BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh dunia dewasa ini. Pandemi HIV juga dikatakan sebagai permasalahan kesehatan masyarakat yang paling menarik pasca Perang Dunia II, di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS) menyebutkan bahwa sekitar 5 juta orang baru terinfeksi HIV selama tahun 2001 dan sekitar 3 juta meninggal karena AIDS di seluruh dunia (Fleming, 2004). Sementara itu, epidemi HIV/AIDS di Asia sendiri menunjukkan keanekaragaman yang tinggi, baik dari tingkat keparahan maupun lama terinfeksi. Epidemi HIV/AIDS di Asia masih jauh dari kata selesai; bahkan Indonesia, China, dan Vietnam memiliki kenaikan jumlah infeksi (Ruxrungtham dkk, 2004). Di Indonesia, pengamatan terhadap HIV baru di mulai tahun 1988 dengan dua daerah pengamatan, yaitu Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1989, Bali dan Yogyakarta juga menjadi daerah pengamatan, kemudian daerah pengamatan HIV di Indonesia semakin diperluas. Dari data yang diperoleh hingga tahun 2001, diketahui bahwa dari tahun 1987 hingga 2000, ditemukan 5.056 kasus AIDS di Indonesia, dan 3.856 orang meninggal akibat AIDS di Indonesia (Hugo, 2001). 1 2 Data terbaru dari Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI (yang dilaporkan 1 Januari s.d. 30 Juni 2013) menunjukkan jumlah penderita HIV positif sebanyak 10.210 penderita dan penderita AIDS sebanyak 780 penderita. Sedangkan jumlah penderita HIV dan AIDS secara kumulatif sejak 1 April 1987 sampai 30 Juni 2013 yaitu 108.600 penderita HIV positif, 43.667 penderita AIDS dan 8.340 kematian. Dari jumlah kumulatif sejak 1 April 1987 hingga 30 Juni 2013, D.I Yogyakarta menempati urutan 14 dari 33 propinsi yang tercatat, dengan jumlah penderita HIV sebanyak 1.693 dan penderita AIDS sebanyak 782. Sedangkan dari data Prevalensi Kasus AIDS per 100.000 Penduduk dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, D. I Yogyakarta menempati urutan ke 7 dari 33 propinsi dengan prevalensi kasus sebesar 26,42 (Spiritia, 2013). Sampai saat ini, belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV. Obat yang tersedia untuk penderita HIV/AIDS hingga saat ini adalah Anti Retroviral (ARV) yang berfungsi mengurangi viral load atau jumlah virus dalam tubuh penderita. Pengobatan ARV terbukti berperan dalam pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah replikasi virus yang secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah (Kemenkes RI, 2011). Dengan rendahnya jumlah virus, diharapkan dapat tetap mempertahankan imunitas dari penderita. Menurut pedoman WHO, penderita HIV/AIDS dapat memulai terapi ARV atau Anti Retroviral Teraphy (ART) sebelum jumlah CD4 di bawah 350. Terapi dengan obat ARV terdiri dari gabungan beberapa golongan obat ARV, dan biasanya terdiri dari tiga obat atau biasa disebut triple therapy, atau 3 sering disebut pula sebagai Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) (WHO, 2010). Di Indonesia sendiri, obat ARV bisa didapatkan secara gratis sejak tahun 2006, dan dapat diakses di 25.384 pemberi layanan HIV (UNESCO, 2010). Terapi HIV/AIDS dengan ARV dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu lini pertama dan lini kedua. Terapi ARV lini pertama merupakan terapi ARV yang diberikan kepada pasien HIV/AIDS untuk pertama kalinya ketika jumlah CD4 kurang dari 350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Sementara terapi ARV lini kedua merupakan terapi ARV yang dilakukan apabila terjadi gagal terapi pada penggunaan kombinasi obat ARV lini pertama (Kemenkes RI, 2011). Terapi ARV harus dijalani seumur hidup oleh pasien HIV/AIDS untuk tetap mempertahankan imunitas pasien. Oleh karena itu penggunaan ARV memerlukan kepatuhan yang tinggi untuk mencapai keberhasilan terapi dan mencegah resistensi (Bachmann, 2006). Penggunaan obat ARV yang dilakukan dalam jangka waktu sangat panjang, bahkan seumur hidup, serta masih terdapatnya stigma negatif terhadap pasien HIV/AIDS memberikan tanggung jawab pemberi layanan kesehatan untuk memberikan fasilitas lain yang mendukung pengobatan pasien HIV/AIDS sendiri, terutama dalam monitoring kepatuhan pasien dalam menggunakan obat. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV lini pertama di DIY dan menganalisis faktor yang menjadi penghambat dan pendukung perilaku kepatuhan pada pasien tersebut sehingga 4 dapat menjadi acuan pemberi pelayanan kesehatan dalam mendorong kepatuhan pasien HIV/AIDS untuk rutin menggunakan obat ARV. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan obat Anti Retroviral (ARV) lini pertama? 2. Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat dan pendukung kepatuhan penggunaan obat ARV lini pertama bagi penderita HIV/AIDS? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS di DIY dalam menggunakan obat ARV. 2. Mengetahui faktor penghambat dan pendukung terhadap kepatuhan penggunaan obat ARV. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi responden dan masyarakat: penelitian ini memberikan informasi kepada masyarakat bahwa stigma negatif terkait HIV/AIDS yang beredar selama ini tidak sepenuhnya benar. Masyarakat tidak perlu mendiskriminasikan para ODHA, bahkan masyarakat dapat ikut mendukung terapi ARV yang dijalani ODHA, karena ODHA juga bagian dari kehidupan sosial kita. 2. Bagi LSM Victory Plus: dapat memberikan gambaran kepada para pendukung sebaya terkait faktor pendukung dan penghambat dalam 5 pengobatan ARV sehingga dapat membantu dalam proses pendampingan terhadap ODHA. 3. Bagi peneliti (farmasis): hasil dari penelitian ini dapat menggambarkan faktor apa saja yang berperan dalam pengobatan ARV, baik dari faktor pendukung maupun penghambatnya. Dari data tersebut farmasis dapat mencari celah untuk ikut berperan aktif dalam mendulung pengobatan pasien HIV/AIDS, karena dalam pengobatan ARV yang dijalani seumur hidup dibutuhkan komitmen untuk patuh dari pasien. E. Tinjauan Pustaka 1. Kepatuhan Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah keadaan di mana pasien melakukan pengobatan yang dianjurkan dengan patuh atas kehendak dan kesadaran pasien sendiri (Kemenkes RI, 2011). Menurut kamus Oxford, kepatuhan (compliance) merupakan tindakan mematuhi suatu aturan atau permintaan yang dibuat oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Curent English). Kepatuhan (adherence, yang sering digunakan bergantian dengan compliance) dapat pula diartikan sebagai kemauan dan kemampuan untuk mematuhi regimen terapi yang diresepkan (Inkster, 2006). Kebalikan dari kepatuhan, sebuah ketidakpatuhan terjadi ketika seorang pasien merubah perilakunya (yang terkait kesehatan) menjadi tidak sesuai dengan kesepakatan bersama petugas pemberi layanan kesehatan (Jin dkk, 2008). Berikut merupakan tipe ketidakpatuhan yang sering dilakukan oleh pasien: 6 a. Tidak menebus resep yang diterima b. Menggunakan obat dengan dosis yang salah c. Menggunakan obat pada waktu yang salah d. Menambah atau mengurangi frekuensi atau dosis pengobatan e. Menghentikan pengobatan terlalu dini f. Menunda menghubungi penyedia layanan kesehatan g. Tidak melakukan pemeriksaan rutin h. Tidak mengikuti instruksi dokter i. Sempat menghentikan pengobatan, kemudian memulai kembali j. Patuh saat mendekati waktu kontrol rutin saja (Jin dkk, 2008) Pada kasus HIV sendiri, di mana regimen terapi ARV sangatlah kompleks, tercapainya tujuan terapi sangat dipengaruhi oleh kepatuhan dari pasien. Penggunaan regimen terapi ARV yang tidak teratur, terputus-putus, dan terjadinya underdose sangat mendukung terjadinya resistensi (DD, 1996). Kurangnya kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan ARV dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kelupaan, kurangnya motivasi dan timbulnya efek samping obat (Morse dkk, 1991). Pencapaian outcome terapi ARV yang diharapkan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain aksesibilitas ARV terhadap pasien, serta kepatuhan yang sempurna atau hampir sempurna dari semua dosis ARV yang diberikan (Friedland dkk, 2001). Di negera berkembang, kepatuhan penggunaan ARV merupakan permasalahan utama (Friedland dkk, 2001). Kepatuhan pada terapi ARV akan 7 sangat mendukung proses supresi virologis, di mana setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (Kemenkes RI, 2011). Dari sebuah penelitian, diperoleh beberapa penyebab pasien HIV kurang patuh dalam meminum obat ARV yaitu kelupaan, tertidur ketika waktu minum obat, sedang bepergian jauh, perubahan rutinitas harian, terlalu sibuk untuk minum obat, merasa sakit (akibat efek samping), serta perasaan depresi (Hecth, 1997). Untuk itulah perlu adanya kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien untuk memberikan motivasi sehingga membantu pasien patuh dalam minum obat. Tiga langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien yaitu: a. Memberikan informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi, kemungkinan munculnya efek samping, serta konsekuensi dari ketidakpatuhan dalam pengobatan. b. Konseling kepada pasien untuk mengeksplorasi tentang kesiapan dan permasalahan dalam pengobatan yang dilakukan. c. Diskusi antara petugas dan pasien untuk mencari penyelesaian permasalahan dan membuat rencana terapi yang praktis. (Kemenkes RI, 2011) 2. HIV HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus penyebab AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome. HIV termasuk ke dalam genus Lentivirus, yang mana termasuk ke dalam famili Retroviridae (Thormar, 2013). Infeksi virus tersebut pada manusia akan menyebabkan 8 menurunnya sistem imun secara progresif yang menjadi penyebab terjadinya berbagai macam infeksi oleh agen oportunistik, bahkan akan berlanjut ke kematian akibat infeksi tersebut (Yengkopiong dkk, 2013). Rute utama penularan dan infeksi HIV antara lain hubungan seksual yang tidak terlindungi, jarum suntik yang terkontaminasi, transfer ASI dan ibu ke anaknya dan transmisi ke janin (Luo dkk, 2013). Penularan infeksi HIV mayoritas disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman (Hu dkk, 1998). Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV tipe 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2). Infeksi HIV-1 dan HIV-2 banyak di temukan di Afrika Tengah dan Afrika Barat. Infeksi HIV-1 tersebar luas di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 baru ditemukan pada beberapa orang di Afrika Barat (Clavel F dkk, 1986 dan De Cock dkk, 1993). Mekanisme infeksi imunopatogenik HIV ke tubuh manusia sangatlah kompleks dan multifasik. Segera setelah HIV masuk ke tubuh manusia, virus tersebut segera disebarkan ke seluruh tubuh, dan jaringan limfoid merupakan jaringan yang paling banyak diinfeksi oleh HIV (Fauci, 1993). Selain menjadi tempat penyimpanan utama bagi HIV, jaringan limfoid juga merupakan tempat replikasi virus, bahkan pada awal infeksi, atau selama periode laten. Adanya replikasi virus tersebut ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 sel T (Pantaleo dkk, 1993). Transmisi HIV diketahui paling banyak melalui membran mukosa, seperti mukosa anorektal atau vagina; dapat pula melalui jalur parenteral seperti penggunaan jarum suntik yang bergantian pada pecandu narkoba (Dandekar dkk, 2008). 9 Secara klinis, infeksi HIV dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama disebut infeksi akut. Pada tahap ini terjadi penyebarluasan virus di dalam tubuh, yang terjadi selama 1-4 minggu pertama setelah infeksi. Respon imun tubuh akan terinduksi, kemudian akan timbul gejala-gejala klinis yang terkait dengan infeksi primer. Tahap ini ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 T sel, serta kenaikan nilai viral copy dalam plasma akibat tingginya produksi virus. Pasien yang terinfeksi kemudian masuk ke tahap kedua, yaitu memasuki periode laten atau tahap kronis infeksi HIV. Lamanya periode laten dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu usia. Selama periode laten, HIV mulai aktif dalam organ limfoid, dimana virus dalam jumlah besar berada dalam jaringan dendritik sel folikuler. Jaringan sekitar organ limfoid akan terinfeksi dan virus akan terakumulasi dalam jaringan tersebut sebagai virus bebas. Tahap terakhir dari infeksi HIV adalah AIDS yang ditandai dengan infeksi oportunistik akibat kerusakan sistem imun. Hal ini disebabkan oleh jumlah CD4 sel T yang menurun dan semakin meningkatnya aktivitas virus (De Biasi dkk, 2011). 3. AIDS AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah kumpulan infeksi oportunistik akibat semakin rendahnya jumlah sel T CD4 dalam jaringan limfoid yang melemahkan sistem imun pasien HIV. Pada pasien HIV dengan infeksi oportunistik, selain penggunaan ARV, pasien juga harus menggunakan obat-obat antiinfeksi/antibakteri lainnya untuk mengatasi infeksi yang diderita pasien. 10 Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita oleh pasien HIV yaitu disfagia, limfadenopati, diare kronik, gangguan pernafasan, masalah neurologis, dll. Tatalaksana terapi pasien HIV dengan penyakit infeksi tertentu memerlukan obat antiinfeksi lain untuk mengatasinya. Sebab, penyebab kematian pada pasien HIV bukan HIV itu sendiri, melainkan penyakit infeksi yang menyertainya (Kemenkes RI, 2011). Patogenensis infeksi HIV memiliki perbedaan antar usia (anak dan dewasa), yang ditandai dengan lebih tingginya kadar muatan virus serta progresifitas penyakit. Pada anak, sistem imun masih belum matang. Progersi infeksi HIV pada bayi dan anak tidak dapat ditentukan dengan pasti, sekitar 1520% anak memiliki perjalanan penyakit yang cepat dengan AIDS dan kematian di dalam empat tahun pertama (Notoatmodjo, 2010). Infeksi bakteri pada saluran pernafasan merupakan salah satu penyebab utama masalah saluran pernafasan pada pasien yang positif HIV. Communityacquired pneumonia (CAP) merupakan penyebab keparahan yang paling sering muncul dari infeksi HIV, dan berhubungan dengan meningkatnya kematian pada pasien HIV positif. Selain pneumonia, Tuberculosis (TB) menjadi salah satu penyakit yang memperparah dan menyebabkan kematian pada pasien yang terinfeksi HIV, di mana TB paru merupakan infeksi akibat mikobakteri yang paling sering muncul. Pada infeksi jamur, Pneumocystis pneumonia akibat dari jamur Pneumocystis jiroveci, masih menjadi penyebab utama infeksi oportunistik pada pasien HIV. Selain itu, untuk virus yang sering menyebabkan infeksi 11 oportunistik pada pasien HIV adalah Cytomegalovirus (CMV) yang merupakan agen penyebab viral pneumonia (Ciledag dkk, 2011). Selama satu dekade pertama sejak HIV/AIDS menjadi epidemi, perkembangannya di bidang kesehatan semakin meningkat, meliputi berkembangnya pengenalan terhadap proses infeksi oportunistik, termasuk komplikasi akut dan kronis, serta pengenalan terhadap agen-agen kemoprofilaksis. Pada dekade kedua, kemajuan HIV/AIDS di bidang kesehatan semakin pesat, di mana highly active antiretroviral therapies (HAART) berkembang, serta semakin berkembang pula pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik. HAART mengurangi jumlah kejadian infeksi oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup pasien HIV/AIDS (Masur dkk, 2002). 4. ARV Terapi ARV atau antiretroviral merupakan agen yang secara langsung mempengaruhi siklus replikasi HIV, yang ditujukan untuk mengurangi jumlah virus dari tubuh pasien. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat ARV dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI), Nonnucleoside-Based Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan Protease Inhibitor (PI) (Schooley, 2004). Obat ARV golongan NRTI, seperti Zidovudine dan analog nukleosida lainnya, bekerja sebagai inhibitor kompetitif enzim reverse transcriptase pada HIV, sehingga menghambat replikasi virus tersebut. Analog nukleosida ditangkap oleh sel yang rentan diserang HIV, kemudian terfosforilasi oleh kinase menjadi 12 turunan trifosfat. Nukleotida (turunan trifosfat) tersebut kemudian dimasukkan sebagai template RNA dari HIV oleh enzim reverse transcriptase sehingga terbentuk DNA komplementer yang berbeda dari DNA HIV. DNA yang berbeda inilah yang menyebabkan penghentian proses transkripsi dan pencegahan terhadap proses elongasi. Pada jenis Tenofovir, zat aktif sudah dalam bentuk nukleotida, sehingga tidak perlu dilakukan fosforilasi. Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Zidovudine, Zalcitabine, Didanosine, Stavudin, Lamivudin, Abacavir dan Tenofovir (Schooley, 2004). Mekansme kerja golongan NNRTI tidak begitu berbeda dengan golongan NRTI. Kombinasi antara NNRTI dan NRTI memberikan aktivitas antiretroviral yang sinergis. Obat ARV yang masuk pada golongan ini antara lain Nevirapine, Delavirdine, dan Efavirenz. ARV golongan Protease Inhibitor (PI) bekerja dengan menghambat enzim protease yang berfungsi dalam proses cleavage (pembelahan) sel virus. Contoh obat yang masuk golongan ini antara lain Saquinavir, Ritonavir, Indinavir, Nelfinavir, Amprenavir, Lopinavir, dan Atazanavir (Schooley, 2004). Inisisasi terapi ARV ditentukan dengan mengukur derajat dan kecepatan perkembangan kerusakan sistem imun (Schooley, 2004). Pelaksanaan terapi ARV di Indonesia, berdasarkan Pedoman Tatalaksana Klinik Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa tahun 2011, dimulai setelah dilakukan pemeriksaan terhadap jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinik infeksi HIV pada pasien. Ketika tidak terdapat pemeriksaan terhadap jumlah CD4, maka terapi ARV dimulai berdasar pada penilaian klinis saja. Apabila tersedia 13 pemeriksaan CD4, maka terapi ARV dimulai pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya; serta dianjurkan untuk semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (Kemenkes RI, 2011). Terapi ARV di Indonesia diberikan dalam paduan beberapa jenis obat. Penetapan paduan obat pada terapi ARV harus didasarkan pada efektivitas, efek samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, serta harga obat. Pada tahap awal pengobatan, pasien HIV diberikan terapi ARV lini pertama. Paduan obat ARV lini pertama berupa 2 NRTI + 1 NNRTI. Paduan obat untuk terapi ARV lini pertama dimulai dengan salah satu opsi dari paduan berikut: Tabel I. Daftar paduan obat ARV untuk terapi lini pertama (Kemenkes RI, 2011) AZT + 3TC + NVP ATAU Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine AZT + 3TC + EFV ATAU Zidovudine + Lamivudine + Evafirenz TDF + 3TC (atau FTC) + NVP ATAU Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine TDF + 3TC (atau FTC) + EFV Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz Pasien yang menjalani terapi ARV lini pertama dapat mengalami kondisi yang disebut dengan gagal terapi. Gagal terapi merupakan kondisi dimana tidak terjadi respon terapi ARV yang diharapkan setelah pasien memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang cukup tinggi (Kemenkes RI, 2011). Pada kondisi gagal terapi, produksi virus akan meningkat sehingga viral load juga akan bertambah. 14 Menurut WHO, terdapat dua kriteria gagal terapi, yaitu kegagalan klinis dan kegagalan imuologis. Pada kegagalan klinis, infeksi oportunistik akan muncul pada kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan terapi ARV. Penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi bakteri berat) dapat menjadi petunjuk adanya kegagalan terapi. Sementara kegagalan imunologis adalah kegagalan dalam mencapai atau mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat walaupun jumlah virus (viral load) sudah tertekan (Kemenkes RI, 2011). Pada kasus gagal terapi, maka pasien HIV direkomendasikan untuk mengganti pengobatan sebelumnya dengan paduan obat lini kedua. Rekomendasi paduan lini kedua yaitu 2 NRTI + boosted-PI. Boosted PI merupakan golongan Protease Inhibitor yang sudah ditambah (boost) dengan Ritonavir, dan biasa ditulis dengan symbol /r (LPV/r = Lopinavir/ritonavir). Penggunaan booster dimaksudkan untuk mengurangi dosis penggunaan PI yang sangat besar bila digunakan tanpa ritonavir. Sedangkan paduan lini kedua yang disediakan gratis oleh pemerintah yaitu TDF atau AZT + 3TC + LPV/r (Tenofovir atau Zidovudine + Lamivudine + Lopinavir/ritonavir) (Kemenkes RI, 2011). 4.1. Zidovudine Zidovudine, disebut juga AZT, termasuk ke dalam golongan NRTI. Zidovudine merupakan analog timidine, di mana pada bagian 3-hidroksil digantikan dengan kelompok azido (Gennaro, 1995). Dosis AZT untuk dewasa yang dianjurkan yaitu 500 – 600 mg per hari, dibagi dalam dua dosis. Pada tahun 2011, tersedia zidovudine dalam bentuk tablet 15 effervescent yang telah disetujui oleh Food and Drug Association (FDA). Di Indonesia, zidovudine tersedia dalam bentuk kombinasi bersama Lamivudine (300 mg Zidovudine + 150 mg Lamivudine), yaitu Duviral® dari Kimia Farma atau Combivir® dari GSK (Spirita, 2013a). Efek samping dari zidovudine terkadang tidak dapat dibedakan dari kenampakan akibat infeksi virus HIV (Styrt dkk, 1996). Efek samping dari zidovudine sering timbul pada saat pertama kali pemakaian, dan efek tersebut hanya bersifat sementara. Efek samping yang sering dirasakan antara lain sakit kepala, darah tinggi, atau seluruh badan terasa tidak enak. Efek samping tersebut akan menghilang seiring berjalannya wktu. Namun pada beberapa pasien, efek mual, muntah, sakit kepala, dan kelelahan terus dirasakan (Spirita, 2013a). Efek lain yang jarang muncul, tapi cukup berat, yaitu anemia dan meningkatnya enzim hati. Namun efek tersebut bersifat reversibel, dan akan kembali normal beberapa saat setelah pemakaian zidovudine dihentikan (Jacobson dkk, 1996). Kombinasi Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), dan Nevirapine (NVP) merupakan pilihan utama untuk terapi ARV lini pertama. Zidovudine dapat menyebabkan anemia, oleh karena itu pasien dianjurkan untuk rutin memantau kadar Haemoglobin. Namun zidovudine lebih disukai daripada stavudin karena efek lipoatrofi, asidosis laktat, neuropati perifer yang sering timbul akibat penggunaan stavudin (Depkes RI, 2007). 16 4.2. Lamivudine Lamivudine, disebut juga 3TC, merupakan ARV golongan NRTI yang menghambat enzim reverse transcriptase. Pada sebuah studi in vitro menggunakan enzim cytochrome P450 (CYP450) menunjukkan bahwa lamivudine memiliki kemungkinan yang kecil untuk berinteraksi pada fase metabolisme dengan obat-obat lain (Johnson dkk, 1999). Lamivudine tersedia dalam bentuk tunggal maupun kombinasi bersama zidovudine. Lamivudine 150 mg diberikan setiap 12 jam, sedangkan untuk lamivudine 300 mg diberikan setiap 24 jam (Kemenkes RI, 2011). Salah satu contoh lamivudine sediaan tunggal yaitu Hiviral® dari Kimia Farma, sedangkan untuk kombinasi bersama zidovudine yaitu Duviral® (Kimia Farma) dan Combivir® (Glaxo Smith Kline). Lamivudine juga digunakan pada pasien HIV yang memiliki koinfeksi Hepatitis B karena lamivudine memiliki aktivitas terhadap virus Hepatitis B (HBV) dan HIV. Pada pengobatan koinfeksi Hepatitis B, digunakan kombinasi tenofovir (TDF) dan lamivudine atau emtricitabine (FTC). Efek samping yang sering muncul pada penggunaan lamivudine adalah mual, muntah, kelelahan, dan sakit kepala (Spiritia, 2013b). Efek samping lain yang jarang terjadi antara lain asidosis laktat dengan stenosis hepatitis, serta kerontokan rambut (DepKes RI, 2007) (Spiritia, 2013b). Pada penggunaan awal, mungkin akan muncul efek seperti sakit kepala, tekanan darah tinggi, dan tidak enak badan. Namun efek-efek tersebut hanya mucul sementara, lambat laun hilang dan membaik (Spiritia, 2013b). 17 Pada pasien dengan masalah pada ginjal, lamivudine diberikan dalam dosis yang lebih rendah. Lamivudine serupa dengan emtricitabine, oleh karena itu penggunaan keduanya secara bersama-sama sebaiknya dihindari karena tidak memiliki manfaat. Penggunaan lamivudine bersama kotrimoxazol perlu dilakukan pemantauan karena kadar lamivudine dalam darah akan meningkat (Spiritia, 2013b). 4.3. Nevirapine Nevirapine (NVP), merupakan ARV yang termasuk ke dalam golongan NNRTI yang memiliki aktifitas melawan virus HIV-1. Nevirapine akan secara langsung berikatan dengan enzim reverse transcriptase dan menghambat aktifitas DNA polimerase tipe RNA dependent dan DNA dependent dengan merusak sisi katalistik enzim tersebut. Nevirapine tidak bersifat kompetitif terhadap nukleosida trifosfatase, HIV-2 reverse transkirptase dan eukariotik DNA polimerase tidak bisa dihambat oleh nevirapine (Dept. Of Health and Ageing, 2012). Bersama zidovudine dan lamivudine, nevirapine menjadi first line untuk terapi ARV lini pertama. Dosis awal untuk memulai terapi nevirapine yaitu 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama, bersama zidovudine atau tenofovir + lamivudine. Setelah penggunaan tersebut, diamati apakah terdapat tanda toksisitas hati. Pada 14 hari pemakaian, nevirapine akan menginduksi metabolismenya sendiri sehingga dimulai dengan dosis kecil terlebih dahulu. Dosis permulaan tersebut juga 18 dimaksudkan untuk mengurangi risiko ruam dan hepatitis yang muncul dini. Bila tidak ditemukan tanda-tanda toksisitas hati, dosis dapat dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam (Kemenkes RI 2011). Efek samping yang sering muncul dari pemakaian nevirapine yaitu hepatotoksis, Steven-Johnson syndrome, reaksi hepar atau kulit yang berat. Ketika penggunaan nevirapine menyebabkan peningkatan > 5 kali dari baseline, maka penggunaan nevirapine harus dihentikan. Selain itu ketika muncul Steven-Johnson syndrome, maka penggunaan nevirapine harus dihentikan dan tidak boleh diulang kembali. Efek samping lain yang sering muncul yaitu alergi apabila nevirapine digunakan pada wanita dengan CD4 > 250 dan pria dengan CD4 > 400, sehingga perlu dilakukan pemantauan ketat pada pemakaiannya (Kemenkes RI, 2011). 4.4. Efavirenz Efavirenz (EFV) termasuk ke dalam golongan NNRTI, yang menghambat kerja enzim reverse transcriptase. Kombinasi antara efavirenz dengan zidovudine, didanosine, atau indinavir menghasilkan efek inhibisi yang sinergis terhadap HIV-1 (Adkins dan Nooble, 1998). Efavirenz tidak dianjurkan untuk anak usia di bawah 3 tahun (Spiritia, 2013c). Di Indonesia, efavirenz tersedia dalam bentuk kaplet 600 mg dan kapsul 50 mg, 100 mg, 200 mg. Pada dewasa dosis efavirenz yang dianjurkan yaitu 600 mg, biasa digunakan satu kali sehari sebelum tidur. 19 Salah satu contoh efavirenz yang beredar di Indonesia adalah Efavir® dari Cipla®. Peningkatan serum lipid pada penderita HIV sering dikaitkan dengan penggunaan efavirenz, sehingga terkadang membutuhkan agen penurun kadar lipid (Gerber dkk, 2005). Efek samping yang sering dirasakan ketika awal menggunakan efavirenz antara lain sakit kepala, tekanan darah tinggi, atau tidak enak badan. Namun efek tersebut akan hilang dan membaik. Efek samping yang sering dirasakan oleh pasien HIV antara lain pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung, halusinasi, agitasi, susah konsentrasi, insomnia, depresi, skizofrenia, mimpi buruk (Spiritia, 2013c) (Kemenkes RI, 2011). Pasien biasanya memilih minum efavirenz tepat sebelum tidur untuk menghindari rasa pusing yang biasanya segera mucul setelah minum efavirenz. Peneitian terhadap kera menunjukkan bahwa penggunaan efavirenz pada wanita hamil dapat menyebabkan kelahiran cacat. Pasien HIV yang menggunakan efavirenz dapat menunjukkan hasil positif palsu pada tes ganja atau obat golongan benzodiazepine (Spiritia, 2013c). Efavirenz, kombinasi bersama zidovudine atau stavudine dan lamivudine merupakan obat pilihan untuk penderita HIV dengan koinfeksi TB (Kemenkes RI, 2011). 5. Health belief model (HBM) Health Belief Model (HBM) merupakan sebuah teori tentang faktor-faktor intrapersonal yang berpengaruh terhadap health behavior yang kemudian 20 digunakan dalam penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi maupun prefensi (Burke, 2013). Konsep dasar dari teori HBM yaitu persepsi individu tentang penyakit yang diderita, serta keyakinan individu terhadap cara untuk meringankan penyakit tersebut (Hochbaum, 1958). Pada HBM, perubahan sikap terhadap kesehatan didasari oleh tiga hal yang muncul pada waktu yang bersamaan, yaitu: a. Individu tersebut menemukan bahwa ada alasan untuk fokus terhadap masalah kesehatannya b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan serta efek negatif dari penyakit yang diderita c. Individu tersebut menyadari bahwa perubahan perilaku dapat bermanfaat untuk kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih cost effective (Burke, 2013) Namun, ketiga hal tersebut juga dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap ancaman dari penyakit, serta harapan untuk sembuh; yang juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi seorang individu untuk mengambil sikap protective health behavior (Redding dkk, 2000). Teori HBM menjelaskan ketiga hal di atas menjadi enam poin pentng, yaitu perceived susceptibility (persepsi akan kerentanan), perceived severity (persepsi akan keparahan), perceived barriers (persepsi akan penghalang), perceived benefits (persepsi akan manfaat), cues to action (isyarat untuk melakukan tindakan), dan self efficacy (kepercayaan diri untuk bertindak). 21 a. Perceived susceptibility Susceptibility atau kerentanan, memiliki maksud seberapa besar kerentanan individu terhadap suatu kondisi. Persepsi terhadap sebuah kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong individu untuk berlaku lebih sehat. Semakin kuat persepsi individu akan kerentanannya terhadap suatu penyakit, maka semakin besar pula tindakan individu untuk mengurangi risiko terkena suatu penyakit; begitu juga sebaliknya (de Wit dkk, 2005; Rose 1995). Sebagai contoh, individu yang merasa rentan terinfeksi HIV akan menggunakan kondom untuk mengurangi risiko penularan HIV. b. Perceived severity Perceived severity merupakan persepsi individu akan keparahan dari kondisi yang diderita dan bagaimana akibatnya pada kehidupan individu tersebut (Hochbaum, 1958). Individu akan mengambil tindakan untuk mencegah infeksi HIV ketika individu tersebut mengerti efek negatif yang akan dia rasakan ketika terinfeksi HIV. c. Perceived benefits Perceived benefits merupakan persepsi individu tentang manfaat yang dia peroleh dari perilaku baru yang dia lakukan untuk mengurangi risiko perkembangan suatu kondisi, terutama penyakit. Persepsi akan manfaat dari suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dapat menjadikannya sebagai motivasi untuk tetap melakukan tindakan tersebut (Redding dkk, 2000). Sebagai contoh, individu yang memiliki persepsi 22 bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan kondom dengan pencegahan terhadap infeksi HIV, akan lebih memilih untuk tidak menggunakan kondom karena individu tersebut percaya bahwa kondom tidak dapat mencegah penularan HIV. d. Perceived barriers Perceived barriers merupakan penghalang, dapat pula kelemahan, yang dirasakan oleh individu atas perubahan perilaku kesehatan yang dijalaninya. Misal pada penggunaan kondom, seseorang merasa kurang nyaman dalam menggunakannya, sehingga individu tersebut menjadi enggan untuk menggunakan kondom kembali. e. Cues to action Cues to action merupakan stimulus yang mendorong individu untuk menjalani perubahan perilakunya, terutama yang terkait masalah kesehatan. Stimulus tersebut dapat berasal dari diri individu itu sendiri, maupun dari luar individu. Pada kasus pencegahan penularan HIV dengan menggunakan kondom, stimulus internal dapat berupa keinginan diri sendiri untuk tetap sehat, sedangkan stimulus eksternal dapat berupa semangat dan himbauan dari pasangan untuk tetap menggunakan kondom. f. Self efficacy Self efficacy merupakan kepercayaan diri individu bahwa dia memiliki keyakinan dan kemampuan untuk tetap menjalani perubahan perilaku kesehatan. Self efficacy merupakan kunci dari kelima faktor 23 lainnya karena komitmen dari pribadi individu sangatlah diperlukan untuk menjaga perilaku sehat yang harus dijalani individu tersebut ke depannya. Hubungan dari keenam faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Faktor Modifikasi Umur Jenis Kelamin Etnis Kepribadian Sosisoekonomi Pengetahuan Individual Beliefs Perceived susceptibility dan perceived severity Perceived benefits Perceived barriers Tindakan Perceived threat Perilaku individu Cues to action Perceived selfefficacy Gambar 1. Hubungan Antarvariabel pada Health Belief Model (Glanz dkk, 2008) a. Faktor modifikasi Faktor modifikasi, terdiri atas pengetahuan dan faktor sosiodemografi, berpengaruh pada persepsi individu terkait kesehatan, dan mungkin secara tidak langsung mempengaruhi perubahan perilaku terkait kesehatan. Sebagai contoh, jenis kelamin seseorang dapat menjadikannya lebih berisiko menderita suatu peyakit, seperti kanker serviks yang hanya diderita oleh kaum perempuan (Glanz dkk, 2008). 24 b. Individual beliefs Kolom individual beliefs terdiri dari komponen utama teori HBM, yaitu perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived barriers, dan perceived self-efficacy. Perceived threat (persepsi akan ancaman) merupakan kombinasi antara perceived susceptibility dan perceived severity (Glanz dkk, 2008). Individual beliefs menjelaskan secara langsung apa yang individu percaya dan pengetahuannya tentang suatu kondisi serta perilaku yang akan mempengaruhi kondisi tersebut (Burke, 2013). Setiap individu memiliki persepsi tersendiri akan kondisi yang dirasakannya, persepsi itulah yang akan mempengaruhi tindakan yang akan diambilnya untuk memperbaiki kondisi tersebut. Namun tindakan yang diambil juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang pada tabel tersebut disebut faktor modifikasi. c. Tindakan Ketika individu sudah merasa waspada akan perkembangan kondisinya (penyakit) bila tidak adanya perubahan perilaku, maka individu tersebut akan merubah perilakunya terkait kesehatan. Perubahan perilaku kesehatan tersebut dipengaruhi oleh persepsi-persepsi yang ada dalam kolom individual beliefs, serta cues to action (dorongan untuk bertindak). 25 F. Kerangka Konsep Penelitian Dari data penelitian yang diperoleh, kerangka konsep untuk faktor pendukung dan penghambat penggunaan ARV lini pertama dijelaskan dalam Gambar 2. Faktor Modifikasi Karakteristik Responden Jenis Kelamin Usia Tingkat Pendidikan Pekerjaan Lama Positif HIV Lama Terapi ARV Individual Beliefs Perceived susceptibility dan perceived severity Perceived threat Perceived benefits Perceived barriers Tindakan Kepatuhan penggunaan ARV Llini pertama Cues to action Perceived selfefficacy Gambar 2. Kerangka konsep penelitian faktor pendukung dan penghambat penggunaan ARV lini pertama G. Keterangan Empiris Dari teori Health Belief Model tersebut, keterangan empiris yang diperoleh dari penelitian ini adalah persepsi akan keparahan HIV/AIDS; persepsi akan kerentanan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, dorongan untuk bertindak serta keyakinan diri dalam penggunaan ARV menjadi faktor-faktor pendukung maupun penghambat dalam penggunaan ARV.