UPAYA MENCETAK PESERTA DIDIK YANG

advertisement
UPAYA MENCETAK PESERTA DIDIK YANG BERKARAKTER
Siti Sri Rahayu
Abstract
Character education has always attracted the attention of many. Gunda some
sense of the people of Indonesia to the arrogant behavior of the recently
demonstrated through a glass screen or print media, such as mutual blasphemy,
will not budge, and other bad behavior invites human concerns of education in
Indonesia. School as a young printer intermediary institutions of the nation must
take responsibility against the erosion of a sense of empathy, respect, and sense
of community that has become characteristic of Indonesian society since ancient
times our time. Regarding the note about how the real effort should be made to
print the character of students in the midst of the hustle and bustle of politics and
genjarnya flow of information through television, internet, and other means.
Curriculum as a design in education are well positioned with respect to the true
character education efforts have been accommodated in the particular subject.
Therefore, the suggestion that dapata do of course expect a teacher to enhance
the professionalism of one of them realized in the form of examples and
behaviors that can make students comfortable in devoting the problems faced
and the teacher can catch any strange behavior of the learners.
Kata kunci: peserta didik, pendidikan berkarakter, guru yang profesional
1.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini seolah dibiasakan dengan berbagai
kesulitan dalam berbagai dimensi. Di tengah-tengah upaya pemerintah yang bertekad
mewujudkan sistem pemerintahan yang akuntabel, konflik antar-elit politik terus terjadi: entah
sampai kapan akan berakhir.
Selain itu, dalam hal ekonomi, krisis sepertinya terus saja menerpa, baik karena pengaruh
global maupun dampak krisis yang telah terjadi berkepanjangan. Naiknya harga minyak mentah
dunia beberapa tahun yang lalu, yang pada akhirnya berimplikasi pada naiknya harga BBM, serta
merta menyebabkan efek domino yang mengular mengiringi naiknya komoditas penting ini.
Jika seluruh warga bangsa Indonesia mau berintrospeksi, bersedia melihat cerca yang
pernah diperbuat, bersedia mengakui kesalahan yang pernah dilakukan, tentu komentar yang
saling menyalahkan yang sedang menjadi “trend” manakala musibah mendera, tentu tidak akan
terjadi. Dapat dibayangkan seandainya setiap manusia mengetahui bagaimana semestinya
mereka bersikap untuk menjaga keselarasan hidup, baik ketika berada di rumah sebagai anggota
masyarakat, ketika di kantor sebagai pegawai yang bertanggung jawab terhadap tugas yang
diberikan, ketika di jalan sebagai komunitas jalan raya, maupun ketika berinteraksi dalam sebuah
komunitas keluarga. Rasanya denyut kehidupan bermasyarakat akan berlangsung dengan penuh
keharmonisan, saling tenggang rasa dan saling menghargai (Prakoso, 2009).
Yang kemudian menjadi pertanyaan pertama adalah mengapa orang gampang saling
menyalahkan, mengapa orang selalu ingin menang sendiri, mengapa orang menjadi mudah
tersinggung, dan mengapa pula sebuah komunitas tertentu memilih menyelesaikan masalah
dengan aksi bakar atau tawur massal? Apakah bangsa Indonesia masih memiliki jati diri sebagai
bangsa yang berbudaya sebagaimana cita-cita para pendiri Republik ini? Inilah pertanyaan yang
sederhana, pertanyaan yang pendek, tetapi untuk menjawabnya tidak mungkin sesederhana dan
sependek pertanyaannya. Pertanyaan pertama tersebut kemudian lebih eksplisit lagi mengarah
pada pertanyaan besar: adakah sistem yang salah dalam pendidikan, khususnya pendidikan
karakter, di Indonesia? Untuk mendeskripsikan jawaban atas pertanyyan ini, melalui makalah ini
penulis akan menyampaikan beberapa hal berkenaan dengan judul makalah ini mulai dari (a)
Definisi Pendidikan Karakter; (b) Upaya Mencetak Peserta Didik yang Berkarakter; (c)
Tantangan yang Nyata; dan (d) Catatan Penutup.
2.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran
dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian
dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu
menjadi pondasi utama dalam menyukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di
seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya. Bahkan, dalam peringatan Hari Pendidikan
Nasional 2010 yang lalu tema yang diangkat adalah “Pendidikan Karakter untuk Membangun
Keberadaban Bangsa”. Pemilihan tema ini jelas menunjukkan bahwa perhatian pemerintah
terhadap pendidikan karakter sangatlah besar.
Tema tersebut merupakan manifestasi kearifan yang muncul atas dasar keaneragaman
nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul manakala seseorang
mampu menjalin komunikasi secara sinergi antara ilmun pengetahuan dan akar budaya yang
dianut suatu komunitas masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks ini, pendidikan harus
diletakan pada posisi yang tepat karena pendidikan karakter bukanlah sekadar wacana tetapi
haruslah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang mampu membangun harkat dan
martabat
bangsa
Indonesia
sebagai
bangsa
yang
tangguh
dan
tetap
bermartabat
(http://www.dikti.go.id/).
Dalam acara Rembuk Nasioanal yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) tanggal 1 Juni 2010, Wakil Menteri Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa
pendidikan
karakter
sangat
erat
dan
dilatarbelakangi
oleh
keinginan
unmewujudkankonsensunasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945.
Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui Undang-Undang (UU) Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokrasi serta bertanggung jawab” (http://www.dikti.go.id/). Paparan tersebut, sekali lagi,
menjelaskan bahwa perhatian pemerintah terhadap upaya untuk mencetak peserta didik yang
berkarakter sangat maksimal. Yang menjadi persoalan dan harus dijawab adalah bagaimana
sebenarnya tataran praksis yang merupakan penjabaran apa yang telah digariskan sebagaimana
termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003 tersebut.
3.
Upaya Mencetak Peserta Didik yang Berkarakter
a. Kurikulum Sebagai Pijakan
Upaya membangun peserta didik yang berkarakter setidaknya melingkupi banyak hal,
tetapi yang utama untuk dikaji bersama diawali dari bagaimana kerangka dasar kurikulum yang
digunakan di tingkat persekolahan. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Isi, khususnya Bab II Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum dijelaskan bahwa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa
kurikulum untuk semua jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran:
1) agama dan akhlak mulia;
2) kewarganegaraan dan kepribadian;
3) ilmu pengetahuan dan teknologi;
4) estetika;
5) jasmani, olahraga dan kesehatan.
Berdasarkan paparan sebagaimana tersebut dalam tabel, upaya membangun peserta didik
yang berkarakter sebenarnya telah diwadahi dalam cakupan kelompok mata pelaran mulai
jenjang SD/MI sampai jenjang SMA/MA/SMK/SMKK. Artinya, sekolah sebagai institusi
yangberfungsi membelajarkan peserta didik telah didesain dengan pondasi kurikulum yang telah
mengakomodasi apa dan bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat. Dalam hal akhlak mulia,
misalnya, kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia, telah menggariskan bahwa
peserta didik dibekali dengan ilmu yang seharusnya mampu menghasilkan insan yang berakhlak
mulia (Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia).
Dalam hal kesantunan dan hubungan antarmanusia yang hasrmonis, misalnya, kelompok
mata pelajaran estetika, telah menggariskan bahwa peserta didik dibekali dengan hal yang
berkenaan dengan rasa untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan
kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan ini sangat berguna dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tengah-tengah sulitnya ekonomi dan pemerataan
kesejahteraan sehingga tidak mudah saling menyalahkan, menghujat, atau merasa dirinya paling
benar (Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas,
kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni.
Kemampuan ini mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga
mampu menikmati dan mensyukuri hidup maupun kehidupan kemasyarakatan sehingga
menciptakan kebersamaan yang harmonis).
Jika kurikulum sebenarnya telah menggariskan sebuah pedoman yang nyata-nyata telah
mengakomodasi bagaimana seharusnya sikap dan perilaku perserta didik sehingga mampu
menghasilkan karakter yang tangguh, pertanyaan pun kemudian mengarah pada: apakah ada
yang salah dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah (baca: di kelas).
b. Saran Pembelajaran yang Relevan
Dalam upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kemendiknas telah mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,
jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural
tersebut dikelompokan dalam: olahhati (Spiritual and emotional development), olahpikir
(intellectual development), olahraga dan kinestetik (Physical and kinestetic development), serta
olahrasa dan karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi
pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Oleh karena
itu, untuk menjawab pertanyaan apakah ada yang salah dengan proses pembelajaran yang
dilaksanakan di sekolah sebagaimana tersebut dalam paragraf sebelumnya, penulis perlu
menyampaikan bahwa perlu ada penyegaran kembali bagi para guru, khususnya dalam
mengelola pembelajaran di dalam kelas.
Dalam
salah
satu
blog
yang
ditulis
Satria
Dharma
(Klub
Guru
Indonesiahttp://satriadharma.com), dipaparkan sebuah ulasan tentang masih perlunya upaya
peningkatan mutu kualitas guru. Menurut Dharma, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar
guru, bahkan pada sekolah-sekolah yang dianggap unggulan, bahkan belum paham benar dengan
prinsip ‘student-centered’ dan kegiatan belajar mengajar masih berpusat pada gurunya. CBSA
yang sebelum ini telah dikenalkan masih berupa wacana dan belum menjadi kegiatan sehari-hari
di kelas. Mereka hanya mengambil kulit-kulitnya dan tidak paham esensinya. Saat ini sekolahsekolah berlomba-lomba menerapkan moving class tanpa tahu apa sebenarnya inti dari moving
class tersebut sehingga yang terjadi samasekali berbeda dengan apa yang hendak dicapai oleh
sistem moving class tersebut.
Efek dari kekurangtanggapan ini, sebagian guru masih ada yang menganggap bahwa
mengajar adalah rutinitas semata. Semua murid di dalam kelas bahkan tidak sempat ia tatap
untuk sekadar melihat kesiapan mereka dalam menerima atau mengikuti pelajaran. Padahal, guru
hendaknya tidak melihat bidang studinya yang berupa ‘teks’ dan, melainkan juga ’konteks’
sebagaimana juga yang disebut sebagai Contextual Teaching and Learning (CTL) (Satria
Dharma, 2008). Ketika menjelaskan materi, misalnya, nada yang disampaikan juga tanpa
intonasi, datar, dan hanya mampu ditangkap dengan jelas oleh beberapa siswa yang duduk di
depan kelas. Akibatnya, suasana kelas tidak dapat dikendalikan oleh si guru.
Padahal, berbagai seminar, diskusi, dan forum ilmiah pendidikan, upaya untuk
meningkatkan profesionalitas guru selalu didengungkan. berbagai kebijakan peningkatan
kualifikasi guru pun digulirkan dengan dana yang tidak sedikit.
Namun, upaya ini belum sepenuhnya berhasil karena masih dipeliharanya paradigma
lama tentang pembelajaran yang selama ini mereka miliki. Tentu tidak adil jika penulis
menjastifikasi hal ini pada semua guru karena guru yang bermutu juga banyak, tetapi proporsi
antara yang telah benar-benar menunjukkan profesionalitasnya dengan yang belum masih tidak
sebanding dan ini adalah persoalan yang harus diselesaikan bersama, termasuk melaui Temu
Ilmiah Nasional Guru II ini.
Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, terdapat satu bentuk pembelajaran yang
mungkin dapat dijadikan alternatif dan sebenarnya ini juga sudah diketahui oleh para guru, yakni
pembelajaran bermakna. Pembelajaran bermakna (meaningfull learning) merupakan suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Pembelajaran bermakna sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya
hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponenkomponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar tidak sekadar menghafal
konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsepkonsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan
dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar
bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah
dimiliki peserta didik dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut
dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan (http://pembelajaran-guru.wordpress.com).
Sebenarnya berbagai alternatif pembelajaran banyak tersedia jika para guru sudah
terbiasa dengan internet. Jika para guru melakukan browsing melalui mesin pencari data google,
dalam hitungan detik akan segera terpampang web atau blog khusus tentang pembelajaran atau
peningkatan profesionalitas guru, misalnya sebagaimana tersebut dalam bagian berikut.
c. Menjadi Guru yang Penuh Perhatian
Dalam upaya mencetak peserta didik yang berkarakter, penulis merasa penting untuk
menjelaskan bahwa guru adalah simpul utama yang diharapkan menjadi teladan bagi para peserta
didiknya, baik dalam perilaku, tutur kata, empati, maupun sopan-santun. Artinya, untuk dapat
membelajarkan peserta didik menjadi lebih mengenal tata krama, misalnya, ia haruslah menjadi
contoh. Ketika mengajar di kelas, bersikaplah sebagai seorang bapak yang senantiasa mendengar
“suara” anaknya, memberikan kesejukan, dan juga memberikan perhatian bagi yang memang
perlu lebih diperhatikan.
Namun, tentu saja hal ini tidaklah mudah karena guru juga manusia yang tentu saja
memiliki problematika hidup dan sikap dasar yang berbeda antara satu dengan lainnya. Atas
dasar itu, untuk dapat menjadi guru yang penuh perhatian, setidaknya terdapat lima kemampuan
yang harus selalu dipelihara oleh guru sekaligus dapat dijadikan sebagai sarana untuk
membangkitkan rasa peduli, dan penulis yakin bahwa semua guru pasti mengetahui kemampuan
berikut (http://kafeguru.blogspot.com/2008/04/).
1)Kemampuan memahami fakta (Ability to fact). Jika kemampuan ini telah ada pada diri
seorang guru, maka pengalaman empirisnya yang akan mengendalikan apakah sesuatu itu yang
diterima inderanya memiliki nilai-nilai manfaat. Contoh, ketika harus menjelaskan patahan
lempengan bumi yang menyebabkan tsunami, dan ini wajar terjadi di negara Indonesia.
Walaupun demikian, guru dapat mampu menyelipkan pesan bahwa bagi umat manusia gempa ini
tentu membuat kesedihan bagi sebagian besar keluarga yang ditinggalkan sekaligus mengajak
siswa belajar merasakan apa yang dirasakan oleh keluarga korban. Dengan mengajak peserta
didik untuk mencoba merasakan apa yang dirasakan orang lain, tentu diharapkan dapat
mengasah kepekaan hati mereka.
2) Kemampuan memahami dasar-dasar pengetahuan (Ability to basic knowledge ).
Guru hampir semuanya telah memiliki kemampuan ini, tidak ada seorang pun yang
mengatakan tidak. Semua guru telah memilikinya, telah menyadarinya, dan merupakan bagian
dari profesinya. Contoh untuk menjelaskan materi yang berkenaan dengan bahasa Indonesia,
misalnya, guru dapat mengawalinya dengan menceritakan beberapa bagian amanat cerpen atau
novel yang langsung berkaitan dengan hubungan antarsesama manusia. Tentu saja, bekal yang
akan diceritakan juga merupakan hasil proses pembacaan sendiri dan bukan resensi.
Dengan penjelasan materi semacam ini, selain siswa menjadi mengerti kehidupan yang
lain mereka juga memahami materi dan merasa bahwa gurunya adalah teladan yang memberikan
contoh yang baik.
3) Kemampuan mengevaluasi (Ablity to evaluation). Kemampuan ini adalah bagian yang
melekat pada profesi guru. Setiap berpikir, bertindak, dan berperilaku selalu mengedepankan
kemampuan ini. Tentunya ketika menjalankan profesinya, seorang guru selalu memberikan
pertimbangan akan manfaat, dan keruginya. Menimbang kemungkinan risiko yang dihadapinya.
Hadirnya model pembelajaran baru, hampir dipastikan merupakan “rekayasa nilai-nilai” atas
model pembelajaran yang lama. Contoh, ketika guru di kelas sedang menyampaikan materi dan
kemudian terdapat beberapa siswa belum mampu menyerap materi dengan baik, maka yang
dilakukan adalah sesegera mungkin mencari contoh konkret yang mudah ditangkap sehingga
kelas tidak tegang. Demikian juga ketika guru ingin memberikan pertanyaan, hendaknya tidak
asal tunjuk sehingga peserta didik tidak gelisah. Jika sikap guru sudah menggelisahkan, maka ia
tentu tidak akan dapat menjadi “teman” untuk bercerita atau berbagi rasa.
4) Kemampuan analisis (Ability to analysis). Kemampuan telah lama dimiliki dan
digunakan oleh guru. Guru setiap menjalankan profesinya, selalu melakukan tahapan ini.
Namun, untuk mengaplikasikan kemampuan analisis yang tidak hanya terbatas pada mata
pelajaran adalah hal yang perlu lebih digiatkan.Contoh, ketika mengajarkan materi Pancasila dan
Kewarganegaraan,
guru
dapat
mengambil
contoh
untuk
menganalisis
penyebab
ketidakdisplinannya para pengguna jalan raya yang dapat membahayakan orang lain, atau
menganalisis penyebab terjadian tawuran, sikap saling menghujat, dan sikap negatif lainnya.
Analisis ini juga harus diikuti oleh perilaku guru yang tidak boleh berbicara kasar kepada peserta
didik meskipun ia kesal.
5) Kemampuan menanggapi (Ability to response). Kemampuan ini merupakan muara dari
kemampuan yang telah ada sebelumnya. Dalam kemampuan menanggapi, guru harus mampu
memberikan saran, pendapat, dan pikiran kepada peserta didik baik dalam mata pelajaran
maupun problematika yang dihadapi mereka. Tentu saja tidak semua problematika dapat
diselesaikan, tetapi dengan menunjukkan empati, menjadi pendengar yang baik, menjadi teman
diskusi, dan menjadi teladan, guru akan menjadi sumber inspiratif bagi para peserta didiknya.
4. Tantangan yang Nyata
Dalam hal mewujudkan upaya mencetak peserta didik yang berkarakter tentu saja harus
menjadi tekad bersama untuk mewujudkannya. Berbagai rintisan pendirian sekolah berasrama
atau berstandar internasional yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah daerah dan juga swasta
diharapkan dapat memberikan harapan terwujudnya cita-cita ini. Namun, tantangan yang harus
dihadapi tentunya sangat besar. Tantangan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Perkembangan teknologi informasi sangatlah cepat, setiap menit peristiwa kriminalitas,
seperti kekerasan, seks bebas, tawuran, demonstrasi, dan main hakim sendiri dengan mudah
disaksikan oleh jutaan pemirsa di seluruh tanah air. Meskipun tidak sepenuhnya menjadi
tanggung jawab guru, tetapi hendaknya para guru menyelaraskan berita dengan mengemasnya
menjadi hal yang positif dan menyampaikannnya kepada peserta di sela-sela pembelajarannya.
Namun, penyelarasan ini bukan hal yang mudah karena tidak semua guru peduli dan memiliki
pembagian waktu yang baik ketika mengajar di kelas. Bahkan, untuk guru bidang studi materi
yang langsung berkaitan dengan akhlak, budi pekerti, dan karakter peserta didik sebagaimana
yang penulis sampaikan di awal pembahasan.
b. Kesiapan infrastruktur bagi para guru dalam hal kemudahan akses internet, misalnya,
belum sepenuhnya terpenuhi. Kalaupun sudah ada layanan internet, masih ada pula yang lebih
emanfaatkannya untuk mengakses dunia hiburan atau pornografi.
c. Segala bentuk perubahan paradigma para guru dalam memandang sesuatu yang baru
alam hal teknologi atau aktivitas pembelajaran belum tentu diterima dengan cepat oleh para guru.
Dengan kata lain, masih ada guru yang sudah setia pada ‘mainstream’ lama dan tidak mudah
menerima perubahan yang sebenarnya ke arah yang lebih baik.
5. Kesimpulan
Dalam akhir makalah ini, penulis ingin memberikan beberapa catatan penutup yang
diharapkan mampu memberikan satu benang merah terhadap upaya membangun peserta didik
yang berkarakter, yakni sebagai berikut. Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini yakni dari
jenjang pendidikan SD. Pada jenjang SD ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan
jenjang pendidikan lainnya.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran
dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Implementasi pendidikan karakter di sekolah salah satunya dapat dilakukan melalui
pengintegrasian dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, yakni ketika materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran
dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter bukanlah sekadar wacana tetapi haruslah suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter yang berkesinambungan, yang didesain dengan baik, dan yang didukung oleh
seluruh masyarakat sehingga diharapkan mampu membangun harkat dan martabat bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dan tetap bermartabat.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter, guru adalah salah satu kunci utama yang perlu
dipahami betul tentang peran dan fungsi vitalnya karena apa pun bentuk kurikulumnya, kunci
utama terletak pada kualitas guru.
Perlunya dilakukan revitalisasi dan penambahan dalam hal materi beberapa mata
pelajaran yang berkaitan langsung dengan kelompok mata pelajaran yang berkaitan dengan
akhlak, budi perkerti, dan karakter peserta didik.
Upaya pembelajaran yang mampu memberikan pendidikan berkarakter memerlukan
penanganan secara terpadu, komprehensif, dan menyeluruh dengan melibatkan orang tua, siswa,
guru, praktisi, pakar, dan pemerintah.
Daftar Pustaka
Dharma, Satria. 2008. “Apapun Kurikulumnya, Mutu Guru Kuncinya”. Dimuat dalam
http://satriadharma.com/index.php/2009/02/05/apapun-kurikulumnya-mutu-gurukuncinya/. Diunduh 2 Oktober 2010.
Geertz, Clifford. 2000. Tafsir Kebudayaan (terjemahan Fransisco Budi Hardiman). Jogjakarta:
PT Kanisius.
Lembaran Negara Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
_______________________________. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Sudrajat, Ahmad. 2010. “Tentang Pendidikan Karakter”, dimuat dalam:
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/10/03/silabus-dan-rpp-bernuansa-karakter/.
Prakoso, Teguh. 2008. “Menanti Negarawan Sejati” dimuat dalam Jurnal Negarawan Edisi 10
November 2008. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Waspodo, Muktiono. 2010. “Resonansi: Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban
Bangsa”, dimuat dalam:
http://www.jugaguru.com/column/42/tahun/2010/bulan/05/tanggal/07/id/1085/.
Download