Makalah Yoyoh

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era yang
ditandai dengan gencarnya inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya
penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja.
Pendidikan harus mencerminkan proses memanusiakan manusia dalam arti
mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan yang
dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat luas. Hari Sudrajat
(2003) mengemukakan bahwa : “Muara dari suatu proses pendidikan, apakah itu
pendidikan yang bersifat akademik ataupun pendidikan kejuruan adalah dunia
kerja, baik sektor formal maupun sektor non formal”.
Tingkat keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di segala bidang
akan sangat bergantung pada sumber daya manusia sebagai aset bangsa dalam
mengoptimalkan dan memaksimalkan perkembangan seluruh sumber daya
manusia yang dimiliki. Upaya tersebut dapat dilakukan dan ditempuh melalui
pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non
formal. Salah satu lembaga pada jalur pendidikan formal yang menyiapkan
lulusannya untuk memiliki keunggulan di dunia kerja, diantaranya melalui jalur
pendidikan kejuruan.
Pendidikan kejuruan yang dikembangkan di Indonesia diantaranya adalah
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dirancang untuk menyiapkan peserta didik
atau lulusan yang siap memasuki dunia kerja dan mampu mengembangkan sikap
profesional di bidang kejuruan. Lulusan pendidikan kejuruan, diharapkan menjadi
individu yang produktif yang mampu bekerja menjadi tenaga kerja menengah dan
memiliki kesiapan untuk menghadapi persaingan kerja. Kehadiran SMK sekarang
ini semakin didambakan masyarakat; khususnya masyarakat yang berkecimpung
langsung dalam dunia kerja. Dengan catatan, bahwa lulusan pendidikan kejuruan
memang mempunyai kualifikasi sebagai (calon) tenaga kerja yang memiliki
keterampilan vokasional tertentu sesuai dengan bidang keahliannya.
2
Gambaran tentang kualitas lulusan pendidikan kejuruan yang disarikan
dari Finch dan Crunkilton (1979), bahwa : “Kualitas pendidikan kejuruan
menerapkan ukuran ganda, yaitu kualitas menurut ukuran sekolah atau in-school
success standards dan kualitas menurut ukuran masyarakat atau out-of school
success standards”. Kriteria pertama meliputi aspek keberhasilan peserta didik
dalam memenuhi tuntutan kurikuler yang telah diorientasikan pada tuntutan dunia
kerja, sedangkan kriteria kedua, meliputi keberhasilan peserta didik yang
tertampilkan pada kemampuan unjuk kerja sesuai dengan standar kompetensi
nasional ataupun internasional setelah mereka berada di lapangan kerja yang
sebenarnya.
Upaya untuk mencapai kualitas lulusan pendidikan kejuruan yang sesuai
dengan tuntutan dunia kerja tersebut, perlu didasari dengan kurikulum yang
dirancang dan dikembangkan dengan prinsip kesesuaian dengan kebutuhan
stakeholders. Kurikulum pendidikan kejuruan secara spesifik memiliki karakter
yang mengarah kepada pembentukan kecakapan lulusan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas pekerjaan tertentu. Kecakapan tersebut telah diakomodasi
dalam kurikulum SMK yang meliputi kelompok Normatif, Adaptif dan kelompok
Produktif.
Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang dimulai dari
berpikir mengenai ide kurikulum sampai bagaimana pelaksanaannya di sekolah.
Hasan
(1988)
mengungkapkan
bahwa,
aspek-aspek
dalam
prosedur
pengembangan kurikulum merupakan aspek-aspek kegiatan kurikulum yang
terdiri atas empat dimensi yang saling berhubungan satu terhadap yang lain,
yaitu : (1) Kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, (2) Kurikulum sebagai
suatu rencana tertulis, (3) Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) dan (4)
Kurikulum sebagai suatu hasil belajar.
Kurikulum yang diimplementasikan di SMK saat ini, khusus untuk
kelompok produktif masih menggunakan kurikulum tahun 2004, sedangkan untuk
kelompok normatif dan adaptif sudah menggunakan model pengelolaan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006. Pada tataran implementasi
kurikulum ini mauntut kreativitas guru di dalam memberikan pengalaman belajar
3
yang dapat meningkatkan kompetensi peserta didik, karena betapapun baiknya
kurikulum yang telah direncanakan pada akhirnya berhasil atau tidaknya sangat
tergantung pada sentuhan aktivitas dan kreativitas guru sebagai ujung tombak
implementasi suatu kurikulum.
Pendidikan dan pelatihan di SMK; khusnya pada program produktif yang
sesuai dengan bidang keahlian, secara ideal dituntut untuk menerapkan
pendekatan pembelajaran yang mampu memberikan pengalaman belajar kepada
peserta didik di dalam penguasaan kompetensi atau kemampuan kerja sesuai
dengan tuntutan dunia usaha dan industri. Pendekatan pembelajaran tersebut
terdiri dari : Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Based Training),
Pelatihan Berbasis Produksi (Production Based Training) dan Pelatihan Berbasis
Industri. Dengan menerapkan pendekatan pembelajaran ini diharapkan mampu
memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik di dalam penguasaan
seluruh kompetensi yang harus dikuasai sesuai Standar Kompetensi Nasional,
sehingga mereka mampu mengikuti uji level pada setiap akhir semester untuk
Kelas X dan XI serta uji kompetensi untuk kelas XII yang dilaksanakan oleh
pihak industri sebagai inatitusi pasangan.
4
BAB II
KARAKTERISTIK DAN TUNTUTAN PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN KEJURUAN
A. Karakteristik Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan satuan
pendidikan lainnya. Perbedaan tersebut dapat dikaji dari tujuan pendidikan,
substansi pelajaran, tuntutan pendidikan dan lulusannya.
1. Tujuan pendidikan kejuruan
Pendidikan
kejuruan
bertujuan
untuk
meningkatkan
kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program
kejuruannya. Dari tujuan pendidikan kejuruan tersebut mengandung makna bahwa
pendidikan kejuruan di samping menyiapkan tenaga kerja yang profesional juga
mempersiapkan peserta didik untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi sesuai dengan program kejuruan atau bidang keahlian.
Berdasarkan pada tujuan pendidikan kejuruan di atas, maka untuk
memahami
filosofi
pendidikan
kejuruan
perlu
dikaji
dari
landasan
penyelenggaraan pendidikan kejuruan sebagai berikut :
a. Asumsi tentang anak didik
Pendidikan kejuruan harus memandang anak didik sebagai individu yang
selalu dalam proses untuk mengembangkan pribadi dan segenap potensi yang
dimilikinya. Pengembangan ini menyangkut proses yang terjadi pada diri anak
didik, seperti proses menjadi lebih dewasa, menjadi lebih pandai, menjadi lebih
matang, yang menyangkut proses perubahan akibat pengaruh eksternal, antara lain
berubahnya karir atau pekerjaan akibat perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
Pendidikan kejuruan merupakan upaya menyediakan stimulus berupa
pengalaman belajar untuk membantu mereka dalam mengembangkan diri dan
potensinya. Oleh karena itu, keunikan tiap individu dalam berinteraksi dengan
dunia luar melalui pengalaman belajar merupakan upaya terintegrasi guna
menunjang proses perkembangan diri anak didik secara optimal. Kondisi ini
5
tertampilkan dalam prinsip pendidikan kejuruan “learning by doing”, dengan
kurikulum yang berorientasi pada dunia kerja.
b. Konteks sosial pendidikan kejuruan
Tujuan dan isi pendidikan kejuruan senantiasa dibentuk oleh kebutuhan
masyarakat yang berubah begitu pesat, sekaligus juga harus berperan aktif dalam
ikut serta menentukan tingkat dan arah perubahan masyarakat dalam bidang
kejuruannya tersebut.
Pendidikan kejuruan berkembang sesuai dengan perkembangan tuntutan
masyarakat, melalui dua institusi sosial. Pertama, institusi sosial yang berupa
struktur pekerjaan dengan organisasi, pembagian peran atau tugas, dan perilaku
yang berkaitan dengan pemilihan, perolehan dan pemantapan karir. Institusi sosial
yang kedua, berupa pendidikan dengan fungsi gandanya sebagai media pelestarian
budaya sekaligus sebagai media terjadinya perubahan sosial.
c. Dimensi ekonomi pendidikan kejuruan
Hubungan dimensi ekonomi dengan pendidikan kejuruan secara
konseptual dapat dijelaskan dari kerangka investasi dan nilai balikan (value of
return) dari hasil pendidikan kejuruan. Dalam penyelenggaraan pendidikan
kejuruan, baik swasta maupun pemerintah semestinya pendidikan kejuruan
memiliki konsekuensi investasi lebih besar daripada pendidikan umum. Di
samping itu, hasil pendidikan kejuruan seharusnya memiliki peluang tingkat
balikan (rate of return) lebih cepat dibandingkan dengan pendidikan umum.
Kondisi tersebut dimungkinkan karena tujuan dan isi pendidikan kejuruan
dirancang sejalan dengan perkembangan masyarakat, baik menyangkut tugastugas pekerjaan maupun pengembangan karir peserta didik.
Pendidikan kejuruan merupakan upaya mewujudkan peserta didik menjadi
manusia produktif, untuk mengisi kebutuhan terhadap peran-peran yang berkaitan
dengan peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat. Dalam kerangka ini, dapat
dikatakan bahwa lulusan pendidikan kejuruan seharusnya memiliki nilai ekonomi
lebih cepat dibandingkan pendidikan umum.
6
d. Konteks Ketenagakerjaan Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan harus lebih memfokuskan usahanya pada komponen
pendidikan dan pelatihan yang mampu mengembangkan potensi manusia secara
optimal. Meskipun pada dasarnya hubungan antara pendidikan kejuruan dan
kebijakan ketenagakerjaan adalah hubungan yang didasari oleh kepentingan
ekonomis, tetapi harus selalu diingat bahwa hubungan penyelenggraan pendidikan
kejuruan tidak semata-mata ditentukan oleh kepentingan ekonomi.
Dalam konteks ini diartikan bahwa pendidikan kejuruan, dengan dalih
kepentingan ekonomi, tidak seharusnya hanya mendidik anak didik dengan
seperangkat skill atau kemampuan spesifik untuk pekerjaan tertentu saja, karena
keadaan
ini
tidak
memperhatikan
anak
didik
sebagai
suatu
totalitas.
Mengembangkan kemampuan spesifik secara terpisah dari totalitas pribadi anak
didik, berarti memberikan bekal yang sangat terbatas bagi masa depannya sebagai
tenaga kerja.
2. Peserta didik
Peserta didik pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) lebih dikhususkan
bagi anak yang berkeinginan memiliki kemampuan vokatif. Harapan mereka
setelah lulus dapat langsung bekerja atau melanjutkan ke perguruan tinggi dengan
mengambil bidang profesional atau bidang akademik. Usia peserta didik secara
umum pada rentang 15/16 – 18/19 tahun, atau peserta didik berada pada masa
remaja.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dengan dewasa.
Pada masa ini biasanya terjadi gejolak atau kemelut yang berkenaan dengan segi
afektif, sosial, intelektual dan moral. Kondisi ini terjadi karena adanya perubahanperubahan baik fisik maupun psikis yang sangat cepat yang mengganggu
kestabilan kepribadian anak. Oleh karena itu, di dalam merancang pembelajaran
bagi anak yang berusia remaja ini seyogianya memperhatikan tugas-tugas
perkembangan
yang
harus
diselesaikan
para
remaja.
Beberapa
perkembangan remaja yang disarikan dari Sukmadinata (2001), yaitu :
tugas
7
a. Mampu menjalin hubungan yang lebih matang dengan sebaya dan jenis kelamin
lain. Belajar bekerja dengan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu, bisa
melepaskan perasaan pribadi dan mampu memimpin tanpa mendominasi.
b. Mampu melakukan peran-peran sosial sebagai laki-laki dan wanita. Mampu
menghargai, menerima dan melakukan peran-peran sosial sebagai laki-laki
dan wanita dewasa.
c. Menerima kondisi jasmaninya dan dapat menggunakannya secara efektif.
Remaja dituntut untuk menyenangi dan menerima dengan wajar kondisi
badannya, dapat menghargai atau menghormati kondisi badan orang lain,
dapat memelihara dan menjaga kondisi badannya.
d. Memiliki keberdirisendirian emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya. Remaja diharapkan telah lepas dari ketergantungan sebagai kanakkanak dari orang tuanya, dapat menyayangi orang tua, menghargai orang tua
atau orang dewasa lainnya tanpa tergantung pada mereka.
e. Memiliki perasaan mampu berdiri sendiri dalam bidang ekonomi. Terutama
pada anak laki-laki, kemudian berangsur-angsur pula tumbuh pada anak
wanita, perasaan mampu untuk mencari nafkah sendiri.
f. Mampu memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan. Anak telah
mampu membuat perencanaan karir, memilih pekerjaan yang cocok dan
mampu ia kerjakan, membuat persiapan-persiapan yang sesuai.
g. Belajar mempersiapkan diri untuk perkawinan dan hidup berkeluarga. Memiliki
sikap yang positif terhadap hidup berkeluarga dan punya anak.
h. Mengembangkan konsep-konsep dan keterampilan intelektual untuk hidup
bermasyarakat.
Mengembangkan
konsep-konsep
tentang
hukum,
pemerintahan, ekonomi, politik, institusi sosial yang cocok bagi kehidupan
modern, mengembangkan keterampilan berpikir dan berbahasa untuk dapat
memecahkan problema-problema masyarakat modern.
i. Memiliki perilaku sosial seperti yang diharapkan masyarakat. Dapat
berpartisipasi dengan rasa tanggung jawab bagi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat.
8
j. Memiliki seperangkat nilai yang menjadi pedoman bagi perbuatannya. Telah
memiliki seperangkat nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan, ada
kemauan dan usaha untuk merealisasikannya.
3. Substansi pendidikan kejuruan
Substansi dari pendidikan kejuruan harus menampilkan karakteristik
pendidikan kejuruan yang tercermin dalam aspek-aspek yang erat dengan
perencanaan kurikulum, yaitu :
a. Orientasi (Orientation)
Kurikulum pendidikan kejuruan telah berorientasi pada proses dan hasil
atau lulusan. Keberhasilan utama kurikulum pendidikan kejuruan tidak hanya
diukur dengan keberhasilan pendidikan peserta didik di sekolah saja, tetapi juga
dengan hasil prestasi kerja dalam dunia kerja. Finch dan Crunkilton (1984 : 12)
mengemukakan bahwa : Kurikulum pendidikan kejuruan berorientasi terhadap
proses (pengalaman dan aktivitas dalam lingkungan sekolah) dan hasil (pengaruh
pengalaman dan aktivitas tersebut pada peserta didik).
b. Dasar kebenaran/Justifikasi (Justification)
Pengembangan program pendidikan kejuruan perlu adanya alasan atau
justifikasi yang jelas. Justifikasi untuk program pendidikan kejuruan adalah
adanya kebutuhan nyata tenaga kerja di lapangan kerja atau di dunia usaha dan
industri. Dasar kebenaran/justifikasi pendidikan kejuruan menurut Finch dan
Crunkilton (1984 : 12), meluas hingga lingkungan sekolah dan masyarakat. Ketika
kurikulum berorientasi pada peserta didik, maka dukungan bagi kurikulum
tersebut berasal dari peluang kerja yang tersedia bagi para lulusan.
c. Fokus (Focus)
Fokus kurikulum dalam pendidikan kejuruan tidak terlepas pada
pengembangan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu, tetapi harus secara
simultan mempersiapkan peserta didik yang produktif. Finch dan Crunkilton
(1984 : 13) mengemukakan bahwa : Kurikulum pendidikan kejuruan berhubungan
langsung dengan membantu siswa untuk mengembangkan suatu tingkat
9
pengetahuan, keahlian, sikap dan nilai yang luas. Setiap aspek tersebut akhirnya
bertambah dalam beberapa kemampuan kerja lulusan. Lingkungan belajar
pendidikan kejuruan mengupayakan di dalam mengembangkan pengetahuan
peserta didik, keahlian meniru, sikap dan nilai serta penggabungan aspek-aspek
tersebut dan aplikasinya bagi lingkkungan kerja yang sebenarnya.
Seluruh kemampuan tersebut di atas, dapat dikuasai oleh peserta didik
melalui pengalaman belajar yang diberikan, yaitu berupa rangsangan yang
diaplikasikan baik pada situasi kerja yang tersimulasi lewat proses belajar
mengajar di sekolah maupun situasi kerja yang sebenarnya pada dunia usaha atau
industri (pembelajaran di dunia kerja). Dari hasil belajar atau kemampuan yang
telah dikuasai diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan diri
peserta didik, sehingga mereka mampu bekerja sesuai dengan tuntutan dunia
usaha dan industri.
d. Standar keberhasilan di sekolah (In-school success standards)
Kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu lembaga pendidikan
kejuruan diukur dari keberhasilan peserta didik di sekolah, mengenai beberapa
aspek yang akan dia masuki. Penilaian keberhasilan pada peserta didik di sekolah
harus pada penilaian sebenarnya atau kemampuan melakukan suatu pekerjaan.
Dengan kata lain bahwa dalam standar keberhasilan sekolah harus berhubungan
erat dengan keberhasilan yang diharapkan dalam pekerjaan, dengan kriteria yang
digunakan oleh guru dengan mengacu pada standar atau prosedur kerja yang telah
ditentukan oleh dunia kerja (dunia usaha dan dunia industri).
e. Standar keberhasilan di luar sekolah (Out-of school success standards)
Penentu keberhasilan tidak terbatas pada apa yang terjadi di lingkungan
sekolah. Standar keberhasilan di luar sekolah berkaitan dengan pekerjaan atau
kemampuan kerja yang biasanya dilakukan oleh dunia usaha atau dunia industri.
Menurut Starr (1975), bahwa : Walaupun standar keberhasilan beragam antar
sekolah dan antar Negara, tetapi keberhasilan tersebut seringkali mengambil
bentuk kepuasan pegawai dengan keahlian lulusan, suatu persentase tinggi lulusan
10
yang mendapatkan pekerjaan di bidang persiapan atau dalam bidang yang
berhubungan, kepuasan kerja lulusan, kemajuan yang dialami lulusan.
Sebagai contoh, untuk menentukan keberhasilan di luar sekolah yang
sudah dilakukan pada SMK adalah dengan dilaksanakannya uji level untuk kelas
X dan XI, serta uji kompetensi untuk kelas XII yang dilakukan oleh dunia usaha
atau industri berdasarkan standar kompetensi nasional sesuai bidang keahlian.
Standar kelulusan di luar sekolah (out-of school success standards)
dilakukan oleh dunia usaha dan industri yang mengacu pada standar kompetensi
sesuai bidang keahlian atau produk yang dihasilkan oleh masing-masing industri.
f. Hubungan kerja sama dengan masyarakat (School-community relationships)
Suatu usaha pendidikan harus berhubungan dengan masyarakat, demikian
pula dengan pendidikan kejuruan memiliki tanggung jawab di dalam
mempertahankan hubungan yang kuat dengan berbagai bidang keahlian yang
berkembang di masyarakat.
Pengertian msyarakat yang dimakasud adalah dunia usaha dan dunia
industri. Penyelenggaraan pendidikan kejuruan harus relevan dengan tuntutan
kerja pada dunia usaha atau industri, maka masalah hubungan antara lembaga
pendidikan dengan dunia usaha atau industri merupakan suatu ciri karakteristik
yang penting bagi pendidikan kejuruan.
Perwujudan hubungan timbal balik berupa kesediaan dunia usaha atau
industri, menampung peserta didik untuk mendapat kesempatan pengalaman
belajar di lapangan kerja atau industri, merpakan bentuk kerjasama yang saling
menguntungkan.
g. Keterlibatan pemerintah pusat (Federal involvement)
Keterlibatan pemerintah pusat ini berkaitan dengan dana pendidikan yang
akan dialokasikan, karena hal ini akan mempengaruhi kurikulum. Misalnya :
Ketentuan jam pengajaran kejuruan tertentu dan jenis perlengkapan tertentu yang
digunakan di bengkel atau laboratorium dapat membantu perkembangan suatu
tingkat kualitas yang lebih tinggi.
11
h. Kepekaan (Responsivenenss)
Komitmen yang tinggi untuk selalu berorientasi ke dunia kerja, pendidikan
kejuruan harus mempunyai ciri berupa kepekaan atau daya suai terhadap
perkembangan masyarakat pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya.
Perkembangan ilmu dan teknologi, inovasi dan penemuan-penemuan baru di
bidang produksi dan jasa, besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan
kejuruan. Untuk itulah pendidikan kejuruan harus bersifat responsif proaktif
terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, dengan upaya lebih menekankan
kepada sifat adaptabilitas dan fleksibilitas untuk menghadapi prospek karir peserta
didik dalam jangka panjang.
i. Logistik
Kurikulum
pendidikan
kejuruan
dalam
implementasi
kegiatan
pembelajaran perlu didukung oleh fasilitas beajar yang memadai, karena untuk
mewujudkan situasi belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara
realistis dan edukatif, diperlukan banyak perlengkapan, sarana dan perbekalan
logistik. Bengkel kerja dan laboratorium adalah kelengkapan utama dalam sekolah
kejuruan yang harus ada sebagai fasilitas bagi peserta didik di dalam
mengembangkan kemampuan kerja sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan
industri.
Kebutuhan untuk koordinasi program kejuruan yang bekerja sama dengan
industri di masyarakat, berhubungan erat untuk menjalin dan mempertahankan
pusat kerja bagi peserta didik menunjukkan suatu susunan unit permasalahan
logistik.
j. Pengeluaran (Expense)
Pengeluaran rutin sebagai biaya pendidikan pada pendidikan kejuruan
yang menunjang kegiatan pembelajaran, mencakup biaya listrik, air, pemeliharaan
dan penggantian peralatan, biaya transportasi ke lokasi/industri (tempat praktek
kerja/magang) yang jauh dari sekolah. Di samping itu, peralatan harus
diperbaharui secara periodik juga guru berharap untuk memberikan pengalaman
belajar yang sebenarnya bagi peserta didik sebagaimana layaknya di industri,
12
maka ini bisa menjadi mahal. Yang terakhir yang juga harus menjadi perhatian
adalah pembelian bahan habis sebagai bahan praktikum yang digunakan secara
rutin sesuai dengan program keahlian yang dikembangkan pada SMK masingmasing.
Dari uraian mengenai karakteristik pendidikan kejuruan yang disarikan
dari Finch dan Crunkilton (1984) di atas, dapat dijadikan acuan di dalam
pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan di Indonesia. Kurikulum
pendidikan kejuruan yang dikembangkan di Indoneisa seyogianya mengacu pada
karakteristik sebagai berikut :
1) Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki
lapangan kerja
2) Pendidikan kejuruan didasarkan atas kebutuhan dunia kerja
3) Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
4) Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan peserta didik harus pada
“hands-on” atau performance dalam dunia kerja
5) Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci keberhasilan
pendidikan kejuruan
6) Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsif dan antisipatif terhadap
kemajuan teknologi
7) Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning by doing”
8) Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktek sesuai
dengan tuntutan dunia usaha dan industri
B. Tuntutan Perkembangan Pendidikan Kejuruan
Perkembangan teknologi menuntut adanya perkembangan pula pada
pendidikan kejuruan, karena saat ini tatanan kehidupan pada umumnya dan
tatanan perekonomian pada khususnya sedang mengalami pergeseran paradigma
ke arah global. Pergeseran ini akan membuka peluang kerja sama antar Negara
semakin terbuka dan di sisi lain, persaingan antar Negara semakin ketat. Untuk
meningkatkan kemampuan persaingan dalam perdagangan bebas, diperlukan
13
serangkaian kekuatan daya saing yang tangguh, antara lain kemampuan
manajemen, teknologi dan sumber daya manusia. Sumber daya manusia
merupakan sumber daya aktif yang dapat menentukan kelangsungan hidup dan
kemenangan dalam persaingan suatu bangsa.
Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan
sumber daya manusia yang tangguh untuk menghadapi persaingan bebas.
Termasuk pendidikan kejuruan yang menyiapkan peserta didik atau sumber daya
manusia yang memiliki kemampuan kerja sebagai tenaga kerja menengah sesuai
dengan tuntutan dunia usaha dan dunia industri. Oleh karena itu sesuai dengan
tuntutan perkembangan pendidikan kejuruan, maka perlu adanya pembaharuan
pendidikan dan pelatihan kejuruan di SMK untuk masa depan.
1. Tuntutan peserta didik
Pendidikan kejuruan memiliki peran untuk menyiapkan peserta didik agar
siap bekerja, baik bekerja secara mandiri (wiraswasta) maupun mengisi lowongan
pekerjaan yang ada. SMK sebagai salah satu institusi yang menyiapkan tenaga
kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan sebagaimana yang diharapkan dunia
kerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaannya, memiliki daya adaptasi dan daya
saing yang tinggi. Atas dasar itu, pengembangan kurikulum dalam rangka
penyempurnaan pendidikan menengah kejuruan harus disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan dunia kerja.
Tuntutan peserta didik dan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia
kerja perlu dijadikan sumber pijakan di dalam merumuskan tujuan pendidikan
kejuruan. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai bentuk satuan pendidikan
kejuruan sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 15 UU SISDIKNAS,
merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama
untuk bekerja dalam bidang tertentu, yang dirumuskan dalam tujuan umum dan
tujuan khusus sebagai berikut.
Tujuan Umum :
a. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan Yang
Maha Esa
14
b. Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi warga Negara yang
berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan
bertanggung jawab.
c. Mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki wawasan kebangsaan,
memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia
d. Mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kepedulian terhadap
lingkungan hidup, dengan secara aktif turut memelihara dan melestarikan
lingkungan hidup, serta memanfaatkan sumber daya alam dengan efektif dan
efisien.
Tujuan Khusus :
a. Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, maupun bekerja
mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan industri
sebagai tenaga tingkat kerja menengah, sesuai dengan kompetensi dalam
program keahlian yang dipilihnya.
b. Menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam
berkompetisi, beradaptasi di lingkungan kerja, dan mengembangkan sikap
profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya.
c. Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, agar
mampu mengembangkan diri di kemudian hari baik secara mandiri maupun
melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi
d. Membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi sesuai dengan
program keahlian yang dipilih.
(Disarikan dari Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana, 2004).
2. Tuntutan menjawab kebutuhan masyarakat
Ditinjau dari perspektif perkembangan kebutuhan pembelajaran dan
aksesibilitas duia usaha/industri, sekurang-kurangnya tiga dimensi pokok yang
menjadi tantangan bagi SMK, baik dalam konteks regional maupun nasional,
diantaranya :
15
a. Implementasi program pendidikan dan pelatihan harus berfokus pada
pendayagunaan potensi sumber daya lokal, sambil mengoptimalkan kerjasama
secara intensif dengan institusi pasangan
b. Pelaksanaan kurikulum harus berdasarkan pendekatan yang lebih fleksibel
sesuai dengan trend perkembangan dan kemajuan teknologi agar kompetensi
yang diperoleh peserta didik selama dan sesudah mengikuti program diklat,
memiliki daya adaptasi yang tinggi
c. Program pendidikan dan pelatihan sepenuhnya harus berorientasi mastery
learning (belajar tuntas) dengan melibatkan peran aktif – partisipatif para
stakeholders pendidikan, termasuk optimalisasi peran Pemerintah Daerah
untuk merumuskan pemetaan kompetensi ketenagakerjaan di daerahnya
sebagai input bagi SMK dalam penyelenggaraan diklat berkelanjutan.
Untuk mencari solusi dari tantangan tersebut di atas, SMK sebagai salah
satu lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan kejuruan harus mampu
memberikan layanan pendidikan terbaik kepada peserta didik walaupun kondisi
fasilitasnya sangat beragam. Seperti diketahui, bahwa investasi dan pembiayaan
operasional terbesar yang dilakukan oleh pemerintah dalam pendidikan kejuruan
adalah pada sistem SMK. Dengan fenomena ini, apakah SMK masih diperlukan ?
Pembukaan dan penutupan suatu SMK pada dasarnya sangat tergantung
pada tuntutan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia di wilayah atau
daerah setempat. Pembukaan institusi SMK baru sangat dimungkinkan jika
terdapat tuntutan kebutuhan sumber daya manusia yang terkait dengan peran dan
fungsi SMK. Sebagaimana yang dikemukakan Djojonegoro (1998), bahwa :
“Secara teoritik pendidikan kejuruan sangat dipentingkan karena lebih dari 80 %
tenaga kerja di lapangan kerja adalah tenaga kerja tingkat menengah ke bawah
dan sisanya kurang dari 20 % bekerja pada lapisan atas. Oleh karena itu,
pengembangan pendidikan kejuruan jelas merupakan hal penting”.
Penutupan suatu institusi SMK hanya dimungkinkan jika secara hukum
tidak dapat dipertahankan atau karena adanya tuntutan masyarakat yang sama
sekali tidak dapat dipertahankan atau dihindari. Namun pada dasarnya, tidak ada
16
alasan untuk menutup SMK selama institusi tersebut masih dapat menjalankan
peran dan fungsi serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Upaya untuk mempertahan SMK yang dapat menjawab tuntutan
kebutuhan masyarakat, dalam hal ini SMK harus mampu menjalankan peran dan
fungsinya dengan baik. Dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut, maka
pendidikan dan pelatihan di SMK perlu memperhatikan prinsip-prinsip
pendidikan kejuruan yang dikemukakan Prosser (Djojonegoro, 1998); sebagai
berikut :
a. Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih
merupakan replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja.
b. Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas
latihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang
ditetapkan di tempat kerja.
c. Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia melatih seseorang dalam kebiasaan
berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendri
d. Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat memampukan setiap individu
memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada tingkat yang
paling tinggi
e. Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau pekerjaan
hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang
menginginkannya dan yang dapat untung darinya
f. Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman latihan untuk membentuk
kebiasaan kerja dan kebiasaan berfkir yang benar diulangkan sehingga pas
seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya
g. Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman
yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan
proses kerja yang akan dilakukan
h. Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh
seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut
i. Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar (memperhatikan
tanda-tanda pasar kerja)
17
j. Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika
pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata
k. Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu
okupasi tersebut
l. Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi (body of content) yang berbeda-beda satu
dengan yang lainnya
m. Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai
dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang paling
efektif jika dilakukan lewat pengajaran kejuruan
n. Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan
hubungan pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta
didik tersebut
o. Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia luwes dan mengalir
daripada kaku dan terstandar
p. Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka
pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.
3. Tuntutan pengelolaan pendidikan kejuruan
Tuntutan pengelolaan pada pendidikan kejuruan harus sesuai dengan
kebijakan link and match, yaitu perubahan dari pola lama yang cenderung
berbentuk pendidikan demi pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan
konkrit menjadi pendidikan kejuruan sebagai program pengembangan sumber
daya manusia. Dimensi pembaharuan yang diturunkan dari kebijakan link and
match, yaitu :
a. Perubahan dari pendekatan Supply Driven ke Demand Driven
Dengan deman driven ini mengharapkan dunia usaha dan dunia industri
atau dunia kerja lebih berperan di dalam menentukan, mendorong dan
menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang lebih
berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Dalam pelaksanaannya, dunia
kerja ikut berperan serta karena proses pendidikan itu sendiri lebih dominan dalam
menentukan kualitas tamatannya, serta dalam evaluasi hasil pendidikan itupun
18
dunia kerja ikut menentukan supaya hasil pendidikan kejuruan itu terjamin dan
terukur dengan ukuran dunia kerja.
Sebagai salah satu bentuk penerapan prinsip demand driven, maka dalam
pengembangan kurikulum SMK harus melakukan sinkronisasi kurikulum yng
direalisasikan dalam program Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Dengan
melakukan sinkronisasi kurikulum, penyelengaraan pembelajaran di SMK
diupayakan sedekat mungkin dengan kebutuhan dan kondisi dunia kerja/industri,
serta memiliki relevansi dan fleksibilitas tinggi dengan tuntutan lapangan. Melalui
sinkronisasi kurikulum ini, diharapkan sekolah dapat membaca keahlian dan
performansi apa yang dibutuhkan dunia usaha atau industri untuk dapat dimasuki
oleh lulusan SMK.
b. Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah (School Based Program) ke
sistem berbasis ganda (Dual Based Program)
Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah, ke pendidikan berbasis ganda
sesuai dengan kebijakan link and match, mengharapkan supaya program
pendidikan kejuruan itu dilaksanakan di dua tempat. Sebagian program
pendidikan dilaksanakan di sekolah, yaitu teori dan praktek dasar kejuruan, dan
sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keterampilan produktif yang
diperoleh melalui prinsip learning by doing. Pendidikan yang dilakukan melalui
proses bekerja di dunia kerja akan memberikan pengetahuan keterampilan dan
nilai-nilai dunia kerja yang tidak mungkin atau sulit didapat di sekolah, antara lain
pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, wawasan
nilai tambah, dan pembentukan etos kerja.
c. Perubahan dari model pengajaran yang mengajarkan mata-mata pelajaran ke
model pengajaran berbasis kompetensi
Perubahan ke model pengajaran ke berbasis kompetensi, bermaksud
menuntun proses pengajaran secara langsung berorientasi pada kompetensi atau
satuan-satuan kemampuan. Pengajaran berbasis kompetensi ini sekaligus
memerlukan perubahan kemasan kurikulum kejuruan ke dalam kemasan
berbentuk paket-paket kompetensi.
19
d. Perubahan dari program dasar yang sempit (Narrow Based) ke program dasar
yang mendasar, kuat dan luas (Broad Based)
Kebijakan link and match menuntut adanya pembaharuan, mengarah
kepada pembentukan dasar yang mendasar, kuat dan lebih luas. Sistem baru yang
berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan mutu dan keunggulan menganut
prinsip, bahwa : tidak mungkin membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas
dan yang memiliki keunggulan, kalau tidak diawali dengan pembentukan dasar
yang kuat. Dalam rangka penguatan dasar ini, maka peserta didik perlu diberi
bekal dasar yang berfungsi untuk membentuk keunggulan, sekaligus beradaptasi
terhadap perkembangan IPTEK, dengan memperkuat penguasaan matematika,
IPA, Bahasa Inggris dan Komputer. Sistem baru ini harus memberi dasar yang
lebih luas tetapi kuat dan mendasar, yang memungkinkan seseorang tamatan SMK
memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap kemungkinan perubahan
pekerjaan.
e. Perubahan dari sistem pendidikan formal yang kaku, ke sistem yang luwes dan
menganut prinsip multy entry, multy exit
Dengan adanya perubahan dari supply driven ke demand driven, dari
schools based program ke dual based program, dari model pengajaran mata
pelajaran ke program berbasis kompetensi; diperlukan adanya keluwesan yang
memungkinkan pelaksanaan praktek kerja industri dan pelaksanaan prinsip multy
entry multy exit. Prinsip ini memungkinkan peserta didik SMK yang telah
memiliki sejumlah satuan kemampuan tertentu (karena program pengajarannya
berbasis kompetensi), mendapatkan kesempatan kerja di dunia kerja, maka peserta
didik tersebut dimungkinkan meninggalkan sekolah. Dan kalau peserta didik
tersebut ingin masuk sekolah kembali menyelesaikan program SMK nya, maka
sekolah harus membuka diri menerimanya, dan bahkan menghargai dan mengakui
keahlian yang diperoleh peserta didik yang bersangkutan dari pengalaman
kerjanya. Di samping itu, sistem program berbasis ganda juga memerlukan
pengaturan praktek kerja di industri sesuai dengan aturan kerja yang berlaku di
industri yang tidak sama dengan aturan kalender belajar di sekolah.
20
f. Perubahan dari sistem yang tidak mengakui keahlian yang telah diperoleh
sebelumnya, ke sistem yang mengakui keahlian yang diperoleh dari mana dan
dengan cara apapun kompetensi itu diperoleh (Recognition of prior learning)
Sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan pengakuan
dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki oleh seseorang. Sistem ini
akan memotivasi banyak orang yang sudah memiliki kompetensi tertentu,
misalnya dari pengalaman kerja, berusaha mendapatkan pengakuan sebagai bekal
untuk pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Untuk ini SMK perlu menyiapkan
diri sehingga memiliki instrument dan kemampuan menguji kompetensi seseorang
darimana dan dengan cara apapun kompetensi itu didapatkan.
g. Perubahan dari pemisahan antara pendidikan dengan pelatihan kejuruan, ke
sistem baru yang mengintegrasikan pendidikan dan pelatihan kejuruan secara
terpadu
Program baru pendidikan yang mengemas pendidikannya dalam bentuk
paket-paket kompetensi kejuruan, akan memudahkan pengakuan dan penghargaan
terhadap program pelatihan kejuruan dan program pendidikan kejuruan. Sistem
baru ini memerlukan standarisasi kompetensi, dan kompetensi yang terstandar itu
bisa dicapai melalui program pendidikan, program pelatihan atau bahkan dengan
pengalaman kerja yang ditunjang dengan inisiatif belajar sendiri.
h. Perubahan dari sistem terminal ke sistem berkelanjutan
Sistem baru tetap mengharapkan dan mengutamakan tamatan SMK
langsung bekerja, agar segera menjadi tenaga produktif, dapat memberi return
atas investasi SMK. Sistem baru juga mengakui banyak tamatan SMK yang
potensial, dan potensi keahlian kejuruannya akan lebih berkembang lagi setelah
bekerja. Terhadap mereka ini diberi peluang untuk melanjutkan pendidikannya ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi (misalnya program Diploma), melalui suatu
proses artikulasi yang mengakui dan menghargai kompetensi yang diperoleh dari
SMK dan dari pengalaman kerja sebelumnya.
Untuk mendapatkan sistem artikulasi yang efisien diperlukan “program
antara” (bridging program) guna memantapkan kemampuan dasar tamatan SMK
21
yang sudah berpengalaman kerja, supaya siap melanjutkan ke program pendidikan
yang lebih tinggi.
i. Perubahan dari manajemen terpusat ke pola manajemen mandiri (prinsip
desentralisasi)
Pola baru manajemen mandiri dimaksudkan memberi peluang kepada
propinsi dan bahkan sekolah untuk menentukan kebijakan operasional, asal tetap
mengacu kepada kebijakan nasional. Kebijakan nasioanl dibatasi pada hal-hal
yang bersifat strategis, supaya memberi peluang bagi para pelaksana di lapangan
berimprovisasi dan melakukan inovasi. Proses pendewasaan SMK perlu
ditekankan, untuk menumbuhkan rasa percaya diri sekolah melakukan apa yang
baik menurut sekolah, dengan prinsip akuntabilitas (accountability) yang secara
taat azas memberikan penghargaan kepada mereka yang pantas dihargai, dan
menindak mereka yang pantas ditindak.
j. Perubahan dari ketergantungan sepenuhnya dari pembiayaan pemerintah
pusat, ke swadana dengan subsidi pemerintah pusat
Sejalan dengan prinsip demand driven, dual based program, pendewasaan
manajemen sekolah, dan pengembangan unit produksi sekolah, sistem baru
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan swadana pada SMK, dan posisi lokasi
dana dari pemerintah pusat bersifat membantu atau subsidi. Sistem ini juga
diharapkan mampu mendorong SMK berpikir dan berperilaku ekonomis.
22
BAB III
MODEL KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN :
SMK PROGRAM KEAHLIAN TATA BUSANA
A. Dasar Pemikiran
1. Konsep dasar pendidikan kejuruan
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan
pendidikan umum. Perbedaan tersebut dapat dikaji dari kriteria pendidikan,
substansi pelajaran dan lulusannya. Pendidikan kejuruan seyogianya memiliki
kriteria sebagai berikut :
a. Orientasi pada kinerja individu dunia kerja
b. Jastifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan
c. Fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotor, afektif dan kognitif
d. Tolok ukur keberhasilan tidak hanya terbatas di sekolah
e. Kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja
f. Memerlukan saana dan prasarana yang memadai
g. Adanya dukungan masyarakat
(Disarikan dari Finch dan Crunkilton, 1984).
Substansi pelajaran pada pendidikan kejuruan menurut Nolker dan
Shoenfel (Sonhadji, 2006) harus selalu mengikuti perkembangan IPTEK,
kebutuhan masyarakat, kebutuhan individu, dan lapangan kerja. Lulusan dari
pendidikan kejuruan, minimal harus memiliki kecakapan atau kemampuan kerja
yang sesuai dengan tuntutan dunia usaha atau industri yang dirumuskan dalam
standar kompetensi nasional bidang keahlian.
2. Tinjauan filosofis
Landasan filosofis yang mendasari pendidikan kejuruan, harus mampu
menjawab dua pertanyaan : 1) Apa yang harus diajarkan ? dan 2) Bagaimana
harus mengajarkan ? (Calhoun dan Finch, 1982). Chalhoun dan Finch
menegaskan bahwa sumber prinsip-prinsip fundamental pendidikan kejuruan
adalah individu dan perannya dalam suatu masyarakat demokratik, serta peran
pendidikan dalam transmisi standar sosial.
23
Secara filosofis, penyusunan kurikulum SMK perlu mempertimbangkan
perkembangan psikologis peserta didik dan perkembangan atau kondisi sosial
budaya masyarakat.
a. Perkembangan psikologis peserta didik
Manusia, secara umum mengalami perkembangan psikologis sesuai
dengan pertambahan usia dan berbagai faktor lainnya; yaitu latar belakang
pendidikan, ekonomi keluarga, dan lingkungan pergaulan, yang mengkibatkan
perbedaan dalam dimensi fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Pada kurun
usia peserta didik di SMK, mereka memiliki kecenderungan untuk mencari
identitas atau jati diri.
Fondasi kejiwaan yang kuat diperlukan peserta didik agar berani
menghadapi, mampu beradaptasi dan mengatasi berbagai masalah kehidupan, baik
kehidupan profesional maupun kehidupan keseharian, yang selalu berubah bentuk
dan jenisnya serta meningkatkan diri dengan mengikuti pendidikan yang lebih
tinggi.
b. Kondisi sosial budaya
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat dan pemerintah. Pendidikan yang diterima dari lingkungan keluarga
(informal), diserap dari masyarakat (nonformal), maupun yang diperoleh dari
sekolah (formal) akan menyatu dalam diri peserta didik, menjadi satu kesatuan
yang utuh, saling mengisi dan diharapkan dapat saling memperkaya secara positif.
Peserta didik SMK berasal dari anggota berbagai lingkungan msyarakat
yang memiliki budaya, tata nilai, dan kondisi sosial yang berbeda. Pendidikan
kejuruan mempertimbangkan kondisi sosial, maka segala upaya yang dilakukan
harus selalu berpegang teguh pada keharmonisan hubungan antar sesama individu
dalam masyarakat luas yang dilandasi dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur,
serta keharmonisan antar sistem pendidikan dengan sosial budaya.
24
B. Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana
1. Tujuan program keahlian Tata Busana
Tujuan program keahlian Tata Busana secara umum mengacu pada isi
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) pasal 3 mengenai tujuan
pendidikan nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa
pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan
peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Secara spesifik tujuan
program keahlian Tata Busana adalah membekali peserta didik dengan
keterampilan, pengetahuan, dan sikap agar kompeten dalam :
a. Mengukur, membuat pola, menjahit dan menyelesaikan busana
b. Memilih bahan tekstil dan bahan pembantu secara tepat
c. Menggambar macam-macam busana sesuai kesempatan
d. Menghias busana sesuai desain
e. Mengelola usaha di bidang busana
(Disarikan dari Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana, 2004).
2. Isi Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana
Di dalam penyusunan kurikulum atau substansi pembelajaran SMK
program kehalian Tata Busana; mata pelajaran dibagi ke dalam tiga kelompok,
yaitu : kelompok normatif, adaptif dan produktif.
Kelompok normatif adalah mata pelajaran yang berfungsi membentuk
peesrta didik menjadi pribadi yang utuh, pribadi yang memiliki norma-norma
kehidupan sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial (anggota
masyarakat), sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai warga nagara
dunia. Dalam kelompok normatif, mata pelajaran dialokasikan secara tetap
meliputi :
1) Pendidikan Agama
2) Pendidikan Kewarganegaraan
3) Bahasa Indonesia
4) Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
5) Seni Budaya.
25
Kelompok adaptif adalah mata pelajaran yang berfungsi membentuk
peserta didik sebagai individu agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan
kuat untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di
lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta mampu mengembangkan diri sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Kelompok adaptif
terdiri atas mata pelajaran :
1) Bahasa Inggris
2) Matematika
3) IPA
4) IPS
5) Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi
6) Kewirausahaan.
Kelompok produktif adalah kelompok mata diklat yang berfungsi
membekali peserta didik agar memiliki kompetensi kerja sesuai Standar
Kompetensi Nasional (SKN). Kelompok produktif program keahlian Tata Busana
terdiri dari kompetensi :
1) Memberikan pelayanan prima
2) Melakukan pekerjaan dalam lingkungan sosial
3) Mengikuti prosedur K3
4) Mengukut tubuh
5) Menggambar busana
6) Memilih/membeli bahan baku busana
7) Membuat pola busana teknik konstruksi
8) Melakukan pengepresan
9) Menjahit dengan mesin
10) Menyelesaikan busana dengan jahitan tangan
11) Membuat hiasan busana
12) Melakukan penyelesaian akhir busana
13) Memelihara alat jahit
14) Memotong bahan
15) Membuat pola busana konstruksi di atas kain
26
16) Membuat pola busana teknik kombinasi
17) Membuat pola dasar teknik drapping
Dari kompetensi di atas, sebagai mata diklat pada kelompok produktif
(Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana, 2004), kemudian dirinci
menjadi sub-sub kompetensi sebagai berikut :
Level
Kualifikasi
Kompetensi
Sub Kompetensi
Operator jahit Memberikan layanan secara  Melakukan komunikasi di tempat kerja
(penjahit)
prima kepada pelanggan  Memberikan bantuan untuk pelanggan
(Customer care)
internal dan eksternal
 Menjaga standar prestasi personal
 Melakukan pekerjaan secara rutin
Melakukan
pekerjaan  Melakukan
komunikasi
dengan
dalam lingkungan sosial pelanggan dan kolega dari latar belakang
yang beragam (Customer yang berbeda
care)
 Menangani kesalah fahaman antar
budaya
Mengikuti
prosedur  Mengikuti prosedur tempat kerja dan
kesehatan, keselamatan dan memberikan umpan balik tentang
keamanan dalam bekerja
kesehatan, keselamatan dan keamanan
 Menangani situasi darurat
 Menjaga standar presentasi perorangan
yang aman
Mengukur tubuh pelanggan  Menganalisis desain
sesuai
dengan
desain  Menganalisis bentuk tubuh
(Pattern Making)
 Mengukur
Menggambar
busana  Menyiapkan tempat kerja (meja, alat dan
(Fashion drawing)
lain-lain
 Menggambar busana
 Menyelesaikan gambar busana
Memilih/membeli
bahan  Merencanakan persiapan dan waktu
baku busana sesuai desain pemilihan/pembelian bahan baku
(material)
 Mengidentifikasi jenis bahan utama
(fashion fabric)
 Mengidentifikasi jenis bahan pelapis
 Menentukan bahan pelengkap
 Menyusun rencana belanja
 Menyediakan
bahan
utama
dan
pelengkap
Membuat pola busana  Menggambar pola dasar
sesuai
dengan
teknik  Mengubah pola dasar sesuai desain
konstruksi
(Pattern  Memeriksa pola
Making)
 Menggunting pola
 Melakukan uji coba pola
 Menyimpan pola
27
Level
Kualifikasi
Kompetensi
Sub Kompetensi
pengepresan  Menyiapkan tempat dan alat press
 Mengerjakan pengepresan
 Menyerahkan pekerjaan pengepresan
 Menerapkan praktik keselamatan dan
kesehatan kerja
Menjahit dengan mesin  Menyiapkan tempat kerja dan alat
(Sewing)
 Menyiapkan mesin jahit
 Mengoperasikan mesin jahit
 Menjahit bagian-bagian busana
Menyelesaikan
busana  Menyiapkan tempat kerja dan alat
dengan jahitan tangan  Membuat desain hiasan busana
(Embroidery)
 Memindahkan desain hiasan pada
busana/kain
 Mengemas busana/kain yang sudah
dihias
 Menyimpan
Melakukan
penyelesaian  Menyeterika busana
akhir busana (Finishing)
 Mengemas busana
 Menyimpan
Memelihara
alat
jahit  Menyiapkan alat dan tempat kerja
(Maintenance & Repair)
 Memelihara dan memperbaiki alat jahit
dan alat Bantu jahit
Operator
Memotong bahan (cutting)  Menyiapkan tempat kerja (meja, alat dan
Potong
lain-lain)
(Tukang
 Menyiapkan bahan
potong)
 Meletakkan pola di atas bahan
 Memotong
 Memindahkan tanda-tanda pola pada
bahan
 Mengemas
Operator Pola Membuat pola busana  Melakukan persiapan pembuatan pola di
(Pembuat
dengan teknik konstruksi di atas kain/bahan
pola)
atas kain (Pattern Making)  Membuat pola di atas kain/bahan
 Memeriksa pola
Membuat pola busana  Melakukan persiapan tempat dan alat
dengan teknik kombinasi  Membuat pola dengan teknik kombinasi
(Pattern Making)
 Memeriksa pola
 Menggunting pola
 Melakukan uji coba pola
 Menyimpan pola
Membuat pola dasar busana  Melakukan persiapan drapping
dengan teknik drapping
 Memulir/drapping bahan sesuai ukuran
 Menyelesaikan pola dasar drapping
sesuai ukuran
 Menyimpan pola
Operator jahit Melakukan
(penjahit)
(pressing)
28
3. Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran ini berkaitan dengan cara atau sistem penyampaian
isi kurikulum dalam upaya pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Keberhasilan aktivitas belajar peserta didik banyak dipengaruhi oleh strategi
mengajar yang digunakan oleh guru.
Pendekatan pembelajaran yang diterapkan di SMK adalah pembelajaran
berbasis kompetensi. Pendekatan pembelajaran ini harus menganut pembelajaran
tuntas (mastery learning) untuk dapat menguasai sikap (attitude), ilmu
pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) agar dapat bekerja sesuai
profesinya seperti yang dituntut suatu kompetensi. Untuk dapat belajar secara
tuntas, dikembangkan prinsip pembelajaran sebagai berikut :
a. Learning by doing (belajar melalui aktivitas/kegiatan nyata, yang memberikan
pengalaman belajar bermakna), dikembangkan menjadi pembelajaran berbasis
produksi
b. Individualized learning (pembelajaran dengan memperhatikan keunikan setiap
individu) dilaksanakan dengan sistem modular.
4. Evaluasi
Komponen evaluasi ini ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan dan menilai proses implementasi kurikulum secara keseluruhan
termasuk juga menilai kegiatan evaluasi itu sendiri. Hasil dari evaluasi ini dapat
dijadikan umpan balik untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan
pengembangan komponen-komponen kurikulum. Pada akhirnya evaluasi ini dapat
dijadikan sebagai masukan bagi penentuan kebijakan pengambilan keputusan
kurikulum khususnya dan pendidikan umumnya, baik bagi para pengembang
kurikulum, para pemegang kebijakan pedidikan maupun bagi para pelaksana
kurikulum pada tingkat lembaga pendidikan atau sekolah.
Evaluasi hasil belajar peserta didik di SMK pada dasarnya merupakan
bagian integral dari proses pembelajaran, yang diarahkan untuk menilai kinerja
peserta didik (memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar) secara
berkesinambungan. Pelaksanaan penilaian dapat dilakukan secara langsung pada
29
saat peserta didik melakukan aktivitas belajar, maupun secara tidak langsung
melalui bukti hasil belajar sesuai dengan kriteria kinerja (performance criteria).
Oleh karena itu sistem penilaian untuk program produktif menitikberatkan pada
penilaian hasil belajar berbasis kompetensi (competency based assessment).
C. Model Konsep Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana
Model konsep kurikulum yang dapat dijadikan dasar di dalam
pengembangan kurikulum terdiri dari empat model. Sesuai dengan yang
dikemukakan Syaodih (2001), yaitu : Model konsep kurikulum dari teori
pendidikan klasik disebut kurikulum subjek akademis, pendidikan pribadi disebut
kurikulum humanistik, teknologi pendidikan disebut kurikulum teknologis dan
pendidikan interaksionis disebut kurikulum rekonstruksi sosial.
Kurikulum
subjek
akademis
bersumber
dari
pendidikan
klasik
(perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Kurikulum ini
lebih mengutamakan isi pendidikan, sehingga belajar menekankan untuk berusaha
menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Dalam model konsep kurikulum ini,
pendidikan berfungsi untuk memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa
lalu. Dalam perkembangan kurikulum Subjek Akademis terdapat tiga pendekatan,
yaitu : Pendekatan pertama, melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan.
Pendekatan kedua, adalah studi yang bersifat integratif. Pendekatan ketiga, adalah
pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah fundamentalis.
Kurikulum
humanistik dikembangkan oleh para ahli
pendidikan
humanistik, berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized
education) oleh Dewey (Progressive Education) dan oleh Rousseau (Romantic
Education). Para ahli pendidikan humanistik bertolak dari asumsi bahwa anak
atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan, sehingga kurikulum
humanistik lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Siswa dipandang
sebagai subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan, siswa memiliki potensi,
kemampuan dan kekuatan untuk berkembang.
Kurikulum rekonstruksi sosial lebih memusatkan perhatian pada
problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat, karena tujuan utama
30
dari kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para siswa pada
tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan yang dihadapi manusia.
Kurikulum teknologis ada persamaannya dengan aliran pendidikan klasik,
yaitu menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan
pengawetan ilmu tetapi pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang
besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempit atau khusus dan akhirnya
menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati dan diukur.
Dari penjelasan keempat model konsep kurikulum di atas, maka dapat
dikategorikan bahwa kurikulum pendidikan kejuruan diantaranya Kurikulum
SMK program keahlian Tata Busana menganut model konsep kurikulum
teknologis. Karena apabila dikaji dari tujuan, isi kurikulum, strategi pembelajaran
dan evaluasi yang dilaksanakan di SMK program keahlian Tata Busana sejalan
dengan ciri-ciri kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan
(Syaodih, 2001), sebagai berikut :
1. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk
perilaku. Tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuantujuan khusus, yang disebut objektif (tujuan instruksional). Objektif ini
menggambarkan perilaku, perbuatan atau kecakapan-keterampilan yang dapat
diamati atau diukur.
2. Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai
proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila
terjadi respon yang diharapkan, maka respons tersebut diperkuat.
3. Bahan ajar atau kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah
diramu
sedemikian
rupa
sehingga
mendukung
penguasaan
sesuatu
kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi
bagian-bagian atau sub kompetensi yang lebih kecil, yang menggambarkan
objektif. Urutan dari objektif ini pada dasarnya menjadi inti organisasi bahan
4. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu
unit ataupun semester. Fungsi evaluasi ini bermacam-macam, sebagai umpan
balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran
(evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir suatu program atau
31
semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan balik bagi guru dan
pengembang kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, menunjukkan bahwa
pendidikan kejuruan senantiasa berupaya melakukan penyesuaian terhadap
perkembangan jaman. Untuk lebih jelasnya, perubahan orientasi kurikulum
pendidikan kejuruan dapat ditampilkan pada tabel berikut.
Kurikulum
1964 STM
1968 SMEA
Orientasi
Pendekatan kebutuhan masyarakat akan pendidikan (social
demand approach) : 1) bertujuan agar siswa dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sekaligus dipersiapkan
untuk memasuki dunia kerja, 2) lebih berorientasi pada isi
(subject matter), 3) dokumen kurikulum hanya berbentuk
struktur program, dan 4) bobot praktik kejuruan berkisar antara 5
– 20 % dari keseluruhan program pendidikan.
1972 STM
Pendekatan kebutuhan tenaga kerja (manpower demand
Pembangunan, approach) dilaksanakan secara terbatas, proses mencari bentuk
1973 SMEA
yang tepat untuk pendidikan teknisi industri. Kurikulum 1964
Pembina
dan 1968 masih diberlakukan
1976
Pendekatan kebutuhan tenaga kerja (untuk sekolah yang belum
memperoleh peralatan praktik), mempunyai ciri : 1) bertujuan
untuk menyiapkan siswa untuk memasuki dunia kerja (program
terminal), 2) lebih berorientasi pada hasil, 3) lebih menekankan
pada CBSA, 4) bobot praktik kejuruan berkisar 40 – 50 % dari
keseluruhan program pendidikan, 5) Teori kejuruan terpisah dari
praktik kejuruan.
1984
Pendekatan humaniora yang memadukan ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor; teori dan praktik dikemas dalam satu semester;
pihak industri terlibat dalam Forum Pendidikan Kejuruan.
Berorientasi pada keterampilan proses, menyiapkan lulusan
untuk bekerja tapi diberi kebebasan untuk melanjutkan, dapat
pindah jurusan/program studi, siswa berpeluang mendapat kredit
maksimal. Teori kejuruan diintegrasikan ke dalam praktik
kejuruan dan menggunakan sistem kredit.
1994
Pendekatan kurikulum berbasis kompetensi (competence-base
curriculum), luas, kuat dan mendasar (broad-based curriculum).
Berorientasi pada kebutuhan dunia kerja dan validasi dilakukan
bersama-sama dengan dunia kerja untuk mengetahui
keterampilan yang diperlukan (aktif). Menerapkan sistem unit
produksi dan institusi pasangan (PSG).
32
Kurikulum
1999
2004
Orientasi
Perubahan orientasi dari supply-driven ke demand/market-driven,
dari mata pelajaran/topik pembelajaran ke kompetensi, dari
pengukuran tingkat hasil belajar ke pengukuran kompetensi, dari
belajar “hanya” di SMK menjadi belajar di SMK dan di industri,
dari SMK yang “berdiri sendiri” ke SMK sebagai bagian tak
terpisahkan dari Politeknik, BLK, kursus-kursus, dan lembaga
Diklat lainnya. Perubahan ke arah ini telah dimulai.
Pemenuhan
permintaan
pasar,
rancangan
pendekatan
pengembangannya dengan menerapkan : pendekatan akademik,
pendekatan kecakapan hidup (life skill), kurikulum berbasis
kompetensi (Competency Based Curriculum), kurikulum berbasis
luas dan mendasar (Broad Based Curriculum)
D. Model Pengembangan Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana
Kurikulum termasuk di dalamnya rancangan program pembelajaran/diklat
untuk dapat diimplementasikan di lapangan, perlu dirancang selaras dengan
kondisi dan kebutuhan lingkungan khususnya dunia kerja (dunia usaha dan
industri). Proses penyelarasan kurikulum sebenarnya merupakan tahapan
penentuan model pengembangan kurikulum yang harus sesuai dengan kebutuhan
dan tututan IPTEKS.
Kurikulum yang dberlakukan pada SMK program keahlian Tata Busana
saat ini adalah kurikulum tahun 2006 untuk kelompok normatif dan adaptif,
sedangkan khusus untuk kelompok produktif masih menggunakan kurikulum
tahun 2004 yang dikembangkan oleh sekolah (desentralisasi) dengan mengacu
pada Standar Kompetensi Nasional Bidang Keahlian Tata Busana. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa model pengembangan kurikulum SMK
adalah grass roots model, karena dalam penyelarasan KTSP SMK diterapkan
kolaborasi dengan dunia usaha/industri dan komite sekolah khususnya dalam
menyepakati rumusan-rumusan kurikulum yang siap diimplementasikan.
Dalam model pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots; seorang
guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya
pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat
berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi
ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila
33
kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru,
fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum
model grass roots akan lebih baik. Kondisi ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan penyempurna dari pengajaran di
kelas.
Strategi penerapan model grass roots perlu dipertimbangkan khususnya
dalam pengembangan kurikulum program produktif di SMK, karena panduan
pengembangan KTSP yang dirumuskan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) untuk kurikulum SMK baru memuat pengembangan kelompok normatif
dan adaptif. Sedangkan untuk program produktif diserahkan kepada satuan
pendidikan, yang harus disesuaikan dengan karakteristik program keahlian dan
potensi dunia usaha.industri yang menjadi institusi pasangan di lapangan dalam
kegiatan pembelajaran di dunia kerja (pelatihan berbasis industri). Mulyasa (2006)
mengungkapkan bahwa KTSP perlu diterapkan oleh setiap satuan pendidikan,
terutama berkaitan dengan aspek-aspek sebagai berikut :
1. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi
dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang
tersedia untuk memajukan lembaganya
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan
yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai
dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk
memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa
yang terbaik bagi sekolahnya
4. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan
kurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta lebih
efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat
5. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing
kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya,
sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan
mencapai sasaran KTSP.
34
6. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain
untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan
dukungan orang tua peserta didik, masyarakat dan pemerintah daerah setempat
7. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang
berubah dengan cepat, serta mengakomodasinya dalam KTSP.
E. Model dan Pendekatan Pembelajaran Keahlian Tata Busana di SMK
1. Model Pembelajaran
Model pembelajaran yang dapat dikembangkan di SMK dapat dipilih dari
rumpun yang berhubungan dengan perilaku (behavioral), karena di SMK pada
intinya mendasarkan pada teori pembelajaran behaviorism. Teori ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar, yang menjadi
prinsip dalam pembelajaran keahlian Tata Busana di SMK. Model mengajar dari
rumpun sistem tingkah laku (the behavioral systems family of models, Joyce :
2000) yang dapat diterapkan di SMK diantaranya adalah belajar tuntas.
Belajar
tuntas
merupakan
suatu
kerangka
dalam
merencanakan
pembelajaran yang berurutan, dirumuskan oleh John B. Carroll (1971) dan
Benyamin Bloom (1971). Belajar tuntas disajikan secara ringkas dan menarik
untuk meningkatkan pencapaian hasil belajar (kinerja) peserta didik. Secara
tradisional, kecerdasan dianggap sebagai karakter yang berhubungan dengan hasil
belajar peserta didik. Carroll memandang kecerdasan sebagai sejumlah waktu
yang digunakan seseorang untuk belajar dibanding kapasitasnya untuk menguasai
bahan ajar. Dalam pandangan Carroll, peserta didik yang mempunyai penguasaan
bahan ajar dibanding dengan peserta didik yang mempunyai kecerdasan lebih
tinggi.
Bloom mengubah pandangan Carroll ke dalam sebuah sistem dengan
mengikuti karakteristik :
a. Penguasaan didefinisikan dalam istilah pencapaian tujuan utama dalam
pembelajaran
b. Materi ajar dibagi dalam unit terkecil yang akan dipelajari
c. Penentuan materi ajar dan pemilihan startegi pembelajaran
35
d. Setiap unit disertai dengan tes diagnostik untuk mengukur kemajuan peserta
didik (evaluasi formatif) dan menentukan masalah yang dihadapi masingmasing peserta didik.
e. Hasil tes digunakan untuk memberikan pengajaran pengayaan dan remedial
Belajar tuntas menurut pembelajaran individual, peserta didik bekerja
bebas dengan bahan ajar yang diberikan setiap hari (setiap beberapa hari),
tergantung pada kemampuan dan gaya belajarnya. Model belajar tuntas yang
dapat diterapkan pada pembelajaran di SMK adalah Individually Prescribed
Instructional Program (IPI). Tujuan dari IPI adalah :
1) Memungkinkan setiap peserta didik untuk mempelajari unit bahan ajar yang
berurutan
2) Menjadikan setiap peserta didik mencapai derajat penguasaan
3) Mengembangkan inisiatif sendiri dalam belajar
4) Mengembangkan proses problem solving
5) Mendorong evaluasi diri dan motivasi untuk belajar
Belajar tuntas dapat diterapkan pada pembelajaran di SMK, karena
merupakan
strategi
pembelajaran
terstruktur
yang
bertujuan
untuk
mengadaptasikan pembelajaran kepada peserta diantara peserta didik. Belajar
tuntas dirancang mampu mengatasi kelemahan-kelemahan yang sering melekat
pada pembelajaran klasikal, antara lain hanya peserta didik yang pandai yang akan
mencapai semua tujuan pembelajaran, sedangkan peserta didik yang kurang
pandai hanya mencapai sebagian dari tujuan instruksional. Belajar tuntas juga
dirancang untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai
pelajaran dan kompetensi yang dipelajarinya sesuai dengan standar, melalui
langkah-langkah pembelajaran secara bertahap, utuh, dan tuntas; sehingga
memberikan pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning).
Organisasi pembelajaran tuntas dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
a) Ditetapkan batas minimal tingkat kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta
didik
36
b) Menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan (PAP) untuk menilai
keberhasilan belajar peserta didik mencapai standar minimal
c) Peserta didik tidak diperkenankan pindah topik atau pekerjaan berikutnya,
apabila topik atau pekerjaan yang sedang dipelajarinya belum dikuasai sampai
standar minimal
d) Memberikan kemampuan yang utuh, mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap
e) Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk mencapai standar
minimal, sesuai dengan irama dan kemampuan belajarnya masing-masing
f) Disediakan program remedial bagi peserta didik yang lambat, dan program
pengayaan bagi peserta didik yang lebih cepat menguasai kompetensi
Penerapan model belajar tuntas pada keahlian Tata Busana di SMK;
diperlukan kemampuan dan kreativitas guru di dalam mengkemas kegiatan
pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah (industri) sesuai dengan
tuntutan standar dunia kerja.
2. Pendekatan pembelajaran
Dalam upaya penerapan model belajar tuntas pada pembelajaran keahlian
Tata Busana di SMK, dapat digunakan berbagai pendekatan sebagai berikut :
a. Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Based Training)
Pelatihan berbasis kompetensi merupakan proses pengajaran yang
perencanaan, pelaksanaan dan penilaiannya mengacu kepada penguasaan
kompetensi peserta didik. Tujuan dari pendekatan ini adalah agar kegiatan yang
dilakukan dalam proses pengajaran benar-benar mengacu dan mengarahkan
peserta didik untuk mencapai penguasaan kompetensi yang telah diprogramkan
bersama antara sekolah dengan dunia usaha dan dunia industri.
Dengan pendekatan pelatihan berbasis kompetensi ini, pembelajaran pada
intinya berisi seperangkat kompetensi yang perlu dimiliki peserta didik melalui
proses kegiatan pembelajaran yang memiliki ciri sebagai berikut :
1) Kegiatan pembelajaran adalah penguasaan kompetensi oleh peserta didik
37
2) Proses pembelajaran harus memiliki kesepadanan dengan kondisi dimana
kompetensi tersebut akan digunakan
3) Aktivitas pembelajaran bersifat perseorangan (individualized instruction),
antara satu peserta didik dengan peserta didik lainnya tidak ada
ketergantungan
4) Harus tersedia program pengayaan (enrichment) bagi peserta didik yang lebih
cepat dan program perbaikan (remedial) bagi peserta didik yang lebih lamban
Strategi pembelajaran ini menekankan penguasaan kompetensi sesuai
standar yang ditentukan, melalui kegiatan pembelajaran yang dirancang dan
dilaksanakan secara terstruktur serta berfokus pada peserta didik (learner focused)
melalui penyelesaian tugas/kompetensi (task focused) secara bertahap. Oleh
karena itu, dalam penyelenggaraan pembelajaran dengan pendekatan pelatihan
berbasis kompetensi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a) Kurikulum harus dikembangkan mengacu kepada standar kompetensi yang
ditetapkan oleh industri/asosiasi profesi, dan memuat isi yang menunjang
pencapaian kompetensi
b) Modul/bahan ajar harus dikembangkan berdasarkan kurikulum dan standar
kompetensi, serta mampu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengikuti program sesuai dengan tingkat kecepatan yang dimilikinya
c) Guru atau instruktur harus memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya
d) Peserta didik, telah memiliki pengetahuan dasar yang memadai
e) Kegiatan diklat diorganisasi secara tepat agar dapat dilaksanakan secara
fleksibel dan memberikan perlakuan secara adil kepada peserta didik sesuai
dengan potensi yang dimilikinya
f) Fasilitas harus memadai untuk seluruh peserta didik, baik dari sisi jenis, jumlah
dan kualitas
g)
Manajemen
institusi
perlu
dikembangkan
sesuai
dengan
semangat
pembaharuan
h) Biaya operasional diklat, memadai sesuai kebutuhan operasional dalam
pencapaian kompetensi peserta didik
38
b. Pelatihan Berbasis Produksi (Production Based Training)
Pelatihan berbasis produksi adalah proses pembelajaran keahlian atau
keterampilan dirancang berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang
sesungguhnya (real job) untuk menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan
tuntutan pasar atau konsumen.
Tujuan dari pelatihan berbasis produksi adalah :
1) Membekali peserta dengan kompetensi yang sepadan dengan tuntutan dunia
kerja, sekaligus menghasilkan produk/jasa yang laku dijual.
2) Menanamkan pengalaman produktif dan mengembangkan sikap wirausaha,
melalui pengalaman langsung memproduksi barang atau jasa yang berorientasi
pasar (konsumen)
Pelaksanaan pelatihan berbasis produksi di SMK antara lain :
a) Pelatihan berbasis produksi dilaksanakan bekerja sama dengan unit produksi
atau institusi pasangan
b) Setiap peserta kelompok, dapat dibagi tugas sesuai dengan jenis pekerjaan dan
tingkat kompetensi masing-masing, tetapi tetap dalam prosedur dan standar
kerja yang menjamin ketepatan waktu dan mutu hasil pekerjaan yang dituntut
oleh konsumen. Jadi setiap peserta/kelompok peserta tidak harus mengerjakan
suatu produk/jasa secara keseluruhan
c) Keberhasilan pelatihan berbasis produksi harus didukung oleh : Fasilitas yang
siap pakai, Guru/instruktur yang memiliki profesionalisme tinggi, Kesiapan
bekerja yang tidak semata-mata bergantung kepada jam kerja sekolah, Sikap
menghargai kepada kualitas, dan Sikap komitmen kepada kualitas.
d) Hasil pembelajaran merupakan produk jadi yang layak jual atau bagian-bagian
produk (komponen) yang dapat dirakit menjadi produk yang layak jual
Dengan kriteria pembelajaran tersebut di atas, pada dasarnya desain yang
lebih memungkinkan adalah mengintegrasikan pelaksanaan pelatihan berbasis
produksi dengan penyelenggaraan unit produksi sekolah. Kondisi ini sejalan
dengan tujuan penyelenggaraan unit produksi, yaitu :
(1) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengerjakan praktik
yang berorientasi pasar
39
(2) Mendorong peserta didik dan guru dalam pengembangan wawasan ekonomi
dan kewirausahaan
(3) Memperoleh tambahan dana untuk membantu mengatasi kekurangan biaya
operasional sekolah, terutama digunakan untuk perawatan dan perbaikan
fasilitas
(4) Meningkatkan pendayagunaan sumber daya pendidikan yang ada di sekolah
(5) Meningkatkan kreativitas peserta didik dan guru
(6) Dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik, terutama
menyangkut keterampilan yang diperlukan untuk mengerjakan pesanan
masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih cepat menyesuaikan diri
terhadap dunia kerja.
c. Pelatihan berbasis industri (Pembelajaran di dunia kerja)
Pembelajaran di dunia kerja adalah suatu strategi dimana setiap peserta
mengalami proses belajar melalui bekerja langsung (learning by doing) pada
pekerjaan yang sesungguhnya. Pelaksanaannya dinamakan Pendidikan Sistem
Ganda
(PSG)/Praktek
Industri
sesuai
dengan
bidang
keahlian
yang
dikembangkan. PSG adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan keahlian kejuruan yang memadukan secara sistematik dan sinkron
program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh
melalui bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat
keahlian profesional tertentu.
Dalam pelaksanaan PSG, kedua belah pihak secara sungguh-sungguh
terlibat dan bertanggung jawab mulai dari tahap peencanaan program, tahap
penyelenggaraan, sampai pada tahap penilaian dan penentuan kelulusan peserta
didik, serta upaya pemasaran tamatannya. Mengingat iklim kerja yang ada di
sekolah berbeda dengan yang terjadi di dunia kerja, maka sekolah harus benarbenar menyiapkan peserta sesuai dengan karakteristik dan tuntutan dunia kerja
tempat berlatih. Bukan hanya menyangkut dasar-dasar kompetensi, tetapi juga
menyangkut kesiapan fisik, mental, wawasan dan orientasi kerja yang benar.
40
Pemahaman peraturan ketenagakerjaan secara umum dan tertib (disiplin)
pekerja di tempat mereka akan bekerja dan orientasi tempat bekerja, termasuk
pengenalan keselamatan kerja dan proses produksi, melalui pendekatan pelatihan
berbasis industri ini peserta diharapkan :
1) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkkungan dunia kerja yang sesungguhnya
2) Memiliki tingkat kompetensi terstandar sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh
dunia kerja
3) Menjadi tenaga kerja yang berwawasan mutu ekonomi, bisnis, kewirausahaan
dan produktif
Pelatihan berbasis industri pada dasarnya memiliki nilai kebermaknaan
lebih tinggi, terutama dalam memberikan pengalaman secara langsung kepada
peserta didik. Pelatihan berbasis industri ini dapat memberikan pengalaman
belajar dan bekerja bagi peserta didik sesuai dengan dunia nyata pada dunia kerja
sesuai dengan keahlian yang dimiliki, sehingga lulusan pendidikan kejuruan
mampu bersaing untuk bekerja pada dunia usaha atau industri sesuai dengan
bidang keahlian yang dikuasainya.
41
BAB IV
IMPLEMENTASI KURIKULUM SMK PROGRAM
KEAHLIAN TATA BUSANA
A. Laporan Hasil Implementasi Kurikulum SMK Program Keahlian Tata
Busana
Hasil implementasi kurikulum SMK program keahlian Tata Busana yang
dilaporkan ini merupakan hasil wawancara dengan guru yang mengajar pada
program keahlian Tata Busana dan hasil observasi pada pembelajaran “Menjahit
dengan mesin”.
1. Hasil Wawancara
Laporan ini merupakan deskripsi dari hasil wawancara dengan guru
“Menjahit dengan mesin” (2 orang guru sebagai tim teaching), yang sudah
berpengalaman sebagai guru senior di salah satu SMK Program Keahlian Tata
Busana di Kota Bandung.
a. Profil sumber data
Guru 1; sebagai sumber data dalam implementasi kurikulum SMK
program keahlian Tata Busana pada mata diklat “Menjahit dengan mesin”,
menjadi guru SMK dengan bekal pendidikan Program D3 dari P3GK
Rawamangun IKIP Jakarta. Pengalaman mengajar (guru 1) di SMK sudah 38
tahun. Selama menjadi guru di sekolah ini, beliau telah mengikuti pelatihan
Busana
Industri
dan
Busana
Tailoring.
Pelatihan
ini
dalam
upaya
mengembangkan keahlian guru di bidang pembuatan busana, khususnya untuk
keahlian pembuatan busana tailoring yang dapat diaplikasikan pada mata diklat
yang dibinanya.
Guru 2; sebagai sumber data dalam implementasi kurikulum SMK
program keahlian Tata Busana pada mata diklat “Menjahit dengan mesin”,
menjadi guru SMK dengan bekal pendidikan Program D3 Jurusan PKK IKIP
Jakarta. Pengalaman mengajar (guru 2) di SMK sudah 21 tahun. Selama menjadi
guru di sekolah ini, beliau telah mengikuti berbagai pelatihan, diantaranya :
Busana Tailoring, Garment, Keahlian Pola dan Kreativitas guru SMK. Pelatihan
42
ini dalam upaya mengembangkan keahlian guru di bidang pembuatan busana
tailoring dan teknik pembuatan busana sistem garment, dengan harapan dapat
diaplikasikan pada mata diklat yang dibinanya, dengan cara memberikan
pengalaman belajar kepada peserta didik sebagai bekal dalam kegiatan praktek
kerja industri.
b. Pemahaman guru tentang implementasi kurikulum di SMK
Dalam kaitannya dengan implementasi kurikulum SMK program keahlian
Tata Busana, penulis melakukan wawancara dengan dua orang guru “Menjahit
dengan mesin” sebagai sumber data. Hasil wawancara tersebut ditampilkan dalam
bentuk paparan sebagai berikut.
Penulis : Bagaimana pemahaman ibu tentang implementasi kurikulum di SMK,
khususnya pada program keahlian Tata Busana ?
Guru
: Sepengetahuan saya kurikulum yang diimplementasikan di SMK saat ini
belum secara penuh menggunakan KTSP, karena untuk KTSP baru pada
kelompok normatif dan adaptif. Sedangkan untuk kelompok produktif
masih menggunakan kurikulum 2004.
Penulis : Kalau masih menggunakan kurikulum 2004 untuk program produktif,
apakah ibu ditugaskan untuk menyusun silabus untuk mata diklat
“Menjahit dengan mesin” ?
Guru
: Sebetulnya kami di SMK ini, semua guru sudah ditugaskan untuk
menyusunan silabus sesuai dengan mata diklat binaannya. Yang saya
ketahui, silabus yang sudah selesai dibuat itu baru untuk mata
pelajaran pada kelompok normatif dan adaptif. Sedangkan untuk
kelompok produktif belum selesai dibuat, khususnya saya sebagai guru
mata diklat “Menjahit dengan mesin”, karena masih menggunakan
kurikulum 2004.
Penulis : Kalau silabus belum dibuat, lalu rencana pengajaran apa yang ibu
siapkan untuk pendidikan dan pelatihan “Menjahit dengan mesin” ?
43
Guru
: Untuk perencanaan pengajaran, kami masih menggunakan modul yang
baru rampung pada tahun 2006, karena pada waktu diimplementasikan
kurikulum 2004 pada tahun 2005 kami diwajibkan membuat modul.
Penulis : Dalam kegiatan pembelajaran di kelas untuk diklat “Menjahit dengan
mesin”, pendekatan pembelajaran apa yang ibu gunakan ?
Guru
: Saya menggunakan pendekatan CBT, pelatihan berbasis kompetensi
Penulis : Menurut pemahaman ibu, mengapa harus CBT ?
Guru
: Menurut saya dalam belajar menjahit perlu dengan pendekatan CBT,
karena menurut saya CBT merupakan sistem pembelajaran tuntas.
Peserta didik harus menyelesaikan kompetensi yang harus dikuasai
pada program produktif harus sesuai SKN. Kami dalam pelaksanaan
pembelajaran menjahit, menggunakan modul. Kami memberikan
penjelasan terlebih dahulu secara lisan, kemudian para siswa dapat
mempelajari materi pelajaran secara tertulis yang ada dalam modul.
Penulis : Bagaimana pelaksanaan evaluasi hasil belajar yang ibu lakukan untuk
mengukur keberhasilan peserta didik dalam menjahit yang sesuai
dengan SKN ?
Guru
: Dalam menilai kemampuan peserta didik, saya melakukan penilaian
pada proses kerja dan produk yang dihasilkan. Dilihat dari kerapihan,
ketepatan teknik jahit, kecepatan, kebersihan, kesesuaian dengan
desain dan tampilan busana secara keseluruhan.
Penulis : Menurut ibu, apakah fsilitas praktikum yang ada di SMK ini sudah
memadai ?
Guru
: Menurut saya belum, karena untuk piranti menjahit dan mesin jahit
masih
digunakan
secara
bergantian,
karena
jumlahnya
tidak
mencukupi, masih terbatas.
2. Hasil observasi
Pembelajaran “Menjahit dengan mesin” dilaksanakan 6 jam/minggu pada
satu hari kerja dari jam 07.00 sampai dengan jam 15.00 yang dikondisikan ruang
praktek busana sebagai tempat bekerja atau usaha busana. Hasil pengamatan
44
terhadap proses kegiatan belajar mengajar “Menjahit dengan mesin” yang
dilaksanakan oleh 2 orang guru (Guru 1 dan Guru 2) di kelas X Busana akan
dideskripsikan sebagai berikut.
Penyajian materi pembelajaran teori disajikan oleh satu orang guru secara
bergantian sesuai dengan pokok bahasan yang telah disepakati, sedangkan untuk
praktikum dilaksanakan oleh dua orang guru (team teaching). Penyajian materi
diawali dengan menuliskan pokok bahasan di papan tulis, kemudian menjelaskan
materi pelajaran secara sistematis sesuai dengan rencana pengajaran dalam modul.
Materi pelajaran teori yang dijelaskan mencakup : 1) Persiapan mesin jahit sesuai
prosedur, 2) Mengoperasikan mesin jahit sesuai prosedur, 3) Langkah menjahit
bagian-bagian busana, 4) Teknik menjahit busana dan 5) Sikap kerja. Materi
praktikum mencakup : penjelujuran yang kemudian dilanjutkan pada tahap
penjahitan dengan mesin.
Penyajian materi pembelajaran teori dan praktek pembuatan busana wanita
disajikan dengan menggunakan metode ceramah, demonstrasi, Tanya jawab,
pemberian tugas dan latihan. Pendekatan klasikal dilakukan dalam menjelaskan
materi teori dan penjelasan praktikum secara umum, sedangkan untuk pendekatan
individual dilakukan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan di dalam
menjahit bagian-bagian busana.
Pada akhir kegiatan pembelajaran teori mengenai pengetahuan menjahit
dengan mesin, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengajukan pertanyaan. Guru menjawab pertanyaan yang diajukan peserta didik
dengan cara menjawab untuk seluruh kelas agar seluruh peserta didik
memperhatikan dan memahami kesulitan yang dihadapi dalam teknik penjahitan
bagian-bagian busana pada pembuatan busana wanita sesuai dengan kesempatan.
Sebelum pelaksanaan praktek secara individual guru membagikan bahan
untuk pembuatan busana wanita sesuai dengan kesempatan, yang terdiri dari :
kain untuk bahan utama, kain furing dan bahan pelengkap dalam pembuatan
busana
wanita
sesuai
dengan
kesempatan.
Guru
terlebih
dahulu
mendemonstrasikan langkah kerja dalam pembuatan busana kerja. Di samping
penjelasan dari guru, peserta didik diberi panduan dalam melakukan praktikum
45
berupa modul. Dalam penyajian materi pembelajaran “Menjahit dengan mesin”,
guru 1 dan guru 2 menggunakan media pembelajaran berupa : 1) Contoh model
desain busana wanita untuk berbagai kesempatan, 2) Pragmen bagian-bagian
busana yang harus dijahit dan 3) Contoh beberapa model busana jadi berupa
busana kerja dan busana pesta.
Selama praktek berlangsung kedua guru mengawasi dan membimbing
peserta didik secara individual dengan cara berkeliling. Saat ditemui peserta didik
yang mengalami kesulitan dalam menjahit bagian-bagian busana, guru
mengarahkan dan membimbing peserta didik sampai dapat menyelesaikan jahitan
bagian busana. Apabila yang mengalami kesulitan tersebut lebih dari dua orang,
maka guru menjelaskan kembali kepada seluruh kelas dengan harapan seluruh
peserta didik dapat menyelesaikan jahitannya dengan tepat dan cepat. Beberapa
menit sebelum berakhir jam praktek, guru menginstruksikan kepada seluruh
peserta didik agar menghentikan kegiatannya dan memberikan kesempatan untuk
bertanya bila masih ada kesulitan. Guru memberikan tugas kepada seluruh peserta
didik untuk melanjutkan jahitannya di rumah agar pekerjaannya segera dapat
diselesaikan.
Penilaian yang dilakukan oleh guru, yaitu saat kegiatan praktek
berlangsung, karena pekerjaannya belum selesai secara keseluruhan. Penilaian
pada saat berlangsung praktek dilihat dari langkah-langkah kerja pada setiap
bagian busana yang harus diselesaikan, tetapi pada saat melakukan penilaian guru
tidak menggunakan alat penilaian yang baku. Sedangkan untuk penilaian produk
busana, guru sudah menggunakan alat penilaian yang memuat aspek-aspek yang
harus dinilai, yaitu : kecepatan, ketepatan, teknik jahit, kerapihan, kebersihan, dan
tampilan busana keselruhan.
B. Pembahasan terhadap Implementasi Kurikulum SMK Program Keahlian
Tata Busana pada Mata Diklat Menjahit dengan Mesin
Kurikulum yang saat ini diberlakukan di SMK program keahlian Tata
Busana adalah kurikulum tahun 2004 (khusus untuk program produktif) dan
model pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 (untuk
46
program normatif dan adaptif). Di samping kurikulum, pada SMK program
keahlian Tata Busana adanya kebijakan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik sesuai dengan Standar Kompetensi Nasional (SKN) bidang keahlian
Tata Busana.
Dalam dokumen kurikulum tahun 2004, untuk program produktif
diungkapkan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran harus mengandung prinsip
pembelajaran tuntas (mastery learning), karena keberhasilan belajar peserta didik
ditetapkan oleh tingkat penguasaan kompetensi yang dipersyaratkan oleh
lapangan kerja (dunia usaha dan dunia industri). Upaya yang harus dilakukan
dalam pencapaian tujuan di atas, keberadaan kurikulum dalam pengertian
kurikulum sebagai dokumen tertulis, kurikulum sebagai kegiatan, dan kurikulum
sebagai gambaran keberhasilan belajar; sangat tergantung kepada kemampuan
guru di dalam memahami kurikulum tersebut.
1. Analisis terhadap hasil wawancara dengan guru
Dari hasil wawancara dengan guru (team teaching) mata diklat “Menjahit
dengan mesin”, teramati bahwa guru belum sepenuhnya memiliki pemahaman
dalam kurikulum yang diimplementasikan di sekolah, karena guru baru pada
tingkat mengetahui apa yang harus dilaksanakan. Guru belum memiliki
pemahaman tentang KTSP, teramati dari lambatnya penyusunan salah satu
perangkat kurikulum khususnya pada penyusunan silabus untuk mata diklat yang
dibinanya. Seharusnya guru di samping menggunakan modul yang sudah ada,
harus secara kreatif dilengkapi dengan silabus yang baru sesuai dengan tuntutan
KTSP SMK dan Standar Kompetensi Nasional Bidang Keahlian.
2. Analisis terhadap hasil observasi pada pendidikan dan pelatihan “Menjahit
dengan Mesin”
Kajian implementasi kurikulum SMK program keahlian Tata Busana pada
mata diklat “Menjahit dengan mesin” dapat dilakukan terhadap dokumen tertulis
dan kegiatan pembelajaran sebagai hasil pengamatan lasung. Kajian dilakukan
dengan mengevaluasi empat komponen kurikulum, yaitu : tujuan, isi kurikulum
(materi pelajaran), strategi pengajaran, dan evaluasi.
47
a. Tujuan
Tujuan yang dirumuskan untuk mata diklat “Menjahit dengan mesin”
dalam rencana pembelajaran belum jelas dan sulit untuk diukur. Khusunya
rumusan tujun pada aspek pengetahuan, masih belum operasional sehingga sulit
untuk mengukur kemampuan peserta didik di dalam penguasaan pengetahuan
tentang menjahit dengan mesin. Tujuan pembelajaran seharusnya dirancang
sampai pada tingkat operasional, sehingga tujuan tersebut dapat terukur sampai
tingkat keberhasilannya. Pengkajian terhadap rumusan tujuan tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut.
MATA
DIKLAT
Menjahit
dengan mesin
SIKAP
 Menyiapkan
alat
jahit dengan cermat
dan teliti
 Mesin
jahit
dipersiapkan dengan
teliti dan benar
 Teliti dan berhatihati
dalam
mengoperasikan
mesin jahit
 Teliti
dalam
memeriksa
kelengkapan bagianbagian busana
 Mengikuti prosedur
dan teknik menjahit
dalam
menjahit
bagian-bagian
busana
 Mengikuti prosedur
keselamatan kerja
dalam
menjahit
busana
TUJUAN
PENGETAHUAN
 Memahami fungsi
alat jahit pokok
dan alat bantunya
 Memahami
langkah
kerja
menyiapkan mesin
jahit
 Memahami
prosedur
pengoperasian
mesin jahit
 Memahami cara
mengatur setikan
mesin jahit sesuai
jenis bahan
 Memahami
bagian-bagian
busana
 Memahami
prosedur menjahit
bagian-bagian
busana
 Memahami teknik
menjahit busana
 Memahami
kesehatan
dan
keselamatan kerja
dalam menjahit
KETERAMPILAN
 Menyiapkan alat jahit
sesuai kebuuthan
 Mengisi kumparan,
mengatur tegangan
benang,
mengatur
jarak setikan mesin
jahit,
memasang
jarum,
memasang
kumparan dan skoci,
memasang benang
 Mengoperasikan
mesin jahit pada garis
lurus,
lengkung,
sudut dan lain-lain
 Mengatur
setikan
mesin jahit sesuai
dengan jenis bahan
 Memeriksa
kelengkapan bagianbagian busana
 Menjahit
bagianbagian busana sesuai
prosedur
 Menyelesaikan
busana sesuai dengan
teknik
menjahit
busana
 Menerapkan prosedur
kesehatan
dan
keselamatan
kerja
dalam menjahit
48
b. Isi kurikulum/materi pembelajaran
Materi pembelajaran yang disajikan meliputi materi teori dan praktek.
Materi sudah sesuai denga tuntutan dari kurikulum dan Standar Kompetensi
Nasional. Materi pembelajaran disajikan secara berkesinambungan dari mulai
tugas praktek yang paling sederhana hingga materi praktek lanjutan. Materi
pembelajaran dikemas dalam bentuk modul yang menjadi sumber belajar bagi
peserta didik di dalam melakukan praktek menjahit dengan mesin. Materi dalam
modul dituangkan secara sistemtis, sehingga mudah dipahami dan diikuti oleh
peserta didik di dalam mengerjakan tugas sesuai prosedur.
c. Strategi pengajaran
Dalam kegiatan pembelajaran “Menjahit dengan Mesin”, guru baru
menerapkan pendekatan pelatihan berbasis kompetensi (Competency Based
Training). Seharusnya di samping menerapkan pendekatan pelatihan berbasis
kompetensi, dalam pembelajaran “Menjahit dengan Mesin” perlu diterapkan
pendekatan pelatihan berbasis produksi (Production Based Training) melalui
kerja sama dengan unit produksi sekolah. Dengan pelatihan berbasis produksi ini,
dalam upaya memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik di samping
membuat produk, harus pula mengalami belajar bagaiman mengelola suatu usaha
busana (sanggar busana, modiste, atelier atau butik).
d. Evaluasi
Penilaian hasil belajar yang dilaksanakan oleh guru pada program
produktif khususnya pada mata diklat menjahit dengan mesin, teramati bahwa
guru belum siap untuk melaksanakan penilaian secara komprehensif pada
keberhasilan belajar peserta didik, yang meliputi : proses kerja, prestasi
kemampuan kognitif, afektif, psikomotor dan penilaian produk kerja. Guru dalam
melakukan
penilaian
proses
kerja
atau
kegiatan
praktikum
cenderung
mengandalkan pengamatan langsung tanpa menggunakan alat penilaian,
sedangkan untuk penilaian produk kerja telah menggunakan alat penilaian berupa
skala penilaian yang memuat aspek-aspek yang harus dinilai sesuai dengan
49
Standar Kompetensi Nasional (SKN). Seharusnya guru di dalam melakukan
penilaian baik untuk penilaian proses ataupun penilaian produk hendaknya
menggunakan alat penilaian yang baku, sehingga penilaian dapat diberikan secara
objktif. Sebagaimana dikemukakan oleh Gronlund (1977) mengemukakan bahwa
jenis tes yang paling sesuai untuk mengukur keterampilan praktek adalah dengan
menggunakan tes perbuatan, meliputi : 1) paper and pencil performance, 2)
identification test, 3) simulated performance dan 4) work sample.
Faktor yang turut mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran program
keahlian Tata Busana, di samping pengetahuan guru dalam keahlian Tata Busana
dan strategi pembelajaran; diantaranya dipengaruhi pula oleh dukungan fasilitas
belajar. Fasilitas belajar yang dimiliki sekolah belum sepenuhnya menunjang
terhadap pendidikan dan pelatihan menjahit dengan mesin, karena jumlah
peralatan yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah peserta didik yang
melaksanakan praktium.
Kendala utama adalah keterbatasan fasilitas praktikum yang tersedia di
laboratorium Tata Busana. Piranti menjahit dan mesin jahit yang tersedia di
laboratorium berjumlah 2 buah, mesin obras, mesin lubang kancing dan mesin
juki terbatas sekali yaitu hanya ada 1 buah untuk setiap laboratorium, sedangkan
jumlah peserta didik yang harus melaksanakan praktikum untuk setiap kelas ratarata 35 orang. Piranti atau alat menjahit kecil seharusnya satu alat digunakan
untuk satu orang peserta didik. Upaya yang dilakukan guru dalam mengatasi
keterbatasan tersebut, melalui pembentukan kelompok kecil, dengan pengaturan
satu mesin jahit digunakan untuk dua orang peserta didik secara bergantian.
50
BAB V
KESIMPULAN
Dari seluruh kajian yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum
pendidikan
kejuruan
dapat
disimpulkan,
bahwa
pendidikan
kejuruan
dikembangkan berdasar pada tuntutan dunia kerja, yaitu dunia usaha dan dunia
industri yang berkembang di masyarakat. Sebagai realisasi di dalam memenuhi
tuntutan dunia kerja tersebut, maka dalam perancangan kurikulum pendidikan
kejuruan mengacu pada karakteristik pendidikan kejuruan yang seharusnya.
Pendidikan menengah kejuruan memiliki peran untuk menyiapkan peserta didik
agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri (wiraswasta) maupun mengisi
lowongan pekerjaan yang ada.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai salah satu institusi yang
menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan sebagaimana
yang diharapkan dunia kerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah sumber daya
mansia yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaannya, memiliki
daya adaptasi dan daya saing yang tinggi. Atas dasar itu, pengembangan
kurikulum dalam rangka penyempurnaan pendidikan menengah kejuruan harus
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada
perubahan tuntutan dunia kerja terhadap sumber daya manusia yang dibutuhkan,
oleh karena itu pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan harus bisa
mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik
sesuai dengan standar kompetensi dan tuntutan dunia usaha dan dunia industri.
Dalam kaitannya dengan implementasi kurikulum SMK program keahlian
Tata Busana, guru sebagai pelaksana kurikulum cenderung sulit di dalam
melakukan perubahan. Guru masih mengandalkan sumber dan rencana pengajaran
yang ada tanpa melakukan pengembangan yang dituntut oleh KTSP SMK dan
Standar Kompetensi Nasional Bidang Keahlian. Di samping itu, teramati bahwa
guru belum siap dalam melakukan penilaian secara komprehensif di dalam
51
menentukan keberhasilan belajar peserta didik pada kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotor. Khusunya dalam menilai proses kerja,guru belum menggunakan
alat penilaian yang baku atau standar.
Keberhasilan pendidikan dan pelatihan di SMK ditentukan dari kualitas
lulusannya, dimana mereka harus mencerminkan individu yang berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Lulusan SMK
diharapkan mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, sehingga
mereka memiliki kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor untuk mampu
bekerja sesuai dengan yang dipelajarinya. Lulusan SMK harus mampu bersaing
secara kompetitif, sehingga dapat memasuki dunia kerja baik pada dunia usaha
maupun industri pada tingkat nasional, bahkan tidak menutup kemungkinan pada
tingkat internasional.
52
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak, I. dan Sanjaya, W. (1995). Media Pendidikan (Suatu Pengantar).
Bandung : Pusat Pelayanan dan Pengembangan Media Pendidikan IKIP
Bandung.
Arsyad, A. (2004). Media Pembelajaran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Blank, W.E. (1982). Handbook For Developing Competency Based Training
Programs. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Block, J.H. (1971). Mastery learning : Theory and Practice. New York : Holt.
Rinehart and Wiston. Inc.
Calhoun, C.C. dan Finch, A.V. (1982). Vocational Education : Concept and
Operations. California : Wads Worth Publishing Company.
Curtis, T.E. dan Bidwell, W.W. (1976). Curriculum and Instruction for Emerging
Adolescents. New York : State University of New York at Albany.
Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Kurikulum Sekolah Menengah
Kejuruan Program Keahlian Tata Busana. Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional.
Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kejuruan (2002). Sejarah Pendidikan
Teknik dan Kejuruan di Indonesia : Membangun Manusia Produktif.
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
------- (2003). Standar Kompetensi Nasional Bidang Keahlian Tata Busana.
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Djohar, A. (2003). Pengembangan Model Kurikulum Berbasis Kompetensi
Sekolah Menengah Kejuruan. Bandung : Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia.
Djojonegoro, W. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia : Melalui
Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Evarinayanti. (2002). Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Based
Training). Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Finch, C. dan Crunkilton, J.R. (1984). Curriculum Development in Vocational and
Technical Education : Planning,Content and Implementation. Boston :
Allyn and Bacon, Inc.
53
Gronlund, N.E. (1977). Constructing Achievement Test. Englewood Ciffs :
Prentice-Hall. Inc.
Hasan, S.H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta : PPLPTK.
Ibrahim, R. dan Sukmadinata, N.S. (1996). Perencanaan Pengajaran. Jakarta :
Rineka Cipta.
Indonesia Australia Partnership for Skills Development Program. (2001).
Competency Based Training. West Java Institutional Development Project.
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22. Terdapat di [On line]
http://www.puskur.net/index.php?menu=profile&pr0=148&iduser=5)
Rivai, A. (1995). Competency Based Training (Pelatihan Berdasarkan
Kompetensi). Bandung : Technical Education Development Centre.
Samsudi. (2006). Pengembangan Model Pembelajaran Program Produktif
Sekolah Menengah Kejuruan (Studi Model Preskriptif dengan Penerapan
Learning Guide pada Program Keahlian Teknik Mekanik Otomotof).
Bandung : Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Sonhadji, A. ( … ). Alternatif Penyempurnaan Pembaharuan Penyelenggaraan
Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan. Terdapat di [On line]
http://www.depdiknas.go.id/sikep/Issue/SENTRA1/F18.html (3 Oktober
2006.
Sudjana, N. dan Rivai, A. (1997). Media Pengajaran. Bandung : CV. Sinar Baru.
Sukmadinata, N.S. (2001). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
------- (2001). Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum. Bandung :
Program Studi Pengembangan Kurikulum Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia.
Download