BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Kasasi a. Pengertian Kasasi Secara terminologi, kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah atau membatalkan. Kasasi dilakukan dengan membatalkan putusan hakim demi mencapai kesatuan peradilan (Andi Hamzah, 2009: 297). Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Andy Sofyan dan Abd. Asis berjudul Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (2014:279), kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilanpengadilan lain. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Kasasi dianggap sebagai salah satu cara untuk mengoreksi putusan pengadilan di tingkat bawah yang putusannya dianggap tidak memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yakni baik korban maupun terpidana. Ketentuan Pasal 244 KUHAP memberikan hak kepada terdakwa atau penuntut umum untuk mempergunakan kasasi ataupun mengesampingkannya. b. Pengertian Judex Factie Judex factie dan judex juris merupakan dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara pengambilan keputusan. Peradilan Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Judex factie terdiri atas Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang memiliki wewenang untuk memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex factie memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut 10 11 sedangkan Mahkamah Agung merupakan Judex Juris yang hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya. c. Tujuan Kasasi Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam penerapan hukumnya (Andi Hamzah, 2009: 297). Adapun tujuan utama kasasi adalah: 1) Guna melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan dibawahnya yang dikenal sebagai judex factie agar peraturan hukum benarbenar diterapkan sebagaimana mestinya demi terwujudnya keadilan dan kebenaran yang hakiki. Kebanyakan orang melakukan kasasi dikarenakan rasa ketidakpuasannya terhadap putusan hakim. Penyebab utama bukan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan melainkan karena para pihak merasa bahwa dalam menjatuhkan putusan, hakim telah salah menerapkan hukum. 2) Menciptakan dan membentuk hukum baru. Koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap suatu perkara terkadang membentuk sebuah peraturan hukum baru yang berbentuk yurisprudensi. Meski kadang penafsiran hukum baru ini melanggar ketentuan undang-undang (contralegem) akan tetapi tetap diperlukan agar hukum dapat berjalan sesuai dengan perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat. Para penegak hukum khususnya hakim perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara-cara penafsiran karena penafsiran yang tepat akan membuat peraturan dapat diterapkan secara baik dan memberikan kepuasan bagi para pihak yang bersangkutan (P.A.F.Lamintang, 2013: 39). 3) Pengawasan terhadap terciptanya keseragaman penerapan hukum. Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung dapat menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. Yurisprudensi ini yang kemudian 12 menjadi dasar hukum oleh hakim dalam memutus perkara serupa sehingga timbullah keseragaman penerapan hukum (Tholib Effendi, 2015: 193). d. Alasan Pengajuan Kasasi Kasasi dapat diajukan melalui jalaur kelalaian dalam acara (vormverzuim) berdasarkan alasan-alasan atau pertimbangan- pertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang jelas (Andi Hamzah, 2009: 298). Pasal 253 Ayat (1) KUHAP memuat alasan pengajuan kasasi yang berbunyisebagai berikut: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan bahwa : a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 255 KUHAP, dalam hal menentukan apakah suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan namun tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung kemudian akan mengadili sendiri perkara tersebut. Selanjutnya dalam hal memutus upaya hukum kasasi dengan alasan cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, maka Mahkamah Agung menetapkan disertai penunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut untuk diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain. Selain itu, dalam hal pengajuan kasasi dengan alasan pengadilan atau hakim yang bersangkutan telah melampaui batas wewenangnya untuk mengadili perkara tersebut maka Mahkamah 13 Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain untuk mengadili perkara tersebut. Hal ini dilakukan guna mengoreksi kesalahan-kesalahan putusan pengadilan di tingkat bawah yang dikenal sebagai judex factie. e. Prosedur Pengajuan Kasasi Sebagai suatu hal yang diatur dalam undang-undang maka dalam pengajuan kasasi agar dapat diterima haruslah diajukan sesuai dengan tata cara permohonan berdasarkan ketentuan KUHAP sebagai berikut : 1) Permohonan kasasi diajukan kepada panitera pengadilan negeri yang memutus perkara di tingkat pertama. Pasal 245 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa : “Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itudiberitahukan kepada terdakwa”. 2) Pihak yang berhak mengajukan kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP adalah terdakwa atau penuntut umum dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan tersebut diberitahukan. 3) Tenggang waktu pengajuan kasasi berdasarkan KUHAP adalah empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat (1) KUHAP). Sedang apabila permohonan kasasi diajukan lebih dari tenggang waktu yang ditentukan maka berdasarkan ketentuan Pasal 246 ayat (1) dan ayat (2) bahwa para pihak yang bersangkutan dianggap telah menerima putusan tersebut dan hak untuk mengajukan kasasi adalah gugur. 4. Saat mengajukan kasasi, pemohon wajib menyusun memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 253 Ayat (1) KUHAP. Apabila pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum maka panitera wajib untuk membuatkan 14 memori kasasinya. Alasan-alasan pengajuan kasasi yang dibenarkan menurut ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP adalah : a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Sedangkan alasan-alasan pengajuan kasasi yang tidak dibenarkan menurut Tholib Effendi adalah : a. Keberatan kasasi putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri; b. Keberatan atas penilaian pembuktian; c. Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta; d. Alasan yang tidak menyangkut pokok perkara; e. Berat ringannya atau besar kecilnya denda; f. Keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti; g. Keberatan kasasi mengenai novum (Tholib Effendi, 2015: 194195). 2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum Terdapat perbedaan pengertian antara jaksa dan penuntut umum yang sering kali disama artikan oleh masyarakat awam. KUHAP memberi arti jaksa dalam pengertian umum, sedangkan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara (Andi Hamzah, 2009: 74-75). Perbedaan pengertian antara jaksa dan penuntut umum dibedakan secara tegas dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP sebagai berikut: a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 15 b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pengertian tersebut tidak jauh berbeda seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. b. Pengertian Penuntutan Definisi tentang penuntutan yang diberikan oleh Wirjono Prodjodikorodalam buku Andy Sofyan dan Abd. Asis berjudul Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (2014: 169), tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam KUHAP. Wirjono Prodjodikoro hanya menyebutkan secara tegas istilah “terdakwa”, sedangkan KUHAP tidak menyebutnya. Menurutnya, penuntutan merupakan tindakan penuntut umum untuk menuntut seorang terdakwa dimuka pengadilan dengan cara menyerahkan perkara dan berkas perkaranya kepada hakim dengan maksud agar perkara tersebut diperiksa dan diutus oleh hakim dimuka sidang. Definisi tentang penuntutan lebih rinci diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Pihak yang berwenang melakukan penuntutan adalah penuntut umum sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 137 KUHAP yaitu “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”. 16 c. Wewenang Penuntut Umum Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu baik dalam hal membuat keputusan, memerintah maupun melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Penuntut umum sebagai pihak yang esensial dalam hal penuntutan memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KUHAP antara lain sebagai berikut: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dan penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Menutup perkara demi kepentingan hukum; h. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang; i. Melaksanakan penetapan hakim. Selain wewenang di atas, Penuntut Umum juga berhak untuk menentukan apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan ataupun diberhentikan setelah menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik (Pasal 139 KUHAP). Pasal 140 KUHAP mengatur bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat 17 bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Apabila penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Dapat dikatakan bahwa penuntutan dapat dihentikan berdasarkan tiga alasan yaitu : 1. Alasan tidak cukup bukti; 2. Alasan bukan merupakan tindak pidana; 3. Perkara ditutup demi kepentingan hukum. 3. Tinjauan Tentang Putusan a. Pengertian Putusan KUHAP memberikan pengertian tentang putusan pengadilan pada Pasal 1 angka 11 KUHAP yang menyatakan bahwa “putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang yang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang”. Yahya Harahap menambahkan bahwa putusan merupakan tahapan terakhir dalam proses peradilan yang didalamnya terdapat proses pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan saksi, dan pemeriksaan barang bukti (M.Yahya Harahap, 2012: 347). b. Tata Cara Pengambilan Putusan Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan harus benarbenar mengerti mengenai duduk perkara agar mengetahui peraturan 18 hukum mana yang akan diterapkan.Hal ini untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penerapan hukum. Demi menjamin kepastian hukum dan keadilan seorang hakim harus benar-benar mengerti dan memperhatikan peraturan hukum tertulis seperti undang-undang maupun peraturan hukum tidak tertulis seperti nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum danrasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan : “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Timbulnya kewajiban hakim untuk melakukan penemuan hukum karena hakim merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan dalam proses peradilan (Wildan Suyuthi, 2013: 65) Pasal 182 Ayat (4) KUHAP mengatur bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim merupakan hasil permusyawaratan majelis hakim yang harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang, serta Pasal 182 Ayat (5) KUHAP menjelaskan bahwa dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Pasal 182 Ayat (6) KUHAP ditentukan bahwa pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. putusan diambil dengan suara terbanyak; 19 b. jika ketentuan pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Sedangkan, Pasal 197 KUHAP mengatur bahwa suatu putusan pemidanaan haruslah memuat : a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenaifakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yangmenjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; 20 l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Apabila syarat tersebut diatas tidak terpenuhi maka dapat mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum (Pasal 197 Ayat (2) KUHAP).Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakimanjuga mengatur bahwa isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Selain itu agar suatu putusan dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat maka putusannya harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP). b. Jenis-Jenis Putusan Hakim Terdapat jenis-jenis putusan hakim menurut KUHAP yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : 1) Putusan yang bukan putusan akhir Dalam praktik, bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela yang sering pula disebut dengan istilah tussen-vonnis. Putusan jenis ini mengacu kepada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yakni dalam hal terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum. Berikut ini adalah putusan yang termasuk kedalam jenis putusan bukan putusan akhir, yaitu : a) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili. Putusan yang berbentuk penetapan tidak berwenang mengadili didasarkan pada Pasal 147 KUHAP yaitu setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang 21 pengadilan yang dipimpinnya, serta Pasal 148 KUHAP telah memberi pedoman kepada pengadilan negeri untuk menyerahkan pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan yang dianggap berwenang mengadilinya, dengan cara Ketua Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut mengeluarkan surat penetapan berisi pernyataan tidak berwenang mengadili dengan disertai alasannya (M. Yahya Harahap, 2012: 357-358). b) Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima mengacu kepada ketentuan Pasal 156 Ayat (1) KUHAP. Putusan jenis ini dijatuhkan karena ketidakcermatan penuntut umum, yang disebabkan oleh : (1) Tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (ne bis in idem). (2) Tidak adanya pengaduan, apabila tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa merupakan delik aduan. (3) Hilangnya hak penuntutan karena telah daluwarsa (verjaring). c) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum. Dasar putusan ini adalah ketentuan Pasal 143 Ayat (3) KUHAP yang berbunyi : “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagai mana dimaksud dalam Ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Ketentuan yang dimaksud adalah uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. 2) Putusan Akhir. Putusan akhir dalam praktiknya sering disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis, berbeda halnya dengan putusan yang bukan putusan 22 akhir yang dalam praktiknya berupa penetapan atau putusan sela. Putusan akhir dapat terjadi apabila Majelis Hakim memeriksa terdakwa yang hadir pada persidangan sampai pokok perkaranya selesai diperiksa sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 182 Ayat (3), Pasal 182 ayat (8), Pasal 197 dan Pasal 199 KUHAP. Majelis Hakim dianggap selesai memeriksa pokok perkara setelah melalui proses pemeriksaan identitas, pembacaan surat dakwaan, acara keberatan/eksepsi dari terdakwa dan pendapat jaksa/penuntut umum, penetapan/putusan sela, pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan, pernyataan pemeriksaan ditutup serta adanya pembacaan putusan yang dilakukan oleh hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum (Lilik Mulyadi, 2000:146). Adapun jenis putusan akhir dalam perkara pidana adalah : a) Putusan Bebas. Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP). M. Yahya Harahap dalam bukunya menyebutkan bahwa putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak)atau acquittal, dengan kata lain dibebaskan dari pemidanaan (M. Yahya Harahap, 2012: 347). Berdasarkan rumusan Pasal 183 KUHAP dikaitkan dengan rumusan Pasal 191 Ayat 1 (KUHAP), putusan bebas dijatuhkan apabila hakim dalam pemeriksaan di persidangan menemukan halhal sebagai berikut: (1) Tidak Memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif. Artinya adalah pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwasehingga tidak dapat diyakini oleh hakim karena dalam asas hukum pidana 23 dikenal adagiumyakni lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah apabila hakim tidak melihat cukup bukti atau ragu-ragu. (2) Tidak Memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian. Yakni hakim secara nyata menilai bahwa pembuktian kesalahan terdakwa tidak memenuhi ketentuan batas minimun pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sesuai ketentuan Pasal 191 Ayat (2) KUHAP. Dimaksudkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut umum dalam surat dakwaan terhadap terdakwa adalah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana atau adanya penghapusan pidana terhadap terdakwa karena adanya alasan pembenar yang meniadakan unsur melawan hukum dan alasan pemaaf yang meniadakan kesalahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Tholib Effendi, 2015 : 183). c) Putusan Pemidanaan. Putusan pemidanaan didasarkan pada ketentuan Pasal 193 Ayat (1) KUHAP, yakni apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan 24 kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Pasal 10 KUHP mengatur mengenai jenis pidana yang dapat dijatuhkan dalam putusan pemidanaan meliputi : a. Pidana Pokok yang dapat berupa : 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; dan 5. Pidana tutupan. b. Sedangkan pidana tambahan berupa : 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. 4. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Terdapat istilah pembuktian dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan dalam membuktikan suatu perkara di pengadilan. Pembuktian dianggap sebagai bagian terpenting dalam acara pidana karena digunakan untuk menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum. Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Susanti Ante, 2013 : 98). Sistem pembuktian perkara pidana di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 183 KUHAP bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat 25 bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Proses pembuktian dalam sidang pengadilan biasanya dimulai dengan adanya perbuatan pidana, baru kemudian ditentukan apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat atau tidak dimintai pertanggungjawabannya terhadap terdakwa yang sedang diadili (Eddy O.S. Hiariej, 2014: 93). b. Pengertian Alat Bukti Alat bukti didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan mengenai kebenaran suatu perkara di pengadilan. Alat bukti yang sah menurut KUHAP diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri atas : 1) Keterangan Saksi. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Pada umunya semua orang dapat menjadi saksi kecuali tidak memenuhi syarat saksi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP (Andi Hamzah, 2009: 260). Pengecualian tersebut meliputi : a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena parkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c) Suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Tidak semua keterangan saksi dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. Terdapat syarat-syarat agar keterangan saksi dapat 26 digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan yang dapat membuat terang suatu perkara pidana, antara lain : a) Dinyatakan dalam sidang secara langsung; b) Keterangan tersebut diberikan dibawah sumpah; c) Keterangan seorang saksi bukanlah saksi, dimaksudkan bahwa KUHAP mensyaratkan lebih dari satu orang saksi. Namun prinsip ini dapat disimpangi apabila terdapat alat bukti lain yang mendukung; d) Keterangan saksi yang berdiri sendiri mengenai suatu peristiwa atau kejadian saling berhubungan dengan keterangan para saksi yang lain; e) Adanya kesesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain; f) Adanya kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; g) Cara hidup dan segala kesusilaan saksi dan segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat atau tidaknya keterangan tersebut dipercaya patut dipertimbangkan oleh hakim dalam menilai keterangan tersebut (Tholib Effendi, 2015: 175). 2) Keterangan Ahli. Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 184 KUHAP setelah keterangan saksi. Artinya bahwa keterangan ahli juga memegang peranan penting dalam pembuktian (Andi Hamzah, 2009: 272). Menurut ketentuan Pasal 1 butir 28 KUHAP menyebutkan bahwa: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pasal 186 KUHAP menambahkan bahwa “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”. Isi keterangan seorang saksi dengan keterangan ahli adalah berbeda. Saksi memberikan keterangan mengenai apa yang ia dengar, lihat dan alami sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah 27 mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dengan cara pengambilan keputusan mengenai hal-hal tersebut (Andi Hamzah, 2009: 274). 3) Surat. Alat bukti surat sebagai alat bukti tertulis diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang terdiri atas 4 ayat yang mengatur tentang : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Menurut J.M. van Bemmelen dalam buku Andi Hamzah berjudul Hukum Acara Pidana Indonesia (2009: 276), alat bukti tertulis yang dapat dipertimbangkan dalam hukum acara pidana hanyalah akta autentik, sedangkan alat bukti surat dibawah tangan tidak dipakai lagi berbeda halnya dengan hukum acara perdata. 4) Petunjuk. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 Ayat (1) KUHAP). Petunjuk hanya dapat diperoleh melalui keterangan saksi, surat, dan 28 keterangan terdakwa (Pasal 188 Ayat (2) KUHAP). Namun menurut van Bemmelen (dalam Andi Hamzah, 2009: 277), petunjuk (aanwizjing) sebagai alat bukti adalah tidak ada artinya. Van Bemmelen juga mengatakan bahwa “Maar de voornaamste fout was toch, dat de aanwijzingen als een bewijsmiddel werden beschouwd, terwijl zij het in wezen niet waren”. Artinya adalah kesalahan utama ialah bahwa petunjuk-petunjuk dipandang sebagai suatu alat bukti, padahal pada hakikatnya tidak ada. Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1950 juga telah menghapus petunjuk sebagai alat bukti yang dianggap sebagai inovasi dalam hukum acara pidana. Namun hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yang masih menganggap bahwa petunjuk merupakan alat bukti yang sah (Andi Hamzah, 2009: 277). 5) Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 Ayat (1) KUHAP). Ditambahkan pula bahwa keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain yang dianggap sah dan mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat (Pasal 189 Ayat (4) KUHAP). KUHAP dengan jelas mencantumkan istilah “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, baik itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena dalam pengakuan sebagai alat bukti diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : 29 1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan; 2. Mengaku ia bersalah (Andi Hamzah, 2009: 278). c. Teori Pembuktian Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa terdapat beberapa sistem atau teori yang digunakan untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori ini dikenal dengan istilah teori pembuktian yang mana bervariasi menurut waktu dan tempatnya (negara) (Andi Hamzah, 2009: 249). Terdapat empat teori pembuktian yang dikenal dalam hukum acara pidana, yaitu : 1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie). Teori pembuktian ini hanya didasarkan kepada undang-undang. Artinya adalah jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alatalat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini juga disebut sebagai teori pembuktian formal. Menurut teori ini bahwa perihal bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya kepada sejumlah alat-alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sehingga keyakinan hakim harus dikesampingkan. Namun teori ini sudah tidak dianut lagi untuk diterapkan di Indonesia karena terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebutkan oleh undang-undang tanpa memperhatikan keyakinan hakim yang berpangkal kepada keyakinan dan norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat (Andi Hamzah, 2009: 251). 2) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction Intivie). Sistem atau teori pembuktian ini sangat bertolak belakang dengan teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Teori ini memerlukan adanya keyakinan hakim sendiri untuk memutuskan salah atau tidaknya terdakwa sehingga tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan 30 segala sesuatunya kepada kebijaksanaan dan pendapat hakim yang bersifat subjektif atau perseorangan. Dapat dikatakan bahwa, dalam teori ini cukuplah bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka tanpa terikat pada suatu peraturan. Hakim dalam menentukan hanya didasarkan pada perasaannya saja, apakah suatu peristiwa atau keadaan terbukti sebagai kesalahan terdakwa ataukah tidak (Andi Sofyan, Abd.Asis, 2014: 234). 3) Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Laconviction Raisonnee). Teori ini merupakan jalan tengah karena pembuktiannya didasarkan pada keyakinan hakim pada batas tertentu (Laconviction Raisonnee). Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive)yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian sehingga putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Teori pembuktian ini disebut juga sebagai teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije beijstheorie) (Andi Hamzah. 2009: 253). Teori ini mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian akan tetapi tidak terpaku kepada apa yang ada dalam undang-undang saja melainkan juga berdasarkan kepada alat-alat bukti dan cara pembuktian diluar undang-undang. Dasar putusan hakim dalam teori ini bergantung atas keyakinan dan pendapatnya sendiri (subyektif) (Andi Sofyan, Abd.Asis, 2014: 234). 4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk). Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif berpangkal tolak pada aturan–aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi harus pula diikuti oleh keyakinan hakim. KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian ini. Hal tersebut terlihat dari bunyi ketentuan Pasal 183 KUHAP yang 31 menjelaskan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan bunyi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa pembuktian harus didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dengan didampingi oleh keyakinan hakim atas alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2009: 254). 5. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penipuan a. Pengertian Tindak Pidana Terdapat berbagai pengertian mengenai tindak pidana. Simons dalam buku Lamintang berjudul Delik-Delik Khusus (1984: 185) memberikan pengertian mengenai tindak pidana yaitu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Sedangkan Moeljatno, memberikan pengertian mengenai perbuatan pidana yaitu sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1993: 54). Menurut pendapat Moeljatno yang dikutip oleh Adam Chazawi, perbuatan pidana tersebut lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut : 1) Bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang melakukan; 2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) memiliki hubungan yang erat; 3) Lebih tepat menggunakan istilah perbuatan pidana dikarenakan menunjuk pada dua keadaan konkret yakni pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat perbuatan tersebut (Adam Chazawi, 2002: 71). 32 Berdasarkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan oleh Moeljatno dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut : 1) Melawan hukum; 2) Merugikan masyarakat; 3) Dilarang oleh aturan pidana; 4) Pelakunya diancam dengan pidana (Sudradjat Bassar, 1986: 2). b. Pengertian Tindak Pidana Penipuan Penipuan diatur didalam Pasal 378 hingga Pasal 395 KUHP, Buku II Bab ke XXV. Dipergunakan istilah penipuan atau bedrog dalam bab tersebut, karena sesungguhnya diatur sejumlah perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap harta benda yang dilakukan dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau tipu muslihat. Bentuk pokok dari tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP yang menyebutkan bahwa “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Dari bunyi rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa unsur-unsur penipuan meliputi : 1) Unsur subyektif : dengan maksud a) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Unsur subyektif dengan maksud adalah kesengajaan. Bahwa subyek hukum yang melakukan perbuatan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain memiliki kesengajaan yang artinya adalah mengetahui dan menghendaki perbuatan yang dilakukannya dilakukan untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 33 b) Dilakukan dengan melawan hukum. Diartikan bahwa perbuatan subyek hukum tersebut dilakukan secara melawan hukum demi mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Syarat dari melawan hukum harus selalu dihubungkan dengan alat-alat penggerak atau pembujuk yang dipergunakan. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila : (1) Bertentangan dengan hukum; (2) Bertentangan dengan hak orang lain; (3) Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum 2) Unsur obyektif : membujuk atau menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk atau penggerak a) Memakai nama palsu. Memakai nama palsu adalah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya atau nama orang lain. Bahkan apabila penggunaan nama yang tidak dimiliki oleh orang lain. b) Memakai martabat palsu; Martabat palsu adalah pernyataan dari seseorang bahwa ia ada dalam kedudukan tertentu. Bahwa dengan kedudukan tersebut diperoleh hak-hak tertentu yang sebenarnya bukan miliknya. c) Rangkaian kebohongan; Rangkaian kebohongan dimaksudkan sebagai rangkaian kata-kata bohong yang diucapkan secara tersusun sedemikian rupa sehingga kepalsuan itu dianggap seperti benar adanya. d) Tipu muslihat Tipu muslihat merupakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut menumbuhkan keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap sesuatu. Tipu muslihat tersebut dilakukan dengan tujuan agar menyerahkan 34 sesuatu barang, membuat hutang atau menghapus piutang (Moch. Anwar, 1989:41). b. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Penipuan Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Putusan Bebas Pengadilan Negeri Pacitan Nomor 43/Pid.B/2014/PN Pct Kesesuaian dengan KUHAP Upaya Hukum Kasasi Putusan Dikabulkan dan Membatalkan Putusan Bebas Pengadilan Negeri Pacitan Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan : Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis untuk menjawab permasalahan hukum yakni mengenai alasan pengajuan kasasi Penuntut Umum terhadap putusan bebas Pengadilan Negeri Pacitan dalam perkara penipuan yang dilakukan oleh Terdakwa II Supriono Sakim. Jaksa Penuntut Umum dalam putusan tersebut menilai bahwa hakim Pengadilan 35 Negeri Pacitan telah salah menerapkan hukum khususnya dalam hal pembuktian atau telah menerapkan hukum namun tidak sebagaimana mestinya. Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya hukum kasasi yang kemudian dikabulkan oleh hakim Mahkamah Agung dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pacitan Nomor: 43/Pid.B/2014/PN.Pct tanggal 17 Juli 2014 dengan amar putusan yang berbunyi “menyatakan Terdakwa II Supriono Sakim bin Tosetiko alias Sakiyo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan Penipuan”. Atas hal tersebut, penulis mencoba untuk menguraikan permasalahan yang menarik untuk dikaji secara yuridis dalam penulisan hukum ini yakni mengenai alasan pengajuan kasasi penuntut umum terhadap putusan bebas Pengadilan Negeri Pacitan Nomor: 43/Pid.B/2014/PN.Pct apakah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 253 Ayat (1) KUHAP serta pertimbanganpertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum.