BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perlindungan anak ditujukan untuk memenuhi hak-hak anak Indonesia. Sesuai dengan Undang-undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, hakhak anak mencakup hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, serta mendapat perlindungan dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi. Dengan demikian, pemenuhan hak-hak anak mencakup berbagai bidang pembangunan (lintas bidang pembangunan). Walaupun perlindungan anak telah diatur dalam undang-undang tersebut di atas, namun kualitas hidup dan perlindungan anak masih perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Di bidang pendidikan, data data Susenas menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) anak usia 7–12 tahun, 13–15 tahun, dan 16–18 tahun hanya mengalami sedikit peningkatan, dari masing-masing 97,83 persen; 84,41 persen; dan 54,70 persen pada tahun 2008, menjadi masing-masing 97,95 persen; 85,43 persen; dan 55,05 persen pada tahun 2009. Selain itu, muncul pula permasalahan terbatasnya akses pendidikan berkualitas bagi anak, terutama bagi anak keluarga miskin dan di masyarakat terpencil. Dampaknya dapat terlihat dari semakin meningkatnya kasus-kasus kekerasan, eksploitasi (termasuk trafficking), dan diskriminasi terhadap anak. Upaya peningkatan pendidikan bagi anak usia dini juga masih sangat diperlukan. Anak kelompok usia 3-4 tahun dan 5-6 tahun yang mengikuti pendidikan prasekolah masing-masing hanya 12,78 persen dan 32,39 persen. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyatakan bahwa anak yang mengikuti Pendidikan Usia Dini (APK PAUD) pada tahun 2008/2009 sebesar 50, 62 persen meningkat menjadi 53,70 persen pada tahun 2009/2010. 1 Di bidang kesehatan, angka kematian bayi (AKB) berdasarkan hasil SDKI tahun 2003 adalah 35 anak per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian balita (AKBa) mencapai 46 anak per 1.000 kelahiran hidup. Data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia / SDKI tahun 2007 menunjukkan sedikit penurunan, yaitu AKB menjadi 34 anak per 1.000 kelahiran hidup, dan AKBa menjadi 44 anak per 1.000 kelahiran hidup. Status gizi anak juga masih sangat rendah. Berdasarkan Susenas 2005, persentase balita yang menderita gizi buruk sebesar 8,80 persen; gizi kurang sebesar 19,24 persen; gizi normal sebesar 68,48 persen; dan gizi lebih sebesar 3,48 persen. Berdasarkan data Riskesdas 2007, terjadi penurunan yang cukup signifikan angka kekurangan gizi pada balita yaitu mencapai 18,4 persen, terdiri dari gizi buruk 5,4 persen dan gizi kurang 13 persen; sedangkan balita stunting (pendek) mencapai 36,8 persen, balita wasting (kurus) mencapai 4,3 persen dan gizi lebih mencapai 4,3 persen. Sementara itu, berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita kurang gizi (berat badan kurang) sebesar 18,0 persen diantaranya 4,9 persen dengan gizi buruk. Sedangkan prevalensi balita pendek (stunting) sebesar 35,6 persen, dan prevalensi balita kurus (wasting) adalah 13,3 persen. Lebih lanjut digambarkan dalam Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2010, sebanyak 40,6 persen penduduk mengkonsumsi makanan di bawah 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Keadaan ini banyak dijumpai pada anak usia sekolah (41,2%), remaja (54,5%), dan ibu hamil (44,2%). Cakupan imunisasi campak pada anak umur 12-23 bulan (74,5%) menurun dibandingkan tahun 2007 (81,6%). Sementara proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan (82,3%) meningkat dibandingkan pada tahun 2007 (75,4%). Dari segi pemanfaatan fasilitas kesehatan untuk persalinan oleh perempuan usia reproduktif adalah 59,4 persen. Pemeriksaan kehamilan dengan tenaga kesehatan sebesar 84 persen, hanya 2,8 persen tidak melakukan pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan, dan 3,2 persen pemeriksaan masih dilakukan oleh dukun. Akses Kunjungan pertama/K1 oleh ibu hamil baik (92,8%), sedangkan Kunjungan keempat/K4 hanya 61,3 persen. Di samping itu, perlindungan anak dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi masih belum optimal. Hal ini antara lain terlihat dari 2 jumlah pekerja anak juga relatif masih tinggi. Pekerja anak sudah menjadi bagian dari tradisi, dimana anak diharapkan untuk membantu orang tuanya; dan merupakan masalah utama pemerintah dalam hal perlindungan anak, terutama pekerja anak yang berusia di bawah 10 tahun. Masalah yang dihadapi antara lain adalah kejahatan dan eksploitasi terhadap pekerja anak, terutama pekerja anak yang berstatus sebagai buruh. Selain itu, jumlah pekerja anak yang bekerja pada sektor-sektor yang berbahaya semakin meningkat. Namun demikian, data mengenai pekerja anak masih beragam. Survey Angkatan Kerja Nasional/Sakernas tahun 2004 menunjukkan bahwa jumlah pekerja anak sebesar 2,9 juta anak; yang turun menjadi sekitar 960 ribu pekerja anak (Sakernas, 2005). Hasil Survei Pekerja Anak (SPA) tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4,1 juta anak usia 517 tahun yang bekerja atau 6,9 persen dari 58,8 juta anak usia 5-17 tahun. Dari total anak yang bekerja tersebut, sekitar 1,8 juta atau 43,3 persen tergolong pekerja anak karena mereka bekerja pada satu atau lebih kegiatan yang termasuk ke dalam salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan umurnya belum mencapai umur minimal yang diperbolehkan secara hukum untuk bekerja (>15 tahun). Sementara itu, data Program Keluarga Harapan (Jakarta Pusat dan Jakarta Barat) menunjukkan jumlah pekerja anak sebesar 4.156 anak (Depsos, 2007). Sedangkan data ILO (International Labour Organization) tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah pekerja anak sebanyak 2,6 juta. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada di perdesaan dan bergerak di bidang pertanian (67 persen), di bidang jasa (17,6 persen), dan di bidang industri (15 persen). Dari 2,6 juta pembantu rumah tangga (PRT), 35 persennya adalah anak-anak. Jam kerja PRT anak-anak rata-rata 25-45/minggu, sedangkan menurut peraturan hanya 15 jam/minggu. Hal tersebut akan memposisikan anak dalam kondisi eksploitasi, kondisi bahaya, penipuan, perdagangan orang, dan eksploitasi seksual. Berfluktuasinya partisipasi anak dalam pasar tenaga kerja di antaranya disebabkan oleh: tingginya persentase rumah tangga yang berpenghasilan rendah, tingginya angka putus sekolah, dan masih banyaknya rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di samping itu, dari beragamnya data, maka permasalahan kelembagaan yang dihadapi terkait isu pekerja anak adalah kebutuhan akan data yang konsisten, reliable, dan terus terbaharui. 3 Sementara itu, jumlah anak yang belum memiliki akta kelahiran masih cukup banyak. Berdasarkan data Susenas 2007, terdapat 56,4 persen balita yang telah memiliki akte kelahiran. Hal ini menunjukkan belum terpenuhinya hak anak terhadap identitasnya. Tidak dimilikinya akta kelahiran menyebabkan ketidakjelasan identitas anak, yang membawa sejumlah implikasi seperti: anak berpeluang besar mengalami diskriminasi; anak tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan; menarik perhatian para pelaku perdagangan orang; mudah dijadikan pekerja anak; dapat menjadi korban kejahatan seksual, perdagangan anak, dan lain-lain. Salah satu penyebab masih banyaknya anak yang belum memiliki akta kelahiran adalah belum diterapkannya peraturan bebas biaya pengurusan akta kelahiran anak pada semua kabupaten/kota (hanya 219 dari 487 kabupaten/kota yang sudah membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran). Berkaitan dengan kondisi tersebut, untuk masa yang akan datang diperlukan indikator komposit yang dapat mencerminkan pemenuhan hak anak Indonesia, sehingga dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan lintas bidang yang terkait dengan perlindungan anak. Oleh sebab itu, indikator tersebut harus dapat menggambarkan pemenuhan hak anak dari aspek hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang (kualitas hidup) serta hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (perlindungan khusus). Selain itu, indikator tersebut juga harus akurat dan dapat diperbaharui secara berkala, sehingga dapat dijadikan sebagai baseline data untuk perumusan kebijakan pembangunan perlindungan anak ke depan. Hingga saat ini, indikator komposit yang memenuhi kriteria tersebut masih belum ada. Saat ini, berbagai indikator/data yang menggambarkan kualitas hidup anak memang sudah tersedia, namun masih bersifat sektoral dan tersebar di berbagai kementerian/lembaga terkait dan belum merupakan suatu indikator komposit. Pendataan untuk aspek kualitas hidup anak relatif sudah tertata baik dibandingkan dengan aspek perlindungan khusus untuk anak. Selain itu, pendataannya sudah dilaksanakan secara berkala. Sebagai contoh, data tentang kesehatan antara lain diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia / SDKI (3-4 tahun sekali) dan Riset Kesehatan Dasar / 4 Riskesdas (tiga tahun sekali); dan data tentang pendidikan antara lain diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional / Susenas yang dilaksanakan setiap tahun. Data Susenas hanya menyajikan beberapa indikator dari perlindungan khusus untuk anak. Sementara, indikator/data yang menggambarkan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi belum sepenuhnya tersedia sebagaimana diharapkan. Indikator/data yang tersedia lebih banyak menggambarkan kasus-kasus. Seharusnya indikator/data tersebut dapat menggambarkan seberapa besar prevalensi anak yang mengalami kekerasan dan diskriminasi. Dari prevalensi yang mengalami kekerasan dan diskriminasi tersebut, berapa banyak yang mendapat perlindungan/pelayanan sesuai standar. Selain itu juga dibutuhkan indikator/data tentang seberapa banyak anak-anak yang berisiko untuk mendapatkan kekerasan dan diskriminasi, serta seberapa banyak anak-anak yang dapat dicegah dari kekerasan dan diskriminasi, karena adanya pelayanan yang diberikan. Pendataan untuk perlindungan khusus ini lebih banyak dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait sesuai kepentingan sektornya, belum terintegrasi satu sama lain. Pendataan yang dilaksanakan melalui survey khusus masih bersifat proyek dan belum dilaksanakan secara berkala. Sebagai contoh, pendataan tentang kekerasan terhadap anak pernah menjadi bagian dari Susenas 2006 dan prevalensi anak bawah lima tahun/balita yang memiliki akte kelahiran menjadi bagian dari Survey Penduduk antar Sensus/Supas 2005. Namun setelah itu, isu tersebut tidak lagi tercakup dalam Susenas berikutnya dan Sensus Penduduk/SP 2010. Hanya pada Susenas tahun 2009 menyajikan anak yang mengalami tindak kejahatan, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, penipuan, pemerkosaan, dan lainnya. Mengingat pentingnya arti indeks komposit perlindungan anak sebagaimana diuraikan di atas, maka Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak – Bappenas melaksanakan kajian untuk merumuskan indeks komposit perlindungan anak. Dengan adanya indeks komposit perlindungan anak, diharapkan pembangunan perlindungan anak akan lebih terintegrasi dan komprehensif. Selanjutnya dapat menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang layak bagi seluruh anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. 5 1.2 Tujuan Tujuan umum kajian awal ini adalah menyusun indeks komposit perlindungan anak, yang terdiri dari indeks komposit kualitas hidup anak dan indeks komposit perlindungan khusus untuk anak. Untuk mencapai tujuan umum tersebut di atas, maka dikemukakan beberapa tujuan khusus sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi indikator-indikator sederhana yang telah tersedia dalam Susenas 2009, yang dapat dipakai untuk membentuk indeks komposit kualitas hidup anak dan indeks komposit perlindungan khusus untuk anak. 2) Melakukan pemetaan dan analisis terhadap indikator komposit perlindungan anak yang sudah ada, termasuk indikator komposit perlindungan khusus untuk anak yang digunakan di negara lain. 3) Menghitung dan menganalisis indeks tunggal, indeks komposit, dan indeks kesetaraan gender (Gender Equality Index/GEI) kualitas hidup anak, perlindungan khusus untuk anak, dan kemiskinan anak pada tingkat nasional dan provinsi berdasarkan indikator/data terkait perlindungan anak yang ada di Susenas 2009. 4) Mengidentifikasi indikator/data terkait perlindungan anak yang seharusnya ada, sebagai dasar untuk menyusun indicator komposit perlindungan anak yang ideal. 5) Penyajian hasil penghitungan indeks komposit kualitas hidup anak dan perlindungan khusus untuk anak di pusat dan daerah. 1.3 Manfaat dan Keluaran yang Diharapkan Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penentu kebijakan dalam rangka meningkatkan upaya perlindungan anak. Serta dapat dijadikan sebagai acuan untuk membentuk indeks komposit perlindungan khusus untuk anak yang lebih komprehensif, dengan didukung oleh data yang tersedia secara komprehensif dan berkesinambungan. 6 Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah: Terbentuknya indeks tunggal kualitas hidup anak dan perlindungan khusus untuk anak pada tingkat nasional dan provinsi Terbentuknya: o indeks komposit kualitas hidup anak dan perlindungan khusus untuk anak pada tingkat nasional dan provinsi berdasarkan Kor Susenas 2009. o indeks komposit kualitas hidup anak dan perlindungan khusus untuk anak pada tingkat nasional dan provinsi berdasarkan Modul Susenas 2009. o indeks komposit kulitas hidup anak dan perlindungan khusus untuk anak pada tingkat nasional dan provinsi berdasarkan Kor dan Modul Susenas 2009. o Gender Equality Indexes (Indeks Kesataran Gender) untuk beberapa indikator perlindungan anak yang terpilih. Rekomendasi untuk merancang ketersediaan data yang komprehensif yang mencakup indikator ideal dari indeks komposit perlindungan anak, terutama dari aspek perlindungan khusus. Rekomendasi untuk membentuk suatu sistem pendataan agar indeks komposit perlindungan anak terutama dari aspek perlindungan khusus, dapat diperbaharui secara periodik. Akan tetapi, kiranya perlu diberikan catatan bahwa indeks tunggal dan indeks komposit yang akan dibentuk berdasarkan data sampel harus ditafsirkan dengan bijakasana, karena kita tak akan pernah tahu apakah sebuah sampel dapat menerangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam populasi yang bersangkutan (Agung, 2010, 2009 dan 2004). 1.4 Ruang Lingkup Penyusunan indeks komposit perlindungan anak dalam kajian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, sebagai berikut: 7 Melakukan pemetaan dan analisis terhadap indikator dan data perlindungan anak yang telah tersedia. Menentukan indikator atau faktor demografi dan sosial ekonomi yang dapat digunakan untuk menyusun indeks komposit perlindungan anak, sesuai dengan data yang tersedia dan dapat disajikan secara berkala. Menyusun dan menyajikan indeks tunggal, indeks komposit kualitas hidup anak, indeks perlindungan khusus untuk anak, serta Gender Equality Index (GEI). Menyajikan hasil indeks komposit per daerah. Menyelenggarakan Workshop, Round Table Discussion, dan Seminar baik di tingkat pusat maupun di daerah. 8