6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pengertian Wayang

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1.
Pengertian Wayang Kulit Purwa dan Asal - Usulnya
Berbicara mengenai pengertian dan asal-usul wayang kulit purwa memang
sangat sulit sekali untuk dipastikan. Namun begitu banyak para ahli yang tertarik
dan berusaha untuk mengetahuinya lewat penelitian-penelitian ilmiah yang
dilakukannya. Mereka tersebut antara lain adalah: Dr. G.A.J Hazeu, Crawfutr,
Hageman, Poensen, Brandes, dan lain-lain.
Dr. G.A.J Hazeu dalam Disertasinya yang berjudul “Bydrage tot de kennis
van het javaansche tooneel” yang diselesaikan di Leiden tahun 1857, mengupas
secara ilmiah tentang pertunjukan wayang kulit purwa yaitu: wayang, kelir,
blencong, kothak, kecrek, dalang, dan cempala. Dia secara lebih jauh menjelaskan
tentang istilah-istilah tersebut sebagai berikut:
a.
Wayang
Dalam bahasa Jawa kata wayang berarti “bayangan”. Pada waktu itu bonekaboneka yang dipergunakan dalam pertunjukan itu berbayangan atau memberi
bayang-bayang (silhouette), maka dinamakan wayang.
b.
Kelir
Kata ini berarti “tabir”. Semua kata dengan lir, lar dan sebagainya
mengandung pengertian “sesuatu yang terbentang memanjang”. Demikian
juga kelir adalah “sesuatu yang dibentangkan memanjang”.
c.
Blencong
Sebuah lampu minyak dengan cerat yang menjulurkan sumbu tebal. Blencong
berasal dari akar kata cang, ceng, cong, dan sebagainya yang berarti “miring
atau mencong”. Oleh karena itu blencong diletakkan dalam posisi miring di
atas dalang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
d.
Kothak
Sebuah peti yang tutupnya diberi pinggiran agar mudah dibuka dan ditutup.
Kothak berasal dari akar kata tik, tak dan sebagainya adalah tiruan bunyi dari
benda yang bersentuhan.
e.
Keprak, Kepyak, atau Kecrek
Kata-kata ini dibentuk dari akar kata yang merupakan tiruan bunyi yang
ditimbulkan oleh alat tersebut.
f.
Dalang
Kata ini berarti: “Orang yang melakukan pertunjukan wayang kulit purwa“.
Kata dalang dianggap sebagai bentuk pengulangan dari akar kata lang.
Bahasa Melayu lalang berarti “berkeliling memutari, mengelilingi” sesuai
juga dengan kata Jawa lalang. Jadi dalang berarti: “seseorang yang
berkeliling melakukan pertunjukan wayang kulit purwa di sana-sini“
Dari uraian seperti tersebut di atas ia berkesimpulan bahwa istilah-istilah
itu hanya ada di Pulau Jawa, jadi termasuk Bahasa Jawa asli kecuali kata cempolo
(Cempala) berasal dari Bahasa Sansekerta. (Hazeu dalam Sri Mulyono, 1978: 1112).
Hageman berkesimpulan bahwa wayang kulit purwa diciptakan oleh R.
Panji Kertapati dalam abad XII yaitu dalam masa kejayaan kebudayaan yang
dipengaruhi Hindu.
Poensen menyatakan bahwa pertunjukan wayang kulit purwa mula-mula
lahir di Jawa dengan bantuan dan bimbingan orang Hindu.
Dr. Brandes mengemukakan beberapa kenyataan bahwa orang Hindu
mempunyai teater yang sama sekali berbeda dengan teater Jawa dan hampir
seluruh istilah teknis yang terdapat dalam wayang kulit purwa adalah khas Jawa,
bukan Sansekerta. (Sri Mulyono, 1978 : 8).
Selain beberapa pendapat dari para sarjana luar negeri tersebut, beberapa
sarjana kita juga ada yang turut berpendapat, karena didorong oleh kebuntuan
mereka pada wayang kulit purwa.
commit
to :user
Pendapat tersebut antara lain
adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan” dalam bahasa Melayu
disebut “bayang-bayang”, dalam bahasa Aceh “bayeng”, dalam bahasa Bugis
“wayang atau bayang”. Akar kata dari wayang adalah “Yang”, akar kata ini
bervariasi dengan Yung, Yong dan Ying, antara lain terdapat dalam kata layang
“terbang”, doyong “miring”, tidak stabil “royong” selalu bergerak dari satu tempat
ke tempat lain, poyang-payungan “berjalan sempoyongan, tidak tenang” (Sri
Mulyono, 1978: 9).
Awalan “Wa” di dalam bahasa Jawa modern tidak mempunyai fungsi lagi,
tetapi dalam bahasa Jawa kuno awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata
bahasa. Jadi dalam bahasa Jawa Wayang, mengandung pengertian “berjalan kiankemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi substansi bayang-bayang) telah terbentuk
pada waktu yang amat tua ketika awalan Wa masih mempunyai fungsi tata
bahasa. Oleh karena itu boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan itu
berbayangan atau memberi bayang-bayang, maka dinamakan Wayang. Awayang
atau hawayang pada waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukkan
wayang”. Lambat laun wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang
(Sri Mulyono, 1978: 10).
“Wayang adalah berasal dari kata “Hyang” yang berarti persembahan pada
Hyang Widhi”. Nenek moyang bangsa Indonesia beberapa puluh tahun sebelum
Masehi telah mengenal wayang yaitu suatu bentuk pentas sebagai sarana upacara
keagamaan yang bersifat ritual dengan menggunakan bayangan (wayang) dalam
membawakan acara-acaranya (Adhiman Sajuddin Rais, 1970: 8).
Wayang kulit purwa merupakan dongeng, khayal dan mitos yang dapat
membangkitkan daya mistik dalam diri penghayatnya. Penafsiran orang Barat
bahwa wayang kulit purwa hanya “Shadow Play” belaka adalah kurang tepat,
karena wayang kulit purwa bukanlah obyek visual belaka (S. Haryanto, 1988: 4).
Masih banyak lagi tulisan-tulisan dan pendapat mengenai wayang kulit
purwa yang masih memerlukan penyelidikan-penyelidikan seksama mengenai
kebenarannya. Bila ditelaah dengan seksama maka kata wayang tersebut berasal
dari bahasa Jawa yang berarti bayangan. Karena pengaruh warga-aksara, maka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
kata wayang menjadi bayang, wesi menjadi besi dan watu menjadi batu (S.
Haryanto, 1988: 28).
B.M Goshings dalam bukunya “De Wayang On Java End On Bali”,
mengatakan : “Wayang is not a shadow play. The common conception of wayang
as a shadow play originated as a result of faulty European perception”. (B.M
Goshings dalam R.L. Mellena, 1954: 5). Artinya: Wayang kulit purwa bukanlah
sebuah permainan bayang-bayang belaka. Pengertian umum yang mengatakan
bahwa wayang kulit purwa sama halnya dengan permainan yang ditimbulkan oleh
bayang-bayang adalah akibat dari pendapat orang-orang Eropa yang salah. Bagi
masyarakat penghayatnya (Jawa), pagelaran wayang kulit purwa adalah
pengungkap “wewayanganing ngaurip” (gambaran dari hidup dan kehidupan)
yang tidak ada hubungannya dengan bayang-bayang hitam, (silhoutte) pada kelir
(layar). (S. Haryanto, 1995: 161).
Wayang kulit purwa dalam budaya Jawa biasanya disebut juga dengan
wayang purwa atau ringgit. Maksud dari wayang kulit purwa adalah wayang yang
dibuat dari bahan kulit binatang, biasanya kulit kerbau. Kata “wayang” menurut
Hazeu berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti bayangan, yang bisa
mempunyai pengertian berjalan kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup, sebagai
substansi dari bayang-bayang sehingga bisa disebut wayang. (Sri Mulyono, 1995 :
9).
Secara umum, pengertian wayang kulit purwa adalah suatu bentuk
pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunakan
boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan. Wayang kulit purwa merupakan
alat untuk menggambarkan kehidupan umat manusia. Sedang bentuknya sangat
berbeda dari tubuh manusia pada umumnya. Seno Sastroamidjojo (1964 : 37)
menyatakan bahwa wayang kulit purwa ini diukir menurut sistem tertentu.
Perbandingan (proporsi) antara bagian badannya masing-masing tidak seimbang
satu sama lain. Segala sesuatu mengenai hal itu dibuatnya menurut cara-cara dan
anggapan tertentu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wayang kulit purwa adalah
commit
to disungging
user
boneka yang dibuat dari kulit, ditatah
dan
sedemikian rupa sehingga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
menggambarkan bentuk-bentuk yang proporsinya tidak sama dengan manusia,
tetapi dipergunakan sebagai alat untuk menggambarkan kehidupan manusia.
Apabila dipergunakan di dalam pakeliran (pertunjukan) dapat menimbulkan
bayang-bayang pada layar (kelir) dan dapat digerakkan kian kemari.
Kata “purwa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “pertama”, yang
terdahulu atau yang dulu. Jaman purwa berarti jaman dahulu dan wayang purwa
berarti wayang pada jaman dahulu. Menurut Brandes, kata purwa berasal dari kata
puruwa yang merupakan mata rantai dari kata parwa (berarti bab-bab dalam
Mahabarata). Hazeu menyetujui hal tersebut, karena perkataan parwa sesuai
dengan gejala metatesis, dapat dikatakan purwa. (Sri Mulyono, 1995 : 149). Dari
hal tersebut Sujamto (1992) mengartikan wayang kulit purwa dengan “wayang
kulit purwa yang mengambil tema cerita dari epos Mahabarata dan Ramayana”.
Sedang wayang kulit purwa baru adalah wayang kulit purwa yang
diciptakan oleh seniman wayang kulit purwa pada jaman sekarang untuk
melengkapi dan menambah tokoh-tokoh wayang purwa yang sudah baku.
2.
Perkembangan Wayang Kulit Purwa
Meskipun asal-usul wayang kulit purwa belum dapat ditentukan pasti,
penulis Indonesia cenderung mengakui teori Hazeu yang mengatakan wayang
kulit purwa berasal dari suatu upacara keagamaan untuk memuja arwah nenek
moyang yang disebut “Hyang” yang kemudian menyebabkan munculnya
pertunjukan bayang-bayang. Pertunjukan wayang kulit purwa bersumber pada
upacara agama terhadap pemujaan “Hyang” timbulnya pada awal jaman
Neolithikum atau akhir jaman Mesolithikum atau pasti terjadi sesudah tahun 2000
sebelum Masehi (Sri Mulyono, 1978: 55).
Demikianlah saat mula adanya pertunjukan wayang kulit purwa sebagai
awal mula adanya pertunjukan wayang kulit purwa di Indonesia (Jawa). Wayang
kulit purwa tersebut kemudian terus berkembang setahap demi setahap dalam
waktu yang cukup lama, namun tetap mempertahankan fungsi intinya sebagai
suatu kegiatan gaib yang berhubungan dengan kepercayaan dan pendidikan
(magis, religious dan didaktis). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
Selama kurun waktu lebih dari 2000 tahun tersebut, perkembangan
wayang kulit purwa di bagi menjadi beberapa periodesasi, yakni :
a.
Jaman Prasejarah
Pada Jaman Prasejarah, alam pikiran nenek moyang kita masih sangat
sederhana. Mereka mempunyai anggapan bahwa semua benda yang ada
dikelilingnya itu bernyawa dan semua yang bergerak dianggap hidup dan
mempunyai kekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat
(Koentjaraningrat, 1954: 103).
Antara dunia manusia dan dunia roh ada suatu jembatan yang hanya dapat
dilihat oleh beberapa orang yang dianggap sakti, perbuatan-perbuatan untuk
mengadakan hubungan gaib ini disebut Upacara. Upacara ini dianggap sebagai
suatu kejadian yang sangat angker (sakral), oleh karena itu diperlukan persyaratan
pokok untuk melakukannya. Syarat-syarat tersebut meliputi: tempat khusus,
waktu khusus dan orang sakti (Sri Mulyono, 1978: 43).
Selain syarat-syarat juga diperlukan sarana atau alat-alat khusus yang
diperlukan oleh Syaman/ perewangan untuk mengadakan hubungan dengan rohroh nenek moyang tersebut. Alat-alat tersebut misalnya:
- Patung dari nenek moyang yang telah meninggal.
- Patung Korwar (patung yang diberi tengkorak nenek moyang).
- Mummi, yaitu mayat nenek moyang yang telah dikeringkan.
- Gambar roh nenek moyang yang dipahat di atas kulit binatang, dengan
diberi penerangan atau disoroti dengan lampu, agar gambar tesebut
menimbulkan bayangan. Bayangan ini dianggap sebagai wujud kedatangan
roh nenek moyang.
- Saji-sajian dan bau-bauan yang digemari oleh nenek moyang di waktu
masih hidup.
(Sri Mulyono, 1978: 43).
Berpedoman pada pemikiran dan anggapan tentang roh-roh seperti
tersebut di atas yang kemudian mendorong para pendahulu untuk menghasilkan
perwujudan bayangan sehingga orang dapat membayangkan roh orang yang telah
commit to user
meninggal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Kepercayaan pada wajah/gambar leluhurnya tersebut mempengaruhi caracara pembuatan bayang-bayang, gambar dari bayang-bayang, oleh karena itu
orang meniru bentuk bayang-bayang seperti yang diletakkan mengelilinginya
setiap hari. Bentuk bayang-bayang itu harus tidak berbentuk manusia, oleh karena
itu sekarang wayang kulit purwa memperlihatkan bentuk yang aneh seperti itu.
Tidak menyamai manusia sesungguhnya. Ukuran lengan tangannya memanjang,
telapak kakinya panjang dan sebagainya. Perupaan wayang kulit purwa yang
seperti inilah yang menjadi dasar perupaan wayang kulit purwa pada jaman-jaman
periode berikutnya (Sri Mulyono, 1978: 46).
b. Jaman Pengaruh Hindu
Sejarah Indonesia dimulai sejak datangnya pengaruh kebudayaan Hindu.
Karena pengaruh itu berakhirlah jaman pra-sejarah Indonesia. Pada jaman sejarah
ini mulai ada keterangan-keterangan tertulis yang berupa prasasti yaitu batu
bersurat atau bertulisan berisi keterangan adanya upacara-upacara atau peringatan
berkorban. Tulisan yang dipergunakan biasanya berhuruf Pallawa yang berasal
dari India Selatan dan dalam bahasa Sanskerta, bahasa resmi India.
Penduduk asli mengalami perubahan yang sedikit demi sedikit menerima
pengaruh Hindu. Kitab Mahabharata dan Kitab Ramayana mulai dikenal dan
meluas di Indonesia. Pertunjukan bayangan atau upacara agama yaitu upacara
pemujaan Hyang pun tidak luput dari pengaruh Hindu. Perwujudan wayang kulit
purwa pada jaman Hindu ini diawali dari kerajaan Mataram kuno. Pada tahun 732
di desa Canggal di daerah Magelang Jawa Tengah, dibuat suatu prasasti dengan
memakai huruf Pallawa dalam bahasa Sanskerta berbentuk syair yang berbunyi
çruti indria rasa (732 M/654 çaka). Prasasti ini menyebutkan bahwa yang
memerintah kerajaan Mataram pada waktu itu bernama Sanjaya (Sri Mulyono,
1978: 59).
Pada waktu itu pertunjukan bayangan/wayang kulit purwa adalah penting
dan mempunyai latar belakang kepercayaan dan merupakan pertunjukan
penduduk asli yang langsung mempengaruhi pandangan hidup penduduk asli, oleh
commit
to user
karena itu tidaklah mustahil bahwa
para
ahli agama Hindu pada waktu itu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
menempuh kebijaksanaan dengan jalan memasukkan cerita-cerita Mahabharata
dan Ramayana ke dalam suatu pertunjukan yang mempunyai peranan dan
kedudukan penting dalam pandangan hidup penduduk asli, yaitu pertunjukan
wayang kulit purwa.
Pengaruh kebudayaan Hindu yang datang dengan damai di Indonesia bisa
diterima dengan senang hati oleh nenek moyang kita, sehingga orang-orang Hindu
tidak menjadi sulit untuk memasukkan pengaruh Hindu ke dalam pandangan
hidup penduduk Indonesia. Cerita yang semula merupakan mitos nenek moyang
yang pada prinsipnya memuja-muja Dewa/Hyang itu ternyata pada prinsipnya
hampir sama dengan epos Mahabharata dan Ramayana yang juga memuja dewadewa. (Sri Mulyono, 1978: 64).
c.
Jaman Islam
Pada masa akhir kerajaan Majapahit pengaruh Islam mulai tertanam dalam
masyarakat. Masuknya Islam, khususnya di Tanah Jawa bersama-sama dengan
para pedagang atau saudagar yang di samping berdagang juga berdakwah
menyebarkan ajaran Islam. Para pedagang umumnya orang-orang muslim dengan
tekun melakukan penyebaran ajaran baru ini yang telah dilakukan jauh sebelum
kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu Demak pada sekitar abad ke 15. Kerajaan
Islam yang berdiri pada permulaan Islam masuk di Indonesia berada di daerah
Sumatera Utara, yang dikenal dengan Kerajaan Samudra Pasai (tahun 1292). Pada
mulanya daerah tersebut merupakan pelabuhan dagang yang banyak didatangi
oleh pedagang-pedagang Gujarat, pedagang tangguh dari daerah pesisir India
(Soekmono, 1985: 52). Dari para pedagang atau saudagar itulah Islam masuk ke
Indonesia, kemudian pusat perdagangan itu berkembang menjadi suatu kerajaan
yang berpengaruh dalam perkembangan Islam selanjutnya. (Sunarto, 1991: 3).
Dalam Babad Demak dijelaskan bahwa Raden Patah atas bantuan para
bupati
pesisir
utara
Demak
dapat
merobohkan
Majapahit,
kemudian
memindahkan peralatan upacara kerajaan dan pusaka Majapahit ke Demak
sebagai lambang tetap berlangsungnya kerajaan Majapahit tetapi dalam bentuk
commit
user
baru di Demak. (Soekmono, 1985:
52). toRuntuhnya
Majapahit ditandai dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
sengkalan “Sirna ilang kertaning bumi” (1400 Caka). Pada waktu itu Wayang
Beber Majapahit beserta seluruh perlengkapannya atau gamelannya diangkut ke
Demak yang kemudian wayang kulit purwa tersebut mengalami perubahan besar.
(S. Haryanto, 1988: 31).
d. Jaman Penjajahan Belanda
Belanda datang di Indonesia ± tahun 1598, tetapi Belanda baru berhasil
memasuki lingkungan istana kerajaan Mataram pada jaman pemerintahan Raja
Amangkurat II pada tahun 1680 M. Dengan bantuan Belanda, ibukota kerajaan
dipindahkan ke Kartasura.
Pada jaman ini tercatat juga ada kemajuan di bidang kesenian wayang
kulit purwa, diantaranya:
- Muncul Punakawan Bagong.
- Bentuk wayang kulit purwa disempurnakan.
Pada waktu pemerintahan Paku Buwana I (1704 M-1719 M) dibuat:
- Wayang Kulit Purwa Sabrangan.
- Wayang Kulit Purwa Kenya Wandu.
- Membuat buku pakem lakon wayang kulit purwa Menak.
Pada masa Paku Buwana II (1719-1749), banyak membuat wayangwayang kulit purwa baru yang sampai sekarang disimpan di Keraton Surakarta
dan dianggap sebagai wayang kulit purwa pusaka serta menjadi babon wayang
kulit purwa. Wayang kulit purwa tersebut diberi nama Kyahi Pramukanya. Paku
Buwana III (1749-1788) dengan menggunakan babon Kyahi Pramukanya,
berhasil membuat wayang kulit purwa dua kothak dan diberi nama Kyahi Mangu
dan Kyahi Kanyut.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820) wayang-wayang
kulit purwa yang dihasilkan adalah: Kyahi Jimat, Kyahi Kadung dan Kyahi Dewa
Katong. Sejak pemerintahan Paku Buwana V (1820-1823 M) kesenian wayang
kulit purwa sudah sangat umum dan tersebar luas ke seluruh daerah Jawa,
sehingga setiap selesai pembuatan wayang kulit purwa tidak lagi diberi nama
to berarti
user bahwa kesenian wayang kulit
secara khusus, namun demikian, commit
ini tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
purwa sudah tidak mendapat perhatian, bahkan kesenian wayang kulit purwa pada
saat itu mulai menjadi perhatian para sarjana sebagai obyek kajian ilmiah.
Belanda menjajah Indonesia sejak 1596-1942 tidak banyak berkepentingan
dengan pertunjukan wayang kulit purwa, tetapi banyak para pakar budaya
Belanda khusus datang ke Indonesia untuk mempelajari seni tradisi, salah satunya
adalah kesenian wayang kulit purwa. Antara lain: Poensen, Dr. Rassers, Dr.
Brandes, Prof. Dr. Kern.J.Kats, Prof. Dr. Hazeu, Prof. Dr. Gonda, Dr. Th Pigeaud,
Dr. Yuynbowl dan sebagainya (Sri Mulyono, 1978: 93).
e.
Jaman Kemerdekaan
Pada jaman kemerdekaan, seni pedalangan wayang kulit purwa tidak lagi
dibina oleh Pemerintah Kerajaan, tetapi tumbuh dan hidup dalam masyarakat
sebagai kesenian daerah dan diurus serta dibina oleh masyarakat itu sendiri. Para
seniman sudah berani berapresiasi dengan wayang kulit purwa untuk menunjang
kepentingan-kepentingan mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan terciptanya
berbagai bentuk wayang kulit purwa, misalnya: wayang Krucil, wayang
Perjuangan, wayang Jawa, wayang Suluh, wayang Wahyu, dan sebagainya (Sri
Mulyono, 1978: 99).
3.
Fungsi Wayang Kulit Purwa
Sesuai dengan apa yang telah ditulis dimuka, bahwa wayang kulit purwa
diperkirakan telah ada di bumi Indonesia ini sudah sejak ± 1500 SM, dan ternyata
sampai saat ini keberadaannya masih tetap eksis di bumi Indonesia terutama di
pulau Jawa. Selain dari segi perupaannya, fungsi wayang kulit purwa juga
mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Pada perkembangan
terakhir ini, fungsi wayang kulit purwa tidak lagi terfokus pada upacara-upacara
ritual dan keagamaan, bahkan bergeser sebagai konsumsi hiburan: sehingga lakon
dan pakem banyak disesuaikan dengan selera penggemarnya (S. Haryanto, 1991:
1).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
a.
Religio Magis
Sejarah perkembangan Religi orang Jawa telah dimulai sejak jaman Pra-
sejarah (± 1500 SM), dimana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa sudah
beranggapan bahwa: semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa, dan
semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau
mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. Dengan dasar bayangan dan
anggapan mereka bahwa di samping segala roh yang ada tentulah ada roh yang
paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Untuk menghindarkan gangguan dari
roh itu maka mereka memujanya dengan jalan mengadakan upacara.
(Koentjaraningrat, 1954: 103).
Wayang kulit purwa dipahami dan dipercaya sebagai hasil kebudayaan
Bangsa Indonesia asli yang bersumber dari kepercayaan nenek moyang jaman
purba yang bertujuan untuk kegiatan Religio Magis, pendapat ini dikemukakan
oleh Dr. Prijohutomo sebagai berikut:
“Sebagian dari upacara kuno berupa wayangan, yang pada waktu itu masih
berwujud lukisan atau boneka yang amat sederhana buatannya seperti
gambaran punakawan sekarang ini. Upacara yang berupa pertunjukan itu
baru kelak kemudian mendapat pengaruh dari kesenian Hindu sehingga
bentuknya seperti yang kita kenal sekarang. Pertunjukan wayang kulit
purwa itu antara lain untuk melepaskan (ngruwat) orang dari malapetaka,
Karena lukisan atau boneka tadi merupakan tempat untuk arwah nenek
moyang yang dipanggil supaya turun dari surga atau kayangan. Adanya
lukisan atau boneka itu sudah dapat menjauhkan malapetaka”
(Prijohutomo, 1953: 15).
Pemujaan arwah nenek moyang inilah sebagai agama mereka yang
pertama (animisme). Arwah nenek moyang yang pernah hidup sebelum mereka
telah banyak jasa dan pengalamannya, sehingga perlu dimintai berkah dan
petunjuk. Sarana yang ditempuh untuk mendatangkan arwah nenek moyangnya
ialah:
1) Mengundang orang yang sakti dan ahli dalam bidang itu, yang disebut
perewangan untuk memimpin upacara.
2) Membuat patung nenek moyang, agar arwahnya bersemayam dalam patung
commit to user
tersebut, atas tuntunan dan upaya perewangan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
3) Membuat sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang
digemari oleh nenek moyang.
4) Mengiringi upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tarian agar arwah
nenek moyang yang dipanggil gembira dan berkenan memberikan rakhmatnya.
Sisa-sisa upacara religius seperti tersebut di atas, sampai sekarang masih
ada dalam kehidupan masyarakat Jawa, hanya telah berubah fungsinya menjadi
kesenian rakyat tradisional, misalnya: Sintren, Nini Thowok, Barongan, tari
Topeng dan pertunjukan wayang kulit purwa (B. Heru Satoto, 1984: 99).
Kedatangan
kebudayaan
Hindu
di
Jawa
semakin
menambah
perbendaharaan cara dan pengertian dalam tindakan religius manusia Jawa.
Penghormatan dan pemujaan kepada Dewa-Dewi Hindu menimbulkan fantasi
akan adanya Dewa-Dewi lainnya yang asli Jawa. Hal ini adalah hasil asimilasi
paham animisme dan paham Hindu.
Lambat laun orang Indonesia “mengadopsi” dewa-dewa dan epos dari
India itu kemudian dicampur dengan mitologi kuno. Bahkan kemudian pulau
Jawa dianggap oleh pendahulu kita sebagai setting alam dewa dan pahlawanpahlawan dalam Ramayana tersebut. Akhirnya pahlawan-pahlawan dalam
Ramayana ini juga dianggap sebagai nenek moyangnya sendiri. Cerita-cerita ini
sampai sekarang pengaruhnya masih kita rasakan, misalnya: sebuah kepercayaan
bahwa raja-raja di Jawa adalah keturunan Arjuna, Brahma dan seterusnya (Sri
Mulyono, 1978: 64).
Pada
jaman
Hindu
ini
wayang
kulit
purwa
berfungsi
untuk
memvisualisasikan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita kepahlawanan yang
bersumber pada Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India, yang kemudian
melahirkan bentuk wayang kulit purwa. Melihat kandungan nilai dalam wayang
kulit purwa, masyarakat dididik dapat hidup dengan baik berdasar ajaran agama,
karena pesan dan nilai yang ada sesuai dengan citra masyarakat tersebut, semakin
lama wayang kulit purwa digemari dan membudaya dalam masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa (Sunarto, 1991: 12).
Fungsi religio magis ini masih bisa kita lihat implementasinya di jaman
commit
to user
modern ini, meskipun pagelarannya
semakin
jarang. Fungsi pertunjukan wayang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
kulit purwa yang masih bernuansa mistik ini antara lain: Murwakala (ruwatan),
Bersih Desa/ Merti Desa, Sadranan (penghormatan arwah nenek moyang/
pendahulu) dan Nadar.
b. Pragmatis
Memasuki periode Islam di pulau Jawa wayang kulit purwa mengalami
pergeseran dasar konsepsi. Wayang kulit purwa tidak lagi berfungsi sebagai
upacara religio magis, melainkan berfungsi pragmatis yaitu sebagai alat dakwah,
pendidikan, komunikasi/informasi, sumber sastra dan budaya, juga seni hiburan;
meskipun suasana magis kadang masih terasa. Para Wali memodifikasi legenda
dunia wayang kulit purwa menjadi cerita-cerita babad, yakni percampuradukkan
antara epos Ramayana, Mahabharata versi Indonesia dengan cerita-cerita Islami
(H. Amir, 1994: 35).
1) Media Dakwah
Penggunaan wayang kulit purwa untuk media dakwah oleh para Wali ini
karena pada waktu itu para Wali melihat betapa kuatnya budaya wayang kulit
purwa ini melekat pada hati sanubari rakyat pada waktu itu. Melihat keadaan itu
para Wali juga berusaha memanfaatkan wayang kulit purwa sebagai media
dakwah agama Islam. Hal ini dimulai dari penyesuaian bentuk rupanya terlebih
dahulu karena bentuk rupa wayang kulit purwa pada jaman Hindu dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Islam maka diadakanlah berbagai perubahan bentuk rupa.
Pendapat
dari
Dr.
G.A.J
Hazeu
dalam
bukunya
Javanesse
Volsuertonungen yang diterjemahkan oleh R.M Mangkudimejo mengatakan:
“Mulainya wayang dibuat dari kulit kerbau dimulai pada jaman Raden
Patah yang bertahta tahun 1437 Caka. Dahulunya lukisan seperti bentuk
manusia serupa apa yang terdapat pada Candi Panataran. Oleh karena hal
itu ada pertalian dengan hukum agama Islam, yaitu bertentangan dengan
syara’, sedangkan raja dan rakyat sangat suka pada wayang. Maka Wali
merubahnya dari lukisan yang methok (menghadap) jadi miring.
Sedangkan anggota badannya sangat panjang. Dahulu sebenarnya
memakai gambaran pahatan di dalam mata, telinga, dan lain-lain. Hanya
digambar saja, tetapi oleh Wali dilukis dengan pahatan. Disitu kalau orang
to user
mau tahu betapa pandainyacommit
para Wali”
(Effendi Zarkasi, 1996: 61).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
Selain bentuk perupaannya yang dirubah dan disesuaikan dengan Islam,
dalam segi lakonpun dibuatkan beberapa lakon carangan yang bernuansa Islam.
“Pada pedalangan wayang kulit purwa itupun diberikannya lakon-lakon
ciptaaan yang maksudnya ialah untuk mengajarkan kebenaran-kebenaran
ajaran Islam. Lakon-lakon demikian itu antara lain ialah Dewa Ruci,
Petruk dadi Ratu, Semar barang Jantur, Pandu Bergola, Mustaka Weni
dan sebagainya.
Bahkan apa yang dinamakan Jimat Kalimasada dengan segala
kemahasaktiannya, ialah yang jadi pokok lakon Mustaka Weni, dan itupun
terang sekali adalah ciptaan Islam. Nama barang itu tegas-tegas
mengingatkan orang kepada ajaran Islam, yaitu Kalimat Syahadat”
(Effendi Zarkasi, 1996: 63).
Dalam
perkembangan
selanjutnya
walaupun
para
muslim
Jawa
mengetahui hal-hal non Islamik dalam pertunjukan wayang kulit purwa, tetapi
ternyata sulit untuk melepas diri dari dasar filosofi wayang kulit purwa. Usaha
menggunakan wayang kulit purwa sebagai sarana dakwah Islamik dengan segala
dalih kiranya akan berakibat fatal. Hal ini disebabkan karena inti filosofi wayang
kulit purwa memang bukan Islamik. Barangkali sebagai pengenalan ajaran Islam,
wayang kulit purwa adalah media adaptif bagi masyarakat Jawa, tetapi untuk
pendalaman ajaran jelas beresiko, karena ajaran suatu agama adalah dogmatis
yang tidak sembarang sinkron dengan unsur lain (S. Haryanto, 1995: 182-183).
2) Media Pendidikan
Wayang kulit purwa tidak saja merupakan salah satu sumber pencarian
nilai-nilai yang amat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa, tetapi wayang
kulit purwa juga merupakan salah satu wahana atau alat pendidikan watak yang
baik sekali. Pertama, pertunjukan wayang kulit purwa itu sendiri merupakan alat
pendidikan watak yang menawarkan metode pendidikan yang amat menarik.
Karena wayang kulit purwa mengajarkan ajaran dan nilai-nilainya tidak secara
dogmatis sebagai suatu indoktrinasi, tetapi ia menawarkan ajaran dan nilai-nilai
itu; terserah kepada penonton (masyarakat dan individu-individu) sendiri untuk
commitajaran
to userdan nilai-nilai mana yang sesuai
menafsirkannya, menilai dan memilih
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
dengan pribadi atau hidup mereka. Selanjutnya wayang kulit purwa mengajarkan
ajaran dan nilai-nilai itu tidak secara teoritis saja (berupa ajaran dan nilai-nilai)
melainkan secara konkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang
konkret sebagai teladan. Wayang kulit purwa juga tidak mengajarkan ajaran dan
nilai-nilai itu secara kaku atau akademis, melainkan di samping mengajak
penonton untuk berpikir dan mencari sendiri (sebagai dilambangkan adegan
wayang golek di akhir pertunjukan), ia juga mendidik penonton melalui hati/
rasanya dengan jalan adegan-adegan lucunya, adegan mengharukan atau
menyentuh hati, membikin hati geram dan lain-lain. Dengan demikian dapat
dikatakan, metode pendidikan watak yang dipakai dalam pertunjukan wayang
kulit purwa adalah metode nonformal (H. Amir, 1994: 19-20).
3) Media Hiburan
Sumber lama yang menjelaskan bahwa salah satu fungsi dari pergelaran
wayang kulit purwa sebagai hiburan dapat dilacak pada “Kakawin Arjuna
Wiwaha”, sebuah karya sastra gubahan Mpu Kanwa pujangga Keraton pada masa
pemerintahan Raja Erlangga di Jawa Timur tahun 1019-1042 yang sebagian
kalimatnya menyebutkan:
“Hananonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh tuwin
yan walulanginukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya
malaha tawihikana ri tatwa nyan maya sahana-nana ning bawa siluman”.
Artinya: “Orang yang menonton ringgit (wayang kulit purwa) menangis,
terpesona dan sedih, meskipun sudah tahu bahwa yang ditonton hanyalah
belulang yang dipahat, diberi bentuk manusia, dapat bertingkah dan berbicara.
Yang menonton ibarat orang yang tamak akan harta dunia yang nikmat, akibatnya
mereka terjerat hatinya, tidak tahu bahwa sebenarnya hanya bayangan yang tampil
laksana siluman belaka” (S. Haryanto, 1988: 18-19).
Sebagai seni pertunjukan terbuka (panggung) wayang kulit purwa tidak
bisa lepas dari unsur hiburan dalam setiap pementasannya. Unsur-unsur ini
menjadi daya tarik penonton untuk menghayati lebih jauh, sehingga muatancommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
muatan isinya secara tidak langsung ikut terserap dalam proses penghayatan yang
telah berlangsung berabad-abad.
c.
Estetik
Wayang kulit purwa sebagai pertunjukan multi perspektif memiliki
beragam sudut kajian. Antara lain adalah bidang studi filsafat, sejarah, teaterologi,
psikologi, maupun sosiologi. Wayang kulit purwa sebagai bentuk seni multimedia
juga merangkum sekian jenis seni, antara lain adalah: Seni sastra dan teater, seni
pedalangan, seni karawitan (musik), seni tari dan seni rupa pada wujud wayang
kulit purwanya.
1) Estetik Rupa
Wayang kulit purwa dalam perlambangan bentuknya mengalami evolusi
beratus-ratus tahun. Kini telah memperoleh perupaan yang paling canggih dari
segala aspek dengan ikonografi dan karakteristik yang dibawakannya. Berikut
gaya stilasi serta unsur-unsur seni rupa, sehingga seni tradisi ini mencapai titik
klasik sebagai puncak perkembangannya (S. Haryanto, 1991: 18).
Beberapa gaya terwadahi dalam aspek rupa wayang kulit purwa, seperti
ekspresif, dekoratif, tradisional dan kadang humoris. Perupaan Wayang kulit
purwa diperkaya dengan “wanda” pada masing-masing tokohnya, sebagai cara
pembeda penggambaran karakteristik masing- masing tokoh
dalam konteks
adegan tertentu wanda-wanda tersebut memvisualisasikan watak dasar, lahir batin
wayang kulit purwa pada kondisi mental atau emosi tertentu, dilukiskan dengan
pola pada mata, hidung, mulut, wajah, posisi dan perbandingan ukuran tubuh (S.
Haryanto, 1991: 25).
Dalam penggambaran wayang kulit purwa yang paling nampak adalah
postur dari tokoh-tokohnya, seperti wayang kulit purwa sebelum Islam
penggambarannya berdasar wujud yang dilihat dengan sedikit stilasi sesuai
dengan materi dan tekniknya, sehingga hasilnya masih sangat dekat wujud
manusia. Berdasarkan kepada pengalaman dan analisis terhadap wayang kulit
purwa sebelum Islam, maka para
ahlitoyang
commit
user didukung oleh para penguasa,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
membuat wayang kulit purwa baru dengan stilasi dan deformasi berdasar pada
pengertian tentang manusia. Oleh karena itu muncul penggambaran yang
dipanjang-panjangkan, hidung lancip yang berlebihan untuk tokoh alusan, leher
dibuat sebesar lengan dan panjang, kemudian tangannya panjang sekali hingga
menyentuh kaki. Kemudian penggambaran mulut dibuat berliku-liku, yang tidak
dijumpai pada manusia. Stilasi dan deformasi yang dilakukan hingga berhasil
menggambarkan bentuk wayang kulit purwa yang kemudian dikenal seperti
sekarang ini (Sunarto, 1991: 11-12).
2) Estetik Teater
Sejak abad XI pertunjukan wayang kulit purwa yang berasal dari
kepentingan upacara religi telah berkembang menjadi toonel (tonil) yang teratur
(sistematik) struktur dramatiknya. Pada dasarnya struktur dramatik inilah yang
menciptakan konvensi struktural wayang kulit purwa sehingga mampu bertahan
dari jaman ke jaman, karena dalam konvensi ini, apa yang dinamakan pakem,
ugeran wayang kulit purwa, atau kaidah dasar pakeliran dapat dilihat secara jelas
untuk mempermudah upaya pelestarian, pengembangan dan revitalisasinya (S.
Haryanto, 1991: 12-13).
4.
Proses Penciptaan Wayang Kulit Purwa
Siapa yang pertama kali menciptakan wayang kulit purwa, sampai saat ini
belum diketahui orangnya. Penciptaan wayang kulit purwa pada jaman dahulu,
seperti halnya penciptaan jenis kesenian yang lain, yang tidak pernah berdiri lepas
dari masyarakat. Jadi masyarakat yang menyangga kesenian itulah yang
menciptakan bentuk wayang kulit purwa dan masyarakat itu pula yang
memeliharanya, menularkannya dan mengembangkan wayang kulit purwa.
Akan tetapi masyarakat adalah suatu perserikatan manusia. Apa yang
disebut kreativitas masyarakat berasal dari manusia-manusia pendukungnya, yang
akhirnya ciptaan itu diakui menjadi milik masyarakat. Kalau demikian pada
mulanya wayang kulit purwa dimulai
daritoseorang
commit
user pencipta. Tetapi kenyataannya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
ada yang mengatakan bahwa pencipta wayang kulit purwa baru muncul namanya
pertama kali oleh Sunan Giri pada tahun 1541 menciptakan wayang Bhatara Guru
Wanda Karna. (Seno A. Sastroamidjojo, 1964 : 21). Setelah itu nama-nama
pencipta wayang kulit purwa mulai bermunculan.
Proses penciptaan wayang kulit purwa, seperti halnya proses penciptaan
kesenian Jawa pada umumnya, pernah dikemukakan Seno A. Sastroamidjojo
sebagai berikut :
Buah karya budaya itu disebut “Kagunan” (hal yang berguna) yang
tercipta atas dasar kecerdasan atau pengetahuan (kawruh). Al hasil
“kawruh” itu adalah suatu alat atau “perabot budaya” belaka.
Untuk menghasilkan “Kagunan” yang baik, rasa perasaan tadi harus
diselaraskan dengan hasrat atau kehendak (kayun) masing-masing. (1964 :
119).
Dari pendapat tersebut kita dapat mengetahui bahwa kesenian (kagunan)
bermula dari kecerdasan atau pengetahuan (kawruh atau ngelmu). Artinya untuk
mencari ilmu pengetahuan (ngelmu) harus diupayakan dengan tindakan (laku).
Pada masa itu yang disebut laku adalah laku batin, yaitu mensucikan diri dengan
mengurangi makan, minum dan tidur, disertai berdoa atau bersemedi untuk
memperoleh ide, ilham atau wisik dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ide, ilham atau wisik dari Tuhan Yang Maha Kuasa harus dipadukan
dengan rasa atau perasaan yang ada di dalam dirinya, agar dapat menimbulkan
keindahan (estetis). Dengan demikian, bentukan dari ide akan menjadi semakin
jelas. Meskipun demikian, tanpa adanya karsa atau kehendak (kayun) yang kuat,
ide hanya tetap menjadi ide. (Suwaji Bastomi, 1993 : 95). Dengan cara demikian
ide tersebut bila dapat terbabar dalam karya, akan menjadi karya yang indah dan
memiliki nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penciptaan kesenian di Jawa
termasuk didalamnya wayang kulit purwa pada jaman dahulu, diawali dengan
upaya mencari ide dasar lewat “tapa brata” atau pendekatan diri kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa dalam keadaan suci. Apabila ide dasar telah diperoleh, maka
ide itu di padu dengan perasaan agar menjadi bentuk yang indah. Lewat kemauan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
yang kuat, bentuk itu diwujudkan ke dalam bentuk yang kasat mata dengan tujuan
“memayu hayuning bawana”.
5.
Penggolongan Wayang Kulit Purwa
Dalam hubungannya dengan pembuatan wayang kulit purwa, yang
meliputi pemahatan dan pewarnaan (penyunggingan) ternyata cukup sulit bila
wayang kulit purwa yang akan dibuat tidak dibeda-bedakan atau digolonggolongkan/ dikelompokkan. Belum lagi dalam hal menyimpan/ merawatnya.
Seandainya wayang kulit purwa yang berukuran kecil dicampur dengan wayang
kulit purwa yang berukuran besar bukan hal yang mustahil jika sampai terjadi
kerusakan. Untuk itu dalam pembuatan wayang kulit purwa ada penggolongan/
pengelompokan tersendiri, diantaranya:
a. Pengelompokan berdasarkan ukuran
b. Pengelompokan berdasarkan aspek Seni Rupa
c. Pengelompokan wayang kulit purwa berdasarkan posisi kaki, dan lainlain.
a.
Pengelompokan Berdasarkan Ukuran
Berdasarkan ukurannya, wayang kulit purwa dikelompokkan menjadi 8
yakni:
1) Buta (Denawa atau Raksasa)
Kelompok buta berukuran tubuh paling besar dibandingkan dengan
kelompok lain. Tingginya hampir mencapai 100 cm. Biasanya posisi
kakinya memencar atau melebar (njangkah). Buta tidak dipahat ngremit
(kecil-kecil), karena tidak ada bagian busana yang harus dipahat demikian.
Contoh antara lain: Kumbakarna, Suratrimantra, Dewa mambang atau
Kala Sekipu.
2) Gagahan
Kelompok gagahan berukuran sekitar 60-80 cm tingginya. Seperti halnya
dengan kelompok buta, posisi kakinya juga melebar. Tatahannya ada yang
to user
ngremit, ada yang tidak. commit
Suyudana
termasuk kelompok gagahan yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
dipahat secara ngremit, sedangkan Dasamuka adalah contoh gagahan yang
tatahannya tidak ngremit.
3) Katongan
Termasuk ke dalam kelompok katongan adalah wayang kulit purwa yang
tingginya berkisar antara 50-60 cm, pada umumnya menyerupai wayang
kulit purwa gagahan dalam hal pakaian atau busana yang dikenakannya.
Pahatan tidak ngremit. Posisi kaki melebar. Contoh tokoh dalam kelompok
katongan adalah Gathutkaca, Anoman, Setyaki dan Udawa.
4) Bambangan
Dalam kelompok bambangan, kebanyakan bentuk wayang kulit purwanya
tidak melebar kakinya, melainkan sempit jarak antara kedua kakinya.
Ukurannya pun kecil, hamper sama dengan tokoh dalam kelompok
katongan, berkisar antara 45-50 cm. Contohnya antara lain: Arjuna,
kresna, Wibisana, Nakula dan Sadewa.
5) Bambang Jangkah
Dalam hal ukuran tinggi badan, kelompok ini hampir sama dengan
kelompok bambangan. Perbedaannya dalam hal posisi kaki, rata-rata
posisi kakinya melebar seperti gagahan. Motif busana bagian bawah
menyerupai
busana
kelompok
gagahan,
denawa
atau
katongan.
Contohnya antara lain Wisanggeni, Bambang Irawan, Raden Sumitra,
Batara Penyarikan dan Pancawala.
6) Putren
Kelompok putren berukuran tinggi sekitar 25-30 cm dengan tatahan
ngremit. Sebagian besar kelompok ini terdiri atas tokoh putri/perempuan.
Posisi kaki merapat, tidak melebar. Misalnya Srikandi, Wara Sumbadra,
Dewi Sinta dan Trijatha. Wayang kulit purwa yang ukuran tingginya sama
dengan putri/perempuan juga dikategorikan ke dalam kelompok ini,
walaupun posisi kakinya melebar. Contohnya antara lain: Dewa Ruci,
Sang Hyang Wenang dan Bayen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
7) Dhagelan
Sesuai namanya, sebagian tokoh dalam kelompok ini bersifat humoristis
dalam pementasan. Ukuran tinggi kelompok dhagelan berkisar antara 3545 cm, kecuali pada tokoh Petruk, tingginya sekitar 70 cm. Contoh lain:
Semar, Gareng, Bagong, Bilung, Togog dan Cantrik. Macam pahatan pada
busana tokoh dalam kelompok ini boleh dikatakan sederhana, dengan
pahatan tidak ngremit.
8) Setanan
Menggambarkan setan, sejenis jin atau makhluk halus. Ukuran tingginya
bervariasi antara 25-60 cm. Biasanya tidak bernama (anonym) serta tanpa
busana
(kalaupun berbusana
boleh dikatakan sangat
sederhana).
Pahatannya juga sangat sederhana.
(Sagio dan Samsugi, 1988 : 18-19).
b.
Pengelompokan Berdasarkan Aspek Seni Rupa
Di tinjau dari aspek seni rupa, gambar wayang kulit purwa, bergaya
ekspresif dekoratif tradisional, yang mengambil tokoh-tokoh pelaku bersumber
pada Mahabarata dan Ramayana.
Dalam cerita pementasan di tambah tokoh-tokoh pelaku humor yaitu
gambar wayang kulit purwa bergaya ekspresif dekoratif humoris karikaturis, atau
tokoh dagelan, seperti: Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Sarawita, Cantrik,
Cangik dan Limbuk.
Gambar ekspresif yaitu gambar yang terjadi karena cetusan (ekspresi)
angan-angan seniman, berupa gambar hiasan dekor atau hiasan bidang.
Perwujudan dan sifat ekspresi dekoratif ini dalam wayang kulit purwa (terutama
versi Jawa Tengah), diwujudkan dalam bentuk tangan panjang dan badan panjang.
Wayang kulit purwa atau gambar wayang kulit purwa satu kotak yang
terdiri dari kurang lebih 300 buah itu dapat digolongkan menjadi 6 golongan.
1) Wayang kulit purwa ekspresif dekoratif, yaitu wayang kulit purwa yang
mengekspresikan perwujudan watak-watak manusia.
commit
to user
Perwujudan watak ini terletak
pada:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
-
Bentuk posisi dan raut muka.
-
Bentuk perbandingan dan posisi tubuh.
Berdasarkan perwatakan ini dogolongkan pada:
-
Watak baik.
-
Watak buruk.
-
Watak setengah baik.
Wayang kulit purwa ekspresif dekoratif, berdasarkan perlengkapan,
perabot dan pakaiannya dapat diklasifikasikan lagi menurut kelasnya,
yaitu:
-
Golongan dewa.
-
Golongan pendeta.
-
Golongan ksatria.
-
Golongan raja.
-
Golongan putran (nom-noman), yaitu putera raja semasih muda.
-
Golongan putri
-
Golongan punggawa/rampekan
-
Golongan raksasa
-
Golongan kera
dan kombinasinya seperti: Raja dewa, Raja kera, Raja raksasa, Raja
pendeta, dan sebagainya.
2) Wayang kulit purwa ekspresif dekoratif humoris karikatur, yaitu
wayang kulit purwa yang menggambarkan rasa humor (lucu). Jadi
gambarnya saja sudah lucu dan dalam bentuk karikatur dapat dibedakan:
-
Humoris karikaturis pengikut Ksatria, yaitu: Semar, Gareng, Petruk,
Bagong.
-
Humoris karikaturis pengikut Raksasa, yaitu: Togok, Sarawito.
-
Humoris karikaturis pengikut Dewa, yaitu: Patuk dan Temboro.
-
Humoris karikaturis pengikut Pendeta, yaitu: Cantrik Janaloka.
-
Humoris karikaturis Wanita, yaitu Cangik dan Limbuk.
3) Wayang kulit purwa merupakan kelompok atau suatu kompleks yang
commit pasukan
to user
menggambarkan kelompok
atau kompleks tumbuh-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
tumbuhan, binatang dan bangunan, yaitu Perampogak (Ampyakan) dan
Gunungan.
4) Wayang kulit purwa yang melukiskan atau menggambarkan binatang
dan kendaraan, seperti: kuda, kereta kencana, gajah, naga, burung
garuda, dan sebagainya.
5) Wayang kulit purwa yang melukiskan senjata seperti: panah, keris,
gada, alugara, senjata cakra, dan sebagainya.
6) Wayang kulit purwa yang melukiskan roh halus berupa siluman,
setan, seperti: Jurumeya, Jarameya Keblok, dan sebagainya.
(Soekatno, 1992 : 8-13).
c.
Pengelompokan Wayang Kulit Purwa Berdasarkan Posisi Kaki
Berdasarkan posisi kaki, dapat dikelompokkan menjadi dua, sebagai berikut:
1) Wayang Kulit Purwa Jangkahan
Posisi kaki melebar (njangkah) dan biasanya siten-siten (atau lemahan)
tampak lebih panjang. Sebagian besar wayang kulit purwa jangkahan
merupakan wayang kulit purwa gagahan, buta atau bambang jangkah.
Jarang sekali wayang kulit purwa bambangan yang posisi kakinya
njangkah. Contoh wayang kulit purwa yang termasuk dalam kelompok ini
misalnya Baladewa, Dasamuka, Bambang Irawan atau Kumbakarna.
2) Wayang Kulit Purwa Bokongan
Wayang kulit purwa dalam kelompok ini posisi kakinya merapat tertutup
oleh kain. Biasanya wayang kulit purwa bokongan memang kakinya tidak
njangkah, dan pantatnya tampak nyata. Dalam wayang kulit purwa
bokongan, sebagian besar merupakan wayang kulit purwa bambangan atau
putren. Wayang kulit purwa bokongan ini mempunyai ciri khas, yakni
pahatannya kecil-kecil (ngremit) penuh dengan motif rumpilan.
(Sagio dan Samsugi, 1988 : 22).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
6.
Perlambangan/Makna Simbolik dari Wayang Kulit Purwa
Dunia pewayangan adalah paradigma lambang yang tak pernah habis
untuk dibicarakan, karena wayang kulit purwa adalah akumulasi penggambaran
bentuk lain dari hidup dan kehidupan tidak hanya lakon pokok Ramayana dan
Mahabharata, dalam lakon-lakon sempalan dan carangan pun padat akan nilainilai perlambangan. Dalam setiap unsur rupa wayang kulit purwa tak ada satupun
yang tanpa muatan lambang, bahkan perangkat pendukung juga sarat akan
perlambangan, seperti: kelir (layar putih) yang melambangkan denyut jantung,
kotak merupakan sangkan paran, cempala lambang jantung dan kecrek atau
kepyak melambangkan urat nadi atau jalan darah, kayon atau gunungan lambang
hidup dan kehidupan, gamelan bermakna kebutuhan hidup, dalang merupakan
cipta sir atau gerak mula kehendak hidup, sedangkan yang nanggap wayang kulit
purwa adalah sang Hyang Atina atau jiwa manusia (S. Haryanto, 1995: 176).
Pertunjukan wayang kulit purwa juga mempunyai hubungan erat,
sekaligus Mikro dan Makrokosmos. Kita tahu, bahwa manusia (mikro) dan dunia
(makro) tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena merupakan satu kesatuan.
Dengan kata lain manusia tanpa dunia tidak mungkin, sebaliknya dunia tanpa
manusia bukanlah dunia manusia. Hubungan antara dunia (makro) dan manusia
(mikro) dalam pewayangan dilukiskan dengan gamblang yaitu: kesatuan antara
(kelir beserta gamelan sebagai makro) dengan (wayang kulit purwa beserta dalang
sebagai mikro). Artinya, tidak mungkin disebut wayangan apabila kelir (dunia)
tanpa wayang (manusia). Sebaliknya wayang tanpa kelir juga tidak dapat disebut
wayangan.
Dunia dan manusia itu semula diciptakan dari “tiada” oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Hal ini dalam dunia pewayangan dilambangkan dengan pendhapa
suwung yang kosong tetapi berisi. Begitu juga setelah kelir dibentangkan dan
wayangnya disimping (dijajar) maka ditengah-tengah kelir pun masih kosong, tak
ada satu wayang pun yang ditancapkan. Tetapi di dalam kosong/suwung itu sudah
ada gunungan atau kayon yang berarti kayun atau hidup. Ini pun lambang kosong
tetapi berisi. Setelah kayon ditarik ke bawah, maka muncullah wayang kulit purwa
commit wayang
to user kulit purwa raja, kemudian adik
pertama yang berwujud parekan disusul
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
atau ari-ari raja. Ini semua secara kosmis merupakan suatu lambang kelahiran
atau mulainya ada “lakon” (Sri Mulyono, 1979: 111).
7.
Proses Kreativitas
Pengertian ataupun definisi kreativitas sangat sulit untuk dibakukan,
mengingat banyaknya sudut pandang yang membahas persoalan ini. Sedemikian
beragamnya definisi tentang kreativitas hingga menghasilkan anggapan bahwa
kreativitas bisa dimaknai bergantung pada bagaimana orang mendefinisikan.
Begitu banyaknya definisi tentang kreativitas tersebut, namun di antara
yang banyak tersebut ada benang merah yang merujuk bahwa kreativitas
merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik
berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah
ada sebelumnya. Kreativitas adalah suatu kondisi mental yang sangat khusus
sifatnya dan hampir tak mungkin dirumuskan. Kreativitas adalah kegiatan mental
yang sangat individual yang merupakan manifestasi kebebasan manusia sebagai
individu. (Tjahjo Prabowo & Margono, 2008 : 21-22).
“Manusia kreatif bukanlah manusia kosong mental. Manusia
kreatif adalah manusia yang memilih gambaran suatu sikap baru,
pandangan baru, konsep baru dan sesuatu yang sifatnya essensial. Manusia
kreatif adalah manusia yang mempunyai kemampuan kreatif.
Kemampuan kreatif antara lain ditunjukkan lewat kesigapan
menghasilkan gagasan baru. Gagasan baru tersebut akan muncul bila
seseorang telah mengenal secara jelas dan tersedia dalam lingkungannya.
Artinya, untuk dapat menghasilkan yang baru orang perlu terlebih dahulu
menghayati, memaknai yang lama yang ada disekitar lingkungannya.
Tanpa mengenal dan menguasai budaya di tempat di mana dia hidup tak
mungkin muncul gagasan baru. Itulah sebabnya kreativitas tidak mungkin
dari sebuah kehampaan atau kekosongan”. (Tjahjo Prabowo & Margono,
2008 : 23-24).
B. Kerangka Berpikir
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan fisik, kemampuan
rasio dan kemampuan kreatif, hanya perbedaannya di batasi oleh gradasi, level,
commit
to user
periode dan degree-nya. Kreativitas
dimiliki,
baik oleh manusia primitif maupun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
manusia modern, baik anak-anak maupun orang dewasa. Untuk menemukan
definisi kasta kreatif memang sangatlah sulit, karena kata kreatif sering
disinonimkan dengan kata fantasi, imajinasi, orisinal, inventif, intuisi, estetis dan
lain sebagainya, namun seiring dengan perkembangan jaman dan penelitian yang
dilakukan oleh beberapa ahli dari jaman ke jaman akhirnya di peroleh kesimpulan
sementara (hipotesa) bahwa yang di maksud dengan istilah kreatif adalah sesuatu
yang berhubungan dengan proses penciptaan. Manusia merupakan satu-satunya
makhluk yang dapat mencipta dan karenanya berkebudayaan. (Primadi, T, 2006 :
50).
“Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang lengkap, yang memiliki
kreativitas pasif dan aktif. Kemampuan kreatif manusia adalah kemampuan yang
membantunya untuk dapat berbuat lebih dari kemungkinan rasional dari data dan
pengetahuan yang dimilikinya”. (Primadi. T, 2006 : 34).
Ki Margono, S.Sn adalah termasuk salah satu manusia kreatif, karena
beliau mempunyai kemampuan kreatif dan mempunyai ciri-ciri seperti itu. Ia
dilahirkan dalam lingkungan keluarga seniman dalang. Sejak kecil ia sudah
mengenal wayang kulit purwa, baik itu dari segi cerita maupun dari segi bentuk
visual wayang kulit purwanya, karena selain bapaknya sebagai seorang dalang,
bapaknya juga mendirikan tempat kerajinan pembuatan wayang kulit purwa di
kampung halamannya di Dusun Bulu, Desa Punduhsari, Kecamatan Manyaran,
Kabupaten Wonogiri. Kota tersebut memang sangat terkenal sebagai sentra
kerajinan wayang kulit purwa.
Di tempa dengan keadaan lingkungan masa kecilnya yang sudah sangat
akrab dengan berbagai bentuk visual wayang kulit purwa, kemudian ia bersekolah
ke SMSR Surakarta jurusan Seni Rupa sehingga bertambahlah wawasannya
mengenai keindahan-keindahan/estetik Seni Rupa. Hal ini menjadikan salah satu
alasan mengapa ia berani berkreasi untuk menciptakan bentuk-bentuk baru dari
wayang kulit purwa yang sudah ada. Sewaktu menciptakan, ia memiliki ide-ide
yang akan dituangkan dalam bentuk karyanya. Berbekal dengan ilmu yang
dimilikinya ia berusaha berkreativitas dengan ide-ide yang dimilikinya tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
Dalam proses pelaksanaan pengerjaan wayang kulit purwa kreasi barunya
tersebut kadang berjalan lancar tanpa hambatan hingga dapat mewujudkan sebuah
karya, tetapi kadang juga mengalami hambatan karena adanya sesuatu hal, untuk
itu ia harus mengolah pikir/menemukan ide kembali agar karyanya dapat berhasil
dengan lancar/baik.
Agar kerangka berpikir ini menjadi lebih jelas, dapat dilihat dalam bagan
di bawah ini:
Latar Belakang
Ki Margono, S.Sn
Ide
Proses Kreativitas
Tanpa Hambatan/ada faktor
pendukung
Ada Hambatan
Karya
Bagan 2. 1. Kerangka Berpikir
commit to user
Download