HIV/AIDS - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome
(HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan
masyarakat di seluruh dunia dewasa ini. Pandemi HIV juga dikatakan sebagai
permasalahan kesehatan masyarakat yang paling menarik pasca Perang Dunia II,
di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai
berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and
AIDS) menyebutkan bahwa sekitar 5 juta orang baru terinfeksi HIV selama tahun
2001 dan sekitar 3 juta meninggal karena AIDS di seluruh dunia (Fleming, 2004).
Sementara itu, epidemi HIV/AIDS di Asia sendiri menunjukkan keanekaragaman
yang tinggi, baik dari tingkat keparahan maupun lama terinfeksi. Epidemi
HIV/AIDS di Asia masih jauh dari kata selesai; bahkan Indonesia, China, dan
Vietnam memiliki kenaikan jumlah infeksi (Ruxrungtham dkk, 2004).
Di Indonesia, pengamatan terhadap HIV baru di mulai tahun 1988 dengan
dua daerah pengamatan, yaitu Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1989, Bali dan
Yogyakarta juga menjadi daerah pengamatan, kemudian daerah pengamatan HIV
di Indonesia semakin diperluas. Dari data yang diperoleh hingga tahun 2001,
diketahui bahwa dari tahun 1987 hingga 2000, ditemukan 5.056 kasus AIDS di
Indonesia, dan 3.856 orang meninggal akibat AIDS di Indonesia (Hugo, 2001).
1
2
Data terbaru dari Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI (yang dilaporkan 1 Januari s.d. 30 Juni 2013) menunjukkan jumlah
penderita HIV positif sebanyak 10.210 penderita dan penderita AIDS sebanyak
780 penderita. Sedangkan jumlah penderita HIV dan AIDS secara kumulatif sejak
1 April 1987 sampai 30 Juni 2013 yaitu 108.600 penderita HIV positif, 43.667
penderita AIDS dan 8.340 kematian. Dari jumlah kumulatif sejak 1 April 1987
hingga 30 Juni 2013, D.I Yogyakarta menempati urutan 14 dari 33 propinsi yang
tercatat, dengan jumlah penderita HIV sebanyak 1.693 dan penderita AIDS
sebanyak 782. Sedangkan dari data Prevalensi Kasus AIDS per 100.000 Penduduk
dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, D. I Yogyakarta menempati urutan ke 7 dari
33 propinsi dengan prevalensi kasus sebesar 26,42 (Spiritia, 2013).
Sampai saat ini, belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan infeksi
HIV. Obat yang tersedia untuk penderita HIV/AIDS hingga saat ini adalah Anti
Retroviral (ARV) yang berfungsi mengurangi viral load atau jumlah virus dalam
tubuh penderita. Pengobatan ARV terbukti berperan dalam pencegahan penularan
HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah replikasi virus yang
secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah (Kemenkes RI, 2011).
Dengan rendahnya jumlah virus, diharapkan dapat tetap mempertahankan
imunitas dari penderita. Menurut pedoman WHO, penderita HIV/AIDS dapat
memulai terapi ARV atau Anti Retroviral Teraphy (ART) sebelum jumlah CD4 di
bawah 350.
Terapi dengan obat ARV terdiri dari gabungan beberapa golongan obat
ARV, dan biasanya terdiri dari tiga obat atau biasa disebut triple therapy, atau
3
sering disebut pula sebagai Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)
(WHO, 2010). Di Indonesia sendiri, obat ARV bisa didapatkan secara gratis sejak
tahun 2006, dan dapat diakses di 25.384 pemberi layanan HIV (UNESCO, 2010).
Terapi HIV/AIDS dengan ARV dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu lini pertama
dan lini kedua. Terapi ARV lini pertama merupakan terapi ARV yang diberikan
kepada pasien HIV/AIDS untuk pertama kalinya ketika jumlah CD4 kurang dari
350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Sementara terapi ARV lini
kedua merupakan terapi ARV yang dilakukan apabila terjadi gagal terapi pada
penggunaan kombinasi obat ARV lini pertama (Kemenkes RI, 2011).
Terapi ARV harus dijalani seumur hidup oleh pasien HIV/AIDS untuk
tetap mempertahankan imunitas pasien. Oleh karena itu penggunaan ARV
memerlukan kepatuhan yang tinggi untuk mencapai keberhasilan terapi dan
mencegah resistensi (Bachmann, 2006). Penggunaan obat ARV yang dilakukan
dalam jangka waktu sangat panjang, bahkan seumur hidup, serta masih
terdapatnya stigma negatif terhadap pasien HIV/AIDS memberikan tanggung
jawab pemberi layanan kesehatan untuk memberikan fasilitas lain yang
mendukung pengobatan pasien HIV/AIDS sendiri, terutama dalam monitoring
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan metode
kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS yang
menjalani terapi ARV lini pertama di DIY dan menganalisis faktor yang menjadi
penghambat dan pendukung perilaku kepatuhan pada pasien tersebut sehingga
4
dapat menjadi acuan pemberi pelayanan kesehatan dalam mendorong kepatuhan
pasien HIV/AIDS untuk rutin menggunakan obat ARV.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan obat Anti
Retroviral (ARV) lini pertama?
2. Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat dan pendukung kepatuhan
penggunaan obat ARV lini pertama bagi penderita HIV/AIDS?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS di DIY dalam menggunakan obat
ARV.
2. Mengetahui faktor penghambat dan pendukung terhadap kepatuhan
penggunaan obat ARV.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi responden dan masyarakat: penelitian ini memberikan informasi kepada
masyarakat bahwa stigma negatif terkait HIV/AIDS yang beredar selama ini
tidak sepenuhnya benar. Masyarakat tidak perlu mendiskriminasikan para
ODHA, bahkan masyarakat dapat ikut mendukung terapi ARV yang dijalani
ODHA, karena ODHA juga bagian dari kehidupan sosial kita.
2. Bagi LSM Victory Plus: dapat memberikan gambaran kepada para
pendukung sebaya terkait faktor pendukung dan penghambat dalam
5
pengobatan ARV sehingga dapat membantu dalam proses pendampingan
terhadap ODHA.
3. Bagi peneliti (farmasis): hasil dari penelitian ini dapat menggambarkan faktor
apa saja yang berperan dalam pengobatan ARV, baik dari faktor pendukung
maupun penghambatnya. Dari data tersebut farmasis dapat mencari celah
untuk ikut berperan aktif dalam mendulung pengobatan pasien HIV/AIDS,
karena dalam pengobatan ARV yang dijalani seumur hidup dibutuhkan
komitmen untuk patuh dari pasien.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kepatuhan
Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah keadaan di mana pasien
melakukan pengobatan yang dianjurkan dengan patuh atas kehendak dan
kesadaran pasien sendiri (Kemenkes RI, 2011). Menurut kamus Oxford,
kepatuhan (compliance) merupakan tindakan mematuhi suatu aturan atau
permintaan yang dibuat oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri (Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Curent English). Kepatuhan (adherence, yang
sering digunakan bergantian dengan compliance) dapat pula diartikan sebagai
kemauan dan kemampuan untuk mematuhi regimen terapi yang diresepkan
(Inkster, 2006). Kebalikan dari kepatuhan, sebuah ketidakpatuhan terjadi ketika
seorang pasien merubah perilakunya (yang terkait kesehatan) menjadi tidak sesuai
dengan kesepakatan bersama petugas pemberi layanan kesehatan (Jin dkk, 2008).
Berikut merupakan tipe ketidakpatuhan yang sering dilakukan oleh pasien:
6
a. Tidak menebus resep yang diterima
b. Menggunakan obat dengan dosis yang salah
c. Menggunakan obat pada waktu yang salah
d. Menambah atau mengurangi frekuensi atau dosis pengobatan
e. Menghentikan pengobatan terlalu dini
f. Menunda menghubungi penyedia layanan kesehatan
g. Tidak melakukan pemeriksaan rutin
h. Tidak mengikuti instruksi dokter
i. Sempat menghentikan pengobatan, kemudian memulai kembali
j. Patuh saat mendekati waktu kontrol rutin saja
(Jin dkk, 2008)
Pada kasus HIV sendiri, di mana regimen terapi ARV sangatlah kompleks,
tercapainya tujuan terapi sangat dipengaruhi oleh kepatuhan dari pasien.
Penggunaan regimen terapi ARV yang tidak teratur, terputus-putus, dan terjadinya
underdose sangat mendukung terjadinya resistensi (DD, 1996). Kurangnya
kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan ARV dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain kelupaan, kurangnya motivasi dan timbulnya efek
samping obat (Morse dkk, 1991). Pencapaian outcome terapi ARV yang
diharapkan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain aksesibilitas ARV terhadap
pasien, serta kepatuhan yang sempurna atau hampir sempurna dari semua dosis
ARV yang diberikan (Friedland dkk, 2001).
Di negera berkembang, kepatuhan penggunaan ARV merupakan
permasalahan utama (Friedland dkk, 2001). Kepatuhan pada terapi ARV akan
7
sangat mendukung proses supresi virologis, di mana setidaknya 95% dari semua
dosis tidak boleh terlupakan (Kemenkes RI, 2011). Dari sebuah penelitian,
diperoleh beberapa penyebab pasien HIV kurang patuh dalam meminum obat
ARV yaitu kelupaan, tertidur ketika waktu minum obat, sedang bepergian jauh,
perubahan rutinitas harian, terlalu sibuk untuk minum obat, merasa sakit (akibat
efek samping), serta perasaan depresi (Hecth, 1997). Untuk itulah perlu adanya
kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien untuk memberikan
motivasi sehingga membantu pasien patuh dalam minum obat. Tiga langkah yang
harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien yaitu:
a. Memberikan informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,
kemungkinan munculnya efek samping, serta konsekuensi dari
ketidakpatuhan dalam pengobatan.
b. Konseling kepada pasien untuk mengeksplorasi tentang kesiapan dan
permasalahan dalam pengobatan yang dilakukan.
c. Diskusi antara petugas dan pasien untuk mencari penyelesaian
permasalahan dan membuat rencana terapi yang praktis.
(Kemenkes RI, 2011)
2. HIV
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu
virus penyebab AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome. HIV termasuk
ke dalam genus Lentivirus, yang mana termasuk ke dalam famili Retroviridae
(Thormar, 2013). Infeksi virus tersebut pada manusia akan menyebabkan
8
menurunnya sistem imun secara progresif yang menjadi penyebab terjadinya
berbagai macam infeksi oleh agen oportunistik, bahkan akan berlanjut ke
kematian akibat infeksi tersebut (Yengkopiong dkk, 2013). Rute utama penularan
dan infeksi HIV antara lain hubungan seksual yang tidak terlindungi, jarum suntik
yang terkontaminasi, transfer ASI dan ibu ke anaknya dan transmisi ke janin (Luo
dkk, 2013). Penularan infeksi HIV mayoritas disebabkan oleh hubungan seksual
yang tidak aman (Hu dkk, 1998).
Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV tipe 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2).
Infeksi HIV-1 dan HIV-2 banyak di temukan di Afrika Tengah dan Afrika Barat.
Infeksi HIV-1 tersebar luas di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 baru ditemukan
pada beberapa orang di Afrika Barat (Clavel F dkk, 1986 dan De Cock dkk,
1993).
Mekanisme infeksi imunopatogenik HIV ke tubuh manusia sangatlah
kompleks dan multifasik. Segera setelah HIV masuk ke tubuh manusia, virus
tersebut segera disebarkan ke seluruh tubuh, dan jaringan limfoid merupakan
jaringan yang paling banyak diinfeksi oleh HIV (Fauci, 1993). Selain menjadi
tempat penyimpanan utama bagi HIV, jaringan limfoid juga merupakan tempat
replikasi virus, bahkan pada awal infeksi, atau selama periode laten. Adanya
replikasi virus tersebut ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 sel T (Pantaleo
dkk, 1993). Transmisi HIV diketahui paling banyak melalui membran mukosa,
seperti mukosa anorektal atau vagina; dapat pula melalui jalur parenteral seperti
penggunaan jarum suntik yang bergantian pada pecandu narkoba (Dandekar dkk,
2008).
9
Secara klinis, infeksi HIV dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama
disebut infeksi akut. Pada tahap ini terjadi penyebarluasan virus di dalam tubuh,
yang terjadi selama 1-4 minggu pertama setelah infeksi. Respon imun tubuh akan
terinduksi, kemudian akan timbul gejala-gejala klinis yang terkait dengan infeksi
primer. Tahap ini ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 T sel, serta kenaikan
nilai viral copy dalam plasma akibat tingginya produksi virus. Pasien yang
terinfeksi kemudian masuk ke tahap kedua, yaitu memasuki periode laten atau
tahap kronis infeksi HIV. Lamanya periode laten dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya yaitu usia. Selama periode laten, HIV mulai aktif dalam
organ limfoid, dimana virus dalam jumlah besar berada dalam jaringan dendritik
sel folikuler. Jaringan sekitar organ limfoid akan terinfeksi dan virus akan
terakumulasi dalam jaringan tersebut sebagai virus bebas. Tahap terakhir dari
infeksi HIV adalah AIDS yang ditandai dengan infeksi oportunistik akibat
kerusakan sistem imun. Hal ini disebabkan oleh jumlah CD4 sel T yang menurun
dan semakin meningkatnya aktivitas virus (De Biasi dkk, 2011).
3. AIDS
AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah kumpulan infeksi
oportunistik akibat semakin rendahnya jumlah sel T CD4 dalam jaringan limfoid
yang melemahkan sistem imun pasien HIV. Pada pasien HIV dengan infeksi
oportunistik, selain penggunaan ARV, pasien juga harus menggunakan obat-obat
antiinfeksi/antibakteri lainnya untuk mengatasi infeksi yang diderita pasien.
10
Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita oleh pasien HIV yaitu
disfagia, limfadenopati, diare kronik, gangguan pernafasan, masalah neurologis,
dll. Tatalaksana terapi pasien HIV dengan penyakit infeksi tertentu memerlukan
obat antiinfeksi lain untuk mengatasinya. Sebab, penyebab kematian pada pasien
HIV bukan HIV itu sendiri, melainkan penyakit infeksi yang menyertainya
(Kemenkes RI, 2011).
Patogenensis infeksi HIV memiliki perbedaan antar usia (anak dan
dewasa), yang ditandai dengan lebih tingginya kadar muatan virus serta
progresifitas penyakit. Pada anak, sistem imun masih belum matang. Progersi
infeksi HIV pada bayi dan anak tidak dapat ditentukan dengan pasti, sekitar 1520% anak memiliki perjalanan penyakit yang cepat dengan AIDS dan kematian di
dalam empat tahun pertama (Notoatmodjo, 2010).
Infeksi bakteri pada saluran pernafasan merupakan salah satu penyebab
utama masalah saluran pernafasan pada pasien yang positif HIV. Communityacquired pneumonia (CAP) merupakan penyebab keparahan yang paling sering
muncul dari infeksi HIV, dan berhubungan dengan meningkatnya kematian pada
pasien HIV positif. Selain pneumonia, Tuberculosis (TB) menjadi salah satu
penyakit yang memperparah dan menyebabkan kematian pada pasien yang
terinfeksi HIV, di mana TB paru merupakan infeksi akibat mikobakteri yang
paling sering muncul. Pada infeksi jamur, Pneumocystis pneumonia akibat dari
jamur Pneumocystis jiroveci, masih menjadi penyebab utama infeksi oportunistik
pada pasien HIV. Selain itu, untuk virus yang sering menyebabkan infeksi
11
oportunistik pada pasien HIV adalah Cytomegalovirus (CMV) yang merupakan
agen penyebab viral pneumonia (Ciledag dkk, 2011).
Selama satu dekade pertama sejak HIV/AIDS menjadi epidemi,
perkembangannya
di
bidang
kesehatan
semakin
meningkat,
meliputi
berkembangnya pengenalan terhadap proses infeksi oportunistik, termasuk
komplikasi akut dan kronis, serta pengenalan terhadap agen-agen kemoprofilaksis.
Pada dekade kedua, kemajuan HIV/AIDS di bidang kesehatan semakin pesat, di
mana highly active antiretroviral therapies (HAART) berkembang, serta semakin
berkembang pula pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik. HAART
mengurangi jumlah kejadian infeksi oportunistik dan meningkatkan angka
harapan hidup pasien HIV/AIDS (Masur dkk, 2002).
4. ARV
Terapi ARV atau antiretroviral merupakan agen yang secara langsung
mempengaruhi siklus replikasi HIV, yang ditujukan untuk mengurangi jumlah
virus dari tubuh pasien. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat ARV
dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NRTI), Nonnucleoside-Based Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan
Protease Inhibitor (PI) (Schooley, 2004).
Obat ARV golongan NRTI, seperti Zidovudine dan analog nukleosida
lainnya, bekerja sebagai inhibitor kompetitif enzim reverse transcriptase pada
HIV, sehingga menghambat replikasi virus tersebut. Analog nukleosida ditangkap
oleh sel yang rentan diserang HIV, kemudian terfosforilasi oleh kinase menjadi
12
turunan trifosfat. Nukleotida (turunan trifosfat) tersebut kemudian dimasukkan
sebagai template RNA dari HIV oleh enzim reverse transcriptase sehingga
terbentuk DNA komplementer yang berbeda dari DNA HIV. DNA yang berbeda
inilah yang menyebabkan penghentian proses transkripsi dan pencegahan terhadap
proses elongasi. Pada jenis Tenofovir, zat aktif sudah dalam bentuk nukleotida,
sehingga tidak perlu dilakukan fosforilasi. Contoh obat yang termasuk golongan
ini adalah Zidovudine, Zalcitabine, Didanosine, Stavudin, Lamivudin, Abacavir
dan Tenofovir (Schooley, 2004).
Mekansme kerja golongan NNRTI tidak begitu berbeda dengan golongan
NRTI. Kombinasi antara NNRTI dan NRTI memberikan aktivitas antiretroviral
yang sinergis. Obat ARV yang masuk pada golongan ini antara lain Nevirapine,
Delavirdine, dan Efavirenz. ARV golongan Protease Inhibitor (PI) bekerja
dengan menghambat enzim protease yang berfungsi dalam proses cleavage
(pembelahan) sel virus. Contoh obat yang masuk golongan ini antara lain
Saquinavir, Ritonavir, Indinavir, Nelfinavir, Amprenavir, Lopinavir, dan
Atazanavir (Schooley, 2004).
Inisisasi terapi ARV ditentukan dengan mengukur derajat dan kecepatan
perkembangan kerusakan sistem imun (Schooley, 2004). Pelaksanaan terapi ARV
di Indonesia, berdasarkan Pedoman Tatalaksana Klinik Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa tahun 2011, dimulai setelah dilakukan
pemeriksaan terhadap jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinik
infeksi HIV pada pasien. Ketika tidak terdapat pemeriksaan terhadap jumlah CD4,
maka terapi ARV dimulai berdasar pada penilaian klinis saja. Apabila tersedia
13
pemeriksaan CD4, maka terapi ARV dimulai pada semua pasien dengan jumlah
CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya; serta dianjurkan untuk
semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4 (Kemenkes RI, 2011).
Terapi ARV di Indonesia diberikan dalam paduan beberapa jenis obat.
Penetapan paduan obat pada terapi ARV harus didasarkan pada efektivitas, efek
samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, serta harga obat. Pada tahap awal
pengobatan, pasien HIV diberikan terapi ARV lini pertama. Paduan obat ARV lini
pertama berupa 2 NRTI + 1 NNRTI. Paduan obat untuk terapi ARV lini pertama
dimulai dengan salah satu opsi dari paduan berikut:
Tabel I. Daftar paduan obat ARV untuk terapi lini pertama (Kemenkes RI, 2011)
AZT + 3TC + NVP
ATAU
Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine
AZT + 3TC + EFV
ATAU
Zidovudine + Lamivudine + Evafirenz
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
ATAU
Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz
Pasien yang menjalani terapi ARV lini pertama dapat mengalami kondisi
yang disebut dengan gagal terapi. Gagal terapi merupakan kondisi dimana tidak
terjadi respon terapi ARV yang diharapkan setelah pasien memulai terapi minimal
6 bulan dengan kepatuhan yang cukup tinggi (Kemenkes RI, 2011). Pada kondisi
gagal terapi, produksi virus akan meningkat sehingga viral load juga akan
bertambah.
14
Menurut WHO, terdapat dua kriteria gagal terapi, yaitu kegagalan klinis
dan kegagalan imuologis. Pada kegagalan klinis, infeksi oportunistik akan muncul
pada kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan terapi ARV. Penyakit yang
termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi bakteri berat) dapat menjadi
petunjuk adanya kegagalan terapi. Sementara kegagalan imunologis adalah
kegagalan dalam mencapai atau mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat
walaupun jumlah virus (viral load) sudah tertekan (Kemenkes RI, 2011).
Pada kasus gagal terapi, maka pasien HIV direkomendasikan untuk
mengganti pengobatan sebelumnya dengan paduan obat lini kedua. Rekomendasi
paduan lini kedua yaitu 2 NRTI + boosted-PI. Boosted PI merupakan golongan
Protease Inhibitor yang sudah ditambah (boost) dengan Ritonavir, dan biasa
ditulis dengan symbol /r (LPV/r = Lopinavir/ritonavir). Penggunaan booster
dimaksudkan untuk mengurangi dosis penggunaan PI yang sangat besar bila
digunakan tanpa ritonavir. Sedangkan paduan lini kedua yang disediakan gratis
oleh pemerintah yaitu TDF atau AZT + 3TC + LPV/r (Tenofovir atau Zidovudine
+ Lamivudine + Lopinavir/ritonavir) (Kemenkes RI, 2011).
4.1. Zidovudine
Zidovudine, disebut juga AZT, termasuk ke dalam golongan NRTI.
Zidovudine merupakan analog timidine, di mana pada bagian 3-hidroksil
digantikan dengan kelompok azido (Gennaro, 1995). Dosis AZT untuk
dewasa yang dianjurkan yaitu 500 – 600 mg per hari, dibagi dalam dua
dosis. Pada tahun 2011, tersedia zidovudine dalam bentuk tablet
15
effervescent yang telah disetujui oleh Food and Drug Association (FDA).
Di Indonesia, zidovudine tersedia dalam bentuk kombinasi bersama
Lamivudine (300 mg Zidovudine + 150 mg Lamivudine), yaitu Duviral®
dari Kimia Farma atau Combivir® dari GSK (Spirita, 2013a).
Efek samping dari zidovudine terkadang tidak dapat dibedakan dari
kenampakan akibat infeksi virus HIV (Styrt dkk, 1996). Efek samping dari
zidovudine sering timbul pada saat pertama kali pemakaian, dan efek
tersebut hanya bersifat sementara. Efek samping yang sering dirasakan
antara lain sakit kepala, darah tinggi, atau seluruh badan terasa tidak enak.
Efek samping tersebut akan menghilang seiring berjalannya wktu. Namun
pada beberapa pasien, efek mual, muntah, sakit kepala, dan kelelahan terus
dirasakan (Spirita, 2013a). Efek lain yang jarang muncul, tapi cukup berat,
yaitu anemia dan meningkatnya enzim hati. Namun efek tersebut bersifat
reversibel, dan akan kembali normal beberapa saat setelah pemakaian
zidovudine dihentikan (Jacobson dkk, 1996). Kombinasi Zidovudine
(AZT), Lamivudine (3TC), dan Nevirapine (NVP) merupakan pilihan
utama untuk terapi ARV lini pertama. Zidovudine dapat menyebabkan
anemia, oleh karena itu pasien dianjurkan untuk rutin memantau kadar
Haemoglobin. Namun zidovudine lebih disukai daripada stavudin karena
efek lipoatrofi, asidosis laktat, neuropati perifer yang sering timbul akibat
penggunaan stavudin (Depkes RI, 2007).
16
4.2. Lamivudine
Lamivudine, disebut juga 3TC, merupakan ARV golongan NRTI
yang menghambat enzim reverse transcriptase. Pada sebuah studi in vitro
menggunakan enzim cytochrome P450 (CYP450) menunjukkan bahwa
lamivudine memiliki kemungkinan yang kecil untuk berinteraksi pada fase
metabolisme dengan obat-obat lain (Johnson dkk, 1999).
Lamivudine tersedia dalam bentuk tunggal maupun kombinasi
bersama zidovudine. Lamivudine 150 mg diberikan setiap 12 jam,
sedangkan untuk lamivudine 300 mg diberikan setiap 24 jam (Kemenkes
RI, 2011). Salah satu contoh lamivudine sediaan tunggal yaitu Hiviral®
dari Kimia Farma, sedangkan untuk kombinasi bersama zidovudine yaitu
Duviral® (Kimia Farma) dan Combivir® (Glaxo Smith Kline).
Lamivudine juga digunakan pada pasien HIV yang memiliki koinfeksi
Hepatitis B karena lamivudine memiliki aktivitas terhadap virus Hepatitis
B (HBV) dan HIV. Pada pengobatan koinfeksi Hepatitis B, digunakan
kombinasi tenofovir (TDF) dan lamivudine atau emtricitabine (FTC).
Efek samping yang sering muncul pada penggunaan lamivudine
adalah mual, muntah, kelelahan, dan sakit kepala (Spiritia, 2013b). Efek
samping lain yang jarang terjadi antara lain asidosis laktat dengan stenosis
hepatitis, serta kerontokan rambut (DepKes RI, 2007) (Spiritia, 2013b).
Pada penggunaan awal, mungkin akan muncul efek seperti sakit kepala,
tekanan darah tinggi, dan tidak enak badan. Namun efek-efek tersebut
hanya mucul sementara, lambat laun hilang dan membaik (Spiritia, 2013b).
17
Pada pasien dengan masalah pada ginjal, lamivudine diberikan
dalam dosis yang lebih rendah. Lamivudine serupa dengan emtricitabine,
oleh karena itu penggunaan keduanya secara bersama-sama sebaiknya
dihindari karena tidak memiliki manfaat. Penggunaan lamivudine bersama
kotrimoxazol perlu dilakukan pemantauan karena kadar lamivudine dalam
darah akan meningkat (Spiritia, 2013b).
4.3. Nevirapine
Nevirapine (NVP), merupakan ARV yang termasuk ke dalam
golongan NNRTI yang memiliki aktifitas melawan virus HIV-1.
Nevirapine akan secara langsung berikatan dengan enzim reverse
transcriptase dan menghambat aktifitas DNA polimerase tipe RNA
dependent dan DNA dependent dengan merusak sisi katalistik enzim
tersebut. Nevirapine tidak bersifat kompetitif terhadap nukleosida
trifosfatase, HIV-2 reverse transkirptase dan eukariotik DNA polimerase
tidak bisa dihambat oleh nevirapine (Dept. Of Health and Ageing, 2012).
Bersama zidovudine dan lamivudine, nevirapine menjadi first line
untuk terapi ARV lini pertama. Dosis awal untuk memulai terapi
nevirapine yaitu 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama, bersama
zidovudine atau tenofovir + lamivudine. Setelah penggunaan tersebut,
diamati apakah terdapat tanda toksisitas hati. Pada 14 hari pemakaian,
nevirapine akan menginduksi metabolismenya sendiri sehingga dimulai
dengan dosis kecil terlebih dahulu. Dosis permulaan tersebut juga
18
dimaksudkan untuk mengurangi risiko ruam dan hepatitis yang muncul
dini. Bila tidak ditemukan tanda-tanda toksisitas hati, dosis dapat
dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam (Kemenkes RI 2011).
Efek samping yang sering muncul dari pemakaian nevirapine yaitu
hepatotoksis, Steven-Johnson syndrome, reaksi hepar atau kulit yang berat.
Ketika penggunaan nevirapine menyebabkan peningkatan > 5 kali dari
baseline, maka penggunaan nevirapine harus dihentikan. Selain itu ketika
muncul Steven-Johnson syndrome, maka penggunaan nevirapine harus
dihentikan dan tidak boleh diulang kembali. Efek samping lain yang sering
muncul yaitu alergi apabila nevirapine digunakan pada wanita dengan
CD4 > 250 dan pria dengan CD4 > 400, sehingga perlu dilakukan
pemantauan ketat pada pemakaiannya (Kemenkes RI, 2011).
4.4. Efavirenz
Efavirenz (EFV) termasuk ke dalam golongan NNRTI, yang
menghambat kerja enzim reverse transcriptase. Kombinasi antara
efavirenz dengan zidovudine, didanosine, atau indinavir menghasilkan
efek inhibisi yang sinergis terhadap HIV-1 (Adkins dan Nooble, 1998).
Efavirenz tidak dianjurkan untuk anak usia di bawah 3 tahun (Spiritia,
2013c).
Di Indonesia, efavirenz tersedia dalam bentuk kaplet 600 mg dan
kapsul 50 mg, 100 mg, 200 mg. Pada dewasa dosis efavirenz yang
dianjurkan yaitu 600 mg, biasa digunakan satu kali sehari sebelum tidur.
19
Salah satu contoh efavirenz yang beredar di Indonesia adalah Efavir® dari
Cipla®.
Peningkatan serum lipid pada penderita HIV sering dikaitkan
dengan penggunaan efavirenz, sehingga terkadang membutuhkan agen
penurun kadar lipid (Gerber dkk, 2005). Efek samping
yang sering
dirasakan ketika awal menggunakan efavirenz antara lain sakit kepala,
tekanan darah tinggi, atau tidak enak badan. Namun efek tersebut akan
hilang dan membaik. Efek samping yang sering dirasakan oleh pasien HIV
antara lain pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung, halusinasi, agitasi,
susah konsentrasi, insomnia, depresi, skizofrenia, mimpi buruk (Spiritia,
2013c) (Kemenkes RI, 2011). Pasien biasanya memilih minum efavirenz
tepat sebelum tidur untuk menghindari rasa pusing yang biasanya segera
mucul setelah minum efavirenz. Peneitian terhadap kera menunjukkan
bahwa penggunaan efavirenz pada wanita hamil dapat menyebabkan
kelahiran cacat. Pasien HIV yang menggunakan efavirenz dapat
menunjukkan hasil positif palsu pada tes ganja atau obat golongan
benzodiazepine
(Spiritia,
2013c).
Efavirenz,
kombinasi
bersama
zidovudine atau stavudine dan lamivudine merupakan obat pilihan untuk
penderita HIV dengan koinfeksi TB (Kemenkes RI, 2011).
5. Health belief model (HBM)
Health Belief Model (HBM) merupakan sebuah teori tentang faktor-faktor
intrapersonal yang berpengaruh terhadap health behavior yang kemudian
20
digunakan dalam penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi
maupun prefensi (Burke, 2013). Konsep dasar dari teori HBM yaitu persepsi
individu tentang penyakit yang diderita, serta keyakinan individu terhadap cara
untuk meringankan penyakit tersebut (Hochbaum, 1958). Pada HBM, perubahan
sikap terhadap kesehatan didasari oleh tiga hal yang muncul pada waktu yang
bersamaan, yaitu:
a. Individu tersebut menemukan bahwa ada alasan untuk fokus terhadap
masalah kesehatannya
b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan serta efek negatif dari penyakit
yang diderita
c. Individu tersebut menyadari bahwa perubahan perilaku dapat bermanfaat
untuk kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih cost
effective
(Burke, 2013)
Namun, ketiga hal tersebut juga dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap
ancaman dari penyakit, serta harapan untuk sembuh; yang juga secara tidak
langsung dapat mempengaruhi seorang individu untuk mengambil sikap
protective health behavior (Redding dkk, 2000).
Teori HBM menjelaskan ketiga hal di atas menjadi enam poin pentng,
yaitu perceived susceptibility (persepsi akan kerentanan), perceived severity
(persepsi akan keparahan), perceived barriers (persepsi akan penghalang),
perceived benefits (persepsi akan manfaat), cues to action (isyarat untuk
melakukan tindakan), dan self efficacy (kepercayaan diri untuk bertindak).
21
a. Perceived susceptibility
Susceptibility atau kerentanan, memiliki maksud seberapa besar
kerentanan individu terhadap suatu kondisi. Persepsi terhadap sebuah
kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong individu untuk
berlaku lebih sehat. Semakin kuat persepsi individu akan kerentanannya
terhadap suatu penyakit, maka semakin besar pula tindakan individu untuk
mengurangi risiko terkena suatu penyakit; begitu juga sebaliknya (de Wit
dkk, 2005; Rose 1995). Sebagai contoh, individu yang merasa rentan
terinfeksi HIV akan menggunakan kondom untuk mengurangi risiko
penularan HIV.
b. Perceived severity
Perceived severity merupakan persepsi individu akan keparahan
dari kondisi yang diderita dan bagaimana akibatnya pada kehidupan individu
tersebut (Hochbaum, 1958). Individu akan mengambil tindakan untuk
mencegah infeksi HIV ketika individu tersebut mengerti efek negatif yang
akan dia rasakan ketika terinfeksi HIV.
c. Perceived benefits
Perceived benefits merupakan persepsi individu tentang manfaat
yang dia peroleh dari perilaku baru yang dia lakukan untuk mengurangi
risiko perkembangan suatu kondisi, terutama penyakit. Persepsi akan
manfaat dari suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dapat
menjadikannya sebagai motivasi untuk tetap melakukan tindakan tersebut
(Redding dkk, 2000). Sebagai contoh, individu yang memiliki persepsi
22
bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan kondom dengan pencegahan
terhadap infeksi HIV, akan lebih memilih untuk tidak menggunakan
kondom karena individu tersebut percaya bahwa kondom tidak dapat
mencegah penularan HIV.
d. Perceived barriers
Perceived barriers merupakan penghalang, dapat pula kelemahan,
yang dirasakan oleh individu atas perubahan perilaku kesehatan yang
dijalaninya. Misal pada penggunaan kondom, seseorang merasa kurang
nyaman dalam menggunakannya, sehingga individu tersebut menjadi enggan
untuk menggunakan kondom kembali.
e. Cues to action
Cues to action merupakan stimulus yang mendorong individu
untuk menjalani perubahan perilakunya, terutama yang terkait masalah
kesehatan. Stimulus tersebut dapat berasal dari diri individu itu sendiri,
maupun dari luar individu. Pada kasus pencegahan penularan HIV dengan
menggunakan kondom, stimulus internal dapat berupa keinginan diri sendiri
untuk tetap sehat, sedangkan stimulus eksternal dapat berupa semangat dan
himbauan dari pasangan untuk tetap menggunakan kondom.
f. Self efficacy
Self efficacy merupakan kepercayaan diri individu bahwa dia
memiliki keyakinan dan kemampuan untuk tetap menjalani perubahan
perilaku kesehatan. Self
efficacy
merupakan kunci dari kelima faktor
23
lainnya karena komitmen dari pribadi individu sangatlah diperlukan untuk
menjaga perilaku sehat yang harus dijalani individu tersebut ke depannya.
Hubungan dari keenam faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Faktor Modifikasi
Umur
Jenis Kelamin
Etnis
Kepribadian
Sosisoekonomi
Pengetahuan
Individual Beliefs
Perceived
susceptibility dan
perceived severity
Perceived benefits
Perceived
barriers
Tindakan
Perceived
threat
Perilaku
individu
Cues to
action
Perceived selfefficacy
Gambar 1. Hubungan Antarvariabel pada Health Belief Model (Glanz dkk, 2008)
a. Faktor modifikasi
Faktor modifikasi, terdiri atas pengetahuan dan faktor sosiodemografi,
berpengaruh pada persepsi individu terkait kesehatan, dan mungkin secara
tidak langsung mempengaruhi perubahan perilaku terkait kesehatan. Sebagai
contoh, jenis kelamin seseorang dapat menjadikannya lebih berisiko
menderita suatu peyakit, seperti kanker serviks yang hanya diderita oleh
kaum perempuan (Glanz dkk, 2008).
24
b. Individual beliefs
Kolom individual beliefs terdiri dari komponen utama teori HBM, yaitu
perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived
barriers, dan perceived self-efficacy. Perceived threat (persepsi akan
ancaman) merupakan kombinasi antara perceived susceptibility dan
perceived severity (Glanz dkk, 2008). Individual beliefs menjelaskan secara
langsung apa yang individu percaya dan pengetahuannya tentang suatu
kondisi serta perilaku yang akan mempengaruhi kondisi tersebut (Burke,
2013). Setiap individu memiliki persepsi tersendiri akan kondisi yang
dirasakannya, persepsi itulah yang akan mempengaruhi tindakan yang akan
diambilnya untuk memperbaiki kondisi tersebut. Namun tindakan yang
diambil juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang pada tabel tersebut
disebut faktor modifikasi.
c. Tindakan
Ketika individu sudah merasa waspada akan perkembangan kondisinya
(penyakit) bila tidak adanya perubahan perilaku, maka individu tersebut
akan merubah perilakunya terkait kesehatan. Perubahan perilaku kesehatan
tersebut dipengaruhi oleh persepsi-persepsi yang ada dalam kolom
individual beliefs, serta cues to action (dorongan untuk bertindak).
25
F. Kerangka Konsep Penelitian
Dari data penelitian yang diperoleh, kerangka konsep untuk faktor
pendukung dan penghambat penggunaan ARV lini pertama dijelaskan dalam
Gambar 2.
Faktor Modifikasi
Karakteristik
Responden
Jenis Kelamin
Usia
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Lama Positif HIV
Lama Terapi ARV
Individual Beliefs
Perceived
susceptibility dan
perceived severity
Perceived
threat
Perceived benefits
Perceived
barriers
Tindakan
Kepatuhan
penggunaan
ARV Llini
pertama
Cues to
action
Perceived selfefficacy
Gambar 2. Kerangka konsep penelitian faktor pendukung dan penghambat penggunaan
ARV lini pertama
G. Keterangan Empiris
Dari teori Health Belief Model tersebut, keterangan empiris yang diperoleh
dari penelitian ini adalah persepsi akan keparahan HIV/AIDS; persepsi akan
kerentanan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, dorongan untuk bertindak serta
keyakinan diri dalam penggunaan ARV menjadi faktor-faktor pendukung maupun
penghambat dalam penggunaan ARV.
Download