kebudayaan arab pada dinasti mamluk

advertisement
(4)
KEBUDAYAAN ARAB :
DINASTI MAMLUK DAN PERANG SALIB
1. Pendahuluan
Selama kurang lebih 267 tahun, sebuah dinasti yang dikendalikan oleh
pasukan budak (mamlûk) menguasai dan memerintah Mesir, Suriah, Asia kecil
Tenggara dan Arab Barat (Hijaz) (Petry, 1981: 339). Dinasti yang didirikan oleh para
amir dari Sultan Ayyubiyah terakhir, Al-Shalih Ayyub (w. 1249) ini lahir melalui
perebutan kekuasaan yang sengit.
Kendati banyak problem yang dihadapi oleh dinasti ini, baik yang datang dari
dalam lingkaran kekuasaan maupun yang berasal dari luar, namun dinasti ini diakui
memiliki kekuatan militer yang tangguh. Bahkan hingga pertengahan abad ke-19
Masehi, Dinasti Mamlûk berkembang sebagai kekuatan militer yang diakui dunia
Islam (Aylon, 1977: 79). Dinasti ini banyak mengangkat pejabat tingginya dari
orang-orang yang diimpor sebagai budak dan mampu memantapkan kekuasaan
politiknya di suatu wilayah yang bergejolak selama kurang lebih 267 tahun. (Irvin,
1986: 131).
Pasang surut yang dialami oleh dinasti ini hingga pada akhirnya menuju
kepada keruntuhan serta keunikan yang dimilikinya, yang tidak mengenal “trah biru”
layaknya dinasti dan kerajaan lain ini, menarik para peminat sejarah untuk mengkaji
dan menelitinya. Tulisan ini mengulas latar belakang kelahiran, perkembangan, dan
peran Dinasti Mamlûk dalam menghadapi Perang Salib.
2. Mesir sebagai Pusat Kebudayaan Arab dan Islam
Untuk pertama kalinya, agama Islam diperkenalkan di wilayah Mesir pada
tahun 628. Ketika itu Rasulullah saw mengirim surat kepada Gubernur Mukaukis,
yang berada di bawah kekuasaan Romawi, mengajak masuk Islam. Pada tahun 639,
ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin
Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubayr bin Awwâm
berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Koptik menandatangani
perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan Islam. Di masa
kekuasaan keluarga Umayyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula (Ali,
1995: 112).
Mesir menjadi pusat kekuasaan dan juga peradaban Muslim baru pada akhir
abad ke-10, ketika Mu’iz Lidînillâh (selanjutnya disebut Mu’iz), membelot dari
kekuasaan Abbasiyyah di Baghdad, untuk membangun kekhalifahan sendiri yang
berfaham Syi’ah. Ia menamai kekhalifahan itu Fathimiah, diambil dari nama putri
Rasul yang menurunkan para pemimpin Syi’ah, Fatimah. Pada masa kekuasaannya,
tahun 953-975 Masehi, Mu’iz menugasi panglima perangnya, Jauhar as-Siqly, untuk
membangun ibu kota (Ali, 1995: 112).
Di dataran tepi Sungai Nil itu, kota Kairo dibangun, Khalifah Mu’iz
membangun Masjid Besar Al-Azhar (diambil dari “az-Zahra”, nama panggilan
Fathimah) yang diselesaikan pada 17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah
yang kemudian berkembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang, yang juga
merupakan universitas tertua di dunia. Mu’iz dan para penggantinya, Aziz Billah
(975-996) dan Hakim bin Amril-Lâh (996-1021) sangat tertarik pada ilmu
pengetahuan sehingga peradaban Arab dan Islam berkembang pesat. Kecemerlangan
kota Kairo, baik fisik maupun kehidupan sosialnya mulai menyaingi Baghdad.
Khalifah Hakim juga mendirikan pusat ilmu Baytul- Hikam yang mengoleksi ribuan
buku sebagaimana yang ada di Baghdad.
Di masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat tahun 1009) menemukan sistem
pendulum pengukur waktu yang menjadi dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan
Ibnu Haytam menemukan penjelasan fenomena “melihat”. Sebelum itu, orang-orang
meyakini bahwa orang dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata
menuju objek yang dilihat. Ibnu Haytam menemukan bahwa pancaran sinar itu
bukanlah dari mata ke benda tersebut, melainkan sebaliknya, dari benda ke mata.
Di lapangan politik, gangguan terus-menerus dari wilayah sekitarnya
menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada tahun 1167, Shalahud-Dîn al-Ayyuby
mengambil alih kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang
Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyyah
di Baghdad yang semakin lemah. Shalahuddin tidak menghancurkan Kairo yang
dibangun oleh Fathimiyah, bahkan ia melanjutkannya dengan penuh antusias. Ia
54
hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syi’ah menjadi Sunni. Sekolah,
masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan banyak fasilitas
sosial lainnya dibangun. Pada tahun 1250, delapan tahun sebelum Baghdad diratakan
dengan tanah oleh Hulagu Khan, kekuasaan Dinasti Ayyubiyah diambil alih oleh
kalangan keturunan Turki, pegawai istana para budak yang disebut Mamlûk. Di
Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan yang
baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat dengan Kurdi. Tokoh militer Turki,
Aybak bersekongkol dengan ibu tiri Turansyah, Syajaratah. Turansyah dibunuh
kemudian Aybak dan Syajaratah menikah, tetapi Aybak juga membunuh Syajaratah.
Selanjutnya, Musa, keturunan Ayyubiyah, sempat diangkatnya menjadi khalifah
(Yatim, 2001: 124).
Di saat Aybak menyebar teror, tokoh berpengaruh Mamlûk bernama Baybars
mengasingkan diri ke Suriah. Ia baru kembali ke Mesir, setelah Aybak wafat, dan
Ali, putra Aybak, mengundurkan diri dan digantikan Quthuz. Quthuz dan Baybars
bertempur bersama untuk menahan laju penghancuran total oleh pasukan Hulagu
Khan. Di Ain Jâlût, Palestina, pada 13 September 1260, mereka berhasil
mengalahkan pasukan Mongol. Baybars, (1260-1277) yang dianggap menjadi
peletak fondasi Dinasti Mamlûk yang sesungguhnya. Ia mengangkat keturunan
Abbasiyyah, yang telah dihancurkan Hulagu Khan di Baghdad, menjadi khalifah. Ia
merenovasi masjid dan Universitas Al-Azhar dan Kairo dijadikannya sebagai pusat
peradaban dunia. Ibnu Batutah yang berkunjung ke Mesir, sekitar tahun 1326, tidak
henti-hentinya mengagumi Kairo yang waktu itu berpenduduk sekitar 500-600 ribu
jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding London pada saat yang sama.
Ibnu Batutah tidak hanya mengagumi rihlah, tempat studi keagamaan yang
ada hampir di setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang rapi dan
“gratis”. Adapun Ibnu Khaldun menyebut: “mengenai dinasti-dinasti di zaman kita,
yang paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir”. Pusat peradaban ini
hampir hancur di saat petualang barbar Timur Lenk melakukan invasi ke Barat.
Namun Sultan Barquq berhasil menahan laju pasukan Mongol tersebut. Dengan
demikian, Mamlûk merupakan pusat kekuasaan yang dua kali mampu mengalahkan
tentara Mongol.
55
3. Kekuasaan Dinasti Mamlûk
Dinasti Mamlûk adalah sebuah rezim yang dikendalikan oleh pasukan budak.
Golongan Mamlûk pada awalnya merupakan tentara yang memiliki motivasi
ketentaraan yang begitu kuat sehingga mampu menahan serangan Mongol dan
mengusir Tentara Salib yang telah lama menjajah sepanjang pesisir laut Syam
(Esposito, 2001). Periode kerajaan Mamlûk dianggap sebagai zaman yang paling
cemerlang dan paling makmur di dalam sejarah Islam. Kata Mamlûk dalam bahasa
Arab berarti hamba-hamba yang dimiliki, dan terutama berlaku untuk para budak
belian jenis kelamin laki-laki kulit putih yang ditangkap dalam peperangan atau
dibeli di pasar. Dengan demikian, sultan-sultan Mamlûk di Mesir adalah budakbudak belian dari Turki dan Circassian yang dibeli oleh Sultan Ayyubiyah, NajmudDin, menggunakan mereka sebagai pengawal-pengawalnya (Hassan, 1989: 313).
Sebelum timbul Dinasti Mamlûk, Syajaratud-Durr, Sultan Mesir, dan
merupakan janda Sultan Ayyubiyah, Shalih Ayyub, dianggap sebagai deretan mereka
yang pertama. Namun demikian, Musa, wakil dari keluarga Ayyubiyah, dikuasai
sebagai pejabat nominal, yaitu pejabat negara dalam nama saja dan tidak
memerintah, dalam kedaulatan negara selama beberapa tahun. Kemudian diikuti
dengan penggantian raja-raja budak belian, terbagi menjadi dua dinasti, yaitu Dinasti
Bahri dan Dinasti Barji yang memerintah Mesir dan Suriah sampai pada awal abad
ke-16 (Yatim, 2001: 125).
Meski pemerintahan-pemerintahan mereka yang singkat, sering terjadi perang
sipil dan pembunuhan. Sultan Mamlûk mempertahankan sebuah pemerintahan yang
terorganisasi dengan rapi, menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyyah di
Mesir, mengalahkan bangsa Mongol di dalam sebuah peperangan besar di Ain Jâlût,
mengawasi gerak maju mereka ke Mesir, dan memburu Tentara Salib di Suriah
(Nasution, 1992: 611).
Syajaratud-Durr memberi semangat kepada panglima-panglima negara
dengan memberi mereka tanah-tanah pinjaman. Dia juga mengurangi pajak-pajak
agar bisa membujuk hati rakyat. Pemerintahannya di Mesir yang bertahan selama
tiga bulan menunjukkan pengalaman dan kecakapannya yang luar biasa dan
membuktikan bahwa seorang wanita bisa memikul tanggung jawab negara, walaupun
dalam tradisi Islam tidak dikenal prinsip itu (Yatim, 2001: 125).
56
Ketika Aybak menjadi Sultan Mesir, terdapatlah kekacauan sebagai akibat
dari persaingan para Mamlûk. Al-Malikun-Nâshir, pemimpin Suriah, menggunakan
kesempatan ini dan pergi dari Damaskus dengan memimpin tentara-tentaranya.
Suriah dengan cepat disatukan dengan Mesir. Namun demikian, Aybak menimbulkan
kemarahan pada diri Syajaratud-Durr dengan meminang salah seorang pemimpin
perempuan dari Mosul. Syajaratud-Durr membentuk sebuah konspirasi untuk
melawan dan membunuhnya pada tahun 1257. Nurud-Dîn yang menggantikan
ayahnya, Najmud-Dîn Ayyûb, sebagai Sultan Mesir, membujuk beberapa budak
belian wanitanya untuk membunuh Syajaratud-Durr (Ali, 1995:115).
Pada tahun 1258, kekhalifahan Abbasiyah dihapuskan, dan kota Baghdadn
dihancurkan oleh orang-orang Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, dan
khalifah Abbasiyah terakhir dibunuh. Ketika berita ini sampai ke Baghdad, para ahli
ilmu kalam dan hukum (ulama) serta panglima-panglima pasukan mengadakan
pertemuan yang didalamnya, mereka membatalkan sumpah setia kepada Nurud-Din
dan memproklamasikan seorang Mamlûk, Quthuz, sebagai Sultan Mesir (Yatim,
2001: 125).
Dengan memimpin sejumlah pasukan orang-orang Mesir, Sultan baru ini
berjalan maju dan mengalahkan sang penakluk bangsa Mongol, Hulagu, di dalam
peperangan terkenal, Ain Jâlût (sebuah kota kecil terletak di antara Baysan dan
Nablus di Palestina). Kemenangan ini disebabkan oleh Baybars, seorang panglima
Mamlûk yang mengawasi gerak maju bangsa Mongol, yang akhirnya menjadi Sultan
Mesir. Kekhalifahan Abbasiyah dengan segera dibangkitkan lagi oleh Baybars
(1260-1277), sultan keempat dari dinasti Mamlûk Bahri. Untuk memperkuat
kekuatan di Mesir dalam melawan ambisi-ambisi saingan-saingannya dari para
Mamlûk
yang
lainnya,
Baybars
berusaha
memperlihatkan
keabsahan
pemerintahannya. Dia mengadakan sidang, di dalam sidang ini, khalifah Abbasiyah
yang baru menganugerahkan jubah kehormatan kepadanya bersama dengan
syahadah pelantikannya (Irvin, 1986:133).
Keinginan Baybars untuk mengembalikan kekhalifahan Abbasiyah, dengan
demikian, lebih bersifat politik daripada religius, karena dia mempunyai tujuan untuk
memperluas kekuasaannya atas wilayah-wilayah yang sangat luas dengan bantuan
khalifah. “Para ahli teori masih memandang khalifah di Kairo sebagai penguasa
57
seluruh wilayah muslim dan bahwa dia adalah merupakan bayang-bayang (shadow)
Allah di atas bumi. Beberapa pemimpin muslim beranggapan bahwa khalifah
Abbasiyah di Kairo biasa memberikan gelar kepada seseorang yang mempunyai
kekuatan sehingga membuat pemerintahan mereka syah menurut undang-undang”
(Ali, 1995:117).
Sekalipun demikian Baybars bukanlah orang pertama yang merencanakan
untuk mengadakan revivalisme kekhalifahan Abbasiyah di Mesir, Raja Muda
Ayyubiyah di Damaskus (al-Malikun Nasir Yusuf) merupakan pelopor dalam
rencana itu. Dia sudah memanggil seorang dari anggota keluarga Dia sudah
memanggil seorang dari anggota keluarga Ayyubiyah yang sudah melarikan diri ke
Damaskus. Akan tetapi, dia sangat terkejut dengan kedatangan bangsa Mongol ke
Suriah, maka dari itu, ia tidak bisa menghadiri undangan raja muda tadi. Sultan
Mamlûk, Quthuz (1258-1260) begitupun sudah bermaksud untuk mengangkat
pemimpin Abbasiyah ini sebagai khalifah atas umat muslim, tetapi dia sudah
meninggal dunia sebelum menyelesaikan rencananya (Petry, 1981:349).
Baybars bertujuan untuk membuat pemerintahannya bersifat turun-temurun.
Dia memproklamasikan anaknya, as-Sa’id sebagai putra mahkota dan merencanakan
perkawinannya dengan anak perempuan Qallâwûn, panglima Mamlûk terbesar.
Namun demikian, orang-orang Mamlûk tidak senang dengan prinsip-prinsip turuntemurun ini, karena mereka berkeyakinan bahwa tidak ada seseorangpun yang
mempunyai prioritas di atas yang lainnya kecuali dengan kecakapan militernya dan
jumlah anggota pengikut-pengikutnya. Ketika Malik as-Sa’id turun tahta, Qallâwûn
menurunkan tahta saudaranya dan dia sendiri menjadi Sultan, dengan demikian,
kesultanan dipindahkan dari keluarga Baybars ke keluarga Qallâwûn (Irvin,
1986:136).
Qallâwûn menambah jumlah budak belian Cirsassian yang dibawa dari
Caucasus dan memberi mereka tempat di menara-menara benteng Kairo. Sejak itu,
mereka dinamakan “budak-budak menara” (slaves of the towers) dan budak-budak
Circassian (the Circassian slaves). Dia menaruh minat untuk mereka dalam bidang
militer dan menjaga kepentingan-kepentingan mereka. Qallâwûn mengikuti jejak
Baybars dalam memburu Tentara Salib keluar dari Suriah. Lebih-lebih dalam
mempersatukan teritorial orang-orang Arab, Suriah dan Mesir. Orang-orang Mamlûk
58
berhasil melindungi kaum Muslim dari dua bahaya besar, yaitu: bahaya dari bangsa
Mongol dan ancaman Tentara Salib (Ali, 1995:117). Dinasti ini memiliki penguasapenguasa yang terkenal sebagai berikut.
a. Aybak (1250-1258) yang bernama lengkap Aybak bin Abdullah Shalihi
(wafat 1258), sultan pertama Dinasti Mamlûk di Mesir dan Syam. Ia berasal
dari seorang hamba milik Sultan Najamuddin Ayyub, setelah dibebaskan,
diangkat menjadi seorang amir. Sepeninggal Sultan Turansyah, ia diangkat
menjadi komandan pasukan (Irvin, 1986:139).
b. Malik Shalih Shalahuddin (1352-1355) yang nama lengkapnya adalah Shalih
bin Muhammad bin Qallâwûn (1337-1335). Pada masanya, terjadi kekacauan
di Syam, dia pindah ke Damaskus bersama Khalifah Mukhtadi Abbasy, dan
berhasil meredakan revolusi dan akhirnya kembali ke Mesir pada saat
revolusi orang-orang Shaidiy, Mesir, telah mereda, dan ia memecat beberapa
komandan pasukannya pada tahun 1351.
c. Quthuz (1259-1260) yang nama lengkapnya adalah Quthuz bin Abdullah
Muazzi (wafat 1260). Ia sultan ketiga Dinasti Mamlûk di Mesir dan Syam
yang berasal dari seorang hamba milik Aybak. Setelah dibebaskan kariernya
melonjak dan akhirnya menjadi komandan pasukan pada masa Manshur bin
Mu’iz. Ia menduduki singgasana kesultanan setelah menggulingkan Manshur
pada tahun 1254. Quthuz berhasil mengalahkan pasukan Tartar pada
pertempuran Ain Jâlût pada tahun 1255. Dengan demikian, serangan tentara
Mongol terhadap Dunia Timur telah terhenti (Irvin, 1986:140).
d. Baybars I (1260-1277) yang nama lengkapnya adalah Baybars Alai
Bindiqdari. Ia salah seorang hamba milik Sultan Shalih Najmuddin Ayyub
yang dibebaskan dan diangkat menjadi amir. Kariernya terus melonjak
menjadi komandan pasukan di Mesir pada masa pemerintahan Quthuz. Ia ikut
berperang bersama Quthuz melawan tentara Tartar di Palestina. Pada tahun
1255 ia menjadi sultan Mesir dan Syam, sepeninggal Quthuz. Peperangan
dengan tentara Tartar dan tentara Salib merupakan peperangan yang sengit
dalam sejarah pemerintahannya. Pada masanya, terjadi penaklukan terhadap
Nubia dan Dongola. Pada tahun 1256, ibukota kerajaan berpindah ke Mesir.
Sultan kemudian meninggal dan dikuburkan di Damaskus (Ali, 1995:119).
59
e. Manshur Qallâwûn (1278-1290) dan Qallâwûn (Saifuddin) Alfi (1290), raja
Daulat Qallâwûn pertama di Mesir dan Syam. Pasukan Tartar pernah
menyerang negerinya, tetapi dapat ditahan. Ia termasuk raja Mamlûk yang
agung dan banyak peninggalannya, antara lain, rumah sakit Bimaristan
(Petry, 1981:359).
f. Ashraf bin Qallâwûn (1289-1294) yang nama lengkapnya adalah Khalil bin
Qallâwûn. Ia adalah salah seorang sultan Mesir yang berperang melawan
tentara Salib. Ia berhasil mengembalikan Acre, Sur, Sidon, Beirut, benteng
Romawi, Bisan, dan kawasan pantai Laut Tengah dari kekuasaan Tentara
Salib. Sultan ini meninggalkan banyak bangunan arsitektur.
g. Al-Malikun-Nashir (1293-1294) yang nama lengkapnya adalah Muhammad
bin Qallâwûn, dijuluki dengan Al-Malikun-Nashir. Ia menjabat sultan Mesir
dan Syam pada tahun 1290, namun ia segera dicopot dari pemerintahan
karena usianya yang terlalu muda pada tahun 1291. Akan tetapi, ia kembali
diserahi memimpin kerajaan di Mesir pada tahun 1295, walaupun hanya
sekedar formalitas, karena ia disuruh tinggal di benteng seperti orang yang
disingkirkan. Pada tahun 1306, ia kembali menduduki kursi kerajaan. Sultan
besar Daulat Qallâwûn ini banyak meninggalkan bangunan arsitektur dan
sejarahnya penuh dengan karya gemilang. Di antara peninggalannya adalah
bangunan yang sekarang dikenal dengan Bendungan Mahmudiyah dan
renovasi benteng.
h. Ashraf II (1364-1377) yang nama lengkapnya adalah Syakban bin Husein bin
Muhammad bin Qallâwûn, terkenal dengan nama Ashraf II. Pada masa
pemerintahannya, tentara Salib menyerang kota Alexandria pada tahun 1364
(Hasan, 1989:257). Dia berangkat ke kota itu dan memerintahkan untuk
memperbaiki kerusakan dan membangun armada laut yang terdiri atas 100
perahu perang untuk menyerbu tentara Salib. Ia adalah seorang raja yang adil
dan berhasil mengelola administrasi negara, menaklukkan beberapa daerah
baru
dan
mengadakan
pembangunan-pembangunan
arsitektur
(Irvin,
1986:143).
60
4. Ekspansi Bangsa Mongol
Pada abad ke-13 Masehi muncul bahaya bagi umat Islam yang datang dari
Mongol. Mongol sudah menyatukan kabilah-kabilah mereka di bawah komando
Jengis Khan. Mereka memulai ekspedisi besar untuk berekspansi. Mereka menguasai
wilayah Manshuriyah, Cina, Korea dan juga berhasil menghancurkan pasukan
muslim negara Al-Khawarizmiyyah pada tahun 1221, padahal merupakan benteng
kuat yang dapat menghadang ekspansi mereka untuk menuju dunia Islam lainnya.
Kekuatan Mongol ini juga telah mewujudkan banyak kemenangan besar dan
menentukan.
Jengis Khan telah meninggal dunia pada tahun 1277, namun pasukan Mongol
tetap melanjutkan serangan mereka ke wilayah Asia Tengah, Rusia, dan menguasai
Moskow sebagaimana mereka juga berhasil menduduki Ukraina dan menyerang
Polandia serta mengalahkan pasukan Jerman. Mongol menghancurkan Hongaria
setelah berhasil menyapu rata kekuatan bersenjata mereka dan terus menembus
daratan Eropa. Sebagaimana mereka juga terus bergerak memasuki wilayah dunia
Islam, maka lengkaplah kekuasaan mereka di wilayah Turkistan, Afghanistan, India,
dan Persia (Ali, 1995:121).
Mongol membumihanguskan setiap kerajaan yang mereka hadapi dengan
tanpa sedikitpun ada rasa iba atau kasih sayang. Dengan perangai ekspansifnya,
mereka ditakuti oleh negara-negara di dunia pada saat itu. Mereka bukan saja
memiliki kekuatan untuk melakukan pertempuran, tetapi juga mereka pandai
melancarkan perang urat saraf yang menakutkan bagi lawan-lawannya. Bangsa
Mongol terus mengalami kemenangan demi kemenangan dalam perang fisik
sebagaimana mereka juga meraih kemenangan perang urat saraf (Petry, 1981:329).
Negara-negara Muslim menderita perpecahan dan kelemahan yang membuat
Mongol dengan mudah merayap memasuki wilayah mereka dan meratakan kerajaankerajaan mereka dengan mudah. Tingkat ketidak-berdayaan pemimpin Islam ini
membuat salah satu dari mereka, yang berkuasa di salah satu kota, mengirimkan
gambarnya yang dibuat di bawah telapak sepatu sebagai hadiah kepada Hulagu
Khan, komandan Mongol supaya ia dapat “termuliakan” dengan meletakkan kakinya
di atas gambar penguasa Islam tersebut (Petry, 1981:356).
61
Mongol kembali menyerbu Irak dan mengepung kota Baghdad yang
merupakan ibukota khilafah Abbasiyah yang sudah tidak bergigi dan tak berdaya.
Salah sati sebab dari ketidak-berdayaannya itu adalah konspirasi antara menteri Ibnu
al-Aqamy dan Mongol untuk menjatuhkan khilafah dan ia juga membebastugaskan
pasukan khilafah dari jumlah 100 ribu menjadi 10 ribu. Baghdad jatuh pada tanggal
10 Februari 1258, pada saat itu pasukan Mongol membantai umat Islam secara besarbesaran yang berlanjut hingga 40 hari. Menurut Ibnu Katsir, jumlah korban yang
berjatuhan pada saat itu lebih kurang 800 ribu orang dan ada yang menyebutkan
sekitar satu juta orang. Khalifah al-Mu’tashim Billah juga terbunuh, dan ada yang
mengatakan bahwa ia ditempatkan di dalam kantong lalu meninggal dunia karena
tendangan (Irvin, 1986:145).
Mongol kembali menyerbu negeri al-Jazirah dan berhasil menguasai wilayah
Hurran, ar-Racha dan Diyar Bakr. Kemudian menyeberangi Eufrat dan memasuki
daerah Aleppo pada tahun 1260. Para penguasa Bani Ayyub yang memerintah negeri
Syam (Suriah) memperlihatkan sikap kehinaan yang sangat setelah Nasher Yusuf alAyyuby, penguasa Aleppo, mendeklarasikan ketundukan dan ketaatannya kepada
Mongol yang masuk negeri ini dengan melakukan kekejaman sehingga harus
mengalirkan darah para kaum muslim di daerah Azqah (Hasan, 1989:274). Dengan
kondisi seperti ini, akhirnya penguasa daerah Hamah, al-Manshur bin al-Muzhaffar
berinisiatif untuk kabur ke Mesir bersama isteri dan anak-anaknya meninggalkan
kota Hamah bersama rakyatnya untuk menghadapi nasib mereka. Kemudian Nasher
Yusuf kabur dari Damaskus ke Ghaza dengan tujuan akan melanjutkan perjalanan ke
Mesir dengan membiarkan daerahnya tanpa pemerintahan dan rakyatnya tanpa
pemimpin. Rumah yang dibangun oleh al-Ayyuby di wilayah Suriah hencur
berkeping-keping dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Namun demikian, selama masa pemerintahan anak Qallâwûn, Nasir
Muhammad, Boneka bangsa Mongol, di Persia, yakni Ghazan, menggunakan
sebagian besar dari zaman pemerintahannya untuk memerangi orang-orang Mamlûk
di Suriah (Sou’yb, 1977:113). Pada musim dingin tahun 1299-1300, Ghazan berjalan
menuju Syair dengan memimpin 100.000 orang dan dalam peperangan dekat Majma’
al-Muruj mengalahkan angkatan perang Mamlûk. Pasukan perang Mongol merusak
sebagian
besar
sanubari
rakyat
sehingga
mereka
menangguhkan
atau
62
memberhentikan jemaah salat jum’at untuk sementara (Hitti, 2001:245). Sekalipun
demikian, perlawanan yang kuat dari benteng Damaskus, dan faktor pasukan perang
Mamlûk
yang
mempunyai
perlengkapan
lengkap,
serta
pemberontakan-
pemberontakan yang pecah di Persia dan kegagalan bantuan umat Kristen yang
diharapkan semua ini menjadi faktor yang akhirnya memaksa Ghazan untuk kembali
ke ibukotanya dan puas dengan pertukaran utusan-utusan dengan Sultan Mamlûk,
Nashir (Irvin, 1986:147).
Pada tahun 1256, penerus-penerus dinasti Salahud-Din dari kalangan budak
menunjukkan bahwa pasukan Mongol bukannya tak terkalahkan; mereka berhasil
menghancurkan garda depan tentara Hulagu di Palestina. Jenderal Mongol, yang
terbunuh, adalah pengikut Kristen Nestoria, dan ia ditemani oleh Raja Kristen
Armenia Sicilia dan oleh Raja Kristen Antioch, tetapi masyarakat Frank di Acre
memberi jalan kepada tentara Mamlûk. Pasukan Mamlûk mengusir tiga invansi
berikutnya yang dilancarkan ke Suriah oleh Il-Khan Mongol dari Iran dan Irak, dan
mereka merebut Acre, muara pantai Kristen Barat terakhir di Suriah pada tahun 1291
(Hasan, 1989:284).
5. Perang Salib
Bangsa Eropa sangat senang hati dengan invansi yang dilancarkan oleh
bangsa Mongol terhadap negara-negara Islam dan berusaha untuk berkoordinasi
dengan mereka menggalang satu barisan melawan musuh bersama. Mereka juga
berusaha untuk menyebarkan ajaran Kristen di antara orang-orang Tartar. Pada
awalnya, proyek ini secara parsial berhasil karena komandan Tartar yang menyerang
negara-negara Islam (Hulagu) memiliki kecenderungan kepada ajaran Kristen
Nasturia dan para pengawalnya banyak melibatkan mereka, bahkan istrinya sendiri
adalah
beragama
Kristen.
Istrinya
ini
memiliki
perananan
besar,
yang
membanggakan pihak gereja, dalam upaya untuk menghindarkan malapetaka yang
akan menimpa daratan Eropa dari serangan orang Mongol dan mengarahkannya
kepada negara-negara Islam, bahkan komandan perang Ain Jâlût, Katbaga, adalah
seorang Kristen (Ali, 1995:122).
Pengaruh Kristen sangat besar bagi orang Mongol bahkan salah satu pendeta
Kristen mengilustrasikan ekspedisi Tartar, bahwa itu adalah : “Ekspedisi Tentara
63
Salib dengan seluruh maknanya, yaitu ekspedisi Kristen Nestoria” (Sou’yb,
1977:117). Mereka mengharap bahwa Halako dan pemimpinnya, Katbaga akhirnya
berhasil mengeliminasi sepak terjang umat Islam secara keseluruhan. Hatoon
Pertama, Raja Armenia, dan Bohemond Ke-6, Pangeran Tripoli, bersama dengan
pangeran Tentara Salib wilayah Sour, Akka dan Cyprus, membuat aliansi dengan
orang Mongol yang menegaskan upaya untuk mengeliminasi umat Islam di Asia dan
mengembalikan al-Quds kepada Tentara Salib (Petry, 1981:367).
Pada masa itu, Mesir di bawah Dinasti Mamlûk diperintah oleh Sultan alMuzhaffar Quthuz pada tahun 1259. Ia adalah seorang pemimpin yang terkenal
keimanannya, kecintaannta kepada Tuhan dan Islam. Ia adalah seorang murid
seorang cendekiawan terbesar pada masa itu, al-Aziz bin Abdus-Salam. Ibnu Katsir
mengatakan bahwa Quthuz adalah “seorang pahlawan pemberani yang mencintai
perbuatan baik dan mengikuti Islam; rakyat mencintainya dan tetap mendoakannya.
Setelah beberapa bulan dari pemerintahannya, ia harus menghadapi masalah
invasi Tartar dan menerima surat ancaman dari pemimpin mereka, yaitu Halako
sebelum ia meninggalkan Suriah dengan memaksa untuk menyerahkan Mesir. Dalam
surat itu ia berkata : “Lihat apa yang telah kita perbuat kepada yang lain dan
belajarlah dari mereka; menyerahlah, karena kita tidak akan mengasihani orangorang yang merintih dan menangis. Kemana kira-kira anda akan berlari
menyelamatkan diri dari kami? Siapa yang dapat memproteksi kalian dari pedangpedang kami? Kami tidak mengenal benteng-benteng, balatentara yang menyerang
kami tidak ada gunanya dan doa kalian untuk kami tidak didengar” (Petry,
1981:369).
Namun Butz, pemimpin umat Islam yang hanya takut kepada Allah,
mengetahui betul bahwa kemenangan itu hanya datang dari Allah. Kalau ia benarbenar mempersiapkan diri untuk terjun dalam kancah perang dan menghubungkan
segala sesuatunya kepada Allah, maka kemenangan akan dapat diraih (Hitti,
2001:256). Akhirnya, ia mendeklarasikan jihad dan bersiap untuk menghadapi invasi
Tentara Salib. Setelah membaca surat tersebut, ia memerintahkan untuk menangkap
dan membunuh para utusan pembawa surat dengan memotong jasadnya dari tengah
(untuk dibagi dalam dua bagian). Kepala mereka digantung pada salah satu pintu
masuk kota Kairo (pintu Zuwaylah) (Sou’yb, 1977:121). Eksekusi mati ini adalah
64
deklarasi yang tidak ada kegentaran untuk mundur bulat tekad untuk berperang. Hal
ini juga merupakan tantangan yang memberikan spirit kekuatan dan kebanggaan
dalam menghadapi ekspansi Tartar (Ali, 1995:125).
Quthuz memutuskan untuk berinisiatif menyerang dan maju terus
menghadapi kekuatan tempur Tartar sebagai upaya untuk mengangkat spirit juang
umat Islam, sekaligus sebagai penegasan atas spirit jihad yang berupaya untuk
mencari mati syahid di jalan Allah. Langkah ini juga dipandang sebagai upaya untuk
memelihara negara Islam yang ada di Mesir dan pembebasan wilayah Islam lainnya
di Suriah, termasuk di dalamnya Palestina dan Masjid Al-Aqsha yang diberkahi.
Selain itu, serangan ini adalah upaya untuk menakuti orang-orang Tartar bahwa
mereka yang menyerang adalah tipe baru yang belum mereka hadapi sebelumnya,
dan menyerang adalah cara yang paling sukses untuk bertahan (Yatim, 2001:135).
Pada bulan Ramadhan, 26 Juli 1260, pasukan Islam dibawah pimpinan Quthuz
melewati perbatasan dan membebaskan Ghaza dan berdiam di kota itu selama satu
hari. Kemudian mereka bergerak ke arah utara untuk menghadapi pasukan Tartar, di
sana di Ain Jâlût bagian Timur Palestina, dua kekuatan Islam dan Tartar ini bertemu
(Ali, 1995:127).
Pertempuran Ain Jâlût menyaksikan salah satu pertempuran yang terbesar
dan krusial dalam sejarah yang terjadi pada hari Jum’at, 6 Desember 1260 Masehi.
Dalam perang ini, sebenarnya Tartar lebih unggul dari dua segi “Ilmu dan logika”,
karena mereka memiliki kelebihan dibandingkan dengan pasukan Islam dalam aspekaspek berikut ini: i) efisiensi dan pengalaman yang luas yang merupakan buah dari
berbagai banyak pertempuran yang mereka arungi (kepemimpinan dan tentara), ii)
semangat dan moral juang yang sangat tinggi karena belum pernah terkalahkan
sebelumnya, iii) efisiensi pasukan kavaleri yang mengetahui berbagai teknik
pertempuran, seperti serangan kilat yang menjadi kelebihan pasukan Tartar, iv)
mereka mampu mengorganisasi secara baik karena lebih dekat kepada basis suplai
dan logistik, v) lokasi strategis tentara mereka lebih baik dari posisi pasukan Islam
(Hodgson, 2002:203).
Kendati berbagai kelebihan mencolok yang mereka miliki, namun
kemenangan yang monumental telah berpihak kepada umat Islam. Pasukan Quthuz
memiliki kelebihan bahwa mereka adalah “pasukan Islam” yang bergerak untuk
65
menolong Islam dan memproteksi negeri-negerinya yang suci (Hitti, 2001:251).
Berbagai lapisan masyarakat turut berpartisipasi dalam pertempuran ini baik kaum
lansia, ulama dan orang-orang shaleh Mesir. Perintah untuk beramar ma’ruf wannahyu anil munkar menyebar di kalangan tentara, mereka keluar dari Mesir sebagai
pasukan yang dalam kondisi taubat, bersih, dan sakral membela agama Allah dan
menancapkannya di bumi. Pasukan Islam ini dipimpin oleh seorang komandan
beriman yang didorong dengan “keinginan kuat untuk berperang”. Hal ini menjadi
fenomena yang paling kuat dan menjadi faktor kemenangan yang paling penting
dalam pertempuran apa pun (Yatim, 2001:154).
Quthuz meminta kepada pasukannya untuk menunggu hingga setelah salat
Jum’at, ia menyeru: “Janganlah kalian melancarkan serangan kepada mereka hingga
tergelincir matahari, memberikan bayang-bayang, angin bertiup dan para khatib di
masjid serta manusia lainnya mendoakan kita dalam salat-salat”. Setelah itu baru
mulai pertempuran (Ali, 1995:129).
Di tengah berlangsung pertempuran, isteri Quthuz Jullanar mati terbunuh
dalam jihad ini. Ia bergegas mendekati isterinya pada detik-detik nafas terakhir
kepergiannya dengan berteriak: “Wahai, Kasihku!”. Isterinya membalas dengan
berkata kepadanya: “Jangan engkau katakan itu, tapi katakanlah Islamah (duhai
Islam)”,
kemudian
terangkatlah
rohnya
ke
pangkuan
Tuhannya
setelah
menyampaikan pesan tersebut bahwa urusan Islam dan Jihad di jalan Allah adalah
lebih penting dari cinta dan hubungan pribadi. Maka Quthuz berdiri tegak dan
membalas dengan mengucap: “Duhai Islam, duhai Islam”, dan seluruh pasukan
mengumandangkan teriakan yang sama sehingga berakhir dengan kemenangan
(Petry, 1981:363).
Pada saat perang, kuda Quthuz terbunug lalu ia turun dan terus bertempur
walau tanpa kuda, sehingga pasukannya memberikan kepadanya kuda pengganti.
Akan tetapi, ia menolak untuk mengambil kuda pangeran lainnya yang secara
sukarela memberikan itu kepadanya, dengan mengatakan bahwa ia tidak mau untuk
menghalangi mereka dalam menunaikan tugas suci ini. Sebaliknya, ia harus berusaha
sendiri untuk dapat menyelamatkan diri. Ia ditanya mengapa tidak mau menunggang
kuda dan kalau saja para musuh melihat, maka mereka akan membunuhnya dan
Islam akan dipecundangi. Ia menjawab: “Kalau saja saya terbunuh, maka saya telah
66
pergi ke surga dan saya memiliki Tuhan yang tidak akan melenyapkanku” (Hodgson,
2002:207). Setelah perang usai dan kemenangan ada di pihak Islam, Quthuz turun
dari kudanya berjalan dan mengusap mukanya dengan debu medan tempur serta
sujud di hadapan Allah bersyukur kepada-Nya yang telah mengaruniakan
kemenangan (Ali, 1995:129).
Kaum Muslim langsung bergerak mengejar orang-orang Mongol, dan Quthuz
memasuki kota Damaskus hanya lima hari setelah berakhirnya peperangan Ain Jâlût
(Lapidus, 1967:78). Pengejaran berlanjut ke Aleppo dan ketika mereka mengetahui
bahwa pasukan Islam sudah mendekat, diputuskan untuk meninggalkan tawanan
Muslim. Hal ini bagi mereka adalah malapetaka besar. Hanya dalam satu bulan umat
Islam dengan kepemimpinan Mamlûk berhasil mengembalikan negeri Suriah dari
Mongol dan Tartar (Yatim, 2001:146).
Peperangan ini adalah salah satu peperangan yang penting dalam sejarah
karena berhasil menghentikan ekspansi orang-orang Tartar yang tidak dapat
diberhentikan oleh kekuatan apa pun sebelumnya. Kejadian ini merupakan
permulaan bagi episode kekalahan-kekalahan yang berlanjut dan mengembalikan
Mongol kepada basis-basis mereka semula dan mampu untuk memerdekakan negerinegeri Islam yang mereka kuasai. Kemudian orang-orang Mongol yang menetap di
negeri-negeri Islam berpindah ke agama Islam, mereka berbondong-bondong
memeluk agama Allah. Peristiwa dipandang sebagai kemenangan baru umat Islam
(Ayalon, 1977:72).
Kendati pasang naik kekuatan Mongol Tartar dapat diusir dari bumi Palestina
dan umat meraih kemenangan yang gemilang di pertempuran Ain Jâlût, namun
kerajaan salibis di Akka tetap saja bertahan dengan kekuasaannya yang mencakup
wilayah pesisir yang membentang dari Jafa ke Akka. Para sultan Dinasti Mamlûk
mengambil tugas pembebasan tanah tempat Isra’ dan negeri Suriah yang tersisa
sehingga tiba masa di mana kekuatan Tentara Salib yang terakhir dapat diusir setelah
lebih dari 30 tahun pascaperang Ain Jâlût (Ayalon, 1977:91).
Hal yang membuat Sultan Quthuz sukses adalah ad-Dhaher Baybars, yang
berkuasa hanya satu tahun. Baybars memiliki kontribusi signifikan dalam memerangi
dan mengeluarkan kekuatan Tentara Salib dari Suriah dengan cara menghujani basisbasis mereka dengan serangan demi serangan secara terus-menerus (Hodgson,
67
2002:211). Akan tetapi, ia terkadang harus mengakomodasi kesepakatan damai
dengan mereka. Setelah ia mampu menanggulangi berbagai problema internal
negera, ia kembali turun ke kancah peperangan dengan Tentara Salib. Pada tahun
1263, ia memasuki wilayah Palestina. Setelah pasukannya tiba di daerah Akka,
Tentara Salib mendatanginya untuk meminta pembaruan kesepakatan genjatan
senjata dan menyetujui pembebasan para tawanan Muslim serta memelihara berbagai
kesepakatan dan piagam (Lapidus, 1967:94). Namun Baybars mempertimbangkan
tuntutan mereka dan terus melangkah menyerang berbagai basis kekuatan musuh,
khususnya di Akka. Langkah ini dilancarkan untuk mengetahui titik-titik kekuatan
dan kelemahan yang ada pada mereka sehingga datang waktunya untuk
menyelamatkan negeri-negeri dan tempat-tempat yang diduduki. Kekuatan Tentara
Salib tidak dapat membendung ekspansi kekuatan pasukan Islam ini (Yatim,
2001:153).
Pada tahun 1265, ad-Dhaher Baybars kembali menginvansi Palestina dan
dapat menguasai al-Qaisariyyah al-Muhsanah, menghancurkan dinding-dindingnya.
Sebagian pasukannya menyerang wilayah Akka dan sebagian lainnya menyerbu
Hayfa. Kemudian kota Arsouf jatuh ke dalam genggamannya pada tahun yang sama.
Pada tahun berikutnya, ia kembali keluar ke Palestina mengepung Safad, menduduki
dan menghancurkan dinding-dindingnya. Kemudian pada tahun 1267, ia kembali ke
Palestina dan delegasi Tentara Salib datang menghadap kepadanya untuk meminta
gencatan senjata. Ia biasa mengikuti strategi devide and rule dalam berhubungan
dengan kekuatan Tentara Salib agar kekuatan mereka tidak dapat bersatu untuk
melawannya dalam satu waktu. Strategi ini mampu menaklukkan kota Antakiya pada
tahun 1268 (Hitti, 2001:271). Hal ini dianggap sebagai kemenangan yang paling
gemilang yang diraih oleh umat Islam dari Tentara Salib setelah keberhasilan
Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan kota al-Quds pada tahun 1187. Setelah
keberhasilannya untuk menduduki Antakiya, Baybars sepakat untuk mengadakan
perjanjian damai dengan Akka yang berlaku hingga 10 tahun, dengan syarat bahwa ia
harus menguasai setengah dari wilayah Akka dan mengendalikan dataran tinggi di
sekitar Sayda (Ayalon, 1977:93).
Setelah wafat ad-Dhaher Baybars, Sultan al-Manshur Saîud-Dîn Qallâwûn
meneruskan langkah pendahulunya untuk memerdekakan negeri Suriah dari
68
hegemoni Tentara Salib. Pada masa kekuasannya ini, terbentuk aliansi besar
melawan umat Islam yang terjalin antara kekuatan Tentara Salib, Tartar, dan Sanqur
al-Ashqar, wakil penguasa Damaskus yang berpaling dari orang Islam. Akan tetapi,
aliansi ini gagal dan Qallâwûn mulai memperketat tekanannya terhadap Tentara
Salib dan berhasil menduduki pelabuhan al-Marqab pada tahun 1285. Ia juga
menaklukkan al-Ladeqyya pada tahun 1289. Qallâwûn dapat memanfaatkan
instabilitas yang terjadi pada negara Salibis di Akka secara khusus dan di negerinegeri Suriah pada umumnya karena perebutan kekuasaan yang sedang terjadi
(Hodgson, 2002:213). Ia adalah sosok pemimpin yang kuat yang dapat
mengeliminasi kehadiran Tentara Salib di wilayah Arab bagian timur. Pada daerah
pantai Shami, Tentara Salib hanya menguasai wilayah Akka, Sour, Sayda dan Etleet
(Ali, 1995:131).
Suasana seperti itu bagi Qallâwûn adalah momen yang paling tepat untuk
mengeliminasi Tentara Salib dari bumi Palestina secara total. Ia memanfaatkan
peristiwa penyerangan yang dilancarkan oleh mereka yang membunuh beberapa
jemaah haji Muslim sebagai sebuah dalih untuk mendeklarasikan jihad melawan
Tentara Salib. Ia menyerukan seluruh pasukan bersenjatanya dari Mesir dan Suriah
(Yatim, 2001:155). Ia berdiam di luar kota Kairo untuk menunggu kedatangan
balabantuan, tapi ia terjatuh secara tiba-tiba lalu meninggal dunia pada tahun 1287.
Sebagai suksesornya adalah putranya yang bernama Ashraf Shalahuddin.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Tentara Salib untuk menawarkan Ashraf
perjanjian lain, tapi itu ditolak dan ia kerahkan pasukan bersenjatanya untuk
mengepung Akka yang berhasil dimerdekakan pada tahun 1291. Raja Akka, Henry
II, berhasil lolos melarikan diri ke Cyprus. Setelah menaklukkan Akka, Ashraf
menduduki Sayda, Sour, Hayfa, dan Etleet (Sou’yb, 1977:123). Ia juga
memerintahkan kepada pasukannya untuk membumihanguskan seluruh benteng yang
ada di kota-kota tersebut. Jadi, basis terakhir kekuatan Tentara Salib telah
dihancurkan oleh tangan-tangan dinasti Mamlûk, dan akhirnya eksistensi mereka di
Palestina dan Suriah dapat diselesaikan secara total setelah dua abad dari tahun 10991291. Dengan prestasi ini, Palestina kembali berada di bawah pemerintahan Islam
hingga berakhir pada masa pada saat kekuatan Inggris berhasil menjajah wilayah ini
(Ayalon, 1977:49).
69
6. Catatan Akhir Tulisan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
a. Kata Mamlûk dalam bahasa Arab berarti hamba-hamba yang dimiliki, dan
terutama berlaku untuk para budak belian jenis kelamin laki-laki kulit putih
yang ditangkap dalam peperangan atau dibeli di pasar. Dengan demikian,
sultan-sultan Mamlûk di Mesir adalah budak-budak belian dari Turki dan
Circassian yang dibeli oleh Sultan Ayyubiyah, Najmud-Din, menggunakan
mereka sebagai pasukan pengawalnya.
b. Dinasti Mamlûk adalah sebuah rezim yang dikendalikan oleh pasukan budak
(mamlûk). Pada awalnya, pasukan budak merupakan tentara yang memiliki
motivasi ketentaraan yang begitu kuat sehingga mampu menahan serangan
Mongol dan mengusir Tentara Salib yang telah lama menjajah sepanjang
pesisir laut Syam. Periode kerajaan Mamlûk dianggap sebagai zaman yang
paling cemerlang dan paling makmur di dalam sejarah Islam. Dinasti Mamluk
banyak mengangkat pejabat tingginya dari orang-orang yang diimpor sebagai
budak dan mampu memantapkan kekuasaan politiknya di Mesir yang
bergejolak selama kurang lebih 267 tahun.
c. Dinasti Mamluk menghadapi banyak masalah, baik yang datang dari internal
kekuasaan maupun eksternal, tetapi di satu sisi, dinasti ini diakui memiliki
kekuatan militer yang tangguh, bahkan hingga pertengahan abad ke-19
Masehi, Dinasti Mamlûk berkembang sebagai kekuatan militer yang diakui
dunia Islam.
d. Peran yang dimainkan oleh Dinasti Mamlûk, khususnya dalam melawan
Tentara Salib, tidaklah kecil. Kendati dinasti ini banyak dipersalahkan oleh
para sejarawan karena mempercepat kemerosotan perekonomian di tanah
Arab bagian tengah, tetapi tidak dapat disangkal bahwa rezim inilah yang
membentuk model birokrasi dan administrasi Mesir hingga zaman modern.
70
Download