Walaupun demikian, keberadaan lalat puru C. connexa tersebut pada suatu lokasi dipastikan berasal dari titik pelepasan yang terdekat. Keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Setu (128 mdpl), Darmaga (170 mdpl), dan Gunung Bunder (650 mdpl) berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwasanya keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Darmaga dan Gunung Bunder juga bisa berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (Gambar 3). Di Gunung Bunder yang berjarak 35 km dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga dan 21 km dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (Tabel 2), lalat puru C. connexa masih dijumpai walaupun dengan kelimpahan populasi yang sangat rendah. Keberadaan lalat puru C. connexa di Gunung Bunder lebih banyak berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi karena memiliki jarak yang lebih dekat dari titik pelepasan tersebut dibandingkan dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor. Di Darmaga yang berjarak relatif hampir sama baik dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor (31 km) maupun dari titik pelepasan di PakuwonParung Kuda, Sukabumi (32 km) (Tabel 2), keberadaan lalat puru C. connexa berasal dari kedua titik pelepasan tersebut. Keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Ciawi (443 mdpl) dan Cisarua (962 mdpl) berasal dari titik pelepasan yang terdekat yaitu berasal dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Begitu juga keberadaan lalat puru C. connexa yang dijumpai di Gunung Salak (700 mdpl) yang merupakan distribusi dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. 16 Saat ini lalat puru C. connexa telah mapan dan menyebar secara alami. Adanya barier seperti pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Keadaan ini dibuktikan dengan tidak dijumpainya lalat puru C. connexa tersebut di daerah Cianjur 1 (714 mdpl) dan Cianjur 2 (608 mdpl), serta di Gunung Halimun (650 mdpl), namun keberadaan inangnya C. odorata pada tiga daerah tersebut masih bisa ditemukan. Adanya barier Gunung Halimun bagian selatan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa sehingga tidak ditemukannya lalat puru tersebut di daerah Gunung Halimun. Di daerah Cianjur, lalat puru C. connexa juga tidak dijumpai karena adanya barier berupa Gunung Gede dan Gunung Pangranggo sehingga menyebabkan terbatasnya distribusi lalat puru tersebut. Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa dipelajari secara spesifik pada 4 lokasi penelitian berdasarkan perbedaan habitat dan ketinggian lokasi penelitian. Empat lokasi tersebut mewakili habitat perkebunan (Parung Panjang), hutan buatan (Darmaga), ladang dataran rendah (Setu), dan ladang dataran tinggi (Gunung Bunder). Hasil observasi berdasarkan metode pengukuran populasi pada empat lokasi penelitian tersebut memperlihatkan bahwa keberadaan C. odorata diikuti juga dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa. Lalat puru mampu menyebar secara alami dan beradapatasi pada setiap habitat tetapi memiliki kelimpahan berbeda yang dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya, kondisi habitat, dan keberadaan musuh alami. Berdasarkan hasil survei, kelimpahan populasi lalat puru C. connexa meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengambilan sampel kecuali kelimpahan lalat puru di Gunung Bunder yang relatif hampir sama selama tiga kali pengambilan sampel (Gambar 4). Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 mengalami peningkatan, tetapi bukan berasal dari populasi yang sama. Sedangkan antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 kelimpahan populasi lalat puru C. connexa juga mengalami peningkatan yang berasal dari populasi waktu pengamatan sebelumnya. Pada bulan Agustus 2004, kelimpahan populasi lalat puru C. connexa di Parung Panjang, Darmaga dan Setu memiliki kelimpahan yang terendah, kemudian meningkat pada bulan Mei 2005 17 dan mencapai puncaknya pada bulan Juni 2005. Keadaan ini disebabkan karena selama musim kemarau bulan Agustus 2004 kelimpahan populasi C. odorata juga rendah karena batang mengalami kekeringan dan mati sehingga menurunkan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tjitrosemito (1999b) yang menyatakan bahwa kelimpahan populasi lalat puru lebih tinggi pada musim hujan (Mei dan Juni) dibandingkan pada waktu musim kemarau (Agustus). Pada musim kemarau, jumlah pucuk C. odorata sebagai inang bagi lalat puru C. connexa kurang memadai sehingga telur yang diletakkan selama musim kemarau tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi lalat puru C. connexa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan C. odorata sebagai inangnya. 2 Jumlah puru/m 20 Agustus 2004 Mei 2005 Juni 2005 15 10 5 0 P. Panjang Darmaga Setu Gn. Bunder Lokasi Gambar 4 Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel. Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa cenderung menurun seiring betambahnya ketinggian suatu tempat. Keadaan ini dibuktikan berdasarkan hasil pengamatan di Gunung Bunder pada ketinggian 650 mdpl yang memperlihatkan rendahnya kelimpahan populasi lalat puru C. connexa selama tiga kali pengambilan sampel (Gambar 4). Hal ini disebabkan karena kelimpahan populasi C. odorata sebagai inang bagi lalat puru juga rendah sehingga mempengaruhi kelimpahan populasi lalat puru tersebut. Selain itu, kondisi habitat di Gunung 18 Bunder berupa pegunungan yang memiliki perbedaan suhu dan kelembaban dengan dataran rendah menyebabkan terbatasnya distribusi lalat puru yang berdampak terhadap rendahnya kelimpahan populasi lalat puru C. connexa di lokasi tersebut. Terbentuknya puru pada batang dapat mengurangi pertumbuhan batang, produksi biji, dan penyimpanan karbohidrat untuk cadangan makanan (Erasmus et al. 1992). Jika terdapat dalam jumlah banyak, puru batang dapat menghambat pertumbuhan bahkan mematikan inangnya (Ehler et al. 1984 dalam McFadyen et al. 2003). Adanya lalat dalam puru batang C. odorata diharapkan mampu untuk menurunkan populasinya. Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan memperlihatkan bahwa intensitas serangan lalat puru sangat tinggi terhadap setiap batang dan pucuk C. odorata, namun keberadaan puru tersebut tidak mematikan C. odorata. Terbentuknya puru pada batang dan pucuk hanya bisa menghambat pertumbuhan C. odorata saja. Walaupun lalat puru C. connexa tidak mampu menurunkan populasi inangnya secara nyata, C. odorata yang telah terinfestasi oleh puru memiliki produksi biji yang rendah dan proses perkecambahan juga menurun terutama bila seluruh pucuk terinfestasi oleh puru. Fenomena lain yang dijumpai adalah banyaknya C. odorata dengan tinggi kurang dari 100 cm, selain itu terlihat secara umum diameter batang lebih kecil bila dibandingkan dengan diameter batang yang normal. Chenon et al. 2002 melaporkan bahwa tinggi batang C. odorata yang terinfestasi oleh lalat puru C. connexa memiliki kisaran antara 70-85 cm sedangkan panjang batang normal berkisar antara 224-244 cm. Kekayaan Spesies Tumbuhan di Habitat C. odorata Dengan menggunakan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat, diharapkan dapat memberikan gambaran keseluruhan spesies tumbuhan yang ditemukan pada setiap habitat C. odorata. Keanekaragaman spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata berdasarkan metode analisis vegetasi dan jumlah plot yang dibuat memperlihatkan bahwa pengambilan contoh spesies tumbuhan sudah dapat menggambarkan keseluruhan spesies tumbuhan yang ada pada masing-masing habitat C. odorata. Hal ini ditunjukkan dengan landainya 19 kurva akumulasi spesies hasil observasi di lapangan pada keempat habitat C. odorata tersebut (Gambar 5). Keanekaragaman spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa kekayaan spesies (species richness) tertinggi diperoleh di Darmaga dan terendah di Parung Panjang (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa habitat C. odorata di Darmaga memiliki keanekaragaman tumbuhan yang lebih beragam dibandingkan habitat C. odorata di daerah lain. Berdasarkan nilai penduga ACE, jumlah spesies tumbuhan yang dikoleksi tertinggi diperoleh di Darmaga, Gunung Bunder, dan Setu (ACE 100%), sedangkan terendah diperoleh di Parung Panjang (ACE 95.6%) dari total jumlah spesies yang ada. 35 Jumlah spesies 30 Darmaga (ACE 100%) Setu (ACE 100%) Gn. Bunder (ACE 100%) P. Panjang (ACE 95.6) 25 20 15 10 5 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 Jumlah petak contoh Gambar 5 Kurva akumulasi spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata. Hasil analisis vegetasi pada empat habitat C. odorata ditemukan sebanyak 131.132 individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies (Tabel 3). Kelimpahan individu (species abudance) tumbuhan terbesar diperoleh dari habitat C. odorata di Gunung Bunder yaitu sebesar 54.554 individu. Kekayaan spesies dan jumlah famili tertinggi di dapat di Darmaga yaitu 26 spesies dan 14 famili. Berdasarkan perhitungan nilai indeks keanekaragaman Shannon dan kemerataan (evenness), spesies tumbuhan tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Setu masing-masing sebesar 1.26 dan 0.39. 20 Tabel 3 Jumlah Famili (F), Spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan kemerataan (E) tumbuhan pada tiap habitat C. odorata Lokasi penelitian F S N H' E Parung Panjang 11 15 15.907 0.77 0.28 Setu 13 25 36.048 1.26 0.39 Darmaga 14 26 24.623 0.94 0.29 Gunung Bunder 11 20 54.554 1.16 0.39 Total 21 44 131.132 1.96 0.52 Hasil perhitungan indeks kemiripan Sorensen (Cs) memperlihatkan bahwa antara lokasi Parung Panjang dan Setu memiliki indeks kemiripan tertinggi yaitu 0.65 atau sekitar 65% komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan adalah sama. Komposisi spesies tumbuhan antara Parung Panjang dengan Gunung Bunder memiliki indeks kemiripan terendah yaitu 0.40 atau sekitar 40% komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan sama pada kedua habitat C. odorata tersebut (Tabel 4). Tabel 4 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies tumbuhan antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata Lokasi penelitian Parung Panjang Setu Darmaga Parung Panjang 1.00 Setu 0.65 1.00 Darmaga 0.44 0.55 1.00 Gunung Bunder 0.40 0.44 0.57 Gunung Bunder 1.00 Habitat C. odorata di Parung Panjang merupakan perkebunan dengan tanaman utama A. mangium, sedangkan Setu merupakan lahan terbuka dengan dominasi M. affine. Tingginya kemiripan komposisi spesies tumbuhan pada kedua habitat tersebut diduga karena memiliki sejarah penggunaan lahan yang sama sebelum Parung Panjang di tanami dengan A. mangium. Selain itu, jarak yang dekat (6 km) dengan ketinggian yang sama (128 mdpl) juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberadaan spesies tumbuhan yang ditemukan pada 21 kedua lokasi tersebut. Kondisi habitat C. odorata di Gunung Bunder yang berbatasan langsung dengan lahan persawahan dan tanaman jagung serta berada pada ketinggian 650 mdpl, diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi spesies tumbuhan dengan habitat C. odorata di Parung Panjang. Berdasarkan hasil analisis pengelompokan menunjukkan bahwa habitat C. odorata di Setu dan Parung Panjang berada dalam satu kelompok, sedangkan kelompok lainnya terdiri dari habitat C. odorata di Gunung Bunder dan Darmaga (Gambar 6). Dengan demikian melalui pendekatan matriks kemiripan dan gambar dendogram maka komunitas tumbuhan pada empat habitat C. odorata dapat dibedakan secara tegas berdasarkan komposisi spesies penyusun pada masingmasing habitat C. odorata tersebut. 0.55 Jarak ketidaksamaan 0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 Setu Gn. Bunder Prg. Panjang Darmaga Gambar 6 Dendogram pengelompokan spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata. Implikasi Keberadaan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata terhadap Keberadaan Tumbuhan Lokal Indeks nilai penting (INP) spesies tumbuhan pada setiap habitat C .odorata memiliki perbedaan. Kelompok spesies tumbuhan tegak yang memiliki indeks nilai penting tertinggi pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan 22 Darmaga adalah C. odorata dengan nilai penting masing-masing sebesar 47%, 28.20%, dan 49.57%, sedangkan di Gunung Bunder Boreria alata memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu sebesar 73.38% (Tabel 5). Untuk kelompok spesies tumbuhan merambat, indeks nilai penting tertinggi di Parung Panjang dan Setu adalah Cyrtococcum oxyphyllum dengan nilai penting masing-masing sebesar 131.8% dan 89.97%, di Darmaga indeks nilai penting tertinggi adalah Panicum repens sebesar 98.34%, sedangkan di Gunung Bunder adalah Axonopus compressus dengan nilai penting sebesar 72.85% (Tabel 6). Dengan demikian spesies-spesies yang memiliki indeks nilai penting tertinggi merupakan spesies yang mempunyai kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies yang lainnya, baik bila dihubungkan dengan pengaruh keberadaan C. odorata maupun dalam kaitannya dengan kompetisi dengan spesies lain sehingga spesies-spesies tumbuhan tersebut mendominasi pada setiap habitat C. odorata tersebut. Tabel 5 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan tegak pada empat habitat C. odorata No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 *) #) Spesies Chromolaena odorata Boreria leavis Corchorus aestuans Ageratum conyzoides Imperata cylindrica Mimosa pudica Urena lobata Boreria alata Spesies lain# Total P. Panjang 47.00* 46.18 27.56 58.96 200 Lokasi penelitian / INP (%) Setu Darmaga Gn. Bunder 28.20* 25.31 25.04 69.82 200 49.57* 16.26 17.76 95.76 200 23.29 48.28 73.38* 53.49 200 INP tertinggi pada setiap habitat C. odorata Tetracera scandens, Breynia racemosa, Melastoma affine, Lantana camara, Hydrocotyle sibthorpioides, Phyllanthus urinaria, Scleria ciliaris, Clidemia hirta, Stachytarpheta jamaicensis, Solanum involucratum, Mimosa invisa, Pennisetum polystachyon, Panicum maximum, Mimosa pigra, Amaranthus spinosus, Nephrolepis bisserata, Cyclosorus aridus, Bergia capendis, Pityrogramma tartara 23 Tabel 6 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan merambat pada empat habitat C. odorata No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Spesies Cyrtococcum oxyphyllum Axonopus compressus Lygodium microphyllum Operculina turpethum Ipomoea triloba Panicum repens Ischaemum timorense Rostellularia sundana Spesies lain Total Lokasi penelitian / INP (%) P. Panjang Setu Darmaga Gn. Bunder 131.8* 89.97* 48.60 37.11 19.13 72.85* 19.55 28.60 20.89 98.34* 50.93 18.36 0 44.3 61.6 57.8 200 200 200 200 *) # INP tertinggi pada setiap habitat C. odorata ) Chrysopogon aciculatus, Mikania micrantha, Centrosema pubescen, Widelia trilobata, Eleusine indica, Commelina diffusa, Setaria palmifolia, Cyperus kyllingia, Eragrostis unioloides Hasil perhitungan indeks nilai penting untuk spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi tumbuhan ini mendominasi pada tiga habitat tersebut kecuali di Gunung Buder (Tabel 5). Keadaan ini mengindikasikan bahwa kehadiran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada tiga habitat tersebut telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada di sekitarnya. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang memperlihatkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman tumbuhan pada keempat habitat C. odorata tersebut (Tabel 3). Pada 8 minggu pertama setelah tumbuh dari biji, C. odorata mengalokasikan sebagian besar hasil fotosintesis atau biomassanya untuk pembentukan daun. Setelah 8 minggu pertama, hasil fotosintesis atau biomassanya diarahkan untuk pembentukan batang sehingga C. odorata membentuk tumbuhan yang banyak daunnya dan terlihat rindang, padat serta rapat 24 jumlah daunnya. Keadaan seperti ini menyebabkan C. odorata bersifat agresif karena akan segera menutupi pertumbuhan kecambah spesies tumbuhan lain yang kurang cepat pertumbuhannya sehingga akan menghambat pertumbuhan kecambah spesies tumbuhan tersebut dan bahkan dapat menyebabkan kematian kecambah (Tjitrosemito 1997). Keberadaan tumbuhan eksotik invasif C. odorata ini pertumbuhannya akan berkompetisi dengan spesies-spesies tumbuhan lain yang berada dibawahnya baik dari kelompok tumbuhan tegak maupun yang merambat. Apabila C. odorata ini menaungi spesies-spesies tumbuhan yang berada di bawahnya secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan hilangnya spesies-spesies tumbuhan yang berada di bawah naungan C. odorata tersebut (Tjitrosemito 22 Agustus 2006, komunikasi pribadi). KESIMPULAN Persebaran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Jawa Barat khususnya daerah Bogor sudah sangat luas. C. odorata dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat meliputi habitat perkebunan, hutan buatan, ladang dataran rendah, maupun ladang dataran tinggi dengan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Keberadaan C. odorata diikuti pula dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa pada semua lokasi pengamatan, kecuali di Gunung Halimun dan Cianjur. Ada dua titik pelepasan lalat puru C. connexa yaitu di Parung Panjang-Jasinga, Bogor dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Lalat puru C. connexa saat ini telah mapan keberadaannya dan menyebar secara alami serta memiliki kemampuan persebaran yang cukup jauh baik dari titik pelepasannya di Parung Panjang-Jasinga, Bogor maupun dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Lalat puru C. connexa mampu hidup pada berbagai ketinggian tempat yang berbeda, namun kelimpahan populasinya menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat. Adanya barier 25 berupa pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya yaitu C. odorata. Komunitas tumbuhan yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari 131.132 individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies. Tingkat kemiripan komposisi spesies tumbuhan tertinggi terdapat pada habitat C. odorata antara Parung Panjang dan Setu yaitu 65%, sedangkan yang terendah diperoleh pada habitat C. odorata antara Parung Panjang dengan Gunung Bunder sebesar 40%. Kelimpahan populasi C. odorata pada lokasi penelitian di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga mendominasi berdasarkan perhitungan indeks nilai penting kecuali di Gunung Bunder. Implikasi dari keberadaan spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada tiga habitat tersebut telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada di sekitarnya. STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA PADA HABITAT TUMBUHAN EKSOTIK INVASIF: STUDI KASUS PADA HABITAT Chromolaena odorata (L.) KING & ROBINSON (ASTERACEAE) DI BOGOR, JAWA BARAT PENDAHULUAN Keberadaan spesies eksotik invasif merupakan suatu ancaman yang serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Spesies eksotik invasif dapat menyebabkan homogenisasi biotik, merubah suatu komunitas, dan kepunahan spesies lokal (Olden et al. 2004; Untung 2005). Sebagai contoh, kirinyuh atau Chromolaena odorata (Asteraceae) adalah spesies tumbuhan eksotik invasif. Kemampuan adaptasinya dapat mendominasi suatu habitat, seperti di hutan lindung Panunjang, Jawa Barat dan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur (Tjitrosemito 1998). Pengendalian kirinyuh dengan memanfaatkan agens hayatinya telah dilakukan dengan mengintroduksi lalat pembentuk puru Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) pada tahun 1993 dari Columbia (McFadyen et al. 2003). Di Jawa Barat lalat puru C. connexa mulai dilepas pada tahun 1995 di Hutan Tanaman Industri Parung Panjang-Jasinga, Bogor (Tjitrosemito 1998). Sampai saat ini lalat puru C. connexa telah mapan keberadaannya dan menyebar secara alami. Keberadaan spesies eksotik dapat dikendalikan dengan teknik pengendalian hayati, seperti C. odorata yang dikendalikan dengan lalat puru C. connexa. Namun tidak semua pengendalian spesies eksotik berhasil menurunkan populasi inangnya. Kemapanan populasi agens hayati yang tidak mampu menurunkan populasi inangnya dapat memfasilitasi efek bottom-up yang menghubungkan gulma sasaran dengan organisme lokal lainnya (Pearson & Callaway 2003). Pengendalian hayati merupakan teknik pengendalian yang penting dalam menghadapi invasi spesies eksotik, namun agens hayati tersebut dapat berdampak merugikan pada spesies lokal. Dari beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa agens hayati yang inangnya spesifik dapat menimbulkan efek tidak 27 langsung (indirect effects) melalui interaksi dan subsidi jaring-jaring makanan. Efek tidak langsung dapat terjadi melalui penggantian ekosistem ketika agens hayati secara fisik dan fungsional menggantikan spesies lokal (Pearson & Callaway 2003). Sampai saat ini, studi ekologi mengenai dampak keberadaan spesies ekostik invasif C. odorata belum pernah dilakukan, seperti penelitian bagaimana dampak keberadaan C. odorata dan agens hayati C. connexa terhadap struktur komunitas serangga lokal. Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui struktur komunitas serangga pada habitat C. odorata. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari struktur komunitas serangga di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan tipe habitat dan ketinggian tempat. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel: (1) Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang-Jasinga mewakili habitat perkebunan dan tempat pelepasan lalat puru C. connexa, (2) Desa Setu-Jasinga mewakili habitat ladang dataran rendah, (3) Kampus IPB Darmaga mewakili habitat hutan buatan, dan (4) Gunung Bunder mewakili habitat ladang dataran tinggi (Tabel 7). Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2004 hingga Juni 2005. Pengambilan Contoh Serangga Pada masing-masing lokasi dibuat 5 jalur transek sepanjang 30 m dengan jarak antara transek 15 m (Gambar 1). Sepanjang jalur transek dibuat petak contoh pengambilan sampel berbentuk bujur sangkar (2 m x 2 m) dengan jarak 15 m, sehingga pada masing-masing transek terdapat 3 petak contoh, jadi ada 15 28 petak contoh pada setiap lokasi penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali pada setiap lokasi penelitian, yaitu bulan Agustus 2004, Mei 2005, dan Juni 2005. Tabel 7 Deskripsi lokasi yang dipilih untuk penelitian Lokasi/Desa Parung Panjang Koordinat (LS dan BT)1) 060.42 LS 1060.48 BT Ketinggian Jarak Kondisi Habitat (mdpl)2) (km)3) 128 0 Hutan tanaman industri dengan tanaman utama Acacia mangium disertai populasi C. odorata dominan Setu 060.46 LS 1060.45 BT 128 6 Lahan terbuka dengan dominasi Melastoma affine dan C. odorata yang berbatasan dengan lahan tanaman budidaya (kacang tanah, kedelai, dan jagung) Darmaga 060.55 LS 1060.72 BT 170 30 Tanaman sengon (Albizia falcataria) dengan dominasi C. odorata dan Widelia trilobata yang berbatasan dengan jalan raya Gunung Bunder 060.66 LS 1060.69 BT 650 35 Lahan terbuka dengan dominasi Ageratum conyzoides dan Boreria alata yang berbatasan dengan lahan persawahan dan tanaman budidaya (jagung, talas, pisang, kopi, dan singkong) 1) LS = Lintang selatan, BT = Bujur timur, titik pelepasan C. connexa 2) Meter di atas permukaan laut, 3) Jarak lokasi dari Pengambilan sampel serangga pada setiap petak contoh menggunakan perangkap jebak (pitfall trap), perangkap nampan kuning (yellow pan trap), dan perangkap malaise (malaise trap) (Gambar 7). Perangkap jebak terbuat dari gelas plastik bekas air mineral volume 220 ml, diameter mulut gelas 7 cm dan tinggi 10 cm. Gelas diisi 110 ml larutan air sabun dan garam secukupnya untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang terperangkap tenggelam dan mati Perangkap jebak ditempatkan sebanyak 4 buah pada setiap petak contoh sehingga terdapat 60 buah perangkap jebak yang dipasang selama 24 jam pada setiap lokasi penelitian. 29 a b c Gambar 7 Perangkap serangga yang digunakan; (a) yellow pan trap (b) pitfall trap (c) malaise trap. Nampan kuning yang digunakan adalah wadah plastik berukuran 15 cm x 25 cm x 7 cm. Nampan kuning diisi dengan air sabun dan garam secukupnya untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang terperangkap tenggelam dan mati. Selanjutnya nampan kuning diletakkan pada permukaan tanah sebanyak 2 buah dalam setiap petak contoh, sehingga terdapat 30 buah nampan kuning yang dipasang selama 24 jam pada setiap lokasi penelitian. Perangkap malaise terbuat dari jaring yang berbentuk seperti tenda (berbentuk prisma). Pada bagian puncaknya dipasang botol plastik yang berfungsi sebagai perangkap. Perangkap malaise efektif untuk serangga yang aktif terbang, serangga terbang akan menabrak jaring kemudian serangga akan bergerak ke atas mengikuti pola jaring menuju botol perangkap. Perangkap ditempatkan secara diagonal masing-masing diantara transek 2-3 dan transek 4-5, sehingga terdapat 2 buah perangkap malaise yang dipasang selama 24 jam. Serangga yang tertangkap dengan perangkap jebak, nampan kuning, dan malaise dibersihkan dari kotoran. Selanjutnya disimpan dalam tabung film berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi di laboratorium. Sortasi dan identifikasi sampel serangga yang dikoleksi dari lapangan dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Semua serangga yang diperoleh dipisahkan berdasarkan ordonya. Selanjutnya identifikasi dilanjutkan sampai morfospesies tingkat famili (hanya diberi kode). Identifikasi serangga untuk tingkat famili mengacu pada kunci identifikasi yang tersedia. 30 Analisis Data Data keseluruhan spesies serangga yang diperoleh pada setiap lokasi dapat diduga dengan menggunakan kurva akumulasi spesies yang dibuat dengan program EstimateS 6.0b1 (Colwell 2000). Jumlah spesies serangga yang diperoleh pada setiap petak contoh diacak sebanyak 50 kali menggunakan program tersebut. Prediksi kekayaan spesies serangga diduga dengan abundancebased coverage estimator (ACE) (Colwell & Coddington 1994). Indeks keanekaragaman serangga diukur berdasarkan Shannon-Wiener (H’) = -Σ pi ln pi dimana pi = proporsi spesies ke-i terhadap total jumlah spesies, Indeks kemerataan berdasarkan Shannon-Wiener (E) = H’/ln (S) dimana S = total jumlah spesies yang diperoleh. Kemiripan komunitas serangga antar lokasi diukur dengan menggunakan Indeks Sorensen (Cs) = 2j / a+b dimana j adalah jumlah spesies yang ditemukan di daerah a dan b, a = jumlah spesies yang ditemukan di daerah a, b = jumlah spesies yang ditemukan di daerah b (Magurran 1988; Kreb 1998). Indeks tersebut dihitung dengan mengggunakan Biodiv97 yang merupakan perangkat lunak macro pada Microsoft Excel. Matrik yang diperoleh kemudian dianalisis lanjut dengan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) (Krebs 1998). Pengelompokan dalam bentuk dendogram menggunakan Unweighted Pair-Group Average (UPGMA) dan jarak Euclidean yang dibuat dengan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0 (StatSoft 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Kekayaan Spesies Serangga di Habitat C. odorata Keanekaragaman spesies serangga pada empat habitat C. odorata berdasarkan perangkap yang digunakan memperlihatkan bahwa kekayaan spesies (species richness) tertinggi diperoleh di Darmaga dan terendah di Parung Panjang (Gambar 8). Keadaan ini mengindikasikan bahwa habitat C. odorata di Darmaga memiliki keanekaragaman serangga yang lebih beragam dibandingkan habitat C. odorata di daerah lain. Berdasarkan nilai penduga ACE, jumlah spesies serangga 31 yang dikoleksi tertinggi diperoleh di Setu (ACE 77.2%), sedangkan terendah diperoleh di Gunung bunder (ACE 70%) dari total jumlah spesies yang ada. 400 Jumlah spesies 350 300 250 200 Setu (ACE 77.2%) 150 P. Panjang (ACE 72.4%) 100 Darmaga (ACE 74.9%) Gn. Bunder (ACE 70%) 50 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Jumlah petak contoh Gambar 8 Kurva akumulasi spesies serangga pada empat habitat C. odorata. Dari empat lokasi pengambilan sampel pada habitat C. odorata diperoleh 24.213 individu serangga yang termasuk ke dalam 14 ordo, 132 famili, dan 568 spesies (Tabel 8). Kelimpahan individu (species abundance) serangga terbesar diperoleh dari habitat C. odorata di Setu yaitu sebesar 8.967 individu (37%). Kekayaan spesies tertinggi didapat di Darmaga yaitu 345 spesies. Ordo dan famili terbanyak juga diperoleh di Darmaga yaitu 13 ordo dan 103 famili. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon dan kemerataan (evenness), spesies serangga tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Gunung Bunder masingmasing sebesar 4.13 dan 0.73. Tabel 8 Jumlah ordo (O), famili (F), spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan kemerataan (E) serangga pada tiap habitat C. odorata Lokasi penelitian O F S N H' E Parung Panjang 12 86 262 5.568 3.37 0.61 Setu 12 95 300 8.967 3.41 0.60 Darmaga 13 103 345 5.218 4.05 0.69 Gunung Bunder 11 83 277 4.460 4.13 0.73 Total 14 132 568 24.213 4.16 0.66 32 Dari hasil sampling yang dilakukan terlihat bahwa kekayaan spesies dan kelimpahan individu terbesar yang dikumpulkan dari empat habitat C. odorata adalah ordo Hymenoptera (Gambar 9). Ordo Diptera merupakan ordo terbesar kedua yang diikuti oleh Ordo Hemiptera yang menempati urutan terbesar ketiga. Ordo Orthoptera, Coleoptera, Blattodea, Dermaptera, Isoptera, Lepidoptera, Mantodea, Neuroptera, Odonata, Psocoptera, dan Thysanoptera merupakan ordo minor yang ditemukan pada masing-masing habitat C. odorata tersebut. 200 Jumlah spesies P. Panjang A 180 Setu Darmaga 160 140 Gn. Bunder 120 100 80 60 40 20 0 8000 Hymenoptera Diptera B Ordo 7000 Jumlah individu Hemiptera Ordo Lain P. Panjang Setu Darmaga 6000 Gn. Bunder 5000 4000 3000 2000 1000 0 Hymenoptera Diptera Hemiptera Ordo Lain Ordo Gambar 9 Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata. Keseluruhan serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa ordo Hymenoptera mendominasi pada habitat tersebut. Kelimpahan individu Hymenoptera pada empat habitat C. odorata sebanyak 33 18.044 individu dari 24.213 total individu yang ditemukan. Berdasarkan kelimpahan individu relatif, sekitar 15.451 dari ordo Hymenoptera yang diidentifikasi didominasi oleh famili Formicidae. Keadaan ini menunjukkan bahwa famili Formicidae merupakan salah satu kelompok organisme yang dominan di ekosistem terestrial. Selanjutnya bila Formicidae dikeluarkan dari sampel, kekayaan spesies ordo Hymenoptera tetap mendominasi, namun secara kelimpahan individu ordo Diptera memiliki kelimpahan individu yang paling banyak kecuali pada habitat C. odorata di Gunung Bunder yang didominasi oleh Jumlah spesies ordo Hymenoptera (Gambar 10). 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1200 P. Panjang A Setu Darmaga Gn. Bunder Hymenoptera Diptera Hemiptera B Ordo P. Panjang Setu 1000 Jumlah individu Ordo Lain Darmaga Gn. Bunder 800 600 400 200 0 Hymenoptera Diptera Hemiptera Ordo Lain Ordo Gambar 10 Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga tanpa Formicidae yang diperoleh pada empat habitat C. odorata. 34 Kekayaan Spesies Hymenoptera dan Diptera di Habitat C. odorata Total jumlah Hymenoptera yang dikumpulkan dari empat habitat C. odorata adalah 18.044 individu yang terdiri dari 43 famili dan 265 morfospesies. Kekayaan spesies tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Darmaga yang terdiri dari 176 morfospesies, 35 famili, dan 3.318 individu. Sedangkan kekayaan spesies terendah diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang dan Gunung Bunder masing-masing terdiri dari 137 morfospesies, 32 famili dan 4.402 individu pada habitat C. odorata di Parung Panjang dan 28 famili serta 3.118 individu pada habitat C. odorata di Gunung Bunder (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Hymenoptera pada tiap habitat C. odorata Famili Ampulicidae Braconidae Eucoilidae Eupelmidae Ormyridae Encrytidae Ichneumonidae Scelionidae Vespidae Famili lain* Total Total Famili P. Parung S N 5 14 10 25 2 3 1 1 1 9 14 24 9 89 23 143 4 7 68 4.087 137 4.402 32 Lokasi penelitian Setu Darmaga S N S N 5 18 5 14 12 23 9 21 2 4 3 18 2 2 3 3 1 11 1 2 16 59 10 39 7 31 15 32 24 175 29 157 1 1 5 42 81 6.842 96 2.990 151 7.166 176 3.318 35 35 Gn.Bunder S N 2 2 11 37 3 8 0 0 0 0 12 170 6 20 23 255 3 20 77 2.606 137 3.118 28 Total S Peranan N Predator Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Polinator 265 18.044 43 * Anthophoridae, Aphilinidae, Apidae, Bethylidae, Bradynobaenidae, Ceraphronidae, Chalcididae, Chrysididae, Colletidae, Diapriidae, Elasmidae, Eulopidae, Eurytomidae, Evanidae, Fidellidae, Figitidae, Formicidae, Heloridae, Megachilidae, Megasphilidae, Mutillidae, Mymaridae, Mymarommatidae, Platygasteridae, Pompilidae, Proctotrupidae, Pteromalidae, Rhopalosomatidae, Scoliidae, Sierolomorphidae, Signiporidae, Sphecidae, Tiphiidae, Torymidae Secara umum famili-famili Hymenoptera yang ditemukan terdiri dari kelompok parasitoid, predator dan polinator. Hasil pengamatan secara visual memperlihatkan bahwa kelompok parasitoid yang berasosiasi langsung dengan lalat puru C. connexa berasal dari famili Braconidae, Eucoilidae, Eupelmidae, dan Ormyridae. Menurut Gooulet dan Huber (1993), famili Braconidae dilaporkan bersifat ektoparasit pada larva Lepidoptera dan Coleoptera, pada ordo Diptera bersifat endoparasit, sedangkan famili Ormyridae merupakan parasitoid puru pada 35 lalat famili Cecidomyiidae dan Tephritidae (Ordo Diptera). Famili Eucoilidae merupakan parasitoid pupa pada ordo Diptera (Boror et al. 1981), sedangkan famili Eupelmidae bersifat parasitoid pada Ordo Diptera (famili Cecidomyiidae) (Nauman 1991). Famili Braconidae dan Eucoilidae masing-masing terdiri dari 22 morfospesies dan 3 morfospesies yang ditemukan pada empat habitat C. odorata. Famili Eupelmidae terdiri dari 3 morfospesies sedangkan famili Ormyridae hanya terdiri dari 1 morfospesies yang dijumpai pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga, sedangkan di Gunung Bunder tidak ditemukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hymenoptera dari kelompok parasitoid memiliki kekayaan spesies dan kelimpahan individu yang lebih tinggi dibandingkan Hymenoptera dari kelompok polinator maupun predator (Tabel 9). Famili Braconidae, Encyrtidae, Ichneumonidae, dan Scelionidae memiliki jumlah spesies dan kelimpahan individu yang paling tinggi pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder. Tingginya kekayaan spesies dan kelimpahan individu kelompok Hymenoptera parasitoid pada empat habitat C. odorata tidak terlepas dari ketersediaan tumbuhan berbunga pada masing-masing habitat tersebut. Terdapat lima spesies tumbuhan yang diperoleh pada empat habitat C. odorata, yaitu Ageratum conyzoides, Melastoma affine, Mimosa pudica, Phyllanthus urinaria, dan Axonopus compressus (Tabel Lampiran 1 sampai 8). Vegetasi ini merupakan tumbuhan liar yang umum dijumpai di sekitar habitat ladang, sawah, dan perkebunan. Tumbuhan liar merupakan tempat mengungsi, berlindung, dan bertahan hidup bagi Hymenoptera dari kelompok parasitoid. Altieri dan Nicholls (2004) melaporkan bahwa tumbuhan liar dapat berperan sebagai tempat berlindung atau pengungsian musuh alami apabila kondisi pertanaman tidak sesuai seperti ketika tanaman tidak ada (saat panen), pemberaan, dan perlakuan insektisida. Selain itu, hasil penelitian Kartosuwondo (2001) melaporkan bahwa ketersediaan tumbuhan berbunga pada suatu ekosistem tidak hanya mampu meningkatkan lama hidup dan keperidian parasitoid, tetapi juga meningkatkan keanekaragaman spesies parasitoid. 36 Ordo Diptera yang berhasil dikumpulkan dari empat habitat C. odorata sebanyak 3.015 individu yang terdiri dari 35 famili dan 120 morfospesies. Kekayaan spesies tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Gunung Bunder yang terdiri dari 71 morfospesies, 25 famili, dan 795 individu. Sedangkan kekayaan spesies terendah diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang yang terdiri dari 47 morfospesies, 22 famili dan 627 individu (Tabel 10). Familifamili Diptera yang ditemukan terdiri dari kelompok herbivor, predator, saprofag, dan polinator. Tabel 10 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Diptera pada tiap habitat C. odorata Famili Cecidomyiidae Dolicophodidae Phoridae Tabanidae Tephritidae Famili lain Total Total Famili* P. Parung S N 2 4 6 214 4 123 2 38 1 5 30 238 47 627 22 Lokasi penelitian Setu Darmaga S N S N 2 46 1 5 7 273 6 193 4 260 8 155 2 2 1 3 2 5 1 2 32 284 49 360 51 872 67 721 23 29 Gn.Bunder S N 2 25 8 95 5 229 1 1 2 3 50 437 71 795 25 Total S Peranan N Herbivor Predator Saprofag Polinator Herbivor 120 3.015 35 * Anthomyiidae, Asteiidae, Calliphoridae, Carnidae, Ceratopogonidae, Chamaemyiidae, Chloropidae, Culicidae, Curtonotidae, Diastatidae, Diopsidae, Drosophilidae, Ephydridae, Lauxanidae, Micropezidae, Muscidae, Mycetophilidae, Otitidae, Pipunculidae, Sarcophagidae, Scathophagidae, Scatopsidae, Sciaridae, Sphaeroceridae, Stratiomyidae, Syrphidae, Tachinidae, Tethinidae, Therevidae, Tipulidae Kelompok herbivor terdiri dari 2 famili yaitu famili Cecidomyiidae (3 morfospesies) dan Tephritidae (3 morfospesies selain C. connexa). Menurut Boror et al. (1981) famili Cecidomyiidae merupakan kelompok pembentuk puru pada batang dan daun tanaman, sedangkan famili Tephritidae selain menyebabkan terbentuknya puru pada tanaman juga menyebabkan kerusakan pada buah. Keberadaan spesies dari famili Cecidomyiidae dan Tephritidae (selain C. connexa) yang berperan sebagai herbivor pada habitat C. odorata diduga memiliki potensi untuk berkompetisi dengan lalat puru C. connexa. Walalupun belum diketahui secara pasti spesies-spesies tersebut berinteraksi dengan C. odorata, namun spesies tersebut dikhawatirkan berpotensi untuk menyebabkan terbentuknya puru pada tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Waterhouse (1994) 37 melaporkan bahwa di Amerika Selatan ada 8 spesies dari famili Cecidomyiidae dan 2 spesies dari famili Tephritidae yang berpotensi sebagai agens hayati untuk mengendalikan C. odorata. Famili Dolicophodidae dan Phoridae memiliki kekayaan spesies dan kelimpahan individu tertinggi (Tabel 10). Menurut Boror et al. (1981) Famili Dolicophodidae merupakan kelompok predator yang jumlah individunya berlimpah di hutan dan padang rumput. Melimpahnya kekayaan spesies dan kelimpahan individu Famili Dolicophodidae diduga terkait dengan banyaknya mangsa yang berada disekitar vegetasi pada keempat habitat C. odorata tersebut. Famili Phoridae termasuk dalam kelompok serangga saprofag (Boror et al. 1981). Adanya kotoran dan daun membusuk yang berasal dari vegetasi di sekitar habitat C. odorata merupakan makanan bagi kelompok serangga saprofag, sehingga menyebabkan tingginya kekayaan spesies dan kelimpahan individu serangga dari famili tersebut. Serangga saprofag sangat berguna dalam proses jaring makanan karena membantu menguraikan bahan organik yang ada. Dari hasil perangkap yang digunakan berupa pitfall trap, yellow pan trap, dan malaise trap tidak banyak imago lalat puru C. connexa yang dijumpai pada habitat C. odorata. Keadaan ini dibuktikan pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga secara berturut-turut hanya ditemukan sebanyak 5, 3, dan 2 individu lalat puru C. connexa, sedangkan di Gunung Bunder tidak dijumpai sama sekali. Untuk mengukur populasi lalat puru C. connexa di lapangan tidak dapat diukur dengan menggunakan metode berupa perangkap pitfaall trap, yellow pan trap, dan malaise trap, tetapi dengan metode koleksi puru langsung dari lapangan atau dengan menggunakan staner trap yang diberi metyl eugenol. Hubungan Keanekaragaman Serangga dengan Kondisi Habitat Kondisi masing-masing habitat C. odorata memiliki perbedaan (Tabel 7). Habitat C. odorata di Darmaga (hutan buatan dengan tanaman utama A. falcataria) memiliki kekayaan spesies serangga tertinggi yang terdiri dari 345 spesies diikuti oleh Setu dan Gunung Bunder masing-masing 300 spesies dan 277 spesies. Keadaan ini berbeda dengan Parung Panjang (perkebunan dengan 38 tanaman utama A. mangium) yang memiliki kekayaan spesies serangga terendah yaitu 262 spesies (Tabel 8). Tingginya kekayaan spesies serangga pada habitat C. odorata di Darmaga diduga karena selain adanya tanaman utama juga terdapat komposisi vegetasi tumbuhan yang lebih beragam sehingga mempengaruhi kekayaan spesies serangga di sekitarnya dibandingkan dengan habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Gunung Bunder yang memiliki komposisi vegetasi tumbuhan yang cenderung lebih sedikit di banding Darmaga. Kemiripan komposisi spesies serangga yang diperoleh antar lokasi dengan menggunakan indeks kemiripan Sorensen (Cs) memperlihatkan bahwa antara Parung Panjang dan Setu memiliki indeks kemiripan tertinggi yaitu 0.63 atau sekitar 63% dari spesies serangga yang ditemukan adalah sama. Komposisi spesies serangga yang ditemukan di Gunung Bunder dengan Parung Panjang memiliki indeks terendah yaitu 0.49 yang mengindikasikan bahwa spesies serangga yang ditemukan memiliki kemiripan sekitar 49% (Tabel 11). Tabel 11 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies serangga antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata Lokasi penelitian Parung Panjang Setu Darmaga Parung Panjang 1.00 Setu 0.63 1.00 Darmaga 0.54 0.55 1.00 Gunung Bunder 0.49 0.54 0.57 Gunung Bunder 1.00 Habitat C. odorata di Parung Panjang merupakan perkebunan dengan tanaman utama A. mangium, sedangkan Setu merupakan lahan terbuka dengan dominasi M. malabathrichum. Dari tipe penggunaan lahan antara keduanya memiliki perbedaaan, tetapi memiliki komposisi kemiripan spesies serangga yang cukup tinggi. Diduga banyaknya kesamaan ini karena pengaruh faktor vegetasi pada kedua habitat C. odorata tersebut memiliki kesamaan sehingga mempengaruhi keberadaan serangga di sekitarnya. Selain itu, jarak yang dekat (6 km) dengan ketinggian yang sama (128 mdpl) juga merupakan faktor yang 39 mempengaruhi keberadaan spesies serangga yang ditemukan pada kedua lokasi tersebut. Kondisi habitat C. odorata di Gunung Bunder yang berbatasan langsung dengan lahan persawahan dan tanaman jagung serta berada pada ketinggian 650 mdpl, diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi spesies serangga dengan habitat C. odorata di Parung Panjang. Berdasarkan hasil analisis pengelompokan menunjukkan bahwa keanekaragaman serangga pada empat habitat C. odorata masih berada dalam satu kelompok (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa keempat habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder memiliki komposisi spesies serangga yang relatif masih sama. 0.48 Jarak ketidaksamaan 0.46 0.44 0.42 0.40 0.38 0.36 Setu Gn. Bunder Prg. Panjang Darmaga Gambar 11 Dendogram pengelompokan seluruh spesies serangga pada empat habitat C. odorata. Keadaan serupa juga terlihat pada hasil analisis pengelompokan serangga dari kelompok predator dan parasitoid pada keempat habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder yang memperlihatkan bahwa komposisi komunitas spesies serangga predator dan parasitoid relatif masih sama pada empat habitat C. odorata tersebut (Gambar 12). Namun berbeda dengan hasil analisis pengelompokan serangga dari kelompok herbivor, yang menunjukkan bahwa komunitas serangga herbivor pada habitat C. odorata di 40 Parung Panjang, Setu, dan Darmaga berada dalam satu kelompok, sedangkan kelompok lainnya adalah komunitas serangga herbivor pada habitat C. odorata di Gunung Bunder (Gambar 13). 0.43 0.42 Jarak ketidaksamaan 0.41 0.40 0.39 0.38 0.37 0.36 0.35 Setu Prg. Panjang Gn. Bunder Darmaga Gambar 12 Dendogram pengelompokan serangga predator dan parasitoid pada empat habitat C. odorata. 0.55 Jarak ketidaksamaan 0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 Gn. Bunder Prg. Panjang Setu Darmaga Gambar 13 Dendogram pengelompokan serangga herbivor pada empat habitat C. odorata. 41 Asosiasi Serangga Lokal dengan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata dan Agens Hayatinya C. connexa Fenomena ekologi introduksi spesies tumbuhan eksotik invasif dapat menyebabkan terjadinya asosiasi dalam struktur komunitas baru. Hasil pengamatan memperlihatkan ada spesies serangga yang berasosiasi dengan tumbuhan eksotik invasif C. odorata yaitu kutu aphid (Hemiptera: Aphididae). Kutu aphid membentuk koloni pada bagian batang dan pucuk C. odorata yang masih muda (Gambar 14). Klingauf (1987) melaporkan bahwa bagian pucuk tanaman yang aktif tumbuh dan berkembang biasanya dipilih oleh kutu aphid karena aktifitas pertumbuhan dan proses metabolismenya tinggi. Kutu aphid menghisap jaringan floem pada lamina daun sehingga jaringan lamina daun mati yang menyebabkan daun berkeriting. Keberadaan kutu aphid pada pucuk muda C. odorata menyebabkan kehadiran koloni semut (Hymenoptera: Formicidae). Asosiasi semut dengan kutu aphid karena adanya eksresi embun madu (honey) kutu aphid yang dimanfaatkan oleh koloni semut. Ditemukan dua spesies semut yang berasosiasi dengan kutu aphid yaitu Anoplolepis gracilipes dan Crematogaster sp.01 (Gambar 14). Gambar 14 Asosiasi serangga pada tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Keberadaan serangga herbivor eksotik juga akan berasosiasi dengan serangga lokal di habitat baru. Asosiasi serangga lokal terhadap lalat puru C. connexa yang terjadi diantaranya adalah musuh alami. Musuh alami ini terdiri atas predator dan parasitoid dari ordo Hymenoptera, Coleoptera, Hemiptera, dan 42 Mantodea. Semut merupakan kelompok predator dari ordo Hymenoptera yang banyak dijumpai pada bagian batang dan pucuk C. odorata. Terbentuknya koloni semut yang banyak dijumpai disekitar batang dan pucuk muda C. odorata selain berasosiasi dengan kutu aphid, semut juga memangsa kelompok telur yang diletakkan oleh imago betina C. connexa pada bagian pucuk terminal dan lateral. Selain itu semut mampu menembus puru yang berjendela dan memangsa larva atau pupa yang berada di dalamnya. McFadyen et al. (2003) melaporkan bahwa spesies semut Tetraponera sp. (Pseudomyrmecinae) mampu menembus puru yang telah berjendela dan memangsa larva dan pupa didalamnya. Kumbah kubah (Coleoptera: Coccinellidae) dijumpai pada pucuk-pucuk C. odorata (Gambar 15). Sebagian besar famili kumbang kubah bersifat predator yang memangsa hama pada fase telur sampai dewasa dan lainnya bertindak sebagai hama tanaman (Boror et al. 1981). Karena sifatnya sebagai predator, kumbang ini diduga selain memangsa kutu aphid juga memangsa telur dan larva C. connexa instar awal yang baru menetas. Belalang sembah (Mantodea: Mantidae) memangsa pupa C. connexa dalam puru yang berjendela. Perilaku makan serangga ini menyebabkan puru menjadi terkoyak (Gambar 15). Predator Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) memangsa larva instar akhir atau pupa yang berada di dalam puru. Perilaku memangsanya dengan cara menusukkan stilet ke dalam puru yang berjendela kemudian menghisap cairan larva dan pupa sehingga meninggalkan eksuvianya saja. Gambar 15 Serangga predator yang berasosiasi dengan lalat puru C. connexa. 43 Berdasarkan pengamatan secara visual kelompok parasitoid yang dijumpai berasosiasi langsung dengan lalat puru C. connexa berasal dari ordo Hymenoptera famili Braconidae, Eucoilidae, Eupelmidae, dan Ormyridae. Famili Braconidae dilaporkan bersifat ektoparasit pada larva Lepidoptera dan Coleoptera, pada ordo Diptera bersifat endoparasit, sedangkan famili Ormyridae merupakan parasit puru pada lalat famili Cecidomyiidae dan Tephritidae (Ordo Diptera) (Gooulet & Huber 1993). Famili Eucoilidae merupakan parasit pupa pada ordo Diptera (Boror et al. 1981), sedangkan famili Eupelmidae bersifat parasit pada Ordo Diptera (famili Cecidomyiidae) (Nauman 1991). KESIMPULAN Komunitas serangga yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari 24.213 individu serangga yang termasuk ke dalam 14 ordo, 132 famili, dan 568 spesies. Ordo Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera merupakan tiga ordo terbesar yang ditemukan dengan kelimpahan individu (species abundance) dan kekayaan spesies (species richness) paling tinggi. Kemiripan komposisi spesies serangga pada empat habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder masih relatif sama. Introduksi tumbuhan eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya C. connexa telah menyebabkan terjadinya asosiasi dengan serangga-serangga lokal. PEMBAHASAN UMUM Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan agens hayatinya C. connexa, serta mempelajari struktur komunitas serangga dan tumbuhan di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat. Diharapkan hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan agens hayatinya C. connexa, memberikan informasi struktur komunitas serangga dan tumbuhan di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata, serta memberikan gambaran fenomena ekologi introduksi spesies eksotik dapat menyebabkan terjadinya asosiasi antara spesies eksotik tersebut dengan serangga lokal dalam struktur komunitas baru, sehingga menjadi rekomendasi bagi pemerintah bahwa perlunya upaya perhatian dan penyaringan yang ketat terhadap spesies eksotik yang didatangkan dari luar. Hasil pengamatan pada semua lokasi penelitian di Jawa Barat khususnya daerah Bogor, C. odorata cenderung menempati lahan yang terbuka seperti di sisi jalan, tepian sawah yang kondisi tanahnya kering, ladang, dan perkebunan. Selain itu, C. odorata juga dapat tumbuh di bawah tegakan hutan yang terbuka tajuknya, bahkan masih bisa hidup pada daerah yang didominasi oleh batu-batuan. Pada lahan yang dibudidayakan seperti sawah, ladang, dan hutan tanaman industri, keberadaan C. odorata memiliki status sebagai gulma penting yang merugikan karena populasinya sangat padat sehingga mampu berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam memperoleh unsur hara yang dibutuhkan (Tjitrosemito 1998). Keberadaan C. odorata diikuti juga dengan keberadaan musuh alaminya yaitu serangga herbivor berupa lalat pembentuk puru C. connexa pada semua lokasi pengamatan, kecuali di Gunung Halimun dan Cianjur. Setelah dilepas di Parung Panjang-Jasinga, Bogor pada tahun 1995 dan di Parung Kuda-Sukabumi pada tahun 1996, lalat puru C. connexa mampu menyebar secara alami dan saat ini telah mapan keberadaannya. Lalat puru C. connexa mampu hidup pada berbagai ketinggian tempat yang berbeda, namun kelimpahan populasinya menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat. Distribusi lalat 45 puru C. connexa ternyata dibatasi oleh adanya barier seperti pegunungan. Hal ini dibuktikan dengan tidak dijumpainya lalat puru tersebut di daerah Gunung Halimun bagian selatan dan Cianjur. Keberadaan lalat puru C. connexa pada suatu lokasi pengamatan berasal dari titik pelepasan yang terdekat. Sebagai contoh, keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Ciawi, Cisarua, dan Gunung Salak berasal dari titik pelepasan di Parung Kuda-Sukabumi. Begitu juga keberadaan lalat puru C. connexa ini di daerah Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor. Namun tidak menutup kemungkinan keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Darmaga dan Gunung Bunder juga bisa berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Implikasi dari keberadaan spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya C. connexa terhadap struktur komunitas serangga dan tumbuhan lokal telah dipelajari secara spesifik. Keberadaan C. odorata dan agens hayatinya C. connexa berpengaruh terhadap keberadaan serangga dan tumbuhan lokal yang berada di sekitarnya. Kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata berhubungan erat dengan keseimbangan komunitas dalam ekosistem tersebut. Implikasi dari keberadaan C. odorata terhadap struktur komunitas tumbuhan lokal telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada disekitarnya. Implikasi dari keberadaan C. odorata terhadap serangga-serangga lokal yang berada disekitarnya tidak dipelajari secara spesifik, tetapi berdasarkan hasil observasi di lapangan memperlihatkan bahwa telah terjadi asosiasi serangga lokal terhadap spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Seperti asosiasi kutu aphid (Hemiptera: Aphididae) dengan C. odorata yang membentuk koloni pada bagian batang dan pucuk C. odorata yang masih muda sehingga menyebabkan gejala keriting pada pucuk muda C. odorata tersebut. 46 Keberadaan serangga herbivor eksotik berupa lalat puru C. connexa juga akan berasosiasi dengan serangga lokal atau bahkan dengan organisme lain di habitat baru. Asosiasi serangga lokal terhadap lalat puru C. connexa yang terjadi diantaranya adalah musuh alami. Musuh alami ini terdiri atas predator dan parasitoid dari ordo Hymenoptera, Coleoptera, Hemiptera, dan Mantodea. Musuh alami ini cenderung mempengaruhi populasi serangga herbivor lalat puru C. connexa, dan pada akhirnya akan berdampak terhadap populasi tumbuhan eksotik invasif C. odorata yang merupakan inang dari lalat puru tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian ini adalah : 1. Persebaran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Jawa Barat khususnya daerah Bogor sudah sangat luas. C. odorata dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat meliputi habitat perkebunan, hutan buatan, ladang dataran rendah, maupun ladang dataran tinggi dengan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. 2. Keberadaan C. odorata diikuti pula dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa pada semua lokasi pengamatan, kecuali di Gunung Halimun dan Cianjur. Ada dua titik pelepasan lalat puru C. connexa yaitu di Parung Panjang-Jasinga, Bogor dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Lalat puru C. connexa saat ini telah mapan keberadaannya dan menyebar secara alami serta memiliki kemampuan persebaran yang cukup jauh baik dari titik pelepasannya di Parung Panjang-Jasinga, Bogor maupun dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. 3. Lalat puru C. connexa mampu hidup pada berbagai ketinggian tempat yang berbeda, namun kelimpahan populasinya menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat. Distribusi lalat puru C. connexa dibatasi oleh adanya barier berupa pegunungan. Kelimpahan populasinya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya yaitu C. odorata. 4. Komunitas serangga yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari 24.213 individu serangga yang termasuk ke dalam 14 ordo, 132 famili, dan 568 spesies. Ordo Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera merupakan tiga ordo terbesar yang ditemukan dengan kelimpahan individu (species abundance) dan kekayaan spesies (species richness) paling tinggi. 5. Introduksi tumbuhan eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya C. connexa telah menyebabkan terjadinya asosiasi dengan serangga-serangga lokal. 48 6. Komunitas tumbuhan yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari 131.132 individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies. 7. Kelimpahan populasi C. odorata pada lokasi penelitian di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga mendominasi berdasarkan perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kecuali di Gunung Bunder. Implikasi dari keberadaan spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada tiga habitat tersebut telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada disekitarnya. Saran Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Diantara hal-hal yang dapat disarankan adalah : 1. Ditemukannya famili Tephritidae dan Cecidomyiidae yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut, mengingat bahwa spesies-spesies dari famili Tephritidae dan Cecidomyiidae sebagian besar anggotanya juga bisa menyebabkan terbentuknya puru pada tanaman. 2. Asosiasi antara lalat puru C. connexa dengan parasitoid dari ordo Hymenoptera famili Braconidae, Eucoilidae, Eupelmidae, dan Ormyridae dapat dipelajari lebih mendalam pada penelitian selanjutnya seperti uji biologi parasitoid tersebut serta identifikasi sampai pada tingkat spesies. DAFTAR PUSTAKA Altieri MA, Nicholl CI. 2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystem. Ed ke-2. New York: Food Product Press. [Anonim]. 1991. Chromolaena odorata (L.) R.M. King & H. Robinson. Weed Info Sheet 5:1-4. Binggeli P. 1997. Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae). http://members.lycos.co.uk/WoodyPlantEcology/docs/web-sp4.htm. [13 Oktober 2003]. Borror DJ, De Long DM, Triplehorn CA. 1981 An Introduction to the Study of Insect. New York: Saunders College Publishing. Chenon RD, Sipayung A, Sudharto P. 2002. A decade of Biological control against Chromolaena odorata at the Indonesian Oil Palm Research Institute in Marihat. Di dalam: Zachariades C, Muniapan R, Strathie LW, editor. Proceedings of the Fifth International Workshop on Biological Control and Management of Chromolaena odorata, Durban, South Africa, 23-25 October 2000. ARC-PPRI. Hlm 46-52. Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation. Philosophical Transactions: Biol Sci 345:101-118. Colwell RK. 2000. EstimateS: Statistical estimation of species richness and shared species from samples. Version 6.0d1. [Serial online]. http://www.viceroy.eeb.uconn.edu/estimates. [16 Desember2003]. Cox GW. 2002. Laboratory Manual of General Ecology. Ed ke-8. USA. The McGraw-Hill Companies. Erasmus DJ, Bennet PH, Van Standen J. 1992. The effect of galls induced by the gall fly Procecidochares utilis on vegetative growth and reproductive potential of crofton weed, Ageratina adenophora. Annal of Appl Biol 120: 173-181. Goulet H, Huber JT, Editor. 1993. Hymenoptera of the World: An Identification Guide to Families. Canada: Canada Communication Group. Kartosuwondo U. 2001. Peranan tumbuhan bukan budi daya dalam pengendalian hayati serangga hama. Hayati 8: 55-87. Kasno, Putri ASR, Widayanti S, Sunjaya. 2001. Establishment of Neochetina sp.: Their pattern of local dispersal and age structure at release site. Biotropia 13:18-29. 50 Klingauf FA. 1987. Feeding, adaptation and excretion. Didalam: Minus AK, Harrewijn P, editor. Aphid: Their Biology, Natural Enemies and Control. Amsterdam: Elsevier. Hlm 225-253. Kostermans AJGH, Wirdjahardja S, Dekker RJ. 1987. The weed: description, ecology and control. Di dalam: Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G, editor. Weed of rice in Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm 24-566. Krebs CJ. 1998. Ecological Methodology. New York. Harper Collins. Laumonier EKW, Megia R, Veenstra H. 1987. The Seedling. Di dalam: Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G, editor. Weed of Rice in Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm 567-686. Magguran AE. 1988. Chapman & Hall. Ecological Diversity and Its Measurement. London. McFadyen REC, Chenon RD, Sipayung A. 2003. Biology and host Specificity of the Chromolaena stem gall fly, Cecidochares connexa (Macquart) (Diptera: Tephritidae). Aust J of Entomol 42:294-297. Mooney HA, Cleland EE. 2001. The Evolutionary impact of invasive species. Proc Nat and Acad Sci 98(10):5446-5451. Nauman ID. 1991. The Insect of Australia: Textbook for Student and Research Workers 2th eds. Melbourne: Melbourne University Press. Olden JD, Poff NL, Douglas MR, Douglas ME, Faucsh KD. 2004. Ecological and evolutionary consequences of biotic homogenization. Trends in Ecol and Evol 19(1):18-24. Pearson DE, Callaway RM. 2003. Indirect effects of host-specific biological control agents. Trends in Ecol and Evol 18(9):456-461. Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1996. Insect-Plant Biology: From Physiology to Evolution. London. Chapman & Hall. Simberloff D. 1996. How risky of biological control?. Ecol 77(7):1965-1974. Sipayung A, Chenon RD. 1995. Procecidochares connexa untuk pengendalian gulma Chromolaena odorata [makalah]. Di dalam: Prosiding Seminar Pelepasan Procecidochares connexa; Medan, 17 Juli 1995. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. hlm 1-14. StatSoft 1995. Statistica for Windows Release 5.0. Tulsa: StatSoft. 51 Tjitrosemito S. 1997. Pengendalian Chromolaena odorata di lahan petani [makalah]. Di dalam: Seminar Nasional Pengendalian Chromolaena odorata; Kupang, 14-15 April 1997. Bogor: Biotrop. hlm 1-18. Tjitrosemito S. 1998. Integrated management of Chromolaena odorata: emphasizing the classical biological control. Biotropia 11:9-21. Tjitrosemito S. 1999. The establishment of Procecidochares connexa in West Java, Indonesia: a biological control agent of Chromolaena odorata. Biotropia 12:19-24. Tjitrosemito S. 1999b. Dinamika populasi Procecidochares connexa (Diptera: Tephritidae) di Jawa Barat dan Jawa Timur [makalah]. Di dalam: Seminar Nasional Pengendalian Hayati; Yogyakarta, 12-13 Juli 1999. Bogor: Biotrop. hlm 1-7. Tjitrosemito S. 2000. Procecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae): A biological control agent of siam weed (Chromolaena odorata (L.) R. King & Robinson) [makalah]. Di dalam: International Warkshop on Biological Control and Management of Chromolaena odorata; Durban, South Africa, 23-25 Oktober 2000. Bogor: Biotrop. hlm 1-16. Untung S. 2005. Pencegahan dan pengendalian spesies asing di Indonesia. http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id/detailarticle.php?mesid=38&kata_kunci= spesies%20asing,%20alien%20Invasive%20species. [4 Maret 2006]. Waterhouse DF. 1994. Biological Control of Weeds: Southeast Asian Prospects. Canberra: Australia. Wittenberg R, Cock MJW. 2003. Invasive Alien Spesies: A Toolkit of Best Prevention and Management Practices. CAB International. Widayanti S, Tjitrosemito S, Kasno. 1999. Biologi dan neraca kehidupan lalat Argentina Procecidochares connexa (Diptera: Tephritidae) agens pengendali hayati kirinyuh (Chromolaena odorata) [makalah]. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Hayati; Yogyakarta, 12-13 Juli 1999. hlm 1-10 Widayanti S, Tjitrosemito S, Muhammad A. 2001. Pengendalian hayati Chromolaena odorata dengan menggunakan lalat puru Procecidochares connexa di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat [makalah]. Di dalam: Konferensi Nasional HIGI XV; Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 17-19 Juli 2001. Bogor; Biotrop. hlm 1-7. LAMPIRAN 53 Lampiran 1 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Parung Panjang No. Spesies KM KR (%) FM FR (%) INP (%) 1 Chromolaena odorata (L.) King & Robinson 6.97 28.71 1.00 18.29 47.00 2 Boreria leavis (Lamk.) Griseb 6.77 27.88 1.00 18.29 46.18 3 Corchorus aestuans L. 3.43 14.15 0.73 13.41 27.56 4 Tetracera scandens (L.) Merr 3.08 12.71 0.73 13.41 26.12 5 Ageratum conyzoides L. 1.73 7.14 0.53 9.76 16.90 6 Breynia racemosa (Blume) Mull. Arg 1.15 4.74 0.53 9.76 14.50 7 Melastoma affine D. Don. 0.53 2.20 0.47 8.54 10.73 8 Lantana camara L. 0.28 1.17 0.20 3.66 4.83 9 Imperata cylindrica (L.) Beauv. 0.20 0.82 0.07 1.22 2.04 10 Hydrocotyle sibthorpioides Lam. 0.07 0.27 0.07 1.22 1.49 11 Mimosa pudica L. 0.03 0.14 0.07 1.22 1.36 12 Phyllanthus urinaria L. 0.02 0.07 0.07 1.22 1.29 Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Setu No. Spesies KM KR (%) FM FR (%) INP (%) 1 Chromolaena odorata (L.) King & Robinson 5.12 14.81 1.00 13.39 28.20 2 Imperata cylindrica (L.) Beauv. 4.73 13.70 0.87 11.61 25.31 3 Urena lobata L. 4.95 14.33 0.80 10.71 25.04 4 Melastoma affine D. Don 3.60 10.42 0.93 12.50 22.92 5 Mimosa pudica L. 4.98 14.42 0.60 8.04 22.46 6 Breynia racemosa (Blume) Mull. Arg 2.58 7.48 0.87 11.61 19.08 7 Boreria leavis (Lamk.) Griseb 4.48 12.98 0.33 4.46 17.44 8 Boreria alata (Aubl.) DC. 2.15 6.22 0.33 4.46 10.69 9 Scleria ciliaris Nees 0.75 2.17 0.40 5.36 7.53 10 Clidemia hirta (L.) Don 0.55 1.59 0.33 4.46 6.06 11 Lantana camara L. 0.25 0.72 0.27 3.57 4.30 12 Phyllanthus urinaria L. 0.10 0.29 0.20 2.68 2.97 13 Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl 0.08 0.24 0.13 1.79 2.03 14 Solanum involucratum Blume 0.03 0.10 0.13 1.79 1.88 15 Tetracera scandens (L.) Merr 0.03 0.10 0.13 1.79 1.88 16 Mimosa invisa Mart. ex Colla 0.10 0.29 0.07 0.89 1.18 17 Ageratum conyzoides L. 0.05 0.14 0.07 0.89 1.04 54 Lampiran 3 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Darmaga No. Spesies KM KR (%) FM FR (%) INP (%) 1 Chromolaena odorata (L.) King & Robinson 4.65 31.85 0.93 17.72 49.57 2 Mimosa pudica L. 1.30 8.90 0.47 8.86 17.76 3 Boreria leavis (Lamk.) Griseb 1.45 9.93 0.33 6.33 16.26 4 Pennisetum polystachyon (L.) Schult. 0.68 4.68 0.60 11.39 16.07 5 Panicum maximum Jacq. 1.40 9.59 0.33 6.33 15.92 6 Mimosa pigra L. 1.05 7.19 0.27 5.06 12.26 7 Imperata cylindrica (L.) Beauv. 0.93 6.39 0.27 5.06 11.46 8 Solanum involucratum Blume 0.28 1.94 0.47 8.86 10.80 9 Lantana camara L. 0.78 5.37 0.27 5.06 10.43 10 Melastoma affine D. Don 0.40 2.74 0.33 6.33 9.07 11 Amaranthus spinosus L. 0.45 3.08 0.27 5.06 8.15 12 Boreria alata (Aubl.) DC. 0.33 2.28 0.27 5.06 7.35 13 Nephrolepis bisserata (Sw.)Schott 0.35 2.40 0.13 2.53 4.93 14 Phyllanthus urinaria L. 0.12 0.80 0.13 2.53 3.33 15 Cyclosorus aridus (Don) Ching 0.18 1.26 0.07 1.27 2.52 16 Bergia capendis L. 0.15 1.03 0.07 1.27 2.29 17 Ageratum conyzoides L. 0.08 0.57 0.07 1.27 1.84 Lampiran 4 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat C. odorata di Gunung Bunder No. Spesies KM KR (%) FM FR (%) INP (%) 1 Boreria alata (Aubl.) DC. 25.92 53.97 0.87 19.40 73.38 2 Ageratum conyzoides L. 13.15 27.39 0.93 20.90 48.28 3 Chromolaena odorata (L.) King & Robinson 3.30 6.87 0.73 16.42 23.29 4 Melastoma affine D. Don. 1.75 3.64 0.60 13.43 17.08 5 Pityrogramma tartara Link 2.10 4.37 0.47 10.45 14.82 6 Clidemia hirta (L.) Don 1.33 2.78 0.47 10.45 13.22 7 Phyllanthus urinaria L. 0.35 0.73 0.27 5.97 6.70 8 Mimosa pigra L. 0.08 0.17 0.07 1.49 1.67 9 Mimosa pudica L. 0.03 0.07 0.07 1.49 1.56 55 Lampiran 5 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Parung Panjang No. Spesies KM KR (%) FM FR (%) INP (%) 1 Cyrtococcum oxyphyllum (Hochst. ex Steud.) Stapf 217.20 90.18 1 41.67 131.85 2 Axonopus compressus (Sw.) Beauv. 23.40 9.72 0.93 38.89 48.60 3 Lygodium microphyllum (Cav.) R. Brown 0.25 0.10 0.47 19.44 19.55 Lampiran 6 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Setu No. Spesies KM KR (%) FM FR (%) INP (%) 1 Cyrtococcum oxyphyllum (Hochst. ex Steud.) Stapf 365.32 64.52 0.93 25.45 89.97 2 Axonopus compressus (Sw.) Beauv. 76.27 13.47 0.87 23.64 37.11 3 Operculina turpethum (L.) S.Manso 7.53 1.33 1 27.27 28.60 4 Chrysopogon aciculatus (Retz.) Trin 116.25 20.53 0.27 7.27 27.80 5 Ipomoea triloba L. 0.33 0.06 0.27 7.27 7.33 6 Mikania micrantha H.B.K 0.15 0.03 0.13 3.64 3.66 7 Lygodium microphyllum (Cav.) R. Brown 0.05 0.01 0.13 3.64 3.65 8 Centrosema pubescen Benth. 0.35 0.06 0.07 1.82 1.88 Lampiran 7 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Darmaga No. Spesies KM KR (%) FM FR (%) INP (%) 1 Panicum repens L. 322.38 81.45 0.87 16.88 98.34 2 Ipomoea triloba L. 5.58 1.41 1 19.48 20.89 3 Axonopus compressus (Sw.) Beauv. 39.73 10.04 0.47 9.09 19.13 4 Mikania micrantha H.B.K 5.03 1.27 0.73 14.29 15.56 5 Widelia trilobata 17.20 4.35 0.53 10.39 14.74 6 Centrosema pubescen Benth. 2.63 0.67 0.60 11.69 12.35 7 Eleusine indica (L.) Gaertn. 2 0.51 0.40 7.79 8.30 8 Commelina diffusa Burm.f 0.87 0.22 0.33 6.49 6.71 9 Setaria palmifolia (Koenig) Stapf 0.35 0.09 0.20 3.90 3.98 56 Lampiran 8 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada habitat C. odorata di Gunung Bunder No. Spesies KM KR (%) FM FR (%) INP (%) 1 Axonopus compressus (Sw.) Beauv. 490.90 57.00 0.87 15.85 72.85 2 Ischaemum timorense Kunth. 323.12 37.52 0.73 13.41 50.93 3 Rostellularia sundana Bremek 21.62 2.51 0.87 15.85 18.36 4 Cyperus kyllingia Endl. 10.97 1.27 0.93 17.07 18.35 5 Eragrostis unioloides (Retz.) Nees ex Steud. 5.67 0.66 0.60 10.98 11.63 6 Mikania micrantha H.B.K 2.62 0.30 0.40 7.32 7.62 7 Commelina diffusa Burm.f 1 0.12 0.40 7.32 7.43 8 Setaria palmifolia (Koenig) Stapf 4.47 0.52 0.27 4.88 5.40 9 Widelia trilobata 0.62 0.07 0.13 2.44 2.51 10 Lygodium microphyllum (Cav.) R. Brown 0.13 0.02 0.13 2.44 2.45 11 Eleusine indica (L.) Gaertn. 0.12 0.01 0.13 2.44 2.45 Lampiran 9 Jumlah spesies (S), Individu (N) dan peranan serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata No. 1. 2. 3. Ordo Hemiptera Aleyrodidae Anthocoridae Aphididae Cercopidae Cicadellidae Coreidae Cydnidae Delphacidae Flatidae Membracidae Miridae Nabidae Pentatomidae Psyllidae Reduviidae Tingidae Odonata Coenagrionidae Lebellulidae Blattodea Blaberidae Blattidae Parung Panjang S N Setu S N Darmaga S N Gunung Bunder S N Peranan 1 0 3 1 6 0 0 3 1 0 2 1 1 2 5 2 1 0 8 9 147 0 0 15 6 0 9 2 1 4 17 5 1 0 5 1 6 1 0 2 2 1 1 1 0 1 3 2 11 0 93 1 337 6 0 2 4 9 1 3 0 5 15 4 0 0 4 1 7 0 1 4 2 2 1 1 5 3 3 1 0 0 69 3 277 0 1 79 5 5 6 2 74 56 3 2 0 1 4 1 9 0 1 6 1 1 1 0 1 0 0 0 0 30 36 1 173 0 4 58 1 1 3 0 1 0 0 0 Herbivor Predator Herbivor Herbivor Herbivor Herbivor Herbivor Herbivor Herbivor Herbivor Herbivor Herbivor Predator Herbivor Predator Herbivor 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 Predator Predator 0 0 0 0 1 2 1 6 0 2 0 3 0 1 0 2 Saprofag Saprofag 57 Lanjutan lampiran 9 No. Ordo 4. Hymenoptera Ampulicidae Anthophoridae Aphilinidae Apidae Bethylidae Braconidae Bradynobaenidae Ceraphronidae Chalcididae Chrysididae Colletidae Diapriidae Elasmidae Encrytidae Eucoilidae Eulopidae Eupelmidae Eurytomidae Evanidae Fidellidae Figitidae Formicidae Heloridae Parung Panjang S N 5 1 1 1 3 10 0 3 4 0 0 6 0 14 2 3 1 0 1 1 0 25 1 14 4 1 1 8 25 0 5 14 0 0 23 0 24 3 6 1 0 1 1 0 3954 1 Setu S N 5 1 1 1 1 12 0 4 4 0 1 3 0 16 2 10 2 0 3 0 1 26 1 18 12 4 2 2 23 0 26 8 0 5 23 0 59 4 26 2 0 27 0 1 6631 1 Darmaga S N 5 1 0 0 1 9 1 5 3 1 0 6 1 10 3 9 3 1 1 2 0 29 0 14 2 0 0 3 21 2 18 17 2 0 50 1 39 18 16 3 1 7 2 0 2762 0 Gunung Bunder S N 2 1 0 0 0 11 0 7 1 0 0 5 0 12 3 6 0 1 1 1 1 28 0 2 5 0 0 0 37 0 22 2 0 0 21 0 170 8 9 0 1 2 7 1 2104 0 Peranan Predator Polinator Parasitoid Polinator Parasitoid Parasitoid Polinator Parasitoid Parasitoid Polinator Polinator Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Polinator Parasitoid Predator Parasitoid 58 Lanjutan lampiran 9 No. Ordo 4. Hymenoptera Ichneumonidae Megachilidae Megasphilidae Mutillidae Mymaridae Mymarommatidae Ormyridae Platygasteridae Pompilidae Proctotrupidae Pteromalidae Rhopalosomatidae Scelionidae Scoliidae Sierolomorphidae Signiporidae Sphecidae Tiphiidae Torymidae Vespidae Diptera Anthomyiidae Asteiidae 5. Parung Panjang S N Setu S N Darmaga S N Gunung Bunder S N Peranan 9 1 1 2 3 1 1 3 0 0 2 1 23 0 0 0 2 1 1 4 89 2 1 10 14 4 9 5 0 0 2 16 143 0 0 0 4 9 1 7 7 1 0 2 3 2 1 6 2 1 1 1 24 1 1 0 2 1 0 1 31 1 0 4 14 2 11 34 2 1 2 1 175 1 1 0 3 8 0 1 15 0 0 1 8 2 1 7 2 1 5 0 29 1 1 1 2 2 2 5 32 0 0 2 14 11 2 45 8 1 8 0 157 2 4 2 4 4 2 42 6 0 0 2 5 2 0 6 1 1 2 0 23 0 2 0 1 2 1 3 20 0 0 49 11 11 0 32 1 3 3 0 255 0 8 0 1 312 1 20 Parasitoid Polinator Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Parasitoid Polinator Parasitoid Parasitoid Polinator Parasitoid Polinator Parasitoid Parasitoid Polinator Parasitoid Parasitoid Polinator 0 1 0 1 0 0 0 0 0 2 0 2 1 0 34 0 Saprofag Saprofag 59 Lanjutan lampiran 9 No. 5. Ordo Diptera Calliphoridae Carnidae Cecidomyiidae Ceratopogonidae Chamaemyiidae Chloropidae Culicidae Curtonotidae Diastatidae Diopsidae Dolicophodidae Drosophilidae Ephydridae Lauxanidae Micropezidae Muscidae Mycetophilidae Otitidae Phoridae Pipunculidae Sarcophagidae Scathophagidae Scatopsidae Parung Panjang S N 3 0 2 4 1 0 1 1 0 0 6 2 1 0 2 2 0 0 4 1 1 0 1 28 0 4 14 7 0 3 1 0 0 214 44 13 0 2 5 0 0 123 17 22 0 11 Setu S N 3 0 2 5 1 2 2 0 0 0 7 2 2 0 1 2 1 1 4 2 1 0 1 34 0 46 62 1 14 10 0 0 0 273 7 23 0 1 2 1 2 260 5 39 0 5 Darmaga S N 0 1 1 6 2 5 2 1 1 1 6 1 5 1 0 1 1 0 8 1 3 0 1 0 3 5 66 8 17 10 13 2 1 193 62 7 4 0 3 1 0 155 20 48 0 9 Gunung Bunder S N 0 0 2 8 3 4 5 0 1 0 8 3 3 0 0 3 1 0 5 1 2 1 1 0 0 25 219 4 10 16 0 14 0 95 44 22 0 0 5 1 0 229 10 20 6 3 Peranan Serangga lain Serangga lain Herbivor Serangga lain Predator Saprofag Serangga lain Saprofag Saprofag Saprofag Predator Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag Saprofag 60 Lanjutan lampiran 9 No. 5. 6. 7. Ordo Diptera Sciaridae Sphaeroceridae Stratiomyidae Syrphidae Tabanidae Tachinidae Tephritidae Tethinidae Therevidae Tipulidae Lepidoptera Adelidae Arctiidae Hesperiidae Noctuidae Nymphalidae Pieridae Pyralidae Coleoptera Carabidae Chrysomelidae Coleoptera Elateridae Parung Panjang S N Setu S N Darmaga S N 1 0 2 2 2 3 2 0 0 0 54 0 4 2 2 20 5 0 0 0 3 3 2 3 1 1 1 2 1 0 3 0 2 2 2 4 1 0 0 0 40 0 2 18 38 15 5 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 3 0 14 1 0 1 1 2 0 1 1 0 5 2 4 0 11 0 0 2 2 2 1 1 3 1 15 0 4 1 61 0 0 2 28 0 0 3 91 0 1 2 22 1 18 44 12 4 3 1 2 7 1 0 Gunung Bunder S N Peranan 4 1 0 4 1 3 2 3 0 1 13 7 0 5 1 4 3 3 0 2 Saprofag Saprofag Polinator Polinator Polinator Polinator Herbivor Saprofag Saprofag Polinator 0 0 4 2 4 2 1 0 1 1 1 2 0 1 0 1 10 1 3 0 6 Polinator Polinator Polinator Polinator Polinator Polinator Polinator 1 2 133 2 1 1 15 0 1 1 41 0 Predator Serangga lain Predator 61 Lanjutan lampiran 9 No. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Ordo Coleoptera Ithyceridae Limnichidae Meloidae Scarabaeidae Staphylinidae Tenebrionidae Isoptera Termitidae Neuroptera Ascalaphidae Coniopterygidae Hemerobiidae Mantodea Mantidae Dermaptera Anisolabididae Forficulidae Spongiphoridae Psocoptera Amphipsocidae Archipsocidae Psyllipsocidae Parung Panjang S N Setu S N Darmaga S N Gunung Bunder S N Peranan 0 0 0 4 2 0 0 0 0 6 3 0 1 1 0 1 3 0 1 1 0 4 7 0 0 1 1 3 2 1 0 1 1 43 35 5 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 3 0 Serangga lain Serangga lain Serangga lain Saprofag Predator Saprofag 2 28 1 19 2 19 1 1 Saprofag 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 Predator Predator Predator 1 1 1 4 1 1 0 0 Predator 1 0 1 3 0 1 2 0 0 4 0 0 2 0 0 25 0 0 0 1 0 0 2 0 Predator Herbivor Predator 1 0 1 1 0 23 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 Herbivor Herbivor Saprofag 62 Lanjutan lampiran 9 No. Parung Panjang S N Ordo Orthoptera Acrididae Gryllidae Pyrgomorphidae Tetrigidae 14. Thysanoptera Phlaeothripidae Thripidae Setu S N Darmaga S N Gunung Bunder S N Peranan 13. Keterangan: Total ordo Total famili Total spesies (S) Total individu (N) = = = = 1 6 2 1 10 131 10 3 2 6 2 2 25 138 27 16 1 6 2 1 4 160 12 48 1 7 1 2 5 90 4 11 Herbivor Saprofag Herbivor Herbivor 4 1 10 1 5 3 61 5 3 3 77 10 2 1 51 4 Herbivor Herbivor 14 132 568 24.213 63