TINJAUAN PUSTAKA Mineral Silikat Silika merupakan penyusun utama kerak bumi (Holmes 1964). Kombinasi silika dengan unsur yang lain membentuk mineral golongan silikat. Mineral golongan silikat dikelompokkan berdasarkan perbandingan unsur silikon dan oksigen. Mineral silikat terbagi dua jenis, yaitu mineral silikat primer dan mineral silikat sekunder (Loughnan 1969). Mineral silikat primer adalah mineral silikat yang terbentuk dari hasil pembekuan magma, contohnya grup mineral piroksin, sedangkan mineral silikat sekunder terbentuk dari hasil pelapukan batuan atau dari hasil ubahan mineral primer, contohnya grup mineral liat (clay) Menurut Loughnan (1969), dalam struktur silikat, oksigen merupakan anion yang paling penting. Ikatan antara kation dan oksigen meningkat sesuai dengan jarak (radius) kation – oksigen, semakin kecil jarak radius kation dan oksigen maka ikatan mineralnya akan semakin kuat. Faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Mineral Silikat Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi kestabilan mineral silikat, baik secara kimia dan fisik terhadap proses degradasi, yaitu : 1. Stabilitas mineral silikat ditentukan oleh kekuatan, panjang dan arah ikatan yang terbentuk antara unsur penyusunnya (Hibbard 2002). Mineral silikat di dominasi oleh ikatan ionik dan kovalen. Ikatan ionik dan kovalen membentuk struktur yang kuat dan titik lebur yang tinggi (Tan 1982). 2. Kestabilan ikatan kation – oksigen dalam mineral silikat ditentukan oleh energi pembentukannya. Semakin besar energinya semakin tinggi kestabilannya. Pembentukan ikatan Si – O, membutuhkan energi yang besar, sekitar 3110 sampai 3142 kg cal/mol (Tabel 1). Ikatan Al – O membutuhkan energi pembentukan sebesar 1793 – 1878 kg cal/mol. Ikatan antara ion logam dan oksigen membutuhkan energi pembentukan sebesar cal/mol (Paton 1978, diacu dalam Tan 1982). 299 – 919 kg Tabel 1 Energi pembentukan ikatan antar kation – oksigen Kation Si (nesosilikat) Si4+ (Inosilikat, rantai tunggal) Si4+ (Inosilikat, rantai ganda) Si4+ (Phyllosilikat) Si4+ (Tektosilikat) Al3+ (Struktur rangka) Al3+ (Tidak memliki struktur rangka) Fe3+ Mg2+ Ca2+ H+ (dalam OH) Na+ K+ 4+ Energi pembentukan (kg cal/mol) 3142 3131 3127 3123 3110 1878 1793 919 912 839 515 322 299 Besarnya energi pembentukan sama dengan besarnya energi peleburan, tetapi untuk mineral kuarsa memiliki pengecualian. Hal ini dikarenakan antara kation dan oksigen memiliki konfigurasi yang stabil, jumlah muatan negatif dan positifnya seimbang, sehingga tidak membutuhkan kation lain untuk menyeimbangkannya. 3. Perbandingan banyaknya ikatan antara unsur silikon (Si) dan oksigen (O) akan mempengaruhi struktur silikat yang terbentuk. Semakin besar perbandingan antara unsur Si dan O, maka mineral silikat akan memiliki struktur yang lebih kuat. Stabilitas struktur tektosilikat (Si : O = 1 : 2) > struktur filosilikat (Si : O = 2 : 5) > struktur inosilikat (Si : O = 1 : 3) > struktur nesosilikat (Si : O = 1 : 4). Adanya kandungan ion hidroksida di dalam struktur silikat juga mempengaruhi stabilitas mineral silikat. Mineral silikat yang mengandung ion hidroksida memiliki stabilitas yang lebih rendah dibanding mineral yang tidak mengandung ion hidroksida. 4. Stabilitas mineral juga ditentukan oleh ukuran dan bentuk kristalnya (Tan 1994). Bentuk kristal yang pipih cenderung lebih stabil dibanding yang prismatik. Mineral yang berukuran besar cenderung lebih stabil dibanding mineral yang kecil. Semakin kecil ukurannya semakin mudah terdegradasi. Ukuran butir kristal yang kecil akan menambah luas permukaan spesifik kristal. Hal ini menyebabkan timbulnya reaksi dengan lingkungan, sehingga intrusi pada permukaan kristal akan meningkat, proses pertukaran kation akan 6 lebih intensif dan kristal akan lebih mudah mengalami pelarutan (Lim et al. 2003). Batuan dengan komposisi mineral yang sama, dengan pengecilan ukuran batuan yang berbeda, akan menghasilkan kecepatan pelarutan yang berbeda (Wang et al. 2000). Ukuran butir yang lebih kecil memiliki kecepatan pelarutan yang lebih tinggi dibanding yang berukuran lebih besar (Shivay et al. 2009). Batuan Batuan yang terdapat di permukaan bumi sangat bervariasi jenis dan keterdapatannya. Batuan beku merupakan penyusun utama kerak bumi, tetapi batuan sedimen merupakan menyusun permukaan bumi yang paling luas penyebarannya secara horisontal. Penyebaran batuan metamorf tidak seluas batuan beku dan sedimen. Hal ini disebabkan karena batuan ini terbentuk jauh di bawah permukaan bumi dan hanya berhubungan dengan proses tektovulkanisme. Batuan terbentuk dalam berbagai kondisi pembentukan. Lingkungan pembentukan batuan dipengaruhi oleh pH, komposisi magma asal (batuan beku), komposisi batuan asal (sedimen dan metamorf), temperatur pembentukan, proses dekomposisi (rekristalisasi, lithifikasi), tekanan, dan waktu. Pembentukan dan keterdapatannya di permukaan bumi memerlukan berbagai proses geologi. Batuan beku memerlukan proses tektovulkanisme, batuan sedimen proses sedimentasi dan tektonik, batuan metamorf proses pembebanan dan tektonik. Tekstur dan komposisi mineral batuan beku pada suatu daerah, dapat sama dan dapat berbeda, tergantung dari temperatur, larutan kimia (fluida), konsentrasi, komposisi host rock dan waktu pembentukannya (Browne 1991, diacu dalam Corbett dan Leach 1996). Batuan beku Batuan beku (igneous rocks) adalah batuan yang terbentuk dari hasil pembekuan magma pada temperatur 600°C - 1500°C. Menurut Travis (1955), berdasarkan sifat kimia dan komposisi mineralnya, batuan beku dibagi atas : 1. Batuan beku ultra basa; dengan kandungan mineral: olivin dan Ca-plagioklas. Memberikan warna yang gelap. Contoh batuannya: peridotit 7 2. Batuan beku basa; dengan kandungan mineral: Ca-Plagioklas, piroksin. Memberikan warna yang gelap. Contoh batuannya: gabro dan basal 3. Batuan beku intermediat; dengan kandungan mineral: biotit, Ca - Na plagioklas, hornblende/amphibol. Contoh batuannya diorit dan andesit 4. Batuan beku masam; dengan kandungan mineral: kuarsa, K – feldspar. Memberikan warna yang terang. Contoh batuannya: granit dan riolit. Berdasarkan tempat terbentuknya batuan beku dibagi atas : 1. Batuan beku luar/ekstrusif/eruptif (vulcanic rocks), memiliki tekstur holohialin 2. Batuan beku korok/gang (hypabysal rocks), memiliki tekstur hipokristalin 3. Batuan beku dalam/intrusif (plutonic rocks), memiliki tekstur holokristalin Tingkat pelapukan batuan beku dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan pembentukan dengan iklim (suhu) keterdapatannya. Semakin berbeda lingkungan pembentukannya dengan lingkungan sekarang, akan semakin mudah melapuk. Batuan beku yang bersifat basa lebih mudah melapuk dibandingkan dengan batuan beku yang bersifat masam. Batuan beku yang bertekstur holohialin lebih mudah melapuk dibanding yang bersifat hipokristalin ataupun holokristalin. Batuan Beku Basalt Porfiri Batuan beku basalt porfiri adalah batuan beku yang bersifat basa dan terbentuk pada zona hipabisal (gang/korok). Porfiri menunjukkan tekstur hipokristalin, dimana terdapat kristal sulung (Phenocryst) di dalam massa dasar gelas/kristal. Tekstur ini menunjukkan adanya dua tahap pembekuan magma, yaitu tahap pembentukan fenokris dan tahap pembentukan massa dasar (Rogers dan Adams 1966). Komposisi kimia batuan beku basalt porfiri terdiri dari: SiO 2 < 45%, mineral utama Ca-Plagioklas > Na-Plagioklas, mineral kuarsa dan felsdpatoid < 10% atau bahkan tidak ada, dengan mineral tambahan yang khas Piroksin dan Olivin, juga terdapat tambahan mineral dalam jumlah yang kecil, yaitu; Hornblende, Biotit, Aegerin dan Amphibol (Travis 1955). Komposisi mineral Plagioklas terdiri dari Anorthit, Bytownit dan Labradorit, dengan presentasi mineral Labradorit lebih besar dari Anorthit dan Bytownit (Raymond 1995 ). 8 Berdasarkan komposisi kimianya batuan basaltik dibagi menjadi tiga grup (Kushiro dan Kuno 1963), yaitu; grup pertama mengandung silika (SiO 2 ) yang tinggi tanpa memiliki kandungan senyawa Mg 2 SiO 4 dan Fe 2 SiO 4 . Grup ini terbentuk pada kedalaman yang dangkal dari mantel bumi. Grup kedua, tidak mengandung kadar silika yang berlebih dan tidak mengalami kekurangan kadar silika serta mengandung senyawa; Mg 2 SiO 3 , FeSiO 3 , Mg 2 SiO 4 , dan Fe 2 SiO 4 . Grup ini terbentuk pada kedalaman yang intermediat dari mantel bumi. Grup ketiga, mengalami kekurangan kadar silika dan tidak mengandung senyawa MgSiO 3 and FeSiO 3 . Grup ini terbentuk pada kedalaman yang besar/jauh dari mantel bumi. Batuan beku basalt porfiri yang terdapat di Kecamatan Camba Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan warna hitam hingga hitam kehijauan, bertektstur porfiritik dengan kandungan mineral Piroksin sebagai fenokris yang berukuran ≥ 1 cm (Sukamto 1982). Batuan Beku Diorit Porfiri Batuan beku diorit porfiri, merupakan batuan beku yang bersifat intermediat, terbentuk pada zona hipabisal (gang/korok) dan bertekstur porfiritik. Batuan ini memiliki kandungan silika (SiO 2 ) 45 – 66% dengan kandungan mineral utama; Na-Plagioklas > Ca-Plagioklas, mineral kuarsa dan feldspatoid < 10%, dengan mineral tambahan utama; Hornblende, Biotit dan Piroksin (Travis 1955). Kandungan mineral Plagioklasnya didominasi oleh Andesin dan Oligoklas (Raymond 1995). Batuan beku diorit porfiri yang terdapat di Kecamatan Camba Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan warna kelabu muda hingga kelabu, bertektstur porfiritik dengan kandungan mineral Amphibol sebagai fenokris (Sukamto 1982). Batuan Beku Trakit Porfiri Batuan beku trakit porfiri merupakan batuan beku yang bersifat masam, terbentuk pada zona hipabisal (gang/korok) dan bertekstur porfiritik. Batuan ini memiliki kandungan silika (SiO 2 ) > 66%, dengan kandungan mineral utama K- 9 Feldspar > 2/3 seluruh feldspar, Kuarsa dan Feldspatoid < 10%, dengan mineral tambahan utama; Hornblende, Biotit, Piroksin dan muskovit. Mineral tambahan dalam jumlah yang kecil berupa; Amphibol, Aegerin dan Turmalin (Travis 1955). Kandungan mineral Plagioklas didominasi oleh Oligoklas dan Albit (Raymond 1995). Batuan beku trakit porfiri yang terdapat di Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan warna putih keabuan hingga kelabu muda, bertektstur porfiritik dengan kandungan mineral K-Feldspar dan Biotit sebagai fenokris. Ukuran fenokris mineral K-feldspar mencapai panjang hingga 3 cm (Sukamto 1982). Gambut Istilah gambut pertama kali digunakan oleh suku Banjar dari Kalimantan Selatan. Gambut merupakan akumulasi bahan organik yang terbentuk secara alami, mengalami beberapa tahap dekomposisi dan berwarna coklat hingga kehitaman (Stanley 2007). Dalam bahasa Inggris gambut memiliki padanan arti dengan kata peat dan muck (Notohadiprawiro 2006). Peat memiliki arti sebagai penimbunan bahan organik dalam keadaan basah berlebih, bersifat tidak mampat (unconsolidated) dan sedikit atau belum mengalami dekomposisi. Sedangkan muck adalah penimbunan bahan organik yang telah terdekomposisi, sehingga bahan asalnya sudah tidak dikenali, bersifat tidak mampat (unconsolidated), mengandung banyak bahan mineral dan berwarna lebih hitam dibandingkan peat. Proses dekomposisi/humifikasi gambut berhubungan linear dengan bahan pembentuknya. Bahan gambut dari kayu-kayuan mengandung lebih banyak lignin dibanding selulosa dan hemiselulosa, sehingga lebih tahan terhadap dekomposisi. Bahan gambut ini banyak menyusun gambut tropika yang ada di Indonesia (Wershaw et al. 1996). Menurut Barchia (2002), bahan gambut lignin banyak mengandung asam humat dengan senyawa aromatik lebih tinggi dibanding senyawa alifatiknya. Jumlah humus yang dapat terekstraksi dari bahan gambut akan meningkat bila proses dekomposisi bahan gambut terus berlanjut. Demikian juga dengan jumlah gugus karboksilat dan gugus fenolat akan bertambah sejalan dengan makin 10 tingginya proses dekomposisi. Kedua gugus tersebut merupakan gugus yang sangat penting untuk mengikat logam. Berdasarkan tingkat dekomposisinya, bahan gambut diklasifikasikan ke dalam 3 jenis (Soil Survey Staff 1990) , yaitu : 1. Gambut fibrik: gambut jenis ini memiliki kandungan serat setelah peremasan adalah tiga perempat bagian atau lebih dari volume tanah, tidak termasuk fragmen kasar dan lapisan mineral. 2. Gambut hemik: gambut jenis ini memiliki sifat antara gambut fibrik yang kurang terdekomposisi dan gambut saprik yang lebih terdekomposisi. 3. Gambut saprik: gambut jenis ini memiliki kandungan serat setelah peremasan adalah kurang dari seperenam bagian dari volume tanah, tidak termasuk fragmen kasar dan lapisan mineral. Lignit Lignit dikenal dengan nama batubara muda, batubara coklat (brown coal) dan leonardite (Karr 2001). Lignit terbentuk dari proses akumulasi bahan organik dalam jumlah yang berlebih, tergenang, mengalami dekomposisi dan pengompakan (consolidated) (Lawson dan Stewart 1989). Proses perubahan material organik menjadi lignit terjadi melalui dua fase pembentukan. Fase pertama adalah proses akumulasi bahan organik dalam lingkungan yang tergenang. Kemudian oleh aktivitas mikroba, akumulasi bahan organik mengalami proses dekomposisi (humifikasi). Dekomposisi bahan organik ini merupakan proses pembentukan bahan gambut. Pada fase kedua, bahan gambut yang telah terbentuk mengalami proses penimbunan oleh material sedimen (sedimentasi), sehingga bahan gambut mengalami pemanasan hingga mencapai suhu≥200 o C. Proses pematangan bahan gambut menjadi batubara membutuhkan waktu 2 x 106 sampai 250 x 106 tahun (Gambar 1). Dari proses pematangan tersebut batubara diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan (Sembiring 2006), yaitu : 1. Batubara antrasit, merupakan batubara yang tingkat kematangannya paling tinggi dan nilai kalorinya berada > 7100 kal/gram. 2. Batubara bituminous, memiliki nilai kalori 6100 – 7100 kal/gram. 3. Batubara sub bituminous, memiliki nilai kalori 5100 – 6100 kal/gram. 11 4. Batubara lignit, merupakan batubara yang tingkat kematangannya paling rendah dan memiliki nilai kalori < 5100 kal/gram. Gambar 1 Proses coalification (pembatubaraan), merupakan proses perubahan material gambut menjadi lignit dan batubara. (sumber http://waterquality.montana.edu/, Susilawati 2008). Senyawa Humat Humus adalah campuran antara senyawa non humat dan senyawa humat (Tan 2003). Senyawa non humat adalah senyawa yang dikenal dalam biokimia seperti asam amino, karbohidrat, lemak, lilin, resin dan asam organik yang belum terhumuskan. Senyawa humat adalah senyawa berbobot molekul (BM) tinggi (asam organik yang telah terhumuskan), berwarna coklat – hitam yang merupakan hasil reaksi sintesa sekunder. Menurut Tan (1982), senyawa humat mengandung asam humat, asam fulvat, humin, dan asam himatomelanat, yang dapat diekstrak dengan cara berbeda (Tabel 2). Asam humat dan fulvat merupakan senyawa utama dalam bahan organik tanah, karena konsentrasinya di dalam tanah paling tinggi dibandingkan asam – asam organik yang belum terhumuskan. 12 Tabel 2 Fraksi senyawa humat Fraksi Asam Fulvat Asam Humat Himatomelanat Humin Alkali Asam Alkohol Larut Larut Larut Tidak larut Larut Tidak Larut Tidak Larut Tidak larut Tidak Larut Larut Tidak larut Senyawa humat tidak hanya terdapat di dalam tanah, tetapi juga terdapat di dalam batuan, endapan sedimen sungai, laut, dan danau. Berdasarkan hal tersebut senyawa humat diklasifikasikan ke dalam 5 tipe (Tan 2003), yaitu : 1. Senyawa humat yang berasal dari Terrestrial atau tanah, dibedakan berdasarkan asal dari bahan organiknya; kayu daun jarum (softwood), kayu daun lebar (hardwood), rumput dan bambu. 2. Senyawa humat dari aquatic, merupakan senyawa humat yang berasal dari endapan sungai, laut dan danau, yang materialnya dapat berasal dari luar maupun dalam cekungan. Jika bahannya berasal dari luar cekungan, maka komposisi senyawa humatnya mirip dengan terrestrial. 3. Senyawa humat dari gambut atau endapan rawa. 4. Senyawa humat dari endapan geologi, berupa batubara dan serpih (shale) 5. Senyawa humat dari Anthropogenic; senyawa humat yang berasal dari aktivitas pertanian, industri, ternak, unggas dan sisa pembuangan (sampah). Menurut Lobartini et al. (1992), perbedaan tipe tersebut mempengaruhi jumlah gugus fungsional dan total kemasaman yang terbentuk. Menurut Tan (2003), komposisi kimia senyawa humat dari tipe di atas berbeda – beda, dipengaruhi oleh bahan asal dan iklimnya. Perbedaan tingkat dekomposisi bahan organik akan mempengaruhi sifat, fungsi dan kandungan senyawa humat yang terbentuk (Gambar 2). Dekomposisi bahan organik yang rendah berbanding lurus dengan kandungan senyawa humatnya. Dekomposisi bahan organik yang sangat tinggi akan menurunkan kandungan gugus fungsional dari senyawa humat. Asam Humat Gambut dan Asam Humat Lignit 13 Purifikasi garam humat akan menghasilkan senyawa humat dalam bentuk asam humat. Asam humat mempengaruhi tingkat pelepasan hara dari mineral tanah. Asam humat dapat memperbesar konsentrasi pelepasan hara kalium yang terfiksasi oleh mineral illit dan montmorillonit (Tan 1978). Senyawa humat yang tidak difraksionasi lebih efektif dibandingkan dengan senyawa humat yang difraksionasi, utamanya dalam mencegah pemecahan hormon indoleacetic acid (IAA) tanaman (Mato et al. 1971, 1972) dan meningkatkan serapan air (Piccolo et al. 1993). Asam humat dari lignit bersifat lebih hydrophobic, mengalami kondensasi yang tinggi sehingga jumlah gugus rantai dan gugus fungsionalnya lebih sedikit dibandingkan asam humat dari gambut, kandungan hidrogen, oksigen dan nitrogen rendah (Francioso et al. 2003), serta C/N rationya lebih tinggi dibanding asam humat gambut. Hal ini menunjukkan tingkat pembatubaraan yang cukup tinggi (Zavodska dan Lesny 2006). Kandungan alifatik lignit lebih tinggi dibanding gambut (Francioso et al. 2003). Asam humat gambut bersifat lebih hidrophillic, tingkat dekomposisi lebih rendah dibanding lignit, dan masih mengandung bahan organik yang belum terdekomposisi dalam jumlah yang kecil, seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, lilin dan resin. Jumlah gugus karboksil lebih tinggi dibanding gugus hidroksilnya. Gugus karboksil gambut lebih tinggi dibanding gugus karboksil lignit tetapi gugus hidroksilnya lebih kecil dibanding gugus hidroksil yang terdapat di lignit (Lawson dan Stewart 1989; Stefanova et al. 1993). Disosiasi gugus pada asam humat terjadi pada gugus karboksilnya, sehingga asam humat memiliki kemampuan untuk mengabsorpsi logam. Efektivitas penggunaan asam humat lignit dan gambut terbukti meningkatkan serapan hara fosfor (P), besi (Fe) dan nitrogen (N) (Adani et al. 1998). Garam Humat Gambut dan Garam Humat Lignit Garam humat gambut dan garam humat lignit adalah hasil ekstraksi bahan organik dengan senyawa alkali. Garam humat dengan kandungan kation logam monovalent bersifat mudah larut dalam air, tetapi tidak akan larut dalam air jika mengandung kation logam multivalent. Garam humat memiliki kandungan fenolat 14 yang berbeda untuk setiap perbedaan pH larutan (Demirbas et al. 2006). Garam humat, utamanya dalam bentuk natrium humat memiliki daya adsorpsi yang tinggi (Yi dan Zhang 2008). Disosiasi gugus fenolat pada garam humat menyebabkan tingginya daya adsorpsi garam humat (Alimin et al. 2005). Efektivitas penggunaan garam humat lignit dapat meningkatkan serapan hara phosfor (P), kalium (K) dan besi (Fe) (Lee dan Bartlett 1976; Reynolds et al. 1995; Adani et al. 1998). Pemberian senyawa humat dalam bentuk ikatan kation logam–humat, dapat mengurangi defisiensi hara tanah (Ozkutlu et al. 2006) dan mengurangi mobilitas logam berat (Janos et al. 2010). 15