REPUBLIKA khazanah Fustat Oleh Wachidah Handasah M TETAP PENTING ● Kampung di dekat piramid ● dan Damietta di Laut Tengah. Kapal yang lain bergerak ke selatan menuju Aswan. Sebaliknya, ada pula kapal-kapal dari Laut Tengah yang kemudian merapat di Sungai Nil untuk menurunkan barang-barang dan penumpang yang berasal dari berbagai latar belakang. Ada pedagang, seniman, Muslim, Nasrani, dan Yahudi. Kapal-kapal yang berlayar dari Laut Tengah pun mengibarkan bendera berbeda-beda, termasuk dari negeri di Barat yang non-Muslim. Perbedaan agama dan politik ini nyatanya tak memengaruhi aktivitas bisnis pemerintahan Fatimiah di Mesir. Alhasil, Fustat menjadi kota yang makmur. Gambaran kemakmuran Fustat setidaknya bisa dilihat dari pusat perdagangan di dekat Masjid Amr bin As. Di sebelah utara masjid ini, terdapat pasar yang disebut Suq al Qanadil (Pasar Lampu). Untuk ukuran saat itu, pasar ini sangat mewah dan tak ada duanya di dunia. Sebagian besar barang di pasar ini adalah barang impor yang berasal dari berbagai belahan dunia. Ada aneka lampu dan kristal cantik, juga beragam barang unik. Misalnya, tempurung kura-kura yang dibentuk menjadi aneka barang seperti sisir, kotak perhiasan, gagang pisau, dan lain-lain. Ada pula sejenis kulit dengan motif dan tekstur mirip kulit macan tutul yang kemudian dibuat menjadi alas kaki. Di luar barang-barang impor itu, Fustat juga memiliki produk unggulan sendiri. Kota ini dikenal sebagai penghasil kulit berkualitas, kain yang terbuat dari benang rambut unta serta wol bulu domba. ■ Titik Penting Peradaban Islam Pemandangan Kota Kairo Masjid Al Azhar PADA MASA EMASNYA, KAIRO MAMPU MENYAINGI BAGHDAD DAN CORDOBA. Oleh Wachidah Handasah S ebagai sebuah negeri, Mesir memiliki sejarah panjang. Mulai dari masa Fir’aun, khalifah, hingga masa republik. Sejak zaman kuno (4.000 SM), Mesir telah memiliki peradaban yang tinggi. Peninggalan kejayaan Mesir kuno masih berdiri kukuh hingga saat ini, sebut saja misalnya piramid serta spinx (patung singa berkepala manusia). Peradabannya yang tinggi, disertai potensi geografis dan budaya yang dimilikinya, membuat Mesir segera ‘bersinar’ ketika Islam masuk ke sana. Mesir segera menjadi negeri yang berperan penting dalam sejarah perkembangan Islam. Islam masuk ke Mesir pada abad 7 ketika Khalifah Umar bin Khatab memerintahkan Amr bin As membawa pasukan tentara Islam untuk mendudukinya. Setelah menduduki Mesir, Amr bin As menjadi amir (gubernur) di sana (632-660) dan menjadikan Fustat (dekat Kairo) sebagai pusat pemerintahan. Laut Tengah dan Samudera Hindia. Sementara ibu kota Mesir sebelumnya, Fustat, menjadi bagian dari wilayah administratifnya. Saingi Baghdad dan Cordoba Pada era itu pula, Kairo menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Bahkan, seperti tertulis dalam Ensiklopedia Islam untuk Pelajar, pada masa pemerintahan Abu Mansur Nizar al Aziz (975-996), Kairo mampu bersaing dengan dua ibu kota Dinasti Islam lainnya, yakni Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah dan Cordoba sebagai pusat pemerintahan Dinasti Umayyah di Spanyol. Seperti halnya Dinasti Abbasiyah dan Umayyah yang mampu membangun istana, Dinasti Fatimiah pun mampu mendirikannya. Tak hanya istana, ketiga dinasti yang berada di tiga benua berbeda itu pun ‘berlomba’ membangun masjid. Dinasti Abbasiyah di Baghdad bangga memiliki Masjid Samarra, Dinasti Umayyah membangun Masjid Cordoba, dan Fatimiah memiliki Masjid Al Azhar. Di bidang administrasi negara, Fatimiah pun menorehkan sesuatu yang patut ditiru oleh para penguasa di era berikutnya, termasuk di era modern saat ini. Dalam merekrut pegawai, misalnya, pemerintahan Fatimiah mengutamakan kecakapan dibandingkan pertalian keluarga. Artinya mereka menjauhi praktik yang disebut masyarakat modern sebagai nepotisme. Semangat toleransi pun dikembangkan. Penganut Sunni dan Syiah memiliki peluang yang sama untuk menduduki suatu jabatan. Pada akhir masa kejayaan Fatimiah, Kairo hampir saja jatuh di bawah penguasaan tentara Perang Salib. Beruntung, panglima perang Salahudin Al Ayubi berhasil menghalaunya. Sejak itu, Salahudin mendeklarasikan kekuasaannya di bawah bendera Dinasti Ayubiyah, yang hanya bertahan 75 tahun. Kairo kemudian diambil alih Dinasti Mamluk. Sekitar tiga abad lamanya, Mamluk menjadikan Kairo sebagai pusat pemerintahan. ■ ALLNUMIS.COM Pada masa-masa selanjutnya, Mesir berada di bawah pemerintahan dinasti seperti Umayah, Abbasiyah, Tulun (868905), Ikhsyid (935-969), Fatimiah (9091171), Ayubiyah (1174-1250) yang ditandai dengan Perang Salib (10961273), dan Mamluk (1250-1517). Pada masa sesudahnya, Mesir menjadi bagian dari Kerajaan Turki Ottoman. Dalam rentang penguasaan pemerintahan dinasti itu, masa jaya Islam di Mesir terjadi pada masa Dinasti Fatimiah ketika ibu kota pindah ke Kairo dan Universitas Al Azhar didirikan. Keberadaan Al Qahira atau Kairo bermula ketika Mu’izz Lidinillah, khalifah Fatimiah, berniat melakukan ekspansi ke Mesir. Ia pun mengutus panglima perangnya, Jauhar al Katib as Siqilli, untuk menaklukkan Mesir. Jauhar berhasil membangun sebuah kota baru yang diberi nama Al Qahira (Kairo) pada tahun 969. Pada 973, Khalifah Mu’izz hijrah ke Mesir dan menjadikan Kairo sebagai pusat pemerintahan. James E Lindsay dalam Daily Life in the Medieval Islamic World bercerita tentang Al Qahira atau Kairo ini. Ibu kota baru ini, tulis Lindsay, dibangun dengan sangat baik. Sebuah masjid megah, yakni Masjid Al Azhar, dibangun di sana. Istana kerajaan ada di jantung kota. Dari sisi pertahanan, Jauhar membangun benteng tangguh yang melingkupi Kairo. Di beberapa bagian benteng itu, ada gerbang berpelat besi. Lewat gerbang inilah, warga setempat bisa bepergian ke Suriah dan Fustat. Selain masjid, dibangun pula mushala. Berbeda dengan masjid yang ada di pusat kota, mushala lebih banyak berlokasi di pinggiran kota. Penguasa Mesir saat itu juga menyediakan lahan pemakaman untuk warga. Di bawah Dinasti Fatimiah, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan. Dinasti ini menorehkan kegemilangan selama 200 tahun. Wilayahnya mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Kairo pun tumbuh sebagai pusat perdagangan di kawasan ● Kapal-kapal feri bersandar di Sungai Nil ● Salah satu sudut Kairo di abad pertengahan ARTMIGHT.COM HISTORYFORKIDS.ORG ARTMIGHT.COM KAIRO ● eski ibu kota telah pindah ke Kairo, Fustat masih menjadi kota penting. Mantan ibu kota Mesir ini tetap menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan. “Kota ini (Fustat) menggambarkan kejayaan Islam. Orang-orang dari berbagai belahan dunia menjalankan aktivitas bisnis di sini,” kata Lindsay dalam bukunya. Di Fustat, tak sedikit pedagang dari Barat yang membangun gudang penyimpanan barang. Begitu pun para pedagang dari Timur. Tak hanya riuh oleh geliat perdagangan, Fustat juga tak pernah sepi dari sentuhan keagamaan. Digambarkan oleh guru besar sejarah dari Colorado State University ini, Fustat begitu semarak dan penuh dengan manusia saat ada perayaan keagamaan. Sementara warga Fustat umumnya tinggal di sebuah bangunan semacam apartemen yang bertingkat empat atau lima. Tiap-tiap apartemen dihuni sekitar 200 orang. Soal makanan di Fustat, Lindsay juga menceritakannya dengan cukup rinci. Kota ini, kata dia, punya banyak makanan lezat. Gula-gula sangat murah, pisang ada di mana-mana. Begitu pula kurma dan sayur-mayur. Kayu bakar pun melimpah ruah, sementara air dan udaranya segar. Pendek kata, Fustat merupakan salah satu kota terbaik di jagat pada masa itu. Sungai Nil yang membelah Fustat menjadi urat nadi perdagangan dan transportasi yang penting. Dari sungai ini, banyak kapal feri berlayar menuju Pelabuhan Alexandria 26 Halaman >> Selasa > 28 Desember 2010