Karya Ilmiah - Perpustakaan USU

advertisement
Tengarah Rancangan Dekonstruksi: Dalam Konteks
Rancangan Kiwari
Bhakti Alamsyah
Imam Faisal Pane
Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknk
Universitas Sumatera Utara
1
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sedemikian pesat sehingga
seolah-olah meninggalkan yang ada di belakang. Sesuatu yang baru tampak menjadi lebih
menarik, begitu juga pada saat pertama kali diperkenalkan suatu yang baru yaitu
“dekonstruksi” di dunia arsitektur. Arsitektur telah terlalu lama terpaku pada kebiasaan
yang menimbulkan kebosanan, munculnya perspektif baru tersebut membuat para arsitek
dapat menghirup udara secara bebas. Banyak cara dan teknik yang dapat dilakukan untuk
menghilangkan kebosanan dalam menghadirkan sebuah karya ciptaan arsitektur, dan
inilah yang ditawarkan oleh “dekonstruksi”. Dengan faham baru ini, apakah hal ini
merupakan suatu pertanda bahwa telah terjadi suatu pergeseran dalam ciptaan arsitektur
didalam. Oleh karena itu penjelasan mengenai dekonstruksi akan menguraikan apakah
pergeseran tersebut benar-benar terjadi.
Arsitektur memang tidak sepatutnya dilihat sekedar sebagai produk, dengan penekanan
pada gaya yang “fotogenik”, melainkan lebih sebagai proses, yang mengandung makna
yang dalam dengan partisipasi aktif dari segenap penggunanya (users).
Dalam proses tersebut, memang kemungkinan akan tercipta suatu lingkungan yang
terkesan kurang teratur, tidak sesuai dengan gambaran ideal yang telah ditetapkan
sebelumnya. Namun kalau ketidakteraturan itu ternyata malah cocok dengan
perikehidupan manusianya, kita tidak perlu terlalu risau. “Chaos is another form of
order”, begitu pendapat Jones
(1984 : 8). Proses penciptaan karya arsitektur, bahkan
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
1
sampai ke skala perancangan perkotaan, merupakan kegiatan dinamis yang lebih mirip
dengan musik atau tari, tidak statis seperti lukisan atau patung.
Para arsitek dapat belajar banyak dari kegagalan (disamping juga barang tentu
keberhasilan) berbagai gerakan arsitektur terutama mulai dari Gerakan Arsitektur Modern
pada awal 1920-an, Neomodernism, Rationalism, Structuralism, sampai dengan
merebanya pengaruh Arsitektur Post Modern pada tahun 1980-an. Semua gerakan itu
berkembang dengan pesat, perlu dicermati tidak hanya untuk kepentingan pengembangan
ilmu semata-mata, melainkan juga untuk menelaah upaya peningkatan mutu ciptaan
karya arsitektur.
Selanjutnya belakangan ini telah timbul suatu fenomena baru didalam dunia arsitektur
yaitu Arsitektur Dekonstruksi, dimana semakin bertambah waktu semakin marak seiring
dengan munculnya fenomena Postmodernisme di bidang filsafat, kebudayaan, seni,
sastra, agama serta politik. Ada semacam arus kuat dari bawah (arus bawah) yang muncul
dari kelompok-kelompok marjinal yang tersisih yang selama ini dibungkam oleh
kekuatan-kekuatan arus atas yang mempertahankan kemapanan (status quo) dengan
segala aturan-aturannya. Dapat diduga gugatan arus bawah ini muncul karena adanya
ketidak-beresan pada sistem yang ada, entah itu berupa ketidak-adilan ataupun eksesekses yang timbul dari para pelaku sistem.
Dengan atau tanpa label, gejala yang disebut “Dekon” secara nyata telah dirasakan
kehadirannya dalam bidang arsitektur. Namun adalah tugas para teoretikus dan kritikus
arsitektur untuk meneliti lebih mendalam gejala tersebut, mengidentifikasi-kan
karakteristiknya, mengemas dan membubuhinya dengan label yang dianggap paling tepat,
serta mendaurnya dalam wacana arsitektural.
Upaya untuk menengarai rancangan dekonstruksi pada suatu karya yang secara kasat
mata memang dieksposisikan melalui wujud bentukan dan rupa arsitektur dekonstruksi,
nampaknya akan lebih mudah jika dibandingkan dengan yang lebih ‘tersembunyi’.Latar
belakang pemikiran-pemikiran dekonstruksi lebih banyak dipengaruhi oleh ‘sesuatu’
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2
yang metafisik – transedental. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian
pesatnya, sedemikian pesat sehingga seolah-olah meninggalkan yang ada di belakang.
Sesuatu yang baru tampak menjadi lebih menarik, begitu juga pada saat pertama kali
diperkenalkan sutu yang baru yaitu “dekonstruksi” di dunia arsitektur. Arsitektur telah
terlalu lama terpaku pada kebiasaan yang menimbulkan kebosanan, munculnya perspektif
baru tersebut membuat para arsitek dapat menghirup udara secara bebas. Banyak cara dan
teknik yang dapat dilakukan untuk menghilangkan kebosanan dalam menghadirkan
sebuah karya ciptaan arsitektur, dan inilah yang ditawarkan oleh “dekonstruksi”.
Gedung Menara Mesiniaga karya Kenneth Yeang, Auditorium Inamori di Universitas
Kagoshima karya Tadao Ando dan Kantor Wismakharman karya Andy Siswanto
mempertegas kekuatan karakter dari masing-masing arsiteknya.
Latar belakang
pemikiran-pemikiran dekonstruksinya lebih banyak dipengaruhi oleh “sesuatu” yang
metafisik – transedental. Secara halus “message” dekonstruksinya dimunculkan melalui
kontemplasi metafisiknya terhadap fenomena alam. Ketiga karya diatas sangat relevan
untuk diangkat sebagai arsitektur kontemporer karena kehadirannya muncul di tengahtengah hangar-bingarnya arsitektur dekonstruksi pada saat ini, dan ternyata ia masih bisa
tetap eksis dengan gayanya yang tersendiri.
Pelacakan terhadap indikasi ada-tidaknya implementasi nilai-nilai dekonstruksi pada
karya arsitektur ini memang lebih banyak merupakan interpretasi subyektif yang
mengacu pada kajian gambar-gambar sebagai teks. Namun bagaimanapun juga upaya ini
sah-sah saja sejauh untuk kepentingan memperluas pengetahuan dan wacana ilmiah
arsitektural yang memang harus selalu berkembang melalui media apresiasi dan kritik
semacam ini. Barangkali Kenneth Yeang, Tadao Ando, dan Andy Siswanto tidak pernah
punya keinginan bahwa karyanya akan dapat “ditebak” sebagai arsitektur dekonstruksi,
sebagaimana sikap para arsitek dekonstruksi lainnya. Akhirnya apa yang dilakukan oleh
Michael Benedikt terhadap The Kimbell Art Museumnya Louis Kahn tentu menjadi
acuan dalam pelacakan ini dari ketiga bangunan diatas yang merupakan karya Kenneth
Yeang, Tadao Ando, dan Andy Siswanto
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3
2
DEKONSTRUKSI DALAM KONTEKS RANCANGAN KIWARI
FILOSOFI DEKONSTRUKSI
Deconstruction merupakan tema wacana yang aktual yang mempertuatkan filsafat dengan
masyarakat arsitek; dari mahasiswa, praktisi hingga pelajar dan pengajar sejak tahun
1987. Gagasan Decontruction bukan dari seorang arsitek, tetapi dari pemikir dan kritisi
literatur yaitu Jacques Derrida. Gagasan ini menyebar luas melalui karya-karya Derrida
(1921) sejak terbitnya De la Grammatologie (1976) hingga La Verite en peinture (1987).
Seperti apa yang dikatakan diatas bahwa berbicara tentang Dekonstruksi dengan
sertamerta menyeret kita pada nama penting yang nampaknya telah identik dengan
Dekonstruksi itu sendiri, yakni Jacques Derrida. Tokoh Strukturalisme, Derrida lahir di
Algiers tahun 1930, mengajar filsafat Ecole Normale Superieure di Paris, dan beberapa
universitas di Amerika Serikat. Karya-karya Derrida yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris adalah: “ Speech and Phenomenon” (1973); “Writing and Difference”
(1978); “Of Grammatology” (1974); Dissemination” (1981); “Margins of Philosophy”
(1982). Apa relevansi filsafat Dekonstruksi Derrida ?.
Untuk dapat mengikuti pikiran Derrida tentang Dekonstruksi, sebaiknya kita tinjau
sepintas obyek penyelidikan filsafat Barat. Tanpa memahami pola pikir para filsuf barat
akan sulit mengikuti jalan pikiran tersebut.
Ada dan Hadir
Dekonstruksi sebagai suatu pemikiran tidak terlepas dari tardisi filsafat Barat yang
menyelidiki metafisika. Metafisika adalah suatu cabang filsafat yang menyelidiki
kenyataan utama (ultimate reality). Pertanyaan tentang kenyataan tersebut adalah “ADA”.
Dalam pengertian orang Yunani Kuno, fisika itu pada mulanya adalah suatu upaya untuk
mengamati sifat mendasar semua benda. Esensi semua benda terletak pada ke-ADAannya. Ada, menjadi obyek penelusuran metafisika Barat hingga kini.
Ada itu dapat kita ketahui darimana ?. Dari hadir, itulah yang lebih mudah kita ketahui
karena dapat langsung berhubungan dengannya. Hadir juga mengandung pertanyaan di
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
4
sekitar tujuannya seperti: hadir demi hadir; hadir demi berfikir; hadir demi pengetahuan;
hadir demi (ke)manusia(an); hadir demi yang absolut; hadir demi cinta; hadir demi
kesadaran; hadir demi subyek; hadir untuk merusak; dan seterusnya.
Tanda dan Bekas
Bagaimana kita tahu tentang hadir ?. Itu pertanyaan selanjutnya yang menarik para
pemikir. Jawabannya yang mudah adalah: dari tanda. Tanda adalah sesuatu yang
menggantikan sesuatu. Dalam hal ini tanda menggantikan hadir. (Tanda adalah suatu
kategori yang lebih luas daripada simbol. Simbol selalu diciptakan manusia, sedangkan
tanda tidak selalu). Dengan ada tanda, benda aslinya tidak perlu lagi hadir, asal tandanya
hadir. Kehadiran tanda itu meyakinkan kita tentang ke-ADA-an sesuatu itu. Tanda itu
pengganti sementara yang menunda kehadiran obyek yang ditandai.
Selanjutnya, bagi Derrida, tanda itu tidak berdiri sendiri atau mendahului tuturan dan
tulisan, melainkan, tanda ditampilkan dalam tuturan dan tulisan kita. Kata-kata, yang
dalam hal ini mengandung tanda, menunjukan pada kata-kata lain. Bila kata dalam
bahasa sebagai teks, maka setiap teks menunjukan kepada teks-teks lain atau jaringan
teks lain. Dalam kaitan itu, diskursus (wacana) sebagai kumpulan pernyataan hasil
pembicaraan suatu disiplin kajian, menunjuk kepada bagian-bagian lain. Bila metafisika
selama ini melihat Tanda dalam rangka Ada sebagai kehadiran, maka Derrida melihat
kehadiran dalam rangka jaringan tanda yang menunjuk ke yang satu pada yang lain.
Tanda, dengan demikian akan ada arti bila hadir bersamaan dengan tanda lain.
Tanda dan Bekas
Bagi derrida tanda perlu dipikirkan sebagai bekas atau jejak. Jejak memberitahukan kita
bahwa ada sesuatu yang terjadi, jadi ada sesuatu yang hadir, dan sesuatu itu ada. Jadi bila
ditelusuri, urutan ke-tahu-an akan kita mulai dari bekas. Bekas itu tidak mempunyai
substansi atau bobot, dia hanya menunjukkan hal-hal lain. Bekas tidak dapat kita pahami
sebagai dirinya sendiri, karena yang meninggalkannya itulah yang perlu kita cari.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
5
Dari permulaannya, kita menelusuri bekas untuk mencari obyek, jadi bekas mendahului
obyek. Penelusuran tentang Ada perlu kita mulai dari Bekas. Oleh sebab itu bekas tidak
boleh dihapus, karena begitu dia dihapus, hilanglah seluruh jejak, dan hilang pula
kesempatan bagi pengamat untuk tahu tentang sesuatu.
Bekas bukan suatu akibat, dalam arti bahwa dia tidak memiliki arti dirinya sendiri, tetapi
adalah suatu penyebab. Dalam kalimat yang sulit ini kita perlu kaitkan dengan penjelasan
sebelumnya bahwa bekas itu mendahului obyek penyelidikan (Ada), dari situ kita mulai
mencari. Dengan demikian dia menyebabkan sesuatu itu terungkap.
Dalam kaitan dengan Bekas ini, Tanda tidak lagi bersifat sementara. Tanda mendahului
kehadiran. Tanda selalu ada sebelum obyek. Obyek timbul dalam jaringan tanda.
Bagi Derrida jaringan tanda itu sama dengan teks. Teks itu seperti tenunan atau rajutan,
yang tidak ada artinya bila tidak dalam bentuk jaringannya. Dengan demikian segala
sesuatu yang ada itu berupa teks. Makna selalu tertenun dalam teks.
Penerjemahan dalam kaitan itu dapat kita anggap sebagi upaya menggantikan teks yang
satu dengan teks lain. Terjemahan seperti transformasi yang berarti perubahan bentuk
oleh substansi atau pengganti
Logologi dan Gramatologi
Dalam filsafat Barat atau metafisika, bahasa adalah logologi atau bahasa lisan. Logos
berarti perkataan, kata ucapan, dan juga rasio pikiran. Di sini yang diutamakan adalah
suara (phone) atau tuturan. Makna suatu tulisan datang dari luar, sedangkan ucapan
bersatu dengan kata. Sebagai contoh yang menyampaikannya. Ucapan “sialan” yang
pelan menandakan suatu keakraban, dan maknanya akan berbeda sama sekali bila orang
menguucapkannya dengan keras.
Filsafat Barat sebelum Derrida lebih mengunggulkan bahasa lisan daripada bahasa
tulisan. Ini berkaitan dengan logosentrisme Barat. Kecenderungan ini belatar belakang
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
6
atas keyakinan beberapa filsuf terkenal akan kekuatan ucapan yang langsung
megantarkan arti katanya. Begitu ucapan diganti oleh tulisan maka artinya akan
terkorupsi. Selain itu ada bukti bahwa tulisan itu mengikat, dan penjajah sangat mudah
memakainya
untuk
memanipulasi
jajahannya
yang
pada
umumnya
hanya
mengembangkan bahasa lisan.
Derrida ragu atas keunggulan tersebut, dan dia juga ragu terhadap logocentrisme yang
mengandaikan Ada dalam kehadiran. Bagi dia setiap jenis bahasa adalah tulisan, untuk
itu logologi perlu diubah menjadi gramatologi. Gramma itu tanda dari tanda. Namun
demikian filsafat barunya tetap suatu logi, masih dalam suasana kehadiran. Dengan
demikian tetap ada kekurangan.
Kekurangan tersebut menyebabkan retakan. Oleh sebab itu perlu didekonstruksi. Dengan
mendekonstruksi teks-teks lain Derrida menyajikan teks baru yang berupaya melebihi
teks lama. Dia mencoba dalam teks barunya menyatakan sesuatu yang tidak dikatakan
dalam teks itu, di sini terjadi apa yang dia sebutkan sebagai affirmation. Dia pernah
menyusun buku yang dalam halamannya memuat dua belahan tulisan sekaligus. Di
belahan kiri adalah teks lama dan belahan baru teks yang ditambahkan. Keistimewaannya
adalah, bila pembaca membaca secara menyambung dari (baris yang sama) kiri ke kanan,
kalimatnya akan menyambung dan memberi arti lebih.
Untuk mendekonstruksi teks, dia menggunakan konsep baru difference, suatu kata yang
terdiri dari difference (perbedaan) dan defferer (menunda). Differ dan deffer dalam
ucapan sama bunyi sehingga tidak dapat kita bedakan. Mereka akan berbeda bila kita
tuliskan. Melalui ke dua kata ini Derrida menunjukkan kelemahan bahasa ucapan.
Bahasa dengan demikian merupakan proses temporal. Apabila kita membaca, makna
yang dikandungnya senantiasa ditangguhkan. Sebuah tanda mengantarkan kita pada tanda
yang lain, dan makna yang muncul lebih awal diubah oleh yang muncul kemudian.
Makna tidak pernah identik dengan tanda. Makna berubah menurut konteks atau rantai
penanda yang mengikatnya. Dalam konteks yang berbeda, tanda memiliki makna yang
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
7
berbueda pula. Contohnya istilah “Pharmakon”, yang berarti racun atau obat penyembuh.
Makna istilah tersebut tidak bisa ditetapkan karena berubah menurut konteks
(undecidable). Akhirnya dapat dijelaskan bahwa elemen-elemen bahasa tidak bisa
didefinisikan, karena harus senantiasa dibaca/ ditelusuri dalam kaitan dengan yang lain.
Difference
Difference adalah suatu strategi yang dipakai oleh Derrida untuk melakukan
dekonstruksi. Kata itu khusus diciptakan olehnya, dan oleh sebab itu dia itu sendiri tidak
ada. Hal ini tentu menimbulkan paradoks bila kita mengikuti pemikiran logi. Namun
justru Derrida ingin memperlihatkan logi itu bermasalah sehingga memunculkan sesuatu
yang tidak ada sebelumnya.
Difference menunjukan pada sesuatu yang menunda kehadiran. Dalam hal ini selalu ada
kaitan dengan tanda sebagai penunda hadir. Proses penundaan ini sebagaimana
terkandung dalam kata deffer yang membentuk kata difference. Dalam pembongkaran
kita perlu menemukan apa yang menunda teks tertentu.
Difference itu suatu kegiatan yang memilahkan akar bersama bagi semua kutub-kutub
yang bertentangan. Akar konsep-konsep yang beroposisi seperti inderawi dan rasional,
intuisi dan representasi, alam dan kultur. Dengan demikian dia selalu menunjukan
kekutuban dari yang hadir itu.
Difference itu hasil semua perbedaan yang menjadi syarat bagi penimbulan setiap makna
dan setiap struktur. Perbedaan membuka kesempatan bagi pemunculan arti baru dan
susunan baru suatu teks (kumpulan kata-kata). Ini berarti melalui kebalikan dan
perbedaan itu kita akan mengahdirkan yang kira-kira tertunda itu.
Difference tidak boleh dibayangkan sebagai asal-usul, atau identitas terakhir yang
melebihi semua perbedaan faktual. Dalam hal ini difference bersifat terhingga. Difference
itu suatu gerakan yang belum selesai. Dia dapat menunjukkan keberlangsungan
perbedaan antara Ada dan Adaan terus-menerus. Disini kita perlu memahami posisi
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
8
Derrida dalam kaitan dengan pendahulunya seperti Martin Heidegger, dan Lavinas.
Konsep Ada dan Adaan ini melekat pada metafisika Barat tentang kehadiran dan
keberadaan.
Bila ingin melakukan dekonstruksi dalam tradisi Derrida, difference adalah langkahlangkah yang perlu kita ambil. Namun langkah-langkah tersebut amatlah sulit bagi
mereka yang tidak memahami konteks timbulnya konsep-konsep Derrida tersebut. Kita
perlu ingat bahwa yang Derrida berupaya memperbaiki oleh banyak orang. Jadi dia
mencoba membongkar apa yang belum, atau tertunda dalam teks-teks mengenai esensi
sesuatu itu. Dalam hal ini target dekonstruksi adalah yang esensial, bukan sesuatu yang
bersifat permukaan.
Bila difference itu tidak ada, demikian juga dekonstruksi dalam arti perumusannya. Kata
itu sendiri mengandung arti destruksi atau membongkar lapisan struktur dalam suatu
sistem; dan abbau (Bahasa Jerman) yang menyusun kembali setelah memilah (pisah)kan
bangunan untuk melihat susunannya.
Melihat penjelasan diatas, maka sekarang timbul suatu pertanyaan
yaitu “Apa
relevansinya terhadap Arsitektur”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kita akan
mengkaji lebih dalam lagi tentang jabaran filsafat Dekonstruksi Derrida yang telah
dijelaskan diatas.
Dibawah ini selanjutnya akan dijelaskan apa dan bagaimana sebenarnya Arsitektur
Dekosntruksi yang telah merambah lingkup Arsitektur sejak diperkenalkan pertama
sekali pada pameran mengenai Arsitektur Dekonstruksi yang diadakan di Museum Seni
Modern di New York pada bulan Juli dan Agustus 1988
SEJARAH ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI
Sejak pameran mengenai Arsitektur Dekonstruksi yang diadakan di Museum Seni
Modern di New York pada bulan Juli dan Agustus 1988, Dekonstruksi menjadi sebuah
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
9
aliran baru dalam Arsitektur dan dapat meneruskan atau menggantikan gaya Internasional
(International Style), yang dalam tahun tigapuluhan juga diperkenalkan dalam Museum
yang sama. Tentu ini merupakan sukses besar bagi para dekonstruktivis yang ikut
pameran itu, yaitu : Frank O. Gehry, Daniel Libeskind, Ren Koolhaas, Peter Eisenman,
Zaha M. Hadid, Coop Himmelblau dan Bernard Tschumi. Sebenarnya
yang
memperkasai untuk menerapkan konsep dekonstruksi dalam bidang arsitektur pertama
kali adalah Bernard Tschumi. Selanjutnya, bersama mantan mahasiswanya yang bernama
Zaha Hadid dan Peter Eisenman, mencoba memperkenalkannya melalui pameran dengan
nama “Deconstruction Architecture”.
Pada sebuah simposium di “Tate Gallery” di London dalam bulan Maret 1988 terjadi
beda pendapat antara pihak yang berpegangan pada hubungan Dekonstruksi dengan
filsafat dan pihak yang memandang Dekonstruksi sebagai perkembangan Sejarah Seni
dan Konstruktivisme Rusia. Sukses ini berkat kombinasi filsafat Dekonstruksi; Jacques
Derrida dan Konstruktivisme Rusia. Karena itu penting untuk meninjau pertalian antara
teori dan praktek, antara renungan dan rancangan. Pada bulan Oktober tahun 1985 pada
Colloquium di Paris duapuluh orang Arsitek, filsuf dan kritisi membicarakan peran teori
dalam Arsitektur dari arti Arsitektur bagi filsafat.
Aliran Dekonstruksi tidak terdapat dalam Arsitektur saja, bahkan Jacques Derrida telah
mulai menerapakannya lebih dahulu di dalam sastra. Sebuah teks didekanstruk untuk
menemukan logik yang bertentangan dalam akal dan implikasi, dengan tujuan untuk
menunjukkan bahwa sebuah teks tidak pernah setepatnya mengandung arti yang hendak
dikatakannya atau tidak mengatakan yang dimaksudkan. Derrida berpendapat bahwa
kegiatan Tschumi dan Eisenman dalam Arsitektur sama dengan perbuatannya dalam
filsafat, yaitu kegiatan Dekonstruksi.
PENGERTIAN ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI
Dekonstruksi adalah istilah yang digunakan pertama kalinya pada tahun 1967, oleh
Jacques Derrida, seorang ahli bahasa yang juga filsuf dan budayawan Perancis kelahiran
Algeria, tahun 1930. Pakar ini menelaah secara radikal teori ilmu bahasa yang pada
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
10
waktu itu menganut Strukturalisme yang pernah dikembangkan oleh Ferdinand de
Saussure antara tahun 1906-1911. Dekonstruksi juga merupakan reaksi terhadap
modernisme dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme
dalam perkembangan filsafat ilmu berdasar pada ratio, logos dalam intelektual manusia.
Sebagaimana peranan logos, yaitu menciptakan, mengorganisasi, menyusun suatu jalan
pikiran dengan sistem yang jelas, maka hal-hal yang kecil, hal-hal yang dasar menjadi
hilang. Pengalaman individual, pengalaman pribadi yang begitu “kaya” biasanya
dihilangkan demi mencapai suatu konstruksi yang jelas, tegas dan tepat.
Kata ‘dekonstruksi’ dipergunakan Derrida dalam buku De la Grammatologie, di mana
kata tersebut merupakan terjemahan dari istilah Heidegger, yaitu: destruktion dan abbau.
Dalam konteks ini, keduanya mempunyai kesamaan pengertian sebagai: operasi yang
dilakukan atas struktur atau arsitektur ‘tradisional’ dari konsep dasar ontology atau
metafisik barat (occidental). Tetapi dalam bahasa Perancis, istilah destruction
mengimplikasikan suatu pengancuran total, tetapi Derrida tidak menginginkan adanya
penghancuran yang total itu. Untuk itulah Derrida memakai kata ‘deconstruction’ yang
diketemukannya dalam Littre untuk menandai maksudnya dalam bahasa Perancis.
Rumusan Derrida mengenai dekonstruksi (deconstruction) tidak pernah secara definitif
diperoleh. Kesulitan terletak pada Phenomenon deconstruction sebagai gejala “mengada”
yang tidak pernah menuju ke arah kebakuan. Derrida mengatakan bahwa “dekonstruksi
bukan semata-mata metoda kritis”. Metoda kritis perlu diartikan sebagai memiliki sifat
kritis terhadap dirinya sendiri. Dengan hakekat kritis ini maka wilayah jelajah
dekonstruksi tidak dibatasi pada konteks filosofi saja. Selain itu, oleh Derrida
dekonstruksi juga dianggap bukanlah merupakan metoda berpikir yang destruktif, karena
senantiasa membongkar habis struktur-struktur makna dan bangun suatu konsep. Menurut
Derrida “sikap dekonstruksi senantiasa afirmatif dan tidak negatif”, sebab sesuatu yang
negatif tidaklah membuka diri pada pencarian pemahaman lebih utuh.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
11
Kita harus belajar menganggap Arsitektur sebagai kegiatan berfikir, bukan sebagai
pernyataan ide-ide. Membangun dan berfikir perbandingannya tidak sama dengan praktek
dan teori.
Derrida menginginkan transformasi
sehingga membangun adalah sebanding dengan
menulis. Seperti arsitek memberi bentuk pada tempat dan dengan demikian menciptakan
ruang dalam kota, penulis memberi bentuk pada bahasa untuk membuat ruang bagi
diskusi. Demikianlah bagi Derrida menulis adalah suatu bentuk tunggal.
Peter Eisenman memandang Arsitektur juga sebuah teks, dibangun dengan tanda-tanda.
Ia merancang sebuah Arsitektur yang tidak menutup, tidak menyatukan atau menyeluruh,
akan tetapi membuka, menghambur, membagi dan dengan demikian mendekati situasi
ketidakpastian mendasar manusia. Ia menolak kepastian dan nilai lama dan ingin
memperbaiki Arsitektur menjadi kekuatan positip dalam dunia, yang mampu memdidik
dan berkomunikasi. Ia selalu mencari pembenaran linguistik dan filsafat bagi Arsitektur.
Demikianlah Dekonstruksi telah berperan besar dalam menggerogoti teori-teori
fungsionalis lama arsitektur. Bilamana kita ingin belajar mengerti Dekonstruksi lebih
baik, perlu kita menempatkannya diantara aliran-aliran aktual baru yaitu Regionalisme
Kritikal dan Pasca Modernisme.
Regionalisme kritikan antara lain diwakili oleh Kenneth Frampton, ditandai oleh
pencarian keunikan kawasan, memperbaiki tempat semula, melindunginya terhadap
kesesatan madernitas. Arsitektur sebagai penolakan budaya tunggal dan kapitalisme.
Bahasa Arsitektur setempat harus direkfleksikan secara kritikal dalam rancanganrancangan baru.
Filsafat dekonstruksi Derrida sangat relevan karena menawarakan pemahaman dan
perspektif baru tentang arsitektur, sehingga proses pemikiran kembali (rethinking) premis
dan kaidah tradisional arsitektur dapat dilakukan. Dekonstruksi telah menggariskan
prinsip-prinsip penting sebagai berikut : (Iwan Sudrajat, Sketsa, edisi 11, 1995, hal-24).
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
12
a. Tidak ada yang absolut dalam arsitektur. Tidak ada satu cara atau gaya yang
terbaik, atau landasan hakiki di mana seluruh arsitektur harus berkembang. Gaya
klasik tradisional, modern dan lainnya mempunyai posisi dan kesempatan yang
sama untuk berkembang.
b. Tidak ada ontologi dan teologi dalam arsitektur. Tidak ada tokoh atau sosok yang
perlu didewakan atau disanjung.
c. Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus segera diakhiri.
Perkembangan arsitektur selanjutnya harus mengarah pada keragaman pandangan
dan tata nilai.
d. “Visiocentrism” atau pengutamaan indera penglihatan dalam arsitektur harus
diakhiri. Potensi indera lain harus dimanfaatkan pula secara seimbang.
e. Arsitektur tidak lagi identik dengan produk bangunan. Arsitektur terkandung
dalam ide, gambar, model dan fisik bangunan dengan jangkauan dan aksentuasi
yang berbeda.
PRINSIPAL DEKONSTRUKSI MENURUT MICHAEL BENEDIKT
Dalam upayanya untuk mengupas lebih dalam mengenai dekonstruksi, Michael
Benendikt dalam bukunya “Deconstructing The Kimbell” mencoba menunjukkan bahwa :
™ Pemikiran Derrida sangat unik dan produktif bagi arsitektur.
™ Hal ini sering terjadi dan sebatas penamaan kembali atas prosedur dan sikap-sikap
yang umum dipakai dalam disain arsitektur modern dan perbelajaran dalam disain.
™ Banyak tafsiran tentang dekonstruksi dengan sudut pandang berlawanan yang
dihadirkan melalui cara pembacaan sebuah karya secara berbeda.
Dengan berdasarkan pada pengertian dekonstruksi diatas, Michael Benedikt akhirnya
memilih empat cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa jauh
dekonstruksi berlaku pada sebuah karya arsitektur, seperti yang dilakukannya pada karya
Louis Kahn, yaitu Museum Kimbell (Benendikt, 1991). Keempat prinsipal dekonstruksi
yang dapat ditransformasikan dan diaplikasikan melalui arsitektur tersebut adalah:
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
13
DIFFERENCE
Difference menurut Derrida bukanlah suatu konsep atau kata, meminjamkan dari
pengertian Culler tentang definisi difference secara harfiah, Benedikt mendefinisikannya
ke dalam tiga hal :
Difference
Sistem perbedaan-perbedaan universal yaitu, pengaturan ruang/jarak/spasi (spacing), dan
perbedaan-perbedaan antara sesuatu/dua hal (distinctions between things); perhatiannya
bukan terhadap kosakata tersebut, melainkan lebih kepada dimensi di sepanjang pokok
soal dalam pembedaan koskata tersebut untuk saling memisahkan diri dan saling
memunculkan.
Deferral
Proses dari meneruskan (passing along); menyerahkan (giving over); menunda atau
menangguhkan (postponing); pen-skors-an (suspension); mengulur (protaction) dan
sebuah jarak dalam waktu (a ‘spacing’ in time).
Differing
Pengertian berbeda yang ditunjukkan dengan tidak sependapat (disagreeing); tidak
sepakat (dissenting) atau bahkan penyembunyian (dissembling).
Selain memiliki pengertian diatas, difference juga sangat dekat artinya dengan kata
Jepang ma yang artinya interval in space, interval in time dan moment/place/occasion.
Pengertian dari ma ini lebih dekat pada hubungannya dengan penundaan waktu atau jarak
waktu antara dua hal.
Mendefinisikan seluruh pengertian tentang difference tersebut ke dalam satu pengertian
tidak mudah. Untuk memahami harus memiliki setidak-tidaknya dua hal, dua unsur atau
dua anggota dari suatu sistem tanda. Keberadaan (presence) sesuatu tidak dapat
dibedakan tanpa adanya yang lain, yaitu ketiadaan (absence). Ketiadaan terletak di balik
dan selalu mencerminkan keberadaan. Keberadaan dan ketiadaan adalah suatu oposisi
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
14
yang bersifat paling mendasar. Dua hal lain juga dimunculkan dalam between, binary
opposition, traces, being and nothing, inside and outside dan masih banyak lagi.
Dengan demikian, Benedikt memusatkan perhatiannya pada kata difference ini dalam tiga
hal pokok yaitu, sistem universal kata difference dengan penekanan tidak pada arti
katanya, proses pembedaannya dan pengertian yang ditimbukan akibat pembedaan
tersebut.
HIERARCHY REVERSAL
Segala sesuatu yang ada di dunia merupakan pasangan sebab akibat. Pasangan-pasangan
ini berlaku di semua bidang, misalnya: di luar - di dalam, siang-malam, baik-buruk,
benar-salah dan juga keberadaan-ketiadaan. Dalam pasangan itu berlaku aturan yang
sama, yang utama mengarahakan yang sekunder atau sebaliknya. Hubungan seperti ini
disebut hubungan vertikal atau hirarkis.
Benendikt melakukan dekonstruksi terhadap hirarki ini, khususnya untuk menyerang
adanya hirarki antara ‘presence-absence’. Menurutnya, presence tidaklah demikian
sederhana. Kehadiran presence tidak akan dapat berarti tanpa disadarinya adanya
absence. Dengan demikian, dekonstruksi dapat digunakan sebagai cara untuk :
a. Mengidentifikasi apa yang menindas beberapa hirarki atau mengidentifikasi
percabangan dari ide-ide.
b. Hirarki tidak dapat berlaku, atau ada beberapa polarisasi yang dapat dibalik.
Dengan adanya pembalikan hirarki ini, maka kedua unsur tersebut secara hirarki tidak
ada lagi yang satu dibawah yang lain, tetapi sejajar sehingga secara bersama-sama dapat
menguak makna (kebenaran) yang lebih luas dan mendalam.
MARGINALITY DAN CENTRALITY
Marginalitas dan sentralitas merupakan masalah titik ‘pokok’ yang dapat digunakan
untuk menunjuk pada pengertian ‘penting’ dan ‘tidak penting’. Pengertian kedua istilah
tersebut adalah sebagai berikut :
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
15
Marginality/ Marginalitas
Menunjukkan kedekatannya dengan batas-batas, pinggiran batas luar dan perbatasan
terhadap apa yang ada di dalam dan apa yang ada di luar. Kata ‘margin’ mempunyai arah
yang dibangun menuju ke pusat (central). Margin sangat dekat dengan ambang batas,
tetapi bukan ambang batas itu sendiri.
Centrality/ Sentralitas
Menyatakan secara tidak langsung sebuah kedalaman dan pusat (heart), tempat makna/
arti terkonsentrasi dan merupakan ‘gravitasi’.
Dengan melihat central dan marginal berpindah tempat dengan ditukar atau
dipertentangkan atau ditindas/ditahan secara dekonstruksi, maka mereka menjadi semakin
menarik, dan dengan cara demikianlah semuanya dapat dilihat secara lebih jelas.
ITERABILITY DAN MEANING
Untuk memahami iterability dan meaning adalah terkait dengan konsep Derrida tentang
‘tulisan’ atau ‘teks’. Dalam ilmu bahasa, suatu kata atau tanda memperoleh maknanya
dalam suatu proses berulang pada konsteks yang berbeda. Ini berarti bahwa ‘kata’
tergantung pada interability, dimana suatu kata adalah tergantung pada bisa tidaknya
diulang-ulang. Dengan adanya perulangan ini merupakan pertanda adanya ‘meaning’.
Dalam arsitektur, penggunaan unsur arsitektural secara berulang-ulang akan membuka
pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dimaksudkannya. Unsur arsitektur
tersebut dapat berupa; batu-bata, jendela, pintu, kolom sampai bentukan geometri dan
hubungan abstrak formalnya.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
16
3
NILAI-NILAI KONSEPTUAL RANCANGAN DEKONSTRUKSI DALAM
KONTEKS RANCANGAN KIWARI
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI PADA GEDUNG MESINIAGA
KONSEP RANCANGAN GEDUNG MESINIAGA
Penafsiran atas marka-lingkungan dari pencakar langit
milik perusahaan besar yang mencengangkan ini,
menjelajahi arah baru dari tipe bangunan yang
biasanya tidak bersahabat. Pihak arsitek menjuluki tipe
baru
ini
“bangunan
tinggi
beriklim-bio”
dan
memberinya pengendalian iklim serta penghematan
energi yang peka. Yang patut dicatat adalah adanya
dua spiral “taman angkasa” yang berputar ke atas
sambil memberi bayangan dan kontras visual terhadap
permukaan baja dan alumunium dari gedungnya.
Rangka beton pra tekan pada gedung itu selanjutnya ditingkahi oleh dua tipe
penangkis sinar matahari serta tirai baja dan kaca yang membuat citra High Tech
yang organik, apalagi setelah dilengkapi dengan mahkota logam dan umpak pada
bagian landasan bangunannya. Menara Mesiniaga merupakan sebuah penelitian
arsiteknya atas prinsip-prinsip iklim-bio bagi perancangan gedung tinggi di daerah
beriklim tropis. Menara Mesiniaga memiliki langgam arsitektur campuran dari
langgam kolonial, Cina, Eropa dan Malaysia.
Gedung Mesiniaga merupakan buah penelitian arsiteknya atas prinsip-prinsip iklimbio bagi perancangan gedung tinggi di daerah beriklim tropis. Yang ditampilkan
adalah suatu organisasi spasial memanjang yang diisi dengan hirarki tertentu.
Bangunan tersebut memiliki tiga bagian struktur yaitu : umpak berselimut unsur
hijau yang terangkat, badan yang bernuansa spiral dengan balkon untuk teras taman
dan tirai yang memberi bayangan, dan bagian puncak tempat fasilitas rekreasi berupa
kolam renang serta teras beratap. Struktur beton pratekan dan rangka baja
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
17
bangunannya diperlihatkan seluruhnya dan penyejukannya dilakukan memlaui
pengudaraan alami dan buatan.
Sejalan dengan penjelasan diatas pembahasan selanjutnya berusaha untuk
mengetahui sejauh mana pengertian dekonstruksi yang tanpa disadari oleh
perancangan terdapat pada bangunan tersebut. Pembacaan dekonstruksi Gedung
Mesiniaga karya Kenneth Yeang dalam pembahasan ini digunakan dengan
menerapkan beberapa asas-asas ‘dekonstruksi’ yang digunakan seperti apa yang
telah dilakukan oleh Benedikt dalam meninjau Museum Kimbell. Dengan demikian
mudah-mudahan ‘dekonstruksi’ pada Gedung Mesiniaga ini dapat terbaca.
Gambar 3.1.
Perspektif Gedung Mesiniaga
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI GEDUNG MESINIAGA
KONSEP ‘DIFFERENCE’ PADA RANCANGAN MESINIAGA
Konsep difference-nya Derrida nampaknya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
metafisikanya ‘sebuah pohon raksasa’-nya gedung Mesiniaga , dimana dengan
pemaknaan bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Dengan menempatkan
konsep taman secara memutar dan kontiniu (continuous planting spiraling up), hal ini
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
18
telah memberikan suatu makna ingin menghadirkan suatu bangunan yang di metaforakan sebagai sebuah ‘pohon raksasa’.
Taman yang memutar dan bentuk bangunan yang berbentuk lingkaran adalah sebuah
tanda yang menghadirkan sesuatu yang tidak hadir yaitu sebuah pohon yang dilengkapi
dengan dedaunan. Sedangkan pohon itu sendiri merupakan tanda ‘ketidakhadiran yang
tertunda’ dari apa yang semestinya dihadirkan.
Pohon pada konsep bangunan ini merupakan sebuah metafora dari apa yang seharusnya
hadir dalam sebuah pelestraian alam, dimana pohon merupakan suatu unsur yang
terpenting dalam memberikan seuatu keseimbangan alam.
Spiral ‘taman angkasa’ yang dikembangan di dalam perencanaan bangunan Mesiniaga
ini, dimana taman tersebut berputar ke atas dipakai sebagai alat yang memberikan
bayangan yang kontras visual kepada permukaan baja dan alumunium dari gedung
tersebut, hal ini juga merupakan sebuah metafor dari apa yang seharusnya hadir yaitu
sebuah alam yang ditumbuhi oleh beberapa tanaman yang hijau dan asri.
Konsep sebuah pohon, yaitu sebuah unsur alam yang hidup dan tumbuh serta berdiri pada
sebuah bidang tanah, merupakan sebuah konsep yang dipergunakan oleh Ken Yeang
untuk membuat dan membangun Gedung Mesiniaga. Metafisikanya
sebuah pohon
terlihat jelas sekali pada bangunan ini, dimana penundaan kehadiran yang seharusnya
hadir, sudah merupakan sebuah bukti adanya ‘defference’-nya Derrida ada di obyek ini.
Site yang ditata sedemikian rupa dan teratur dan ditumbuhi sebatang pohon pada areal
sekitar site tersebut. Pohon-pohon menumbuhkan cabang-cabangnya, kolom-kolom
menumbuhkan balok-balok. Pertumbuhan terus berlanjut, batang-batang menumbuhkan
dedaunan. Bentuk yang sedang bertumbuh ini dapat kita lihat pada bangunan Gedung
Mesiniaga dimana kolom-kolom tersebut dapat kita lihat karena berada luar bangunan.
Selanjutnya kehadiran mahkota baja yang berada pada puncak bangunan ini juga dapat di
metaforkan sebagai puncak sebuah pohon yang selalu dipenuhi oleh dedaunan, dimana
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
19
pemaknaan tersebut merupakan sebuah tanda menghadiran sesuatu makna yang tidak
hadir. Sebuah puncak pohon yang selalu dipenuhi dengan dedaunan tersebut merupakan
sebuah tanda ketidakhadiran, dimana kehadirannya ditandai dengan hadirnya sebuah
rangka baja yang menyerupai sebuah mahkota.
Seperti telah diungkapkan pada pembahasan terdahulu tentang penataan tapak, bahwa
tanaman di sekitar bangunan yang ditata membentuk spiral pada kulit bangunan juga
dipandang sebagai alam yang hijau. Ini sesuai dengan teori Yoshinibu Ashihara, bahwa
untuk membentuk sebuah tatanan ruang luar, kita dapat memperlakukan tanaman di
taman
sebagai masa yang dapat juga membentuk ruang luar, sama seperti masa
bangunan, jadi kedudukan masa bangunan dan masa tanaman memang sama bila ditinjau
dari pembentukan ruang luar. Kenneth
Yeang
mengatakan
konsepnya
tentang
rancangannya ini sebagai proses bangunan bio - klimatik, tetapi apa yang terlihat ternyata
melangkah lebih jauh dari proses terjadinya sebuah bentuk. Bila kita melihat sketsa dari
tema space of one hundred columns kita seolah diajak untuk membayangkan bahwa
bentuk tersebut tumbuh dari site itu sendiri. Hal ini terlihat pada site dimana bangunan
seakan muncul dari dalam tanah pada sebuah perbukitan.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
20
Gambar 3.2.
Konsep “Continuous Palnting
Spiraling Up” dari Gedung
Mesiniaga
Gambar 3.3.
Penerapan konsep tersebut
dengan menempatkan taman
secara memutar keatas dan
diakhiri oleh sebuah mahkota.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 3.4.
Terlihat dikejauahan,
memperlihatkan seakan-akan
bangunan tersebut tumbuh dari
sebuah perbukitan
PEMBALIKAN HIRARKI PADA RANCANGAN MESINIAGA
Filsafat modern dengan metafisika kehadirannya sangat menekankan kepastian yang tak
tertunda karena segala sesuatu harus bisa diselesaikan dengan logika. Diferensiasi secara
ketat menghasilkan perbedaan dua kutub yang dipertentangkan secara diamatral (oposisi)
binari). Elemen yang pertama dianggap yang penting dan mendominasi yang kedua,
secara hirarkis yang kedua sub-ordinansi terhadap yang pertama, sehingga kalau yang
kedua harus ada, maka ia hanya berperan sebagai perlengkap penderita. Derrida
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
22
melakukan dekonstruksi terhadap pandangan oposisi ini dengan menempatkan kedua
elemen tersebut tidak secara hirarkis yang satu dibawah yang lain, tetapi sejajar sehingga
secara bersama-sama dapat menguak makna (kebenaran) yang lebih luas, lebih mendalam
pada suatu bingkai tanpa batas.
Dalam konteks ini dan melihat konsep perencanaan Gedung Mesiniaga ada beberapa
bagian yang dapat dilihat secara ‘pembalikan hirarki’ dekonstruksi. Salah satunya yaitu
sebuah konsep penempatan fungsi penampungan air yang biasanya berada di dasar
bangunan atau pada halaman sebuah bangunan, dalam hal ini sang arsitek Kenneth Yeang
mengadakan suatu pembalikan hirarki dengan menempatkan sesuatu yang semestinya
berada dibawah dalam hal ini diletakkan diatas bangunan, atau pada puncak bangunan
lantai 20. Biasanya pada bangunan-bangunan pencakar langit, pada lantai puncak
diletakkan fungsi darurat yanitu meletakan “Helipaid’. Fungsi penampungan air ini,
digunakan sebagai media yang memberikan sumber kehidupan bagi ‘taman angkasa’
yang diciptakan Ken Yeang pada bangunan tersebut
Gambar 3.5.
Perletakkan penampungan
air hujan yang berfungsi
sebagai penyuplai air
bagi ‘taman angkasa’
spiral
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
23
Gambar 3.6.
Dengan menggunakan sifat air yang selalu berjalan ketempat yang lebih
rendah maka dengan meletakkan penampungan air diatas bangunan maka
air tersebut dapat memberikan sumber kehidupan bagi ‘taman angkasa’
yang berbentuk spiral.
KONTEKS PUSAT DAN MARJINAL PADA RANCANGAN MESINIAGA
Perbedaan antara ‘pusat’ dan ‘marjinal’ merupakan konsekuensi dari adanya hirarki yang
ditimbulkan oposisi binari. Yang ‘marjinal’ adalah yang berada pada btas pad tepian,
berada diluar (outside), karenanya dianggap tidak penting. Sementara yang ‘pusat’ adalah
yang terdalam yang dijantung daya tarik dan makna dimana setiap gerakan berasal dan
merupakan tujuan gerakan dari yang marjinal.
Derrida mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep ‘parergon’ (para : tepi,
ergon : karya), yaitu bingkai lukisan. Kalau hanya untuk membingkai lukisan selalu
dibuat demikian bagus berukir. Bukankah pembingkaian (framing) ini mempunyai nilai
sendiri terlepas dari nilai lukisan yang dibingkainya ?.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
24
Dinding pada umumnya berfungsi sebagai kulit luar dari sebuah bangunan. Dinding pada
umumnya berada pada bagian luar (outside), dan merupakan bagian yang digunakan
sebagai batas dari sebuah ruang. Dibalik dinding dapat dipastikan ada sebuah ruang, pada
ruang tersebut ada bermacam-macam komponen penyusun ruang, antara lain perabotan.
Apabila pada sebuah bangunan tinggi biasanya pada sebuah ruang ada salah satu unsur
yang cukup penting sebagai struktur pendukung bangunan yanitu ‘tiang’, dimana
biasanya tiang ini pada ruang-ruang tertentu muncul dan berada di dalamnya.
Selanjutnya pada suatu perencanaan dapat juga memperlihatkan bahwa posisi tiang dan
dinding berada pada dimensi yang sama.
Melihat rancangan Ken Yeang, dimana posisi keduanya yaitu antara tiang dan dinding
telah dibedakan dalam peletaknya. Pada konteks dekonstruksi tentang ‘pusat’ dan
‘marjinal’ , dan melihat pengertian dari konsep ‘parergon’-nya Derrida, maka
penempatan dinding yang seharusnya berada pada marjinal pada gedung tersebut
ditempatkan seolah-olah pada pusat bangunan yang dilindungi oleh beberapa buah tiang
yang melindunginya. Peran tiang yang merupakan fungsi struktur bangunan tinggi
diusahakan juga berperan sebagai alat pelindung dinding yang ditarik kepusat untuk
menghindari pencahayaan yang berlebihan.
Dinding-dinding bangunan yang selama ini dibiarkan sebagai komponen yang tidak
berguna tetapi pada bangunan Gedung Mesiniaga peranan dinding yang ditarik kepusat
tersebut mempunyai peran yang sangat sentral dalam mengatur pencahayaan yang
masunk kedalam gedung. Dinding-dinding tersebut dipenuhi oleh kaca-kaca yang
berfungsi untuk
memasukkan berkas-berkas cahaya sehingga kegelapan didalamnya
terusir dan masuklah roh yang memberikan kehidupan pada bangunan ini sehingga
terjadilah proses kehidupan yang terjadi pada pembahasan sebelumnya. Cahaya ini terus
masuk pada siang hari dari bukaan- bukaan yang ada pada kulit-kulit bangunan dan
diarahkan oleh lempengan-lempengan logam yang berada diluar dinding tersebut. Tetapi
pada malam hari kita melihat proses sebaliknya, keluarnya roh itu dari dalam gedung
Mesiniaga.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
25
Keluarnya cahaya dari bangunan sangat kuat terasa pada bangunan tengah. Dan
pengeluaran cahaya ini terasa sangat memberikan arti bahwa bangunan tersebut
mengisyaratkan pada lingkungan bahwa di dalamnya ada suatu roh dan kehidupan.
Cahaya disini tidak sekedar merasuk kedalam ruang tetapi juga keluar dari ruangan,
sehingga bentuk di sini adalah wadah dari roh, seperti falsafah Lao Tze tentang ruang.
Bahwa yang penting adalah yang ada di dalam, kekosongan yang ada di dalam itu, dan ini
semakin diperkuat dengan adanya aliran kehidupan dari keluar-masuknya cahaya
tersebut.
Secara jelas terlihat peranan dinding yang berada dipusat dari lingkaran luar bangunaan
tersebut sangat sentral dan penting sekali di dalam mengatur pencahayaan alami Gedung
Mesiniaga, dalam hal ini ‘sang’ dinding meninggalkan ‘sang’ tiang yang tetap dengan
kemarjinalannya.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
26
Gambar 3.7.
Pada rancangan denah Gedung Mesiniaga terlihat perletakan kolom
yang berada diluar dari dinding gedung tersebut.
Proses penukaran antara pusat dan marjinal terlihat pada bagian ini
PENGULANGAN DAN MAKNA PADA RANCANGAN MESINIAGA
Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang (iteratif) pada
konteks yang berbeda dimana secara konotif maupun denotif artinya akan memperoleh
struktur yang stabil. Dalam arsitektur, penggunaan metafora secara berulang-ulang akan
membuka pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dimaksudkannya.
Pengulangan/ serangkaian titik menunda kehadiran makna yang akan dimunculkan
(dalam konteks bahasa). Ia juga merupakan waktu istirahat, jedah, memperlambat tempo
atau mengarah pada ketidakthuan. Serangkaian tanda tanya menunda kehadiran makna
tentang kebingungan, kegalauan, ketidakpastian, dan seterusnya. Serangkaian tanda seru
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
27
menunda kehadiran makna tentang kemarahan, kegeraman dan seteruanya. Dengan
demikian pengulangan/ serangkaian titik, tanda tanya, tanda seru merupakan metafora
dari ketidkthuan, kebingunan dan kemarahan.
Pada bangunan Gedung Mesiniaga, pengulangan alat penangkis sinar matahari yang
terbuat dari logam merupakan suatu tanda tanya tentang kehadiran suatu makna yang
tersembunyi dibalik kehadirannya. Ibarat kepala seorang manusia yang ditutupi sebuah
topi, artinya manusia tersebut melindungi kepal dari sengatan sinar matahari, tetapi selain
topi dibutuhkan pula suatu bentuk dari topi tersebut sebuah penangkis cahaya yang dapat
menghindarkan mata dari silaunya matahari. Kemudian apa bila seorang manusia merasa
silau terhadap sinar matahari sedangkan dia tidak menggunakan topi, secara reflek
tangannya akan digunakan sebagai penangkis sinar matahari. Kalau penangkis sinar
matari tersebut hanya diletakkan cuma sebuah pada bangunan
Gedung Mesiniaga
tersebut, maka belum memberikan makna metafora dari sebuah ‘tangan manusia’ untuk
menangkis matahari dari silaunya cahaya matahari, tetapi karena diberi secara berulangulang maka makna penangkis tersebut semakin jelas namun kehadiran makna sebenarnya
dari
sebuah
‘tangan
manusia’
tetap
tertunda
dibalik
kehadirannya,
apalagi
penempatannya berada pada bagian-bagian tertentu yang memang dibutuhkan akibat
fungsi yang diembannya. Oleh karena itu akibat pemunculan lempengan tersebut semakin
jelaslah makna melalui metafora ‘tangan manusia’ yang sedang menahan silaunya sinar
matahari.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
28
Gambar 3.8.
Pada gambar terlihat lempengan baja yang diletakkan pada
bagian-bagian tertentu secara berulang. Kehadirannya sebagai
sebuah tanda tanya menunda sebuah kehadiran makna dari
‘tangan manusia’ yang sedang menahan silaunya matahari yang
menyinari mata manusia tersebut.
Gambar 3.9.
Gambar yang memperlihatkan
sebuah konsep Penempatan
penangkis sinar matahari sebagai
Sebuah metafora tangan manusia’
yang sedang Dari silaunya cahaya
matahari
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
29
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI PADA AUDITORIUM INAMORI
KONSEP RANCANGAN AUDITORIUM INAMORI
Kegalauan dan kegelisahan segera
mendera semangat dan mengusik batin
Tadao Ando ketika Inamori (Rektor
Universitas
Kagashima
memberikan
merancang
Jepang)
kepercayaan
Auditorium
untuk
dan
perkuliahan
di
perguruan
terkemuka
di
Jepang
Hall
tinggi
tersebut.
Barangkali Ando tidak perlu begitu
cemas dan tertekan moralnya, jika ia hanya dihadapkan pada tuntutan fungsi dan bentuk
semata, karena jauh lebih penting dari semuanya itu, ia ingin menjawab tantangan ini
dengan pemaknaan melalui pemahamannya terhadap “sesuatu” yang bersifat metafisiktransendental tentang fenomena alam.
Kegelisahan nampak berkepanjangan, karena dalam kurun waktu yang cukup lama ia
sama sekali belum mempunyai ide/ggasan awal yang akan memberikannya inspirasi
tentang bagaimana auditorium tersebut dapat dihadirkan secara fisik, sarat dengan makna.
Hingga pada suatu pagi, ketika ia bersama Inamori sedang memancing bersama sambil
bercengkrama bermain tebak-tebakan, Inamori bertanya: “Apa yang menjadikan (sebuah)
telur itu?, dan dengan sigapnya Ando segera menjawabnya : “Mari saya tunjukkan, saya
(telah) memilikinya”. Sambil tertawa kegirangan Ando mencoba meyakinkan Inamori
bahwa ia baik-baik saja. Sejak saat itu Ando berhasil “menangkap” ide/gagasan “telur”
untuk rancangan auditoriumnya yang baru dapat ia selesaikan pada November 1994.
Dari kisah pertemuan ide/gagasan ”telur” untuk rancangan auditorium itu sebenarnya
yang nampak secara eksplisit di dalam benak kita barangkali adalah kaitan bentuk telur
dengan tuntutan bentukan fisik auditorium, khususnya tuntutan teknis interiornya. Namun
Ando “menangkap”nya lebih dari sekedar bentuk fisik telur. Ia menangkap “sisi lain” dari
keberadaan telur yang secara metafisik-transedental merupakan fenomena alam. Betapa
luas cakrawala pandang Ando ini ditandai dengan penguasaannya terhadap saluran
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
30
kreatifitas yang bersifat tangible dan intangible. Implementasi antara keduanya
menghasilkan sebuah karya yang menakjubkan dan cukup spektakuler.
Indikasi adanya nilai-nilai dekonstruksi pada karya Ando ini diawali oleh keadaan bahwa
dalam kompleks Universitas Kagoshima ini terdapat bangunan-bangunan terdahulu yang
akan menjadi bertentangan jika kepadanya dihadirkan bangunan baru yang bersifat
kontradiktif. Kondisi ini menggiring imajinasinya untuk segera menghadirkan konteks
baru yang memang harus berbeda dengan yang lama. Oposisi diantara keduanya
mengilhami Ando untuk menciptakan bentukan rupa uniqueness. Selain itu pengeterapan
nilai-nilai dekonstruksi pada karya ini juga terdapat pada elemen-elemen dan komponen
bangunan. Beberapa implementasi konsepnya terlihat pada upaya-upaya Ando untuk
menyetarakan eksterior dan interior, makro dan mikro kosmos, outside-inside, insideoutside, dan lain-lain. Uraian yang lebih rinci akan disampaikn pada penjelasan
berikutnya.
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI AUDITORIUM INAMORI
FENOMENA “TELUR” PADA KONSEP “DIFFERENCE”1
Konsep difference-nya Derrida nampaknya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
metafisika “telur”-nya Ando dengan pemaknaan bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang
tidak hadir. Sedangkan telur itu sendiri merupakan tanda ketidakhadiran tentang “apa
yang bakal ditetaskannya” atau bisa juga diartikan bahwa telur itu merupakan tanda
“kehadiran yang tertunda” dari apa yang bakal ditetaskannya.
1
Japan Architecture (1990), Tadao Ando : p. 42-46
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
31
Gambar 3.10.
Tampak Depan Auditorium Inamori
Telur merupakan metafora dari apa yang saat ini dilakukan oleh perguruan tinggi, berupa
riset/penelitian, eksperimen dan rekayasa. Apa yang bakal ditetaskan oleh telur adalah
metafora dari penemuan, penciptaan, pembaharuan dan perubahan yang bersifat
fenomenal (unpredictable). Dengan demikian pemaknaan terhadap telurnya Ando dapat
juga diartikan sebagai upaya-upaya riset/penelitian, eksperimen dan rekayasa yang
dilakukan oleh lingkungan akademis adalah untuk menhadirkan penemuan-penemuan,
penciptaan-penciptaan dan inovasi-inovasi yang memang sulit diperkirakan sebelumnya,
khususnya tentang spesifikasi/karakter dari apa yang dihasilkannya.
Hal ini nampak pada harapan-harapan Ando untuk generasi yang akan datang.
Keberadaan mahasiswa paling tidak merupakan penundaan atas kehadiran manusia
intelektual (sarjana). Misi perguruan tinggi adalah untuk membentuk manusia yang akan
menemukan dan mengembangkan “dunia baru” di masa depan. Perguruan tinggi wajib
menciptakan manusia-manusia ilmiah yang bisa eksis pada jamannya.
Kemudian sebagaimana mestinya telur itu dimunculkan “garbha griya”-nya yang meng“enclose” telur, hal ini adalah pencerminan dari :
• Perlindungan oleh institusi/ lembaga perguruan tinggi terhadap riset dan penelitian
yang dilakukan oleh “masyarakat”nya.
• Pengabsahan/ legitimasi merupakan perlindungan atas produk/karya-karya yang
dihasilkan oleh perguruan tinggi.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
32
• Profesionalisme sumber daya manusia di perguruan tinggi melindungi kredibilitasnya.
Sedangkan munculnya sebagian (ujung) telur, “menunda kehadiran dari keseluruhannya”,
karena ia lebih merupakan sebuah proses, sebagaimana suatu riset/penelitian rekayasa
dan eksperimen akan mencapai keberhasilan jika dilakukan secara terus-menerus,
berulang dan bertahap. Pemunculan sebagian dari keseluruhannya ini juga dapat diartikan
sebagai metafora dari keberadaan manusia yang merupakan bagian dari alam mahasiswa
bagian dari masyarakat akademis, pengetahuan bagian dari ilmu dan seterusnya.
PEMBALIKAN HIRARKI KEBERADAAN AUDITORIUM
Auditorium sebagai salah satu bangunan penunjang kegiatan perguruan tinggi,
seharusnya memposisikan keberadaannya secara hirarki dibawah Gedung Rektorat
sebagai bangunan pusat koordinasi, manajemen, penelitian dan lain-lain. Namun Ando
nampaknya memberikan peranan yang lebih penting pada bangunan auditoriumnya dalam
konteks bangunan baru terhadap bangunan lama, sehingga ia mampu menempatkan
kedua bangunan tersebut tidak secara hirarkis yang satu dibawah yang lain, tetapi sejajar.
Hal ini mengingatkan pada konsep “both-and”, simultaneous presence both atau
contradiction juxtaposed- nya Venturi2 (dengan memanfaatkan shock treatment dan
juxtaposed contrast). Dengan demikian konteks bangunan lama dan baru oleh Ando
berhasil disetarakan atau disejajarkan melalui penyandingan bersama.
Dalam konteks yang lain pembalikan hirarki juga ditemukan pada upaya Ando untuk
menyetarakan telur dengan garbha griya-nya. Dengan membuat transparan garbha griya,
memungkinkan terlihatnya telur secara keseluruhan, sehingga keberadaan telur tidak
harus nampak “tersembunyi” di dalam garbha griya-nya, sekalipun secara hirarkis
sebenarnya telur itu harus “terbungkus” di dalam garbha griya3.
2
3
Robert Venturi (1977): “Complexity and Contradiction in Architecture”, The Architectural Press Ltd, London: p.23-25
Saya kurang sependapat dengan komentar Josef Prijotomo dkk (1993), Dekonstruksi : Bukan
Asal Semmrawut,
Makalah yang disajikan dalam rangka 28 tahun ITS, Surabaya. Pada presentasi tersebut, beliau
menyatakan bahwa
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
33
Upaya penyetaraan mikro kosmos terhadap makro kosmos pada konteks perlakuan
terhadap ruang dalam/interior auditorium adalah bagian dari pembalikan hirarki lainnya,
karena sebenarnya mikro kosmos dibawah makro kosmos. Upaya Ando untuk
“memindahkan” nuansa langit pada malam hari dengan taburan bintang ke dalam interior
cangkang telur auditorium-nya merupakan indikasi yang mengarah ke sana.
Indikasi ini bisa juga diartikan seperti menyetarakan outside dengan inside (outside-in)
atau sebaliknya menyetarakan inside dengan outside (inside-out). Apa yang dilakukan
oleh Ando ini sama halnya dengan upaya Daniel Libeskind ketika “grasp the stars” untuk
rancangan Jewish Museum-nya di Berlin4 atau “Cahaya Tuhan”-nya Saarinen ketika ia
dipercayakan untuk merancang kapel MIT, Massachusets Institute of Technology5. Disini
Saarinen mencoba untuk “memasukkan” cahaya ke dalam “lubah sumur” yang dibentuk
oleh lempengan-lempengan metal dan digantung pada juntaian tali mengililingi altar
kapel.
KONTEKS PUSAT DAN MARJINAL PADA DESAIN AUDITORIUM
Auditorium telur dan garbha griya yang meng-enclose-nya merupakan bangunan utama
yang akan selalu menjadi pusat perhatian, sedangkan jalan masuk entrance dan teras
merupakan “bangunan aneka” sebagai pumpunan sekunder sana halnya dengan
memarjinalkan pusat perhatian dan memusatkan elemen marjinal.
Ando berhasil menyetarakan bangunan aneka terhadap bangunan utama dengan berusaha
merancang jalan masuk, entrance dan teras bangunan sama baiknya dengan bangunan
utama.
pembalikan hirarki hanya terjadi pada program (non materi), karena menurut pendapat saya
dalam berarsitektur
pada akhirnya harus diwujudkan dalam bentuk materi.
4
5
Anthony C. Antoniades (1990): “Poetics of Architecture”, Van Nostrand Reinhold New York, p.51
Majalah ‘Laras’, No 41/Mei 1992, hal 97-103
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
34
Lintasan jalan masuk ke dalam bangunan tidak dibuat hanya sekedar memindahkan
pengunjung dari luar kedalam bangunan secepat dan sesegera mungkin sebagaimana
layaknya sistem transportasi vertical pada umumnya (tangga dan lift). Ando berhasil
menekuk dan mematahkan tradisi merancang secara konvensional ini, sehingga jalan
masuk entrance dan teras bangunan yang biasanya hanya bagian dari bangunan utama,
kini mempunyai peran yang sama pentingnya dengan bangunan utamanya. Kegigihan
Ando untuk menyetarakan kedua hal tersebut diatas mengingatkan kita pada konsep
“parergon”-nya Derrida yang berusaha untuk menyatakan antara lukisan dengan
bingkainya. Lukisan yang semula menjadi pusat perhatian, kini harus berbagi perhatian
dengan bingkainya, artinya bingkai sebagai bagian dari unsur rupa juga mempunyai
peluang untuk dibuat sebaik lukisan itu sendiri.
Ramp-ramp, jalan masuk utama dan sekunder menuju bangunan utama, dirancang
sedemikian rupa (tidak seefisien tangga dan lift) sehingga merupakan elemen bangunan
yang juga harus mendapatkan perhatian pengamat, karena tidak hanya sebagai pelengkap
penderita saja, tetapi sebagai “bangunan” yang menyatu dengan keseluruhannya.
PENGULANGAN DAN MAKNA
Pengulangan/ serangkaian titik menunda kehadiran makna yang akan dimunculkan
(dalam konteks bahasa). Ia juga merupakan waktu istirahat, jedah memperlambat tempo
atau mengarah pada ketidaktahuan. Serangkaian tanda tanya menunda kehadiran makna
tentang kebingungan, kegalauan, ketidakpastian dan seterusnya. Serangkaian tanda seru
menunda kehadiran makna tentang kemarahan, kejengkelan, kegeraman dan seterusnya.
Dengan demikian pengulangan/serangkaian titik, tanda Tanya, tanda seru merupakan
metafora dari ketidaktahuan, kebingungan dan kemarahan.
Pada
kasus
bengunan
auditorium-nya
Ando
ini,
pengulangan
kolom-kolom
berpenampang bulat pada ruang transisi (lobby/hall) semakin mempertegas makna
tentang terkurungnya telur oleh wadahnya (ghraba griya). Keberadaan kolom-kolom
bulat yang diletakkan diantara batas tepi bangunan (curtain wall) dan auditorium
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
35
cangkang telur beton ekspos semakin mempertegas “bermukim”-nya telur di dalam
garbha griya-nya, karena batas pandang pengamatan akan segera terbentur pada sosok
massif-solid bentukan telur begitu pancaindera kita berhasil menembus kaca berbingkai
dan deretan kolom-kolom tersebut.
Eksistensi didalam garbha griya ini sedemikian kuatnya ketika kita mencoba mengamati
bangunan tersebut dari beberapa sudut pandang mulai dari sisi Timur berputar kearah
Selatan dan berakhir pada sisi Baratnya. Munculnya silhouette telur secara berulangulang semakin memperkuat makna tentang metafisik telur yang akan segera menetaskan
sang “jabang bayi” masa depan. (lihat denah, tampak, potongan dan gambar-gambar lain
pada lampiran).
Keberadaan telur dipusat garbha griya pada saat kita mengamatinya dari arah Timur, akan
segera ikut bergeser kearah kanan ketika bergerak menuju ke Selatan dan terus
mengelilingi sampai ke arah Barat. Sekuensi hasil pengamatan ini kana berubah-ubah
sebagaimana munculnya ujung telur dan “mulut” garbha griya (batas tepi dinding
bangunan). Pemunculan pembahasan tentang “telur” secara berulang-ulang sejak awal
dalam konteks yang berbeda semakin memperjelas makna melalui metafora telur.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
36
Gambar 3.11.
Denah Lantai Basement, Lantai 1, Lantai 2 dan Lantai 3
Gambar 3.12
Tampak Depan
Auditorium Inamori
Gambar 3.13.
Gambar Potongan memanjang
Auditorium Inamori
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
37
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI PADA KANTOR WISMAKHARMAN
KONSEP RANCANGAN KANTOR WISMAKHARMAN
Kantor ini merupakan sebuah biro arsitek yang terletak di kota Semarang dan dipimpin
oleh seorang arsitek Indonesia yang dikenal sebagai salah satu tokoh postmodern.
Sebagai seorang pemimpin dari sebuah perusahaan dan pencetus ide dari karya
arsitekturnya, bangunan ini sarat dengan kesempatan penafsiran secara dekonstruksi.
Andy Siswanto, menyelesaikan pendidkan S1 arsitekturnya di UGM dan melanjutkan
pendidikan S2 arsitekturnya di University of Wisconsin-Milwaukee. Arsitek yang gemar
mengunjungi museum dan penggemar musik klasik ini adalah serang arsitek yang
mempunyai visi jauh kedepan, kaya akan kreatifitas dan pernah memperoleh berbagai
penghargaan, antara lain “Chicago Award” – American Institute of Architect untuk
Architectural & Interior Design, “Thesis Award” – University of Wisconsin, dan
“Summer Meeting Place” – Student Competition di Woschester College, Oxford
University.
Sebagai salah seorang tokoh postmodern yang ada di Indonesia, Andy Siswanto tidak saja
seorang arsitek yang sering mendapatkan penghargaan melainkan juga seorang pemikir
dan penulis. Tulisannya di beberapa majalah arsitektur atau pernyataannya di beberapa
seminar menunjukkan penghargaannya yang besar terhadap dekonstruksi dan
perhatiannya yang tinggi terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
38
Gambar 3.14.
Axonometri Wismakharman
Bangunan ini pernah juga menjadi salah satu karya yang diangkat dalam pembicaraan
sebuah Seminar Arsitektur di ITS tahun 1995. Tulisan yang diberi topik “Proses Kreatif
dalam Postmodernisme” ini juga menampilkan sajian kritis dari Josef Prijotomo terhadap
bangunan Kantor Wismakharman. Dengan melihat adanya pengaruh arsitektur nusantara
terhadap karya ini, membuatnya memposisikan karya ini lebih ke dalam arsitektur purnamodern. Melalui pengkajian yang berbeda, dengan asas-asas dekonstruksi diharapkan
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
39
dapat menemukan konsistensi dari Andy Siswanto terhadap dekonstruksi pada bangunan
ini. Hal ini akan semakin menunjukkan kebenaran dekonstruksi, yaitu pembacaan sebuah
karya arsitektur sebagai teks, melalui pembacaan dengan sudut pandang yang berbeda
akan di dapatkan hasil penggambaran yang berbeda pula.
Gambar 3.15.
Tampak Depan Wismakharman
Penelaahan lebih lanjut untuk melihat pembacaan dekonstruksi pada bangunan ini
dilakukan dengan menggunakan asas-asas dekonstruksi seperti yang dilakukan Michael
Benedikt dalam melihat The Kimbell Art Museum karyanya Louis Kahn yaitu : diffrance,
hierarchy reversal, marginality and centrality dan iterability and meaning terhadap denah,
tampak dan ruang dalam bangunan kantor Wismakharman ini.
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI KANTOR WISMAKHARMAN
Ruang Dalam
Ruang Rapat
Perletakan ruang rapat di lantai atas ini mempunyai posisi belahan sebelah kiri dari
bangunan, dan memiliki sebuah teras kecil yang berada di luar bangunan. Ruang rapat
berada di tengah-tengah ruang studio yang menjadi ruang utama dari bangunan ini.
Pengambilan ide bentuk ruang rapat dari bangunan yang ada di pinggiran kota sebagai
bangunan pengasapan ke tengah-tengah bangunan telah membalikan posisi ruang ini,
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
40
yaitu dari yang terletak di marginal/pinggiran dari sebuah kota dipindahkan poisisinya ke
sentral/pusat bangunan ini. Josef Prijotomo6 melihatnya lebih dari usaha yang dilakukan
Andy yang tidak dapat menghindari keinginannya memasukkan bentukan tradisional ini
ke dalam karyanya. Sedangkan secara asas dekonstruksi, proses ini dikenal dengan
prinsip marginality and centrality, yaitu pembalikan posisi dari marginal ke sentral. Hal
ini sekaligus juga dapat menunjukkan adanya pembalikan hirarki (hierarchy reversal)
dari sesuatu yang tidak penting (dari daerah pinggiran) menjadi sesuatu yang saangat
penting (berada di daerah pusat, bila dilihat dari penempatannya.
Gambar 3.16
Ruang Rapat
6
Josef Prijotomo dkk (1993), Dekonstruksi, Bukan Asal Semrawut, Makalah yang disajikan
dalamrangka 28 tahun
Arsitektur ITS, Surabaya.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
41
Balok yang ada diatas puncak atap ruang rapat ini dimunculkan bukan sebagai sebuah
konstruksi yang berfungsi sebagai penopang atap bangunan, melainkan dihadirkan
sebagai tempat untuk menggantung sebuah lampu. Keberadaan lampu menjadi
sedemikian penting sehingga harus dibutuhkan sebuah balok yang cukup besar dan
panjang untuk menahannya dari atas. Pemanfaatan sebuah balok yang diletakkan di
puncak atap sebagai tempat menyangga lampu merubah fungsi semulanya sebagai sebuah
konstruksi. Pembalikan nilai dari sesuatu yang sangat penting, yaitu sebuah balok sebagai
unsur dari sebuah konstruksi bangunan menjadi hanya sekedar sebagai penopang lampu,
merupakan gambaran dari sebuah asas hierarchy reversal. Selain itu pemunculan balok
yang berhenti di tengah-tengah seakan menunjukkan bahwa balok tersebut dipotong
secara sengaja atau menunjukkan adanya suatu pekerjaan yang belum selesai, penundaan
pekerjaan ini dikenal sebagai proses postponing di dalam difference.
Ruang Tunggu
Ruang tunggu yang berada di pojok depan sebelah kanan dari lantai atas ini memiliki
keistimewaan tersendiri bagi bangunan. Bentuk balkon seperempat lingkaran yang
dilapisi oleh tembok yang ternyata terlepas dari ruangan tunggu ini tidak sepenuhnya
dilindungi oleh atap dari bangunan. Dengan melepaskan dinding ini dan membiarkannya
terbuka, amak terang alam dan tetesan air hujan dapat menembus dri atas. Masuknya
unsur luar bangunan ke dalam ruang tunggu ini sebagi salah satu unsur estetika,
menjadikan daerah ini menjadi daerah luar (outside) dari ruang yang ada disekitarnya
(ruang administrasi). Sedangkan dari posisi sebenarnya ruang ini terletak pada daerah
dalam bangunan (inside). Dengan demikian, permasalahanya adalah masalah perletakkan
“banal” (dua hal yang berpasangan), inside dan outside digunakan sebagai wilayah yang
sama pentingnya dan menempati posisi yang dapat dibolak-balik.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
42
Gambar 3.17.
Ruang Tunggu
Ruang Direktur
Ruang direktur ini diletakkan dilantai atas berdekatan dengan ruang administrasi dan
ruang tunggu tamu. Seperti yang dipertanyakan oleh Josef Prijotomo7 dalam sajian
kritisnya di dalam melihat suatu kondisi seperti ruang direktur ini, adalah melihat posisi
Andy Siswanto selaku pimpinan dari stusio arsitek atau lebih kepada posisinya sebagai
seorang perancang.
7
Josef Prijotomo dkk (1993), Dekonstruksi, Bukan Asal Semrawut, Makalah yang disajikan
dalamrangka 28 tahun
Arsitektur ITS, Surabaya.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
43
Gambar 3.18
Ruang Direktur
Sebagai seorang pimpinan tentunya Andy adalah tuan rumah bagi tamu-tamu yang
datang, dan penempatan ruang yang mengarah ke ruang tunggu adalh bentuk
penyambutan yang diberikannya kepada setiap tamu atau klien. Namun, melalui
pemilihan dinding yang cenderung tertutup ini, ia seolah-olah ingin menunjukkan adanya
pembedaan secara tegas kegiatan administrasi di luar dan di dalam. Sebagai seorang
pemimpin, Andy Siswanto hanyalah penentu kebijaksanaan dan keputusan bukan pelaku
kegiatan administrasi. Mungkin melalui pembedaan inilah (distinction between things),
Andy sebagai seorang arsitek tidak ingin dianggap hanya sebagai seorang administrator
di dalam kantor ini.
Ruang Studio
Ruang kerja yang menjadi kegiatan utama kantor ini hamper mendominasi seluruh ruang
yang ada, baik di lantai bawah maupun di lantai atas. Ruang yang penuh dengan meja,
komputer dan tentu saja meja gambar, membuat gambaran sebuah biro arsitek yang
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
44
cukup professional. Perhatiakan pemilihan perabot yang ada di sini, meskipun tidak
terbatasi oleh bentuk ruang melingkar tetapi pemilihan meja yang setengah melingkar
adalah menunjukkan kesadaran dari pemilik bangunan dalam menhadirkan sesuatu yang
tidak lazim berada di arsitektur modern.
Gambar 3.19
Ruang Rapat
Tampak Bangunan
Tampak Depan
Bangunan ini memiliki dua lantai (lantai bawah dan lantai atas) yang dihubungkan
melalui dua buah tangga yang terpisah, yang satu adalah sebuah tangga putar yang
terletak ditepi dalam dari bagian bangunn di sebelah belakang yang dapat dicapai dari
luar melalui sebuah tangga menuju lantai atas ini memiliki keunikan-keunikan tertentu
pada tampang depannya. Dengan adanya tangga menuju lantai atas, sehingga lantai
dasar/bawah seakan-akan menjadi penopang dari keberdaan lantai dasarnya. Apalagi
dengan ditutupinya tampang depan bangunan dengan pagar tanaman, semakin
mengisyaratkan bangunan ini bagaaikan sebuah bangunan panggung. Mengenai taangga,
kitannya dengan tapak bangunan yang miring ke belakang memberi kemungkinan bagi
tangga depan untuk seakan berpoisisi sebagai split level, khususnya anatar lantai dalam
dan teras bangunan dengan titik tanah di pekarangan bangunan.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
45
Gambar 3.20.
Tampak
Bangunan
Wismakharman
Gambar 3.21.
Tampak Depan
Teras
Keberadaan dua teras pada tampak depan bangunan ini sangat menarik, seperti yang
terlihat pada foto-foto dibawah ini. Kehadiran teras di sebelah kanan yang seakan
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
46
menyambut setiap tamu yang masuk lewat tangga ini mempunyai satu buah pintu di sisi
melingkarnya. Keberadaan atap teras dengan warna atap birunya yang cukup menyolok
dan bentuknya yang tidak lazim ditemukan pada bangunan-bangunan perkantoran
umumnya, secara sekilas mampu menandakan bangunan ini bukanlah bangunan modern.
Bentuk atap dengan konstruksi yang sederhana ini mengalami penyelesaian yang tidak
seperti biasanya, yaitu dengan tidak diselesaikannya seluruh penutup atap sehingga ada
sebagian kecil di depan yang menunjukkan konstruksinya secara telanjang. Prinsip dari
difference sebagai proses dekonstruksi dapat terlihat di sisni melalui adanya penundaan
(postponing), yaitu dengan tidak terselesaikannya penggarapan atap dari teras ini.
Penundaan yang digunakan dalam penyelesaian atap ini ternyata mampu menampilkan
sesuatu yang lain dan lebih indah. Atap dari teras ini sekaligus juga menghadirkan adanya
presence dan absence, dimana presence dihadirkan melalui bentuk awan/mendung paada
atap ini yang dapat dirasakan akibat dari penundaan pekerjaan atap, sedangakn absence
lebih diungkapkan melalui kenyataan dari awan/ mendung yang sebenarnya tidak ada.
Gambar 3.22.
Teras Kanan
Teras di sebelah kiri bangunan ini merupakan teras dari ruang rapat yang ada di lantai
satu. Teras yang sebenarnya lebih merupakan sebuah jendela terbuka yang menjorok ke
depan ini mempunyai luasan yang cukup kecil, sehingga teras ini tidak dapat diharapakan
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
47
mampu menampung lebih dari dua orang peserta rapat yang ingin menghirup udara luar.
Seperti juga pada teras sebelah kanan, presence dan absence dapat dirasakan melalui
pekerjaan atap teras yang berupa rangka konstruksi tanpa adanya lembaran dari penutup
atap. Penundaan ini dapat hadir karena tidak terselesaikannya atap dari teras ini,
sedangkan keberadaan dari atap tetap dapat dirasakan (presence) meskipun sesungguhnya
fungsi atap sebagai peneduh tidak dapat terpenuhi (absence).
Gambar 3.23.
Teras Kiri
Hadirnya sebuah pintu kaca di teras ini tidak seperti yang biasa kita lihat pada bangunan
modern, dengan digesernya salah satu sisi pintu dari dinding yang menjadi lubang pintu,
maka pada sudut pandang tertentu daun pintu tidak akan kelihatan. Menyembunyikan
daun pintu secara sengaja ini tentunya akan membuat keberadaan pintu tidak sekedar
sebagai penghubung antara dua ruang, apalagi dengan adanya pengolahan balok-balok
kayu yng dicat merah di sisi atas dari pintu tersebut, menunjukkan bahwa sebuah pintu
dapat diolah sedemikian rupa sehingga menjadi berbeda. Seperti yang diungkapkan
Derrida maupun Benedikt, penyembunyian (dissembling) seperti yang dilakukan pada
pintu tersebut mampu memperkaya dalam pengolahan unsur-unsur sebuah arsitektur.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
48
Dissembling dalam hal ini juga mengakibatkan hadirnya presence dan absence dari
sebuah pintu secara bersamaan. Sudut pintu di sebelah kiri hadir melalui kusen pintu
yang menempel pada dindingnya (presence), di mana sesungguhnya sisi pintu sebelah
kiri tidak berada di situ, melainkan menjorok ke dalam (absence).
Gambar 3.24.
Teras Belakang
Konsep dan Denah Bangunan
Bangunan yang berada pada tapak yang tidak terlalu luas ini diselesaikan dengan cukup
jeli. Penggunaan garis-garis yang tidak sejajar dengan melakukan pembelokkan bentuk
pada sudut-sudut tertentu. Seperti yang dilakukannya pada rung istirahat, ruang studio
dan perpustakaan di pojok sebelah kanan dan tangga putar di lantai bawah serta ruang
rapat dan rung tunggu di lantai atas. Hal ini menunjukkan keinginan perancangannya
untuk membuat sesuatu yang tidak lazim dilakukan dlam arsitektur modern, dimana
keteraturan dan fungsionalitas menjadi pertimbngan utama.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
49
Gambar 3.25.
Pola Lantai Dasar
Wismakharman
Gambar 3.25a.
Pola Lantai Satu
Wismakharman
Pola Lantai
Dari denah yang menunjuk pada pola lntai ini dapat diketahui adanya pembedaan yang
kalau dilihat dari fungsinya, akan menunjukkan pembedaan jenis kegiatan. Pada lantai
bawah ini, pola lantai dibagi menjadi dua secara tegas menjadi perwilayahan sebelah kiri
dan kanan. Sedangkan di lantai atas pembagiannya menurut tatanan ruang yang ada di
luar dan di dalam. Di sisni secara jelas melalui pembedaan pola lantai antara lantai bawah
dan lantai atas, perancang ingin menunjukkan adanya usaha untuk melakukan pembedaan
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
50
meskipun bangunan hanya terdiri dari dua lanati. Pada asas dekonstruksi hal ini dikenal
dengan istilah difference yang mempunyai makna differences, yaitu adanya pembedaan
antara dua hal (distinctions between things).
Kalau kita melihat keberadaan perpustakaan di sebelah pojok kanan bagian belakang dari
lantai bawah ini, dengan pola lantai yang menyatu dengan pola lantai bawah sebelah
kanan dan penggunaan dinding pembatas yang transparan, maka sepintas kita tidak akan
dapat menemukan ruang tersebut. Ruang perpustakaan disembunyikan keberadaannya
dalam ruang studio, salah satu teknik ini dapat dilakukan melalui asas difference dengan
melakukan penyembunyian (dissembling). Dari penyembunyian ini maka inside dan
outside juga disejajarkan posisinya apalagi bila ditambah dengan adanya pengulangn
(iterability) pada penggunaan jendela dan pintu. Pengulangan kusen yang sama di
dinding luar terhadap dinding yang ada di dalam semakin membuat sejajar posisi dari
inside dan outside, ruang kerja di luar bisa menjadi inside terhadap luar bangunan dan
outside bagi ruang perpustakaan yang di dalam. Tetapi begitu pula sebaliknya ruang
perpustakaan bisa menjadi outside bagi ruang kerja yang ada di luar. Perpindahan posisi
dari inside dan outside ini dapat dibolak-balik.
Gambar 3.26.
Perpustakaan
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
51
Tangga
Keberadaan tangga putar sebagai satu-satunya penghubung antara lantai dasar dan lantai
satu diletakkan pada periferi bangunan, dapat dirasakan di sini bahwa sesuatu yang
seharusnya (perletakan tangga pada arsitektur modern) diletakkan di tengah namun pada
bangunan ini bahkan ditarik ketepi. Bagian sentral (tangga penghubung) yang seharusnya
menjadi pusat dari bangunan ini telah ditarik ke periferi bangunan. Dengan demikian
posisi tengah seakan-akan kehilangan pusatnya, sehingga tengah hanya menjadi sebuah
tempat dan bukan orientasi. Salah satu asas dekonstruksi yang dapat menjelaskan hal ini
adalah asas marginality dan centrality, dimana posisi pusat dan pinggiran ditukar atau
dipertentangkan atau ditindas/ditahan secara dekonstruksi. Adanya perpindahan posisi ini
juga menunjukkan bahwa keberadaan dari satu-satunya penghubung antara dua lantai ini
menjadi tidak penting artinya.
Gambar 3.27.
Tangga Putar
Penggunaan tangga putar yang lazim digunakan sebagai tangga servis atau tangga dari
sebuah pabrik ini digunakan sebagai tangga utama dari bangunan kantor ini yaitu sebagai
satu-satunya yang menhubungkan antara lantai bawah dan lantai atas. Tangga ini
memanfaatkan kolom structural dari bangunan sebagai kolom structural tangga.
Pengolahan pada pegangan tangga berwarna merah yang terlepas dari struktur tangganya,
seakan-akan ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekedar tangga servis atau tangga yang
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
52
biasanya digunakan di pabrik. Dengan dimikian diharapkan dapat merubah nilai yang
selama ini dianggap tidak penting karena berada di daerah servis atau bangunan sebuah
pabrik, menjadi sebuah tangga yang mempunyai nilai penting karena fungsinya sebagai
tanngga utama dan peletakkannya pada sebuah bangunan kantor. Pembalikan hirarki ini
menurut
Bernard
Tschumi8
adalah
program
dekonstruksi
yang
dinamakan
disprogramming, yaitu program pabrik yang dimunculkan pada program kantor dengan
menampilkan sebuah tangga putar.
Program disprogramming ini juga dilakukan kembali dengan menghadirkan tangga depan
sebagai jalan masuk bagi setiap pengunjung atau tamu yang akan datang. Konsisten
penggunaan tangga pabrik ini terlihat dari bentuk dan bahan yang digunakan.
Sebagai satu-satunya jalan masuk ke dalam bangunan (kecuali lewat garasi yang menjadi
pintu servis), tentu saja tangga ini menjadi sebuah tangga utama yang menghubungkan
antara ruang luar dan ruang dalam bangunan. Dengan menempati posisi di depan, maka
tangga ini sekaligus menjadi bagian dari wajah depan bangunan yang pertama kali
terlihat dari luar. Dengan demikian, tangga ini telah mendapatkan posisi yang sangat
penting, tidak saja secara fungsi tetapi juga dari perletakan tangga ini sebagai bagian dari
tampang depan bangunan. Prinsip hierarchy reversal melalui disprogramming ini
tentunya akan mampu merubah persepsi orang tentang kelaziman dan hirarki yang
ternyata dapat dibolak-balik.
8
Seperti yang dijelaskan Bernard Tschumi pada buku Geoffrey Broadbent (1991), Deconstruction: A Student Guide,
London: Academy Edition.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
53
Gambar 3.28
Tangga Depan
Jenis Kegiatan
Melihat dari jenis-jenis kegiatan yang ada pada bangunan ini, maka dapat dibedakan
adanya pemisahan kegiatan yang cukup tegas antara kegiatan operatif (studio) dan
kegiatan non operatif (pelayanan dan administrasi). Pada lantai bawah, kegiatan operatif
(yaitu rang studio dan perpustakaan) berada di sisi sebelah kanan sedangkan pada lantai
atas dibalik penempatannya menjadi sisi sebelah kiri (yaitu ruang studio dan ruang rapat),
begitu juga dengan kegiatan non operatifnya. Pada lantai bawah, kegiatan non
operatif/pelayanan (yaitu ruang istirahat, gudang, km/wc, garaasi, dapur dan ruang
makan) berada di sisi sebelah kiri, sedangkan di lantai atas kegiatan non
operatif/administrasi (yaitu ruang tunggu, ruang administrasi dan ruang direktur) berada
di sisi sebelah kanan.
Dengan melihat bangunan sebagai dua belahan sisi kanan dan sisi kiri, mka dapat
dirasakan aanya pembalikan posisi dari kegiatan yang ada di bawah dan diatas. Bila
sebelumnya kegiatan operatif dilantai bawah dapat ditemukan di sebelah sisi kanan, maka
dengan menaiki tangga putar kita akan menuju daerah dengan kegiatan yang sama
(operatif) meskipun kita sedang berada di sebelah sisi kiri bangunan. Kesamaan pada
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
54
kegiatan yang dilakukan membuat kita tidak merasakan bahwa kita sudah berda di lantai
yang tidak sama. Secara penempatan, tangga putar telah membalikan posisi dari yang
sebelah kanan (di lantai bawah) beralih ke sebelah kiri (lantai atas). Proses pembalikan
hirarki (hierarchy reversal) dari lantai dasar ke lantai satu, dimana kegiatan non operatif
(lantai dasar) melalui tangga putar seakan ikut diputr/dibalik menjadi kegiatan operatif
(lantai satu). Begitu pula untuk kegiatan operatif di lantai dasar diputar menjadi kegiatan
non operatif di lantai satu, menunjukkan adanya penggunaan salah satu asas dekonstruksi
tersebut yaitu hierarchy reversal. Selain itu, tangga juga berhasil meneruskan kegiatan
operatif yang ada di lantai bawah ke lantai atas, hal ini sesuai dengan yang dimaksud
Benedikt sebagai difference dalam pengertian deferral, yitu proses meneruskan (passing
alone).
Gambar 3.29.
Susunan kegiatan pada Lantai Satu
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
55
Gambar 3.30.
Susunan kegiatan pada Lantai Dasar
Perabot dan Sirkulai
Dari pengolahan ruang dan perletakan perabot, maka kita akan dapat melihat sirkulasi
yang ada pada bangunan ini. Yang menarik di sini adalah perletakan pintu pada lantai
satu, mulai dari tangga menuju teras, kemudian masuk ke dalam bangunan, sirkulasi
pengunjung dihadapkan pada keberadaan dinding atau sesuatu yang menjadi penghalang.
Bukan kemudahan jalan yang disuguhkan melainkan misteri yang ditawarkan untuk
pengunjung. Begitu juga dengan sirkulasi di dalam bangunan, pintu dan tangga yang
seharusnya dengan mudah dapat dilihat, sehingga orang dapat dengan cepat
mengenalinya bahkan telah disembunyikan (dissembling). Hadirnya perabot yang
memanfaatkan bahan-baahn bekas, lagi-lagi digunakan oleh Josef Prijotomo9 untuk
melihat masuknya unsure-unsur lama ke dalam karya ini. Mulai dari potongan besi
sebagai penggalan, balok-balok kayu yang sudah mengalami penghancuran karena
9
Josef Prijotomo dkk (1993), Dekonstruksi, Bukan Asal Semrawut, Makalah yang disajikan
dalamrangka 28 tahun ITS.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
56
termakan rayap, tiba-tib saja dipergunakan sebagai kaki dan alas meja rapat. Daur ulang
bahan bekas ini membuat Josef Prijotomo memberikan penghargaan yang tinggi kepada
Andy Siswanto sebagai seorang pemulung yang berhasil memanfaatkan penggalan dan
potongan bahan bekas menjadi unsur pembentuk karya seni arsitektur (seni perabot).
Sedangkan bagi dekonstruksi hal ini bisa dilihat dari adanya pembalikan hirarki
(hierarchy reversal), dimana unsur-unsur yang tidak beharga/bernilai seperti penggalan
dan potongn dari bahan bekas tersebut diangkat menjadi barang berguna dan bahkan
dengan pengolahan lebih lanjut mampu mempunyai nilai yang tinggi sebagai sebuah
karya seni. Usaha merubah nilai pada bahan bekas selain itu juga mampu menunjukkan
kemampuan dari biro arsitek ini dalam hal merancng sebuah karya seni.
4
KESIMPULAN
Upaya pelacakan terhadap indikasi dekonstruksi bagi karya-karya semacam ini nampak
lebih rumit, karena kita harus menemukan ide-ide/ gagasan-gagasan awal yang
‘ditangkap’ oleh arsitek, sehingga hal ini akan dapat mempermudah upaya pelacakan
selanjutnya terhadap faktor-faktor dan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Kekurang
data, gambar, sketsa menyebabkan penafsiran dekonstruksi bagi sebuah banguna tidak
dapat tampil secara maksimal, apalagi kekurangan tentang makna sebuah konsep
perencanaan gedung tersebut.
Dari prinsip yang dipegang oleh Kenneth Yeang bahwa ia akan terus mencari dan
mencari bentuk yang baru, konsep yang baru dari faham yang sedang dia geluti dan tidak
membiarkan dirinya berhenti timbullah sebuah arsitektur yang ‘hidup’. Dekonstruksi
dalam arsitektur telah membawa warna yang bervariasi. Jika
dikatakan membawa
kemajuan mungkin terlalu extrem, karena itu akan lebih tepat jika dikatakan dekonstruksi
“memperkaya” arsitektur. Jika kita meninjau perkembangan dunia arsitektur selama
beberapa abad yang lalu maka dalam cara orang membangun kita menjumpai suatu
perubahan yang mendasar. Perubahan penting ini ialah pergeseran ciptaan arsitektur.
Kalau dahulu arsitek menjadi pencipta tunggal dari ciptaannya, sekarang dia menjadi
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
57
koordinator kreasi arsitektur. Terlepas dari konteks diatas, dan merujuk dari yang pernah
dikatakan oleh Louis Kahn, yaitu tentang pernyataan ‘Let it be’-nya. Hal ini memberikan
makna bahwa sebuah karya arsitektur setelah berdiri akan memiliki hidupnya sendiri,
terlepas dari keinginan arsitek itu sendiri. Inilah yang dapat menjadi sasaran dari
pembacaan Dekonstruktif.
Selanjutnya Tadao Ando adalah seorang arsitek metafisikan yang meng-implementasikan
pemikiran-pemikiran metafisik-transendentalnya secara “terselubung” pada arsitektur
dekonstruksi. Dengan demikian eksposisi arsitektur dekonstruksinya tidak banyak
diekspresikan pada unsur seni rupa, bentuk atau wujud, tetapi lebih banyak dirahakaan
pada kandungan nilai-nilainya yang sarat makna. Secara eksplisit karya Ando ini nampak
seperti karya arsitek modern lainnya, tetapi setelah dilacak secara seksama ternyata ia
memuat sejumlah nilai-nilai prinsipal dekonstruksi arsitektur.
Selanjutnya dari hasil pembacaan yang dilakukan pada karya Andy Siswanto yaitu
sebuah kantor Wismakharman diatas, telah banyak menunjukkan konsistensi perancang
terhdap dekonstruksi. Melalui bermacam-macam asa dekonstruksi yang digunakan dan
beberapa teknik olah terhadap unsur-unsur arsitekturnya, menghadirkan sebuah karya
yang mampu menghilangkan kebosanan bagi penikmat bangunan terhadap karya
arsitektur selama ini.
Akhirnya seperti yang telah dilakukan Benedikt terhadap Museum Kimbell, dengan asasasas (prinsip) dekonstruksi yaitu difference, hierarchy reversal, marginality and
centrality, iterability and meaning, mampu memberikan dan menunjukkan dekonstruksi
yang ada pada ketiga bangunan diatas. Meskipun dekonstruksi masih merupakan sebuah
perdebatan panjang yang belum membuahkan kesepakatan pemahaman yang sama, tetapi
setidaknya melalui asas-asas (prinsip) dekonstruksi tersebut usaha pengkayaan olah
arsitektur sudah dapat dilakuakn. Sehingga kebosanan bagi para arsitekpun dapat
dihindari.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
58
DAFTAR PUSTAKA
---------(1995), Majalah Arsitektur Imarta, SKETSA edisi 11, Universitas Tarumanagara,
Jakarta.
Antoniades, Anthony. C (1990) “Poetic of Architecture”, Van Nostrand Reinhold New
York
Ashihara, Y., Merancang Ruang Luar, alih bahasa oleh Sugeng Gunadi, PT. Dian Surya,
1983.
Atmadi, Parmono dkk (1997), Perkembangan Arsitektur dan Pendidikan Arsitek di
Indonesia, Gajah Mada University Press.
Benedikt, Michael (1991), Deconstructing The Kimbell: An Essay on meaning and
Architecture, New York: Site Books.
Broadbent, Geoffrey (1991), Deconstruction: A Student Guide, London: Academy
Edition.
Japan Architecture (1990): “Tadao Ando”
Klassen, W., Architecture and Philosophy, University of San Carlos, Philippine, 1990,
p.11.
Laras, Majalah Arsitektur No.41/ Mei 1992
Prijotomo, Josef (1993), Dekonstruksi: Bukan Asal Semrawut, Makalah yang disajikan
dalam rangka 28 tahun Arsitektur ITS Surabaya
Prijotomo, Josef dkk (1996), Arsitektur Dekonstruksi, dalam tinjauan Indonesia,
Kanisius.
Siswanto, Andy (1993), Proses Kreatif dalam Postmodernisme, Makalah yang disajikan
dalam Seminar Arsitektur”Arsitektur Nusantara, Keajegan dan Perubahan”, ITS
Surabaya.
Sumaryano. E (…….), tulisannya mengenai Jacques Derrida pada buku Arsitektur
Dekonstruksi, dalam tinjauan Indonesia, Kanisius.
Susanti, Ivy (1997), Dekonstruksi, Arsitektur, dan Arsitektur Dekonstruksi, Majalah
Arsitektur Imarta, SKETSA edisi 13, Universitas Tarumanagar, Jakarta
Venturi, Robert (1997): “Complexity and Contradiction in Architecture”, The
Architectural Press, Ltd, London
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
59
Wigley, Mark (1993): “The Architecture of Deconstuction, Derrida’s Haunt, MIT Press
Cambrige, Massachussets, London, England.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
60
Download