ISSN 1410-1939 EMISI CO2 TANAH GAMBUT PADA PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA DI KECAMATAN MENDAHARA, KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR [CO2 EMISSIONS FROM PEAT SOIL AT DIFFERENT TYPES OF LAND USE IN MENDAHARA, TANJUNG JABUNG TIMUR REGENCY] Dedy Antony1 dan Fuad Nurdiansyah1 Abstract This study was aimed at determining the amount of CO2 emissions from peat soil at different types of land use in Mendahara Ulu and Pandan Lagan villages, Mendahara, Tanjung Jabung Timur Regency. The study was carried out on September 2000 through to May 2001. Soil bulk density and pH were analyzed at Soil Science Laboratory, Agricultural Faculty, University of Jambi. The trial consisted of 3 plots in secondary forest, 2 plots in newly cultivated land and 2 plots in transmigration area. The samples of soil were taken at the initiation of the trial and the sample of CO2 effluxes were determined in situ in each plot on daily basis for two weeks using Closed Chamber Infra Red Gas Analyzer. The results indicated that the highest flux of CO2 emission (0.66-1.74 g m-2 hr-1) was from transmigration area, followed by newly cultivated land (0.61-1.46 g m-2 hr1 ), and the lowest (0.36-0.64 g m-2 hr-1) was from secondary forest. The fluxes of CO2 was higher in wet season (0,39-1,74 g m-2 hr-1) compared to dry season (0,34-1,06 g m-2 hr-1). Key words: CO2 emission, peat, soil conservation. Kata kunci: emisi CO2, gambut, konservasi tanah. PENDAHULUAN Luas lahan gambut di Indonesia mencapai lebih-kurang 27 juta hektar. Sebagian besar lahan gambut tersebut tersebar di berbagai pulau di Indonesia, seperti Sumatera (8,875 juta hektar), Sulawesi (0,04 juta hektar), Kalimantan (6,523 juta hektar), Irian Jaya (10,875 juta hektar) dan Maluku (0,525 juta hektar) (Pusat Penelitian Tanah, 1981 sebagaimana dikutip oleh Sutarta dan Darmosaskoro, 1993). Lahan gambut di Propinsi Jambi ter-utama tersebar di sepanjang pantai timur (menca-kup Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur) dengan total luas areal kurang-lebih 334.712 ha (Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jambi, 1993). Dewasa ini semakin banyak lahan gambut yang dibuka untuk pemukiman transmigrasi berpola pertanian dan untuk perluasan perkebunan. Pembukaan lahan gambut selain mempunyai dampak positif, juga memiliki dampak negatif. Salah satu dampak yang dikhawatirkan akan timbul dengan dibukanya lahan gambut adalah timbulnya emisi karbon dioksida (CO2), dan dinitrogen oksida (N2O) 1 dalam jumlah besar yang dapat menyebabkan efek rumah kaca (Mitch, 1993 sebagaimana dikutip oleh Ridlo, 1997). Efek rumah kaca, dalam kaitannya dengan pemanasan global yang disebabkan oleh gas-gas rumah kaca (antara lain karbon dioksida, freon, dinitrogen oksida, dan metana) menghambat pelepasan radiasi permukaan bumi untuk melepaskan kelebihan energi ke atmosfer, sehingga terjadi pemanasan global. Di antara beberapa gas rumah kaca di atas, perhatian orang banyak tertuju kepada gas CO2 yang mempunyai kontribusi terbesar terhadap pemanasan global (Gambar 1) (Pirkko, 1990 sebagaimana dikutip oleh Ridlo, 1997). Pada lahan gambut yang dibuka akan terjadi penghentian akumulasi karbon. Proses yang terjadi kemudian adalah dekomposisi yang berlangsung lebih cepat dibandingkan pada kondisi lahan yang belum dibuka. Hasil dekomposisi pada permukaan gambut pada kondisi aerobik didominasi oleh CO2 dan pada zona lebih dalam terjadi reaksi anaerobik yang menghasilkan CH4 (Ridlo, 1997). Menurut Langeveld et. al. (1997), tanah gambut merupakan penyumbang emisi CO2 yang tinggi. Tanah gam- Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361 111 Jurnal Agronomi 9(2): 111-115 but yang digunakan untuk pertanian merupakan sumber utama CO2 yang dihasilkan dari oksidasi dari bahan organik. G a s la in 2% F re o n 26% CO 2 48% O zon 10% M e ta n a 8% N 2O 6% Gambar 1. Kontribusi bermacam jenis gas terhadap efek rumah kaca (Pirkko, 1990 sebagaimana dikutip oleh Ridlo, 1997). Berdasarkan penelitian Ali et al. (1999) pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendahara Ulu dan Pandan Lagan dilaporkan telah terjadi peningkatan jumlah sedimen tersuspensi, karbon organik terlarut, dan potensial emisi CO2 dan CH4. Dugaan tingginya emisi CO2 ini disebabkan oleh pembukaan hutan yang terjadi pada DAS Mendahara dan Lagan. Kegiatan ini diduga berawal dari tahun 1970-an dan masih berlangsung hingga sekarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah emisi CO2 tanah gambut pada penggunaan lahan yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi awal dari emisi CO2 pada penggunaan lahan yang berbeda, sehingga pengelolaan lahan gambut yang terkoordinasi dapat dipertimbangkan. BAHAN DAN METODA Penelitian ini dilakukan di Desa Mendahara Ulu dan Pandan Lagan, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, yaitu pada lahan hutan gambut sekunder dan lahan yang dibuka untuk lahan pertanian (lahan transmigrasi dan lahan bukaan baru). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Pelaksanaan penelitian berlangsung selama lebih-kurang 6 bulan, yakni dimulai pada akhir bulan September 2000 sampai dengan bulan Mei 2001. 112 Lokasi pengambilan contoh sebanyak 7 plot, yang terdiri dari hutan sekunder (3 plot), lahan bukaan baru yang merupakan areal bekas kebakaran hutan sekitar tahun 1997 (2 plot), dan lahan transmigrasi (2 plot). Ukuran plot yang dibuat yaitu 20 × 6 m. Pengambilan data (emisi CO2 dan sifat fisika serta kimia tanah) dilakukan secara acak di lokasi masing-masing plot. Pengambilan contoh tanah untuk pengamatan peubah bobot isi dan pH dilakukan pada awal penelitian. Sifat tanah lainnya yang diamati adalah kedalaman gambut, tingkat pelapukan dan kedalaman drainase. Pengukuran emisi CO2 dilakukan menggunakan Closed Chamber Infra Red Gas Analyzer (CCIRGA). Setelah itu pengukuran dilakukan dengan meletakkan lingkaran stainless steel pada dasar chamber (silinder), ditekan ke tanah sampai kedalaman 1 cm dengan meminimalkan gangguan pada tanah. Selanjutnya emisi CO2 dari tanah diukur dengan durasi maksimal 120 detik atau sampai batas maksimum peningkatan konsentrasi CO2 sebesar 50 ppmv (Janssens et al., 2000). Pengukuran CO2 dilaksanakan pada bulan Oktober dan November 2000, dan Maret, April dan Mei 2001. Pengukuran regular dilakukan setiap dua minggu selama dua hari (pada bulan Oktober dan November 2000) dan selama satu hari (pada bulan Maret, April dan Mei, 2001). Pengukuran dilakukan 3 kali sehari yaitu pada pagi hari (pukul 05.30 - 08.00), siang hari (pukul 11.00 - 14.00), dan sore hari (pukul 16.30 - 18.00). Pada masingmasing plot diambil 5 kali pengukuran (ulangan) untuk setiap waktu pengukuran. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisika dan kimia tanah di lokasi penelitian Hasil analisis terhadap sifat fisika dan kimia tanah pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisika dan kimia tanah pada lokasi penelitian. Tingkat Bobot pH pelapukan isi tanah (0-30 cm) (g cm3) (H2O) Lokasi penelitian Ketebalan gambut Hutan sekunder >2m safrik 0,285 4,953 Areal bukaan baru >4m safrik 0,320 2,853 Areal transmigrasi >4m safrik 0,392 2,877 Dedy Antony dan Fuad Nurdiansyah: Emisi CO2 Tanah Gambut di Tanjung Jabung Timur Tabel 1 menunjukkan rata-rata ketebalan gambut di lokasi penelitian lebih dari 2 m dan termasuk ke dalam kriteria gambut dalam dengan tingkat dekomposisi paling lanjut (Darmawijaya, 1992). Tabel 1 juga menunjukkan perbedaan bobot isi di antara ketiga jenis penggunaan lahan. Nilai bobot isi terendah terdapat pada lahan hutan sekunder, dan diikuti oleh lahan bukaan baru, serta yang tertinggi pada lahan transmigrasi. Klemedtsson et al. (1997) menyatakan bahwa pembuatan drainase pada lahan yang diusahakan (lahan bukaan baru dan transmigrasi) dapat menyebabkan peningkatan bobot isi dan penurunan permeabilitas tanah. Hasil analisis pH tanah pada lokasi penelitian, menunjukkan bahwa ketiga lokasi mempunyai pH tanah yang sangat masam (Soepardi, 1983), di mana sumber kemasaman pada tanah gambut banyak berasal dari asam-asam organik dan asam anorganik (asam sulfur). Variasi spasial dan temporal emisi CO2 pada lokasi penelitian Tiap bulan yang berbeda mempunyai pelepasan CO2 yang bervariasi, baik pada masing-masing bulan pengamatan maupun pada lokasi yang berbeda (Gambar 2). Gambar 2 juga menunjukkan bahwa hutan sekunder mempunyai emisi CO2 yang lebih rendah (0,64 – 0,36 g m-2 hr-1), diikuti oleh lahan bukaan baru (1,46 – 0,61 g m-2 hr-1), dan yang paling tinggi pada lahan transmigrasi (1,74 – 0,66 g m-2 hr-1). Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa kondisi lahan hutan sekunder memiliki suhu tanah dan udara yang lebih rendah dan tinggi muka air tanah yang lebih dangkal dibandingkan lahan bukaan baru maupun lahan transmigrasi. Sementara itu kondisi lahan bukaan baru relatif hampir sama dengan lahan transmigrasi, walaupun suhu (udara dan tanah) lebih tinggi dan tinggi muka air tanah lebih dalam pada lahan transmigrasi (Tabel 2). Kondisi ini menunjang laju dekomposisi bahan organik yang lebih cepat pada lahan bukaan baru dan transmigrasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada lahan gambut di Finlandia (Hillibrend, 1993 sebagaimana dikutip oleh Triutomo, 1997), di mana kondisi gambut alami memiliki emisi yang lebih rendah dibandingkan lahan gambut yang digunakan untuk budidaya. Emisi CO2 pada lahan hutan sekunder lebih rendah disebabkan banyak terdapat vegetasi pada lahan tersebut. Sebagian besar CO2 yang dilepaskan diserap oleh vegetasi yang ada untuk digunakan pada proses fotosintesis. Sedangkan pada lahan bukaan baru dan transmigrasi, vegetasi lebih sedikit, sehingga CO2 hasil dekomposisi lebih banyak terlepas ke atmosfer dan meningkatkan konsentrasi CO2 di udara. Dari Gambar 2 dapat dilihat pelepasan CO2 secara rata-rata lebih tinggi pada bulan-bulan basah (0,39 - 1,74 g m-2 hr-1) yang biasanya merupakan musim penghujan (Oktober dan November 2000 dan Maret 2001) dan lebih rendah pada pengamatan bulan kering (0,34 - 1,06 g m-2 hr-1) yang biasanya merupakan musim kemarau (April dan Mei 2001). Hal ini disebabkan karena pengamatan pada bulan-bulan basah (terutama Oktober dan November 2000) merupakan peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan. Kondisi ini didukung oleh rata-rata suhu (baik tanah dan udara) lebih tinggi, dan tinggi muka air tanah yang lebih dalam, dan ditambah dengan curah hujan yang mulai cukup tinggi (Tabel 2). 2 Emisi CO 2 (g/m 2/jam) 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 16/10- 03/11- 13/11- 01-03 15-03 01-04 15-04 01-05 15-05 18/10 05/11 15/11 Tanggal Pengukuran H utan s ekunder T ra ns is i T ra ns migras i Gambar 2. Grafik emisi CO2 seluruh waktu pengamatan pada semua lokasi penelitian. 113 Jurnal Agronomi 9(2): 111-115 Tabel 2. Emisi CO2 (g m-2 hr-1), Suhu (T) udara (oC), Suhu (T) tanah (oC), dan tinggi muka air tanah (TMA) (cm) selama penelitian. Waktu Pengamatan Hutan sekunder Emisi CO2 Bukaan Baru T-udara T-tanah TMA Transmigrasi Emisi CO2 T-udara T-tanah TMA Emisi CO2 T-udara T-tanah TMA 72,5 16/10-18/10 0,64 26,6 26,3 35 1,46 29,3 28,3 40 1,74 29 28,5 03/11-05/11 0,79 28,0 26,0 11,5 1,54 28,4 28,3 32,5 1,10 28 28,8 65 13/11-15/11 0,99 27,3 26,3 10 1,13 29,3 29,1 27,5 0,87 29,3 29,2 65 01-03 0,48 28,5 25,8 15 0,58 30,0 27,8 32,5 0,71 30 27,8 70 15-03 0,39 26,3 25,6 7,5 0,97 27,6 28,0 36,5 1,08 27,6 28 80 01-04 0,34 27,3 25,3 2,5 0,86 27,3 27,6 30 1,06 27,4 27,8 80 15-04 0,39 26,9 25,4 11 0,66 28,7 27,6 30 0,82 31,4 27,8 60 01-05 0,38 26,3 26,6 12,5 0,60 26,2 28,6 34 0,76 27,6 28,8 67,5 15-05 0,36 26,6 25,6 6,5 0,61 27,7 28,5 37,5 0,66 28,6 28,6 65 Dibandingkan dengan pengamatan pada bulanbulan kering, rata-rata suhu (baik tanah dan udara) pada bulan basah lebih rendah, walaupun muka air tanah hampir sama dengan bulan kering (kecuali lahan hutan sekunder) (Tabel 2). Hal ini diduga karena pada bulan kering merupakan peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau yang mempunyai curah hujan cukup tinggi. Suhu udara merupakan percerminan dari suhu permukaan tanah. Dari Tabel 2 dapat dilihat suhu udara pada bulan-bulan basah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara pada bulan-bulan kering. Hal yang sama terjadi pada suhu tanah, walaupun mengalami penurunan. Hal ini disebabkan semakin ke dalam tanah, suhu tanah semakin menurun sebagai akibat faktor kelembaban tanah pada kedalaman tersebut. Curah hujan yang tinggi menyediakan kelembaban yang cukup tinggi bagi mikroorganisme dan reaksi metabolik tanaman untuk menghasilkan CO2 secara maksimal. Menurut Lessard et al. (1994) sebagaimana dikutip oleh Taylor dan Ali (2001), suhu tanah dan kelembaban serta ketersediaan oksigen merupakan faktor lingkungan yang paling penting dalam mengontrol kecepatan produksi CO2 tanah. Semakin dalam muka air tanah, maka ketersediaan oksigen pada lapisan atas gambut makin meningkat. Hal ini akan meningkatkan dekomposisi aerobik dari gambut dan juga pelepasan CO2 (Silvola et al., 1996). Suhu tanah mempengaruhi kecepatan dekomposisi bahan organik, yang tentu saja terhadap pelepasan CO2. Reaksi kimia bahan-bahan organik sangat dipengaruhi oleh suhu tanah (Rosenzweig dan Hillel, 2000). 114 KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1). Variasi spasial emisi CO2 terendah (0,36 – 0,64 g m-2 hr-1) terdapat pada lahan hutan sekunder yang diikuti oleh lahan bukaan baru (0,61-1,46 g m-2 hr-1), dan yang paling tinggi pada lahan transmigrasi (0,66 - 1,74 g m-2 hr-1). 2). Variasi temporal emisi CO2 tertinggi (0,39 1,74 g m-2 hr-1) terdapat pada bulan-bulan basah yang merupakan awal musim penghujan dan yang paling rendah (0,34 – 1,06 g m-2 hr-1) terdapat pada bulan-bulan kering yang merupakan peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau. 3). Faktor yang di duga mempengaruhi emisi CO2 pada lokasi penelitian adalah tinggi muka air tanah dan suhu tanah. DAFTAR PUSTAKA Ali, M., D. Taylor, P. Sanderson, K. Y. H. Gin, G. Lee dan S. Couturier. 1999. Spatial and temporal variations in concentrations of suspended sediment, dissolved organic carbon, chlorophyll-a, and nutrients in water draining modified wetlands in southeast Sumatera, Indonesia. Regional Environmental Change, Singapore. Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jambi. 1993. Penyebaran Tanah di Propinsi Jambi. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jambi, Jambi. Darmawijaya, M. I. 1992. Klasifikasi Tanah: Dasar Teori bagi Peneliti Tanah di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Dedy Antony dan Fuad Nurdiansyah: Emisi CO2 Tanah Gambut di Tanjung Jabung Timur Janssens, I. A., A. S. Kowalski, B. Longdoz dan R. Ceulemans. 2000. Assessing forest soil CO2 efflux: an in situ comparison of four techniques. Tree Physiology 20: 23-32. Klemedtsson, A. K., L. Klemedtsson, K.Berglund, P. Martikainen, J. Silvola dan O. Oenema. 1997. Greenhouse gas emission from farmed organic soil: a review. Journal of Soil Use and Management 13: 245-250. Langeveld, C. A., R. Segers, B. O. M. Dirks, A. van den pol-van Dasselar, G. L. Velthof dan A. Hensen. 1997. Emissions of CO2, CH4, and N2O from pasture on drained peat soils in the Netherlands. European Journal of Agronomy 7: 35-47. Ridlo, R. 1997. Emisi CO2 pada pembukan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Jurnal Alami 2: 57-58. Rosenzweig, C. dan D. Hillel. 2000. Soils and global climate change: challenges and opportunities. Soil Science 165: 47-56. Silvola, J., J. Alm, U. Ahlholm, H. Nykanen dan J. P. Martikainen. 1996. CO2 fluxes from peat in boreal mires under varying temperature, oxic/anoxic conditions and substrate. Journal of Ecology 84: 219-228. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutarta, E. S. dan W. Darmosaskoro. 1993. Upaya Penanganan Kendala Budidaya Kelapa pada Lahan Gambut. Dalam Prosiding Gambut II. Himpunan Gambut Indonesia bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. Taylor, D. dan M. Ali. 2001. Biogeochemical Responses to Land Cover Changes in Coastal Peat Land Catchments: Spatial and Temporal Fluxes in Greenhouse Gas Emission and Peat Subsidence, Jambi Province, Sumatera. The Southeast Asian Regional Centre for START (SARCS) & United Nation Operations Programme (UNOP). Triutomo, S. 1997. Upaya penatagunaan tanah gambut di Indonesia. Jurnal Alami 2: 45-48. 115 116