BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Kasasi
a. Pengertian Kasasi
Secara terminologi, kasasi berasal dari kata casser yang artinya
memecah atau membatalkan. Kasasi dilakukan dengan membatalkan
putusan hakim demi mencapai kesatuan peradilan (Andi Hamzah,
2009: 297). Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Andy Sofyan
dan Abd. Asis berjudul Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar
(2014:279), kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah
Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilanpengadilan lain. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan
bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui
kekuasaan kehakimannya.
Kasasi dianggap sebagai salah satu cara untuk mengoreksi
putusan pengadilan di tingkat bawah yang putusannya dianggap tidak
memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yakni baik korban maupun
terpidana. Ketentuan Pasal 244 KUHAP memberikan hak kepada
terdakwa atau penuntut umum untuk mempergunakan kasasi ataupun
mengesampingkannya.
b. Pengertian Judex Factie
Judex factie dan judex juris merupakan dua tingkatan peradilan
di Indonesia berdasarkan cara pengambilan keputusan. Peradilan
Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung. Judex factie terdiri atas Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi yang memiliki wewenang untuk memeriksa fakta
dan bukti dari suatu perkara. Judex factie memeriksa bukti-bukti dari
suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut
10
11
sedangkan Mahkamah Agung merupakan Judex Juris yang hanya
memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa
fakta dari perkaranya.
c. Tujuan Kasasi
Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan
hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan
undang-undang atau keliru dalam penerapan hukumnya (Andi
Hamzah, 2009: 297). Adapun tujuan utama kasasi adalah:
1) Guna melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan dibawahnya
yang dikenal sebagai judex factie agar peraturan hukum benarbenar diterapkan sebagaimana mestinya demi terwujudnya
keadilan dan kebenaran yang hakiki. Kebanyakan orang melakukan
kasasi dikarenakan rasa ketidakpuasannya terhadap putusan hakim.
Penyebab utama bukan masalah berat ringannya hukuman yang
dijatuhkan melainkan karena para pihak merasa bahwa dalam
menjatuhkan putusan, hakim telah salah menerapkan hukum.
2) Menciptakan dan membentuk hukum baru.
Koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap suatu
perkara terkadang membentuk sebuah peraturan hukum baru yang
berbentuk yurisprudensi. Meski kadang penafsiran hukum baru ini
melanggar ketentuan undang-undang (contralegem) akan tetapi
tetap diperlukan agar hukum dapat berjalan sesuai dengan
perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat. Para penegak hukum
khususnya hakim perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang
cara-cara penafsiran karena penafsiran yang tepat akan membuat
peraturan dapat diterapkan secara baik dan memberikan kepuasan
bagi para pihak yang bersangkutan (P.A.F.Lamintang, 2013: 39).
3) Pengawasan terhadap terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung dapat menciptakan hukum
baru dalam bentuk yurisprudensi. Yurisprudensi ini yang kemudian
12
menjadi dasar hukum oleh hakim dalam memutus perkara serupa
sehingga timbullah keseragaman penerapan hukum (Tholib
Effendi, 2015: 193).
d. Alasan Pengajuan Kasasi
Kasasi dapat diajukan melalui jalaur kelalaian dalam acara
(vormverzuim)
berdasarkan
alasan-alasan
atau
pertimbangan-
pertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar
suatu putusan yang kurang jelas (Andi Hamzah, 2009: 298). Pasal 253
Ayat
(1)
KUHAP
memuat
alasan
pengajuan
kasasi
yang
berbunyisebagai berikut: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan
oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan bahwa :
a.
Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b.
Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
c.
Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 255 KUHAP, dalam hal menentukan
apakah suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan namun
tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung kemudian akan
mengadili sendiri perkara tersebut. Selanjutnya dalam hal memutus
upaya hukum kasasi dengan alasan cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut
ketentuan
undang-undang,
maka
Mahkamah
Agung
menetapkan disertai penunjuk agar pengadilan yang memutus perkara
yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang
dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat
menetapkan perkara tersebut untuk diperiksa oleh pengadilan setingkat
yang lain. Selain itu, dalam hal pengajuan kasasi dengan alasan
pengadilan atau hakim yang bersangkutan telah melampaui batas
wewenangnya untuk mengadili perkara tersebut maka Mahkamah
13
Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain untuk mengadili perkara
tersebut. Hal ini dilakukan guna mengoreksi kesalahan-kesalahan
putusan pengadilan di tingkat bawah yang dikenal sebagai judex factie.
e. Prosedur Pengajuan Kasasi
Sebagai suatu hal yang diatur dalam undang-undang maka dalam
pengajuan kasasi agar dapat diterima haruslah diajukan sesuai dengan
tata cara permohonan berdasarkan ketentuan KUHAP sebagai berikut :
1) Permohonan kasasi diajukan kepada panitera pengadilan negeri yang
memutus perkara di tingkat pertama. Pasal 245 ayat (1) KUHAP
mengatur bahwa : “Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon
kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam
tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan
pengadilan
yang
dimintakan
kasasi
itudiberitahukan
kepada
terdakwa”.
2) Pihak yang berhak mengajukan kasasi berdasarkan Pasal 244
KUHAP adalah terdakwa atau penuntut umum dalam waktu 14 hari
terhitung sejak putusan tersebut diberitahukan.
3) Tenggang waktu pengajuan kasasi berdasarkan KUHAP adalah
empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan
kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat (1)
KUHAP). Sedang apabila permohonan kasasi diajukan lebih dari
tenggang waktu yang ditentukan maka berdasarkan ketentuan Pasal
246 ayat (1) dan ayat (2) bahwa para pihak yang bersangkutan
dianggap telah menerima putusan tersebut dan hak untuk
mengajukan kasasi adalah gugur.
4. Saat mengajukan kasasi, pemohon wajib menyusun memori kasasi
yang memuat alasan-alasan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 253
Ayat (1) KUHAP. Apabila pemohon kasasi adalah terdakwa yang
kurang memahami hukum maka panitera wajib untuk membuatkan
14
memori kasasinya. Alasan-alasan pengajuan kasasi yang dibenarkan
menurut ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP adalah :
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Sedangkan alasan-alasan pengajuan kasasi yang tidak dibenarkan
menurut Tholib Effendi adalah :
a. Keberatan kasasi putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan
pengadilan negeri;
b. Keberatan atas penilaian pembuktian;
c. Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta;
d. Alasan yang tidak menyangkut pokok perkara;
e. Berat ringannya atau besar kecilnya denda;
f. Keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti;
g. Keberatan kasasi mengenai novum (Tholib Effendi, 2015: 194195).
2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum
a. Pengertian Penuntut Umum
Terdapat perbedaan pengertian antara jaksa dan penuntut umum
yang sering kali disama artikan oleh masyarakat awam. KUHAP
memberi arti jaksa dalam pengertian umum, sedangkan penuntut umum
dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara (Andi
Hamzah, 2009: 74-75). Perbedaan pengertian antara jaksa dan penuntut
umum dibedakan secara tegas dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP sebagai
berikut:
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
15
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda seperti yang disebutkan dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI.
b. Pengertian Penuntutan
Definisi tentang penuntutan yang diberikan oleh Wirjono
Prodjodikorodalam buku Andy Sofyan dan Abd. Asis berjudul Hukum
Acara Pidana Suatu Pengantar (2014: 169), tidak jauh berbeda dengan
yang tercantum dalam
KUHAP. Wirjono Prodjodikoro hanya
menyebutkan secara tegas istilah “terdakwa”, sedangkan KUHAP
tidak menyebutnya. Menurutnya, penuntutan merupakan tindakan
penuntut umum untuk menuntut seorang terdakwa dimuka pengadilan
dengan cara menyerahkan perkara dan berkas perkaranya kepada
hakim dengan maksud agar perkara tersebut diperiksa dan diutus oleh
hakim dimuka sidang.
Definisi tentang penuntutan lebih rinci diatur dalam Pasal 1
angka 7 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Pihak yang berwenang
melakukan penuntutan adalah penuntut umum sebagaimana bunyi
ketentuan Pasal 137 KUHAP yaitu “Penuntut umum berwenang
melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”.
16
c. Wewenang Penuntut Umum
Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan
sesuatu baik dalam hal membuat keputusan, memerintah maupun
melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Penuntut umum
sebagai pihak yang esensial dalam hal penuntutan memiliki wewenang
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KUHAP antara lain sebagai
berikut:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
b. Mengadakan
pra-penuntutan
apabila
ada
kekurangan
pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3)
dan
Ayat
(4),
dengan
memberi
petunjuk
dalam
rangka
penyempurnaan penyidikan dan penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada
sidang yang telah ditentukan;
g. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
h. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang;
i. Melaksanakan penetapan hakim.
Selain wewenang di atas, Penuntut Umum juga berhak
untuk menentukan apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan
ataupun diberhentikan setelah menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik (Pasal 139 KUHAP). Pasal
140 KUHAP mengatur bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat
17
bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam
waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Apabila penuntut umum
memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana
atau
perkara
ditutup
demi
hukum,
penuntut
umum
menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Isi surat ketetapan
tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib
segera dibebaskan. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan
kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah
tahanan negara, penyidik dan hakim. Apabila kemudian ternyata ada
alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
tersangka. Dapat dikatakan bahwa penuntutan dapat dihentikan
berdasarkan tiga alasan yaitu :
1. Alasan tidak cukup bukti;
2. Alasan bukan merupakan tindak pidana;
3. Perkara ditutup demi kepentingan hukum.
3. Tinjauan Tentang Putusan
a. Pengertian Putusan
KUHAP
memberikan
pengertian
tentang
putusan
pengadilan pada Pasal 1 angka 11 KUHAP yang menyatakan bahwa
“putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang yang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang”. Yahya Harahap menambahkan bahwa
putusan merupakan tahapan terakhir dalam proses peradilan yang
didalamnya terdapat proses pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan saksi,
dan pemeriksaan barang bukti (M.Yahya Harahap, 2012: 347).
b. Tata Cara Pengambilan Putusan
Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan harus benarbenar mengerti mengenai duduk perkara agar mengetahui peraturan
18
hukum mana yang akan diterapkan.Hal ini untuk mencegah terjadinya
kesalahan dalam penerapan hukum. Demi menjamin kepastian hukum
dan keadilan seorang hakim harus benar-benar mengerti dan
memperhatikan peraturan hukum tertulis seperti undang-undang
maupun peraturan hukum tidak tertulis seperti nilai-nilai adat yang
hidup dalam masyarakat. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum danrasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”.Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan :
“Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Timbulnya
kewajiban hakim untuk melakukan penemuan hukum karena hakim
merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan dalam
proses peradilan (Wildan Suyuthi, 2013: 65)
Pasal 182 Ayat (4) KUHAP mengatur bahwa putusan yang
dijatuhkan oleh hakim merupakan hasil permusyawaratan majelis
hakim yang harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang, serta Pasal 182 Ayat (5)
KUHAP menjelaskan bahwa dalam musyawarah tersebut, hakim ketua
majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda
sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan
pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus
disertai pertimbangan beserta alasannya.
Pasal 182 Ayat (6) KUHAP ditentukan bahwa pada asasnya
putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan
bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh
tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. putusan diambil dengan suara terbanyak;
19
b. jika ketentuan pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang
dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi
terdakwa.
Sedangkan, Pasal 197 KUHAP mengatur bahwa suatu
putusan pemidanaan haruslah memuat :
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN
BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenaifakta dan
keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yangmenjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal
peraturan
perundang-undangan
yang
menjadi
dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan
kepada
siapa
biaya
perkara
dibebankan
dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di
mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap
palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
20
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
Apabila
syarat
tersebut
diatas
tidak
terpenuhi
maka
dapat
mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum (Pasal 197 Ayat (2)
KUHAP).Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakimanjuga mengatur bahwa isi keputusan pengadilan
selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus
memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan–peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili. Selain itu agar suatu putusan dianggap sah dan
memiliki kekuatan hukum yang mengikat maka putusannya harus
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195
KUHAP).
b. Jenis-Jenis Putusan Hakim
Terdapat jenis-jenis putusan hakim menurut KUHAP yang dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu :
1) Putusan yang bukan putusan akhir
Dalam praktik, bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat
berupa penetapan atau putusan sela yang sering pula disebut
dengan istilah tussen-vonnis. Putusan jenis ini mengacu kepada
ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yakni dalam hal terdakwa
dan atau penasehat hukum mengajukan keberatan atau eksepsi
terhadap surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum. Berikut ini adalah
putusan yang termasuk kedalam jenis putusan bukan putusan akhir,
yaitu :
a) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.
Putusan yang berbentuk penetapan tidak berwenang mengadili
didasarkan pada Pasal 147 KUHAP yaitu setelah pengadilan
negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum,
ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang
21
pengadilan yang dipimpinnya, serta Pasal 148 KUHAP telah
memberi
pedoman
kepada
pengadilan
negeri
untuk
menyerahkan pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan yang
dianggap
berwenang
mengadilinya,
dengan
cara
Ketua
Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut
mengeluarkan
surat
penetapan
berisi
pernyataan
tidak
berwenang mengadili dengan disertai alasannya (M. Yahya
Harahap, 2012: 357-358).
b) Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima.
Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima
mengacu kepada ketentuan Pasal 156 Ayat (1) KUHAP. Putusan
jenis ini dijatuhkan karena ketidakcermatan penuntut umum,
yang disebabkan oleh :
(1) Tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sudah
pernah diadili (ne bis in idem).
(2) Tidak adanya pengaduan, apabila tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa merupakan delik aduan.
(3) Hilangnya
hak
penuntutan
karena
telah
daluwarsa
(verjaring).
c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.
Dasar putusan ini adalah ketentuan Pasal 143 Ayat (3) KUHAP
yang berbunyi : “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagai mana dimaksud dalam Ayat (2) huruf b batal demi
hukum”. Ketentuan yang dimaksud adalah uraian secara cermat,
jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
2) Putusan Akhir.
Putusan akhir dalam praktiknya sering disebut dengan istilah putusan
atau eind vonnis, berbeda halnya dengan putusan yang bukan putusan
22
akhir yang dalam praktiknya berupa penetapan atau putusan sela.
Putusan akhir dapat terjadi apabila Majelis Hakim memeriksa terdakwa
yang hadir pada persidangan sampai pokok perkaranya selesai
diperiksa sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 182
Ayat (3), Pasal 182 ayat (8), Pasal 197 dan Pasal 199 KUHAP. Majelis
Hakim dianggap selesai memeriksa pokok perkara setelah melalui
proses pemeriksaan identitas, pembacaan surat dakwaan, acara
keberatan/eksepsi dari terdakwa dan pendapat jaksa/penuntut umum,
penetapan/putusan sela, pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana,
pembelaan, dan jawaban atas pembelaan, pernyataan pemeriksaan
ditutup serta adanya pembacaan putusan yang dilakukan oleh hakim
dalam sidang yang terbuka untuk umum (Lilik Mulyadi, 2000:146).
Adapun jenis putusan akhir dalam perkara pidana adalah :
a) Putusan Bebas.
Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan di persidangan, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP). M. Yahya
Harahap dalam bukunya menyebutkan bahwa putusan bebas berarti
terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari
tuntutan hukum (vrijspraak)atau acquittal, dengan kata lain
dibebaskan dari pemidanaan (M. Yahya Harahap, 2012: 347).
Berdasarkan rumusan Pasal 183 KUHAP dikaitkan dengan
rumusan Pasal 191 Ayat 1 (KUHAP), putusan bebas dijatuhkan
apabila hakim dalam pemeriksaan di persidangan menemukan halhal sebagai berikut:
(1) Tidak Memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-Undang
Secara Negatif.
Artinya adalah pembuktian yang diperoleh di persidangan,
tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwasehingga tidak
dapat diyakini oleh hakim karena dalam asas hukum pidana
23
dikenal adagiumyakni lebih baik membebaskan seribu orang
bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah
apabila hakim tidak melihat cukup bukti atau ragu-ragu.
(2) Tidak Memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian.
Yakni hakim secara nyata menilai bahwa pembuktian
kesalahan terdakwa tidak memenuhi ketentuan batas minimun
pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”.
b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum sesuai ketentuan Pasal 191 Ayat (2)
KUHAP.
Dimaksudkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut
umum dalam surat dakwaan terhadap terdakwa adalah terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum tetapi perbuatan
tersebut tidak dapat dipidana atau adanya penghapusan pidana
terhadap
terdakwa
karena
adanya
alasan
pembenar
yang
meniadakan unsur melawan hukum dan alasan pemaaf yang
meniadakan kesalahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 44,
Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) (Tholib Effendi, 2015 : 183).
c) Putusan Pemidanaan.
Putusan pemidanaan didasarkan pada ketentuan Pasal 193
Ayat (1) KUHAP, yakni apabila pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
24
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Pasal 10 KUHP
mengatur mengenai jenis pidana yang dapat dijatuhkan dalam
putusan pemidanaan meliputi :
a. Pidana Pokok yang dapat berupa :
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda; dan
5. Pidana tutupan.
b. Sedangkan pidana tambahan berupa :
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
4. Tinjauan Tentang Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Terdapat istilah pembuktian dalam proses pemeriksaan perkara di
pengadilan. Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam
alat bukti yang boleh dipergunakan dalam membuktikan suatu perkara di
pengadilan. Pembuktian dianggap sebagai bagian terpenting dalam acara
pidana karena digunakan untuk menentukan benar tidaknya terdakwa
melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum.
Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil,
yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat
untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Susanti
Ante, 2013 : 98).
Sistem pembuktian perkara pidana di Indonesia didasarkan pada
ketentuan Pasal 183 KUHAP bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
25
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Proses
pembuktian dalam sidang pengadilan biasanya dimulai dengan adanya
perbuatan pidana, baru kemudian ditentukan apakah perbuatan pidana yang
telah dilakukan dapat atau tidak dimintai pertanggungjawabannya terhadap
terdakwa yang sedang diadili (Eddy O.S. Hiariej, 2014: 93).
b. Pengertian Alat Bukti
Alat bukti didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan
untuk membuktikan mengenai kebenaran suatu perkara di pengadilan. Alat
bukti yang sah menurut KUHAP diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang
terdiri atas :
1) Keterangan Saksi.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27
KUHAP). Pada umunya semua orang dapat menjadi saksi kecuali tidak
memenuhi syarat saksi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168
KUHAP (Andi Hamzah, 2009: 260). Pengecualian tersebut meliputi :
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena parkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga;
c) Suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Tidak semua keterangan saksi dapat dipergunakan sebagai alat bukti
dalam persidangan. Terdapat syarat-syarat agar keterangan saksi dapat
26
digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan yang dapat membuat
terang suatu perkara pidana, antara lain :
a) Dinyatakan dalam sidang secara langsung;
b) Keterangan tersebut diberikan dibawah sumpah;
c) Keterangan seorang saksi bukanlah saksi, dimaksudkan bahwa
KUHAP mensyaratkan lebih dari satu orang saksi. Namun prinsip
ini dapat disimpangi apabila terdapat alat bukti lain yang
mendukung;
d) Keterangan saksi yang berdiri sendiri mengenai suatu peristiwa
atau kejadian saling berhubungan dengan keterangan para saksi
yang lain;
e) Adanya kesesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang
lain;
f) Adanya kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
g) Cara hidup dan segala kesusilaan saksi dan segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi dapat atau tidaknya
keterangan tersebut dipercaya patut dipertimbangkan oleh hakim
dalam menilai keterangan tersebut (Tholib Effendi, 2015: 175).
2) Keterangan Ahli.
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan
kedua oleh Pasal 184 KUHAP setelah keterangan saksi. Artinya bahwa
keterangan ahli juga memegang peranan penting dalam pembuktian
(Andi Hamzah, 2009: 272). Menurut ketentuan Pasal 1 butir 28
KUHAP menyebutkan bahwa: “Keterangan ahli adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan”. Pasal 186 KUHAP menambahkan bahwa
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan”. Isi keterangan seorang saksi dengan keterangan ahli
adalah berbeda. Saksi memberikan keterangan mengenai apa yang ia
dengar, lihat dan alami sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah
27
mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada
dengan cara pengambilan keputusan mengenai hal-hal tersebut (Andi
Hamzah, 2009: 274).
3) Surat.
Alat bukti surat sebagai alat bukti tertulis diatur dalam Pasal
187 KUHAP yang terdiri atas 4 ayat yang mengatur tentang :
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk
dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain.
Menurut J.M. van Bemmelen dalam buku Andi Hamzah
berjudul Hukum Acara Pidana Indonesia (2009: 276), alat bukti tertulis
yang dapat dipertimbangkan dalam hukum acara pidana hanyalah akta
autentik, sedangkan alat bukti surat dibawah tangan tidak dipakai lagi
berbeda halnya dengan hukum acara perdata.
4) Petunjuk.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 Ayat (1) KUHAP).
Petunjuk hanya dapat diperoleh melalui keterangan saksi, surat, dan
28
keterangan terdakwa (Pasal 188 Ayat (2) KUHAP). Namun menurut
van Bemmelen (dalam
Andi Hamzah, 2009: 277), petunjuk
(aanwizjing) sebagai alat bukti adalah tidak ada artinya. Van Bemmelen
juga mengatakan bahwa “Maar de voornaamste fout was toch, dat de
aanwijzingen als een bewijsmiddel werden beschouwd, terwijl zij het in
wezen niet waren”. Artinya adalah kesalahan utama ialah bahwa
petunjuk-petunjuk dipandang sebagai suatu alat bukti, padahal pada
hakikatnya tidak ada.
Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1950 juga
telah menghapus petunjuk sebagai alat bukti yang dianggap sebagai
inovasi dalam hukum acara pidana. Namun hal ini bertentangan dengan
ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yang masih menganggap bahwa
petunjuk merupakan alat bukti yang sah (Andi Hamzah, 2009: 277).
5) Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri (Pasal 189 Ayat (1) KUHAP). Ditambahkan pula
bahwa keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti lain yang dianggap sah dan mempunyai kekuatan
pembuktian yang mengikat (Pasal 189 Ayat (4) KUHAP).
KUHAP dengan jelas mencantumkan istilah “keterangan
terdakwa” sebagai alat bukti. Semua keterangan terdakwa hendaknya
didengar, baik itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan
sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu
sama dengan pengakuan, karena dalam pengakuan sebagai alat bukti
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
29
1.
Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan;
2.
Mengaku ia bersalah (Andi Hamzah, 2009: 278).
c. Teori Pembuktian
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa
terdapat beberapa sistem atau teori yang digunakan untuk membuktikan
perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori ini dikenal dengan istilah
teori pembuktian yang mana bervariasi menurut waktu dan tempatnya
(negara) (Andi Hamzah, 2009: 249). Terdapat empat teori pembuktian yang
dikenal dalam hukum acara pidana, yaitu :
1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara
Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie).
Teori pembuktian ini hanya didasarkan kepada undang-undang.
Artinya adalah jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alatalat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim
tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini juga disebut sebagai teori
pembuktian formal. Menurut teori ini bahwa perihal bersalah atau
tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya kepada sejumlah alat-alat
bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sehingga keyakinan hakim
harus dikesampingkan. Namun teori ini sudah tidak dianut lagi untuk
diterapkan di Indonesia karena terlalu banyak mengandalkan kekuatan
pembuktian yang disebutkan oleh undang-undang tanpa memperhatikan
keyakinan hakim yang berpangkal kepada keyakinan dan norma-norma
yang tumbuh dalam masyarakat (Andi Hamzah, 2009: 251).
2) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction
Intivie).
Sistem atau teori pembuktian ini sangat bertolak belakang
dengan teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif.
Teori ini memerlukan adanya keyakinan hakim sendiri untuk
memutuskan
salah
atau
tidaknya
terdakwa
sehingga
tidak
membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan
30
segala sesuatunya kepada kebijaksanaan dan pendapat hakim yang
bersifat subjektif atau perseorangan. Dapat dikatakan bahwa, dalam
teori ini cukuplah bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan
atas keyakinan belaka tanpa terikat pada suatu peraturan. Hakim dalam
menentukan hanya didasarkan pada perasaannya saja, apakah suatu
peristiwa atau keadaan terbukti sebagai kesalahan terdakwa ataukah
tidak (Andi Sofyan, Abd.Asis, 2014: 234).
3) Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
(Laconviction Raisonnee).
Teori ini merupakan jalan tengah karena pembuktiannya
didasarkan pada keyakinan hakim pada batas tertentu (Laconviction
Raisonnee). Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa
didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu
kesimpulan (conclusive)yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan
pembuktian sehingga putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.
Teori pembuktian ini disebut juga sebagai teori pembuktian bebas
karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije
beijstheorie) (Andi Hamzah. 2009: 253).
Teori ini mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian
akan tetapi tidak terpaku kepada apa yang ada dalam undang-undang
saja melainkan juga berdasarkan kepada alat-alat bukti dan cara
pembuktian diluar undang-undang. Dasar putusan hakim dalam teori ini
bergantung atas keyakinan dan pendapatnya sendiri (subyektif) (Andi
Sofyan, Abd.Asis, 2014: 234).
4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijk).
Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
berpangkal tolak pada aturan–aturan pembuktian yang ditetapkan secara
limitatif oleh undang-undang, tetapi harus pula diikuti oleh keyakinan
hakim. KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian ini. Hal
tersebut terlihat dari bunyi ketentuan Pasal 183 KUHAP yang
31
menjelaskan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa
pembuktian harus didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang dengan didampingi oleh keyakinan hakim atas alat-alat
bukti tersebut (Andi Hamzah, 2009: 254).
5. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penipuan
a. Pengertian Tindak Pidana
Terdapat berbagai pengertian mengenai tindak pidana. Simons
dalam buku Lamintang berjudul Delik-Delik Khusus (1984: 185)
memberikan pengertian mengenai tindak pidana yaitu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya dan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.
Sedangkan
Moeljatno,
memberikan
pengertian mengenai
perbuatan pidana yaitu sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1993: 54).
Menurut pendapat Moeljatno yang dikutip oleh Adam Chazawi, perbuatan
pidana tersebut lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :
1) Bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatannya, sedangkan
ancaman pidananya ditujukan pada orang yang melakukan;
2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman
pidana (yang ditujukan pada orangnya) memiliki hubungan yang erat;
3) Lebih tepat menggunakan istilah perbuatan pidana dikarenakan
menunjuk pada dua keadaan konkret yakni pertama, adanya kejadian
tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat perbuatan
tersebut (Adam Chazawi, 2002: 71).
32
Berdasarkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan
oleh Moeljatno dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi
suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut :
1) Melawan hukum;
2) Merugikan masyarakat;
3) Dilarang oleh aturan pidana;
4) Pelakunya diancam dengan pidana (Sudradjat Bassar, 1986: 2).
b. Pengertian Tindak Pidana Penipuan
Penipuan diatur didalam Pasal 378 hingga Pasal 395 KUHP,
Buku II Bab ke XXV. Dipergunakan istilah penipuan atau bedrog dalam
bab tersebut, karena sesungguhnya diatur sejumlah perbuatan-perbuatan
yang ditujukan terhadap harta benda yang dilakukan dengan cara melakukan
perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau tipu muslihat. Bentuk pokok
dari tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP yang
menyebutkan bahwa “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama
palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Dari bunyi rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa unsur-unsur
penipuan meliputi :
1) Unsur subyektif : dengan maksud
a) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Unsur subyektif dengan maksud adalah kesengajaan. Bahwa subyek
hukum yang melakukan perbuatan dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain memiliki kesengajaan yang artinya
adalah mengetahui dan menghendaki perbuatan yang dilakukannya
dilakukan untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri maupun
orang lain.
33
b) Dilakukan dengan melawan hukum.
Diartikan bahwa perbuatan subyek hukum tersebut dilakukan
secara melawan hukum demi mendapatkan keuntungan bagi
dirinya sendiri atau orang lain. Syarat dari melawan hukum harus
selalu dihubungkan dengan alat-alat penggerak atau pembujuk
yang dipergunakan. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum
apabila :
(1) Bertentangan dengan hukum;
(2) Bertentangan dengan hak orang lain;
(3) Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu
bertentangan dengan hukum
2) Unsur obyektif : membujuk atau menggerakkan orang lain dengan alat
pembujuk atau penggerak
a)
Memakai nama palsu.
Memakai nama palsu adalah nama yang berlainan dengan nama
yang sebenarnya atau nama orang lain. Bahkan apabila penggunaan
nama yang tidak dimiliki oleh orang lain.
b) Memakai martabat palsu;
Martabat palsu adalah pernyataan dari seseorang bahwa ia ada
dalam kedudukan tertentu. Bahwa dengan kedudukan tersebut
diperoleh hak-hak tertentu yang sebenarnya bukan miliknya.
c) Rangkaian kebohongan;
Rangkaian kebohongan dimaksudkan sebagai rangkaian kata-kata
bohong yang diucapkan secara tersusun sedemikian rupa sehingga
kepalsuan itu dianggap seperti benar adanya.
d) Tipu muslihat
Tipu muslihat merupakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan
sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut menumbuhkan
keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap sesuatu. Tipu
muslihat tersebut dilakukan dengan tujuan agar menyerahkan
34
sesuatu barang, membuat hutang atau menghapus piutang (Moch.
Anwar, 1989:41).
b. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Penipuan
Pemeriksaan Perkara di
Pengadilan
Putusan Bebas Pengadilan
Negeri Pacitan Nomor
43/Pid.B/2014/PN Pct
Kesesuaian dengan
KUHAP
Upaya Hukum Kasasi
Putusan Dikabulkan dan
Membatalkan Putusan
Bebas Pengadilan Negeri
Pacitan
Pertimbangan Hukum
Hakim Mahkamah
Agung
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis
untuk menjawab permasalahan hukum yakni mengenai alasan pengajuan kasasi
Penuntut Umum terhadap putusan bebas Pengadilan Negeri Pacitan dalam
perkara penipuan yang dilakukan oleh Terdakwa II Supriono Sakim. Jaksa
Penuntut Umum dalam putusan tersebut menilai bahwa hakim Pengadilan
35
Negeri Pacitan telah salah menerapkan hukum khususnya dalam hal
pembuktian atau telah menerapkan hukum namun tidak sebagaimana mestinya.
Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya
hukum kasasi yang kemudian dikabulkan oleh hakim Mahkamah Agung dan
membatalkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Pacitan
Nomor:
43/Pid.B/2014/PN.Pct tanggal 17 Juli 2014 dengan amar putusan yang
berbunyi “menyatakan Terdakwa II Supriono Sakim bin Tosetiko alias Sakiyo
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
secara bersama-sama melakukan Penipuan”.
Atas hal tersebut, penulis mencoba untuk menguraikan permasalahan
yang menarik untuk dikaji secara yuridis dalam penulisan hukum ini yakni
mengenai alasan pengajuan kasasi penuntut umum terhadap putusan bebas
Pengadilan Negeri Pacitan Nomor: 43/Pid.B/2014/PN.Pct apakah sudah sesuai
dengan ketentuan Pasal 253 Ayat (1) KUHAP serta pertimbanganpertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus
Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum.
Download