transportasi, komunikasi, informasi

advertisement
TRANSFORMASI, INFORMASI, DAN
KOMUNIKASI
A. TEORI-TEORI MEDIA
Pembahasan ini dimaksudkan sebagai suatu pengenalan teori media dalam
perspektif budaya. Pengetahuan ini pada hakikatnya berupaya memberikan basis untuk
konsep perspektif teoritis untuk kajian budaya atas media. Perlu disadari bahwa
pendekatan dalam perspektif budaya atas media jauh tertinggal dibanding dengan
pendekatan pragmatis sosial. Untuk itu secara khusus eksplorasi konseptual ini
dilakukan dengan tujuan melengkapi materi ajar dalam kajian media.
Upaya ini dapat dipandang sebagai dorongan bagi mahasiswa yang menekuni
kajian media atau Ilmu Komunikasi. Lebih luas tentunya, boleh pula dipandang sebagai
upaya untuk mengajak memperbincangkan media dalam perpektif budaya, setidaknya
untuk menyeimbangkan kecenderungan pragmatis yang selama ini mengggerakkan
kajian media.
Kajian
akademik
atas
media
perlu
dikembangkan
dalam
perspektif
budaya/kultural, sebagai upaya untuk pengembangan tradisi kultural dalam kajian atas
media. Dengan begitu kegiatan akademik dengan perspektif budaya membawa
konsekuensi dalam cara pandang terhadap media, yaitu hubungan media dengan
masyarakat politik dan ekonomi dalam konteks makna budaya/simbolik (cultures and
media), dan kultur media yang ada dalam masyarakat (media cultures). Dari sini dapat
disebutkan bahwa kajian media pada dasarnya punya 2 tujuan, pertama menjadikan
media sebagai sumber untuk mengkaji dimensi-dimensi realitas sosial suatu
masyarakat, dan kedua untuk mengenali kecenderungan nilai yang menjadi faktor
imperatif bagi suatu media.
Demikianlah, kajian media dalam perspektif budaya dapat difokuskan pada 2
sisi, pertama institusi media sebagai bagian dalam produksi praktik budaya dalam
ekonomi politik, dan kedua media sebagai teks budaya. Dari orientasi dan fokus
semacam ini kritisisme perlu diarahkan kepada transformasi sosial di Indonesia, dengan
memfokuskan perhatian pada budaya alternatif yang terkandung dalam media umum
1
atau diwujudkan dalam media alternatif. Dengan kata lain, sudut pandang kajian adalah
terhadap proses yang berlangsung dari budaya alternatif pada media dalam menghadapi
setiap arus besar budaya, dengan tujuan untuk memahami apa yang menyebabkan
budaya alternatif dapat tumbuh atau sebaliknya tidak berdaya dalam arus besar.
Karakteristik fenomena komunikasi/media dapat ditelusuri dari masyarakat
yang menjadi ruang hidupnya. Secara konvensional masyarakat dapat dilihat dalam dua
dimensi, yaitu dalam kehidupan sosial dan kehidupan budaya. Karenanya dikenal
masyarakat ‘sosial’ (nyata, real) yang dilihat dari interaksi sosial dalam konteks
ekonomi dan politik. Sedang masyarakat ‘budaya’ dibedakan atas dua macam, bersifat
statis yaitu komunitas yang memperoleh warisan (heritage) makna (meaning) simbolik
untuk kehidupan komunitasnya, dan bersifat dinamis yaitu komunitas warga yang
memproduksi makna simbolik, baik revitalisasi makna lama maupun produksi makna
baru untuk kehidupan yang lebih baik.
Selain itu, dalam perkembangan teknologi komunikasi, realitas media
melahirkan bentuk kehidupan baru, dikenal melalui realitas virtual atau cyber. Dengan
demikian kompleksitas masyarakat perlu dilihat pada realitas masyarakat bersifat real
yang terbentuk atas interaksi manusia dalam proses obyektifikasi dan subyektifikasi,
realitas masyarakat yang menciptakan dan mengolah makna simbolik, dan realitas
masyarakat cyber (cyber society) yang terbentuk oleh penggunaan media berbasis
telekomunikasi dan informasi multimedia (tele-informatika).
Secara akademik, keberadaan media dan masyarakat perlu dilihat secara
bertimbal balik. Untuk itu biasa digunakan landasan konseptual, setidaknya ada 2
pandangan yaitu apakah media membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat,
ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat.
Dalam bahasa sederhana, apakah media massa menjadi penyebab “rusak” atau
“beradab”nya masyarakat, ataukah media hanyalah mencerminkan wajah masyarakat?
Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media,
yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat nyata (real)
dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara masyarakat real
dengan masyarakat cyber. Dari interkoneksitas itu kemudian realitas media dilihat
konteksnya dengan masyarakat simbolik. Dengan kata lain, sejauh mana realitas media
merefleksikan makna simbolik yang berkonteks pada masyarakat real dan masyarakat
cyber secara bertimbal balik.
2
Pandangan pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari
landasan dengan teori stimulus – respons dalam behaviorisme. Teori media dalam
landasan positivisme ini pun tidak bersifat mutlak, varian pengaruh media massa terdiri
atas 3 varian, pertama: menimbulkan peniruan langsung (copycat), kedua:
menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas dari
tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media massa. Landasan konseptual semacam
ini banyak didukung oleh skolar penganut pragmatis sosial. Selain itu dikenal pula
kerangka konseptual tentang keberadaan media dengan landasan bersifat kultural,
melalui perspektif kritis yang melihat pengaruh media adalah dalam menyampaikan
dan memelihara dominasi ideologi borjuis, membentuk dan memelihara ideologi
dominan atau arus utama (mainstream) dalam masyarakat.
Pandangan kedua menempatkan media sebagai teks yang merepresentasikan
makna, baik makna yang berasal dari realitas empiris maupun yang diciptakan oleh
media. Dengan demikian realitas media dipandang sebagai bentukan makna yang
berasal dari masyarakat, baik karena bersifat imperatif dari faktor-faktor yang berasal
dari masyarakat, maupun berasal dari orientasi budaya pelaku media. Dari sini media
dilihat pada satu sisi sebagai instrumen dari kekuasaan (ekonomi dan/atau politik)
dengan memproduksi budaya dominan untuk pengendalian (dominasi dan hegemoni)
masyarakat, dan pada sisi lain dilihat sebagai institusi yang memiliki otonomi dan
independensi dalam memproduksi budaya dalam masyarakat.
Pandangan lain dengan determinasi teknologi, keberadaan media komunikasi
massa dilihat sebagai fenomena yang dibentuk oleh perkembangan masyarakat.
Teknologi mengubah konfigurasi masyarakat, mulai dari masyarakat agraris, industrial
sampai ke masyarakat informasi. Dalam perubahan tersebut teknologi komunikasi
berkembang sebagai upaya manusia untuk mengisi pola-pola hubungan dalam setiap
konfigurasi baru.
Perkembangan
teknologi
yang
mempengaruhi
kegiatan
komunikasi,
pertaliannya dapat dilihat pada dua tingkat, pertama secara struktural, yaitu faktor
teknologi yang mengubah struktur masyarakat, untuk kemudian membawa implikasi
dalam perubahan struktur moda komunikasi. Kedua, perubahan moda komunikasi
secara budaya membawa implikasi pula pada perubahan cara-cara pemanfaatan
informasi dalam masyarakat. Dengan begitu determinasi teknologi dalam konteks
komunikasi dapat dilihat dalam urutan berpikir: dari perubahan struktur masyarakat,
struktur moda komunikasi dalam masyarakat, dan cara pemanfaatan informasi.
3
Selain itu ada pula pandangan dengan urutan sebaliknya: dari pemanfaatan
informasi, membawa perubahan masyarakat, dan untuk kemudian mempengaruhi
perkembangan teknologi. Pandangan ini menempatkan media massa dapat membentuk
masyarakat melalui realitas psikhis dan realitas empiris sehingga terdapat daya kreatif
person maupun kolektifitas. Dengan kapabilitas dan daya kreatif secara personal atau
kolektif dapat melahirkan (invention) dan memperkembangkan (innovation) teknologi
dalam masyarakat.
Perjalanan kajian media atau ilmu komunikasi telah bergerak jauh. Untuk itu
perlu dicatat, saat tahun 1983 para skolar komunikasi merasa perlu melakukan
retrospeksi atas keberadaan disiplin Ilmu Komunikasi (dalam Ferment in the Field,
Journal of Communication, Vol 33, no. 3/1983) guna menyikapi pernyataan Berelson
24 tahun sebelumnya, tentang lunturnya disiplin Ilmu Komunikasi ("The State of
Communication Research", Public Opinion Quarterly 23, 1959). Ilmu Komunikasi
sebelumnya menjadi tempat persinggahan sementara bagi sejumlah skolar dari disiplin
ilmu lain, seperti Ilmu Politik (Lasswell); matematik dan sosiologi (Lazarsfeld);
psikologi sosial (Lewin), dan sebagainya. Dengan begitu Ilmu Komunikasi dipandang
sebagai disiplin terbuka yang dimasuki oleh kalangan dari berbagai disiplin keilmuan
lain. (Rogers,1994)
Dalam citranya sebagai disiplin yang terbuka, dibandingkan dengan cabangcabang disiplin Ilmu Sosial lainnya, Ilmu Komunikasi boleh disebut memiliki obyek
kajian yang lebih jelas batasnya. Kajian dengan focus of interest yang dikonsentrasikan
pada subject matter media dan informasi dalam interaksi sosial, akan membedakannya
dengan kajian Natas interaksi sosial yang dilakukan dalam cabang lain disiplin Ilmu
Sosial. Penetapan obyek kajian dalam Ilmu Komunikasi tidak pernah menimbulkan
kontroversi, sehingga kajian dari tahun ke tahun dapat berkembang dengan
mempertajam perspektifnya.
Dalam perkembangan Ilmu Komunikasi setidaknya para skolarnya tidak terlibat
dalam perdebatan epistemologis, apakah disiplin ini sebagai studi dengan pendekatan
empirisisme ataukah rasionalisme, kuantitatif ataukah kualitatif, studi sosial ataukah
studi budaya, dan semacamnya. Pendefinisian komunikasi sebagai proses transmisi
pesan dalam konteks interaksi sosial ataukah sebagai proses produksi makna simbolik
dalam konteks budaya, mendapat tempat yang sama dalam kajian Ilmu Komunikasi
(Fiske, 1990).
4
Secara sederhana kegiatan komunikasi dilihat sebagai instrumen dalam
hubungan sosial, yang diwujudkan dalam format verbal dan non-verbal, atau format
visual dan nonvisual. Masing-masing format ini membawa tuntutan teknis yang
berkonteks pada sifat bawaan (traits) media yang digunakan. Seperti halnya media
sosial dengan sifat bawaan yang bertumpu pada faktor fisik manusia, media massa
dengan landasan faktor perangkat teknologi mekanis dan elektronik, dan media
interaktif dengan tumpuan pada perangkat teknologi telekomunikasi dan komputer
multimedia. Masing-masing media hadir dengan sifat bawaannya, dan dari sini kaidah
dalam komunikasi akan disesuaikan dengan faktor fisik manusia, dan teknologi sebagai
perpanjangan fisik manusia. Dalam kajian pragmatis kemudian melahirkan asumsi atas
fenomena komunikasi dengan faktor bahasa yang menentukan dunia alam pikiran
(linguistic determinism) dan faktor teknologi (technological determinsm) yang
menentukan konfigurasi masyarakat.
Penetapan obyek kajian dalam Ilmu Komunikasi tidak pernah menimbulkan
kontroversi, sehingga kajian dari tahun ke tahun dapat berkembang dengan
mempertajam perspektifnya. Tetapi disini pula sumber masalahnya, apakah yang
dibicarakan adalah Ilmu Komunikasi (Communications Science), ataukah Studi Media
(Media Studies).
Sebagai suatu ilmu dengan sendirinya ada upaya untuk membangun ranah
keilmuan dengan teori dan metodologi, dengan mengembangkan model teoritis dan
konsep teoritis yang bersifat eksklusif. Sedang sebagai suatu studi dikembangkan
dengan berbagai perspektif, dengan konsekuensi kegiatan bersifat lintas disiplin (crossdisciplinary) dan menembus batas-batas akademik (academic boundaries).
Dengan begitu berbeda dengan Ilmu Komunikasi pada tahap awal yang
dikerjakan oleh skolar dari disiplin lain dengan menggunakan logika metodologi dan
analogi teoritis dari disiplin keilmuannya, dengan menjadikan fenomena komunikasi/
media sebagai obyek kajian. Sebagai ilustrasi, Shannon seorang insinyur elektronik
memperkenalkan model teoritis untuk menjelaskan model teoritis komunikasi bersifat
linier dalam “the mathematical theory of communication”, atau Hovland seorang
psikolog memperkenalkan teori persuasi dengan “the message learning approach”
(Rogers, 1994).
Dalam riak kecil perkilahan mengenai Ilmu Komunikasi dan Studi Media,
dalam perkembangan bidang kajian ini setidaknya para skolarnya tidak terlibat dalam
perdebatan epistemologis, apakah disiplin ini sebagai studi dengan pendekatan
5
empirisisme ataukah rasionalisme, kuantitatif ataukah kualitatif, studi sosial ataukah
studi budaya, dan semacamnya. Dalam kajian komunikasi/media pun dapat ditelusuri
genesisnya yang bersifat dikhotomis, pertama adalah dari akar Amerika Serikat yang
berbasis empirisisme dengan aliran pemikiran pragmatisme. Kedua, dari akar Eropa
yang dapat dirunut pada tradisi Yunani yang berbasis pada retorika (logika dan bahasa),
yang berlanjut dengan kajian sejarah dan budaya, dan paling belakangan dengan
perspektif kritis (termasuk ideologis) pada aliran pemikiran Birmingham di Inggris dan
Frankfurt di Jerman. Dari masing-masing orientasi akademik ini pengkaji komunikasi
mendefinisikan subyek kajiannya secara berbeda. Aliran pertama menyebut sebagai
penyampaian pesan (transmission of message) dalam konteks interaksi sosial, sedang
aliran kedua melihat fenomena komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna
(production and exchange of meaning) dalam konteks budaya (Fiske, 1990).
Keberadaan Ilmu Komunikasi/Studi Media tidak terlepas dari paradigma yang
muncul dalam Studi Sosial. Paradigma menjadi dasar dalam melihat suatu obyek,
mengingat bahwa obyek tersebut tidak berada dalam ruang hampa. Fenomena yang
menjadi obyek kajian berada dalam ruang sosial yang lebih besar. Untuk itu fenomena
komunikasi/media dijelaskan dengan grand theory dalam Ilmu Sosial, seperti
strukturalisme (fungsionalisme dan konflik sosial), simbolik-interaksionisme dan
kognitifbehaviorisme. (DeFleur & Ball-Rokeach, 1982)
Paradigma menjadi dasar dalam melihat suatu obyek, mengingat bahwa obyek
tersebut tidak berada dalam ruang hampa. Fenomena yang menjadi obyek kajian berada
dalam ruang sosial yang lebih besar. Untuk itu dijelaskan dengan grand theory dalam
Ilmu
Sosial,
seperti
strukturalisme
(fungsionalisme
dan
konflik
sosial),
simbolikinteraksionisme dan kognitif-behaviorisme (DeFleur & Ball-Rokeach, 1982)
Paradigma membawa konsekuensi dalam pendekatan (approach) kajian,
karenanya dikenal pendekatan mikro dan makro dan paralel dengannya pendekatan
budaya dan struktural (Hall,1999; Herman, Chomsky,1988). Pendekatan mikro yang
menjadikan individu sebagai satuan kajian, dengan itu menampung kajian dengan
perspektif simbolikinteraksionisme dan kognitif-behaviorisme. Pendekatan makro
melihat masyarakat/kolektivitas sebagai satuan kajian, menampung perspektif
strukturalisme (Mosco,1996; Bagdikian, 2000). Pendekatan mikro menjadikan domain
nilai (value) dan psikologis individu sebagai satuan kajian, sehingga masyarakat
dipandang sebagai akumulasi dari domain individual tersebut. Sementara pendekatan
6
makro melihat individu sebagai bagian institusi, dan masyarakat merupakan interaksi
dari berbagai institusi.
Jika diingat bahwa paradigma berkaitan dengan perspektif yang digunakan
dalam fenomena sosial umumnya, maka perkembangan paradigma dalam Ilmu
Komunikasi seiring dengan perkembangan dalam Ilmu Sosial. Perkembangan
sebenarnya bukan berarti munculnya paradigma baru, sebab tidak ada lahir yang dapat
berfungsi seperti grand theory yang diperkenalkan Durkheim, Marx, Weber dan
lainnya (Littlejohn, 1996). Pengembangan pada dasarnya adalah dengan memberikan
konteks baru atas paradigma lama. Dengan begitu analisis lebih tajam, dan konsep
teoritis dapat dikembangkan. Dengan kata lain, kajian-kajian yang dilakukan adalah
memperkaya model teoritis (misalnya diffusi, agenda setting, dan lainnya), atau
mempertajam konsep teoritis.
Perkembangan kajian dalam pendekatan makro, dengan perspektif ekonomi
politik (political economy), fenomena media massa dikaji untuk melihat keberadaannya
di tengah masyarakat dalam peran yang bersifat imperatif akibat kekuasaan negara dan
kekuatan modal. Begitu pula misalnya dikenal pendekatan hegemoni, untuk melihat
keberadaan media massa dalam berhadapan dengan kekuasaan dominan dalam struktur
sosial/global.
Sementara perkembangan dalam kajian mikro lebih banyak bersifat pengujian
konsep teoritis. Kajian semacam ini berfungsi sebagai penajaman dalam hal ketepatan
konsep dalam menghadapi fenomena empiris. Upaya untuk memperkembang-kan
paradigma sampai saat ini dilakukan oleh para skolar yang ingin mengkaji fenomena
komunikasi sebagai fenomena sosial, bukan semata-mata sebagai akumulasi
pengalaman empiris atau psikologis dari individu. Antara lain dengan mencari metode
yang dapat mengurangi kelemahan pendekatan makro yang bersifat hermeneutis, dan
memadukan dengan pendekatan mikro dengan observasi terhadap individu.
Demikianlah, keinginan yang tersirat dalam buku ini dimaksudkan sebagai
suatu eksplorasi untuk mempelajari media yang ditempatkan dalam perspektif
kebudayaan/kultural, sebagai upaya untuk pengembangan tradisi kultural dalam kajian
atas media. Kajian semacam
ini
diperlukan sebagai
penyeimbang dengan
pengembangan Ilmu Komunikasi yang bertolak dengan pendekatan positivisme/
emprisisme (logico-empirical).
Dalam rentang masa yang panjang, orientasi kajian dalam Ilmu Komunikasi
bergerak di sekitar ini:
7
Audience studies are usually survey type research designed to measure the
amount of interest in various mass media content and the reasonss for it. With print
media audience studies usually in the form of “one-time” surveys while television
ratings most often use and adaption measured over a period of years. Studies of media
uses ann media credibility, reader interest surveys and broadcast “ratings” are example
of this type of research.
Message content and design immediately brings to mind the content analysis of
messages, but content analysis can often be used inN conjunction with other research
methods to great advantage. Experimental designs in a “laboratory” setting are often
used to determine the most effective version of a message to achieve a desired objective
with specific population. Research on the advantages of presenting one side of and
issue or redundancy, the usess of language and various methods of counter persuasion
are examples of message content annd design studies. So are “field” studies done by
advertising agencies and public realtions firms to determine the most effective form or
versions for their commercials and advertisements. Effect studies involve the planning
and evaluation of the effects of media campaigns as well as the choice of media used.
Studies involving the diffusion of innovations, the function and dysfunction of the
media, the agenda setting function of the media and the effects of vieweing television
violance are obvious examples. In the commercial world, advertisers are interested in
the most effective means of increasing sales, public relations practioners seek the best
ways to improve a corporate image, campaign managers need the means to get a
candidat elected, and statesmen want the best ways to win acceptance for a policy or a
program. Effect studies can utilize many research methods” experimental designs,
survey researach, content analysis, case studies, as wel as combinations of them.
Communicator analysis has traditionally been linked with “gatekeeper” studies
(case studies). Studies dealing with the effects of language on perception and
abstraction can also be classified as communicator analysis. The effects of source
credibility on acceptance of a message are also directly related to communicatio
stdudies. Research into the effects of media chains, conglomerate and crossownership
on the conten of the media are all examples of communicatior analysis. (Severein dan
Tankard, 1979: 271)
Berbagai varian kecenderungan kajian di atas lahir dari pendidikan Ilmu
Komunikasi dengan orientasi positivisme dengan pendekatan kuantitatif. Lebih jauh
lagi orientasi pragmatis yang menggerakkan setiap kajian tersebut menjadikan Ilmu
8
Komunikasi teredusir sebagai pengetahuan bersifat teknis (technicallities). Akibatnya
sekolah Ilmu Komunikasi dikesankan sebagai pendidikan bagi komunikator dalam
ruang politik dan ekonomi. Kajian media dengan perspektif budaya membawa
konsekuensi dalam cara pandang terhadap media, yaitu hubungan media dengan
masyarakat politik dan ekonomi dalam konteks makna budaya/simbolik (cultures and
media), dan kultur dari media yang ada dalam masyarakat (media cultures).
Untuk itu budaya/kultur diartikan sebagai praktik dan teks budaya dengan
makna simblik, sebagai proses produksi dan reproduksi secara kolektif penghayatan,
makna dan kesadaran, atau pemaknaan dari ruang ekonomi (dunia produksi) dan ruang
politik (dunia relasi sosial). Lebih jauh praktik dan teks budaya ditempatkan pada
konteks kemajemukan masyarakat dalam perspektif multi-kulturalisme. Untuk itu
terkandung dua permasalahan konseptual dalam konteks Indonesia. Pertama realitas
aktual berupa kemajemukan kebudayaan berdasarkan etnisitas/lokalitas, dan kedua
proses idealisasi pencitraan (imaging) berupa upaya membangun/membentuk kultur
nasional atau bangsa. Dengan begitu selalu terjadi proses sentrifugal dari kebudayaan
etnis/lokal ke pada kebudayaan nasional/bangsa, atau sebaliknya proses sentripetal pada
etnisitas/lokalitas yang menguat sehingga menjauh dari dinamika yang menuju
kebudayaan nasional/bangsa. Dalam tarik menarik lingkup entitas domestik yang
bersifat sentrifugal atau pun sentripetal ini, berlangsung pula dinamika dari proses
global yang menawarkan kebudayaan dengan cara hidup berbasis pada industri
kapitalisme dunia dalam kebudayaan massa/populer (popular culture).
Kedua, konsep kemajemukan masyarakat (pluralisme) dapat dilihat secara statis
sebagai adanya realitas perbedaan dari komunitas etnis/lokal. Ini mengasumsikan
bahwa interaksi antar komunitas etnis/lokal berlangsung dalam harmoni. Pada sisi lain
disadari bahwa dinamika masyarakat pada hakekatnya tidak dalam harmoni. Dari sini
berkembang perspektif konseptual multi-kulturalisme yang bertolak dari asumsi
tentang adanya kecenderungan dominasi/hegemoni dari kebudayaan mayoritas/lebih
kuat terhadap minoritas/lebih lemah.
Lebih jauh kajian budaya dapat dikembangkan sebagai upaya memahami caracara produksi budaya yang diwujudkan dalam praktik dan teks budaya di dalam
pertarungan ideologi. Dari sini media di satu sisi dilihat sebagai produk budaya, dan di
sisi lain sebagai instrumen dalam memproduksi budaya dalam masyarakat. Untuk itu
kajian bersifat lintas disiplin, dengan menggunakan teori sosial serta analisis dan kritik
budaya, sebagai titik tolak untuk pengembangan kritisisme secara komprehensif atas
9
kenyataan budaya dan sosial. Dengan menggunakan perspektif ideologis, keberadaan
media dilihat berada dalam dinamika di satu pihak adanya budaya arus utama
(mainstream), budaya dominan/hegemonis, budaya massa, budaya pusat (center), atau
label mayor, yang berhadapan di pihak lain dengan budaya alternatif/sub-budaya,
budaya tanding (counter), budaya oposisi, budaya pinggiran (periphery) atau label indie
dalam kerangka politik dan ekonomi.
Kajian media dalam perspektif budaya dapat difokuskan pada 2 sisi, pertama
institusi media sebagai bagian dalam produksi praktik budaya dalam ekonomi-politik,
dan kedua media sebagai teks budaya. Dari orientasi dan fokus semacam ini kritisisme
perlu diarahkan kepada transformasi sosial di Indonesia, dengan memfokuskan
perhatian pada budaya alternatif yang terkandung dalam media umum atau diwujudkan
dalam media alternatif. Dengan kata lain, sudut pandang kajian adalah terhadap proses
yang berlangsung dari budaya alternatif pada media dalam menghadapi setiap arus
besar budaya, dengan tujuan untuk memahami apa yang menyebabkan budaya
alternatif dapat tumbuh atau sebaliknya tidak berdaya dalam arus besar.
Pada sisi lain kajian media dapat ditempatkan dalam kerangka perubahan besar
masyarakat. Dalam pandangan determinasi teknologi, transformasi sosial dengan
perubahan konfigurasi masyarakat berasal dari penemuan dan pengembang-luasan
teknologi. Perubahan besar dalam masyarakat membawa implikasi pada tuntutan pada
cara-cara bertindak dalam kehidupan sosial-ekonomi, untuk kemudian mengubah
konfigurasi masyarakat dalam sosial-politik. Baru dari sini kemudian lahir teknologi
sebagai jawaban atas tuntutan komunikasi, untuk berikutnya melahirkan moda
komunikasi dalam masyarakat.
Dengan begitu sumber dari dinamika bagi moda komunikasi adalah struktur
sosial (ekonomi dan politik) yang menjadi ruang baginya. Dalam pandangan ini ranah
teknologi komunikasi tidak bersifat otonom, tetapi dibentuk dan dipengaruhi oleh
struktur sosial.
Pada pihak lain, kedudukan manusia pada tataran struktur sosial membawa
konsekuensi dalam merespon lingkup kenyataan, baik struktur sosial maupun moda
komunikasi.
Struktur moda komunikasi akan memaksa manusia untuk menyesuaikan diri
dengan kompleksitas permasalahan komunikasi. Pada tahap dasar, setiap orang dipaksa
untuk melek media komunikasi (media literacy) yang berbasis pada teknologi sebagai
syarat untuk bisa menjadi konsumen informasi. Setiap moda komunikasi memiliki
10
karakteristik yang berbeda, antara lain seperti perbedaan bentuk simbolik yang
digunakan menyebabkan masing-masing media membawa bias intelektual dan
emosional yang berbeda, atau perbedaan aksesibilitas dan kecepatan informasi akan
mengakibatkan perbedaan bias politik, atau perbedaan posisi dalam menghadapi media
komunikasi menyebabkan bias sosial yang berbeda pula.
Dari sini kiranya perlu dikembangkan sudut pandang lain dalam menghadapi
fenomena komunikasi. Pandangan konvensional yang berfokus pada proses
komunikasi, akan menjadi tumpul dalam memandang perubahan moda dan teknologi
komunikasi. Untuk itu fenomena komunikasi perlu didekati melalui dua sisi, yaitu basis
material dan basis sosial yang menjadikannya terwujud. Cara pandang ini akan melihat
basis material dari media pers cetak adalah kertas (termasuk tinta cetak), percetakan
dan jaringan transportasi (alat angkut dan jalan darat, air dan udara). Media penyiaran
berbasis material pada jaringan telekomunikasi yang terdiri atas gelombang
elektromagnetik, perangkat transmisi dan penerima. Sedang basis material media
interaktif adalah jaringan telekomunikasi dan komputer. Setiap basis material bagi
media komunikasi dijalankan dengan basis budaya berupa perangkat lunak (software)
yang spesifik.
Basis material dalam kegiatan media komunikasi perlu dibedakan antara
teknologi yang secara langsung digunakan untuk mewujudkan produk media dan
produk informasi, atau secara tidak langsung berupa teknologi yang memungkinkan
media dan informasi yang diproduksi sampai atau diambil oleh konsumen. Artinya
dengan basis material inilah moda komunikasi dapat diproduksi dan dapat sampai
kepada khalayak. Sedangkan basis sosial dari media komunikasi adalah seluruh aspek
yang memungkinkan media dan informasi diproduksi. Ini mencakup 2 aspek, pertama
bersifat tidak langsung berupa basis politik yang mendasari keberadaan institusional
media komunikasi, dan basis ekonomi dengan logika pasar yang menggerakkan
produksi dan distribusi moda komunikasi. Kedua, aspek bersifat langsung berupa basis
budaya seperti jurnalisme dan seni yang mendasari produksi media dan informasi.
Dalam kajian media, ranah teknologi komunikasi dapat dilihat melalui dimensi
politik dan ekonomi sebagai perspektif dari media komunikasi secara struktural.
Sedangkan permasalahan intrinsik teknologi komunikasi dapat difokuskan pada basis
material dan sosial yang secara langsung mendasari proses produksi media dan
informasi komunikasi. Dari sini dilihat basis budaya yaitu perangkat lunak yang
menggerakkan proses produksi media dan informasi komunikasi. Perangkat lunak ini
11
dapat dibedakan dalam dua tahap, pertama berfungsi untuk menjalankan mesin-mesin
teknologi, dan kedua mendasari proses produksi media dan informasi komunikasi.
Dengan begitu keterlibatan seseorang dalam proses produksi media komunikasi pada
dasarnya adalah pada basis budaya yang dijalankan, apakah berupa perangkat lunak
pada mesin-mesin teknologi komunikasi, ataukah dalam proses produksi media dan
informasi. Kajian media dalam perspektif budaya ini merupakan upaya untuk
menjembatani jurang yang ada di antara kajian komunikasi dan kultur yang dipandang
terpisah, sementara kedua hal pada hakikatnya berkaitan dengan femonema yang sama.
Untuk itu
B. TEORI KOMUNIKASI
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan)
dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya.
Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang
dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat
dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan
gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan
kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa
nonverbal.
Sejarah komunikasi
Pada awal kehidupan di dunia, komunikasi digunakan untuk mengungkapkan
kebutuhan organis. Sinyal-sinyal kimiawi pada organisme awal digunakan untuk
reproduksi. Seiring dengan evolusi kehidupan, maka sinyal-sinyal kimiawi primitif
yang digunakan dalam berkomunikasi juga ikut berevolusi dan membuka peluang
terjadinya perilaku yang lebih rumit seperti tarian kawin pada ikan.
Pada binatang, selain untuk seks, komunikasi juga dilakukan untuk
menunjukkan keunggulan, biasanya dengan sikap menyerang. Munurut sejarah evolusi
sekitar 250 juta tahun yang lalu munculnya "otak reptil" menjadi penting karena otak
memungkinkan reaksi-reaksi fisiologis terhadap kejadian di dunia luar yang kita kenal
sebagai emosi. Pada manusia modern, otak reptil ini masih terdapat pada sistem limbik
otak manusia, dan hanya dilapisi oleh otak lain "tingkat tinggi".
12
Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman. Bentuk
umum komunikasi manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan
penyiaran. Komunikasi dapat berupa interaktif, transaktif, bertujuan, atau tak bertujuan.
Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat
dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan
yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.
Walaupun komunikasi sudah dipelajari sejak lama dan termasuk “barang antik”,
topik ini menjadi penting khususnya pada abad 20 karena pertumbuhan komunikasi
digambarkan sebagai “penemuan yang revolusioner”, hal ini dikarenakan peningkatan
teknologi komunikasi yang pesat seperti radio. Televisi, telepon, satelit dan jaringan
komuter seiring dengan industiralisasi bidang usaha yang besar dan politik yang
mendunia. Komunikasi dalam tingkat akademi mungkin telah memiliki departemen
sendiri dimana komunikasi dibagi-bagi menjadi komunikasi masa, komunikasi bagi
pembawa acara, humas dan lainnya, namun subyeknya akan tetap. Pekerjaan dalam
komunikasi mencerminkan keberagaman komunikasi itu sendiri. Mencari teori
komunikasi ya Sejarah komunikasi.
Pada awal kehidupan di dunia, komunikasi digunakan untuk mengungkapkan
kebutuhan organis. Sinyal-sinyal kimiawi pada organisme awal digunakan untuk
reproduksi. Seiring dengan evolusi kehidupan, maka sinyal-sinyal kimiawi primitif
yang digunakan dalam berkomunikasi juga ikut berevolusi dan membuka peluang
terjadinya perilaku yang lebih rumit seperti tarian kawin pada ikan..
Pada binatang, selain untuk seks, komunikasi juga dilakukan untuk
menunjukkan keunggulan, biasanya dengan sikap menyerang. Munurut sejarah evolusi
sekitar 250 juta tahun yang lalu munculnya "otak reptil" menjadi penting karena otak
memungkinkan reaksi-reaksi fisiologis terhadap kejadian di dunia luar yang kita kenal
sebagai emosi. Pada manusia modern, otak reptil ini masih terdapat pada sistem limbik
otak manusia, dan hanya dilapisi oleh otak lain "tingkat tinggi".
Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman. Bentuk
umum komunikasi manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan
penyiaran. Komunikasi dapat berupa interaktif, transaktif, bertujuan, atau tak bertujuan.
Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat
dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan
yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.
13
Walaupun komunikasi sudah dipelajari sejak lama dan termasuk “barang antik”,
topik ini menjadi penting khususnya pada abad 20 karena pertumbuhan komunikasi
digambarkan sebagai “penemuan yang revolusioner”, hal ini dikarenakan peningkatan
teknologi komunikasi yang pesat seperti radio. Televisi, telepon, satelit dan jaringan
komuter seiring dengan industiralisasi bidang usaha yang besar dan politik yang
mendunia. Komunikasi dalam tingkat akademi mungkin telah memiliki departemen
sendiri dimana komunikasi dibagi-bagi menjadi komunikasi masa, komunikasi bagi
pembawa acara, humas dan lainnya, namun subyeknya akan tetap. Pekerjaan dalam
komunikasi mencerminkan keberagaman komunikasi itu sendiri. Mencari teori
komunikasi yang terbaik pun tidak akan berguna karena kong terbaik pun tidak akan
berguna karena komunikasi adalah kegiatan yang lebih dari satu aktivitas. Masingmasing teori dipandang dari proses dan sudut pandang yang berbeda dimana secara
terpisah mereka mengacu dari sudut pandang mereka sendiri.
Komponen komunikasi
Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa
berlangsung dengan baik. Menurut Laswell komponen-komponen komunikasi adalah:

Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan
kepada pihak lain.

Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak
kepada pihak lain.

Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan.
dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang
mengalirkan getaran nada/suara.

Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari
pihak lain

Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan
yang disampaikannya.

Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana komunikasi
itu akan dijalankan ("Protokol")
Proses komunikasi
Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut.
14
1. Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang
lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang
disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat
simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak.
2. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran
baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung
melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya.
media (channel) alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan
1. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan
isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan
itu sendiri.
2. Komunikan (receiver) memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas
pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan
yang dimaksud oleh si pengirim.
Teknologi komunikasi
Dalam telekomunikasi, komunikasi radio dua-arah melewati Atlantik pertama
terjadi pada 25 Juli 1920. Dengan berkembangnya teknologi, protokol komunikasi juga
turut berkembang, contohnya, Thomas Edison telah menemukan bahwa "halo"
merupakan kata sambutan yang paling tidak berambiguasi melalui suara dari kejauhan;
kata sambutan lain seperti hail dapat mudah hilang atau terganggu dalam transmisi.
Batasan dalam komunikasi
Batasan dalam komunikasi termasuk:
1. Bahasa
2. Penundaan waktu
3. Politik
Komponen Konseptual dan Jenis-jenis Teori Komunikasi
Sebagaimana telah disinggung dalam modul sebelumnya bahwa ilmu
komunikasi merupakan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner, maka
15
defenisi-defenisi mengenai komunikasi menjadi sangat beragam. Setiap defenisi
memiliki penekanan arti, cakupan dan konteks yang berbeda satu sama lainnya.
Terdapat 126 defenisi komunikasi yang dapat dikumpulkan oleh Frank E.X.
Dance. semuanya setelah dirangkum dapat dikategorikan manjadi 15 komponen
konseptual. Yaitu:
1. Simbol/verbal/ujaran, komunikasi adalah pertukaran pikiran atau gagasan secara
verbal. (Hoben, 1954)
2. Pengertian/pemahaman, proses di mana kita memahami dan dipahami orang lain.
Komunikasi merupakan proses yang dinamis dan secara konstan berubah sesuai
dengan situasi yang berlaku. (Anderson, 1959)
3. Interaksi/hubungan/proses sosial. Interaksi adalah perwujudan komunikasi. Tanpa
komunikasi tidak akan terjadi interaksi. (Mead, 1963)
4. Pengurangan rasa ketidakpastian. Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhankebutuhan
untuk
mengurangi
ketidakpastian,
bertindak
secara
efektif,
mempertahankan atau memperkuat ego. (Burnland, 1964)
5. Proses, komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian,
dll. melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka dll.
6. Pengalihan/penyampaian/pertukaran. Penggunaan kata komunikasi menunjuk pada
pengalihan dari suatu benda atau orang ke benda atau orang lainnya menjadi
bermakna. Misal kata “pohon― mewakili objek pohon.
7. Menghubungkan/menggabungkan. Komunikasi adalah proses yang menghubungkan
satu bagian kehidupan dengan bagian lainnya.
8. Kebersamaan. Komunikasi adalah proses yang membuat sesuatu yang semula
dimiliki seseorang menjadi milik dua orang atau lebih.
9. Saluran/jalur/alat. Komunikasi adalah alat pengirim pesan. Misalnya telegraph,
telepon, radio, kurir, dll.
10. Replikasi memori. Komunikasi adalah proses mengarahkan perhatian dengan
menggugah ingatan.
11. Tanggapan Diskriminatif, komunikasi adalah tanggapan pilihan atau terarah pada
suatu stimulus.
12. Stimuli, setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai penyampaian informasi
yang berisikan stimuli diskriminatif, dari suatu sumber terhadap penerima.
16
13. Tujuan/kesengajaan, komunikasi pada dasarnya penyampaian pesan yang disengaja
dari sumber terhadap penerima dengan tujuan mempengaruhi tingkah laku pihak
penerima.
14. Waktu/situasi, komunikasi merupakan suatu transisi dari suatu struktur keseluruhan
ituasi atau waktu sesuai pola yang diinginkan.
15. Kekuasaan/kekuatan, komunikasi adalah suatu mekanisme yang memimbulkan
kekuatan atau kekuasaan.
Kelima belas komponen konseptual tersebut di atas merupakan kerangka acuan
yang dapat dijadikan dasar dalam menganalisis fenomena peristiwa komunikasi.
Komponen-komponen tersebut baik secara tersendiri, secara gabungan atau secara
keseluruhan dapat dijadikan sebagai fokus perhatian dalam penelitian.
JENIS-JENIS TEORI KOMUNIKASI
Menurut Littlejohn (1989) berdasarkan metode penjelasan serta cakupan objek
pengamatannya, secara umum teori-teori komunikasi dapat dibagi dua kelompok:
1. Teori-teori Umum (general theories), teori ini merupakan teori yang mengarah pada
bagaimana menjelaskan fenomena komunikasi (metode penjelasannya). Karenanya
teori ini memberi analisa piker suatu teori, terdiri dari:
2. Teori-teori fungsional dan struktural. Ciri dan pokok pikiran dari teori ini adalah:
Individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau sistem sosial dan individu bagian dari
struktur. Sehingga cara pandangnya dipengaruhi struktur yang berada di luar dirinya.
Pendekatan ini menekankan tentang sistem sebagai struktur yang berfungsi.
Karakteristik dari pendekatan ini adalah:
a. Mementingkan sinkroni (stabilitas dalam kurun waktu tertentu) daripada diacrony
(perubahan dalam kurun waktu tertentu). Misalnya dalam mengamati suatu
fenomena menggunakan dalil-dalil yang jelas dari suatu kaidah. Perubahan terjadi
melalui tahapan metodologis yang telah baku.
b. Cenderung memusatkan perhatiannya pada akibat-akibat yang tidak diinginkan
(unintended consequences) daripada hasil yang sesuai tujuan. Pendekatan ini
tidak mempercayai konsep subjektivitas dan kesadaran. Fokus mereka pada
faktor-faktor yang berada di luar kontrol kesadaran manusia.
17
c. Memandang realitas sebagai sesuatu yang objektif dan independent. Oleh karena
itu, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode empiris yang cermat.
d. Memisahkan bahasa dan lambang dari pemikiran dan objek yanng disimbolkan
dalam komunikasi. Bahasa hanyalah alat untuk merepresentasikan apa yang telah
ada.
e. Menganut prinsip the correspondence theory of truth. Menurut teori ini bahasa
harus sesuai dengan realitas. Simbol-simbol harus merepresentasikan ssuatu
secara akurat.
3. Teori-teori Behavioral dan kognitif.
Teori ini berkembang dari ilmu psikologi yang memusatkan pengamatannya
pada diri manusia secara individual. Beberapa pokok pikirannya: „ Salah satu konsep
pemikirannya adalah model stimulus-respon (S-R) yang menggambarkan proses
informasi antara stimulus dan respon.
Mengutamakan analisa variabel. Analisis ini pada dasarnya merupakan upaya
mengidentifikasi variabel-variabel kognitif yang dianggap penting serta mencari
hubungan antar variabel.
Menurut pandangan ini komunikasi dipandang sebagai manifestasi dari proses
berfikir, tingkah laku dan sikap seseorang. Oleh karenanya variabel-variabel penentu
memegang peranan penting terhadap kognisi seseorang (termasuk bahasa) biasanya
berada di luar kontrol individu. Contoh lain teori atau model yang termasuk dalam
kelompok teori ini adalah Model Psikologi Comstock tentang efek televisi terhadap
individu. Tujuan model ini adalah untuk memperhitungkan dan membantu
memperkirakan terjadinya efek terhadap tingkah laku orang perorang dalam suatu
kasus tertentu, dengan jalan menggabungkan penemuan-penemuan atau teori-teori
tentang kondisi umum dimana efek selama ini dapat ditemukan. Model ini dinamakan
model psikologi karena melibatkan masalah-masalah keadaan mental dan tingkah laku
orang perorangan.
Moel ini berpendapat , televisi hendaknya dianggap sederajat dengan setiap
pengalaman, tindakan atau observasi personal yang dapat menimbulkan konsekuensi
terhadap pemahaman (learning) maupun tindakan (acting). Jadi model ini mencakup
kasus dimana televisi tidak hanya mengajarkan tingkah laku yang dipelajari dari
sumber-sumber lain.
18
4. Teori-teori Konvesional dan Interaksional.
Teori ini beranggapan bahwa agar komunikasi dapat berlangsung, individuindividu yang berinteraksi menggunakan aturan-aturan dalam menggunakan lambanglambang. Bukan hanya aturan mengenai lambang itu sendiri tetapi juga harus sepakat
dalam giliran berbicara, bagaimana bersikap sopan santun atau sebaliknya, bagaimana
harus menyapa dan sebagainya. Teori ini berkembang dari aliran interactionisme
simbolik yang menunjukan arti penting dari interaksi dan makna. Pokok pikiran teori
ini adalah: „ kehidupan sosial merupakan suatu proses interaksi yang membangun,
memelihara, serta mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk dalam hal ini
bahasa dan simbol. Komunikasi dianggap sebagai alat perekat masyarakat (the glue of
society). „ Struktur sosial dilihat sebagai produk dari interaksi. Interaksi dapat terjadi
melalui bahasa, sehingga bahasa menjadi pembentuk struktur sosial. Pengetahuan dapat
ditemukan melalui metode interpretasi. „ Struktur sosial merupakan produk interaksi,
karena bahasa dan simbol direproduksi, dipelihara serta diubah dalam penggunaannnya.
Sehingga focus pengamatannya adalah pada bagaimana bahasa membentuk struktur
social, serta bagaimana bahasa direproduksi, dipelihara, serta diubah penggunaannya. „
Makna dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu dari konteks ke konteks. Sifat objektif
bahasa menjadi relatif dan temporer. Makna pada dasarnya merupakan kebiasaankebiasaan yang diperoleh melalui interaksi. Oleh karena itu makna dapat berubah dari
waktu ke waktu, konteks ke konteks, serta dari kelompok social ke kelompok lainnya.
Dengan demikian sifat objektivitas dari makna adalah relative dan temporer.
5. Teori-Teori Kritis dan Interpretif
Jenis teori ini berkembang dari tradisi sosiologi interpretift, yang dikembangkan
oleh Alfred Schulzt, Paul Ricour et al. sementara teori kritis berkembang dari
pemikiran Max Weber, Marxisme dan Frankfurt School.
Interpretif berarti pemahaman (verstechen) berusaha menjelaskan makna dari
suatu tindakan. Karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti, maka makna idak
dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Interpretasi secara harfiah merupakan proses
aktif dan inventif. Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti
lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah suatu tindakan
kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna.
Implikasi social kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik,
tetapi banyak diantaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan komunikasi
19
dalam masyarakat. Meskipun demikian teoritisi kritis biasanya enggan memisahkan
komunikasi dan elemen lainnya dari keseluruhan system. Jadi, suatu teori kritis
mengenai
komunikasi
perlu
melibatkan
kritik
mengenai
masyarakat
secara
keseluruhan.
Pendekatan kelompok
ini
terutama sekali
popular di
Negara-negara
Eropa.Karakteristik umum yang mencirikan teori ini adalah: „ Penekanan terhadap
peran subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual. „ Makna merupakan
konsep kunci dalam teori-teori ini.
Pengalaman dipandang sebagai meaning centered. „ Bahasa dipandang sebagai
kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia. Di samping karakteristik di atas
yang menunjukan kesamaan, terdapat juga perbedaan mendasar antara teori-teori
interpretif dan teori-teori kritis dalam pendekatannya. Pendekatan teori interpretif
cenderung menghndarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolute
tentang fenomena yang diamati. Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu
yang bersifat tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung
menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami
pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks.
Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia mengalami
kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki kehidupan
manusia.
A. Jenis Teori-teori Kontekstual
Berdasarkan konteks dan tingkatan analisisnya, teori komunikasi dapat dibagi
menjadi lima :
1. intra personal communication, yaitu proses komunikasi yang terjadi dalam diri
seseorang. Fokusnya adalah pada bagaimana jalannya proses pengolahan informasi
yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan inderanya. Umumnya membahas
mengenai proses pemahaman, ingatan, dan interpretasi terhadap simbol-simbol yang
ditangkap melalui pancainderanya.
2. interpersonal communication, yaitu komunikasi antar perorangan dan bersifat pribadi
baik yang terjadi secara langsung (non-media) atau tidak langsung (media). Fokus
20
teori ini adalah pada bentukbentuk dan sifat hubungan, percakapan, interaksi dan
karakteristik komunikator.
3. komunikasi kelompok. Fokus pada interaksi diantara orang-orang dalam kelompok
kecil. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antar pribadi, namun
pembahasannya berkaitan dengan dinamika kelompok, efisiensi dan efektifitas
penyampaian informasi dalam kelompok, pola dan bentuk interaksi serta pembuatan
keputusan.
4. komunikasi Organisasi. Mengarah pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi
dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentukbentuk komunikasi formal dan informal. Pembahasan teori ini menyangkut struktur
dan fungsi organisasi, hubungan antar manusia, komunikasi dan proses
pengorganisasiannya serta budaya organisasi.
5. komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan pada
sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi melibatkan keempat teori
sebelumnya. Teori ini secara umum memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang
menyangkut struktur media, hubungan media dan masyarakat, hubungan antara
media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak
komunikasi massa terhadap individu.
Studi komunikasi dewasa ini telah banyak melahirkan berbagai macam teori
yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Ada banyak teori
tentang komunikasi. Berdasarkan kurun waktu dan pemahaman atas makna
komunikasi, teori komunikasi semakin hari berkembang seiring berkembangnya
teknologi informasi yang memakai komunikasi sebagai fokus kajiannya.
Teori komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori
komunikasi klasik melihat fenomena komunikasi tidak fragmatis. Artinya, komunikasi
dipandang sebagai sesuatu yang kompleks-tidak sesederhana yang dipahami dalam
teori komunikasi klasik.
Pendekatan dalam memahami komunikasi pun tidak hanya mengacu pada teori
semata, tetapi juga memperhitungkan mazhab dan model apa yang dipakai. Mazhab
yang dipakai antara lain mazhab proses dan semiotika. Namun, dalam paper ini saya
tidak membahas teori kontemporer yang dianggap ‘pahlwan revolusioner’, tetapi saya
mengajak anda untuk mengkaji lebih detail tentang salah satu teori komunikasi klasik
yang dicetuskan oleh Shannon dan Weaver, yaitu teori matematis atau teori informasi
yang berkembang setelah perang dunia II . Teori yang termasuk ke dalam tradisi
21
sibernetik ini mengkaji bagaimana mengirim sejumlah informasi yang maksimum
melalui saluran yang ada.
Tentunya teori ini memiliki kelebihan dan kelemahan jika dibandingkan dengan
teori-teori lainnya. Apakah teori ini masih relevan atau justru sudah tidak dapat
disentuh sama sekali. Namun, kita tidak bisa menafikkan kontribusi Shannon dan
Weaver dalam memberikan inspirasi ahli-ahli komunikasi berikutnya yang terus
mengembangkan teorinya seperti Gerbner, Newcomb, Westley dan MacLean, dan lainlain.
Teori Informasi
1. Konteks Sejarah
Salah satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori
komunikasi selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis. Teori ini
merupakan bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver (1949,
Weaver. 1949 b), Mathematical Theory of Communication.
Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan
informatif:
komunikasi
sebagai
transmisi
pesan
dan
bagaimana
transmitter
menggunakan saluran dan media komunikasi. Ini merupakan salah satu contoh
gamblang dari mazhab proses yang mana melihat kode sebagai sarana untuk
mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding dan decoding). Titik
perhatiannya terletak pada akurasi dan efisiensi proses. Proses yang dimaksud adalah
komunikasi seorang pribadi yang bagaimana ia mempengaruhi tingkah laku atau state
of mind pribadi yang lain. Jika efek yang ditimbulkan tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan, maka mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi. Ia
melihat ke tahap-tahap dalam komunikasi tersebut untuk mengetahui di mana letak
kegagalannya. Selain itu, mazhab proses juga cenderung mempergunakan ilmu-ilmu
sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada
tindakan komunikasi.
Karya Shannon dan Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Perang
Dunia II di Bell Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri
adalah insiyiur di sana yang berkepentingan atas penyampaian pesan yang cermat
melalui telepon. Kemudian Weaver mengembangkan konsep Shannon ini untuk
diterapkan pada semua bentuk komunikasi. Titik kajian utamanya adalah bagaimana
22
menentukan cara di mana saluran (channel) komunikasi digunakan secara sangat
efisien. Menurut mereka, saluran utama dalam komunikasi yang dimaksud adalah kabel
telepon dan gelombang radio.
Latar belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan Weaver ini tampak
dalam penekanan mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon, faktor yang terpenting
dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang
disampaikan-seperti pada mazhab semiotika, tetapi lebih pada berapa jumlah sinyal
yang diterima dam proses transmisi.
Penjelasan Teori Informasi Secara Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi Teori
informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat
melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada
pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter, receiver, dan
code untuk memudahkan efisiensi informasi.
Sinyal-Sinyal yang diterima (Model Komunikasi Shannon dan Weaver)
Jika dianalogikan dengan pesawat telepon, salurannya adalah kabel, sinyalnya
adalah arus listrik di dalamnya, dan transmitter dan penerimanya adalah pesawat
telepon. Dalam percakapan, mulut adalah transmitternya, sedangkan gelombang suara
yang ke luar melalui saluran udara adalah sinyalnya, dan telinga adalah penerimanya.
Shannon dan Weaver membuat model komunikasi yang dilihat sebagai proses
linear yang sangat sederhana. Karakteristik kesederhanaanya ini menonjol dengan jelas.
Mereka menyoroti masalah-masalah komunikasi (penyampaian pesan) berdasarkan
tingkat kecermatannya. Sebagaimana yang dipakai dalam teori komunikasi informasi
atau matematis, konsep tidak mengacu pada makna, akan tetapi hanya memfokuskan
titik perhatiannya pada banyaknya stimulus atau sinyal.
Konsep dasar dalam teori ini adalah entropi dan redundansi-konsep yang
dipinjam dari thermodynamics. Kedua konsep ini saling mempengaruhi dan bersifat
sebab akibat (kausatif). Di mana entropi akan sangat berpengaruh terhadap redundansi
yang timbul dalam proses komunikasi.
Entropi
Entropi adalah konsep keacakan, di mana terdapat suatu keadaan yang tidak
dapat dipastikan kemungkinannya. Entropi timbul jika prediktabilitas/kemungkinan
rendah (low predictable) dan informasi yang ada tinggi (high information). Sebagai
23
contoh ada pada penderita penyakit Aids. Pengidap Aids atau yang lebih sering disebut
OHIDA tidak dapat dipastikan usianya atau kapan ia akan dijemput maut. Ada yang
sampai delapan tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai dua puluh tahun, masih bisa
menjalani hidup sebagaimana orang yang sehat. Hal ini dikarenakan ajal atau kematian
adalah sebuah sistem organisasi yang kemungkinannya sangat tidak dapat dipastikan.
Dengan kata lain, semakin besar entropi, semakin kecil kemungkinankemungkinannya (prediktabilitas). Informasi adalah sebuah ukuran ketidakpastian, atau
entropi, dalam sebuah situasi. Semakin besar ketidakpastian, semakin besar informasi
yang tersedia dalam proses komunikasi. Ketika sebuah situasi atau keadaan secara
lengkap dapat dipastikan kemungkinannya atau dapat diprediksikan-highly predictable,
maka informasi tidak ada sama sekali. Kondisi inilah yang disebut dengan negentropy.
Redundansi
Konsep kedua yang merupakan kebalikan dari entropi adalah redundansi.
Redudansi adalah sesuatu yang bisa diramalkan atau diprediksikan (predictable).
Karena prediktabilitasnya tinggi (high predictable), maka informasi pun rendah (low
information). Fungsi dari redundan dalam komunikasi menurut Shannon dan Weaver
ada dua, yaitu yang berkaitan dengan masalah teknis dan yang berkaitan dengan
perluasan
konsep
redundan
itu
sendiri
ke
dalam
dimensi
sosial.
Fungsi redundansi apabila dikaitkan dengan masalah teknis, ia dapat membantu untuk
mengatasi masalah komunikasi praktis. Masalah ini berhubungan dengan akurasi dan
kesalahan, dengan saluran dan gangguan, dengan sifat pesan, atau dengan khalayak.
Kekurangan-kekurangan dari saluran (channel) yang mengalami gangguan
(noisy channel) juga dapat diatasi oleh bantuan redundansi. Misalnya ketika kita
berkomunikasi melalui pesawat telepon dan mengalami gangguan, mungkin sinyal
yang lemah, maka kita akan mengeja huruf dengan ejaan yang telah banyak diketahui
umum, seperti charlie untuk C, alpa untuk huruf A, dan seterusnya. Contoh lain,
apabila kita ingin mengiklankan produk kita kepada masyarakat konsumen baik melalui
media cetak (koran, majalah, atau tabloid) ataupun elektronik (radio dan televisi), maka
redundansi berperan pada penciptaan pesan (iklan) yang dapat menarik perhatian,
sangat simpel, sederhana, berulang-ulang dan mudah untuk diprediksikan (predictable).
Selain masalah gangguan, redundansi juga membantu mengatasi masalah dalam
pentransmisian pesan entropik dalam proses komunikasi. Pesan yang tidak diinginkan
24
atau tidak diharapkan, lebih baik disampaikan lebih dari satu kali, dengan berbagai cara
yang sekreatif mungkin.
Fungsi kreatif redundansi ini juga bila dikaitkan dengan khalayak, akan sangat
membantu sekali pada masalah jumlah dan gangguan pesan di dalamnya. Jika pesan
yang ingin disampaikan tertuju pada khalayak yang besar dan heterogen, maka pesan
tersebut harus memiliki tingkat redundansi yang tinggi, sehingga pesan yang
disampaikan akan berhasil dan mudah dicerna. Sebaliknya, jika khalayak berada pada
jumlah yang kecil, spesialis, dan homogen, maka pesan yang akan disampaikan akan
lebih entropik.
Contoh dari fungsi redundansi di atas misalnya pada pemaknaan seni populer
(popular art) yang lebih redundan dari pada seni bercita rasa tinggi (highbrow art). Hal
ini dikarenakan seni populer lebih mudah untuk dicerna dan dipahami oleh banyak
khalayak dari pada seni bercita rasa tinggi di mana khalayak yang mengerti hanya
beberapa golongan elit saja. Selain masalah di atas, konsep redundansi juga bisa
diperluas hubungannya dengan konvensi dan hubungan realitas sosial masyarakat.
Redundansi dan Konvensi
Konvensi adalah menyusun suatu pesan dengan pola-pola yang sama.
Pengertian sederhananya dapat dipahami sebagai bentuk baku yang telah umum
diterima sebagai pedoman. Sebagai contoh, dalam karya sastra lama ada yang disebut
dengan pantun. Pantun merupakan salah satu bentuk karya sastra lama (klasik) yang
memiliki karakteristik tersendiri. Cirinya antara lain berpola AB AB, artinya bunyi
huruf terakhir dari dua baris terakhir pasti sama dengan bunyi dua huruf terakhir dua
baris pertama. Contoh:
Jalan-jalan ke sawah Lunto
Keliling jalan Batu Sangkar
Tegaklah tikus berpidato
Kucing mendengar habis bertengkar
Pada contoh pantun di atas, kita setidaknya dapat meramalkan bahwa baris
ketiga dan keempat pasti memiliki bunyi yang sama dengan baris pertama dan kedua,
walaupun kita belum mengetahui isi dan maknanya. Hal ini dikarenakan pantun
menekankan pengulangan dan pola-pola yang bisa diramalkan. Sehingga ini bisa
meningkatkan redundansi dan menurunkan entropi. Ketika berbicara masalah entropi
dan redundansi pada masalah karya seni , kita mengetahui bahwa karya seni bukan
25
merupakan hal yang statis dan kaku. Ia akan terus berubah dan bersifat dinamis seiring
perkembangan nilai dan corak hidup masyarakat. Karya seni ada kalanya akan bersifat
‘nakal’ atau ‘nyeleneh’ dan melanggar konvensi-konvensi yang ada, sehingga menjadi
entropik bagi khalayak yang ada di dekatnya. Namun, ia juga akan berusaha mengikis
imej itu secara perlahan dengan membangun sendiri konvensi-konvensi baru yang
awalnya hanya ada pada khalayak yang jumlahnya terbatas. Maka dengan sendirinya
karya seni tadi akan diterima dan dipelajari secara luas, sehingga dapat meningkatkan
redundansinya. Sebagai contoh, seni lukis tubuh (body paint) yang dahulu dianggap
tabu sekarang dianggap sebagai hal yang biasa dan mempunyai nilai seni.
Teori informasi yang dikemukakan Shannon dan Weaver ini banyak menuai
kritik . Salah satunya adalah ia tidak mnjelaskan konsep umpan balik (feedback) dalam
model teorinya. Padahal dalam konsep analogi pesawat telepon yang ia kemukakan,
konsep umpan balik sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan
komunikasi. Hal ini dikarenakan teori yang ia kaji hanya melihat komunikasi sebagai
fenomena linear satu arah.
Teori informasi (matematis) yang ia kaji hanya melihat komunikasi dari faktor
komunikator yang dominan. Padahal penerima sebagai komunikan pun adalah bagian
dari proses komunikasi yang akan terlibat jika konsep umpan balik ia masukkan. Selain
itu umpan balik juga justru bisa memberitahukan kegagalan dalam komunikasi. Sebagai
contoh, ketika seseorang menelpon dan yang ditelepon tidak melakukan reaksi apapun,
atau mungkin sinyal di udara lemah, maka reaksi diam penerima sebenarnya adalah
umpan balik bagi sumber atau penelpon. Selain konsep umpan balik yang tidak diusung
dalam teori informasi, sebenarnya, Shannon dan weaver juga tidak mengkaji detil
tentang peranan medium (media) dalam teorinya. Ia hanya terfokus pada fungsi saluran
atau transmitter. Padahal konsep medium tidak dapat dipisahkan dari konsep transmisi
yang ia usung sebelumnya.
Secara garis besar, jika dibandingkan dengan teori kontemporer, misalnya,
interaksionisme simbolik, model teori Shannon dan Weaver ini terlalu sederhana.
Padahal komunikasi terdiri dari banyak aspek seperti yang dikatakan Schramm sebagai
area studi Multidisipliner. Ia akan selalu berkaitan dengan ilmu sosial, psikologi,
kejiwaan, teknologi, bahkan perang.
26
Teori informasi
Teori informasi (Inggris: information theory) adalah disiplin ilmu dalam
bidang matematika terapan yang berkaitan dengan kuantisasi data sehingga data atau
informasi itu dapat disimpan dan dikirimkan tanpa kesalahan (error) melalui suatu
kanal komunikasi. Entropi informasi (information entropy) sering dipakai sebagai alat
untuk maksud ini, dan biasanya dinyatakan sebagai banyaknya bit rerata yang
diperlukan untuk penyimpanan dan pengiriman informasi tersebut. Sebagai contoh, jika
keadaan cuaca harian dinyatakan dengan entropi 3 bit, maka kita katakan bahwa cuaca
itu mempunyai rata-rata 3 bit tiap harinya.
Aplikasi dari topik dasar dalam teori informasi meliputi kompresi data tanpa
cacat (lossless data compression, pada file ZIP misalnya), kompresi data (lossy data
compression, pada file MP3, misalnya), dan pengkodean kanal (channel coding, pada
saluran DSL, ADSL dll). Biasanya teori informasi merupakan titik temu dari bidang–
bidang matematika, statistika, ilmu komputer, fisika, neurobiologi, dan teknik listrik
serta komputer. Implementasi dari teori ini berdampak langsung dengan misi ruang
angkasa, pemahaman mengenai lubang hitam dalam galaksi, dengan penelitian
linguistika dan persepsi manusia, dengan jaringan komputer, jaringan Internet serta
jaringan telepon genggam.
Fungsi entropi biner Bernoulli
Secara khusus, teori informasi adalah cabang dari matematika peluang dan statistik,
yang berkaitan dengan konsep informasi dan entropi informasi seperti telah dijelaskan
di atas. Claude E. Shannon (1916-2001) dikenal sebagai "bapak dari teori informasi".
Shannon mendefinisikan pengukuran dari entropi informasi sebagai:
27
Rumus ini jika diterapkan pada suatu sumber informasi, dapat menentukan kapasitas
dari saluran yang diperlukan untuk mengirim data yang diterjemahkan ke dalam digit
biner.
Artikel bertopik matematika ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
Wikipedia dengan mengembangkannya.
C. TRADISI-TRADISI DALAM ILMU KOMUNIKASI
Dalam ilmu komunikasi, penelitian terhadap gejala-gejala atau realitas
komunikasi telah berkembang sejak lama sehingga dalam ilmu komunikasi dikenal
tradisi-tradisi yang unik. Seorang Profesor komunikasi Universitas Colorado, Robert
Craig, telah memetakan tujuh (7) bidang tradisi dalam teori komunikasi yang disebut
sebagai 7 tradisi dalam Griffin(2000:22-35) , yakni :
1. Tradisi
Sosio-Psikologi
(komunikasi
merupakan
pengaruh
antarpribadi)
Tradisi ini mewakili perspektif objektif/scientific. Penganut tradisi ini percaya
bahwa kebenaran komunikasi bisa ditemukan melalui pengamatan yang teliti dan
sistematis. Tradisi ini mencari hubungan sebab-akibat yang dapat memprediksi
kapan sebuah perilaku komunikasi akan berhasil dan kapan akan gagal. Adapun
indikator keberhasilan dan kegagalan komunikasi terletak pada ada tidaknya
perubahan yang terjadi pada pelaku komunikasi. Semua itu dapat diketahui melalui
serangkaian eksperimen.
Salah satu tokoh tradisi ini adalah Carl I Hovland, seorang ahli psikologi yang
sekaligus peletak dasar-dasar penelitian eksperimen yang berkaitan dengan efek-efek
komunikasi. Penelitiannya berupaya:
a. Menjadi peletak dasar proposisi empirik yang berkaitan dengan hubungan antara
stimulus komunikasi, kecenderungan audiens dan perubahan opini.
b. Memberikan kerangka awal untuk membangun teori berikutnya.
Menurut Ilmuwan Yale ini dalam formula who says what to whom with what
effect, ada tiga variabel yang memiliki sifat persuasive, yakni:
a. Who—sumber pesan.
28
b. What—isi pesan.
c. Whom—karakteristik audiens.
Efek utama yang diukur adalah perubahan pendapat yang dinyatakan melalui
skala sikap yang diberikan sebelum dan pesan disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan. Jadi perhatian penting dalam tradisi ini antara lain perihal pernyataan,
pendapat(opini), sikap, persepsi, kognisi, interaksi dan efek (pengaruh).
2. Tradisi Cybernetic (komunikasi sebagai pemrosesan informasi)
Ide komunikasi sebagai pemrosesan informasi pertama kali dikemukakan oleh
ahli matematik, Claude Shannon. Karyanya, Mathematical Theory Communication
diterima secara luas sebagai salah satu benih yang keluar dari studi komunikasi. Teori
ini memandang komunikasi sebagai transmisi pesan. Karyanya berkembang selama
Perang Dunia kedua di Bell Telephone Laboratories di AS. Eksperimennya dilakukan
pada saluran kabel telepon dan gelombang radio bekerja dalam menyampaikan pesan.
Meski eksperimennya sangat berkaitan dengan masalah eksakta, tapi Warren Weaver
mengklaim bahwa teori tersebut bisa diterapkan secara luas terhadap semua pertanyaan
tentang komunikasi insani (human communication). Jadi dalam tradisi ini konsepkonsep penting yang dikaji antara lain pengirim, penerima, informasi, umpan balik,
redudancy, dan sistem. Walaupun dalam tradisi ini seringkali mendapat kritik terutama
berkenaan dengan pandangan asumtif yang cenderung menyamakan antara manusia
dengan mesin dan menganggap bahwa suatu realitas atau gejala timbul karena
hubungan sebab akibat yang linier.
3. Tradisi Retorika (komunikasi sebagai ilmu bicara yang sarat seni) Ada enam
keistimewaan yang mencirikan tradisi ini:
a. Keyakinan bahwa berbicara membedakan manusia dari binatang.
b. Ada kepercayaan bahwa pidato publik yang disampaikan dalam forum demokrasi
adalah cara yang lebih efektif untuk memecahkan masalah politik.
c. Retorika merupakan sebuah strategi di mana seorang pembicara mencoba
mempengaruhi seorang audiens dari sekian banyak audiens melalui pidato yang
jelas-jelas bersifat persuasive. Public speaking pada dasarnya merupakan
komunikasi satu arah.
29
d. Pelatihan kecakapan pidato adalah dasar pendidikan kepemimpinan. Seorang
pemimpin harus mampu menciptakan argumen-argumen yang kuat lalu dengan
lantang menyuarakannya.
e. Menekankan pada kekuatan dan keindahan bahasa untuk menggerakkan orang
banyak secara emosional dan menggerakkan mereka untuk beraksi/bertindak.
Pengertian Retorika lebih merujuk kepada seni bicara daripada ilmu berbicara.
f. Sampai tahun 1800-an, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan
haknya. Jadi retorika merupakan sebuah keistimewaan bagi pergerakan wanita di
Amerika yang memperjuangkan haknya untuk bisa berbicara di depan publik.
4. Tradisi semiotic (komunikasi sebagai proses membagi makna melalui tanda)
Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Sebuah
tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang lain. Contohnya asap menandai
adanya api. sebagai suatu hubungan antara lima istilah berikut ini:
Lebih lanjut Pawito(2007:23) menyatakan dalam tradisi lebih memusatkan pada
perhatian lambang-lambang dan simbol-simbol, dan memandang komunikasi sebagai
suatu jembatan antara dunia pribadi individu-individu dengan ruang di mana lambanglambang digunakan oleh individu-individu untuk membawa makna-makna tertentu
kepada khalayak. Sehingga dalam tradisi ini memungkinkan bahwa individu-individu
akan memaknai tanda-tanda secara beragam.
5. Tradisi Socio Kultural (Komunikasi sebagai penciptaan dan pembuatan realitas
sosial)
Premis tradisi ini adalah ketika orang berbicara, mereka sesungguhnya sedang
memproduksi dan memproduksi kembali budaya. Sebagian besar dari kita beranggapan
bahwa kata-kata mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. Pandangan kita tentang
realitas dibentuk oleh bahasa yang telah kita gunakan sejak lahir. Ahli bahasa
Universitas Chicago, Edwar Sapir dan Benyamin Lee Whorf adalah pelopor tradisi
sosio cultural. Hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya
menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana
seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan
bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi
atau refleksi tertentu. Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara
kita memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan.
30
Secara fungsional, bahasa adalah alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan
gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di
antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Bahasa diungkapkan
dengan kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi arti arbiter (semaunya). Contoh;
terhadap buah pisang, orang sunda menyebutnya cau dan orang jawa menyebutnya
gedang. Secara formal, bahasa adalah semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat
dibuat menurut peraturan bahasa. Setiap bahasa dapat dikatakan mempunyai tata
bahasa/ grammarnya tersendiri. Contoh: sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia yang
berbunyi “dimana saya dapat menukar uang ini?”, maka akan ditulis dalam bhasa
Inggris “where can I Change some money?”
6. Tradisi Kritis (komunikasi adalah refleksi penolakan terhadap wacana yang tidak
adil).
Tiga asumsi dasar tradisi kritis:
a. Menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Ilmuwan kritis
menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks.
b.Mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya mengungkap struktur-struktur yang
seringkali tersembunyi
Istilah teori kritis berasal dari kelompok ilmuwan Jerman yang dikenal dengan
sebutan “Frankfurt School”. Para teoritisinya mengadopsi pemikiran Marxis.
Kelompok ini telah mengembangkan suatu kritik sosial umum, di mana komunikasi
menjadi titik sentral dalam prinsip-prinsipnya. Sistem komunikasi massa merupakan
focus yang sangat penting di dalamnya. Tokoh-tokoh pelopornya adalah Max
Horkheimer, Theodore Adorno serta Herbert Marcuse. Pemikirannya disebut dengan
teori kritis. Ketika bangkitnya Nazi di Jerman, mereka berimigrasi ke Amerika. Di sana
mereka menaruh perhatian besar pada komunikasi massa dan media sebagai struktur
penindas dalam masyarakat kapitalistik, khususnya struktur di Amerika. Teori kritis
menganggap tugasnya adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam
masyarakat melalui analisis dialektika. Teori kritis juga memberikan perhatian yang
sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi merupakan
suatu hasil dari tekanan antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pesan dan
kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Salah satu kendala utama pada
ekspresi individu adalah bahasa itu sendiri. Kelas-kelas dominan dalam masyarakat
menciptakan suatu bahasaa penindasan dan pengekangan, yang membuat kelas pekerja
31
menjadi sangat sulit untuk memahami situasi mereka dan untuk keluar dari situasi
tersebut. Kewajiban dari teori kritis adalah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru
yang
memungkinkan
diruntuhkannya
paradigma
dominan.
Hal
itulah
yang
diungkapkan oleh Jurgen Habermas, tokoh terkemuka kelompok Franfurt School di era
berikutnya. Habermas menaruh perhatian khusus pada dominasi kepentingan teknis
dalam masyarakat kapitalis kontemporer. Dalam masyarakat seperti itu, public dan
swasta terjalin sampai pada tingkat di mana sector public tidak mampu
mempertahankan diri terhadap penindasan kepentingan teknis swasta. Idealnya, public
dan swasta seimbang, dan sector public harus cukup kuat untuk memberikan suatu
iklim bagi kebebasan gagasan dan debat. Dari bahasan tersebut, jelaslah bahwa
Habermas menilai komunikasi sangat penting bagi pembebasan. Bahasa sendiri
merupakan hal pokok bagi kehidupan manusia, dan bahasa menjadi alat di mana
kepentingan pembebesan dapat dipenuhi. Karenanya, kompetensi komunikasi
diperlukan untuk partisipasi yang efektif dalam pengambilan keputusan.
7. Tradisi Fenomenologi (Komunikasi sebagai pengalaman diri dan orang lain melalui
dialog)
Meski fenomenologi adalah sebuah filosofi yang mengagumkan, pada dasarnya
menunjukkan analisis terhadap kehidupan sehari-hari. Titik berat tradisi fenomenologi
adalah pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada
pengalaman subyektifnya. Bagi seorang fenomenologis, cerita kehidupan seseorang
lebih penting daripada axioma-axioma komunikasi. Seorang psikologis, Carl Rogers
percaya bahwa kesehatan kliennya akan pulih ketika komunikasinya menciptakan
lingkungan yang nyaman baginya untuk berbincang. Dia menggambarkan tiga kondisi
yang penting dan kondusif bagi perubahan suatu hubungan dan kepribadian, yakni:
a. Kecocokan/kesesuaian, adalah kecocokan antara perasaan dalam hati individu
dengan tampilan luar . Orang yang tidak memiliki kecocokan akan mencoba
mempengaruhi, bermain peranan, sembunyi di balik suatu tedeng aling-aling.
b. Hal positif yang tidak bersyarat, adalah sebuah sikap penerimaan yang bukan
merupakan kesatuan dalam penampilan.
c. Pemahaman empatik.
32
D. PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI
Komunikasi merupakan satu dari disiplin-disiplin yang paling tua tetapi yang
paling baru. Orang Yunani kuno melihat teori dan praktek komunikasi sebagai sesuatu
yang kritis. Popularitas komunikasi merupakan suatu berkah (a mixed blessing).Teoriteori resistant untuk berubah bahkan dalam berhadapan dengan temuan-temuan yang
kontradiktif. Komunikasi merupakan sebuah aktifitas, sebuah ilmu social, sebuah seni
liberal dan sebuah profesi. Menurut Ruben&Steward (1998:18-37) perkembangan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. STUDI KOMUNIKASI AWAL
Sebenarnya sangat sulit untuk mendeteksi kapan dan bagaimana pertama kali
dipandang sebagai faktor yang penting dalam kehidupan manusia. Berdasarkan sejarah,
komunikasi diekspresikan dan berperan dalam kehidupan manusia yaitu pada abad 5
SM dalam tulisan klasik bangsa Mesir dan Babilonia dan essay dari Hommer yang
berjudul Iliad pada abad 3000 SM. Pada tahun 2675 SM melalui ‘The Precepts” adalah
berisi panduan komunikasi efektif. Dan juga tampak pada kitab perjajnjian lama (Bible)
ketika Tuhan bersabda :Let there be light:and there was light. Dan juga pada
masayarakat Yunani yang melakukan kehidupan demokratis dengan komunikasi oral.
2. RETORIKA DAN PIDATO
Ada beberapa tokoh dalam perkembangan studi awal komunikasi antara lain:
a. CORAX DAN TISIAS
Teori komunikasi pertama yang dikembangkan di Greece adalah oleh Corax dan
kemudian disusun kembali oleh muridnya Tisias. Teori ini berkaitan dengan berbicara
di ruang pengadilan sebagai ketrampilan persuasi.tisias meyakini bahwa persuasi
adalah suatu seni yang kemudian disebut retorika. Corax dan Tisias mengembangkan
konsep organisasi pesan, yaitu terdiri dari introduction, body, dan kesimpulan.
b.PROTAGORAS
Dia mengembangkan tentang debat. Dia mengajarkan bagaimana seharusnya
mennajdi seorang pembicara yang baik.
c. GORGIAS DARI LEONTINI
Dia mengajarkan tentang penggunaan emosional dalam pidato persuasif,
penggunaan gaya dan figur-figur yang tepat untuk suatu pidato.
33
d.ISOCRATES
Dia mengajarkan bagaimana seorang orator seharusnya dilatih dengan seni
liberal dan bagaimana menjadi seorang yang baik.
e. ARISTOTELES
Aristoteles dan gurunya Plato adalah tokoh sentral dalam studi komunikasi awal
ini. Keduanya yang mengibarkan bahwa komunikasi adalah sebuah seni untuk
dipraktekkan dan sebagai area studi. Dia mendeskripsikan komunikasi menjadi suatu
orator atau speaker yang memberikan suatu argument untuk dipresentasikan dalam
suatu pidato untuk pendengar atau audience. Karya klasiknya adalah The Rhetoric,
yang berisi 3 buku yang menekankan pada the speaker, the audience dan speech. Dalam
bukunya yang pertama yang memfokuskan pada persuasi yang mengenalkan ethos
(sifat sumber), pathos ( emosi dari audience) dan logos ( sifat dari pesan yang
disampaikan sumber kepada audience). Buku kedua menekankan pada sifat audience
dan bagaimana pembicara dapat membangun emosi audience. Menurut dia faktor
demografi mempengaruhi audience (termasuk usia dan kelas sosial) dalam menerima
pesan.Dan buku ketiga menekankan pada gaya dan bagaimana suatu pesan
dikonstuksikan dan diterima.
f. AUGUSTINE
Dia mengapliksikan komunikasi dalam melakukan interpretasi dari Bible dan
tulisan religious lainnya. Dia menyatukan aspek praktis dan teoritis dari studi
komunikasi.
g. SIR FRANCIS BACON
Dia mengenalkan pembuatan pidato dan penulisannya yang di susun untuk
tujuan praktis.
h. PLATO
Dalam tulisannya Plato menggarisbawahi pentingnya mempelajari retorika yang
memberikan kontribusi untuk dapat menjelaskan perilaku manusia. Bidang ini
mempelajari sifat kata-kata, sifat manusia, cara mereka hidup, dan segala yang dapat
mempengaruhi manusia dalam kehidupannya.
i. CICERO
Dia mengembangkan teori retorika dan melihat komunikasi sebagai persoalan
akademik dan praktis. Pandangannya bahwa komunikasi adalah komprehensif yang
melibatkan seluruh domain ilmu sosial.
34
j. QUINTILIAN
Dia mengajarkan bagaimana cara menjadi seorang komunikator yang baik itu
perlu dididik.
3. JURNALISME
Praktek jurnalistik dimulai pada tahun 3700 tahun lalu di Mesir, ketika laporan
peristiwa-peristiwa pada waktu dituliskan pada makam raja Mesir. Julius Caesar, dan
mempunyai laporan resmi mengenai berita-berita sehari-hari yang ditempatkan di
tempat-tempat public. Berita itu diperbanyak dan dijual. Pada awalnya surat kabar
merupakan campuran dari newsletter, balada, proklamasi, brosur politik, dan pamphlet
yang menggambarkan berbagai kejadian. Pertengahan 1600 an muncul surat kabar
modern. Surat kabar AS pertama ’Public Occurences Both Foreign and Domestic’ terbit
tahun 1690 di Boston.
4. TAHUN
1900-AN-1930-AN
PERKEMBANGAN
PIDATO
DAN
JURNALISME
Awal abad 19 pidato muncul sebagai sebuah disiplin tersendiri di AS:
a. Tahun 1909 dibentuk (Eastern States Speech Association).Tahun 1910
mengadakan konferensi tahunan pertama.
b. Tahun 1914 terbentuk The National Association of Teachers of Public
Speaking(sekarang Speech Communication Association)
c. Tahun 1915 terbit jurnal ‘Quaterly Journal of Public Speaking’diikuti journal
Quaterly Journal of Speech.
5. TAHUN 1940-1N DAN 1950-1N PERTUMBUHAN INTERDISIPLIN
Sejumlah sarjana dari variasi disiplin ilmu sosial mulai mengembangkan teoriteori komunikasi yang merupakan perluasan bidang-bidang komunikasi.Contohnya
bidang antropologi yang mengkaji dan gesture-gesture pada budaya-budaya tertentu
berdasarkan pada kajian komunikasi non verbal yang lebih luas.peneliti peneliti mulsai
memberi perhatian pada persuasi, termasuk bagaiamana propaganda dilakukan,
bagaimana opini publik dibentuk dn bagaimana perkembangan media yang memberi
kontribusi pada usaha persuasive. Kurt Lewin dan koleganya memimipin penelitian
pada kelompok dinamik. Carl Hovland dan Paul Lazarfeld melakukan riset awal pada
komunikasi massa. Ilmuwan sosiologi dan politik mempelajari sifat media massa dalam
35
berbagai aktifitas social dan politik misalnya voting behaviour.Dalam bidang zoology
mengkaji mengenai komunikasi diantara binatang-binatang.Demikian juga bidang
linguistic , sematik umum, dan semiotic yang memfokuskan pada sifat bahasa dan
perannya dalam kehidupan manusia yang mendorong studi ilmu komunikasi. Dalm
retorika dan pidato pada akhir tahun 1940an dan 1950an mengkaji mengenai
interpretasi oral, suara,dan diksi, debat, theater,fisiologi pidato,dan patologi
pidato.Jurnalisme dan studi media massa memberi perhatian pada sifat dan efek media
massa dan komunikasi massa.
Sampai akhir tahun 1950an mulai terbentuk The National Society for the Study
of Communication (sekarang The International Communication Association)dengan
tujuan
membuat
satu
kesatuan
hubungan
antara
pidato,
bahasa,
dan
media.Perkembangan-perkembangan ini mempercepat pertumbuhan komunikasi
sebagai sebuah disiplin ilmu.
Pada masa ini banyak muncul tokoh-tokoh antara lain Harold D Lasswell yang
mengkaji tentang propaganda politik pada tahun 1948. Satu tahun kemudian Claude
Shannon mempublikasikan hasil penelitiannya di Bell Telepon tentang soal mesin dari
pengiriman/trnasmisi signal.hasilnya adalah menjadi dasar uytama model Shannon dan
Weaver. Wirburr Schramm juga mengkaji bahwa komunikasi merupakan upaya
bertujuan untuk menciptakan suatu kesamaan makna diantara sumber dan
penerima.Pada tahun 1955 ilmuwan politik Elihu Katz dan Paul Lazarfeld
memperkenalkan two step flow model Mereka mengenalkan konsep opinion
leader(pemuka pendapat). Dan Bruce Westley dan Malcom S. Maclean,Jr. menyatakan
bahwa proses komunikasi adalah dimulai dari penerimaaan pesan bukan dari
pengiriman pesan.Hal ini merupakan gabungan antara komunikasi interpersonal dan
komunikasi dalam media massa.
6. TAHUN 1960-AN INTEGRASI
Pada tahun 1960 an para ilmuwan melakukan sintesa dari retorika dan pidato,
jurnalisme dan media massa, dan disiplin ilmu social lainnya.kontribusi pada integrasi
ini ditandai dengan berbagai buku antara lain The Process of Communication(1960),
The Effect s of Mass Communication(1960), On Human Communication(1961),
Diffusion of Innovations (1962), The Science of Human Commnunication (1963),
Understanding Media(1964), and Theories of Mass Communication(1966).
36
Komunikasi menarik minat beberapa displin lain selama decade 1960an. Para
ahli sosiologis memfokuskan pada dinamika kelompok, relasi social, asal pengetahuan
social.
Para
ilmuwan
politik
menulis
tentang
peran
komunikasi
dalam
pemerintahan,opini public, propaganda dan pembentukan citra politik merupakan
bidang komunikasi politik. Pada bidang administrasi memperlajari tentang organisasi,
managemen, kepemimpinan, dan jaringan informasi yang menjadi dasar pertumbuhan
komunikasi organisasi yang muncul pada tahun 1970an. Bidang antropologi dan
linguistic bersama-sama sehingga memunculkan are studi komunikasi antar budaya dan
selama tahun 1960an para ahli zoology mengkaji komunikasi binatang.
7.
TAHUN
1970-AN
DAN
AWAL
1980-AN
PERTUMBUHAN
DAN
SPESIALISASI
Dalam periode ini beberapa bidang kajian mulai popular. Perluasan dan
spesialisasi bidang mencapai tingkatan tinggi pada periode ini. Komunikasi
interpersonal menjadi bidang yang popular seperti mempelajari interaksi nonverbal,
ilmu informasi, teori informasi dam sistem informasi dan komunikasi merupakan topic
lainnya yang juga menarik. Dismaping itu pada tahun yang sama komunikasi
kelompok, organisasi, politik, internasional dan intercultural bermunculan sebagai area
studi.
8. AKHIR TAHUN 1980-AN DAN 1990 ABAD INFORMASI
Sebuah masa dimana komunikasi dan tehnologi informasi secara meningkat
telah memainkan peran penting di masyarakat kita. Informasi sebagai komoditas.
Media baru dan media penyatu. Pengaruh ekonomi dan pasar. Komunikasi sebagai
proses. Memperkuat hubungan antardisiplin:
a. Psikologi kognitif ( persepsi,interpretasi, penyimpanan dan penggunaan
informasi).
b. Kajian kritis dan budaya (pengaruh sejarah, social, dan budaya pada
penciptaan, transmisi, interpretasi, akibat dan penggunaan pesan)
c. Ekonomi (produksi dan konsumsi informasi sebagai sumberdaya ekonomi)
d. Ilmu komputer dan rekaya elektrik (penyimpanan, mendapatkan kembali,
manipulasi dan transmisi informasi
e. Ilmu informasi(klasifikasi, managemen dan penyimpanan infromasi)
f. Jurnalisme (sumber infromasi, isi, komunikasi public dan media massa)
37
g. Sastra (penciptaan dan interpretasi pembaca pada materi teks)
h. Pemasaran (kebutuhan dan pilihan pengguna untuk adopsi dan penggunaan
pesan, produk dan layanan)
i. Filsafat( dimensi dari proses komunikasi individual dan media massa)
E. MOBILITAS PENDUDUK
1. Pengertian dan Bentuk Mobilitas Penduduk
Pertumbuhan penduduk di suatu negara dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
fertilitas, mortalitas dan moilitas penduduk. Peranan mobilitas penduduk terhadap laju
pertumbuhan penduduk antara wilayah satu dengan wilayah lainnya berbeda-beda.
Istilah mobiltas penduduk diartikan menjadi gerak penduduk seperti yang dinyatakan
oleh Mantra (1985:15): “Mobilitas penduduk yaitu semua gerak penduduk dalam waktu
tertentu dan batas wilayah administrasi tertentu seperti batas propinsi, kabupaten,
kecamatan dan sebagainya”. Sedangkan menurut Sumaatmadja (1981:147), bahwa:
Pergerakan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, baik untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi maupun untuk memenuhi kebutuhan sosial lainnya.
Tingkah laku manusia dalam bentuk perpindahan tadi, erat hubungannya
dengan faktor-faktor geografi pada ruang yang bersangkutan. Faktor-faktor
terseut meliputi faktor fisis dan non fisis. Bentuk permukaan bumi, elevasi,
vegetasi, keadaan cuaca merupakan faktor fisis yang mempengaruhi gerak
berpindah yang dilakukan manusia. Alat transportasi, kegiatan ekonomi, biaya
trasportasi, kondisi jalan, dan kondisi sosial budaya setempat merupakan faktor
non fisis yang mendorong manusia untuk beranjak dari tempat asalnya.
Dari kedua pendapat di atas jelas, bahwa mobilitas penduduk merupakan
pergerakan atau perpindahan secara horizontal dari satu wilayah ke wilayah lainnya
dengan faktor pendorong dan bentuk yang berbeda-beda. Ada yang didorong oleh
faktor fisis misalnya karena bencana alam, ada faktor non fisis misalnya ekonomi dan
pendidikan. Bentuknya ada yang bersifat sementara ada juga yang bersifat permanen
atau menetap. Sedangkan mobilitas vertikal mengandung pengertian perubahan status
atau kedudukan sesorang dalam masyarakat.
Perbedaan antara mobilitas penduduk yang bersifat sementara dengan mobilitas
penduduk yang bersifat permanen terletak pada ada atau tidaknya niatan untuk menetap
di tempat tujuan. Apabila sesorang yang pergi ke daerah lain tetapi sejak semula sudah
38
bermaksud kembali ke daerah asal, maka perpindahan tersebut hanya bersifat
sementara. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Pardoko (1986:10) bahwa:
Migrasi adalah perpindahan tempat tinggal seseorang dari satu tempat ke tempat
lain dan biasanya ada di luar batas administrasi, karena itu biasanya tinggal di
tempat yang baru, maka migrasi itu disebut migrasi permanen. Istilah ini
dipakai untuk membedakan perpindahan seseorang ke suatu tempat yang
sifatnya sementara, dan pada suatu saat tertentu pulang untuk beberapa waktu
ke tempat tinggal yang tetap. Migrasi ini disebut migrasi sirkuler dan bersifat
non-permanen.
Sementara Daldjoeni (1981:121) mengemukakan ada tiga bentuk mobilitas
penduduk, yaitu sebagai berikut:
1. Mobilitas fisik (moilitas geografis), yaitu berpindahnya penduduk dari
suatu tempat ke tempat lain.
2. Mobilitas sosial, dimana mereka yang bersangkutan berganti statusatau
pekerjaan.
3. Mobilitas psikis, mereka yangbersangkutan mengalami perubahan sikap
yang disertai tentunya dengan goncangan jiwa.
Mobilitas penduduk secara permanen disebut juga migrasi, yaitu orang yang
berpindah mempunyai niat untuk menetap di daerah tujuan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Rusli (1996:136) bahwa:
Seseorang dikatakan melakukan migrasi apabila ia melakukan pindah tempat
secara permanen atau relatif permanen (untuk jangka waktu minimal tertentu)
dengan menempuh jarak minimal tertentu, atau pindah dari satu unit geografis
lainnya. Unit geografis sering berarti administratif pemerintah baik berupa
negara maupun bagian-bagian dari negara. Migrasi adalah salah satu bentuk
gerak penduduk geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari
tempat asal ke tempat tujuan.
Mobilitas penduduk non-permanen terjadi apabila seseorang pindah ke daerah
lain dengan tidak ada tujuan untuk menetap, tetapi kembali ke daerah asal dalam
jangka waktu tertentu. Penduduk desa banyak yang memilih pola mobilitas nonpermanen karena ada faktor-faktor lain yang dapat mengikat mereka untuk tetap tinggal
di desa seperti keluarga dan sumber pendapatan yang ada di daerah asal. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Mantra (1985:15) bahwa: “Faktor-faktor yang menyebabkan
mobilitas non-permanen lebih banyak dari mobilitas permanen”.
39
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Penduduk
Pada dasarnya ada dua pengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang melakukan mobilitas, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Munir (1981:119-120) sebagai berikut:
Faktor-faktor pendorong yaitu:
1. Makin berkurangnya sumber-sumber alam, menurunnya permintaan atas
barang-barang tertentu yang ahan bakunya makin susah diperoleh seperti
hasil tambang, kayu atau bahan dari pertanian.
2. Menyempitnya lapangan kerja di tempat asal akibat masuknya teknologi
yang menggunakan mesin-mesin.
3. Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama, suku di daerah
asal.
4. Tidak cocok lagi dengan adat/budaya/kepercayaan di tempat asal.
5. Alasan pekerjaan dan perkawinan yang menyebabkan tidak bisa
mengembangkan karir pribadi.
6. Bencana alam baik banjir, kebakaran, gempa bumi, musim kemarau
panjang atau adanya wabah penyakit.
Faktor-faktor penarik yaitu:
1. Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki
lapangan pekerjaan yang cocok.
2. Kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
3. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
4. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan misalnya
iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya.
5. Tarikan dari orang yang diharapkan jadi tempat berlindung.
6. Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat
kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang dari desa atau kota kecil.
Dari pendapat di atas faktor pendorong cenderung berasal dari daerah asal,
sedangkan faktor penarik cenderung berasal dari daerah tujuan. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan daerah asal yang secara langsung maupun tidak langsung turut
menyebabkan gerak penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya, di antaranya
sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.
40
Faktor ekonomi, mobilitas penduduk di antaranya terjadi karena ketimpangan
pembangunan dan ketidakmerataan barbagai fasilitas sosial ekonomi antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Todaro yang
dikutip oleh Mantra (1985:18) bahwa “motif utama seseorang melakukan migrasi
adalah ekonomi”.
Faktor kekerabatan, keputusan individu dalam menentukan daerah tujuan
dipengaruhi oleh informasi yang diterima tentang daerah tujuan. Informasi tersebut
biasanya diperoleh dari sanak keluarga/teman yang sebelumnya telah melakukan
mobilitas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Suratman yang dikutip oleh Sunarto
(1985:91) bahwa “informasi tentang daerah tujuan yang diberikan oleh migran atau
famili yang sedang pulang, memegang peranan penting dalam melakukan migrasi ke
tanah seberang”. Berdasarkan pendapat tersebut ternyata faktor adanya teman/keluarga
di tempat tujuan merupakan faktor yang sangat kuat pengaruhnya bagi terjadinya
mobilitas penduduk terutama dari desa ke kota.
Faktor pendidikan, keterkaitan antara faktor pendidikan dengan migrasi secara
umum dikemukakan oleh Lee (1984:9) bahwa:
Volume migrasi di dalam suatu wilayah tertentu berkembang sesuai dengan
tingkat perkembangan dari keanekaragam dalam suatu wilayah itu.
Keanekaragam dalam suatu wilayah merupakan daya tarik bagi penduduk dari
berbagai jenis pendidikan dan tingkat pendidikan. Semakin maju tingkat
pendidikan, semakin maju motivasi penduduk untuk pergi ke daerah lain.
Jadi menurut pendapat di atas seseorang yang tingkat pendidikannya tinggi akan
mempunyai dorongan yang tinggi pula untuk melakukan pergerakan dari daerah asal ke
daerah tujuan, karena dengan bekal pendidikan yang tinggi seorang individu
mempunyai anggapan bahwa mereka akan mampu bersaing di tempat yang baru.
Faktor fasilitas transportasi, dorongan melakukan gerak penduduk bagi para
migran distimulir juga oleh adanya perbaikan sarana/prasarana transportasi yang
mengubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abustam (1989:27) bahwa:
Peningkatan jalan desa dapat meningkatkan pendapatan desa, mendorong dan
memperluas komersialisasi pertanian serta peningkatan produksi pertanian.
Dengan demikian orang-orang desa akan semakin sering melakukan perjalanan
ke kota dengan ongkos murah. Migrasi desa-kota menjadi meningkat, karena
integrasi desa-kota semakin baik.
Berdasarkan pendapat tersebut bahwa, semakin maju hubungan transportasi
antara daerah pedesaan dengan berbagai daerah tujuan, maka arus migrasi akan
semakin besar.
41
Adapun daya tarik dari daerah tujuan yang menyebabkan terjadinya migrasi di
antaranya daya tarik yang bersifat ekonomi merupakan daya tarik utama bagi para
migran untuk datang ke kota. Hal ini sebagaimana dikemukakan Todaro seperti dikutip
oleh Sunarto (1985:43) bahwa:
Motif utama migrasi adalah motif ekonomi dua harapan bagi migran pergi ke
kota adalah (1) ingin mendapatkan pekerjaan di kota, karena di kota menurutnya
banyak jenis pekerjaan; (2) ingin mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi
daripada pendapatan yang diterima di desa.
Dari pendapat di atas motif ekonomi merupakan motif utama para migran
melakukan migrasi. Mereka beranggapan bahwa daerah tujuan atau kota banyak
memiliki kelebihan dibandingkan dengan daerah asal. Kelebihan tersebut tercermin dari
mudahnya mendapat pekerjaan dari berbagai jenis, tingkat upah yang lebih tinggi serta
lengkapnya fasilitas sosial-ekonomi di daerah tujuan.
3. Dampak Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk pada dasarnya menyangkut daerah asal dan daerah tujuan.
Karena itu dampaknyapun akan terjadi pada kedua daerah yang bersangkutan. Dampak
tersebut bisa bersifat positif atau malah sebaliknya bisa juga bersifat negatif.
1. Dampak Mobilitas Penduduk bagi Daerah Asal
Gambaran dampak mobilitas penduduk bagi daerah asal dapat dilihat dari
pendapat Abustam (1989:5) bahwa:
Dampak penduduk ke luar desa mengakibatkan pergeseran pola peranan
anggota-anggota keluarga rumah tangga do desa asal, tercermin dari
meningkatnya peranan ganda wanita dalam rumah tangga maupun di luar rumah
tangga. Di dalam rumah tangga, peranan wanita bertujuan pada status posisinya
sebagai ibu rumah tangga. Di luar rumah tangga peranan wanita bertujuan pada
status posisi lain, mencari nafkah, melakukan pekerjaan produktif di bidang
pertanian dan langsung menghasilkan pekerjaan.
Selain adanya perubahan pola perilaku pada masyarakat pedesaan, mobilitas
penduduk ini juga dapat meningkatkan pendapatan di daerah asal, seperti yang
dikemukakan oleh Abustam (1989:326) menjelaskan bahwa:
Pendatang sementara, terutama yang melakukan gerak sirkuler memberi
sumbangan yang besar bagi peningkatan pendapatan rumah tangga di desa
melalui kiriman dan bawaan uangnya dari kota karena tanggung jawab terhadap
desanya khususnya tanggung jawab terhadap keluarga dan rumah tangganya.
42
Selanjutnya adanya mobilitas penduduk dari desa ke kota, sedikitnya dapat
meningkatkan pengetahuan mereka dibandingkan dengan penduduk yang tidak
melakukan mobilitas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Linner seperti dikutip
oleh Abustam (1989:345) bahwa:
Gerak penduduk ke luar desa, khususnya yang menuju daerah perkotaan atau
urbanisasi dapat mengakibatkan berkurangnya buta huruf atau meningkatnya
pendidikan baik agi migran itu sendiri maupun bagi komunitas atau masyarakat
yang berada di daerah asal seagai akibat komunikasi dengan daerah luar.
Jadi berdasarkan pendapat di atas dengan adanya mobilitas penduduk dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat di daerah asal melalui proses komunikasi
secara langsung maupun tidak langsung dengan daerah luar. Dampak terhadap
pendidikan ini tercermin dari menurunnya angka buta huruf dan kesadaran
menyekolahkan anak-anaknya menjadi meningkat.
Kemudian pengaruh lain dari mobilitas penduduk antara lain terhadap sosial
budaya yaitu gaya hidup (life style), status dan peranan wanita, kehidupan sosial,
partisipasi politik dan seagainya merupakan dampak dari adanya mobilitas penduduk.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Abustam (1989:70) sebagai berikut:
Dampak gerak penduduk bagi rumah tangga dan komunitasnya di daerah asal
antara lain menambah pendapatan rumah tangga, meningkatkan status sosial
dan mutu hidup rumah tangga, mempercepat penerimaan ide-ide baru,
berkurangnya tenaga kerja dan meningkatnya kemampuan membaca dan
menulis, partisipasi ekonomi yang luas; pola perilaku dengan empati yang
tinggi dan pada akhirnya mengakibatkan perubahan sosial dan ekonomi pada
masyarakat pedesaan.
Adapun dampak negatif yang ditimbulkan dengan adanya mobilitas penduduk
ini salah satunya berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian, mengingat komoditas
yang dihasilkan kurang berarti agi mereka dan resiko investasi di sektor pertanian
kemungkinan
gagal leih besar dibandingkan sektor non-pertanian, akibatnya ada
pergeseran orientasi kegiatan masyarakat desa, yang semula bersifat sosial dan
kekeluargaan bergeser menjadi lebih bersifat komersial, dimana segala sesuatu harus
diimbangi dengan materi.
1. Dampak Mobilitas Penduduk bagi Daerah Tujuan
Gejala mobilitas penduduk sering dipandang sebagai masalah terutama
mobilitas penduduk dari desa ke kota. Adanya kebijakan yang berusaha menahan arus
mobilitas penduduk terutama dari desa ke kota adalah wujud dari adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif dari mobilitas penduduk tersebut.
43
Pandangan negatif terhadap mobilitas penduduk, merujuk pada suatu masalah
yang ditimbulkan sebagai akibat mobilitas penduduk terutama dari desa ke kota itu
meliputi timbulnya unsur-unsur marginal (pedagang kaki lima, gubuk-gubuk liar,
gelandangan, dan lain-lain), pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, kemacetan
lalu lintas, pengangguran, dan sebagainya. Namun kenyataannya urbanisasi juga
banyak membawa manfaat bagi kota atau daerah tujuan, hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Suharso (1972:27-28) bahwa:
Kalau kita renungkan sejenak dan meneliti siapa-siapa yang turut ambil bagian
dalam proses uranisasi tersebut, dimana komponen terdiri erbagai ragam orang,
dengan berbagai ragam pula keterampilan yang dimilikinya, maka kita akan
cepat pula menarik kesimpulan bahwa urbanisasi dapat dipakai sebagai pertanda
adanya angin pemangunan. Sebagai contoh orang-orang yang bedagang di
pinggir jalan, sampai toko-toko mentereng, orang-orang seagai pemegang
tampuk pimpinan baik sipil maupun militer, bukankah mereka juga sama
merupakan pendatang. Dilihat dari sudut lain, pembangunan umpamanya,
pembuatan jalan, saluran irigasi, pendirian gedung dan lain-lain, berapa
banyakkah penduduk yang tidak termasuk golongan pendatang yang turut
dalam proses pembangunan tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas, ternyata urbanisasi tidak selamanya menimbulkan
dampak negatif. Banyak pendatang akan menjadi pelaku pembangunan di kota yang
didatanginya. Aktivitas pembangunan fisik yang dilaksanakan di kota kebutuhan tenaga
kerjanya hampir sebagian besar berasal dari daerah pedesaan.
Dampak positif mobilitas penduduk bagi daerah tujuan atau kota juga
dikemukakan oleh Abustam (1989:374) bahwa:
Pengaruh migrasi terhadap kota yang bersifat positif tercermin antara lain dalam
keberhasilan migran mengadakan penyesuaian dengan kehidupan kota.
Partisipasi migrasi terhadap berbagai pengelompokan pekerjaan di kota pada
sektor informal dan sektor formal serta adanya pengelompokan pekerjaan
(Ocupational Clustering) merupakan sumbangan yang nyata terhadap pasokan
tenaga kerja di kota.
Jadi jelaslah dampak mobilitas penduduk agi daerah tujuan tidak selamanya
menimbulkan dampak negatif tetapi ada juga sisi positifnya bagi kemajuan dan
perkembangan wilayah yang di datanginya. Peran mereka yang tidak terserap di dunia
kerja yang formal, mereka dapat menciptakan lapangan kerja sendiri lewat sektor
informal, dan terbukti sektor ini diakui mampu menggerakan roda perekonomian.
44
F. Sekilas tentang Perubahan Sosial
Masyarakat manusia di manapun tempatnya pasti mendambakan kemajuan dan
peningkatan kesejahteraan yang optimal. Kondisi masyarakat secara obyektif
merupakan hasil tali temali antara lingkungan alam, lingkungan sosial serta
karakteristik individu. Ketiga-tiganya selalu berhubungan antara satu sama lain
sehingga membentuk sebuah bangunan masyarakat yang dapat dilihat sebagai sebuah
realitas sosial. Perjalanan panjang dalam rentangan periode kesejarahan telah mengajak
masyarakat manusia menelusuri hakikat kehidupan dan tata cara kehidupan yang
berkembang pesat. Kemampuan akal budi sebagai instrument unggulan manusia telah
melahirkan beraneka ragam karya cipta melesat melampaui aspek-aspek material
dilingkungan luarnya.
Dengan demikian, senjata pamungkas tersebut rupanya berperan besar
menafsirkan realitas sosial yang selama ini dipandang sebagai kenyataan alamiah yang
steril dari kemungkinan intervensi kekuatan manusia.
Kiranya semenjak diakuinya kemampuan akal mengungkap kekuatan alam,
secara perlahan-lahan kalangan pemikir mulai melirik masyarakat sebagai obyek yang
mampu dipahami gejalagejalanya lalu dikendalikan dan disusun rekayasa sosial
berdasarkan pemahaman menyeluruh tentang kondisi obyektif masayarakat tersebut.
Lahirnya ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi manandai bahwa masyarakat
sebagai kenyataan kini dipahami seperti sebuah benda yang bisa “diutak-atik”. Begitu
pula tentang perubahan sosial, terlepas dari berbagai definisi perubahan sosial, pada
hakikatnya telah mampu mengungkap hukum-hukum dan antisipasi proses-proses
sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap peradaban manusia.
Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk peradaban manusia
akibat adanya ekskalasi perubahan alam, biologis maupun kondisi fisik maka pada
dasarnya perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang
hidup. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai dari kelompok
terkecil seperti keluarga sampai pada kejadian yang paling lengkap mencakup tarikan
kekuatan kelembagaan dalam masyarakat.
Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki
manfaat untuk memahami kehidupan manusia dalam kaitan dengan lingkungan
kebudayaannya. Kehidupan manusia adalah satuan sosial terkecil, dalam pola
belajarnya akan berhadapan dengan tiga sistem aktivitas. Menurut Peter Senge, 2000
45
(dalam Salim, 2002) bahwa manusia akan menjumpai (1) ruang kelas dalam sekolah:
manusia akan belajar dalam lingkungan kelas sehingga melibatkan unsur guru, orang
tua dan murid. (2) Lingkungan sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan
sekolah sehingga melibatkan unsur kepala sekolah, kelompok pengajar, murid di kelas
lain dan pegawai administrasi. (3) lingkungan komunitas masyarakat: manusia akan
belajar dari lingkungan komunitasnya sehingga mencakup peran serta masyarakat,
kelompok-kelompok belajar sepanjang hidup, birokrasi yang mendukung, sumber
informasi yang luas dan beragam dll.
Dengan begitu kehidupan manusia tidak dapat dilepas dari peran ketiga
lingkungan sistem aktivitas belajar dan mencermati dirinya, terbentuknya kesadaran,
pengalaman yang menggelitas dan keberanian untuk mulai menapak menggunakan
potensi yang dimilikinya. Analogi dengan pemikiran itu, apa yang dapat dinyatakan
dengan lengkap, perubahan sosial adalah suatu proses yang luas, lengkap yang
mencakup suatu tatanan kehidupan manusia. Perubahan sosial tidak hanya dilihat
sebagai serpihan atau kepingan dari peristiwa sekelompok manusia tetapi fenomena itu
menjadi saksi adanya suatu proses perubahan empiris dari kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu daya serap perubahan sosial akan selalu merembes ke segala
segi kehidupan yang dihuni oleh manusia, khususnya dalam sektor pendidikan.
Perubahan sosial akan mempengaruhi segala aktivitas maupun orientasi pendidikan
yang berlangsung. Intervensi kekuatan proses tersebut juga mencakup semua proses
pendidikan yang terjadi di berbagai sektor lain masyarakat. Baik dari tingkat basis
keluarga sampai interaksi antar pranata sosial. Sebagai bagian dari pranata sosial,
tentunya pendidikan akan ikut terjaring dalam hukum-hukum perubahan sosial yang
terjadi di dalam masyarakat. Sebaliknya, pendidikan sebagai wadah pengembangan
kualitas manusia dan segala pengetahuan tentunya menjadi agen penting yang ikut
menentukan perubahan sosial masyarakat ke depan. Karena perubahan sosial mengacu
pada kualitas masyarakat sementara kualitas masyarakat tergantung pada kualitas
pribadi-pribadi anggotanya maka tentunya lembaga pendidikan memainkan peranan
yang cukup signifikan menentukan sebuah perubahan sosial yang mengarah kemajuan.
Mengingat begitu eratnya keterkaitan perubahan social dengan pendidikan maka
pembahasan perubahan sosial menempati ruang tersendiri dalam analisa sosiologi
pendidikan. Sebagai bagian dari gejala sosial maka upaya untuk mengupas perubahan
sosial akan tetap merujuk pada ilmu induk yang menaunginya yakni sosiologi.
46
1. Teori Perubahan Sosial
Berbicara mengenai perubahan sosial tidak lepas dari konteks filsafat barat,
yaitu suatu pandangan terhadap kemajuan manusia dalam masyarakat yang ditimbulkan
oleh kemajuan masyarakatnya. Ilmu pengetahuan yang berasal dari barat ditopang oleh
dua kelompok pemikiran utama yaitu filsafat yunani dan perilaku kehidupan kekristenan yang sifatnya progresif dan perfeksionistis.
Dalam filsafat yunani intinya memiliki beberapa pemikiran yang sifatnya
konsisten menghubungkan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dimana
masyarakat yunani mengutamakan prinsip empiris yang menghubungkan perilaku
manusia dalam alam lingkungannya. Lingkungan alam sebagai obyek terdekat manusia
menjadi pusat rujukan kesadaran memahami dunia. Dengan melihat hukum
pertumbuhan dalam makhluk hidup maupun gejala-gejala luar, manusia Yunani
mengadopsi proses-proses alamiah tersebut diterjemahkan dalam kehidupannya.
Pertumbuhan memerlukan arah yang berujung pada kematangan atau
kesempurnaan. Dari sini manusia mengenal tentang konsep hasil sebagai buah dari
aktivitas usaha yang bertujuan. Selama itu pula, manusia yunani mulai mengenal
konsep waktu dengan merasakan bagaimana daun itu tumbuh yang memerlukan sinar
matahari. Pada akhirnya dipahami hasil dari pengamatan bahwa kehidupan biologi
memiliki pola pertumbuhan yang sifatnya umum. Proses yang berlangsung selama
pertumbuhan itu berlangsung juga berangkat dari tahapan-tahapan tertentu yang bias
dijadikan sebagai hukum perkembangan. Bagitulah kiranya uraian singkat mengenai
empirisme orang Yunani yang berhasil menarik paradigma masyarakat barat menjadi
kiblat pemikiran utama.
Pada konsep hidup kristiani, dinyatakan bahwa manusia sebagai individu
tumbuh melalui arah serta pola tertentu. Pertumbuhan manusia sebagai individu
mengarah pada kesempurnaan. Gagasan berubah secara gradual melalui tahap-tahap
tertentu.
Kedua sumber tersebut nampaknya memiliki kesamaan memicu pemikiran
rasionalisitik yang menghinggapi masyarakat eropa barat. Keyakinan utama yang
selama ini diterima dikalangan masyarakat menyatakan bahwa perubahan dalam
masyarakat terjadi dari masyarakat transisi menjadi masyarakat “maju” yaitu
masyarakat industrial-modern.
47
Selama ini pengkajian teori-teori sosial klasik ada tiga tokoh utama yang
membuat teori dasar tentang perubahan masyarakat, mereka adalah Karl Marx, Emile
Dhurkiem dan Max Weber. Kelompok teoritikus lain yang sejaman maupun penerus
mereka akan menjadi bagian dari tiga kekuatan gerbong pemikiran besar dari ketiga
tokoh pemikir tersebut.
a. Teori Perubahan Sosial : Menurut Teori Klasik
Teori sosiologi klasik muncul dari tiga tokoh (Karl Marx, Max Weber, dan
Emile Durkhiem). Tokoh-tokoh tersebut secara khusus menjadi peletak dasar dari
konstruksi teori yang nantinya menjadi induk perkembangan teori-teori sosiologi.
Dalam memahami perubahan sosial ketiga tokoh ini berusaha memahami fenomena
perubahan secara radikal terutama untuk masyarakat barat yang sedang beralih dari
struktur agraris ke struktur industri.
Meskipun pemikiran ketiga tokoh pendiri sosiologi tersebut menunjukkan kiblat
eropa baratnya, namun kalangan akademisi di Indonesia tetap menampilkan ketiga
tokoh tersebut dalam membicarakan beragam fenomena sosial.
Ketiga tokoh itu merupakan peletak dasar ilmu sosiologi, yang muncul di eropa
pada awal abad ke 19. Pemikiran mereka membawa khasanah berpikir ilmu-ilmu sosial,
khususnya sosiologi memasuki babakan baru sejarah manusia yang bernama
‘modernisasi’. Ketiga tokoh ilmu sosial itu melahirkan pemikiran hampir secara
bersama-sama, ketika terjadi proses industrialisasi pertama di Inggris, yaitu ketika
mesin-mesin industri mulai dimanfaatkan untuk menggantikan keberadaan tenaga
manusia.
Dalam kaitan dengan proses industrialisasi juga mulai dirasakan perubahan
pada pola hubungan antar individu manusia. Proses perubahan sosial yang meluas juga
mulai dirasakan sampai pada sendi-sendi kehidupan agraris masyarakat negara
berkembang. Negara-negara tersebut juga merasakan seperti yang pernah dialami oleh
kalangan negara maju seabad yang silam, dengan demikian pernik-pernik pemikiran
ketiga tokoh ilmu sosial itu masih memiliki kekuatan generalisasi terhadap kehidupan
masyarakat di negara berkembang.
1) Karl Marx (1818-1883)
Uraian tentang Marx ini sebagian besar disarikan dari buku Kapitalisme dan Teori
Sosial Modern yang ditulis oleh Anthony Giddens (1985). Pada dasarnya sumber
pemikiran dari filsafat Marx banyak terinspirasi dari Hegel dan Imanuel Kant. Dari
48
Kant, Marx berhutang mengenai prinsip bahwa hakikatnya manusia berangkat dari
kesempurnaan tetapi di dalam dunia dia masuk pada alam yang serba terbatas, kotor
dan tidak suci. Disini untuk mewujudkan kembali kebenaran dan kesucian manusia
menjadi tugasnya untuk memperjuangkan nilai-nilai hakiki manusia dalam tatanan
kehidupan. Sementara dari Hegel, Marx berhutang mengenai falsafah dialektika.
Bahwa hukum kebenaran selalu berangkat dari proses dialektis (saling bertentangan
untuk menyempurnakan). Sebuah tesis pernyataan kebenaran akan dipertentangkan
kelemahannya dengan antitesis. Proses pertentangan antara tesis dan antithesis pada
akhirnya akan menghasilkan kebenaran baru yang lebih relevan sebagai perpaduan
kedua kebenaran terdahulu. Sampai beberapa waktu berikutnya Marx masih
mengacu pada pemikiran Hegel yang selalu mengasumsikan tentang dua hal yang
kontradiktif kemudian dapat ditemukan sintesisnya sehingga berwujud dialektika.
Pemikiran tentang dialektika ini bernada evolusionis (menuju kesempurnaan),
demikian pula kehidupan dengan sendirinya selalu dibayangkan bergerak mencapai
kesempurnaan. Tetapi dalam perkembangannya Marx berubah, menurutnya Emanuel
Kant dan Hegel adalah orang yang idealis, terlalu menerawang, apa yang mereka
pikirkan justeru tidak nyata. Ide yang ditawarkan adalah pikiran itu sendiri, sehingga
gagal untuk bersenyawa dengan kenyataan-kenyataan empiris.
a) Tentang Materialisme
Bagi Marx kontradiksi harus pula terjadi di tingkat sejarah yang bertolak dari
materi (bukan dari pemikiran). Konsep Marx yang kemudian dikenal sebagai
Materialisme Historis, mengung kap bahwa perilaku manusia ditentukan oleh
kedudukan materinya bukan pada idea karena ide juga bagian dari materi pula.
b) Tentang Sistem Ekonomi
Dalam konsep Marx sistem ekonomi memiliki 4 unsur. Sebagaimana dikutip
Salim (2002) sistem tersebut meliputi: (1) system produksi, (2) sistem distribusi,
(3) sistem perdagangan dan (4) system konsumsi.
(1) Sistem produksi, berarti menyangkut seluruh proses produksi barang-barang
konsumsi. Di dalam sistem ini meliputi proses pembuatan bahan sampai
menjadi barang baru, lalu dilanjutkan reproduksi barang-barang tersebut
sehingga bias menghasilkan keuntungan.
(2) Sistem distribusi. Usaha untuk meneruskan dari tempat produksi menuju ke
wilayah konsumen.
49
(3) Sistem perdagangan. Merupakan proses pertukaran barang yang telah
diproduksi.
(4) Sistem konsumsi. Semua unsur yang ikut terlibat dalam konsumsi suatu
barang hasil produksi.
Semua unsur-unsur diatas tercakup dalam suatu hubungan sosial berwujud
relasi sosial dari mode produksi. Mengingat Marx berpijak pada masyarakat
industri maka konsep sistem ekonominya terfokus membahas hubungan kerja
antara pemilik modal dan buruh. Intinya melalui relasi sosial dari model produksi
industri ternyata lebih banyak menguntungkan para pemilik modal sendiri. Buruh
selain harus bekerja keras dengan upah yang minim juga menggadaikan semua
potensi kemanusiaan termasuk jaminan untuk tetap hidup. Dalam hal ini perlu ada
upaya untuk menuntut keadilan sosial agar penindasan para pemilik modal tidak
berlarut-larut. Hal itu bisa dilakukan dengan mengubah mode produksi yang
tadinya memihak kelas kapitalis menjadi mode produksi yang berbasis dari kaum
tertindas (para pekerja).
c) Tentang Surplus Value
Konsep ini lebih mengupas tentang keuntungan berlebih yang seharusnya menjadi
hak para buruh. Namun karena kekuasaan alat-alat produksi maka hak itu diambil
alih secara sepihak oleh pemilik modal. Sebagaimana diungkap oleh Salim
(2002), ada dua keuntungan yang diperoleh pengusaha yaitu:
(1) Keuntungan utama, yang diperoleh melalui sisa waktu lebih dari kerja buruh.
Namun dalam prosesnya buruh tidak pernah menerimanya sehingga tidak
merasa dirugikan. Sehingga keuntungan itu diraup oleh pengusaha dan secara
sepihak dianggap sebagai haknya yang sah.
(2) Keuntungan sekunder, yakni ukuran harga jual barang hasil produksi dengan
mengacu pada biaya produksi, tanpa memperhitungkan harga tenaga yang
dikeluarkan oleh buruh.
Dalam kondisi tersebut sebenarnya telah terjadi penghisapan secara terselubung,
yang dari masa ke masa senantiasa menyulitkan posisi buruh dalam menuntut
haknya.
d) Dinamika Perubahan Sosial Menurut Marx
Acuan konsep materialisme historis telah menegaskan bahwa sejarah perubahan
dan perkembangan manusia selalu berlandaskan pada kondisi sejarah kehidupan
material manusia. Dalam hal ini mode produksi, sebagai basis ekonomi dan
50
infrastruktur masyarakat sangat mempengaruhi proses hubungan-hubungan sosial
yang terjadi. Uraian refleksi sejarah masyarakat menurut Marx berangkat dari
masyarakat primitif tanpa kelas. Lalu disusul masyarakat feodalis, dimana
kapitalisme dalam tahap awal sudah mulai nampak. Kemudian masyarakat akan
beranjak menuju masyarakat industrialis kapitalis, dimana sumber daya kekuatan
ekonomi telah dikuasai oleh para pemilik modal dan melangsungkan serangkaian
proses penghisapan yang merugikan kalangan pekerja. Pada akhirnya, asumsi
Marx menyatakan bahwa kapitalisme akan menemui kehancurannya sendiri, dan
segera masyarakat pekerja mampu mengambil alih perangkat-perangkat produksi.
Dalam tahap selanjutnya seluruh sumber daya yang ada menjadi milik bersama
dan masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat komunis. Dalam
masyarakat tersebut penggambaran Marx menekankan bahwa pola pikir
masyarakat sangat rasional dimana dalam struktur kehidupan sudah bertahtakan
ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi. Sumber daya material itu tidak merugikan
pihak-pihak tertentu karena struktur sosial sudah menghapus kelas sebagai sarang
diskriminasi dan ketidakadilan.
Dari paparan diatas, maka secara garis besar dapat ditangkap beberapa formulasi
penting menurut Marx mengenai dinamika perubahan sosial :
(1) Perubahan sosial berpusat pada kemajuan cara atau teknik produksi material sebagai
sumber perubahan sosial-budaya. Pengertian tersebut meliputi pula perkembangan
teknologi dan penemuan sumber daya baru yang berguna dalam aktivitas produksi.
Bagi Marx, teknologi tinggi tidak dapat menghadirkan kesejahteraan sebelum
semuanya dikuasai langsung oleh kaum pekerja. Justeru teknologi menjadi petaka
apabila masih bernaung dibawah kekuatan para pemilik modal.
(2) Dalam perubahan sosial selain kondisi material dan cara berproduksi, maka yang
patut diperhatikan adalah hubungan sosial beserta norma-norma kepemilikan yang
tersusun berkat keberadaan sumberdaya di tangan pemilik modal. Harapan yang
diinginkan bahwa tahap kehidupan komunal menjanjikan masyarakat manusiawi.
Dimana motif dan ambisi individual berganti menjadi solidaritas bersama yang
menempatkan pemerataan sebagai landasan berkehidupan.
(3) Asumsi dasar dari hukum sosial yang bisa ditangkap bahwa manusia menciptakan
sejarah materialnya sendiri, selama ini mereka berjuang menghadapi lingkungan
materialnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam
51
proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk membentuk sejarah dibatasi
oleh keadaan lingkungan material dan sosial yang telah ada.
Dari ketiga formulasi tersebut bagi Marx, perubahan social hanya mungkin
terjadi karena konflik kepentingan materiil. Konflik sosial dan perubahan sosial
menjadi satu pengertian yang setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya
konflik kepentingan material tersebut akan melahirkan perubahan sosial.
2) MaxWeber (1864-1920)
Paparan yang terurai dari penjelasan tentangWeber di bawah ini sebagian besar
diambil dari buku Teori Sosiologi Klasik dan Modern karangan Doyle Paul Johnson
(1986). Suatu sumbangsih pemikiran yang paling dikenal oleh public berkaitan dengan
Weber dalam sosiologi adalah telaah Weber yang cukup detail membahas kiprah akal
budi (rasio) yang dominan dalam masyarakat barat. Dalam masyarakat barat model
rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupannya. Orang barat tampaknya hidup
operational-teknis sehingga perilakunya bisa diperbaiki secara terus menerus. Menurut
Weber, bentuk “rationale” meliputi “mean” (alat) yang menjadi sasaran utama dan
“ends” yang meliputi aspek kultural, sehingga dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya
orang barat hidup dengan pola pikiran rasional yang ada pada perangkat alat yang
dimiliki dan kebudayaan yang mendukung kehidupannya. Orang rasional akan memilih
mana yang paling benar untuk mencapai tujuannya.
a) Tentang Rasionalitas
Dalam pemikiran Weber rasionalitas meliputi empat macam model yang hadir di
kalangan masyarakat. Rasionalitas ini dapat berdiri sendiri namun juga bisa integral
secara bersama menjadi acuan perilaku masyarakat. Sebagaimana dituangkan oleh
Doyle Paul Johnson (1986), rasionalitas menurut Weber meliputi:
(1) Rasionalitas tradisional: jenis nalar yang mengutamakan acuan perilaku
berdasarkan dari tradisi kehidupan masyarakat. Disetiap masyarakat seringkali
diketemukan aplikasi nilai yang merujuk dari nilai-nilai tradisi kehidupan. Hal
ini berdampak pada kokohnya norma hidup yang diyakini bersama. Contohnya:
Upacara perkawinan yang menjadi tradisi hamper semua kelompok etnis di
Indonesia.
(2) Rasionalitas berorientasi nilai: suatu kondisi kesadaran yang menghinggapi
masyarakat dimana nilai menjadi pedoman perilaku meski tidak aktual dalam
kehidupan sehari-hari. Jenis rasio ini biasanya banyak dipengaruhi oleh
52
peresapan nilai keagamaan dan budaya yang benar-benar mendalam. Sebagai
contoh: orang bekerja keras-membanting tulang di kota besar, kemudian
setahun sekali tabungan uang habis untuk mudik kedaerah asal.
(3) Rasionalitas Afektif: jenis rasio yang bermuara dalam hubungan emosi yang
mendalam, dimana ada relasi hubungan khusus yang tidak bisa diterangkan
diluar lingkaran tersebut. Contohnya: hubungan suami-istri, ibu-anak dan lain
sebagainya.
(4) Rasionalitas Instrumental. Bentuk rasional menurut Weber yang paling tinggi
dengan unsur pertimbangan pilihan rasional sehubungan dengan tujuan dan alat
yang dipilihnya. Disetiap komunitas masyarakat, kelompok masyarakat, etnik
tertentu, ada banyak unsur rasionalitas yang dimiliki dari banyak segi
rasionalitas tersebut hanya ada satu unsure rasionalitas yang paling populer,
yang banyak diikuti oleh masyarakatnya. Sebagai contoh: rasionalitas ekonomi
sering menjadi pilihan utama di banyak masyarakat. Sepanjang sejarah
kehidupan rasionalitas ini bisa menggerakkan banyak perubahan sosialmengubah perilaku kehidupan orang-perorang secara kontekstual.
b) Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Dua bentuk semangat ini merupakan hasil telaahan Weber mengamati bentuk
kemajuan awal kapitalisme di eropa barat yang mendapat dorongan dari ajaran
protestan secara bersamaan. Masyarakat barat yang dikenal mengunggulkan
rasionalitas instrumental (yakni rasionalisme yang paling tepat-guna/efisien serta
efektif demi mencapai tujuan) hadir bersama-sama dengan etika protestan. Weber
menekankan bahwa karakteristik ajaran protestan yang mendukung masyarakat
yakni, melihat kerja sebagai panggilan hidup. Bekerja tidak sekedar memenuhi
keperluan, tetapi tugas yang suci. Bekerja adalah juga pensucian sebagai kegiatan
agama yang menjamin kepastian akan keselamatan, orang yang tidak bekerja adalah
mengingkari sikap hidup agama dan melarikan diri dari agama. Dalam kerangka
pemikiran teologis seperti ini, maka ‘semangat kapitalisme’ yang bersandar pada
cita-cita ketekunan, hemat, berpenghitungan, rasional dan sanggup menahan diri
menemukan pasangannya. Dengan demikian terjalinlah hubungan antara etika
protestan dengan semangat kapitalisme, hal ini dimungkinkan oleh proses
rasionalisasi dunia, penghapusan usaha magis, yaitu suatu manipulasi kekuatan
supernatural, sebagai alat untuk mendapatkan keselamatan. Perkembangan
rasionalisme masyarakat sesuai dengan konsepsi Weber bergerak dari jenis-jenis
53
rasional sesuai tahap-tahap tertentu. Pada awalnya, model rasionalitas bermula dari
masyarakat agraris lalu menuju masyarakat industri.
c) Tentang Birokrasi
Birokrasi merupakan agen perubahan sosial. Menurut Weber, birokrasi meliputi
birokrasi pemerintah maupun birokrasi yang dikelola oleh kaum swasta. Semua
produk asumsi mengenai birokrasi acuan Weber, yakni birokrasi merupakan produk
berpikir barat yang dibangun azas kemodernan sehingga sesuatu yang barat adalah
rasional. Konsepsi birokrasi adalah sistem kerja yang memberi wewenang untuk
menjalankan kekuasaan. Birokrasi berasal dari dua konsep kata (bureau + cracy).
Beareau adalah kantor yang menjadi alat dari manusia dalam hal ini adalah
seperangkat peran yang menghasilkan basis kekuasaan dengan berlandaskan pada
aturan-aturan yang baku. Cracy adalah kekuatan yang kemudian menghasilkan
kewibawaan. Birokrasi bagi Weber merupakan hasil dari tradisi rasional masyarakat
barat yang dicerminkan ke dalam aplikasi lembaga kerja manusia yang mengurusi
segala keperluan teknis untuk memudahkan pelayanan kepada publik atau
konsumen.
3) Emile Durkhiem (1858-1912)
Penjelasan konsepsi pemikiran Emile Durkhiem berikut ini diangkat dari dua
sumber sebelumnya, yakni Doyle Paul Johnson (1986) dalam judul Teori Sosiologi
Klasik dan Modern dan Anthony Giddens (1985) berjudul Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern. Dari ketiga tokoh pendiri sosiologi maka sesungguhnya Durkhiem-lah yang
merintis konsepsi tentang keteraturan sosial. Hal tersebut berangkat dari kekhawatiran
Durkhiem melihat ketidakpastian dan kekacauan masyarakat barat pasca revolusi.
Akibat revolusi industri yang berlangsung di Inggris dan daratan Eropa,
mengakibatkan perubahan sosial yang sangat cepat dan meminta banyak korban. Emile
Durkhiem merisaukan keadaan itu terutama yang terjadi di Perancis. Perubahan yang
terlalu cepat dan radikal membawakan akibat dalam sekup sosial kecil maupun
ancaman tatanan sosial makro. Untuk mengatasi dampak perubahan yang sangat cepat
itu ia menawarkan kajian sosiologi peru bahan sosial yang merupakan hasil rekayasa
dan perubahan social yang stabil dengan tetap berafiliasi kepada status quo.
a) Pendekatan Sistem
Pembahasan ini sebenarnya berfungsi untuk mengantisipasi agar ketidakpastian
masyarakat tidak semakin parah. Masyarakat diibaratkan seperti organisme hidup,
54
yang dapat dianalisa dengan penjelasan sebuah struktur yang saling berfungsi.
Dalam hal ini organisme hidup maksudnya makhluk hidup seperti juga manusia,
hewan dan tumbuh-tumbuhan memiliki organisme yang hidup dalam satu tatanan
sistem, masing-masing organ akan memiliki fungsi sendiri-sendiri dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Jika satu organ tidak berfungsi maka akan membuat organ
lain macet atau terganggu. Oleh karena itu asumsi-asumsi yang dibangun dalam
pendekatan sistem adalah:
(1) Suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagiannya secara totalitas yang
menggambarkan suatu sistem yang utuh.
(2) Masing-masing bagian memiliki fungsi yang saling mengisi untuk mendukung
eksistensi sistem.
(3) Terdapat sebuah hubungan antara subsistem secara terpadu dan kokoh.
4). Kekokohan hubungan antar unsur memberikan tingkat ketergantungan yang
sangat tinggi antar elemen.
Melihat penekananya pada hubungan yang saling mengisi dalam keterpaduan
sistemik, maka pendekatan sistem menganggap bahwa perubahan sosial merupakan
kondisi abnormal, karena disinyalir proses-perubahan merupakan cerminan dari
goyahnya keseimbangan unsur di dalam sistem sosial, oleh karena itu unsurunsur di
dalam sistem tersebut perlu mengupayakan kondisi seperti sedia kala agar aktivitas
unsur-unsur lain tidak terganggu. Sehingga di dalam pendekatan sistem menekankan
hal-hal:
(1) Equilibrium atau keseimbangan. Yaitu suatu keadaan dimana diutamakan
terjadinya keseimbangan kekuatan sehingga tidak terjadi perubahan sosial yang
mengarah pada penghancuran sistem yang ada.
(2) Faktor eksternal, yakni faktor-faktor di luar sistem yang diproyeksikan selalu
menjadi penyebab utama proses perubahan sosial.
(3) Konsensus, yaitu proses pencapaian kesepakatan sosial dari orang-orang atau
lembaga yang terlibat dalam konflik sosial.
b) Teori Perubahan Sosial
Durkhiem adalah penganut teori perubahan sosial bertahap, mengenal dua tahap
perkembangan masyarakat yang disebut dengan evolusionistic unilinear. Menurut
Durkhiem, dengan perspektif struktural fungsional, menyatakan bahwa struktur yang
pertama kali berubah adalah struktur penduduk. Perubahan ini akan menyeret
perubahan lain. Pada awalnya memang selalu bertolak dari kondisi yang seimbang.
55
Tetapi proses waktu yang berkembang menjadikan populasi jumlah penduduk
meningkat pesat. Terjadi perubahan penduduk, yaitu tingkat kepadatan penduduk,
menjadikan kondisi yang tidak seimbang. Konsep Emile Durkhiem mengenai
perubahan sosial bertolak dari konsepsi pembagian kerja, yang menyatakan bahwa
proses pembagian kerja berkembang karena lebih banyak individu dapat berinteraksi
satu sama lain. Hubungan aktif berasal dari “kepadatan dinamis atau moral”
masyarakat, menjadi dua sifat utama. Pertama kepadatan yang bersifat demografis,
yakni bersumber pada konsentrasi penduduk, terutama beriringan dengan
perkembangan kota. Kedua kepadatan yang bersifat teknis akibat meningkatnya alatalat komunikasi dan transportasi secara cepat. Dengan berkurangnya ruang yang
memisahkan segmen sosial, maka kepadatan masyarakat akan meningkat. Karena itu
faktor utama penyebab pertumbuhan pembagian kerja adalah meningkatnya
kepadatan (moral) masyarakat. Proses pembagian kerja itu memiliki mekanisme
tertentu, bagaimana peningkatan kepadatan moral pada umumnya meningkatkan
jumlah penduduk, menghasilkan peningkatan diferensiasi sosial atau pertumbuhan
pembagian kerja.
Bagi Durkhiem kepadatan penduduk yang maksimal mengakibatkan persaingan
dan kompetisi dikalangan penduduk menjadi sangat ketat. Hal itu memicu anggota
masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja baru yang menimbulkan spesialisasi
kerja. Hubungan yang tercipta pun akan semakin mengkerucut menjadi hubungan
yang mengarah kepada pekerjaan dalam suatu komunitas pekerjaan. Pada struktur
masyarakat yang digambarkan oleh Durkhiem, perwakilan orang dalam lembaga
legeslatif tidak lagi didasarkan pada latar belakang suku atau ras, melainkan dari
komunitaskomunitas
pekerjaan.
Ide-ide
yang
dominan
berkembang
akan
mencerminkan dinamika interaksi hubungan antar profesi atau seprofesi, oleh karena
itu kohesi sosial yang paling kuat terbentuk
dari ikatan pekerjaan.
b. Dialog Tiga Tokoh Klasik dalam Konsepsi Perubahan Sosial
Kajian teoritis dari perubahan sosial menurut tiga tokoh sosiologi klasik ini
sudah sangat dikenal di-Eropa sejak dua abad silam. Lalu kemudian berkembang
menjadi mainstream berpikir para ahli muda yang hidup setelah generasi mereka.
Terlihat jelas ketiga tokoh itu memiliki spesifikasi epistemologi yang berbeda secara
teoritik, sehingga melahirkan paradigma teoritik tersendiri.
56
Ketiga pemikir itu berkembang menjadi suatu acuan besar mana kala banyak
orang belajar tentang sosiologi, sejauh itu ketiganya banyak mewarnai cara-cara
berpikir, melahirkan asumsi-asumsi, dasar teoritik dan kemudian menjadikan
paradigma besar dalam sosiologi.
Menurut pengamatan ketiga tokoh peletak sosiologi itu memiliki pendapat yang
saling menyambung, atau bisa saja dikatakan saling melengkapi. Namun disisi lain
pemikiran mereka sebenarnya merupakan upaya saling mengkritisi satu sama lain.
Dalam hal ini Karl Marx bahkan berperan sebagai pengantar awal yang menjadi acuan
tindakan saling kritis dengan pemikiran Emile Durkhiem dan MaxWeber yang datang
kemudian.
Pandangan tentang dunia dan perubahan sosial dari ketiga pemikir sosiologi itu
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Konsep perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang saling mencari pengaruh,
yaitu kubu materialisme (dipelopori Marx dan Durkhiem) dan kubu idealisme
dipoelopori oleh Weber. Pemikiran Weber pada awalnya setuju dengan ide dasar
pemikiran Marx, namun ia tidak setuju menempatkan manusia sebagai robot, karena
individu memiliki tempat terhormat. Dalam proses perubahan sosial, Marx
menempatkan kesadaran individu, sejajar dengan kesadaran kelas, ideologi dan
budaya yang kemudian medium perantara antara struktur dan individu.
2) Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealism Hegel, yang menyatakan
bahwa didunia ada yang mendominasi yakni semangat nasionalisme. Sementara
Durkhiem lebih terfokus mengamati semangat kelompok yang mengikat anggota
sehingga dapat dijadikan sebagai unit analisa. Kekuatan Durkhiem memang terletak
pada analisis tentang perilaku masyarakat dalam fakta sosial. Pada kesempatan ini
Weber, mengakui bahwa masyarakat memang merupakan unit analisa tetapi tidak
memiliki kekuatan determenistis diikat oleh spirit yang seragam. Masyarakat
memiliki dinamika sendiri-sendiri yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Bagaimanapun masyarakat tetap merupakan unit yang kompleks dan dapat dianalisa
secara beragam. Pada Masyarakat modern (Weber dan Marx) memiliki kesamaan
pandangan, bahwa masyarakat itu diikat oleh spirit dalam struktur kapitalis.
Perubahan sosial adalah suatu fenomena yang sama, tapi ketiga tokoh tersebut
menjelaskan dengan perspektif dan teori yang berbeda. Bagi Marx, perubahan sosial
dipacu dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat terjadi
sangat cepat. Sebagai akibatnya mode produksi masyarakat mengalami perubahan
57
sangat cepat dan mendasar. Menurut pandangan Weber, dinyatakan bahwa sebelum
terjadinya perubahan teknologi terlebih dahulu terjadi perubahan gagasan baru
dalam pola pemikiran masyarakat (dalam hal ini Weber memfokuskan Etika
Protestan sebagai pendorong berkembangnya semangat kapitalisme). Di setiap
masyarakat ada suatu sistem nilai yang hidup dan tumbuh secara khusus, yang
membedakan masyarakat satu dengan lainnya. Nilai yang merupakan gagasan
tersebut akhirnya menjadi kekuatan dominan dari suatu kelompok masyarakat, yang
membedakan keberadaanya dengan masyarakat lain. Sementara Emile Durkhiem
lebih bertolak kepada keteraturan masyarakat yang menjamin terciptanya
keseimbangan sosial. Bagi Durkhiem pendekatan individu sebagai reduksi perilaku
ekonomi, yang menurunkan manusia dalam teori pertukaran pasar dengan sendirinya
menempatkan individu tidak bermoral. Oleh karena itu, Durkhiem lebih tertarik
mengungkap fakta sosial sebagai pedoman individu. Dengan asumsi semacam itu
wajar jika Durkhiem menganggap perubahan sosial merupakan kondisi yang
abnormal. Karena secara internal dampaknya akan mengganggu kelancaran aktivitas
organ dalam sistem sosial.
2. Teori Modernisasi dan Teori Ketergantungan dalam Konsep Perubahan Sosial
Konstelasi hubungan dalam tataran dunia antar negara demi menjalankan motif
peningkatan kesejahteraan menimbulkan terjadinya spesialisasi produksi pada tiap-tiap
negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimiliki. Dalam hal ini, konsekuensi
logis yang melanda dunia terdapat dua belahan kelompok Negara yang memiliki fungsi
sesuai dengan potensi dan kemampuan mencetak sumber daya unggulan komparatif.
Secara garis besar dua kelompok negara itu yakni
a. Negara yang memperoleh hasil pertanian dan,
b. Negara yang memproduksi barang industri
Melihat masing-masing sumber daya yang sifatnya fungsional, maka jalinan
hubungan dagang antar kelompok negara tersebut menjadi sebuah kenyataan, secara
teoritis kedua bentuk hubungan akan mendatangkan keuntungan yang seimbang antar
kedua belah pihak.
Selang beberapa waktu selama jalinan hubungan berlangsung, nampak bahwa
negara-negara industri yang padat modal dan teknologi menjadi semakin kaya,
sedangkan negara pertanian justeru jauh tertinggal. Neraca perdangan yang terjalin
antar keduanya tempaknya menjadi timpang. Sebab pada kenyataannya negara yang
58
bertugas memproduksi barang industri, lebih banyak mendapat keuntungan
dibandingkan negara yang memproduksi barang pertanian. Melihat kenyataan
demikian, dalam diri kita muncul serangkaian pertanyaan: apa yang menjadi penyebab
ketimpangan hubungan itu? Mengapa kemudian terjadi dua kelompok negara – yaitu
kelompok negara miskin yang biasanya merupakan negara pertanian dan kelompok
negara kaya yang merupakan negara industri?
Sebagai refleksi atas kenyataan demikian, menurut Budiman (1996) terdapat
dua kelompok teori yang muncul secara berkelanjutan:
Pertama: teori-teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini terutama disebabkan oleh
faktor-faktor yang terdapat didalam negeri-negara yang bersangkutan. Teori
kelompok pertama ini kemudian dikenal dengan Teori Modernisasi.
Kedua: Teori-teori yang lebih banyak mempersoalkan faktorfaktor eksternal sebagai
penyebab terjadinya kemiskinan di negara-negara tertentu. Kemiskinan lebih
banyak dilihat sebagai akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang
menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya.
Teori-teori ini masuk dalam kelompok teori struktural yang kemudian
melahirkan Teori Dependensia atau Teori Ketergantungan.
a. Teori Modernisasi
Pada hakikatnya daya pikir dari teori modernisasi lebih berorientasi pada
pembentukan mentalitas baru bagi manusia di negara-negara berkembang.
Dengan menempa kesadaran manusia agraris agar menerima pola pikir barat
yang cenderung “rasional instrumental” maka konsepsi modernisasi menjadi
komoditi di kalangan masyarakat yang menempatkan mentalitas sebagai
penyebab perubahan.
Karena modernisasi merupakan budaya yang berasal dari barat maka
modernisasi tidak lepas dari keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di
dalam masyarakat lalu konsepsi modernisasi berkembang menjadi asumsi yang
tidak usah dipertanyakan lagi kebenarannya.
Gambaran kematangan masyarakat menurut teori modernisasi, dilukiskan
sebagai sebuah model linear yang bergerak ke arah masyarakat industri.
Masyarakat industri dalam teori modernisasi dibangun dengan orientasi masa
depan yang lebih baik. Kematangan masyarakat menuju masyarakat industri,
memiliki bentuk transisi yang cukup panjang dan lama dalam bentuk orientasi
59
sekarang. Dalam masyarakat transisi bentuk rasionalitas yang diharapkan belum
muncul sebagai potensi utama, sebab modernisasi baru direspons sebagai
‘kekaguman’ bentuk luar dari kebudayaan barat. Namun, sebagian besar
masyarakat di negara berkembang telah melihat bahwa tradisi yang dimilikinya
secara turun temurun merupakan sejumlah faktor yang menghambat kemajuan.
Tradisi ditempatkan sebagai lawan pola pikir modernisasi yang sangat rasional.
Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa modernisasi yang menggejala di Negara
berkembang tidak memperhatikan budaya lokal dan tercerabut dari ekologi
murni masyarakat asli, oleh karena itu bersifat ahistoris.
Dalam teori modernisasi, indikator tingkat kemodernan masyarakat
adalah pada nilai dan sikap hidup maupun system ekonomi yang menghidupinya.
Sementara untuk membedakan manusia modern dan manusia tradisional adalah
pada orientasi masa depannya. Tampaknya teori-teori modernisasi bertolak dari
landasan material yang kuat, suatu bentuk eksploitasi manusia dan alam
lingkungan yang berorientasi pada kelimpahan material.
b. Teori Dependensia atau Ketergantungan
Kemunculan teori dependensia merupakan perbaikan sekaligus antitesis
dari kegagalan teori pembangunan maupun modernisasi dalam menjalankan
tugasnya mengungkap jawaban kelemahan hubungan ekonomi dua kelompok
negara di dunia. Teori ini muncul di Amerika Latin, yang menjadi kekuatan
reaktif dari suatu kegagalan yang dilakukan teori modernisasi. Tradisi berpikir
yang sangat kental dari teori ini timbul akibat kejadian dalam varian ekonomi,
yaitu pada tahun 1960-an.
Dalam konsep berpikir teori ketergantungan, pembagian kerja secara
internasional mengakibatkan ketidakadilan dan keterbelakangan bagi negaranegara pertanian. Dari sini pertanyaan yang muncul adalah mengapa teori
pembagian
kerja
internasional
harus
diterapkan
jika
ternyata
tidak
menguntungkan semua negara ?
Teori modernisasi menjawab masalah tersebut dengan menuding
kesalahan pada negara-negara tersebut dalam melakukan modernisasi dirinya.
Hubungan internasional dalam kontak dagang justru membantu negara-negara
tersebut, melalui pemberian modal, pendidikan dan transfer teknologi. Akan
tetapi teori dependensi menolak jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi.
60
Teori yang bersifat struktural ini berpendapat bahwa kemiskinan yang
dialami negara dunia ketiga (negara pertanian) akibat dari struktur perekonomian
dunia yang bersifat eksploitatif, dimana yang kuat melakukan penghisapan
terhadap yang lemah. Surplus yang seharusnya dinikmati negara dunia ketiga
justeru mengalir deras kepada negara-negara industri maju.
Perkembangan teori ketergantungan selanjutnya sangat terkait dengan,
upaya memahami lingkar hubungan makro antar berbagai negara dalam proses
pembangunan masyarakatnya. Analisa teori ketergantungan cukup futuristik
untuk membahas masalah globalisasi yang mencakup organisasi perdagangan
nasional (World Trade Organization) yang mengatur produksi perusahaanperusahaan Multy National Corporation (MNC). Bahwa sebenarnya telah terjalin
hubungan yang tidak adil antara Negara berkembang dengan negara maju.
Meskipun kelihatannya Negara maju memberi suntikan dana dalam bentuk utang
kepada Negara berkembang, tetapi sebetulnya telah mencekik mereka perlahanlahan dengan membikin tata hubungan ekonomi internasional yang eksploitatif.
Sekelumit uraian dari teori-teori perubahan sosial menurut kacamata sosiologi
diatas hanyalah menunjukkan ilustrasi keragaman analisa sosiologi dalam rentangan
perkembangan produksi teorinya. Masih terdapat turunan teori yang lain lagi, antara
lain: teori sistim dunia dan teori-teori kritis lainnya. Tentu saja kemunculan setiap teori
selalu dilatarbelakangi oleh situasi dominan dibelakangnya. Sebuah teori merupakan
perwujudan dari harapan warga masyarakat pendukungnya. Dari sini teori sosiologi
klasik sesungguhnya lebih berfungsi sebagai pembuka gerbang nalar manusia untuk
mengungkap masyarakat tatkala akal budi yang tercermin dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi tumbuh berkembang menjadi mindset peradaban dunia. Teori-teori
berikutnya lebih membedah kasus-kasus kelemahan seputar perkembangan gerbong
“kuasa nalar” atas dunia. Hingga di penghujung abad ini teori dasar tersebut tengah
mengalami perdebatan serius. Apalagi perbaikan teoritik yang menyusulnya mulai
mendorong potensi masyarakat dunia ketiga untuk tampil dalam panggung sejarah.
Dalam hal ini tentunya pendidikan sebagai bagian dari masyarakat tidak bias
dipisahkan dari arah perubahan yang menggejala. Dinamika orientasi pendidikan selalu
berjalan beriringan dengan konteks wilayah sosial-politik yang menaunginya. Sehingga
pada praktik pendidikan terjadi perbedaan yang menajam antar negara. Negara maju
dengan segala keberhasilan peradabannya tentunya sudah menghantarkan orientasi
61
pendidikan yang menjadi satelit acuan penting bagi aktivitas pendidikan di Negara
berkembang. Sementara itu demi mengejar ketertinggalan, negara berkembang
mencoba menyesuaikan perpaduan hokum perkembangan masyarakat (masih seputar
modernisasi) dengan penerapan sistim pendidikannya.
3. Perubahan Sosial dan Pendidikan
Sejalan dengan penjelasan perubahan sosial di atas maka sebenarnya di
manakah letak posisi pendidikan. Dalam hal ini kita mengingat penuturan Eisentandt
dalam Faisal dan Yasik (1985) institusionalisasi merupakan proses penting untuk
membantu berlangsungnya transformasi potensi-potensi umum perubahan sehingga
menjadi kenyataan sejarah. Pendidikan adalah suatu institusi pengkonservasian yang
berupaya menjembatani dan memelihara warisan budaya suatu masyarakat.
Melihat perkembangan masyarakat yang sering dilanda perubahan secara tibatiba, maka kemungkinan terjadinya dampak negatif yang akan menggejala ke dalam
kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari kehadirannya. Gejala ketimpangan budaya
atau cultural lag, harus dapat diminimalisasi pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan
masyarakat. Untuk itu sebagai lembaga yang berfungsi menjaga dan mengarahkan
perjalanan masyarakat, pendidikan harus dapat menangkap potensi kebutuhan
masyarakat.
Dalam proses perubahan sosial modifikasi yang terjadi seringkali tidak teratur
dan tidak menyeluruh, meskipun sendi-sendi yang berubah itu saling berkaitan secara
erat, sehingga melahirkan ketimpangan kebudayaan. Dikatakan pula olehnya bahwa
cepatnya perubahan teknologi jelas akan membawa dampak luas ke seluruh institusiinstitusi masyarakat sehingga munculnya kemiskinan, kejahatan, kriminalitas dan lain
sebagainya merupakan dampak negatif yang tidak bisa dicegah.
Untuk itulah pendidikan harus mampu melakukan analisis kebutuhan nilai,
pengetahuan dan teknologi yang paling mendesak dapat mengantisipasi kesiapan
masyarakat dalam menghadapi perubahan.
Karl Manheim dalam Faisal dan Yasik (1985) memfokuskan pandangannya
untuk melihat aktivitas sekolah dalam melaksanakan proses pengajaran kepada para
peserta didik. Secara jeli Manheim mengisyaratkan adanya semacam penyimpangan, di
mana para siswa seolah-olah terobsesi pada angka prestasi, padahal tujuan pendidikan
bukan itu.
62
Pembahasan dan analisis mengenai perubahan sosial dan perubahan pendidikan
tidak pernah terlepas dari konsep modernisasi. Sebagai sebuah proses masyarakat
dunia, modernisasi merupakan gejala universal yang dapat dijadikan sebagai kerangka
acuan guna memahami konteks sosial dan pendidikan. Dari sinilah dapat ditarik ruang
interpretasi mengenai perspektif perubahan sosial dan perubahan pendidikan.
Kata atau istilah modernisasi mempunyai banyak definisi. Meskipun bagitu,
namun tetap ada satu kepastian bahwa pengembangan aplikasi teknologi manusia
menjadi muara kelahiran modernisasi. Produk modernisasi sebagaimana terlihat pada
masyarakat modern, ditandai oleh kehidupan industrialistis, dengan struktur pekerjaan
serta ruang sosial yang kompleks, termasuk di dalamnya munculnya diferensiasi sosial
yang semakin tajam.
Dalam menjelaskan tingkat modernisasi suatu masyarakat selain berpatokan
pada kekuatan-kekuatan materiil baik itu ruang lingkup ekonomi maupun aplikasi
teknologinya, ada banyak ahli lain yang mengedepankan pada atribut strukturalnya.
Semisal Parson, Einsantand, Smelser, Buckley dan Marsh. Sebagaimana dituangkan
dalam Faisal dan Yasik (1985) pendapat mereka lebih condong menempatkan
diferensiasi sosial sebagai titik tolak analisisnya.
Menurut mereka paling tidak ada dua alasan, kenapa titik pangkal diferensiasi
sosial begitu pentingnya untuk memahami modernisasi.
a) Diferensiasi merupakan suatu keniscayaan yang pasti dilalui oleh sistem
sosial dalam mengadaptasikan diri terhadap perubahan-perubahan di
lingkungannya, dan
b) Kemampuan untuk melakukan diferensiasi merupakan sebuah indikator
positif mengenai kemampuan suatu sistem dalam menyesuaikan diri sesuai
dengan proses-proses perubahan yang terjadi.
Suatu cara untuk menggambarkan hubungan perubahan dunia pendidikan
dengan tumbuh kembangnya modernisasi, kiranya perlu berangkat dari konsep
deferensiasi. Dengan berkembangnya diferensiasi sosial, secara perlahan-lahan akan
mengubah fungsi dan sistem pendidikan agar berjalan sejalur dengan kecen derungan
sosial tersebut. Perkembangan tersebut ditandai dengan adanya spesialisasi peran serta
merebaknya organisasi di dalam sistem pendidikan, sehingga secara internal
menumbuhkan diferensiasi struktural dalam tubuh pendidikan.
Proses yang mempengaruhi tubuh pendidikan ini dapat digambarkan dalam
pengamatan komparatif antara masyarakat modern dengan masyarakat primitif. Pada
63
masyarakat tradisional proses pendidikan menyatu dengan fungsi-fungsi lain yang
kesemuanya diperankan oleh institusi keluarga. Sedangkan pada masyarakat modern
proses pendidikan lebih banyak dipengaruhi oleh institusi di luar keluarga.
Meskipun terdapat perbedaan karakter pendidikan yang cukup tajam dalam
kedua tipe masyarakat tersebut. Namun pada dasarnya masih tersimpan kemiripan
fungsi pendidikan antarkedua tipologi masyarakat tersebut. Baik pendidikan pada
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, keduanya sama-sama bertanggung
jawab untuk mentransmisikan sekaligus mentransformasikan perangkat-perangkat nilai
budaya pada generasi penerusnya. Dengan demikian, keduanya sama-sama menopang
proses sosialisasi dan menyiapkan seseorang untuk peran-peran baru. Letak
perbedaannya, tanpa banyak perubahan di dalam fungsi pendidikan menjadi semakin
besar dan kompleks. Menurut Faisal dan Yasik (1985) alur perkembangan diferensiasi
pendidikan dapat diterangkan dalam beberapa poin sebagai berikut.
a) Pendidikan pada masyarakat sederhana yang belum mengenal tulisan. Dalam
kehidupan masyarakatnya mengembangkan pendidikan secara informal yang
berfungsi
untuk
memberikan
bekal
keterampilan-keterampilan
mata
pencaharian dan memperkenalkan pola tingkah laku yang sesuai dengan nilai
serta norma masyarakat setempat. Pada tingkatan ini, peran sebagai siswa
dan guru secara murni ditentukan oleh ukuran-ukuran askriptif. Anak-anak
menjadi siswa dilatarbelakangi oleh factor usia mereka, sementara guru
disimbolkan sebagai representasi orang tua yang memiliki derajat karisma
serta kewibawaan untuk mendidik kaum-kaum muda. Spesifikasi peran para
guru itu, juga ditentukan oleh jenis kelamin (yang wanita mengajarkan
memasak sementara para laki-laki mengajarkan berburu).
b) Pada tingkatan yang lebih maju, sebagaian proses sosialisasi teridentifikasi
keluar dari batas keluarga, diserahkan kepada semua pemuda di masyarakat
tentu saja dengan bimbingan para orang tua yang berpengalaman atau
berkeahlian. Kurikulum pendidikan bukan semata-mata kumpulan dari
latihan memperoleh ketrampilan-ketrampilan namun juga ditekankan soalsoal metafisik dan budi pekerti. Mengenai siapa yang berperan sebagai guru,
tampaknya sudah mulai mempertimbangkan bakat dan pengalaman
“berguru” yang pernah diperoleh. Dalam hubungan ini, sang guru bukanlah
orang yang memiliki “spesialisasi khusus” seperti halnya spesialisasispesialisasi sekarang ini, namun para “siswa” bisa belajar banyak mengenai
64
nilai-nilai kehidupan sebab guru dipandang sebagai sumber segala macam
pengetahuan.
c) Dengan berkembangnya diferensiasi di masyarakat itu sendiri, maka
meningkat pula upaya seleksi sosial. Beberapa keluarga atau kelompok
meningkat menjadi semakin kuat dalam segi kekuasaan maupun kekuatan
ekonominya dibandingkan warga masyarakat yang lain. Mereka yang telah
menempati posisi kuat itu, secara formal membatasi akses mengenyam
pendidikan bagi seluruh warga masyarakat. Pertimbangan utama dalam
menentukan siapa-siapa yang menjadi “siswa”, terletak pada latar belakang
kelas atau kterurunan seseorang. Sedangkan seleksi para “guru”, di samping
disyaratkan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, juga
diperhitungkan faktor kecerdasan dan bakatnya. Dari segi kurikulum sudah
diperhitungkan
kebutuhan-kebutuhan
perkembangan
zaman
dengan
memfokuskan perhatian pendidikan pada budi pekerti, hukum, teologi,
kesenian serta bahasa. Guru masih berperan sebagai figur yang menguasai
segala hal daripada sebagai spesialis dari suatu cabang pelajaran tertentu.
d) Pada tingkatan berikutnya hubungan antara pendidikan dengan masyarakat
menjadi kian rumit dan semakin kompleks. Sejalan dengan arus
industrialisasi dan kecenderungan diferensiasi sosial, maka spesialisasi
peranan menjadi cirri istimewa masyarakat pada tingkatan keempat ini. Di
sini pendidikan sudah berjenjang-jenjang begitu rupa, dan kualifikasi para
pengajar sudah tersebar ke dalam bidang keahlian yang beragam pula. Dalam
hubungan ini, sekolah mendapa beban-beban baru, yaitu sebagai pusat
pengajaran bagi masyarakat luas, sebagai media seleksi sosial serta berperan
pula sebagai lapangan pekerjaan.
Pesatnya arus diferensiasi serta spesialisasi selama dekade-dekade terakhir
memicu beberapa perubahan dalam tubuh formasi pendidikan. Hal itu terjadi sebagai
akibat dari mendesaknya permintaan masyarakat akan tersedianya tenaga-tenaga
spesialis yang akan menopang bergulirnya roda kehidupan masyarakat yang tengah
bertumpu pada kekuatan industri produk massal.
Dalam perkembangan ini, sistem pendidikan beranjak pesat menjadi institusi
yang mempunyai “kedudukan penting” terutama dalam menopang perubahan sosial
ekonomi (baik perubahan yang direncanakan maupun tidak), lalu pendidikan
berkembang menjadi “jembatan” prestise dan status, selain juga tampil sebagai faktor
65
utama mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal, baik intra maupun
antargenerasi.
4. Gelombang Kekuatan yang Mengubah Masyarakat Manusia
Sesudah kita melihat bagaimana dan apa perubahan sosial, maka uraian
selanjutnya akan membicarakan berbagai kekuatan sosial yang mengubah dunia yang
mengglobal dewasa ini. Dari berbagai kekuatan yang mengubah kehidupan bersama
umat manusia dewasa ini, terdapat tiga kekuatan yang besar, yaitu (1) demokratisasi,
(2) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi komunikasi dan
informasi, dan (3) globalisasi.
Ketiga kekuatan besar yang sedang mengubah kehidupan umat manusia dewasa
ini selanjutnya akan dilihat pengaruhnya terhadap perubahan-perubahan sosial dalam
masyarakat kita. Perubahan-perubahan tersebut sangat berkaitan dengan kekuatankekuatan global yang tengah melanda masyarakat kita.
Pertama ialah masyarakat kita sedang berubah dari masyarakat yang relative
masih tertutup menuju suatu masyarakat terbuka. Proses demokratisasi yang sedang
melanda seluruh dunia termasuk di Indonesia, telah membongkar kehidupan tradisional
masyarakat kita. Selanjutnya, masyarakat kita sesudah melampai masa krisis yang
terjadi pada penghujung abad 20, akan dituntut melahirkan bentuk nasionalisme baru
yang berhadapan dengan munculnya rasa kesukuan atau tribalisme. Keadaan
masyarakat Indonesia yang pluralistik dalam suku dan budayanya merupakan tantangan
baru terhadap kehidupan nasional.
Kekuatan-kekuatan
yang dibicarakan
tersebut
di
atas tentunya
akan
mempengaruhi proses pendidikan manusia Indonesia yang menuntut kemampuan untuk
berpartisipasi aktif dalam membina masyarakat baru.
a. Kekuatan Demokratisasi
Saat ini gelombang demokratisasi sedang melanda dunia. Semenjak
beberapa waktu lalu dimana-mana telah terjadi penghancuran dinasti
pemerintah otoriter oleh rakyat beriringan dengan tumbuhnya pemerintah yang
demokratis. Meskipun bukannya tanpa hambatan namun dewasa ini menurut
Huntington (1995) gelombang demokratisasi telah mencapai tahap ketiga.
Menurut pengamatannya gelombang demokratisasi yang pertama berakar dari
revolusi Perancis dan revolusi Amerika yang memperjuangkan hak-hak rakyat
untuk mengatur dirinya sendiri.
66
Gelombang kedua terutama terjadi setelah perang dunia kedua dengan
lahirnya nagara-negara baru di Afrika dan Asia dari daerah-daerah bekas
penjajahan. Gelombang ketiga ditandai oleh pemerintah diktator di Eropa
Selatan seperti Portugal telah terjadi penumbangan pemerintahan diktator pada
tahun 1974, diikuti oleh pendemokrasian negara-negara Eropa Selatan lainnya
seperti Yunani dan Spanyol. Sejak tahun 1980 proses demokratisasi mulai
menelan dunia komunis seperti Polandia. Rontoknya Negara-negara komunis
pada penghujung tahun 80-an ditandai oleh rontoknya tembok Berlin yang
memisahkan Berlin Barat yang demokratis dan Berlin Timur yang komunis.
Rontoknya pemerintahan diktator komunis mencapai klimaksnya dengan
bubarnya negara Uni Sovyet. Sampai permulaan abad 21 ini proses
demokratisasi terus berlangsung.
Sampai di sini kita lihat pengertian demokrasi berhubungan dengan
sistem pemerintahan, yaitu pemerintah oleh rakyat melalui para wakilnya di
dalam suatu dewan atau majelis. Demokrasi itu sendiri bukan merupakan suatu
nama benda tetapi lebih merupakan suatu proses yaitu proses demokratisasi.
Perwujudan asas-asas demokrasi terus berkembang sampai dewasa ini. Ada
negara yang telah mapan pelaksanaan demokrasi ada yang baru berada pada
tingkat konsolidasi, ada pula yang baru pada tahap transisi dari pemerintahan
yang diktator ke arah pemerintahan yang demokratis.
Dewasa ini pengertian demokrasi tidak dibatasi kepada pengertian
politik tetapi juga menyangkut hal-hal dalam bidang sosial, ekonomi, hukum,
HAM. Jadi demokrasi telah merupakan suatu sikap dan cara hidup, baik di
dalam lingkungan terbatas maupun di dalam lingkungan bernegara. Kini kita
berbicara mengenai demokrasi sosial, demokrasi ekonomi, penghormatan
terhadap hak asasi manusia, kedudukan hukum yang sama dari setiap warga
negara. Prinsip demokrasi adalah menghargai akan martabat manusia dengan
hak-hak asasinya.
1) Perkembangan Demokrasi
Pada dasarnya demokrasi muncul bersamaan dengan perkembangan
negara kebangsaan (nation-state). Seperti yang telah dijelaskan, munculnya
negara kebangsaan sejalan dengan penolakan manusia terhadap penindasan
pemerintahan absolut dari monarki absolut. Lahirnya negara-negara kebangsaan
pada abad 19 bersamaan pula dengan lahirnya industri modern di Eropa yang
67
dipicu oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Kemajuan hak-hak rakyat biasa mulai
muncul sehingga mengubah cara hidup manusia. Kehidupan perkotaan mulai
marak, hak-hak buruh mulai dimunculkan sehingga tidak jarang terjadi
keributan-keributan sosial yang menuntut perbaikan. Hak asasi manusia mulai
ditonjolkan karena manusia mulai melihat terjadinya ketimpangan-ketimpangan
sebagai ekses kapitalisme. Masalah ekonomi semakin menonjol dan
perkembangan demokrasi banyak dihubungkan dengan perkembangan ekonomi.
Perkembangan ekonomi yang tinggi akan melahirkan kebutuhan untuk
memperoleh pendidikan bagi rakyat banyak terutama di dalam era
industrialisasi. Tenaga kerja manusia diganti dengan mesin dan untuk itu
diperlukan ilmu pengetahuan dan pelatihan bagaimana cara memegang mesinmesin tersebut.
Sejalan dengan meningkatnya mutu sumber daya manusia karena
pendidikan, lahirlah kelas baru di dalam masyarakat yang disebut kelas
menengah. Meluas dan meningkatnya pendidikan bagi rakyat dibarengi dengan
lahirnya kelas menengah yang besar dan kuat, melahirkan budaya baru. Budaya
baru tersebut didukung oleh warga negara yang semakin berpendidikan,
semakin bertanggung jawab dan menguasai berbagai jenis kompetensi yang
diperlukan di dalam masyarakat modern. Semua perubahan ini merupakan
pendukung dari proses demokratisasi.
Perkembangan pemerintahan yang demokratis ternyata mengenal
berbagai tipe atau jenis. Menurut Haynes (2000) ada tiga jenis pemerintahan
yang demokratis, yaitu (1) demokrasi formal, (2) demokrasi permukaan
(fasade), dan ( 3) demokrasi substantif.
Demokrasi formal ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas
dan adil serta kompetitif. Ide pokoknya ialah adanya pilihan yang bebas.
Banyak negara yang masih muda berada di dalam jenis ini. Secara formal
negara-negara itu melaksanakan pemilihan umum namun di dalam praktiknya
negara-negara tersebut tergolong negara diktator. Demokrasi-permukaan
(fasade) dapat kita lihat di dalam bentuk pemerintahan yang kelihatan pada
permukaannya sebagai pemerintahan yang demokratis, tetapi sebenarnya masih
jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Pada hakikatnya pemerintah yang demikian
hanya berbaju demokrasi, tetapi tetap membatasi hak-hak warga negara,
misalnya batasan di dalam mengeluarkan pendapat, pembatasan untuk
68
berkumpul dan berserikat, memberangus pers yang tidak sejalan dengan
pemerintah.
Mungkin saja negara mempunyai perwakilan dari rakyat tetapi sistem
pemerintahannya adalah sistem feodal. Pemerintah mempunyai hak mutlak di
dalam mengatur negaranya meskipun rakyatnya diberi peluang untuk memilih
wakil-wakilnya melalui pemilihan umum. Bentuk yang terakhir ialah demokrasi
substantif. Di dalam pemerintahan yang demokrasi subtantif ialah bukan hanya
dikenal demokrasi formal melalui pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan
adil serta kompetitif, tetapi juga prinsip-prinsip demokrasi dilaksanakan di
dalam seluruh bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Demokrasi telah
menjadi cara dan gaya hidup dari setiap anggotanya.
2) Demokratisasi dan Pendidikan
a) Revolusi Industri
Seperti yang telah diuraikan, revolusi industri telah mengubah banyak
aspek kehidupan. Dengan adanya perkembangan industri maka struktur
produksi dan konsumsi berubah total, dari ekonomi yang tertutup menjadi
ekonomi yang terbuka. Begitu pula struktur permodalan, berubah dengan
lahirnya kapitalisme.
Dari perkembangan industri muncullah suatu kelas baru, yaitu kaum
buruh yang semakin lama semakin kuat dan menuntut hakhaknya. Tidak
mengherankan apabila di dalam revolusi industry melahirkan pemikiranpemikiran perubahan sosial yang baru, seperti komunisme dan sosialisme.
Sejalan dengan itu pula berkembang kota-kota besar sebagai pusat industri.
Terjadilah dorongan ke kota-kota atau urbanisasi yang melahirkan banyak
permasalahan sosial. Sejalan dengan itu pula nilai-nilai masyarakat yang
tradisional dihancurkan oleh lahirnya nilai-nilai baru.
Perubahan nilai tersebut mengubah bentuk-bentuk kehidupan manusia
termasuk kehidupan keluarga. Keluarga sebagai dasar kehidupan sosial
mulai tergoyah dan lebur, serta dikuasai oleh nilai-nilai komersial.
Sejalan dengan proses industrialisasi dengan nilai-nilai sosialnya yang
baru, maka lahirlah apa yang disebut kelas menengah. Apabila sebelumnya
di dalam masyarakat terdapat golongan elit atau feodal yang berkuasa
disertai dengan penguasaan modal, dan dibawahnya lapisan besar
masyarakat yang miskin dan tertindas, maka dengan revolusi industri telah
69
lahir kelas baru di dalam masyarakat, yaitu kelas menengah. Kelas
menengah ini semakin lama semakin besar, berpengaruh dan terkenal
dengan nilainilainya yang progresif dan anti establisment. Kelas menegah
ini merupakan kelompok masyarakat yang dinamis, yang berkembang
kemampuan intelektualnya dan tidak jarang dari mereka menjadi pembela
golongan rakyat banyak. Nilai-nilai kelas menengah mendorong lahirnya
suatu masyarakat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Mereka
itulah warga negara yang meminta partisipasinya lebih diakui di dalam
berbagai aspek kehidupan. Mereka aktif di dalam mewujudkan hak-hak
politiknya, partisipasinya di dalam kegiatan ekonomi dan sejalan dengan itu
lahirnya bisnis pekerjaan baru yang belum dikenal sebelumnya. Kelas
menengah ini menempati pos-pos yang sangat strategis di dalam dinamika
perubahan sosial. Di dalam partisipasinya dalam perubahan sosial mereka
menempati dan mengubah stratifikasi sosial yang ada.
Dari manakah kelas menengah itu memperoleh visi yang baru sehingga
menjadi pelopor dari perubahan sosial? Sejalan dengan revolusi industri
serta makin sadarnya warga Negara untuk berpartisipasi di dalam semua
aspek kehidupan, telah didorong oleh suatu program untuk meningkatkan
taraf kecerdasan rakyatnya. Sejalan dengan itu, program wajib belajar mulai
muncul di negara-negara industri pertengahan abad 19. Program wajib
belajar mulai diperkenalkan bukan hanya di belahan bumi Eropa, tetapi juga
di Amerika Utara dan Jepang. Partisipasi masyarakat untuk memperoleh
pelajaran melahirkan programprogram wajib belajar sebagai perwujudan
dari hak asasi manusia.
Bagaimana peranan pendidikan pada abad 21, dalam era globalisasi?
Memang pendidikan telah dilihat sebagai suatu sarana untuk mempercepat
proses dekolonisasi dan meningkatkan mutu kehidupan dari rakyat terjajah.
Oleh sebab itu, di dalam salah satu program PBB sejak dilahirkan ialah
meningkatkan dan mempercepat program pendidikan di negara-negara
bekas jajahan. Badan PBB, UNESCO mempunyai tugas antara lain untuk
meningkatkan dan menyebarluaskan pendidikan untuk semua orang. Semua
manusia mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Hanya melalui
pendidikan dapat diwujudkan suatu masyarakat demokratis dan terbuka
sehingga kemiskinan, ketidakadilan, kriminalitas, dapat diwujudkan untuk
70
orang banyak. Pemerintahan yang demokratis tetapi mengabaikan
pendidikan bagi rakyatnya merupakan suatu penipuan dan kejahatan
kemanusiaan.
b) Proses Demokratisasi dalam Era Informasi
Di dalam masyarakat demokratis diperlukan warga Negara yang cerdas,
artinya yang dapat mengambil bagian secara intelegen di dalam kehidupan
politik. Warga negara tersebut harus dapat memilih sesuai dengan
pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan cepat. Pengambilan keputusan
yang cepat dan tepat di dalam pemilihan umum atau di dalam mengambil
keputusankeputusan politik banyak dibantu oleh penemuan-penemuan di
dalam bidang teknologi khususnya teknologi informasi. Kemajuan teknologi
informasi yang pada saat ini telah memasuki era internet dan semakin lama
semakin canggih, akan sangat membantu di dalam proses pertimbangan dan
pengambilan keputusan baik oleh para pemilih maupun bagi pemerintah.
Kita lihat betapa peranan televisi dan internet di dalam proses pemilihan
presiden di Amerika Serikat. Tanpa televisi dan internet proses pemilihan
dan keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemilih serta calon dalam
pemilu akan sangat lamban.
Proses demokratisasi akan memasuki babak baru dalam era digital.
Gerakan sosio-politik baru yang bersifat internasional memiliki nilai-nilai
atau ide antara lain untuk menyamakan keterampilan dan sumber
teleteknologi. Masalah ini memang merupakan masalah internasional. Di
dalam pertemuan-pertemuan internasional telah disadari akan adanya
perbedaan di dalam nagara-negara industri dan negara-negara berkembang.
Digital divide akan lebih memperlebar jurang pemisah antara negara maju
dengan negara berkembang. Kini terdapat usaha-usaha internasional untuk
menjembatani digital divide ini.
Selain daripada itu, gerakan sosio-politik baru menganjurkan kepada
pemanfaatan teleteknologi untuk meningkatkan martabat manusia, misalnya
di dalam perluasan informasi mengenai hak asasi manusia. Demikian pula
dengan adanya penggunaan teknologi akan lebih membuka kehidupan
masyarakat dengan pengenalan berbagai jenis alternatif. Selanjutnya,
dengan teleteknologi dapat ditingkatkan kewajiban-kewajiban antarnegara
masalah identitas dan pengembangan generasi muda, generasi masa depan.
71
Selain gerakan sosio-politik baru, juga terdapat kampanye dan strategi
sosio-politik baru yang meliputi upaya untuk meningkatkan pelayanan
universal dalam pemanfaatan telekomonikasi, meningkatkan kemampuan
melek komputer dan memasyarakatkan teknologi digital, termasuk di dalam
bidang politik. Era demokrasi masa depan akan banyak dipengaruhi oleh era
digital yang mempercepat komunikasi, penyebaran informasi, dialog
antarkelompok, antarbangsa dan antarumat manusia. Masyarakat global
akan sangat dibantu oleh kemajuan di dalam bidang teknologi informasi
yang sangat pesat perkembangannya.
c. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Bagaimanakah dengan keadaan kehidupan masyarakat dan negara
dewasa ini? Ternyata sumber kemakmuran dan kekuatan bukan lagi terletak
pada luas wilayah dan sumber daya alamnya yang melimpah tetapi telah
berpindah pada penguasaan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Inilah peradaban baru umat manusia. Terdapat tiga kekuatan yang dominan
yaitu (1) ilmu pengetahuan, (2) teknologi sebagai penerapan ilmu
pengetahuan, dan (3) informasi. Ketiga kekuatan ini tidak berhubungan lagi
secara langsung dengan nasionalitas. Ilmu pengetahuan tidak perlu
menyebarangi tapal batas suatu Negara dan oleh sebab itu tidak lagi
memerlukan paspor dan visa.
Demikian pula informasi berembus ke mana-mana tanpa batas dan tidak
ada yang dapat menghentikan atau menghambatnya. Teknologi informasi
telah mengubah kebudayaan negara menuju kebudayaan global karena
sekat-sekat yang mengisolasikan kehidupan berbagai masyarakat dan negara
telah dihapuskan. Futuris Alvin Toffler dalam Anshori (2000) mengatakan
bahwa ada tiga gelombang peradaban hingga saat ini, yaitu.
1) Gelombang peradaban teknologi pertanian (8000 SM – 1500 M)
2) Gelombang peradaban teknologi industri (1500 – 1970 M)
3) Gelombang peradaban informasi (1970 – sekarang).
Masing-masing gelombang tersebut dikuasai oleh tingkat teknologi yang
digunakan pada era tersebut. Di dalam peradaban pertanian teknologi
terbatas pada pengelolaan lahan-lahan pertanian untuk mencukupi
kehidupan dasar manusia. Revolusi industri yang dimulai dengan kemajuan
ilmu pengetahuan pada masa renaisans dalam kebudayaan Eropa, telah
72
melahirkan ilmu pengetahuan yang diterapkan di dalam perkembangan
industry modern. Mesin-mesin industri seperti mesin uap, mesin pemintal
dalam industri garmen, tambang-tambang muncul sesudah masa Aufklarung.
Kemajuan industri yang pesat tersebut, di samping meningkatkan taraf
hidup rakyat khususnya dalam kebudayaan Eropa, juga telah melahirkan
ekses-ekses, seperti imperalisme dan kolonialisme dalam rangka untuk
memperoleh bahan baku dan pemasaran hasil industri. Demikian pula
perkembangan industry telah melahirkan berbagai masalah sosial seperti
masalah perburuhan, masalah urbanisasi dan bahkan menimbulkan gesekan
antaragama dan ilmu pengetahuan.
Pada masa gelombang teknologi informasi yang telah melahirkan
kemudahan-kemudahan dalam berkomunikasi, telah melahirkan suatu
masyarakat dunia yang disebut global village. Perubahan-perubahan
mendasar tersebut kini semakin lama semakin memudahkan kehidupan
manusia di dalam berkomunikasi dalam berbagai bidang. Alisyahbana
(2000) mengemukakan ada lima era industry baru yang akan datang, yaitu.
1) Era industri rekreasi (sampai 2015). Di dalam era ini akan lahir dengan
pesatnya berbagai jenis rekreasi dan industri hiburan (entertainment).
Industri rekreasi ini lahir bersamaan dengan semakin meningkatnya tingkat
kemakmuran rakyat. Semakin besar pendapatan rakyat semakin banyak
waktunya yang terluang untuk berekreasi bersama-sama dengan keluarga.
Kebudayaan Disneyland yang lahir di Los Angeles kini telah merebak
ke seluruh dunia di dalam bentuk-bentuk yang sejenis. Demikian pula telah
lahir industri perhotelan, pusat-pusat rekreasi baik yang modern maupun
yang sederhana dengan kegiatan-kegiatan penunjang lainnya seperti
transportasi yang cepat, perusahaan-perusahaan tour dalam berbagai jenis
kian berkembang dengan sangat pesar. Begitu pula perkembangan yang
pesat dari industri pariwisata telah menimbulkan kebutuhan untuk
penguasaan bahasa, khususnya bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi
dunia.
2) Era bioteknologi. Kemajuan penelitian-penelitian di segala bidang
bioteknologi sangat
mengagumkan meskipun
menimbulkan banyak
persoalan. Kita dewasa ini mengenal penelitian-penelitian biotek yang
antara lain menghasilkan produkproduk pertanian hasil rekayasa. Dalam
73
bidang ilmu genetika kini sedang digalakkan penelitian mengenai genom
manusia.
Dalam bidang peternakan kita mengenal kegiatan-kegiatan cloning pada
binatang. Era bioteknologi ini sangat menjanjikan di dalam upaya
menghadapi ledakan penduduk dan persediaan pangan bagi umat manusia
yang terbatas. Untuk menghadapi ekses-ekses dari rekayasa genetik, telah
digalakkan penelitian-penelitian mengenai bioetika yaitu etika tentang
rekayasa bioteknologi. Era bioteknologi yang sedang berkembang pesat ini
diperkirakan akan terus marak sampai sekitar tahun 2100.
3) Era mega-material. Di dalam era ini misalnya, dikenal mengenai research
nano-technology dan quantum physics. Perkembangan nanoteknologi sangat
menjanjikan di dalam kualitas hidup manusia. Seperti diketahui sistem
metric yang dikemukakan oleh Gabriel Mouton seorang pakar dari Lyons
tahun 1670 dan kemudian diterima oleh pemerintah Perancis pada tahun
1795. Sistem metric ini merupakan suatu sistem desimal untuk ukuran
panjang dan berat. Ukuran nano adalah sepermilyar dari meter (10-9).
Bahkan teknologi nano ini mungkin akan terus dikembangkan menjadi pico
teknologi (10-12 atau sepertriliun). Ukuran yang sangat kecil ini tentunya
akan mengubah berbagai produk elektronik yang semakin kecil sehingga
sangat memudahkan bagi pemakainya. Demikian pula di dalam bidangbidang teknik yang lain nano teknologi ini akan terus dikembangkan baik
dalam bidang kedokteran, pangan, teknologi, pokoknya semua bidang
kehidupan. Diperkirakan nano teknologi ini akan berkembang dengan
sangat pesatnya.
4) Era atom baru (fusi, laser). Era ini diperkirakan akan sangat berkembang
pada tahun 2100 – 2500.
5) Era angkasa luar baru. Diperkirakan sebelum tahun 3000 penjelajahan
angkasa luar dari manusia telah dapat menjadi kenyataan. Pada masa itu
pesawat angkasa luar telah merupakan alat transportasi umum.
Demikianlah gambaran kasar mengenai perubahan yang sangat
mendasar yang belum dapat kita gambarkan pada saat ini bentuk kehidupan
manusia menjelang 3000.
74
d. Globalisasi
Globalisasi adalah proses kebudayaan yang ditandai dengan adanya
kecenderungan wilayah-wilayah di dunia, baik geografis maupun fisik,
menjadi seragam dalam format sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dalam
kehidupan sosial proses global telah menciptakan egalitarianisme. Di bidang
budaya memicu munculnya internalisasi kultural, di bidang ekonomi
menciptakan saling ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran,
dan di bidang politik menciptakan liberalisasi.
Hal-hal nyata yang terlihat dalam era global adalah meningkatnya
integrasi ekonomi antar negara-negara di dunia, baik antarnegara maju,
berkembang, dan keduanya. Globalisasi dengan demikian diwarnai oleh
ekspansi
pasar
dalam
bentuk
konkret
menjelma
dalam
berbagai
penyelenggaraan pasar-pasar bersama regional seperti AFTA, NAFTA,
APEC, EEC, dll. Ini merupakan ekspansi hubungan dagang serta formasi
wilayah pasar terpadu di benua-benua Asia, Eropa, Amerika, Australia, dll.
Proses per luasan pasar di seluruh wilayah penjuru dunia tersebut
merupakan sebuah rekayasa sosial dengan skala luas, yang belum pernah
terbayangkan sebelumnya, dengan menggunakan berbagai instrument
seperti ilmu pengetahuan, teknologi, institusi sosial, politik dan kebudayaan.
Para pakar dari sudut penglihatannya masing–masing melihat adanya
berbagai kecenderungan gelombang globalisasi. Alatas (2000) melihat
empat perubahan mendasar yang dapat terjadi, yaitu.
1) Adanya suatu gelombang perubahan di dalam konstelasi politik global.
Apabila sebelumnya politik global bersifat bipolar seperti misalnya Barat
versus Timur, negara–negara industry maju versus negara–negara
berkembang, negara–Negara demokrasi versus negara–negara totaliter dan
sebagainya. Di dalam gelombang globalisasi konstelasi politik mengarah
kepada multipoler. Perdagangan misalnya tidak lagi bersifat hubungan
antara dua negara tetapi dengan berbagai negara.
2) Saling menguatnya hubungan antarnegara yang berarti semakin kuatnya
saling ketergantungan. Keterkaitan antara negara dalam bidang politik,
keamanan, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, dan hak–hak asasi manusia.
Keterkaitan tersebut mempunyai dampak baik positif maupun negatif.
75
3) Globalisasi menonjolkan pemain–pemain baru di dalam kehidupan
masyarakat, yaitu aktor–aktor nonpemerintah. Apabila sebelumnya para
aktor terutama didominasi oleh pemerintah maka dalam era globalisasi
muncullah aktor–aktor seperti ornop–ornop, atau disebut juga lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Muncullah para aktor baru yang merasa sebagai
salah satu stakeholder di dalam masyarakat, akan mengubah peran
pemerintah di dalam fungsinya yang mengatur masyarakat. Daerah publik
(public sphare) akan semakin meluas. Artinya pemerintah harus membuka
diri dan lebih transparan untuk mendengar suara–suara dari masyarakat dan
bukan hanya mendengar suara pemerintah sendiri. Masyarakat yang
demikian menuju kepada masyarakat sipil atau masyarakat madani.
Pengakuan terhadap hak–hak asasi manusia merupakan syarat dari suatu
masyarakat sipil (masyarakat madani).
4) Lahirnya berbagai isu baru di dalam agenda hubungan–hubungan
internasional. Isu–isu baru tersebut antara lain hak asasi manusia, intervensi
kemanusiaan, perkembangan demokrasi atau demokratisasi, dan keinginan
untuk mengatur suatu tata cara atau sistem pengelolaan global, misalnya di
dalam lingkungan dunia yang berkenaan dengan paru–paru dunia.
Demikian pula rasa suatu kebutuhan akan adanya global governence
yang mengatur tata cara dan kesepakatan didalam hidup yang mengglobal.
Termasuk dalam kategori ini misalnya masalah terorisme internasional yang
terkait dengan tragedi Black Tuesday 11 September 2001 yang merontokkan
gedung World Trade Center di New York, dan Pentagon di Washington D.C.
Gelombang globalisasi bukan hanya mengubah tatanan kehidupan
global, tetapi juga mengubah tatanan kehidupan pada tingkat mikro. Dalam
hal ini kita berbicara mengenai pengaruh arus globalisasi di dalam ikatan
kehidupan sosial. Seperti telah diuraikan, globalisasi dapat mengandung
unsur-unsur positif, tetapi juga yang dapat bersifat negatif. Salah satu
dampak negative dari proses globalisasi ialah kemungkinan terjadinya
disintegrasi sosial. Beberapa gejala transisi sosial akibat globalisasi antara
lain ialah hilangnya tradisi. Bentuk-bentuk budaya global telah memasuki
kehidupan sosial pada tingkatan mikro, sehingga dikhawatirkan nilai-nilai
tradisi lokal dan nilai-nilai moral yang hidup di dalam masyarakat semakin
lama semakin menghilang. Hal ini disebabkan pula karena masih rendahnya
76
pendidikan, terutama dinegara-negara berkembang. Dengan masih rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat, kemampuan selektif dan adaptasi terhadap
perubahan-perubahan global mudah dipengaruhi sehingga tradisi lokal
terancam punah. Lebih daripada itu, dengan hilangnya nilai-nilai tradisi
sebagai pengikat kehidupan bersama mulai melonggar. Salah satu dampak
dari globalisasi ialah meningkatnya kriminalitas kerah putih bahkan ada yang
mengatakan bahwa masyarakat modern telah menderita penyakit kleptokrasi.
Bentuk-bentuk kleptokrasi ini misalnya terlihat di dalam semakin
meningkatnya gejala-gejala korupsi di banyak negara berkembang.
Menghadapi gejala-gejala disintegrasi sosial, Irwan Abdullah dalam
Buchori
(2001)
menawarkan
berbagai
langkah
untuk
memperkuat
masyarakat dengan konsep kapital sosial. Yang dimaksud dengan kapital
sosial ialah suatu sistem nilai yang hidup dan dipelihara serta dihormati
untuk dilaksanakan di terhadap hilangnya kapital sosial tersebut.
Dari berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa suatu gejala proses
perubahan sosial yang mahadahsyat, yang belum pernah dialami umat
manusia sebelumnya. Istilah globalisasi telah menjadi istilah umum yang
dibicarakan oleh setiap orang sampai diskusi ilmiah dalam lingkungan
akademik.
3. Pendidikan sebagai Dasar PengembanganMasyarakat Baru
Dewasa ini boleh dikatakan pendidikan telah diadopsi oleh semua
negara, baik negara berkembang maupun negara maju, dijadikan sebagai
pondasi untuk menghadapi perubahan-perubahan besar di dalam kehidupan
masyarakat dalam millennium ketiga. Hal ini dapat terbayang di dalam investasi
pendidikan dari negara-negara tersebut. Pendidikan telah dijadikan prioritas
utama dan pertama dari banyak negara untuk dijadikan sebagai pondasi
membangun masyarakat yang lebih demokratis, terbuka bagi perubahanperubahan global dan menghadapi masyarakat digital. Di dalam kampanye
pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2000 baru-baru ini, pendidikan telah
menempati
kedudukan
yang
sangat
penting
dan
dijadikan
landasan
pembangunan masyarakatnya. Demikian pula bagi negara-negara berkembang
seperti negara-negara ASEAN boleh dikatakan semua Negara memberikan
prioritas utama kepada pengembangan pendidikan yang tercermin di dalam
alokasi dana pemerintah.
77
Sejalan dengan arah baru mengenai pendidikan di dalam pengembangan
suatu masyarakat, maka ilmu pendidikan juga mempunyai orientasi baru.
a. Arah Baru Pedagogik
Di dalam perkembangannya, pedagogik terbatas kepada masalahmasalah mikro pendidikan, seperti perkembangan anak, proses belajar dan
pembelajaran, fasilitas pendidikan, biaya pendidikan, manajemen pendidikan
dan sebagainya. Di dalam perkembangannya dewasa ini, pedagogik ternyata
tidak terlepas dari perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi. Telah kita
lihat, betapa perubahan pola-pola kehidupan masyarakat manusia dewasa ini
yang semakin terbuka. Kehidupan politik yang semakin didominasi oleh
gerakan demokratisasi. Hak-hak asasi manusia semakin menonjol di dalam
setiap pemerintahan dan di dalam organisasi-organisasi dunia. Semuanya
mengakui betapa besar peranan pendidikan di dalam membangun masyarakat
dunia baru. Indonesia telah mulai menunjukkan gejala-gejala yang positif
memprioritaskan pendidikan di dalam proses pembangunan masyarakat
Indonesia baru di dalam APBN dan APBD yang akan datang.
Perubahan-perubahan sosial tersebut di atas telah membawa kepada
suatu keperluan untuk memberikan orientasi baru terhadap pedagogik.
Pedagogik bukan sekadar mencermati perkembangan anak sejak lahir sampai
dewasa, atau mengenai proses pendidikan orang dewasa, atau menyimak
mengenai proses belajar dan pembelajaran, tetapi lebih luas daripada itu, yaitu
menempatkan perkembangan dan kehidupan manusia di dalam tetanan
kehidupan global. Dengan demikian, pedagogik bukan hanya terbatas kepada
ilmu mendidik dalam arti sempit, atau sekadar aplikasi ilmu jiwa pendidikan,
tetapi juga membahas mengenai keberadaan manusia di dalam kebersamaan
hidup yang mengglobal bagi umat manusia.
Dengan demikian, pedagogic merupakan bagian dari perubahan politik,
bagian dari perubahan sosial dan juga bagian dari perubahan ekonomi, bukan
hanya perubahan ekonomi bagi negara-negara maju, tetapi juga ekonomi yang
dihadapi
oleh
kebanyakan
negara
berkembang
yakni
pemberantasan
kemiskinan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila investasi di dalam
pendidikan dan pelatihan merupakan agenda paling urgen di dunia dewasa ini.
Masalah-masalah pemberdayaan, partisipasi masyarakat, perencanaan dari
bawah, perbaikan gizi, pengembangan civil society, pengembangan sikap
78
toleransi antarbangsa, antaragama, antara lapisan kehidupan sosial ekonomi,
antaretnis, multicultural education, merupakan topik-topik hangat di dalam
pedagogik arah baru.
b. Pendidikan, Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan
Pedagogik orientasi baru tersebut di atas, menunjukkan keterkaitan yang
erat antara pedagogik dengan pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan politik.
Demikian selanjutnya, pedagogik tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan di
mana pendidikan itu merupakan bagian dari padanya. Kebudayaan merupakan
sarana, bahkan jiwa dari kohesi sosial dari suatu masyarakat. Tanpa kohesi
sosial tidak mungkin lahirnya proses pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan
dan kebudayaan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Mengisolasikan
pendidikan dari kebudayaan berarti melihat proses pendidikan di dalam ruang
hampa. Pakar-pakar ekonomi juga pakar-pakar kebudayaan dan politik melihat
betapa pendidikan merupakan aspek yang sangat strategis di dalam menyiapkan
suatu tata kehidupan manusia yang baru.
Demikianlah kita melihat bagaimana peranan pendidikan di dalam
menata suatu masyarakat baru. Masyarakat baru yang berdasarkan paradigma
baru, akan dapat dipersiapkan melalui proses pendidikan. Tidak berlebihan
kiranya apabila pendidikan dewasa ini, seluruh dunia dianggap sebagai pondasi
dari membangun masyarakat dunia baru.
G. TRANSFORMASI INFORMASI DALAM KOMUNIKASI MASSA
Perkembangan teknologi komunikasi massa dalam bentuk media massa
khususnya media televisi telah membuat dunia semakin kecil. Tren perubahan gaya
hidup masyarakat tidak hanya membawa pengaruh globalisasi melainkan juga
polarisasi-polarisasi
baru
yang
mendorong
dilakukannya
restrukturisasi
dan
refungsionalisasi berbagai bidang kehidupan. Kemajuan teknologi komunikasi telah
memungkinkan terjadinya globalisasi informasi. Oleh karena itu, kita dituntut untuk
siap menghadapi banjirnya informasi dalam segala bidang. Informasi melalui medium
televise dan internet yang mengalir melintasi batas-batas Negara tampaknya tidak dapat
terbendung oleh jarak, ruang dan waktu.
79
Melihat fungsinya yang begitu luas, maka secara otomatis akan memberikan
kesadaran bahwa hendaknya kita dapat memanfaatkannya secara tepat. Ini berarti
bahwa muatan-muatan pesan media televisi harus dapat mendukung keinginan seluruh
masyarakat yang terlibat dalam berbagai sendi kehidupan sosial baik secar politik,
ekonomi dan budaya.
Dukungan masyarakat berangkat dari satu kesadaran. Kesadaran itu berawal
dari sejauh mana aspek komunikasi massa dapat berjalan tanpa paksaan. Komunikasi
massa pada hakikatnya ialah suatu transformasi sosial yang luas, yang menyangkut
persoalan manusia dalam bidang pendidikan, penerangan, perubahan sikap dan nilainilai serta masalah peninjauan kembali masalah hubungan antar manusia, adat istiadat,
kebiasaan dan lain-lain yang menyangkut tingkah laku sosial.
Hubungan antar bangsa sudah sedemikian eratnya sehingga overlapping budaya
dapat ikut dengan sendirinya dalam budaya asli suatu bangsa. Budaya negeri kita ini
jika kita lihat secara mendalam, masih mengalami masa peralihan. Ini terjadi karena
persentuhan dengan budaya luar yang semakin terbuka. Seharusnya, dalam membangun
Indonesia untuk masa mendatang, kita sama sekali tidak boleh meninggalkan esensi
warisan budaya bangsa. Jika hal tersebut diabaikan, maka kehidupan masyarakat kita
akan tercabut dari akar budayanya dan hanyut dalam arus budaya lain yang tidak kita
kenal.
Saat ini dunia berada dalam era informasi. Wujud informasi dan komunikasi
massa memiliki nilai yang lebih tinggi dari nilai-nilai lainnya. Terdapat beberapa wujud
system komunikasi yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi. Pertama, jaringan
pengolahan data yang memungkinkan orang berbelanja cukup dengan menekan
tombol-tombol komputer dirumah masing-masing. Kedua, bank informasi dan
penelusuran data, yang memungkinkan pemakainya menelusuri informasi yang
diperlukan serta memperoleh copy cetakannya dalam sekejap. Ketiga, sistem teleks,
yang menyediakan informasi mengenai segala rupa kebutuhan. Seperti berita, cuaca,
gerhana, informasi finansial, iklan terklasifikasi, catalog segala macam produk dan
sebagainya, lewat layar televisi di rumah masing - masing. Keempat, sistem faksimili,
yang memungkinkan pengirimam dokumen secara elektronik. Kelima, jaringan
komputer interaktif, yang memungkinkan pihak-pihak berkomunikasi mendiskusikan
informasi melalui komputer.
Serangan
teroris
terhadap
mengungkapkan
betapa
kehadiran
kota
Mumbai,
teknologi
India,
komunikasi
akhir
bulan
informasi
lalu,
mampu
80
menghadirkan pola baru taktik dan strategi baru yang disebut sebagai urban terrorism,
melakukan serangan frontal selama hampir 3 x 24 jam serta memperkenalkan apa yang
disebut sebagai shock and awe warefare.
Terungkap bahwa ada sekitar 10 orang menebar ketakutan dan meneror kota
Mumbai memperkenalkan terorisme kosmopolitan yang tidak mewakili prejudisme dan
diskriminasi fundamentalisme kepercayaan yang selama ini dikembangkan sebagai
sebuah gabungan taktis dan strategi mengemas perangkat teknologi komunikasi
informasi dengan foot-soldiers dan seasoned operatives yang terlatih.
Berbagai perangkat teknologi, mulai dari ponsel, teleponi satelit, perangkat
global positioning system (GPS), hingga perangkat ponsel push e-mail Blackberry,
dikemas dalam serangan frontal yang dikendalikan oleh operator teroris dari jarak jauh
yang memanfaatkan siaran langsung teve, peta digital resolusi tinggi, serta penggunaan
hi-tech lainnya.
Jenis terorisme perkotaan gaya baru ini menyebabkan 180-an orang tidak
bersalah menjadi korban akibat kebrutalan dan kegilaan para pelaku serta 300 orang
lainnya luka-luka dan traumatik karena terjebak di dalam sebuah metode serangan yang
dirancang dengan perspektif kegilaan yang mengerikan.
Pendekatan simfoni
Serangan terorisme ala Mumbai pada tanggal 27 November lalu menyisakan
pesan yang sangat keras dan kuat bagi siapa saja di dunia, ada sekelompok kecil orang
bisa mengubah sebuah kota megalopolis dengan penduduk sekitar 15 juta orang
menjadi sebuah medan pertempuran setidaknya selama satu hari penuh. Pertanyaannya
adalah berapa cepat sebenarnya kemampuan pasukan keamanan untuk menangani
situasi seperti ini bila terjadi di berbagai kota besar dunia di mana negara mana saja.
Kita mencatat bahwa serangan ala Mumbai merupakan sebuah pendekatan
simfoni dalam arti melibatkan berbagai jenis operasi yang ”dimasak” menjadi sesuatu
yang menakutkan. Dan, kehadiran berbagai perangkat teknologi komunikasi informasi
di tengah pertumbuhan jejaring sosial yang luas, digitalisasi yang menyenangkan, dan
memudahkan kehidupan ternyata mampu untuk sekaligus juga menghadirkan
kecemasan.
Secara awam kita memerhatikan perlunya transformasi secara cepat, tepat, dan
fundamental terhadap pasukan khusus yang memang dirancang untuk berhadaphadapan melindungi kepentingan rakyat kebanyakan untuk memberikan rasa aman dan
81
nyaman, menangani terorisme yang terus berkembang mencari bentuk-bentuk yang
tidak terpikirkan sebelumnya.
Transformasi ini membutuhkan pengetahuan, dalam arti berbagai pasukan
khusus yang tersedia mampu menggunakan cara-cara teknis yang tersedia dalam
arsenal masing-masing untuk melihat, menjejaki, ataupun mencari apa musuh terorisme
ini sebenarnya.
Transformasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi
memproyeksikan keharusan kecepatan strategis bagi pasukan khusus untuk digelar
dalam situasi ataupun dimensi apa pun secepat-cepatnya. Bahkan, transformasi pasukan
khusus ini juga harus mampu secara akurat untuk memiliki kemampuan pemukul
teroris dengan keahlian surgical strike untuk mengeliminasi terorisme secara cepat.
Artinya, transformasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi harus
mampu mengambil keputusan secepat-cepatnya dan menyerang terorisme sebagai
bentuk nyata perlindungan terhadap masyarakat secara nyata. Para pemikir strategis
dunia pun sudah memprediksikan bahwa kehadiran dan kecepatan teknologi
komunikasi informasi telah mengubah perilaku pasukan khusus untuk mulai bergerak
dari batas kecepatan suara menuju batas kecepatan waktu untuk menghadirkan rasa
aman dan nyaman di tengah-tengah kita.
Bola salju
Secara psikologis, ketika kita semua mengetahui dan menyadari bahwa pasukan
khusus antiteror memiliki keahlian dan kemampuan untuk menggunakan dan
mengembangkan kecanggihan kemajuan teknologi komunikasi informasi, kita akan
merasa aman dan percaya tidak ada gangguan kemasyarakatan yang tidak bisa diatasi.
Rasa aman dan nyaman dengan kecanggihan dan keahlian pemanfaatan
teknologi komunikasi informasi secara tidak langsung berdampak bola salju yang
mampu untuk mendorong investasi, masuknya modal asing, dan kepercayaan lainnya
untuk menggerakkan perekonomian dan perdagangan suatu negara.
Serangan urban terrorism di Mumbai sangat mengandalkan penggunaan
teknologi informasi untuk mencapai konklusi serangan secara maksimal. Di masa
depan, penggunaan teknologi komunikasi informasi oleh kelompok teroris menjadi
sangat intensif karena semua peralatan tersedia di pasar bebas dan merupakan
peralatan-peralatan teknologi yang juga kita gunakan sehari-hari.
82
Transformasi Komunikasi Dunia
“Saya baru mengenal si dia beberapa bulan yang lalu. Kata kenal juga sebenarnya
tak pantas untuk dikatakan, karena sampai detik ini saya dan dia belum pernah
bertatap muka langsung, hanya lewat foto. Unik juga perkenal dengan bantuan
mesin “ym” ini. Beberapa teman saya malah dapat pasangan hidup melalui ym-an
ini. Hmmm menarik juga ya, mungkin saya juga bisa dapat jodoh melalui media ini
, he he he ....
Saya mengenal si dia dari FS teman, awalnya sih iseng-iseng saja. Setelah
tuker-tukeran alamat email kita lanjut ke tuker-tukeran alamat ym biar lebih asyik
ngobrol-nya. Akhirnya setelah dapat alamat ym-nya saya dan dia janjian untuk
ngobrol via ym. Lumayan juga waktu yang kita pilih, sekitar jam 22.00 sampai
24.00 WIB. Karena penasaran ingin mengenal lebih jauh akhirnya saya sudah
online lebih awal sekitar jam 20.00 WIB, sampai akhirnya dalam waktu yang cukup
lama kami sudah tuker-tukeran nomor handphone, ketemuan di negaranya (Kuala
Lumpur, Malaysia) dan happy ending dengan menikah.......... saat ini saya sudah
dikaruniai oleh Tuhan (sementara) 2 orang anak yang lucu-lucu dan cerdas-cerdas
.....”
Potongan cerita diatas sebenarnya banyak terjadi dewasa ini, saat ini pergeseran
komunikasi luar biasa, ntah kita sebut mengalami kemajuan atau tidak yang jelas
saat ini dengan hanya duduk di depan komputer yang tentunya sudah terkoneksikan
dengan jaringan internet kita bisa say hello, bercakap-cakap, diskusi sampai
mengumpat dan menghina dengan banyak orang di seluruh Indonesia. Dan kalau
kita bisa sedikit menguasai bahasa inggris kita juga bisa bangun komunikasi dengan
orang diluar Indonesia.
Mungkin kalau orang yang “awam” teknologi akan melihat bahwa kawankawan kita yang sering online ini tak punya kerjaan, aneh dan tak bisa bersosialisasi
dengan orang lain. Justru, mereka itu punya teman-teman sendiri di dunia maya,
mereka juga bisa mendapatkan uang masuk dari hobi baru mereka itu. Banyak
fasilitas di dunia maya yang bisa dijadikan sebagai sumber keuangan pribadi, bisa
dengan jualan online atau ikut jejaring iklan lainnya. Belum lagi bisnis hitam
seperti mencuri uang orang via internet, merusak website orang lain atau bisa juga
menyebar virus baru agar mereka bisa menjual anti virusnya dengan mudah seperti
penjual kacang goreng.
83
Hampir sama dengan dunia nyata, dunia maya juga ada pengamannya, ada
undang-undang yang membatasi kebebasan mereka, ada pimpinannya dan mereka
juga memiliki organisasi baik lokal, nasional sampai internasional. Jadi, bisa
disimpulkan bahwa saat ini manusia telah mengalami transformasi komunikasi dari
komunikasi
tradisional
ke
komunikasi
modern.
Memang masih
banyak
kelemahannya, tapi minimal yang selama ini kita yang tidak bisa berkomunikasi
dengan orang diluar kota, atau negeri kita karena tak punya jaringan di sana, saat ini
kita sudah bisa dengan bebas mau kemana dan kepada siapa kita berkomunikasi.
Bahkan seperti penggalan tulisan diatas kita juga bisa mencari pasangan hidup
melalui jaringan komunikasi modern ini, banyak yang sudah membuktikannya.
Apakah saya salah satunya? Kita liat saja nanti 3-4 tahun lagi ......
G. PENUTUP
Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni
perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilainilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social merupakan salh
satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah
dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah
menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi
peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Misalnya saja
khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang bersifat masal, makna
globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak
tayangan film di tv yang bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Jepang, Korea, dll melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv
internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak dimiliki
masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain yang tersaji
melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun makin marak
kehadirannya di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan bukti tentang
betapa negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali
dalam globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga.
Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap
keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari
84
khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Di saat yang lain
dengan teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh
banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin
lebih menarik jika dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola
masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia yang
berasal dari berbagai belahan bumi.
Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya kesenian
tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan pemaknaan
dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis
Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual
masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat
proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka
kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial.
Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya.
Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saja.
Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif
terus berkembang tanpa harus tertindas proses modernisasi.
Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi
sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif pilihan hiburan yang lebih
beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati
berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan
mereka. Misalnya saja kesenian tradisional wayang orang Bharata, yang terdapat di
Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada
pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah satu
bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan
merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik, menurut saya.
Contoh lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya
di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri”. Wayang orang dan ludruk
merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi.
Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh kesenian Jawa tradisional,
melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional di berbagai tempat di
Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian tradisional mati begitu
saja dengan merebaknya globalisasi.
85
Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah
mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan
mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan
kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “Ketoprak” yang
dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat. Kenyataan di atas menunjukkan
kesenian ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak
yang disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi
bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang telah
terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Selain ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu
beradaptasi dengan teknologi mutakhir yaitu wayang kulit. Beberapa dalang wayang
kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto tetap diminati
masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan secara
langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang sejak beberapa tahun lalu
menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup sebagai bukti akan besarnya
minat masyarakat terhadap salah satu khasanah kebudayaan nasional kita. Bahkan
Museum Nasional pun tetap mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisonal seperti
wayang kulit dengan mengadakan pagelaran wayang kulit tiap beberapa bulan sekali
dan pagelaran musik gamelan tiap satu minggu atau satu bulan sekali yang diadakan di
aula Kertarajasa, Museum Nasional.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, M.I. (1989). Gerak Penduduk dan Perubahan Sosial. Jakarta: UI Press.
Daldjoeni, N. (1981). Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka. Bandung: Alumni.
Dance, Frank. "The 'concept' of communication. Journal of Communication, 20, 201210 (1970).
Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Effendy, Onong Uchjana. (1992). Spektrum Komunikasi. Bandung: Penerbit Mandar
Maju
Fiske, John. (1999). Introduction To Communication Studies. 2nd Edition. London:
Guernsey Press Co Ltd
Griffin, Em.(ed) 2003. A First Look at Communication Theory, 5 th edition, : New
York McGraw Hill
Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA:
McGraw-Hill
Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth
Group
Lee, E.S. (1984). Suatu Teori Migrasi. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi
Kependudukan UGM.
Mantra, I.B. (1985). Pengantar Studi Demografi. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Miller, Katherine. (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and
Contexts. USA: McGraw Hill
Mulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Munir, R. (1981). Dasar-dasar Demografi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
Pardoko. (1987). Mobilitas, Migrasi, dan Urbanisasi. Bandung: Angkasa.
Pawito, 2007,Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: ,LKIS.
Ruben,
Brent
D,
Stewart,
Lea
P,
1998,
Communication
and
Human
Behaviour,USA:Alyn and Bacon
Rusli, S. (1982). Suatu Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES.
Suharso. (1972). Urbanisasi di Indonesia. Prisma No. 7. Jakarta: LP3ES.
Sukanto, Suryono dan Taneko, Soleman B. (1985) “Pengantar Konsep dan Teori
Sosiologis”. Lampung : Universitas Lampung.
87
Sumaatmadja, N. (1981). Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisis Keruangan.
Bandung: Alumni.
Sunarto, H.S. (1985). Penduduk Indonesia Dalam Dinamika Migrasi 1971-1980.
Yogyakarta: Dua Dimensi.
Susanto, Astrid. S. (1977). Komunikasi Kontemporer. Jakarta: Penerbit Binacipta
Susanto, Astrid S. (1983) “Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial”. Jakarta : Bina
Cipta.
Witzany, Guenther. "The Logos of the Bios 2. Bio-communication. Umweb, Helsinki
(2007).
88
Download