Keragaman Genetik Gyrinops verstegii asal Papua

advertisement
Keragaman Genetik Gyrinops verstegii asal Papua
Berdasarkan RAPD dan Mikrosatelit
RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Keragaman Genetik Gyrinops verstegii
asal Papua Berdasarkan RAPD dan Mikrosatelit adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2009
Rima Herlina Setiawati Siburian
NIM E451070021
ABSTRACT
RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN. Genetic Variation of Gyrinops verstegii
originated from Papua based on RAPD and Mikrosatelit. Under direction of ULFAH
JUNIARTI SIREGAR and ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR
Gyrinops verstegii is one of the potential tree species for the production of agarwood in
the eastern part of Indonesia. In its natural habitat, this species is found to be
morphologically variable. This morpho-variation may reflect the degree of genetic
diversity as usually observed in many plant species. However, genetic information of
Gyrinops verstegii is still lacking. A genetic inventory was therefore undertaken, aiming
at estimating the genetic variation using wild population sampled from low and high
altitudes, i.e. Kebar and Manokwari. Genetic analyses were performed using two DNA
markers, i.e RAPD and microsatellites following standard procedures. Results showed
that the genetic variability of Kebar population (He= 0,2944) was higher than that of
Manokwari (He= 0.2357). AMOVA analysis showed that most of the variation is stored
in individual level contributing to 89 % of the total variation. Dendrogram analysis
showed that the reproductive populations, i.e mother tree and its progenies of each
location, were grouped together. This molecular information can be used for scientific
consideration in developing strategies for conservation and breeding.
Keywords: Gyrinops verstegii, genetic diversity, micro-satellite, RAPD marker
RINGKASAN
RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN. Keragaman Genetik Gyrinops verstegii asal
Papua berdasarkan RAPD dan Mikrosatelit. Dibimbing oleh ULFAH JUNIARTI
SIREGAR dan ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR.
Gyrinops verstegii merupakan salah satu tanaman penghasil gaharu yang berasal
dari Papua. Gyrinops verstegii yang dijumpai di alam memiliki morfologi daun yang
agak berbeda, terutama pada daerah dengan ketinggian tempat tumbuh yang berbeda.
Perbedaan morfologi ini menunjukkan tingkat keragaman genetik seperti yang umum
dijumpai pada berbagai jenis tumbuhan lain.
Informasi keragaman genetik, berupa tingkat dan distribusi keragaman yang ada
pada suatu jenis sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan penyusunan strategi
pemuliaan (breeding) dan juga konservasinya. Keragaman genetik yang ada merupakan
sumberdaya yang dapat memberikan peluang untuk dilakukannya rekombinasi, evaluasi
dan seleksi. Informasi keragaman genetik dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan
inventarisasi genetik baik melalui pengujian lapangan (field trial) ataupun analisis dengan
bantuan penanda genetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik
tanaman Gyrinops verstegii yang berasal dari dataran rendah dan tinggi (Manokwari dan
Kebar) dengan menggunakan penanda DNA RAPD dan Mikrosatelit.
Nilai keragaman genetik Gyrinops verstegii dalam populasi dengan menggunakan
metode RAPD menunjukkan keragaman genetik populasi Kebar (He = 0,2944) lebih
tinggi dibanding populasi Manokwari. (He = 0,2357). Hasil AMOVA menunjukkan
bahwa sumbangan keragaman terbesar diberikan oleh keragaman antar individu yakni
sebesar 89% dari total ragam.
Analisis dendogram berdasarkan jarak genetik, menunjukkan bahwa populasi
induk dan anakan dalam satu lokasi membentuk satu kelompok dengan jarak genetik
yang kecil, sedang antar populasi induk Manokwari dan Kebar memiliki jarak genetik
yang besar. Hal ini menggambarkan kedua kelompok tersebut terpisah dan diduga hal ini
menjadi penghalang terjadinya aliran gen. Informasi keragaman genetik ini diharapkan
dapat menjadi dasar strategi pengembangan konservasi dan pemuliaan.
Kata kunci: Gyrinops verstegii, Keragaman genetik, RAPD dan Mikrosatelit
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sabagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
Keragaman Genetik Gyrinops verstegii asal Papua
Berdasarkan RAPD dan Mikrosatelit
RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Silvikultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MScF
Judul Tesis
Nama
NIM
: Keragaman Genetik Gyrinops verstegii asal Papua Berdasarkan
RAPD dan Mikrosatelit
: Rima Herlina Setiawati Siburian
: E 451070021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr
Ketua
Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar. M.For.Sc
Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Silvikultur Tropika
Prof. Dr. Ir. I G K Tapa Darma, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 7 Juli 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
hikmat dan karuniaNya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 ini ialah
keragaman genetik, dengan judul Keragaman Genetik Gyrinops verstegii asal Papua
Berdasarkan RAPD dan Mikrosatelit.
Gyrinops verstegii merupakan salah satu jenis tanaman penghasil gaharu yang
dapat dijumpai pada daerah kepala burung Papua, namun memiliki bentuk morfologi
daun yang agak berbeda antara daerah Kebar (dataran tinggi) dan Manokwari (daerah
dataran rendah). Perbedaan morfologi ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan
genetik. Informasi genetik berupa tingkat dan distribusi keragaman yang ada pada suatu
jenis sangat penting untuk diketahui, berkaitan dengan penyusunan strategi pemuliaan.
Dalam upaya tersebut, penulis mencoba melakukan penelitian mengenai keragaman
genetik Gyrinops verstegii guna memberikan informasi dalam menunjang program
pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik terutama untuk spesies tersebut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr
dan Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan masukan dan saran dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf dan teman-teman
Laboratorium Silvikultur IPB, Bapak Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, M.Sc beserta staf
Laboratorium Biologi tumbuhan PAU IPB, dan Ibu Agustina Ika beserta staf NAMRU-2
Jakarta. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, anak-anakku
(Ista dan Lia), serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bokondini Papua pada tanggal 23 Mei 1973 dari ayah Drs.
S.D. Siburian dan ibu R. Simatupang. Penulis merupakan putri pertama dari tiga
bersaudara.
Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri I Jayapura dan pada tahun yang sama
melanjutkan pendidikan S1 pada Universitas Cenderawasih pada Fakultas Pertanian
Jurusan Kehutanan, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2007, melanjutkan pendidikan S2
di Institut Pertanian Bogor, pada Fakultas Kehutanan mayor Silvikultur Tropika. Sejak
tahun 2003 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Universitas
Negeri Papua Manokwari.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xiii
PENDAHULUAN...........................................................................................
1
Latar Belakang....................................................................................
1
Masalah................................................................................................
2
Tujuan Penelitian.................................................................................
3
Manfaat Penelitian................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
4
Botani Tumbuhan Gaharu......................................................................
4
Karakteristik morfologi Gyrinops verstegii .............................
5
Keragaman Genetik Tanaman Hutan .................................................
5
RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ..................................
7
Mikrosatelit .........................................................................................
10
METODE PENELITIAN ........................................................................... ....
12
Tempat dan Waktu Penelitian ...............................................................
12
Bahan dan Alat Penelitian......................................................................
13
Prosedur Penelitian ................................................................................
14
Pengambilan Sampel ..................................................................
14
Ekstraksi DNA
........................................................................
14
Seleksi Primer ..........................................................................
15
PCR (Polymerase Chain Reaction)
.......................................
17
................................................................................
17
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
....................................................................
20
Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit.....................................................
20
Keragaman Genetik Gyrinops verstegii berdasarkan RAPD .................
22
Keragaman dalam Populasi .......................................................
22
Keragaman Antar Populasi ........................................................
24
Sumber Keragaman genetik Gyrinops verstegii berdasarkan Mikrosatelit 26
Implikasi Genetik terhadap Sistim Silvikultur ........................................
SIMPULAN DAN SARAN
27
.............................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
29
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pohon Penghasil Gaharu di Indonesia ...........................................................
4
2. Penanda Molekuler yang telah digunakan pada tanaman kehutanan...............
7
3. Keadaan umum lokasi tempat tumbuh Gyrinops verstegii asal Papua ...........
13
4. Primer Golongan OPO dan OPY dalam Metode RAPD ...............................
16
5. Daftar Primer Mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ......................
16
6. Tahapan dalam Proses PCR ...........................................................................
17
7. Variabilitas genetik dalam populasi Gyrinops verstegii..................................
25
8. Jarak Genetik Gyrinops verstegii Manokwari dan Kebar .................................
24
9. Hasil Perhitungan AMOVA ...........................................................................
28
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bentuk bunga dan buah Gyrinops verstegii..............................................
6
2. Tahapan-tahapan pada proses PCR (Polymerase Chain Reaction)..........
11
3. Peta lokasi pengambilan sampel di daerah Manokwari dan Kebar .........
12
4. Anakan dan Induk tanaman Gyrinops verstegii ......................................
13
5. Cara penilaian pita dengan sistim scoring ...............................................
18
6. Profil pita DNA dengan primer OPO 09, OPO 10, OPY 13, OPY 9 dan
OPO 14 ....................................................................................................
20
7. Profil hasil elektroforesis untuk primer 6 PA 18 F dan 6PA 18 R-FAM (a)
dan 14 PA 17 F dan 14 PA 17 R ............................................................
21
8. Dendogram Jarak Genetik Antar Populasi Gyrinops verstegii berdasar
UPGMA
...........................................................................................
25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gaharu merupakan hasil dari pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh didaerah tropis
dan berasal dari marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya
termasuk dalam famili Thymeleaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 species, tersebar
mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Cina Selatan, Malaysia,
Filipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A.
microcarpa, A. hirta, A. becariana, A. cumingiana dan A. filaria). Keenam jenis tersebut
terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia,
Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan
Salomon serta Kepulauan Nicobar. Sembilan spesies diantaranya terdapat di Indonesia
yaitu di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Papua. Marga Gyrinops memiliki tujuh
spesies, enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian Timur (Annonimous 2009)
Tanaman penghasil gaharu yang telah diidentifikasi dan banyak terdapat di Papua
adalah jenis Aquilaria filarial, Aquilaria secundana, Aquilaria tomentosa, Aetoxylon
sympethalum, Enkleia malacensis, Wikstroemia poliantha, Wikstroemia androsaemofilia,
Girynops cumingiana, Girynops salicifolia, Girynops audate dan Girynops podocarpus
(Sumarna 2005). Jenis Girynops verstegii menurut Sumarna lebih banyak penyebarannya
pada daerah provinsi NTT dan NTB, sedang daerah Papua diketahui tidak termasuk
daerah penyebaran jenis ini. Namun menurut hasil survey Waroy (2006), jenis Gyrinops
verstegii dapat dijumpai pada sekitar daerah kepala burung Papua.
Girynops verstegii yang dijumpai pada daerah ini memiliki morfologi daun yang
agak berbeda, terutama pada daerah dengan letak topografi yang berbeda. Keragaman ini
menurut Soerianegara dan Djamhuri (1979), disebabkan adanya keragaman geografis
(antar provenansi), keragaman lokal (keragaman antar tempat tumbuh, antar tapak),
keragaman antar pohon, dan keragaman di dalam pohon.
Informasi keragaman genetik, berupa tingkat dan distribusi keragaman yang ada
pada suatu jenis sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan penyusunan strategi
pemuliaan (breeding) dan juga konservasinya. Keragaman genetik yang ada merupakan
1
sumber daya yang dapat memberikan peluang untuk dilakukannya rekombinasi, evaluasi
dan seleksi. Informasi keragaman genetik dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan
inventarisasi genetik, baik melalui pengujian lapangan (field trial) ataupun analisis
dengan bantuan penanda genetik.
Penelitian tentang keragaman genetik Gyrinops verstegii perlu dilakukan untuk
memperoleh informasi keragaman genetik tanaman ini baik di dalam maupun antar
populasi. Penelitian terdahulu mengenai beberapa jenis tanaman penghasil gaharu telah
dilakukan, namun penelitian mengenai keragaman genetik species Gyrinops verstegii
belum pernah dilakukan.
Analisis Permasalahan
Tanaman Gyrinops verstegii yang berasal dari daerah kepala burung di Papua
memiliki bentuk daun yang berbeda. Daun yang berasal dari daerah Kebar (dataran
tinggi) memiliki bentuk agak oval dan tebal, sedangkan daun yang berasal dari Asai
Manokwari (daerah dataran rendah) memiliki bentuk lonjong serta bergelombang dan
lebih tipis dibandingkan daun dari daerah Kebar. Berdasarkan hal tersebut pertanyaan
yang diajukan dalam penelitian ini adalah; i). Apakah perbedaan bentuk morfologi daun
dan kondisi tempat tumbuh dari kedua populasi akan mempengaruhi keragaman genetik,
sekalipun berasal dari spesies tanaman yang sama? dan ii) Sejauh mana perbedaan
genetik antara populasi tanaman dewasa dengan anakannya pada daerah yang sama.
Penelitian dengan menggunakan penanda molekuler DNA terhadap tanaman
penghasil gaharu telah dilakukan oleh Azwin (2007) yang melakukan pengamatan
terhadap jenis Aquilaria malaciensis Lamk, dimana dari 10 primer yang diuji, hanya 2
primer yang dapat mengamplifikasi DNA dengan jumlah masing-masing lokus 19 dan
17. Selain itu, Eurlings dan Gravendeel (2006) juga melakukan pengujian keefektifan
primer-primer mikrosatelit terhadap jenis A. crassna, A.malaccensis, A.rugosa dan
Gyrinops ledermanii
dimana ada beberapa primer mikrosatelit yang diuji dapat
mengidentifikasi genotipe-genotip spesifik dari keempat jenis tersebut. Namun untuk
pengamatan keragaman genetik jenis Gyrinops verstegii, belum pernah dilakukan.
2
Sebagai langkah awal untuk mempelajari keragaman genetik tanaman Gyrinops
verstegii maka perlu dilakukan seleksi awal terhadap primer-primer yang polimorfisme.
Metode ekstraksi DNA serta analisis genetik terhadap beberapa jenis tanaman hutan
tropis seperti Tectona grandis, Shorea leprosula, Casuarina equisetifolia, Paraserianthes
falcataria, Araucaria cunninghamii, Eusideroxylon zwageri, Pinus densiflora, dan
Chamaecyparis formonsensis, telah banyak dilakukan, dan informasi mengenai
kesesuaian primer yang digunakan dalam pengujian keragaman genetik ini perlu
dilakukan terlebih dahulu, sebelum melakukan pengujian terhadap keragaman genetik
baik dalam populasi maupun antar populasi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik tanaman Gyrinops
verstegii yang berasal dari dua tempat tumbuh dengan ketinggian yang berbeda di Papua,
dengan menggunakan penanda DNA RAPD dan Mikrosatelit.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi genetik dalam
menunjang program pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik tanaman hutan yang
berkesinambungan serta memberikan pertimbangan ilmiah dalam penentuan sistim
silvikultur yang sesuai.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tumbuhan Gaharu
Secara botanis, pohon penghasil gaharu tergolong tumbuhan tinggi dari divisio :
spermatophyta, klas : Dicotyledoeneae, serta memiliki 3 famili yaitu : Thymeleaceae,
Euporbiaceae,dan Leguminoceae dan berasal dari genus : Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia,
Gonystylus, Wikstroemia, Girynops, Dalbergia, dan Exxocaria (Sumarna 2005). Data
sementara pohon penghasil gaharu dalam Sumarna (2005) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pohon penghasil gaharu di Indonesia
No
Nama Botanis
Famili
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Aquilaria malaccensis
A. hirta
A. filaria
A. microcarpa
A. agalloccha Roxb
A. beccariana
A. secundana
A. moszkowskii
A. tomentosa
Aetoxylon sympethalum
Enkleia malacensis
Wikstroemia poliantha
W. tenuriamis
W. androsaemofilia
Gonystylus bancanus
G. macrophyllus
Girynops cumingiana
G. rosbergii
G. verstegii
G. moluccana
G. decipiens
G. ledermanii
G. salicifolia
G. audate
G. podocarpus
Dalbergia falviflora
Exocaria agaloccha
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Thymeleaceae
Leguminoceae
Euphoporbiaceae
Daerah Penyebaran
Sumatera, Kalimantan
Sumatera, Kalimantan
Nusa Tenggara, Maluku, Irian Jaya
Sumatera, Kalimantan
Sumatera, Jawa, Kalimantan
Sumatera, Kalimantan
Maluku, Irian Jaya
Sumatera
Irian jaya
Kalimantan, Irian jaya, Maluku
Irian Jaya, Maluku
Nusa Tenggara, Irian Jaya
Sumatera, Bangka, Kalimantan
Kalimantan, NTT, Irian Jaya, Sulawesi
Bangka, Sumatera, Kalimantan
Kalimantan, Sumatera
Nusa Tenggara, Irian Jaya
Nusa Tenggara
NTT, NTB
Maluku, Halmahera
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tengah
Irian Jaya
Irian Jaya
Irian Jaya
Sumatera, Kalimantan
Jawa, Kalimantan, Sumatera
Di beberapa daerah di Indonesia gaharu dikenal dengan nama yang berbeda-beda
seperti layak, pohon pelanduk, kayu linggu, menameng, dan terentak. Dalam
perdagangan dunia, gaharu ini dikenal dengan nama agarwood, aloewood dan eaglewood
(Sumarna 2002).
4
Karakteristik Morfologis Gyrinops verstegii
Bentuk batang Gyrinops verstegii adalah silindris, tidak berbanir, dan tekstur kulit
bagian luar agak kasar serta tidak bergetah. Warna kulit batang adalah coklat keputihputihan dan bagian dalam batang berwarna putih.
Menurut Moega et al. (2001), tinggi
pohon Gyrinops verstegii dapat mencapai 25 m, dengan diameter 40 cm. Daun elips
memanjang, urat daun lateral sejajar, berukuran 10- 20 cm, lebar 2 – 3 cm, dan berwarna
hijau licin. Pembungaan terminal mendukung 6-8 bunga. Bunga berupa tabung berukuran
3,5 mm, warna putih kehijauan, benangsari berjumlah 5. Buah bulat telur berukuran 1
cm. Morfologi dan warna daun Gyrinops verstegii dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Bentuk bunga dan buah Gyrinops verstegii.
Keragaman Genetik Tanaman Hutan
Jenis-jenis pohon memperlihatkan keragaman dalam sifat-sifatnya. Dalam suatu
jenis pohon dapat dijumpai beberapa keragaman yaitu keragaman geografis (antar
provenansi), keragaman lokal (antar tempat tumbuh, antar tapak), keragaman antar pohon
dan keragaman di dalam pohon. Ada dua sebab utama yang menimbulkan keragaman,
yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaan struktur genetik. Keragaman yang disebabkan
oleh perbedaan keadaan tempat tumbuh, sifat-sifat tanah, dan jarak tanam adalah
keragaman yang disebabkan lingkungan (environmental variation). Ada pula keragaman
yang tidak dapat diterangkan dengan perbedaan tempat tumbuh, misalnya perbedaan
bentuk batang, tebal cabang, dan berat jenis kayu dari pohon-pohon dalam suatu tegakan.
5
Dalam hal ini keragaman banyak dipengaruhi oleh perbedaan genetik yang diturunkan
dari tetua kepada keturunannya, dan disebut keragaman genetik (genetic variation)
(Soerianegara dan Djamhuri 1979).
Keragaman genetik dari suatu keturunan merupakan hasil dari perkembangbiakan
secara seksual. Perkembangbiakan secara seksual terjadi dengan adanya sel reproduktif
(gamet) jantan dan betina yang bersatu melalui proses perkawinan, sel reproduktif yang
bersatu mengalami proses meiosis dimana terjadi proses reduksi jumlah kromosom dari
diploid (2n) dalam sel tetua menjadi haploid (n) dalam gamet mengikuti hukum segregasi
secara bebas (Hukum Mendel I). Selanjutnya pada saat perkawinan terjadi rekombinasi
gamet secara acak menurut Hukum Mendel II. Selain itu pada saat meiosis, kromosom
homolog juga akan mengalami pindah silang dan kadang-kadang terjadi perubahan
susunan genetik karena mutasi
yang akan menambah keragaman dari keturunan
(Crowder 1986).
Seiring dengan perkembangan bioteknologi molekuler, penemuan metode-metode
penanda genetik telah mempercepat pendugaan keragaman genetik tanaman. Penanda
genetik molekuler dapat menilai keragaman genetik tanpa dipengaruhi lingkungan
bahkan umur tanaman. Penanda molekuler yang telah digunakan dalam penelitian
keragaman suatu populasi tanaman hutan adalah isoenzim, restriction fragment length
polymorphism (RFLP), simple sequence repeat (SSR), amplified fragment lenght
polymorphism (AFLP), dan random amplified polymorphic DNA (RAPD) dengan
berbagai kelebihan dan kekurangannya (Tabel 2).
Tabel 2 Penanda Molekuler yang telah digunakan pada tanaman kehutanan
Nama Penanda
Kodominan
Isoenzim
PCR-RLFP
(Restriction fragment
length polymorphism)
Metode
Keunggulan
Elektroforesis gel,
Murah,mudah digunakan
pewarnaan histokimia
sistim enzim yang terdoenzim dan protein selular kumentasi baik dapat
menghasilkan pengukuran
frekwensi alel yang tegas
Kelemahan
Memerlukan jaringan
segar dan tertentu
(misal; tunas dan
kecambahan)
Lokus organel atau inti Membutuhkan sampel DNA Pengembangan primer
spesifik diamplikasi
dalam jumlah kecil. Primer mahal dan sulit
menggunakan primer pcr universal untuk lokus spe- gen multilokus atau
yang dirancang khusus
sifik telah tersedia banyak pseudogen kemungkiproduk dipotong dengan
nan diperbanyak dalam
enzim restriksi dan divigenom inti, memung-
6
Nama Penanda
Metode
Keunggulan
sualisasi langsung dengan
elektroforesis gel.
Kelemahan
kinkan kesalahan identitas dan frekwensi
alel
SSR (Simple sequence
repeats)
Dominan
RAPD (Random
Amplified Polymorphic
DNA)
AFLP (Amplified
Fragment lenght
Polymorphism)
Primer PCR untuk mengamplifikasi motifmotif berulang yang
hipervariabel dalam
genom inti atau organel
Alel lokus tunggal yang
tegas dapat dinilai
Lokasi bermikrosatelit
berbeda antar taxa,
sehingga diperlukan
pengembangan yang
mahal dan sulit untuk
setiap jenis baru.
Primer sequen pendek
digunakan untuk
mengamplifikasi lokus
acak pada seluruh
genom dengan PCR
Analisis secara acak
Lokasi genomik tidak
dapat diketahui tanpa
persilangan yang
dikontrol
DNA genomik total
dipotong dengan 2
enzim restriksi dengan
Selektif dengan mengGunakan primer
lebih reproduksibel
dibanding RAPD
skoring otomatis tersedia
Lebih mahal dibanding
RAPD label radioaktif
mungkin diperlukan
RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
Pertama kali teknik RAPD dilakukan oleh Williams et al. (1990) diacu dalam
Septimayani (2002), berhasil mengamplifikasi DNA yang bersifat polimorfik dengan
menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq DNA polymerase. RAPD banyak
digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan. Selanjutnya Williams et al. (1990)
mengungkapkan bahwa metode RAPD lebih sederhana, cepat, DNA yang diperlukan
sedikit, tidak perlu terlalu murni, dan tidak menggunakan satu primer.
Disamping kelebihan tersebut teknik ini juga memiliki kelemahan yakni dapat
memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap kurang handal
(reliable), khususnya bagi keperluan diagnostik yang disebabkan oleh rendahnya akurasi
pengulangan hasil amplifikasi. Selain itu Ellsworth et al. (1993) mengungkapkan bahwa
RAPD sensitif terhadap perubahan kecil dalam reaksi yang dapat menggangu
kemampuan reproduksi pola-pola pita, karena perbedaan eksperimen, alat PCR dan
laboratorium.
Secara umum analisis RAPD terdiri dari empat tahap, yaitu (1) tahap ekstraksi
DNA, (2) tahap pengujian kualitas dan kuantitas ekstraksi DNA, (3) tahap amplifikasi
7
DNA (RAPD), dan (4) tahap pengujian kualitas dan kuantitas hasil amplifikasi. Menurut
Sambrook (1989), daun yang masih muda dengan berat 0,2 - 0,3 g cukup untuk
menghasilkan DNA yang sesuai dengan kebutuhan selama analisis, sementara itu
menurut Karsinah (1999) dari jaringan tanaman dewasa dan daun kering masih bisa
didapatkan ekstrak DNAnya. Menurut Kimball (1992), sel berkembang dengan cara
menggandakan diri dan memperbesar volume sel. Oleh karena itu, semakin muda suatu
jaringan daun akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan DNA
dalam jumlah yang lebih besar daripada daun yang sudah lebih tua umurnya.
Ekstraksi DNA pada prinsipnya adalah suatu proses pengisolasian DNA dengan
cara fisik (penggerusan) dibantu oleh senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu
sehingga didapat DNA yang terpisah dari kontaminan. Keberhasilan pengekstrakan DNA
dapat diketahui dengan pengujian kuantitas dan kualitas DNA. Uji kuantitas dan kualitas
DNA dilakukan dengan proses elektroforesis dengan menggunakan gel agarose. Untuk
melihat DNA hasil ekstraksi digunakan alat UV transilluminator.
Proses amplifikasi DNA dengan metode (RAPD), pada intinya adalah proses
perbanyakan DNA secara enzimatis. Pada tahap ini terdapat tiga proses, yaitu (1) proses
denaturasi DNA pada suhu 950 C, (2) proses penempelan DNA (annealing) dan (3)
proses ekstensi.
DNA adalah materi genetik yang terdiri atas dua utas ganda yang berpilin
(Watson et al. 1987). Menurut Jusuf (1991), pada suhu tinggi pita ganda tersebut berpisah
menjadi dua utas tunggal. Apabila pita ganda DNA telah terpisah, maka pada tahap kedua
terjadi penempelan primer pada kedua ujung DNA sebagai titik awal pembacaan dan
perbanyakan basa-basa DNA. Selanjutnya dilakukan proses pemanjangan dan
pembentukan utas DNA yang baru (ekstensi).
Enzim Taq polimerase digunakan dengan teknik hot-start. Hal ini untuk
mencegah terjadinya penempelan primer pada temperatur rendah. Penempelan primer
yang terjadi pada temperatur rendah akan menghasilkan hasil amplifikasi dengan
spesifisitas rendah. Spesifisitas yang rendah juga akan menurunkan sensitifitas karena
adanya kompetisi antara produk spesifik dan non-spesifik. Jika konsentrasi primer terlalu
tinggi dapat mengakibatkan mis-priming yang mengakibatkan meningkatnya jumlah
8
produk non spesifik. Jika konsentrasi primer terlalu rendah, hasil dari produk PCR akan
rendah (Abdullah dan Retnoningrum 2003).
Tahap terakhir dari RAPD adalah elektroforesis hasil amplifikasi. Pada tahap ini
terjadi pemisahan pita-pita DNA berdasarkan perbedaan berat molekulnya. Pita DNA
yang mempunyai berat molekul lebih ringan akan berjalan lebih cepat. Keragaman antar
populasi dapat dilihat dengan melihat perbedaan pola pita (polymorfisme) DNA antar
populasi.
Teknik ini dapat tercipta dengan adanya penemuan Taq polymerase tersebut.
DNA polymerase berasal dari bakteri Thermus aquaticus yang ditemukan di daerah yang
panas pada musim panas. DNA polymerase ini stabil pada suhu yang tinggi dalam proses
amplifikasi, yaitu terjadi pada saat tahap denaturasi. Metode PCR ini memiliki tingkat
kesensitifan yang tinggi dalam mengamplifikasi DNA walaupun dalam ukuran yang
kecil.
Peran enzim ini bisa optimal apabila suhu sistem tepat dan primer telah bekerja
dalam permulaan pembacaan. Kecocokan primer dengan sekuens yang akan diamplifikasi
merupakan hal yang penting, dimana primer diharapkan bersifat komplementer dengan
sekuens DNA target yang akan diamplifikasi.
Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah
konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik daerah
yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka
primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom
kelompok tersebut (Suryanto & Dwi 2003). Primer ini berperan sebagai opposite strand
ketika double helix DNA terpisah pada tahap denaturation. Primer menempel pada tahap
annealing dan selanjutnya mengkopi DNA sehingga tercipta kembali dua utas DNA, dan
teramplifikasi selama 35 siklus. Tahapan-tahapan PCR dapat dilihat pada Gambar. 2.
9
Gambar 2 Tahapan-tahapan pada proses PCR (Polymerase Chain Reaction).
Mikrosatelit
Mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam
pasang basa yang berulang secara berurutan. Mikrosatelit biasa digunakan sebagai
penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat
kuantitatif dan forensik. Mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan
beberapa pasang mikrosatelit. Hasil PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis
gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak.
Mikrosatelit mempunyai karakteristik sebagai berikut : tingkat polimorfisme yang
tinggi, kodominan dan diwariskan mengikuti hukum Mendel (Weising et al. 2005). Bila
satu primer yang spesifik telah didesain, lokus SSR dapat diamplifikasi dari sedikit
sample DNA dengan PCR (Ujino et al. 1998 dalam Zulfahmi 2007). Mikrosatelit telah
diaplikasikan untuk : 1. Identifikasi forensik, 2. Diagnosis dan identifikasi penyakit, 3.
studi populasi genetik untuk mengamati variasi dan membuat kesimpulan tentang struktur
populasi, hanyutan genetik dan efek leher botol (bottleneckseffect) 4. Konservasi biologi,
untuk mengamati perubahan dalam populasi, pengaruh fragmentasi dan interaksi populasi
yang berbeda serta untuk identifikasi populasi yang baru terbentuk.
10
Ada
beberapa
permasalahan
dalam
penggunaan
penanda
mikrosatelit.
Permasalahan ini dapat dikelompokkan ke dalam problem teknis praktis dan problem
data. Problem praktik meliputi : 1. Pemilihan primer untuk mikrostelit, banyak jenis
primer yang telah didesain untuk analisi mikrosatelit pada tanaman. Primer-primer itu
perlu diskrining dan dioptimasi sebelum diaplikasikan pada jenis tanaman tertentu,
karena setiap tanaman mempunyai karakteristik spesifik yang berbeda satu sama lain. 2.
slippage selama proses amplifikasi, termopolimerase dapat slip sehingga meghasilkan
produk yang berbeda dalam ukurannya. 3. ukuran produk amplifikasi berbeda dari ukuran
produk sebenarnya. Ketidakakuratan dalam identifikasi alel mungkin juga disebabkan
oleh Taq polimerase yang menambah nukleotida adenosin sampai ujung 3’ produk
amplifikasi.
Homoplasi adalah salah satu problem data. Homoplasi didefinisikan ketika dua
alel dalam keadaan sama, tetapi tidak sama secara keturunan. Homoplasi mungkin
menyebabkan problem dalam analisis studi genetika populasi, dimana dapat
mempengaruhi pengukuran keragaman genetika, aliran gen, jarak genetika, ukuran
neighbourhood, metode penetapan dan analisis filogenetika (Estoup et al. 2002)
11
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yaitu; 1) lokasi pengambilan sampel daun
Gyrinops verstegii yakni di daerah Asai Manokwari dan Kebar, Papua (Gambar 3) dan 2)
lokasi analisis genetik yang dilakukan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan
IPB, Laboratorium Biologi Tumbuhan Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, dan Naval
Medical Researh Unit 2 (NAMRU) Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2008
– April 2009.
PETA LOKASI PENELITIAN
LEGENDA :
Lokasi I
Lokasi II
Peta Inset :
Sumber :
Peta RB BAKOSURTANAL &
BP3D Kab. Manokwari
Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel di daerah Manokwari dan Kebar.
Adapun keadaan umum lokasi tempat tumbuh Gyrinops verstegii di daerah
Manokwari dan Kebar disajikan dalam Tabel 3, dengan total sampel yang diamati adalah
114.
12
Tabel 3 Keadaan umum lokasi tempat tumbuh Gyrinops verstegii asal Papua
No.
Variabel Data
Manokwari
Kebar
1. Curah hujan (mm/Thn)
2.688
2.383
2. Kelembaban udara (%)
81
82,97
31,50
27,50
3. Suhu Udara (0C)
4. Ketinggian tempat (m dpl)
100-300
>500
5. Topografi
Datar – bergelombang Datar - bergelombang
6. Kemiringan
(0-25%)
(> 25 %)
7. Jenis tanah
Podsolik merah kuning Podsolik merah kuning
8. Jarak antar Induk Tanaman (m)
460
255
9. Jarak antar induk dan anakan(m)
2,5
1,8
10. Jumlah tanaman induk
11
20
11. Jumlah anakan
34
49
Sumber: 1-7 = BPS (2008)
8-11 = Hasil pengamatan 2009
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tanaman Gyrinops
verstegii baik dari induk tanaman maupun anakan seperti terlihat dalam Gambar 4.
Untuk proses ekstraksi, bahan kimia yang digunakan adalah buffer ekstrak, PVP 2%,
Chloroform IAA, phenol, isopropanol dingin, NaCl, Etanol 95%, buffer TE, aquabidest,
H2O, primer random (OPO dan OPY), primer mikrosatelit (Tabel 4), Qiagen Taq
polymerase, agarose, buffer TAE 1x,
blue juice 10x,
marker, Etidium bromida.
Acrilamide, APS, Temed, Formalin, NaOH, NH4OH, Asetat 1 %, Amonia, AgNO3.
Gambar 4 Anakan dan Induk tanaman Gyrinops verstegii.
13
Sedangkan alat yang digunakan adalah sarung tangan karet, gunting, tube 1.5 ml, tube
0,2 ml spidol permanen, mortar, pestel, pipet mikro, tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi,
waterbath, freezer, timbangan analitik, desikator, mesin PCR, bak elektroforesis, cetakan agar,
microwave, gelas ukur, ultraviolet transilluminator, alat foto DNA
Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel
Prosedur pengambilan sampel dilapangan adalah sebagai berikut (Yunanto 2006) :
1. Daun diambil dari setiap individu baik pada populasi pohon maupun tingkat
anakan sebanyak 2 – 5 lembar daun.
2. Daun tersebut selanjutnya dimasukkan kedalam plastik klips yang berisi silika gel
dengan perbandingan 1 : 5 (v/v)
3. Dalam satu lokasi diharapkan dapat dijumpai 10 hingga 20 pohon demikian pula
dengan jumlah anakan pada tiap-tiap pohon
4. Setiap pohon yang daunnya diambil diukur tinggi, diameter dan letak
geografisnya dengan menggunakan alat ukur, sedang untuk tingkat anakan akan
diukur jarak tumbuhnya dari pohon induk
5. Data mengenai tinggi, diameter dan letak geografis, serta pemetaan pohon induk
maupun anakan dicatat kedalam lembar data (datasheet).
Ekstraksi DNA
Metode yang digunakan untuk ekstraksi DNA ini adalah metode CTAB (Cetyl
Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi (Murray & Thompson 1980).
Sebagian besar metode untuk ekstraksi DNA dari jaringan tanaman yang terdapat dalam
literatur, memerlukan waktu yang lama dan bahan kimia yang mahal seperti chesium
khlorida sehingga kurang efisien (Brown 1991).
Daun dipotong dengan ukuran 2 X 2 cm, kemudian digerus dengan menambahkan
nitrogen cair di dalam pestel/mortar yang bersih. Hasil gerusan kemudian dimasukkan
kedalam tabung mikro 2 ml dan ditambahkan larutan penyangga sebanyak 500 – 700 µl.
Agar daun hasil gerusan tercampur dengan larutan penyangga dan PVP 2% secara merata
14
maka tabung yang berisi hasil gerusan tersebut di vortex. Setelah itu diinkubasi dalam
dalam water bath selama 45 menit – 1 jam sambil dibolak-balik setiap 15 menit. Suhu
optimal yang digunakan dalam proses inkubasi berkisar antara 65-700C. Apabila proses
inkubasi melebihi suhu optimal maka DNA yang ada dalam tube akan rusak.
Setelah proses inkubasi, tabung mikro tersebut diangkat dan didinginkan selama
15 menit kemudian ditambahkan kloroform sebanyak 500 µl dan fenol sebanyak 10 µl,
lalu sentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Hasil sentrifugasi
(supernatan) akan terpisah menjadi dua fase yaitu bagian atas merupakan fase air yang
berisi asam nukleat dan bagian bawah yaitu fase organik yang berisi pelarut organik. Fase
air dipisahkan dari fase organik dengan menggunakan pipet mikro lalu dipindahkan
kedalam tabung mikro baru. Kemudian ditambahkan chloroform dan fenol sebanyak dua
kali yang bertujuan untuk memperoleh DNA yang memiliki tingkat kemurnian tinggi.
Supernatan yang telah terpisah dari fase organik, ditambahkan isoproponal dingin
sebanyak 500 µl dan NaCl atau NaOAc sebanyak 300 µl. Campuran ini disimpan dalam
freezer selama 45 menit – 1 jam. Hasil pengendapan tersebut disentrifuge pada kecepatan
13.000 rpm selama 2 menit kemudian cairan dalam tabung mikro dibuang. Hasil
pengendapan akan berupa pelet DNA. Pelet DNA ini kemudian ditambahkan etanol 300
µl dan disentrifuge selama 2 menit pada kecepatan 13.000 rpm, kemudian cairan etanol
tersebut dibuang. Setelah itu pelet DNA yang tersisa dalam tabung mikro dikeringkan
dalam desikator dengan posisi terbalik selama 10 menit lalu ditambahkan larutan TE
sebanyak 20 µl difortex kemudian disimpan didalam freezer.
Selama proses pengeringan pelet DNA, disiapkan agarose 1 % (0,33 gram agarose
dalam 33 ml TAE). Untuk proses elektroforesis, diambil 3 µl DNA ditambahkan 2 µl
blue juice 10 X dan kemudian di running pada tegangan 100 volt selama ± 30 menit.
DNA akan bergerak kearah positif (anoda). Hasil elektroforesis kemudian direndam
dalam larutan etidium Bromide (ETBR) 10 µl per 200 ml aquades selama 3 – 5 menit dan
selanjutnya dilihat pada UV transiluminator.
Seleksi Primer
Primer adalah rantai pendek DNA yang dihasilkan secara buatan biasanya antara
10 – 25 nukleotida (Finkeldey 2005). Primer berfungsi sebagai titik mula terjadinya
15
sintesis oleh enzim yang disebut DNA polymerase yang diperoleh dari bakteri Thermus
aquaticus. Enzim ini biasa disebut juga Taq DNA polymerase. Enzim ini sesuai untuk
proses amplifikasi karena dapat bertahan pada suhu tinggi hingga 950C meskipun suhu
optimum bagi aktifitas enzim adalah 720C. Setelah terjadi annealing selanjutnya
dilakukan perbanyakan fragmen DNA melalui proses ekstensi pada suhu 720C.
Seleksi primer dimaksudkan untuk mencari primer acak yang menghasilkan
penanda polimorfik, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk
amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen
DNA polimorfik. Proses penyeleksian primer yang digunakan dalam metoda RAPD
mengikuti primer yang pernah diuji oleh Azwin (2007), karena belum ada penelitian
pendahuluan terhadap jenis Gyrinops verstegii yang dapat mengamplifikasi DNA
tanaman ini. Dalam penelitian ini digunakan 5 primer yang dipilih dari golongan OPO
dan 5 primer dari golongan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology (Tabel 4).
Tabel 4 Primer golongan OPO dan OPY dalam metode RAPD
No.
Primer
1.
OPO-06
2.
Urutan Basa
No.
Primer
Urutan Basa
5’CCACGGGAAG’3
1.
OPY-02
5’CATCGCCGCA’3
OPO-09
5’TCCCACGCAA’3
2.
OPY-06
5’AAGGCTCACC’3
3.
OPO-10
5’TCAGAGCGCC’3
3.
OPY-08
5’AGGCAGAGCA’3
4.
OPO-14
5’AGCATGGCTC’3
4.
OPY-09
5’GTGACCGAGT’3
5.
OPO-18
5’CTCGCTATCC’3
5.
OPY-11
5’AGACGATGGG’3
Pengujian dengan primer mikrosatelit, didasarkan dari hasil penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Eurlings dan Gravendeel (2006) (Tabel 5).
Tabel 5 Daftar primer Mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian
Nama Primer
Ulangan yang diamplifikasi
Sekuen Primer
1.
10 PA17F
(CA)12
CACACACTGTTATGGTCTACAGCTT
2.
10 PA17R-H EX
(CA)12
TTCGCCATCTCATAATATTCTAATGTA
3.
14PA17F
(CA)7
CGCATATAGAAGCAATCAAAGAGC
4.
14 PA17R
(CA)7
ATTTGGAATTTTACACCCATTGGA
5.
16PA17-f2
(CA)19
AGTGAACAACTTGACTAGGCTTG
6.
16PA17-5FAM
(CA)19
GCTGAACACAACAAGATATCACC
16
Nama Primer
Ulangan yang diamplifikasi
Sekuen Primer
7.
6PA18F
(CA)8
TGAGGCGTGAGTGAGATATTGATT
8.
6PA18R-FAM
(CA)8
CCTTCCTCTCTTCTTACCTCACCA
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Proses PCR membutuhkan 4 komponen utama yaitu H2O, HotStar Mix, primer
dan DNA. DNA hasil proses ektraksi sebelum dilakukan proses amplifikasi PCR harus
dilakukan pengenceran dengan menggunakan aquabidest. Besarnya perbandingan antara
DNA dengan aquabidest tergantung dari tebal dan tipisnya DNA hasil ekstraksi.
Untuk proses PCR, DNA 1,5 µl dicampurkan dengan HotStar Mix 7,5 µl,
Nuclease-free water 2,5 µl dan primer 1,5 µl) disentrifugasi selama 5-10 detik kemudian
dimasukkan kedalam mesin PCR. Tahapan serta suhu PCR seperti disajikan dalam Tabel
6.
Tabel 6 Tahapan dalam proses PCR
Metode
Tahapan
RAPD
Pre- Denaturation
Denaturation
Annealing
Extention
Final Extention
Mikrosatelit Pre- Denaturation
Denaturation
Annealing
Extention
Final Extention
Suhu (0C)
95
95
37
72
72
95
95
53
72
72
Waktu (menit)
10
1
3
2
10
2
1
2
2
5
Jumlah siklus
1
35
1
1
35
1
Pengujian polimorfisme dilakukan dengan melihat pita hasil PCR yang
divisualisasi berdasarkan hasil elektroforesis. Hasil pengujian ini dikatakan polimorfisme
jika pola pita yang dihasilkan mempunyai sekurang-kurangnya lebih dari satu variasi,
sedang hasil pengujian dikatakan monomorfik jika tidak memperlihatkan adanya variasi
pada pola pita hasil elektroforesis.
Analisis Data
Hasil PCR yang telah dielektroforesis difoto dan dianalisis dengan melakukan
skoring pita yang muncul. Pada metode RAPD pola pita yang muncul diterjemahkan
17
kedalam data biner berdasarkan ada atau tidak adanya pita sedang untuk data mikrosatelit
dihitung berdasarkan banyaknya alel yang ditemukan sesuai panjang basa. Contoh proses
skoring dapat dilihat pada Gambar 5.
Lokus
Individu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
L-1
L-2
L-3
L-4
Lokus
Individu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lokus 1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
Lokus 2
1
1
1
1
1
0
1
1
1
0
Lokus 3
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
Lokus 4
1
0
1
1
0
1
1
0
0
1
Gambar 5 Cara penilaian pita dengan sistim skoring
Keterangan : 1= ada pita, 0 = tidak ada pita
Hasil perhitungan pita-pita DNA tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui
keragaman dalam populasi maupun antar populasi. Parameter keragaman genetik yang
dihitung dalam penelitian ini adalah;
a. Persentase Lokus Polimorfik (PLP)
Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika sekurang-kurangnya ada dua varian
yang berbeda (alel). Sedang untuk monomorfik tidak memperlihatkan variasi
genetik. Persentase lokus polimorfik dihitung dengan rumus;
Persentase Lokus Polimorfik (PLP) =
∑ ( LP)
X 100%
∑ ( LP) + ∑ ( LM )
dimana Σ (LP) ; jumlah lokus polimorfik
Σ(LM) ; jumlah lokus monomorfik
18
b. Jumlah alel yang teramati (na) =
c. Jumlah alel yang efektif (ne) =
∑ Alel
∑ Lokus
1
∑ pi 2
i
dimana, pi ; frekuensi genetik tipe ke i
d. Heterozigositas harapan (He) = 1 –
∑ pi
2
i
dimana ; pi = frekuensi genetik tipe ke i
e. Diferensiasi genetik (Gst) =
( HT − HS )
HT
dimana; HT = keragaman populasi total
HS = keragaman populasi tunggal
Parameter keragaman genetik yang diukur seperti jumlah alel yang diamati (na),
jumlah alel yang efektif (ne), jumlah lokus polimorfik, persen lokus polimorfik (PLP) dan
heterozigitas harapan (He), diolah dengan software Pop Gene 1.32. Jarak genetika antara
populasi
dihitung
menggunakan
koefisien
Dice
dan
pembuatan
dendogram
menggunakan unweighted pair-group method arithmetic (UPGMA) berdasarkan jarak
genetik Nei dengan perangkat lunak numerikcal taxonomy and multivariate system
(NTSYS) versi 1.80 (Rohlf 1993 dalam Hannum et al. 2003). Analisis lanjutan mengenai
sumber-sumber keragaman yang terjadi dalam populasi maupun antar populasi
menggunakan tabel AMOVA berdasarkan Arlequin ver 3.1 (Schneider et al. 2000).
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit
Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10
primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang bervariasi
pada metode RAPD adalah primer OPO-09, OPO-10, OPY-13, OPY-09 dan OPY-14
seperti terlihat pada Gambar 6.
K14 14.1 14.2 14.3 15 15.1 M
P9.4 9.5 9.6 10 10.111 11.1 11.2
1000 bp
800 bp
500 bp
1000 bp
300 bp
100 bp
(a)
(b)
P8.4 9 9.1 9.2 9.3 9.4 9.5 9.6 10
K4 4.1 4.2 4.3 4.4 5
1000 bp
5.1 5.2
1000 bp
300 bp
300 bp
(c)
(d)
K2 2.1
2.2
3
3.1 3.2 3.3
4
1000bp
300 bp
(e)
Gambar 6. Profil pita DNA dengan primer OPO 09, OPO 10, OPY 13, OPY 9 dan OPO
14
Keterangan: (a) Primer OPO 9, (b) Primer OPO 10, (c) Primer OPY 13, (d) Primer OPY 9, (e) Primer
OPO 14, M=Marker; P= induk Manokwari, K= induk Kebar; angka digit
satu=induk, angka digit dua=anakan
20
Skoring yang dilakukan terhadap pita-pita DNA hasil elektroforesis menunjukkan
adanya perbedaan jumlah lokus untuk masing-masing primer. Pada primer OPO 09
ditemukan 10 lokus polimorfik, sedang untuk primer OPO 10 ditemukan 13 lokus dan
untuk primer OPY 13, OPY 9 dan OPO 14 ditemukan 15 lokus polimorfik dengan
panjang 200 bp hingga 1500 bp.
Pengujian polimorfik DNA dengan metode mikrosatelit menggunakan dua pasang
primer yang dari hasil penelitian terdahulu (Eurlings dan Gravendeel, 2006). Dalam
penelitian ini primer yang diuji adalah dua pasang primer mikrosatelit yakni 14 PA 17F;
14 PA 17R dan 6 PA 18F; 6 PA 18R-FAM, yang menghasilkan pita polimorfik yang
lebih spesifik, yakni dua lokus dan empat alel dengan panjang alel berkisar dari 257 bp
hingga 300 bp seperti disajikan pada Gambar 7.
M
1500
300
P1
1.1
1.2
2
2.1
2.2
M K3.3
4
4.1 4.2
4.3
4.4
1500
200
200
100
100
( a)
(b)
Gambar 7. Profil hasil elektroforesis untuk primer 6 PA 18 F dan 6PA 18 R-FAM (a) dan
14 PA 17 F dan 14 PA 17 R
Keterangan : P= induk Manokwari, K= induk Kebar; angka digit satu=induk, angka digit
dua=anakan
Resolusi dari setiap pita DNA hasil amplifikasi dalam penelitian ini tidak selalu
terlihat dengan jelas. Hal ini tergantung pada jumlah fragmen yang diamplifikasi yang
terdapat pada tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi pada genom
tanaman maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan semakin jelas. Pada genom
tanaman lebih kurang 90% dari DNA genom merupakan urutan berulang (Weising et al.
1995). Disamping itu adanya kompetisi tempat penempelan primer pada genom
menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah yang banyak dan
fragmen lainnya sedikit. Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yang sama
pada individu dalam satu populasi yang sama tidak semuanya memiliki intensitas, jumlah
dan ukuran pita yang sama. Perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang dihasilkan oleh
21
setiap primer menggambarkan kompleksitas genom tanaman (Grattapalia et al. 1992).
Karena pita DNA merupakan hasil berpasangannya nukleotida primer dengan nukleotida
genom tanaman, maka semakin banyak primer yang digunakan akan semakin terwakili
bagian-bagian genom dan tergambar keadaan genom tanaman yang sesungguhnya.
Perbedaan hasil intensitas ini pada umumnya disebabkan karena 1) makin banyak
fragmen DNA yang diamplifikasi pada tanaman, maka intensitas pita DNA yang
dihasilkan makin tegas, 2) adanya kompetisi tempat penempelan primer pada DNA
genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah banyak
dan fragmen lainnya sedikit, 3) kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA akan
mempengaruhi efisiensi amplifikasi. DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi
dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik seringkali menghasilkan fenotipe
penanda RAPD yang tidak jelas.
Secara teoritis polimorfisme yang dideteksi berdasarkan RAPD merupakan hasil
dari beberapa kejadian diantaranya 1) insersi DNA berukuran besar pada fragmen
diantara sepasang situs penempelan primer yang mengakibatkan jarak amplifikasi terlalu
besar sehingga fragmen tersebut hilang atau tidak teramplifikasi, 2) delesi pada bagian
genom yang membawa satu atau dua situs penempelan primer sehingga mengakibatkan
hilangnya fragmen, 3) subtitusi nukleotida yang mengubah homologi antara primer
dengan DNA genom sehingga menyebabkan hilangnya fragmen atau mengubah ukuran
fragmen, 4) insersi atau delesi fragmen kecil DNA yang dapat mengubah ukuran fragmen
yang diamplifikasikan.
Keragaman Genetik Gyrinops verstegii Berdasarkan RAPD
Keragaman Dalam Populasi
Data keragaman genetik populasi Gyrinops verstegii ditunjukkan oleh beberapa
nilai parameter variabilitas genetik. Parameter variabilitas genetik yang diukur adalah
jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), persen lokus polimorfik
(PLP) dan heterozigositas harapan (He).
Jumlah lokus polimorfik dalam analisis
keragaman genetik sangat menentukan tingkat keragaman suatu populasi. Data yang
diperoleh dari hasil skoring pita DNA dengan metode RAPD diolah dengan
22
menggunakan software POPGENE versi 3.2 dan diperoleh nilai-nilai variabilitas genetik
(Tabel 7).
Tabel 7. Variabilitas genetik dalam populasi Gyrinops verstegii
Populasi
N
PPL
na
ne
Induk Manokwari
11
73,53
1,7353
1,4077
Anakan Manokwari 34
86,76
1,8676
1,4700
Induk Kebar
20
92,65
1,9265
1,4952
Anakan Kebar
49
94,12
1,9412
1,4778
He
0,2357
0,2744
0,2944
0,2839
Keterangan:
PPL= Percentage of Polymorphic Loci ; na = Observed number of alleles ; ne = Effective
number of alleles; He = Nei’s (1973) gene diversity
Seperti terlihat pada Tabel 7 keragaman genetik populasi induk Gyrinops verstegii
yang berasal dari daerah Kebar memiliki nilai He yang tinggi yakni sebesar 0,2944
dengan persen polimorfik sebesar 92,65%, sedang He populasi anakan daerah Kebar
sebesar 0,2839 dengan persen polimorfik lokus sebesar 94,12%. Nilai heterozigositas
yang teramati dari penelitian ini dapat dikatakan tinggi.
Beberapa hasil penelitian terhadap tanaman kehutanan yang lain juga menunjukkan
nilai variasi genetik yang tinggi. Azwin (2007) melakukan penelitian dengan teknik
RAPD pada species gaharu yang berbeda (Aquilaria mallaciensis Lamk) yang
menunjukkan nilai heterozigositas (He) sebesar 0,2454. Hamrick et al. (1992) melakukan
pengamatan terhadap nilai heterozigositas tumbuhan berkayu di hutan tropis,
mendapatkan nilai He sebesar 0,149. Bahkan Siregar (2004) melakukan penelitian
terhadap jenis Pinus merkusii di Indonesia, memperoleh nilai He yang cukup tinggi untuk
populasi Aceh, sebesar 0,361.
Menurut Namkoong et al. (1996), salah satu indikator genetik dalam praktek
manajemen hutan yang lestari adalah besarnya keragaman genetik. Keragaman genetik
yang besar sangat mempengaruhi kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Individu
atau populasi dengan keragaman genetik yang sempit akan rentan terhadap kondisi
lingkungan yang heterogen. Pada dasarnya kemampuan suatu jenis pohon hutan untuk
beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik
dan multiplisitas individual pohon dalam populasi. Keragaman genetik suatu jenis dapat
diduga melalui nilai heterozigositas harapan pada keseimbangan hukum HARDY-
23
WEINBERG (He) yang merupakan hasil survei genetik pada lokus-lokus yang
polimorfik.
Keragaman Genetik Antar Populasi
Peubah lain yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah
jarak genetik. Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada
suatu lokus gen tertentu. Pebedaan genetik dari dua atau lebih populasi pada umumnya
dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemen-elemennya berupa jarak genetik dan
pasangan kombinasi dari masing-masing populasi (Finkeldey 2005). Data mengenai jarak
genetik dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Jarak Genetik Gyrinops verstegii Manokwari dan Kebar
Manokwari Anakan Manokwari
Kebar Anakan Kebar
Manokwari
0.0000
Anakan Manokwari
0.0309
0.0000
Kebar
0.0805
0.0932
0.0000
Anakan Kebar
0.0964
0.1024
0.0282
0.0000
Berdasarkan data jarak genetik diatas terlihat bahwa jarak genetik antara populasi
induk Kebar dan anakan Kebar sangat dekat yakni 0,0282 dibandingkan jarak genetik
antara populasi Manokwari dengan anakan Manokwari, dengan jarak genetik 0,0309.
Sedang untuk nilai jarak genetik antar kedua adalah sebesar 0,0805 dan jarak genetik
antara populasi anakan sebesar 0,1024.
Nilai jarak genetik pada Tabel 7 ini kemudian diolah berdasarkan metode
pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweighted Pair-Grouping Method
with Aritmatic Averaging, UPGMA) dengan menggunakan software NTSYS versi 2.02
maka diperoleh dendogram seperti terlihat pada Gambar 8. Pada dendogram ini dapat
terlihat hubungan kekerabatan serta pola pengelompokkan populasi berdasarkan jarak
genetik yang dimiliki oleh Gyrinops verstegii Papua.
24
Gambar 8. Dendogram Jarak Genetik Antar Populasi Gyrinops verstegii berdasar UPMA
(Keterangan:
Hasil
Mkw_tetua = Pohon Induk Manokwari; Mkw_anakan = Anakan Manokwari; Kbr_tetua=
Pohon induk Kebar; Kbr_anakan = Anakan Kebar)
analisis
jarak
genetik
dan
dendrogram
di
atas
menunjukkan
pengelompokkan populasi yang sangat jelas menurut wilayah tempat tumbuh masingmasing populasi. Pengelompokan ini terdiri dari dua kelompok, dimana tanaman inang
dan anakan membentuk kelompok sesuai lokasi tempat tumbuhnya. Jarak genetik antar
kedua kelompok ini berdasarkan dendogram diatas, mengindikasikan bahwa hubungan
kekerabatan kedua populasi ini cukup jauh bahkan terpisah dan terisolasi. Dengan
demikian dapat diduga bahwa antara kedua populasi tidak terjadi aliran gen. Hal ini
diperkuat dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa anakan dari masingmasing populasi tidak ada yang mirip dengan induk tanaman dari populasi lain. Selain itu
waktu pembungaan dari kedua populasi berbeda, sehingga tidak memungkinkan
terjadinya aliran gen.
Aliran gen yang rendah dapat menyebabkan terbentuknya sub populasi yang kecil
dan sistim reproduksinya dapat terisolasi, dan menyebabkan variasi genetik menurun
(Finkeldey 2005). Namun berdasarkan data variasi genetik diatas dengan menggunakan
metode penandaan RAPD terlihat bahwa nilai keragaman genetik dari masing-masing
populasi cukup besar walaupun jarak genetik antar populasi besar.
25
Sumber Keragaman Genetik Gyrinops verstegii Berdasarkan Mikrosatelit
Untuk menelaah lebih dalam mengenai penyebab terjadinya keragaman genetik
yang cukup besar dari masing-masing populasi dilakukan uji lanjutan yang lebih spesifik
dengan menggunakan metode mikrosatelit. Skoring yang dilakukan terhadap hasil
elektroforesis, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Arlequin dari
Schneider et al. (2000) untuk sumber keragaman pada populasi yang diteliti. Hasil
perhitungan software ini berbentuk tabel AMOVA seperti disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Perhitungan AMOVA
Sumber
keragaman
Antar group
Antar populasi
dengan group
db
1
Jumlah
Kuadrat
5,638
2
2,501
0,0141
1,74
Fsc = 0,0183
0,0528 ns
67,944
-0,1363
-16,92
Fis = -0,1808
1,0000ns
Antar individu
dalam populasi 110
Komponen
ragam
0,0375
Persentase
ragam
4,66
Indeks
Fiksasi
Fct = 0,0466
Nilai P
0,3196ns
Antar individu 114 101,500
0,8903
110,52
Fit = -0,1062
1,0000 ns
Total
227 177,583
0,8056
Keterangan: db : derajat bebas, korelasi random pairs allel didapat dari nilai relatif dengan
seluruh populasi (Fct), Korelasi random, pairs allel didapat dari nilai relatif populasi
dengan seluruh group (Fsc), korelasi random pairs didapat dari nilai relatif populasi
(Fis), tidak berbeda nyata (ns).
Hasil perhitungan sidik ragam molekuler (AMOVA) menunjukkan semua
komponen sumber keragaman tidak berbeda nyata, baik persentase ragam antar group
(4,66), keragaman antar populasi dengan grup (1,74), keragaman antar individu dalam
populasi (-16,92) serta keragaman antar individu (110,52). Namun persentase ragam
terbesar dalam penelitian ini disumbangkan oleh keragaman antar individu yakni sebesar
110,52 dari total seluruh ragam. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman yang terjadi
antar populasi lebih disebabkan karena adanya variasi genetik antar individu.
Nilai negatif yang teramati pada level antar individu dalam populasi, tidak
menyumbangkan ragam pada total ragam. Fenomena ini dimungkinkan karena adanya
excess heterosigot yang disebabkan oleh adanya perkawinan silang (outcrossing). Selain
itu, kecilnya nilai keragaman yang bersumber dari keragaman antar grup maupun
keragaman antar populasi dengan grup, diduga peluang terjadinya aliran gen sangat kecil.
26
Hal ini mendukung hasil analisis jarak genetik antar populasi dengan metode RAPD,
dimana jarak antar populasi induk dan tanaman sangat dekat dibanding jarak genetik
antara kedua grup (Manokwari – Kebar).
Implikasi Genetik Terhadap Sistim Silvikultur
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka strategi konservasi yang sebaiknya
dilakukan adalah mengkonservasi individu dalam populasi. Hal ini perlu menjadi
pertimbangan mengingat keragaman genetik terbesar ada dalam individu pohon didalam
populasi, sehingga konsentrasi pengumpulan materi genetik perlu mempertimbangkan
jumlah pohon yang banyak dalam suatu populasi untuk dikonservasi.
Secara umum konservasi genetik dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu
secara in-situ dan ex-situ. In-situ berarti melestarikan pohon dan tegakan pada sebaran
alamnya, sedangkan ex-situ adalah melindungi gene atau gene complexes pada kondisi
buatan atau setidaknya di luar kondisi alaminya (gene bank), bilamana materi konservasi
genetik yang dibangun berbentuk koleksi klon yang ada di lapangan.
Program konservasi sumberdaya genetik dianggap berhasil apabila informasi
genetik dapat dipreservasi untuk jangka waktu tertentu. Tujuan utama program
konservasi sumberdaya genetik Gyrinops verstegii bukan mempreservasi rangkaian
nukleotida DNA saja, tetapi juga untuk membangun populasi yang dapat beradaptasi
dengan lingkungan dan perubahan lingkungan yang paling umum. Oleh sebab itu dalam
mengkonservasi tanaman Gyrinops verstegii, perlu dipertimbangkan aspek tujuan
konservasi itu sendiri apakah untuk tujuan mempertahankan hasil produksi ataukah untuk
tujuan pelestarian keragaman genetik tanaman.
Informasi tentang besarnya tingkat keragaman genetik, belum dapat menjelaskan
hubungannya dengan parameter-parameter kuantitatif seperti diameter batang, tinggi
pohon, lebar tajuk dan sebagainya. Oleh sebab itu, untuk dapat menyusun strategi
konservasi yang menyeluruh perlu dilakukan pengamatan terhadap aspek pertumbuhan,
sistim perkawinan dan lain-lain.
27
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Keragaman genetik Gyrinops verstegii asal Papua cukup besar hal ini ditunjukkan
oleh nilai he dimana populasi induk Manokwari sebesar 0,2357, populasi anakan
Manokwari 0,2744, Populasi Kebar 0,2944 dan populasi anakan Kebar 0,2839.
Dari keempat populasi tersebut, populasi induk Kebar memiliki nilai keragaman
genetik terbesar.
2. Berdasarkan analisis jarak genetik, populasi induk dan anakan membentuk satu
kelompok dengan jarak genetik yang kecil, sedang antar populasi induk
Manokwari
dan
Kebar
memiliki
jarak
genetik
yang
besar.
Hal
ini
menggambarkan bahwa kedua kelompok tersebut terpisah, diduga karena adanya
penghalang sehingga aliran gen tidak dapat terjadi.
3. Hasil AMOVA dengan penanda mikrosatelit mengkonfirmasi pemisahan populasi
induk - anakan Manokwari dan
populasi induk - anakan Kebar , dimana
keragaman terbesar berasal dari keragaman antar individu.
Saran
1. Informasi molekuler yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam melakukan kegiatan konservasi dan pemuliaan serta
pemanfaatan kayu gaharu lestari khususnya untuk tanaman Gyrinop verstegii di
Papua.
2. Dalam melakukan upaya pemuliaan spesies tanaman Gyrinops verstegii perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap variasi genetik untuk kawasan yang
yang lebih luas.
28
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah C. dan Retnoningrum D. S. 2003. Deteksi Bakteri Patogen Streptococcus
pyogenes dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) [Minggu, 5 Februari
2006]
[Anonim] 2009. Gaharu; HHBK yang menjadi Primadona. http:/wahanagaharu.
blogspot.com/2009/1/gaharu-hhbk.html [1 April 2009]
Asgarin 2005. Pemasaran Domestik dan Ekspor Gubal Gaharu dan Kemedangan
Indonesia dan Regulasinya. Pelatihan Nasional Budidaya dan Pengelolaan
Gaharu, 28 – 30 November 2005 di Biotrop Bogor.
Azwin 2007. Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk)
Hasil kultur invitro. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Brown TA. 1991. Pengantar Kloning Gena. Prof. Soemiati Ahmad Muhammad dan
Praseno, penerjemah. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. Terjemahan dari :
Gene Cloning an Introduction.
[BPS] 2009. Manokwari dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Manokwari.
Crowder LV. 1986. Plant Genetics. Terjemahan K. Lilik dan Soetarso (1986). Genetika
Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ellsworth DL, Rittenhouse KD and Honeycutt RL. 1993. Artifactual variation in
randomly amplified polymorphic DNA banding patterns. Biotechniques 14:214217.
Estoup A, Jarne P, Cornent JM 2002. Homoplasy and mutation model at microsatellite
loci and their consequences for population genetic analysis. Mol. Ecol. 11: 1591 1604.
Eurlings M and Gravendeel B, 2006. Search For DNA Markers to Discriminate Cultivate
from Wild Gaharu (Agarwood). Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. NHN – Leiden University.
Finkeldey, R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. E. Jamhuri , I.Z. Siregar, U.J.
Siregar dan A.W. Kertadikara, penerjemah. GÖttingen : Institute of Forest
Genetics and Forest Tree Breeding Georg-August-Univerity-Göttingen.
Terjemahan dari : An Introduction to Tropical Forest Genetics.
Gillet, EM. 1998. GSED. Genetic Structure from Electrophoresis Data version 1.1
Universitat Gottingen Germany
29
Grattapalia, D., J. Chaparro, P. Wilcox, S. Mc Cord, D. Werner, H. Amerson, S. Mc
Keand, F. Bridgwater, R. Whetten,D.O’Malley and R, Sederoff. 1992. Mapping
in Woody Plants with RAPD Marker: Application to Breeding in Forestry and
Horticulture. P. 37-40. In Application of RAPD Technology to Plant Breeding .
Join Plant Breeding Symposia Series. November 1, 1992. Minnepolis.
Hannum, S, Hartana A, Suharsono, 2003. Kemiripan Genetika Empat Kelapa Genjah
Berdasarkan pada Random Amplified Polymorphic DNA. Hayati. Jurnal Biosains
Vol. 10 No. 04 Desember 2003.
Jusuf, M. 1991. Genetika. Pusat Antar Universitas. Bogor: Institut Partanian Bogor.
Kimball, J. W. 1992. Biologi. Erlangga. Jakarta.
Namkoong G., Boyle T., Gregorius H.R., Joly H., Savolainen O., Ratnam W., Young A.
1996. Testing Criteria and Indicators for Assessing the Sustainability of Forest
Management: Genetic Criteria and Indicators. CIFOR Working Paper No.10,
Bogor: CIFOR.
Qiagen. 2001. HotStar Tag PCR Handbook. Germany; Qiagen
Salosa, D. D., 2001. Karakterisasi Beberapa Pohon Penghasil Gaharu di Desa Aibore
Kecamatan Napan. Skripsi Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas
Negeri Papua. (tidak diterbitkan).
Sambrook, J. E. F. Fritsch and T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning: a laboratory
manual. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press New York.
Schneider, S.,D. Rosseli,L Excoffer 2000. Arlequin ver 3.1 Genetic and Biometry
Laboratory Dept of Antropology and Ecology University of Geneva, Switzerland
Septimayani, I. 2002. Studi Keragaman Genetik 16 Aksesi Blewah (Cucumis melo L)
dengan Metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). [Skripsi]. Bogor,
Departemen Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Siregar, I Z., Hattemer. H H, 2004. Patterns of Genetic Structure and Variation of Merkus
Pine (Pinus merkusii) in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science 16 (2);
160-172
Soerianegara I., Djamhuri E. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Bogor: Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Suryanto, Dwi. 2003. Melihat Keragaman Organisme melalui Beberapa Teknik Genetika
Molekuler. www.library.usu.ac.id/modules.php [Minggu, 5 Februari 2006]
Sumarna, Y., 2002. Budidaya Gaharu, Seri Agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta.
30
Sumarna, Y., 2005. Strategi Budidaya dan Pengembangan Produksi Gaharu . Pelatihan
Nasional Budidaya dan Pengelolaan Gaharu, 28 – 30 November 2005 di Biotrop
Bogor.
Waroy , D. 2006. Karakteristik Pohon Penghasil Gaharu di Kampung Asai Distrik
Manokwari Utara. (Skripsi). Universitas Negeri Papua.
Watson, J. D., Nancy H. P., Jeffrey W. Roberts, Joan A. Steiz, and Alan M. Weiner.
1987. Molecular Biology of The Gene. Cummings Publishing Company Inc.
Weising, K,H. Nybom, K. Wolff and W. Meyer. 1995. DNA Fingerprinting in plant and
fungi. CRC Press, Boca Raton, Fla.
Welsh JR. 1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Mogea JP, penerjemah.
Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Fundamental of Plant Genetic and
Breeding.
Yunanto T. 2006. Implikasi genetik sistem silvikultur TPTJ pada jenis Shorea johorensis
di HPH PT Sari Bumi Kusuma berdasarkan Random Amplified Polymorphic DNA
(RAPD) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Young A., Boshier D., Boyle T., editor. 2000. Forest conservation Genetics. Colling
wood: CSIRO Publishing
31
Download