UPAYA MENCETAK PESERTA DIDIK YANG BERKARAKTER Siti Sri Rahayu Abstract Character education has always attracted the attention of many. Gunda some sense of the people of Indonesia to the arrogant behavior of the recently demonstrated through a glass screen or print media, such as mutual blasphemy, will not budge, and other bad behavior invites human concerns of education in Indonesia. School as a young printer intermediary institutions of the nation must take responsibility against the erosion of a sense of empathy, respect, and sense of community that has become characteristic of Indonesian society since ancient times our time. Regarding the note about how the real effort should be made to print the character of students in the midst of the hustle and bustle of politics and genjarnya flow of information through television, internet, and other means. Curriculum as a design in education are well positioned with respect to the true character education efforts have been accommodated in the particular subject. Therefore, the suggestion that dapata do of course expect a teacher to enhance the professionalism of one of them realized in the form of examples and behaviors that can make students comfortable in devoting the problems faced and the teacher can catch any strange behavior of the learners. Kata kunci: peserta didik, pendidikan berkarakter, guru yang profesional 1. Pendahuluan Bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini seolah dibiasakan dengan berbagai kesulitan dalam berbagai dimensi. Di tengah-tengah upaya pemerintah yang bertekad mewujudkan sistem pemerintahan yang akuntabel, konflik antar-elit politik terus terjadi: entah sampai kapan akan berakhir. Selain itu, dalam hal ekonomi, krisis sepertinya terus saja menerpa, baik karena pengaruh global maupun dampak krisis yang telah terjadi berkepanjangan. Naiknya harga minyak mentah dunia beberapa tahun yang lalu, yang pada akhirnya berimplikasi pada naiknya harga BBM, serta merta menyebabkan efek domino yang mengular mengiringi naiknya komoditas penting ini. Jika seluruh warga bangsa Indonesia mau berintrospeksi, bersedia melihat cerca yang pernah diperbuat, bersedia mengakui kesalahan yang pernah dilakukan, tentu komentar yang saling menyalahkan yang sedang menjadi “trend” manakala musibah mendera, tentu tidak akan terjadi. Dapat dibayangkan seandainya setiap manusia mengetahui bagaimana semestinya mereka bersikap untuk menjaga keselarasan hidup, baik ketika berada di rumah sebagai anggota masyarakat, ketika di kantor sebagai pegawai yang bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan, ketika di jalan sebagai komunitas jalan raya, maupun ketika berinteraksi dalam sebuah komunitas keluarga. Rasanya denyut kehidupan bermasyarakat akan berlangsung dengan penuh keharmonisan, saling tenggang rasa dan saling menghargai (Prakoso, 2009). Yang kemudian menjadi pertanyaan pertama adalah mengapa orang gampang saling menyalahkan, mengapa orang selalu ingin menang sendiri, mengapa orang menjadi mudah tersinggung, dan mengapa pula sebuah komunitas tertentu memilih menyelesaikan masalah dengan aksi bakar atau tawur massal? Apakah bangsa Indonesia masih memiliki jati diri sebagai bangsa yang berbudaya sebagaimana cita-cita para pendiri Republik ini? Inilah pertanyaan yang sederhana, pertanyaan yang pendek, tetapi untuk menjawabnya tidak mungkin sesederhana dan sependek pertanyaannya. Pertanyaan pertama tersebut kemudian lebih eksplisit lagi mengarah pada pertanyaan besar: adakah sistem yang salah dalam pendidikan, khususnya pendidikan karakter, di Indonesia? Untuk mendeskripsikan jawaban atas pertanyyan ini, melalui makalah ini penulis akan menyampaikan beberapa hal berkenaan dengan judul makalah ini mulai dari (a) Definisi Pendidikan Karakter; (b) Upaya Mencetak Peserta Didik yang Berkarakter; (c) Tantangan yang Nyata; dan (d) Catatan Penutup. 2. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam menyukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya. Bahkan, dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010 yang lalu tema yang diangkat adalah “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Pemilihan tema ini jelas menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap pendidikan karakter sangatlah besar. Tema tersebut merupakan manifestasi kearifan yang muncul atas dasar keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul manakala seseorang mampu menjalin komunikasi secara sinergi antara ilmun pengetahuan dan akar budaya yang dianut suatu komunitas masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks ini, pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat karena pendidikan karakter bukanlah sekadar wacana tetapi haruslah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang mampu membangun harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dan tetap bermartabat (http://www.dikti.go.id/). Dalam acara Rembuk Nasioanal yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tanggal 1 Juni 2010, Wakil Menteri Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa pendidikan karakter sangat erat dan dilatarbelakangi oleh keinginan unmewujudkankonsensunasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab” (http://www.dikti.go.id/). Paparan tersebut, sekali lagi, menjelaskan bahwa perhatian pemerintah terhadap upaya untuk mencetak peserta didik yang berkarakter sangat maksimal. Yang menjadi persoalan dan harus dijawab adalah bagaimana sebenarnya tataran praksis yang merupakan penjabaran apa yang telah digariskan sebagaimana termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003 tersebut. 3. Upaya Mencetak Peserta Didik yang Berkarakter a. Kurikulum Sebagai Pijakan Upaya membangun peserta didik yang berkarakter setidaknya melingkupi banyak hal, tetapi yang utama untuk dikaji bersama diawali dari bagaimana kerangka dasar kurikulum yang digunakan di tingkat persekolahan. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Isi, khususnya Bab II Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum dijelaskan bahwa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk semua jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran: 1) agama dan akhlak mulia; 2) kewarganegaraan dan kepribadian; 3) ilmu pengetahuan dan teknologi; 4) estetika; 5) jasmani, olahraga dan kesehatan. Berdasarkan paparan sebagaimana tersebut dalam tabel, upaya membangun peserta didik yang berkarakter sebenarnya telah diwadahi dalam cakupan kelompok mata pelaran mulai jenjang SD/MI sampai jenjang SMA/MA/SMK/SMKK. Artinya, sekolah sebagai institusi yangberfungsi membelajarkan peserta didik telah didesain dengan pondasi kurikulum yang telah mengakomodasi apa dan bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat. Dalam hal akhlak mulia, misalnya, kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia, telah menggariskan bahwa peserta didik dibekali dengan ilmu yang seharusnya mampu menghasilkan insan yang berakhlak mulia (Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia). Dalam hal kesantunan dan hubungan antarmanusia yang hasrmonis, misalnya, kelompok mata pelajaran estetika, telah menggariskan bahwa peserta didik dibekali dengan hal yang berkenaan dengan rasa untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan ini sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tengah-tengah sulitnya ekonomi dan pemerataan kesejahteraan sehingga tidak mudah saling menyalahkan, menghujat, atau merasa dirinya paling benar (Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan ini mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup maupun kehidupan kemasyarakatan sehingga menciptakan kebersamaan yang harmonis). Jika kurikulum sebenarnya telah menggariskan sebuah pedoman yang nyata-nyata telah mengakomodasi bagaimana seharusnya sikap dan perilaku perserta didik sehingga mampu menghasilkan karakter yang tangguh, pertanyaan pun kemudian mengarah pada: apakah ada yang salah dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah (baca: di kelas). b. Saran Pembelajaran yang Relevan Dalam upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kemendiknas telah mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: olahhati (Spiritual and emotional development), olahpikir (intellectual development), olahraga dan kinestetik (Physical and kinestetic development), serta olahrasa dan karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan apakah ada yang salah dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sebagaimana tersebut dalam paragraf sebelumnya, penulis perlu menyampaikan bahwa perlu ada penyegaran kembali bagi para guru, khususnya dalam mengelola pembelajaran di dalam kelas. Dalam salah satu blog yang ditulis Satria Dharma (Klub Guru Indonesiahttp://satriadharma.com), dipaparkan sebuah ulasan tentang masih perlunya upaya peningkatan mutu kualitas guru. Menurut Dharma, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar guru, bahkan pada sekolah-sekolah yang dianggap unggulan, bahkan belum paham benar dengan prinsip ‘student-centered’ dan kegiatan belajar mengajar masih berpusat pada gurunya. CBSA yang sebelum ini telah dikenalkan masih berupa wacana dan belum menjadi kegiatan sehari-hari di kelas. Mereka hanya mengambil kulit-kulitnya dan tidak paham esensinya. Saat ini sekolahsekolah berlomba-lomba menerapkan moving class tanpa tahu apa sebenarnya inti dari moving class tersebut sehingga yang terjadi samasekali berbeda dengan apa yang hendak dicapai oleh sistem moving class tersebut. Efek dari kekurangtanggapan ini, sebagian guru masih ada yang menganggap bahwa mengajar adalah rutinitas semata. Semua murid di dalam kelas bahkan tidak sempat ia tatap untuk sekadar melihat kesiapan mereka dalam menerima atau mengikuti pelajaran. Padahal, guru hendaknya tidak melihat bidang studinya yang berupa ‘teks’ dan, melainkan juga ’konteks’ sebagaimana juga yang disebut sebagai Contextual Teaching and Learning (CTL) (Satria Dharma, 2008). Ketika menjelaskan materi, misalnya, nada yang disampaikan juga tanpa intonasi, datar, dan hanya mampu ditangkap dengan jelas oleh beberapa siswa yang duduk di depan kelas. Akibatnya, suasana kelas tidak dapat dikendalikan oleh si guru. Padahal, berbagai seminar, diskusi, dan forum ilmiah pendidikan, upaya untuk meningkatkan profesionalitas guru selalu didengungkan. berbagai kebijakan peningkatan kualifikasi guru pun digulirkan dengan dana yang tidak sedikit. Namun, upaya ini belum sepenuhnya berhasil karena masih dipeliharanya paradigma lama tentang pembelajaran yang selama ini mereka miliki. Tentu tidak adil jika penulis menjastifikasi hal ini pada semua guru karena guru yang bermutu juga banyak, tetapi proporsi antara yang telah benar-benar menunjukkan profesionalitasnya dengan yang belum masih tidak sebanding dan ini adalah persoalan yang harus diselesaikan bersama, termasuk melaui Temu Ilmiah Nasional Guru II ini. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, terdapat satu bentuk pembelajaran yang mungkin dapat dijadikan alternatif dan sebenarnya ini juga sudah diketahui oleh para guru, yakni pembelajaran bermakna. Pembelajaran bermakna (meaningfull learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Pembelajaran bermakna sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponenkomponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsepkonsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki peserta didik dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan (http://pembelajaran-guru.wordpress.com). Sebenarnya berbagai alternatif pembelajaran banyak tersedia jika para guru sudah terbiasa dengan internet. Jika para guru melakukan browsing melalui mesin pencari data google, dalam hitungan detik akan segera terpampang web atau blog khusus tentang pembelajaran atau peningkatan profesionalitas guru, misalnya sebagaimana tersebut dalam bagian berikut. c. Menjadi Guru yang Penuh Perhatian Dalam upaya mencetak peserta didik yang berkarakter, penulis merasa penting untuk menjelaskan bahwa guru adalah simpul utama yang diharapkan menjadi teladan bagi para peserta didiknya, baik dalam perilaku, tutur kata, empati, maupun sopan-santun. Artinya, untuk dapat membelajarkan peserta didik menjadi lebih mengenal tata krama, misalnya, ia haruslah menjadi contoh. Ketika mengajar di kelas, bersikaplah sebagai seorang bapak yang senantiasa mendengar “suara” anaknya, memberikan kesejukan, dan juga memberikan perhatian bagi yang memang perlu lebih diperhatikan. Namun, tentu saja hal ini tidaklah mudah karena guru juga manusia yang tentu saja memiliki problematika hidup dan sikap dasar yang berbeda antara satu dengan lainnya. Atas dasar itu, untuk dapat menjadi guru yang penuh perhatian, setidaknya terdapat lima kemampuan yang harus selalu dipelihara oleh guru sekaligus dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangkitkan rasa peduli, dan penulis yakin bahwa semua guru pasti mengetahui kemampuan berikut (http://kafeguru.blogspot.com/2008/04/). 1)Kemampuan memahami fakta (Ability to fact). Jika kemampuan ini telah ada pada diri seorang guru, maka pengalaman empirisnya yang akan mengendalikan apakah sesuatu itu yang diterima inderanya memiliki nilai-nilai manfaat. Contoh, ketika harus menjelaskan patahan lempengan bumi yang menyebabkan tsunami, dan ini wajar terjadi di negara Indonesia. Walaupun demikian, guru dapat mampu menyelipkan pesan bahwa bagi umat manusia gempa ini tentu membuat kesedihan bagi sebagian besar keluarga yang ditinggalkan sekaligus mengajak siswa belajar merasakan apa yang dirasakan oleh keluarga korban. Dengan mengajak peserta didik untuk mencoba merasakan apa yang dirasakan orang lain, tentu diharapkan dapat mengasah kepekaan hati mereka. 2) Kemampuan memahami dasar-dasar pengetahuan (Ability to basic knowledge ). Guru hampir semuanya telah memiliki kemampuan ini, tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak. Semua guru telah memilikinya, telah menyadarinya, dan merupakan bagian dari profesinya. Contoh untuk menjelaskan materi yang berkenaan dengan bahasa Indonesia, misalnya, guru dapat mengawalinya dengan menceritakan beberapa bagian amanat cerpen atau novel yang langsung berkaitan dengan hubungan antarsesama manusia. Tentu saja, bekal yang akan diceritakan juga merupakan hasil proses pembacaan sendiri dan bukan resensi. Dengan penjelasan materi semacam ini, selain siswa menjadi mengerti kehidupan yang lain mereka juga memahami materi dan merasa bahwa gurunya adalah teladan yang memberikan contoh yang baik. 3) Kemampuan mengevaluasi (Ablity to evaluation). Kemampuan ini adalah bagian yang melekat pada profesi guru. Setiap berpikir, bertindak, dan berperilaku selalu mengedepankan kemampuan ini. Tentunya ketika menjalankan profesinya, seorang guru selalu memberikan pertimbangan akan manfaat, dan keruginya. Menimbang kemungkinan risiko yang dihadapinya. Hadirnya model pembelajaran baru, hampir dipastikan merupakan “rekayasa nilai-nilai” atas model pembelajaran yang lama. Contoh, ketika guru di kelas sedang menyampaikan materi dan kemudian terdapat beberapa siswa belum mampu menyerap materi dengan baik, maka yang dilakukan adalah sesegera mungkin mencari contoh konkret yang mudah ditangkap sehingga kelas tidak tegang. Demikian juga ketika guru ingin memberikan pertanyaan, hendaknya tidak asal tunjuk sehingga peserta didik tidak gelisah. Jika sikap guru sudah menggelisahkan, maka ia tentu tidak akan dapat menjadi “teman” untuk bercerita atau berbagi rasa. 4) Kemampuan analisis (Ability to analysis). Kemampuan telah lama dimiliki dan digunakan oleh guru. Guru setiap menjalankan profesinya, selalu melakukan tahapan ini. Namun, untuk mengaplikasikan kemampuan analisis yang tidak hanya terbatas pada mata pelajaran adalah hal yang perlu lebih digiatkan.Contoh, ketika mengajarkan materi Pancasila dan Kewarganegaraan, guru dapat mengambil contoh untuk menganalisis penyebab ketidakdisplinannya para pengguna jalan raya yang dapat membahayakan orang lain, atau menganalisis penyebab terjadian tawuran, sikap saling menghujat, dan sikap negatif lainnya. Analisis ini juga harus diikuti oleh perilaku guru yang tidak boleh berbicara kasar kepada peserta didik meskipun ia kesal. 5) Kemampuan menanggapi (Ability to response). Kemampuan ini merupakan muara dari kemampuan yang telah ada sebelumnya. Dalam kemampuan menanggapi, guru harus mampu memberikan saran, pendapat, dan pikiran kepada peserta didik baik dalam mata pelajaran maupun problematika yang dihadapi mereka. Tentu saja tidak semua problematika dapat diselesaikan, tetapi dengan menunjukkan empati, menjadi pendengar yang baik, menjadi teman diskusi, dan menjadi teladan, guru akan menjadi sumber inspiratif bagi para peserta didiknya. 4. Tantangan yang Nyata Dalam hal mewujudkan upaya mencetak peserta didik yang berkarakter tentu saja harus menjadi tekad bersama untuk mewujudkannya. Berbagai rintisan pendirian sekolah berasrama atau berstandar internasional yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah daerah dan juga swasta diharapkan dapat memberikan harapan terwujudnya cita-cita ini. Namun, tantangan yang harus dihadapi tentunya sangat besar. Tantangan tersebut adalah sebagai berikut. a. Perkembangan teknologi informasi sangatlah cepat, setiap menit peristiwa kriminalitas, seperti kekerasan, seks bebas, tawuran, demonstrasi, dan main hakim sendiri dengan mudah disaksikan oleh jutaan pemirsa di seluruh tanah air. Meskipun tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru, tetapi hendaknya para guru menyelaraskan berita dengan mengemasnya menjadi hal yang positif dan menyampaikannnya kepada peserta di sela-sela pembelajarannya. Namun, penyelarasan ini bukan hal yang mudah karena tidak semua guru peduli dan memiliki pembagian waktu yang baik ketika mengajar di kelas. Bahkan, untuk guru bidang studi materi yang langsung berkaitan dengan akhlak, budi pekerti, dan karakter peserta didik sebagaimana yang penulis sampaikan di awal pembahasan. b. Kesiapan infrastruktur bagi para guru dalam hal kemudahan akses internet, misalnya, belum sepenuhnya terpenuhi. Kalaupun sudah ada layanan internet, masih ada pula yang lebih emanfaatkannya untuk mengakses dunia hiburan atau pornografi. c. Segala bentuk perubahan paradigma para guru dalam memandang sesuatu yang baru alam hal teknologi atau aktivitas pembelajaran belum tentu diterima dengan cepat oleh para guru. Dengan kata lain, masih ada guru yang sudah setia pada ‘mainstream’ lama dan tidak mudah menerima perubahan yang sebenarnya ke arah yang lebih baik. 5. Kesimpulan Dalam akhir makalah ini, penulis ingin memberikan beberapa catatan penutup yang diharapkan mampu memberikan satu benang merah terhadap upaya membangun peserta didik yang berkarakter, yakni sebagai berikut. Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini yakni dari jenjang pendidikan SD. Pada jenjang SD ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Implementasi pendidikan karakter di sekolah salah satunya dapat dilakukan melalui pengintegrasian dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, yakni ketika materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter bukanlah sekadar wacana tetapi haruslah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang berkesinambungan, yang didesain dengan baik, dan yang didukung oleh seluruh masyarakat sehingga diharapkan mampu membangun harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dan tetap bermartabat. Untuk mewujudkan pendidikan karakter, guru adalah salah satu kunci utama yang perlu dipahami betul tentang peran dan fungsi vitalnya karena apa pun bentuk kurikulumnya, kunci utama terletak pada kualitas guru. Perlunya dilakukan revitalisasi dan penambahan dalam hal materi beberapa mata pelajaran yang berkaitan langsung dengan kelompok mata pelajaran yang berkaitan dengan akhlak, budi perkerti, dan karakter peserta didik. Upaya pembelajaran yang mampu memberikan pendidikan berkarakter memerlukan penanganan secara terpadu, komprehensif, dan menyeluruh dengan melibatkan orang tua, siswa, guru, praktisi, pakar, dan pemerintah. Daftar Pustaka Dharma, Satria. 2008. “Apapun Kurikulumnya, Mutu Guru Kuncinya”. Dimuat dalam http://satriadharma.com/index.php/2009/02/05/apapun-kurikulumnya-mutu-gurukuncinya/. Diunduh 2 Oktober 2010. Geertz, Clifford. 2000. Tafsir Kebudayaan (terjemahan Fransisco Budi Hardiman). Jogjakarta: PT Kanisius. Lembaran Negara Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. _______________________________. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Sudrajat, Ahmad. 2010. “Tentang Pendidikan Karakter”, dimuat dalam: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/10/03/silabus-dan-rpp-bernuansa-karakter/. Prakoso, Teguh. 2008. “Menanti Negarawan Sejati” dimuat dalam Jurnal Negarawan Edisi 10 November 2008. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Waspodo, Muktiono. 2010. “Resonansi: Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa”, dimuat dalam: http://www.jugaguru.com/column/42/tahun/2010/bulan/05/tanggal/07/id/1085/.