(4) KEBUDAYAAN ARAB : DINASTI MAMLUK DAN PERANG SALIB 1. Pendahuluan Selama kurang lebih 267 tahun, sebuah dinasti yang dikendalikan oleh pasukan budak (mamlûk) menguasai dan memerintah Mesir, Suriah, Asia kecil Tenggara dan Arab Barat (Hijaz) (Petry, 1981: 339). Dinasti yang didirikan oleh para amir dari Sultan Ayyubiyah terakhir, Al-Shalih Ayyub (w. 1249) ini lahir melalui perebutan kekuasaan yang sengit. Kendati banyak problem yang dihadapi oleh dinasti ini, baik yang datang dari dalam lingkaran kekuasaan maupun yang berasal dari luar, namun dinasti ini diakui memiliki kekuatan militer yang tangguh. Bahkan hingga pertengahan abad ke-19 Masehi, Dinasti Mamlûk berkembang sebagai kekuatan militer yang diakui dunia Islam (Aylon, 1977: 79). Dinasti ini banyak mengangkat pejabat tingginya dari orang-orang yang diimpor sebagai budak dan mampu memantapkan kekuasaan politiknya di suatu wilayah yang bergejolak selama kurang lebih 267 tahun. (Irvin, 1986: 131). Pasang surut yang dialami oleh dinasti ini hingga pada akhirnya menuju kepada keruntuhan serta keunikan yang dimilikinya, yang tidak mengenal “trah biru” layaknya dinasti dan kerajaan lain ini, menarik para peminat sejarah untuk mengkaji dan menelitinya. Tulisan ini mengulas latar belakang kelahiran, perkembangan, dan peran Dinasti Mamlûk dalam menghadapi Perang Salib. 2. Mesir sebagai Pusat Kebudayaan Arab dan Islam Untuk pertama kalinya, agama Islam diperkenalkan di wilayah Mesir pada tahun 628. Ketika itu Rasulullah saw mengirim surat kepada Gubernur Mukaukis, yang berada di bawah kekuasaan Romawi, mengajak masuk Islam. Pada tahun 639, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubayr bin Awwâm berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Koptik menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan Islam. Di masa kekuasaan keluarga Umayyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula (Ali, 1995: 112). Mesir menjadi pusat kekuasaan dan juga peradaban Muslim baru pada akhir abad ke-10, ketika Mu’iz Lidînillâh (selanjutnya disebut Mu’iz), membelot dari kekuasaan Abbasiyyah di Baghdad, untuk membangun kekhalifahan sendiri yang berfaham Syi’ah. Ia menamai kekhalifahan itu Fathimiah, diambil dari nama putri Rasul yang menurunkan para pemimpin Syi’ah, Fatimah. Pada masa kekuasaannya, tahun 953-975 Masehi, Mu’iz menugasi panglima perangnya, Jauhar as-Siqly, untuk membangun ibu kota (Ali, 1995: 112). Di dataran tepi Sungai Nil itu, kota Kairo dibangun, Khalifah Mu’iz membangun Masjid Besar Al-Azhar (diambil dari “az-Zahra”, nama panggilan Fathimah) yang diselesaikan pada 17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian berkembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang, yang juga merupakan universitas tertua di dunia. Mu’iz dan para penggantinya, Aziz Billah (975-996) dan Hakim bin Amril-Lâh (996-1021) sangat tertarik pada ilmu pengetahuan sehingga peradaban Arab dan Islam berkembang pesat. Kecemerlangan kota Kairo, baik fisik maupun kehidupan sosialnya mulai menyaingi Baghdad. Khalifah Hakim juga mendirikan pusat ilmu Baytul- Hikam yang mengoleksi ribuan buku sebagaimana yang ada di Baghdad. Di masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat tahun 1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu yang menjadi dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan Ibnu Haytam menemukan penjelasan fenomena “melihat”. Sebelum itu, orang-orang meyakini bahwa orang dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata menuju objek yang dilihat. Ibnu Haytam menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah dari mata ke benda tersebut, melainkan sebaliknya, dari benda ke mata. Di lapangan politik, gangguan terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada tahun 1167, Shalahud-Dîn al-Ayyuby mengambil alih kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyyah di Baghdad yang semakin lemah. Shalahuddin tidak menghancurkan Kairo yang dibangun oleh Fathimiyah, bahkan ia melanjutkannya dengan penuh antusias. Ia 54 hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syi’ah menjadi Sunni. Sekolah, masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan banyak fasilitas sosial lainnya dibangun. Pada tahun 1250, delapan tahun sebelum Baghdad diratakan dengan tanah oleh Hulagu Khan, kekuasaan Dinasti Ayyubiyah diambil alih oleh kalangan keturunan Turki, pegawai istana para budak yang disebut Mamlûk. Di Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan yang baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat dengan Kurdi. Tokoh militer Turki, Aybak bersekongkol dengan ibu tiri Turansyah, Syajaratah. Turansyah dibunuh kemudian Aybak dan Syajaratah menikah, tetapi Aybak juga membunuh Syajaratah. Selanjutnya, Musa, keturunan Ayyubiyah, sempat diangkatnya menjadi khalifah (Yatim, 2001: 124). Di saat Aybak menyebar teror, tokoh berpengaruh Mamlûk bernama Baybars mengasingkan diri ke Suriah. Ia baru kembali ke Mesir, setelah Aybak wafat, dan Ali, putra Aybak, mengundurkan diri dan digantikan Quthuz. Quthuz dan Baybars bertempur bersama untuk menahan laju penghancuran total oleh pasukan Hulagu Khan. Di Ain Jâlût, Palestina, pada 13 September 1260, mereka berhasil mengalahkan pasukan Mongol. Baybars, (1260-1277) yang dianggap menjadi peletak fondasi Dinasti Mamlûk yang sesungguhnya. Ia mengangkat keturunan Abbasiyyah, yang telah dihancurkan Hulagu Khan di Baghdad, menjadi khalifah. Ia merenovasi masjid dan Universitas Al-Azhar dan Kairo dijadikannya sebagai pusat peradaban dunia. Ibnu Batutah yang berkunjung ke Mesir, sekitar tahun 1326, tidak henti-hentinya mengagumi Kairo yang waktu itu berpenduduk sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding London pada saat yang sama. Ibnu Batutah tidak hanya mengagumi rihlah, tempat studi keagamaan yang ada hampir di setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang rapi dan “gratis”. Adapun Ibnu Khaldun menyebut: “mengenai dinasti-dinasti di zaman kita, yang paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir”. Pusat peradaban ini hampir hancur di saat petualang barbar Timur Lenk melakukan invasi ke Barat. Namun Sultan Barquq berhasil menahan laju pasukan Mongol tersebut. Dengan demikian, Mamlûk merupakan pusat kekuasaan yang dua kali mampu mengalahkan tentara Mongol. 55 3. Kekuasaan Dinasti Mamlûk Dinasti Mamlûk adalah sebuah rezim yang dikendalikan oleh pasukan budak. Golongan Mamlûk pada awalnya merupakan tentara yang memiliki motivasi ketentaraan yang begitu kuat sehingga mampu menahan serangan Mongol dan mengusir Tentara Salib yang telah lama menjajah sepanjang pesisir laut Syam (Esposito, 2001). Periode kerajaan Mamlûk dianggap sebagai zaman yang paling cemerlang dan paling makmur di dalam sejarah Islam. Kata Mamlûk dalam bahasa Arab berarti hamba-hamba yang dimiliki, dan terutama berlaku untuk para budak belian jenis kelamin laki-laki kulit putih yang ditangkap dalam peperangan atau dibeli di pasar. Dengan demikian, sultan-sultan Mamlûk di Mesir adalah budakbudak belian dari Turki dan Circassian yang dibeli oleh Sultan Ayyubiyah, NajmudDin, menggunakan mereka sebagai pengawal-pengawalnya (Hassan, 1989: 313). Sebelum timbul Dinasti Mamlûk, Syajaratud-Durr, Sultan Mesir, dan merupakan janda Sultan Ayyubiyah, Shalih Ayyub, dianggap sebagai deretan mereka yang pertama. Namun demikian, Musa, wakil dari keluarga Ayyubiyah, dikuasai sebagai pejabat nominal, yaitu pejabat negara dalam nama saja dan tidak memerintah, dalam kedaulatan negara selama beberapa tahun. Kemudian diikuti dengan penggantian raja-raja budak belian, terbagi menjadi dua dinasti, yaitu Dinasti Bahri dan Dinasti Barji yang memerintah Mesir dan Suriah sampai pada awal abad ke-16 (Yatim, 2001: 125). Meski pemerintahan-pemerintahan mereka yang singkat, sering terjadi perang sipil dan pembunuhan. Sultan Mamlûk mempertahankan sebuah pemerintahan yang terorganisasi dengan rapi, menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyyah di Mesir, mengalahkan bangsa Mongol di dalam sebuah peperangan besar di Ain Jâlût, mengawasi gerak maju mereka ke Mesir, dan memburu Tentara Salib di Suriah (Nasution, 1992: 611). Syajaratud-Durr memberi semangat kepada panglima-panglima negara dengan memberi mereka tanah-tanah pinjaman. Dia juga mengurangi pajak-pajak agar bisa membujuk hati rakyat. Pemerintahannya di Mesir yang bertahan selama tiga bulan menunjukkan pengalaman dan kecakapannya yang luar biasa dan membuktikan bahwa seorang wanita bisa memikul tanggung jawab negara, walaupun dalam tradisi Islam tidak dikenal prinsip itu (Yatim, 2001: 125). 56 Ketika Aybak menjadi Sultan Mesir, terdapatlah kekacauan sebagai akibat dari persaingan para Mamlûk. Al-Malikun-Nâshir, pemimpin Suriah, menggunakan kesempatan ini dan pergi dari Damaskus dengan memimpin tentara-tentaranya. Suriah dengan cepat disatukan dengan Mesir. Namun demikian, Aybak menimbulkan kemarahan pada diri Syajaratud-Durr dengan meminang salah seorang pemimpin perempuan dari Mosul. Syajaratud-Durr membentuk sebuah konspirasi untuk melawan dan membunuhnya pada tahun 1257. Nurud-Dîn yang menggantikan ayahnya, Najmud-Dîn Ayyûb, sebagai Sultan Mesir, membujuk beberapa budak belian wanitanya untuk membunuh Syajaratud-Durr (Ali, 1995:115). Pada tahun 1258, kekhalifahan Abbasiyah dihapuskan, dan kota Baghdadn dihancurkan oleh orang-orang Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, dan khalifah Abbasiyah terakhir dibunuh. Ketika berita ini sampai ke Baghdad, para ahli ilmu kalam dan hukum (ulama) serta panglima-panglima pasukan mengadakan pertemuan yang didalamnya, mereka membatalkan sumpah setia kepada Nurud-Din dan memproklamasikan seorang Mamlûk, Quthuz, sebagai Sultan Mesir (Yatim, 2001: 125). Dengan memimpin sejumlah pasukan orang-orang Mesir, Sultan baru ini berjalan maju dan mengalahkan sang penakluk bangsa Mongol, Hulagu, di dalam peperangan terkenal, Ain Jâlût (sebuah kota kecil terletak di antara Baysan dan Nablus di Palestina). Kemenangan ini disebabkan oleh Baybars, seorang panglima Mamlûk yang mengawasi gerak maju bangsa Mongol, yang akhirnya menjadi Sultan Mesir. Kekhalifahan Abbasiyah dengan segera dibangkitkan lagi oleh Baybars (1260-1277), sultan keempat dari dinasti Mamlûk Bahri. Untuk memperkuat kekuatan di Mesir dalam melawan ambisi-ambisi saingan-saingannya dari para Mamlûk yang lainnya, Baybars berusaha memperlihatkan keabsahan pemerintahannya. Dia mengadakan sidang, di dalam sidang ini, khalifah Abbasiyah yang baru menganugerahkan jubah kehormatan kepadanya bersama dengan syahadah pelantikannya (Irvin, 1986:133). Keinginan Baybars untuk mengembalikan kekhalifahan Abbasiyah, dengan demikian, lebih bersifat politik daripada religius, karena dia mempunyai tujuan untuk memperluas kekuasaannya atas wilayah-wilayah yang sangat luas dengan bantuan khalifah. “Para ahli teori masih memandang khalifah di Kairo sebagai penguasa 57 seluruh wilayah muslim dan bahwa dia adalah merupakan bayang-bayang (shadow) Allah di atas bumi. Beberapa pemimpin muslim beranggapan bahwa khalifah Abbasiyah di Kairo biasa memberikan gelar kepada seseorang yang mempunyai kekuatan sehingga membuat pemerintahan mereka syah menurut undang-undang” (Ali, 1995:117). Sekalipun demikian Baybars bukanlah orang pertama yang merencanakan untuk mengadakan revivalisme kekhalifahan Abbasiyah di Mesir, Raja Muda Ayyubiyah di Damaskus (al-Malikun Nasir Yusuf) merupakan pelopor dalam rencana itu. Dia sudah memanggil seorang dari anggota keluarga Dia sudah memanggil seorang dari anggota keluarga Ayyubiyah yang sudah melarikan diri ke Damaskus. Akan tetapi, dia sangat terkejut dengan kedatangan bangsa Mongol ke Suriah, maka dari itu, ia tidak bisa menghadiri undangan raja muda tadi. Sultan Mamlûk, Quthuz (1258-1260) begitupun sudah bermaksud untuk mengangkat pemimpin Abbasiyah ini sebagai khalifah atas umat muslim, tetapi dia sudah meninggal dunia sebelum menyelesaikan rencananya (Petry, 1981:349). Baybars bertujuan untuk membuat pemerintahannya bersifat turun-temurun. Dia memproklamasikan anaknya, as-Sa’id sebagai putra mahkota dan merencanakan perkawinannya dengan anak perempuan Qallâwûn, panglima Mamlûk terbesar. Namun demikian, orang-orang Mamlûk tidak senang dengan prinsip-prinsip turuntemurun ini, karena mereka berkeyakinan bahwa tidak ada seseorangpun yang mempunyai prioritas di atas yang lainnya kecuali dengan kecakapan militernya dan jumlah anggota pengikut-pengikutnya. Ketika Malik as-Sa’id turun tahta, Qallâwûn menurunkan tahta saudaranya dan dia sendiri menjadi Sultan, dengan demikian, kesultanan dipindahkan dari keluarga Baybars ke keluarga Qallâwûn (Irvin, 1986:136). Qallâwûn menambah jumlah budak belian Cirsassian yang dibawa dari Caucasus dan memberi mereka tempat di menara-menara benteng Kairo. Sejak itu, mereka dinamakan “budak-budak menara” (slaves of the towers) dan budak-budak Circassian (the Circassian slaves). Dia menaruh minat untuk mereka dalam bidang militer dan menjaga kepentingan-kepentingan mereka. Qallâwûn mengikuti jejak Baybars dalam memburu Tentara Salib keluar dari Suriah. Lebih-lebih dalam mempersatukan teritorial orang-orang Arab, Suriah dan Mesir. Orang-orang Mamlûk 58 berhasil melindungi kaum Muslim dari dua bahaya besar, yaitu: bahaya dari bangsa Mongol dan ancaman Tentara Salib (Ali, 1995:117). Dinasti ini memiliki penguasapenguasa yang terkenal sebagai berikut. a. Aybak (1250-1258) yang bernama lengkap Aybak bin Abdullah Shalihi (wafat 1258), sultan pertama Dinasti Mamlûk di Mesir dan Syam. Ia berasal dari seorang hamba milik Sultan Najamuddin Ayyub, setelah dibebaskan, diangkat menjadi seorang amir. Sepeninggal Sultan Turansyah, ia diangkat menjadi komandan pasukan (Irvin, 1986:139). b. Malik Shalih Shalahuddin (1352-1355) yang nama lengkapnya adalah Shalih bin Muhammad bin Qallâwûn (1337-1335). Pada masanya, terjadi kekacauan di Syam, dia pindah ke Damaskus bersama Khalifah Mukhtadi Abbasy, dan berhasil meredakan revolusi dan akhirnya kembali ke Mesir pada saat revolusi orang-orang Shaidiy, Mesir, telah mereda, dan ia memecat beberapa komandan pasukannya pada tahun 1351. c. Quthuz (1259-1260) yang nama lengkapnya adalah Quthuz bin Abdullah Muazzi (wafat 1260). Ia sultan ketiga Dinasti Mamlûk di Mesir dan Syam yang berasal dari seorang hamba milik Aybak. Setelah dibebaskan kariernya melonjak dan akhirnya menjadi komandan pasukan pada masa Manshur bin Mu’iz. Ia menduduki singgasana kesultanan setelah menggulingkan Manshur pada tahun 1254. Quthuz berhasil mengalahkan pasukan Tartar pada pertempuran Ain Jâlût pada tahun 1255. Dengan demikian, serangan tentara Mongol terhadap Dunia Timur telah terhenti (Irvin, 1986:140). d. Baybars I (1260-1277) yang nama lengkapnya adalah Baybars Alai Bindiqdari. Ia salah seorang hamba milik Sultan Shalih Najmuddin Ayyub yang dibebaskan dan diangkat menjadi amir. Kariernya terus melonjak menjadi komandan pasukan di Mesir pada masa pemerintahan Quthuz. Ia ikut berperang bersama Quthuz melawan tentara Tartar di Palestina. Pada tahun 1255 ia menjadi sultan Mesir dan Syam, sepeninggal Quthuz. Peperangan dengan tentara Tartar dan tentara Salib merupakan peperangan yang sengit dalam sejarah pemerintahannya. Pada masanya, terjadi penaklukan terhadap Nubia dan Dongola. Pada tahun 1256, ibukota kerajaan berpindah ke Mesir. Sultan kemudian meninggal dan dikuburkan di Damaskus (Ali, 1995:119). 59 e. Manshur Qallâwûn (1278-1290) dan Qallâwûn (Saifuddin) Alfi (1290), raja Daulat Qallâwûn pertama di Mesir dan Syam. Pasukan Tartar pernah menyerang negerinya, tetapi dapat ditahan. Ia termasuk raja Mamlûk yang agung dan banyak peninggalannya, antara lain, rumah sakit Bimaristan (Petry, 1981:359). f. Ashraf bin Qallâwûn (1289-1294) yang nama lengkapnya adalah Khalil bin Qallâwûn. Ia adalah salah seorang sultan Mesir yang berperang melawan tentara Salib. Ia berhasil mengembalikan Acre, Sur, Sidon, Beirut, benteng Romawi, Bisan, dan kawasan pantai Laut Tengah dari kekuasaan Tentara Salib. Sultan ini meninggalkan banyak bangunan arsitektur. g. Al-Malikun-Nashir (1293-1294) yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Qallâwûn, dijuluki dengan Al-Malikun-Nashir. Ia menjabat sultan Mesir dan Syam pada tahun 1290, namun ia segera dicopot dari pemerintahan karena usianya yang terlalu muda pada tahun 1291. Akan tetapi, ia kembali diserahi memimpin kerajaan di Mesir pada tahun 1295, walaupun hanya sekedar formalitas, karena ia disuruh tinggal di benteng seperti orang yang disingkirkan. Pada tahun 1306, ia kembali menduduki kursi kerajaan. Sultan besar Daulat Qallâwûn ini banyak meninggalkan bangunan arsitektur dan sejarahnya penuh dengan karya gemilang. Di antara peninggalannya adalah bangunan yang sekarang dikenal dengan Bendungan Mahmudiyah dan renovasi benteng. h. Ashraf II (1364-1377) yang nama lengkapnya adalah Syakban bin Husein bin Muhammad bin Qallâwûn, terkenal dengan nama Ashraf II. Pada masa pemerintahannya, tentara Salib menyerang kota Alexandria pada tahun 1364 (Hasan, 1989:257). Dia berangkat ke kota itu dan memerintahkan untuk memperbaiki kerusakan dan membangun armada laut yang terdiri atas 100 perahu perang untuk menyerbu tentara Salib. Ia adalah seorang raja yang adil dan berhasil mengelola administrasi negara, menaklukkan beberapa daerah baru dan mengadakan pembangunan-pembangunan arsitektur (Irvin, 1986:143). 60 4. Ekspansi Bangsa Mongol Pada abad ke-13 Masehi muncul bahaya bagi umat Islam yang datang dari Mongol. Mongol sudah menyatukan kabilah-kabilah mereka di bawah komando Jengis Khan. Mereka memulai ekspedisi besar untuk berekspansi. Mereka menguasai wilayah Manshuriyah, Cina, Korea dan juga berhasil menghancurkan pasukan muslim negara Al-Khawarizmiyyah pada tahun 1221, padahal merupakan benteng kuat yang dapat menghadang ekspansi mereka untuk menuju dunia Islam lainnya. Kekuatan Mongol ini juga telah mewujudkan banyak kemenangan besar dan menentukan. Jengis Khan telah meninggal dunia pada tahun 1277, namun pasukan Mongol tetap melanjutkan serangan mereka ke wilayah Asia Tengah, Rusia, dan menguasai Moskow sebagaimana mereka juga berhasil menduduki Ukraina dan menyerang Polandia serta mengalahkan pasukan Jerman. Mongol menghancurkan Hongaria setelah berhasil menyapu rata kekuatan bersenjata mereka dan terus menembus daratan Eropa. Sebagaimana mereka juga terus bergerak memasuki wilayah dunia Islam, maka lengkaplah kekuasaan mereka di wilayah Turkistan, Afghanistan, India, dan Persia (Ali, 1995:121). Mongol membumihanguskan setiap kerajaan yang mereka hadapi dengan tanpa sedikitpun ada rasa iba atau kasih sayang. Dengan perangai ekspansifnya, mereka ditakuti oleh negara-negara di dunia pada saat itu. Mereka bukan saja memiliki kekuatan untuk melakukan pertempuran, tetapi juga mereka pandai melancarkan perang urat saraf yang menakutkan bagi lawan-lawannya. Bangsa Mongol terus mengalami kemenangan demi kemenangan dalam perang fisik sebagaimana mereka juga meraih kemenangan perang urat saraf (Petry, 1981:329). Negara-negara Muslim menderita perpecahan dan kelemahan yang membuat Mongol dengan mudah merayap memasuki wilayah mereka dan meratakan kerajaankerajaan mereka dengan mudah. Tingkat ketidak-berdayaan pemimpin Islam ini membuat salah satu dari mereka, yang berkuasa di salah satu kota, mengirimkan gambarnya yang dibuat di bawah telapak sepatu sebagai hadiah kepada Hulagu Khan, komandan Mongol supaya ia dapat “termuliakan” dengan meletakkan kakinya di atas gambar penguasa Islam tersebut (Petry, 1981:356). 61 Mongol kembali menyerbu Irak dan mengepung kota Baghdad yang merupakan ibukota khilafah Abbasiyah yang sudah tidak bergigi dan tak berdaya. Salah sati sebab dari ketidak-berdayaannya itu adalah konspirasi antara menteri Ibnu al-Aqamy dan Mongol untuk menjatuhkan khilafah dan ia juga membebastugaskan pasukan khilafah dari jumlah 100 ribu menjadi 10 ribu. Baghdad jatuh pada tanggal 10 Februari 1258, pada saat itu pasukan Mongol membantai umat Islam secara besarbesaran yang berlanjut hingga 40 hari. Menurut Ibnu Katsir, jumlah korban yang berjatuhan pada saat itu lebih kurang 800 ribu orang dan ada yang menyebutkan sekitar satu juta orang. Khalifah al-Mu’tashim Billah juga terbunuh, dan ada yang mengatakan bahwa ia ditempatkan di dalam kantong lalu meninggal dunia karena tendangan (Irvin, 1986:145). Mongol kembali menyerbu negeri al-Jazirah dan berhasil menguasai wilayah Hurran, ar-Racha dan Diyar Bakr. Kemudian menyeberangi Eufrat dan memasuki daerah Aleppo pada tahun 1260. Para penguasa Bani Ayyub yang memerintah negeri Syam (Suriah) memperlihatkan sikap kehinaan yang sangat setelah Nasher Yusuf alAyyuby, penguasa Aleppo, mendeklarasikan ketundukan dan ketaatannya kepada Mongol yang masuk negeri ini dengan melakukan kekejaman sehingga harus mengalirkan darah para kaum muslim di daerah Azqah (Hasan, 1989:274). Dengan kondisi seperti ini, akhirnya penguasa daerah Hamah, al-Manshur bin al-Muzhaffar berinisiatif untuk kabur ke Mesir bersama isteri dan anak-anaknya meninggalkan kota Hamah bersama rakyatnya untuk menghadapi nasib mereka. Kemudian Nasher Yusuf kabur dari Damaskus ke Ghaza dengan tujuan akan melanjutkan perjalanan ke Mesir dengan membiarkan daerahnya tanpa pemerintahan dan rakyatnya tanpa pemimpin. Rumah yang dibangun oleh al-Ayyuby di wilayah Suriah hencur berkeping-keping dalam waktu yang tidak terlalu lama. Namun demikian, selama masa pemerintahan anak Qallâwûn, Nasir Muhammad, Boneka bangsa Mongol, di Persia, yakni Ghazan, menggunakan sebagian besar dari zaman pemerintahannya untuk memerangi orang-orang Mamlûk di Suriah (Sou’yb, 1977:113). Pada musim dingin tahun 1299-1300, Ghazan berjalan menuju Syair dengan memimpin 100.000 orang dan dalam peperangan dekat Majma’ al-Muruj mengalahkan angkatan perang Mamlûk. Pasukan perang Mongol merusak sebagian besar sanubari rakyat sehingga mereka menangguhkan atau 62 memberhentikan jemaah salat jum’at untuk sementara (Hitti, 2001:245). Sekalipun demikian, perlawanan yang kuat dari benteng Damaskus, dan faktor pasukan perang Mamlûk yang mempunyai perlengkapan lengkap, serta pemberontakan- pemberontakan yang pecah di Persia dan kegagalan bantuan umat Kristen yang diharapkan semua ini menjadi faktor yang akhirnya memaksa Ghazan untuk kembali ke ibukotanya dan puas dengan pertukaran utusan-utusan dengan Sultan Mamlûk, Nashir (Irvin, 1986:147). Pada tahun 1256, penerus-penerus dinasti Salahud-Din dari kalangan budak menunjukkan bahwa pasukan Mongol bukannya tak terkalahkan; mereka berhasil menghancurkan garda depan tentara Hulagu di Palestina. Jenderal Mongol, yang terbunuh, adalah pengikut Kristen Nestoria, dan ia ditemani oleh Raja Kristen Armenia Sicilia dan oleh Raja Kristen Antioch, tetapi masyarakat Frank di Acre memberi jalan kepada tentara Mamlûk. Pasukan Mamlûk mengusir tiga invansi berikutnya yang dilancarkan ke Suriah oleh Il-Khan Mongol dari Iran dan Irak, dan mereka merebut Acre, muara pantai Kristen Barat terakhir di Suriah pada tahun 1291 (Hasan, 1989:284). 5. Perang Salib Bangsa Eropa sangat senang hati dengan invansi yang dilancarkan oleh bangsa Mongol terhadap negara-negara Islam dan berusaha untuk berkoordinasi dengan mereka menggalang satu barisan melawan musuh bersama. Mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajaran Kristen di antara orang-orang Tartar. Pada awalnya, proyek ini secara parsial berhasil karena komandan Tartar yang menyerang negara-negara Islam (Hulagu) memiliki kecenderungan kepada ajaran Kristen Nasturia dan para pengawalnya banyak melibatkan mereka, bahkan istrinya sendiri adalah beragama Kristen. Istrinya ini memiliki perananan besar, yang membanggakan pihak gereja, dalam upaya untuk menghindarkan malapetaka yang akan menimpa daratan Eropa dari serangan orang Mongol dan mengarahkannya kepada negara-negara Islam, bahkan komandan perang Ain Jâlût, Katbaga, adalah seorang Kristen (Ali, 1995:122). Pengaruh Kristen sangat besar bagi orang Mongol bahkan salah satu pendeta Kristen mengilustrasikan ekspedisi Tartar, bahwa itu adalah : “Ekspedisi Tentara 63 Salib dengan seluruh maknanya, yaitu ekspedisi Kristen Nestoria” (Sou’yb, 1977:117). Mereka mengharap bahwa Halako dan pemimpinnya, Katbaga akhirnya berhasil mengeliminasi sepak terjang umat Islam secara keseluruhan. Hatoon Pertama, Raja Armenia, dan Bohemond Ke-6, Pangeran Tripoli, bersama dengan pangeran Tentara Salib wilayah Sour, Akka dan Cyprus, membuat aliansi dengan orang Mongol yang menegaskan upaya untuk mengeliminasi umat Islam di Asia dan mengembalikan al-Quds kepada Tentara Salib (Petry, 1981:367). Pada masa itu, Mesir di bawah Dinasti Mamlûk diperintah oleh Sultan alMuzhaffar Quthuz pada tahun 1259. Ia adalah seorang pemimpin yang terkenal keimanannya, kecintaannta kepada Tuhan dan Islam. Ia adalah seorang murid seorang cendekiawan terbesar pada masa itu, al-Aziz bin Abdus-Salam. Ibnu Katsir mengatakan bahwa Quthuz adalah “seorang pahlawan pemberani yang mencintai perbuatan baik dan mengikuti Islam; rakyat mencintainya dan tetap mendoakannya. Setelah beberapa bulan dari pemerintahannya, ia harus menghadapi masalah invasi Tartar dan menerima surat ancaman dari pemimpin mereka, yaitu Halako sebelum ia meninggalkan Suriah dengan memaksa untuk menyerahkan Mesir. Dalam surat itu ia berkata : “Lihat apa yang telah kita perbuat kepada yang lain dan belajarlah dari mereka; menyerahlah, karena kita tidak akan mengasihani orangorang yang merintih dan menangis. Kemana kira-kira anda akan berlari menyelamatkan diri dari kami? Siapa yang dapat memproteksi kalian dari pedangpedang kami? Kami tidak mengenal benteng-benteng, balatentara yang menyerang kami tidak ada gunanya dan doa kalian untuk kami tidak didengar” (Petry, 1981:369). Namun Butz, pemimpin umat Islam yang hanya takut kepada Allah, mengetahui betul bahwa kemenangan itu hanya datang dari Allah. Kalau ia benarbenar mempersiapkan diri untuk terjun dalam kancah perang dan menghubungkan segala sesuatunya kepada Allah, maka kemenangan akan dapat diraih (Hitti, 2001:256). Akhirnya, ia mendeklarasikan jihad dan bersiap untuk menghadapi invasi Tentara Salib. Setelah membaca surat tersebut, ia memerintahkan untuk menangkap dan membunuh para utusan pembawa surat dengan memotong jasadnya dari tengah (untuk dibagi dalam dua bagian). Kepala mereka digantung pada salah satu pintu masuk kota Kairo (pintu Zuwaylah) (Sou’yb, 1977:121). Eksekusi mati ini adalah 64 deklarasi yang tidak ada kegentaran untuk mundur bulat tekad untuk berperang. Hal ini juga merupakan tantangan yang memberikan spirit kekuatan dan kebanggaan dalam menghadapi ekspansi Tartar (Ali, 1995:125). Quthuz memutuskan untuk berinisiatif menyerang dan maju terus menghadapi kekuatan tempur Tartar sebagai upaya untuk mengangkat spirit juang umat Islam, sekaligus sebagai penegasan atas spirit jihad yang berupaya untuk mencari mati syahid di jalan Allah. Langkah ini juga dipandang sebagai upaya untuk memelihara negara Islam yang ada di Mesir dan pembebasan wilayah Islam lainnya di Suriah, termasuk di dalamnya Palestina dan Masjid Al-Aqsha yang diberkahi. Selain itu, serangan ini adalah upaya untuk menakuti orang-orang Tartar bahwa mereka yang menyerang adalah tipe baru yang belum mereka hadapi sebelumnya, dan menyerang adalah cara yang paling sukses untuk bertahan (Yatim, 2001:135). Pada bulan Ramadhan, 26 Juli 1260, pasukan Islam dibawah pimpinan Quthuz melewati perbatasan dan membebaskan Ghaza dan berdiam di kota itu selama satu hari. Kemudian mereka bergerak ke arah utara untuk menghadapi pasukan Tartar, di sana di Ain Jâlût bagian Timur Palestina, dua kekuatan Islam dan Tartar ini bertemu (Ali, 1995:127). Pertempuran Ain Jâlût menyaksikan salah satu pertempuran yang terbesar dan krusial dalam sejarah yang terjadi pada hari Jum’at, 6 Desember 1260 Masehi. Dalam perang ini, sebenarnya Tartar lebih unggul dari dua segi “Ilmu dan logika”, karena mereka memiliki kelebihan dibandingkan dengan pasukan Islam dalam aspekaspek berikut ini: i) efisiensi dan pengalaman yang luas yang merupakan buah dari berbagai banyak pertempuran yang mereka arungi (kepemimpinan dan tentara), ii) semangat dan moral juang yang sangat tinggi karena belum pernah terkalahkan sebelumnya, iii) efisiensi pasukan kavaleri yang mengetahui berbagai teknik pertempuran, seperti serangan kilat yang menjadi kelebihan pasukan Tartar, iv) mereka mampu mengorganisasi secara baik karena lebih dekat kepada basis suplai dan logistik, v) lokasi strategis tentara mereka lebih baik dari posisi pasukan Islam (Hodgson, 2002:203). Kendati berbagai kelebihan mencolok yang mereka miliki, namun kemenangan yang monumental telah berpihak kepada umat Islam. Pasukan Quthuz memiliki kelebihan bahwa mereka adalah “pasukan Islam” yang bergerak untuk 65 menolong Islam dan memproteksi negeri-negerinya yang suci (Hitti, 2001:251). Berbagai lapisan masyarakat turut berpartisipasi dalam pertempuran ini baik kaum lansia, ulama dan orang-orang shaleh Mesir. Perintah untuk beramar ma’ruf wannahyu anil munkar menyebar di kalangan tentara, mereka keluar dari Mesir sebagai pasukan yang dalam kondisi taubat, bersih, dan sakral membela agama Allah dan menancapkannya di bumi. Pasukan Islam ini dipimpin oleh seorang komandan beriman yang didorong dengan “keinginan kuat untuk berperang”. Hal ini menjadi fenomena yang paling kuat dan menjadi faktor kemenangan yang paling penting dalam pertempuran apa pun (Yatim, 2001:154). Quthuz meminta kepada pasukannya untuk menunggu hingga setelah salat Jum’at, ia menyeru: “Janganlah kalian melancarkan serangan kepada mereka hingga tergelincir matahari, memberikan bayang-bayang, angin bertiup dan para khatib di masjid serta manusia lainnya mendoakan kita dalam salat-salat”. Setelah itu baru mulai pertempuran (Ali, 1995:129). Di tengah berlangsung pertempuran, isteri Quthuz Jullanar mati terbunuh dalam jihad ini. Ia bergegas mendekati isterinya pada detik-detik nafas terakhir kepergiannya dengan berteriak: “Wahai, Kasihku!”. Isterinya membalas dengan berkata kepadanya: “Jangan engkau katakan itu, tapi katakanlah Islamah (duhai Islam)”, kemudian terangkatlah rohnya ke pangkuan Tuhannya setelah menyampaikan pesan tersebut bahwa urusan Islam dan Jihad di jalan Allah adalah lebih penting dari cinta dan hubungan pribadi. Maka Quthuz berdiri tegak dan membalas dengan mengucap: “Duhai Islam, duhai Islam”, dan seluruh pasukan mengumandangkan teriakan yang sama sehingga berakhir dengan kemenangan (Petry, 1981:363). Pada saat perang, kuda Quthuz terbunug lalu ia turun dan terus bertempur walau tanpa kuda, sehingga pasukannya memberikan kepadanya kuda pengganti. Akan tetapi, ia menolak untuk mengambil kuda pangeran lainnya yang secara sukarela memberikan itu kepadanya, dengan mengatakan bahwa ia tidak mau untuk menghalangi mereka dalam menunaikan tugas suci ini. Sebaliknya, ia harus berusaha sendiri untuk dapat menyelamatkan diri. Ia ditanya mengapa tidak mau menunggang kuda dan kalau saja para musuh melihat, maka mereka akan membunuhnya dan Islam akan dipecundangi. Ia menjawab: “Kalau saja saya terbunuh, maka saya telah 66 pergi ke surga dan saya memiliki Tuhan yang tidak akan melenyapkanku” (Hodgson, 2002:207). Setelah perang usai dan kemenangan ada di pihak Islam, Quthuz turun dari kudanya berjalan dan mengusap mukanya dengan debu medan tempur serta sujud di hadapan Allah bersyukur kepada-Nya yang telah mengaruniakan kemenangan (Ali, 1995:129). Kaum Muslim langsung bergerak mengejar orang-orang Mongol, dan Quthuz memasuki kota Damaskus hanya lima hari setelah berakhirnya peperangan Ain Jâlût (Lapidus, 1967:78). Pengejaran berlanjut ke Aleppo dan ketika mereka mengetahui bahwa pasukan Islam sudah mendekat, diputuskan untuk meninggalkan tawanan Muslim. Hal ini bagi mereka adalah malapetaka besar. Hanya dalam satu bulan umat Islam dengan kepemimpinan Mamlûk berhasil mengembalikan negeri Suriah dari Mongol dan Tartar (Yatim, 2001:146). Peperangan ini adalah salah satu peperangan yang penting dalam sejarah karena berhasil menghentikan ekspansi orang-orang Tartar yang tidak dapat diberhentikan oleh kekuatan apa pun sebelumnya. Kejadian ini merupakan permulaan bagi episode kekalahan-kekalahan yang berlanjut dan mengembalikan Mongol kepada basis-basis mereka semula dan mampu untuk memerdekakan negerinegeri Islam yang mereka kuasai. Kemudian orang-orang Mongol yang menetap di negeri-negeri Islam berpindah ke agama Islam, mereka berbondong-bondong memeluk agama Allah. Peristiwa dipandang sebagai kemenangan baru umat Islam (Ayalon, 1977:72). Kendati pasang naik kekuatan Mongol Tartar dapat diusir dari bumi Palestina dan umat meraih kemenangan yang gemilang di pertempuran Ain Jâlût, namun kerajaan salibis di Akka tetap saja bertahan dengan kekuasaannya yang mencakup wilayah pesisir yang membentang dari Jafa ke Akka. Para sultan Dinasti Mamlûk mengambil tugas pembebasan tanah tempat Isra’ dan negeri Suriah yang tersisa sehingga tiba masa di mana kekuatan Tentara Salib yang terakhir dapat diusir setelah lebih dari 30 tahun pascaperang Ain Jâlût (Ayalon, 1977:91). Hal yang membuat Sultan Quthuz sukses adalah ad-Dhaher Baybars, yang berkuasa hanya satu tahun. Baybars memiliki kontribusi signifikan dalam memerangi dan mengeluarkan kekuatan Tentara Salib dari Suriah dengan cara menghujani basisbasis mereka dengan serangan demi serangan secara terus-menerus (Hodgson, 67 2002:211). Akan tetapi, ia terkadang harus mengakomodasi kesepakatan damai dengan mereka. Setelah ia mampu menanggulangi berbagai problema internal negera, ia kembali turun ke kancah peperangan dengan Tentara Salib. Pada tahun 1263, ia memasuki wilayah Palestina. Setelah pasukannya tiba di daerah Akka, Tentara Salib mendatanginya untuk meminta pembaruan kesepakatan genjatan senjata dan menyetujui pembebasan para tawanan Muslim serta memelihara berbagai kesepakatan dan piagam (Lapidus, 1967:94). Namun Baybars mempertimbangkan tuntutan mereka dan terus melangkah menyerang berbagai basis kekuatan musuh, khususnya di Akka. Langkah ini dilancarkan untuk mengetahui titik-titik kekuatan dan kelemahan yang ada pada mereka sehingga datang waktunya untuk menyelamatkan negeri-negeri dan tempat-tempat yang diduduki. Kekuatan Tentara Salib tidak dapat membendung ekspansi kekuatan pasukan Islam ini (Yatim, 2001:153). Pada tahun 1265, ad-Dhaher Baybars kembali menginvansi Palestina dan dapat menguasai al-Qaisariyyah al-Muhsanah, menghancurkan dinding-dindingnya. Sebagian pasukannya menyerang wilayah Akka dan sebagian lainnya menyerbu Hayfa. Kemudian kota Arsouf jatuh ke dalam genggamannya pada tahun yang sama. Pada tahun berikutnya, ia kembali keluar ke Palestina mengepung Safad, menduduki dan menghancurkan dinding-dindingnya. Kemudian pada tahun 1267, ia kembali ke Palestina dan delegasi Tentara Salib datang menghadap kepadanya untuk meminta gencatan senjata. Ia biasa mengikuti strategi devide and rule dalam berhubungan dengan kekuatan Tentara Salib agar kekuatan mereka tidak dapat bersatu untuk melawannya dalam satu waktu. Strategi ini mampu menaklukkan kota Antakiya pada tahun 1268 (Hitti, 2001:271). Hal ini dianggap sebagai kemenangan yang paling gemilang yang diraih oleh umat Islam dari Tentara Salib setelah keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan kota al-Quds pada tahun 1187. Setelah keberhasilannya untuk menduduki Antakiya, Baybars sepakat untuk mengadakan perjanjian damai dengan Akka yang berlaku hingga 10 tahun, dengan syarat bahwa ia harus menguasai setengah dari wilayah Akka dan mengendalikan dataran tinggi di sekitar Sayda (Ayalon, 1977:93). Setelah wafat ad-Dhaher Baybars, Sultan al-Manshur Saîud-Dîn Qallâwûn meneruskan langkah pendahulunya untuk memerdekakan negeri Suriah dari 68 hegemoni Tentara Salib. Pada masa kekuasannya ini, terbentuk aliansi besar melawan umat Islam yang terjalin antara kekuatan Tentara Salib, Tartar, dan Sanqur al-Ashqar, wakil penguasa Damaskus yang berpaling dari orang Islam. Akan tetapi, aliansi ini gagal dan Qallâwûn mulai memperketat tekanannya terhadap Tentara Salib dan berhasil menduduki pelabuhan al-Marqab pada tahun 1285. Ia juga menaklukkan al-Ladeqyya pada tahun 1289. Qallâwûn dapat memanfaatkan instabilitas yang terjadi pada negara Salibis di Akka secara khusus dan di negerinegeri Suriah pada umumnya karena perebutan kekuasaan yang sedang terjadi (Hodgson, 2002:213). Ia adalah sosok pemimpin yang kuat yang dapat mengeliminasi kehadiran Tentara Salib di wilayah Arab bagian timur. Pada daerah pantai Shami, Tentara Salib hanya menguasai wilayah Akka, Sour, Sayda dan Etleet (Ali, 1995:131). Suasana seperti itu bagi Qallâwûn adalah momen yang paling tepat untuk mengeliminasi Tentara Salib dari bumi Palestina secara total. Ia memanfaatkan peristiwa penyerangan yang dilancarkan oleh mereka yang membunuh beberapa jemaah haji Muslim sebagai sebuah dalih untuk mendeklarasikan jihad melawan Tentara Salib. Ia menyerukan seluruh pasukan bersenjatanya dari Mesir dan Suriah (Yatim, 2001:155). Ia berdiam di luar kota Kairo untuk menunggu kedatangan balabantuan, tapi ia terjatuh secara tiba-tiba lalu meninggal dunia pada tahun 1287. Sebagai suksesornya adalah putranya yang bernama Ashraf Shalahuddin. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Tentara Salib untuk menawarkan Ashraf perjanjian lain, tapi itu ditolak dan ia kerahkan pasukan bersenjatanya untuk mengepung Akka yang berhasil dimerdekakan pada tahun 1291. Raja Akka, Henry II, berhasil lolos melarikan diri ke Cyprus. Setelah menaklukkan Akka, Ashraf menduduki Sayda, Sour, Hayfa, dan Etleet (Sou’yb, 1977:123). Ia juga memerintahkan kepada pasukannya untuk membumihanguskan seluruh benteng yang ada di kota-kota tersebut. Jadi, basis terakhir kekuatan Tentara Salib telah dihancurkan oleh tangan-tangan dinasti Mamlûk, dan akhirnya eksistensi mereka di Palestina dan Suriah dapat diselesaikan secara total setelah dua abad dari tahun 10991291. Dengan prestasi ini, Palestina kembali berada di bawah pemerintahan Islam hingga berakhir pada masa pada saat kekuatan Inggris berhasil menjajah wilayah ini (Ayalon, 1977:49). 69 6. Catatan Akhir Tulisan Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. a. Kata Mamlûk dalam bahasa Arab berarti hamba-hamba yang dimiliki, dan terutama berlaku untuk para budak belian jenis kelamin laki-laki kulit putih yang ditangkap dalam peperangan atau dibeli di pasar. Dengan demikian, sultan-sultan Mamlûk di Mesir adalah budak-budak belian dari Turki dan Circassian yang dibeli oleh Sultan Ayyubiyah, Najmud-Din, menggunakan mereka sebagai pasukan pengawalnya. b. Dinasti Mamlûk adalah sebuah rezim yang dikendalikan oleh pasukan budak (mamlûk). Pada awalnya, pasukan budak merupakan tentara yang memiliki motivasi ketentaraan yang begitu kuat sehingga mampu menahan serangan Mongol dan mengusir Tentara Salib yang telah lama menjajah sepanjang pesisir laut Syam. Periode kerajaan Mamlûk dianggap sebagai zaman yang paling cemerlang dan paling makmur di dalam sejarah Islam. Dinasti Mamluk banyak mengangkat pejabat tingginya dari orang-orang yang diimpor sebagai budak dan mampu memantapkan kekuasaan politiknya di Mesir yang bergejolak selama kurang lebih 267 tahun. c. Dinasti Mamluk menghadapi banyak masalah, baik yang datang dari internal kekuasaan maupun eksternal, tetapi di satu sisi, dinasti ini diakui memiliki kekuatan militer yang tangguh, bahkan hingga pertengahan abad ke-19 Masehi, Dinasti Mamlûk berkembang sebagai kekuatan militer yang diakui dunia Islam. d. Peran yang dimainkan oleh Dinasti Mamlûk, khususnya dalam melawan Tentara Salib, tidaklah kecil. Kendati dinasti ini banyak dipersalahkan oleh para sejarawan karena mempercepat kemerosotan perekonomian di tanah Arab bagian tengah, tetapi tidak dapat disangkal bahwa rezim inilah yang membentuk model birokrasi dan administrasi Mesir hingga zaman modern. 70