kritik dan potret realitas sosial dalam musik (analisis semiotika

advertisement
KRITIK DAN POTRET REALITAS SOSIAL DALAM MUSIK
(ANALISIS SEMIOTIKA DALAM ALBUM KAMAR GELAP
KARYA EFEK RUMAH KACA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I.)
Oleh:
REZA FAJRI
NIM: 1110051000012
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ABSTRAK
Reza Fajri
NIM: 1110051000012
Kritik dan Potret Realitas Sosial dalam Musik (Analisis Semiotika pada Album Kamar
Gelap karya Efek Rumah Kaca)
Musik pada awalnya dipakai dalam ritual-ritual sakral untuk memuja sang Pencipta.
Namun seiring dengan perkembangan jaman, musik kemudian memiliki beragam fungsi,
mulai dari sarana hiburan, mata pencaharian, sampai menjadi media untuk menyampaikan
pesan atau kritik. Efek Rumah Kaca menjadi salah satu band yang kerap menyisipkan
“protes” dalam lagu-lagunya tetapi dengan tidak secara eksplisit dan membuat kita harus
melakukan aktivitas baca-tafsir untuk bisa memahaminya. Seperti pada album kedua mereka,
yakni Kamar Gelap.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana
kritik dan potret realitas sosial dalam album Kamar Gelap? Kemudian pertanyaan minornya
adalah apa makna denotasi dan konotasi dalam album Kamar Gelap? Apa mitos yang
terkandung dalam album Kamar Gelap?
Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi yang berupa tanggapan terhadap
segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, disertai dengan uraian tentang baik buruknya.
kritik bukanlah untuk menjelek-jelekan sesuatu, namun untuk mengoreksi hal-hal yang keliru
atau tidak sesuai, demi memperoleh suatu kemajuan.
Konstruksi realitas, pada dasarnya adalah setiap upaya “menceritakan” sebuah
peristiwa, keadaan, benda, atau apapun (Sobur, 2012:88). Menurut Peter L. Berger dan
Thomas Luckman, konstruksi sosial selalu sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin,
2011:24). Kritik dan konstruksi realitas sosial dalam teks media selalu mengekspresikan
sikap dan pilihan sang komunikator, Karena dikomunikasikan melalui seperangkat tanda,
maka semiotika bisa menjadi pendekatan yang terbaik dalam menganalisisnya.
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan semiotika. Semiotika adalah ilmu yang
mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan manusia. Menurut Roland Barthes, aktivitas
penandaan tidak hanya berhenti pada makna denotasi (makna sebenarnya), namun bisa
berkembang ke tahap konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai
tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada
dalam masyarakatnya. Sejarah pemakaian suatu kata, sangat berpengaruh terhadap
munculnya makna dalam konotasi. Bila konotasi menetap lama dalam masyarakat, maka
besar kemungkinan bisa menjadi mitos. Mitos yang dimaksud di sini adalah bagaimana
kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas (Sobur, 2012:128).
Mitos, lanjut Sobur, adalah produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.
Lirik-lirik dalam album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca, diketahui memiliki
makna-makna konotasi yang sesuai dengan kode-kode kultural yang ada pada kehidupan
masyarakat sehari-hari. Dari metafora-metafora yang mereka gunakan, bisa terlihat kritik dan
potret realitas yang ingin mereka sampaikan.
Musik bisa berperan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi. Untuk
menjalankan fungsi komunikasi massa, para musisi bisa memotret realitas dan mengeluarkan
kritik-kritik sosialnya yang dianggap perlu melalui lagu yang mereka ciptakan. Seperti yang
dilakukan oleh Efek Rumah Kaca dalam album Kamar Gelap.
.
Keywords: Kamar Gelap, semiotika, denotasi, konotasi dan mitos, kritik dan
konstruksi realitas sosial.
i
KATA PENGANTAR
Skripsi ini tak akan pernah bisa lahir tanpa adanya persahabatan yang
diberikan oleh banyak pihak, baik dari pihak kampus, keluarga, sahabat dan
orang-orang yang ada di sekitar saya.
Saya berhutang budi kepada kawan-kawan yang telah membantu
penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Tanpa kehangatan mereka, skripsi ini mungkin tidak akan pernah ada.
Maka dari itu, saya sebagai penulis wajib mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Arief Subhan, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Suparto, M.Ed, M.A. sebagai Wakil Dekan I. Drs. Jumroni, M.Si.
sebagai Wakil Dekan II. Dr. Sunandar, M.Ag, sebagai Wakil Dekan III
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Rachmat Baihaky, M.A. selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam.
4. Ibu Ade Rina Farida, M.Si. Sebagai dosen pembimbing skripsi ini. Terima
kasih kepada beliau yang telah memberikan ilmu dan pengarahannya agar
skripsi ini bisa terlihat lebih baik lagi.
5. Ibu Fita Fathurokhmah M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
6. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si., sebagai dosen pembimbing akademik kelas
KPI A angkatan tahun 2010.
7. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh jajaran staf karyawan Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Terima kasih sebesar-besarnya juga kepada kedua orang tua penulis,
yakni: Haryadi Mansur dan Nurhikmah, yang tanpa cinta kasih yang tulus
dari keduanya, mustahil penulis bisa melaju sampai saat ini. penulis
berhutang budi yang sangat besar kepada keduanya (dan mungkin tak akan
pernah bisa dibalas oleh penulis), yang telah memberikan dukungan, doa
dan motivasinya, sehingga penulis bisa hidup dan memperoleh pendidikan
sampai ke perguruan tinggi.
10. Terima kasih juga kepada kakak, Ervina Destriana, yang selama ini
membiayai pendidikan penulis di perguruan tinggi. Juga terima kasih
kepada adik, Tri Wahyudi.
11. Kepada paman, bibi, kakak ipar serta keluarga besar lainnya.
12. Mas Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca, yang telah bersedia
memberikan waktunya untuk wawancara via email, walau beliau sedang
sibuk bersekolah di Amerika Serikat.
13. Kepada sahabat-sahabat di kelas KPI A 2010 yang telah sama-sama
mengukir kisah dengan penulis, baik suka maupun duka. Terutama kepada
iii
Dani, Andre, Bustami, Edi, Muharram, Muhammad, Adit dll yang selama
ini membantu penulis dikala menemui kesulitan.
14. Kepada teman-teman sepermainan di Bogor dan di Cirebon yang namanamanya tidak bisa disebutkan semua, yang telah menghibur penulis disaat
sedang mengalami kebuntuan menulis.
15. Teman-teman KKN Interaktif 2013 di desa Batujajar Cigudeg.
16. Kolega-kolega penulis di Chelsea Indonesia Supporter Club (CISC)
Regional Bogor, yang selalu mengadakan kegiatan yang membuat penulis
bisa sejenak melupakan kepenatan.
Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis sendiri.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar skripsi ini
bisa menjadi lebih baik lagi. Semoga semua pihak yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini diberi kebaikan dan mendapat balasan dari Allah SWT.
Amin.
Jakarta, 10 Agustus 2014
Reza Fajri
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ..............................................................................
ii
DAFTAR ISI .............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................
1
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
Latar Belakang Masalah ...........................................................
Rumusan Masalah .....................................................................
Tujuan Penelitian .....................................................................
Kegunaan Penelitian .................................................................
Tinjauan Pustaka ......................................................................
Kerangka Teori .........................................................................
Metodologi Penelitian ..............................................................
Sistematika Penulisan ..............................................................
1
7
7
7
8
9
18
19
BAB II MUSIK, TEORI KRITIS DAN SEMIOTIKA .........................
21
A. Sejarah Singkat Industri Musik dan Rekaman .........................
B. Teori Kritis dalam Musik Kritis ...............................................
C. Pengertian dan Macam-macam Semiotika ...............................
21
27
34
BAB III PROFIL DAN DISCOGRAPHY EFEK RUMAH KACA .....
46
A. Profil Efek Rumah Kaca ..........................................................
B. Efek Rumah Kaca: Komposisi Lirik Cerdas nan Puitis ............
C. Kamar Gelap .............................................................................
46
51
57
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ...................
59
A. Temuan Penelitian ....................................................................
B. Pembahasan ..............................................................................
59
82
BAB V PENUTUP ....................................................................................
86
A. Kesimpulan ..............................................................................
86
v
B. Saran .........................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
89
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................
91
vi
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1
2. Gambar 2
51
57
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Musik tidak bisa dipisahkan dari sejarah peradaban manusia. Sebagai karya
seni, musik menyimpan nilai-nilai estetika yang sangat tinggi. Friedrich Nietzsche
dalam bukunya The Birth of Tragedy, memandang musik sebagai sarana yang bisa
membangkitkan suasana estetik tertentu. Musik bisa menghadirkan rasa gembira
atau sedih seorang manusia lewat suatu atmosfer yang menyentuh. Musik juga
bisa mempengaruhi pikiran dan tindakan dari seorang manusia. Sehingga, musik
dapat membuat pendengarnya lari sejenak dari realita dan masuk ke dalam
imajinasinya sendiri.
Pada awalnya musik dipakai dalam ritual-ritual sakral untuk memuja sang
Pencipta. Orang-orang Yunani kuno bahkan percaya bahwa musik adalah
cerminan dari hukum-hukum harmoni yang mengatur alam semesta. 1 Kala itu
musik sangat erat kaitannya dengan berbagai kegiatan supranatural. Musik dan
ritme-ritme tertentu dimainkan dengan berbagai alat dan diyakini dapat membawa
ketenangan pikiran dan memberikan kenyamanan fisik.2
Namun seiring dengan perkembangan jaman, musik kemudian memiliki
beragam fungsi, mulai dari sarana hiburan, mata pencaharian, sampai menjadi
media untuk menyampaikan pesan atau kritik. Dalam sejarahnya, musik pun bisa
menjadi bagian dari suatu revolusi sosial. Bob Dylan atau John Lennon telah
1
2
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 244.
Djohan, Terapi Musik: Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Galangpress Group, 2006), h. 35.
1
membuktikan dengan lagu-lagunya, bahwa musik bisa menggerakan masyarakat
agar menentang keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam.
Munculnya
subkultur-subkultur
dalam
masyarakat,
juga
seringkali
melibatkan musik di dalamnya. Bentuk dan gaya bermusik (yang cenderung baru)
sering dijadikan sebagai identitas dasar dalam sebuah subkultur.3 Subkultur adalah
suatu komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi atau sosial yang memperlihatkan
pola perilaku yang membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam
suatu budaya atau masyarakat yang melingkupinya. 4 Para penganut Rastafarian
misalnya, menjadikan musik reggae sebagai bentuk perlawanan negara ketiga
terhadap dominasi negara maju dan juga untuk menentang kebijakan Apartheid di
Afrika Selatan. Subkultur mod atau punk, juga menggunakan musik sebagai
sarana untuk menyampaikan kritik sosial ataupun politik kepada pemerintah dan
masyarakat umum.
Pesan-pesan dalam musik seringkali diungkapkan secara konotatif dan
denotatif lewat lirik lagu atau video klip yang diciptakan. Lirik dan video klip
dalam lagu God Save The Queen karya The Sex Pistols misalnya, berisi kecaman
terhadap pemerintah Inggris yang bermewah-mewahan dalam merayakan 50
tahun berkuasanya sang ratu (Queen’s Jubilee), padahal ketika itu banyak orang
Inggris yang sedang mengalami pengangguran. Contoh lain adalah lagu Bento
dari Iwan Fals, yang secara tak langsung adalah kritik terhadap para pejabat di
masa Orde Baru yang dianggap lebih sibuk memperkaya dirinya sendiri.
Unsur-unsur dalam musik modern, seperti lirik, video klip atau album
artwork, sering menjadi sarana favorit para musisi untuk menyuarakan isi hati
3
Roy Shuker, Key Concepts in Popular Music (London: Routledge, 1998), h. 314.
Dedi Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 19.
4
2
mereka. Dalam musik, para musisi berani untuk mengangkat isu-isu yang masih
tabu di masyarakat. Lagu-lagu Tupac – seorang rapper asal Amerika Serikat,
misalnya, seringkali bercerita tentang diskriminasi rasial yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat AS pada saat itu.
Musik diketahui memiliki fungsi komunikasi. Melalui lagu, musisi
menjadikan musik sebagai media komunikasi untuk menyampaikan apa yang ada
dalam benaknya. Dalam menulis sebuah lirik lagu, musisi kerap menggunakan
metafora-metafora yang menggambarkan sebuah konsep. Metafora adalah sesuatu
yang mengacu kepada gejala penggantian sebuah kata yang harfiah dengan sebuah
kata lain yang figuratif. 5 Namun kebiasaan dalam menggunakan metafora pada
lagu tak jarang menjadi pisau bermata dua.
Makna-makna dalam lagu sering pula tidak dimengerti oleh para
pendengarnya, bahkan menimbulkan multitafsir. Hal ini terjadi karena setiap
orang memiliki latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda. Perbedaan
interpretasi ini menyebabkan para musisi tak jarang menjadi bahan gunjingan
masyarakat, yang menganggap bahwa mereka hanyalah mencari popularitas
semata.
Jika kita merujuk pada dekonstruksionisme yang dirintis Derrida, maka
makna bukan sekedar tanda yang disepakati oleh banyak orang. Dengan kata lain,
makna dari suatu kata atau kalimat tidak bisa dimaknai secara tunggal, tetapi juga
dibuka peluang makna lainnya.6 Sehingga tidak mengherankan jika ada seseorang
yang bisa berbeda dalam menafsirkan suatu kandungan teks, termasuk dalam lagu.
Dalam gagasan semiotika post-strukturalis, juga disebutkan bahwa bahasa adalah
5
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta: Jalasutra,
2003), h. 170.
6
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 106.
3
suatu sistem pengungkapan yang tak pernah mampu secara utuh menggambarkan
konsep yang diekspresikannya. Sehingga suatu kata atau kalimat bisa memperoleh
pemaknaan yang lebih beragam.
Sejak merebaknya tren band-band melayu di Indonesia, tema dalam setiap
lagu menjadi terkesan selalu monoton. Banyak musisi yang selalu mengobral
tema cinta yang basi dalam setiap lirik lagunya. Musik kemudian hanya menjadi
alat pengeruk keuntungan dan popularitas semata. Demi kepentingan pasar, para
musisi rela menyampingkan ideologi bermusik mereka. Mereka menjadi tidak
sungguh-sungguh dalam menciptakan karyanya, asalkan bisa terkenal dengan
cepat dan bisa mendapatkan banyak uang.
Namun tidak semua musisi terperangkap dalam kekangan major label
tersebut. Ada pula musisi-musisi independen (indie) yang tidak ingin dianggap
sebagai barang jualan semata, sehingga mereka tidak memakai major label dalam
memproduksi dan mempromosikan musiknya. Mereka merasa bahwa sebuah
karya musik adalah karya kreatif yang bisa mengeluarkan ide-idenya tanpa terikat
dengan kemauan pasar. Jadi dengan kata lain, musisi indie adalah musisi yang
mandiri, bebas dan mencoba memegang teguh nilai-nilai otentik dalam karyakaryanya.
Keunggulan musik indie dibandingkan dengan musik mainstream yang
sering kita lihat di televisi bagi penulis adalah tema lagu yang selalu beragam.
Contohnya mereka kerap menyisipkan kritik sosial mengenai korupsi,
ketidakadilan, globalisasi dan lain sebagainya ke dalam lagu-lagunya. Dengan
kemampuan kreatifnya, mereka menjadikan musik sebagai alat kontrol sosial
dalam masyarakat. Mereka juga menjadikan musik sebagai media untuk
4
menyajikan realitas sosial yang terjadi sehari-hari di masyarakat. Sehingga dengan
demikian, para musisi tersebut mengfungsikan musik sebagai sarana untuk
berkomunikasi.
Efek Rumah Kaca adalah salah satu dari para musisi independen tersebut.
Grup band yang berasal dari Jakarta ini terdiri dari: Cholil Mahmud (vokal, gitar),
Adrian Yunan Faisal (vokal, bass), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal).
Band yang mengambil namanya dari isu global yang sangat menakutkan ini
dikenal kerap mengangkat tema sosial, politik dan lingkungan ke dalam lagulagunya. Mereka sering menyisipkan „protes‟ dalam lagu-lagu dengan tidak secara
eksplisit dan membuat kita harus melakukan aktivitas baca-tafsir untuk bisa
memahaminya.
Trio ini juga pernah mengisi suatu rubrik bertema politik di koran Kompas
setiap hari sabtu dan sering diundang menjadi pembicara dalam diskusi-diskusi
bertema sosial dan politik. Mereka juga kerap aktif dalam kampanye-kampanye
tentang pelanggaran hak asasi manusia. Dengan melihat latar belakang keseharian
mereka tersebut, menarik untuk melihat bagaimana karakter yang terbentuk dalam
karya-karya mereka tersebut.
Sampai saat ini Efek Rumah Kaca, sudah menghasilkan dua album, yaitu:
Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008). Album pertama yang dinamai
sama dengan nama bandnya, sukses meraih berbagai penghargaan, diantaranya:
Editor’s Choise Award 2008 versi majalah Rolling Stone Indonesia, MTV
Indonesia Award 2008 untuk kategori “Best Cutting Edge”, serta Nominator AMI
Award 2008 untuk kategori “Best Alternative”. Debut album ini banyak bercerita
5
seputar budaya konsumerisme, pemanasan global, sampai kritik terhadap industri
musik pada saat itu.
Adalah Kamar Gelap, album kedua dari band ini yang menurut para kritikus
musik lebih menunjukan kematangan Efek Rumah Kaca dalam berkarya. Album
yang pernah meraih penghargaan sebagai album terbaik versi Indonesia Cutting
Edge Music Award (ICEMA) di tahun 2010 ini disebut-sebut lebih variatif
ketimbang album yang pertama. Beberapa resensi di portal musik menyimpulkan
bahwa kritik sosial dan politik terasa lebih kuat pada lagu-lagu di album ini.
Dalam resensi di situs http://jakartabeat.net pada tahun 2009, dikatakan bahwa
album ini mencoba memotret realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Yulia
Dian jurnalis DetikHot pada 2008, juga menulis bahwa album ini bukan sekadar
kumpulan lagu, namun juga merupakan gambaran hidup.7
Terdapat 12 lagu dalam album yang dirilis oleh Aksara Records ini,
diantaranya adalah: Tubuhmu Membiru... Tragis, Kau Dan Aku Menuju Ruang
Hampa, Mosi Tidak Percaya, Lagu Kesepian, Hujan Jangan Marah, Kenakalan
Remaja Di Era Informatika, Menjadi Indonesia, Kamar Gelap, Jangan Bakar
Buku, Banyak Asap Di Sana, Laki-laki Pemalu, dan Balerina. Berdasarkan datadata tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap lagulagu Efek Rumah Kaca di album Kamar Gelap yang secara khusus memiliki
signifikansi dengan tema sosial. Penulis tertarik untuk mengetahui penanda apa
yang digunakan oleh Efek Rumah Kaca melalui lirik dalam album Kamar Gelap.
Maka dari itu, penulis akan menggunakan metode analisis semiotika
komunikasi sebagai cara untuk memahami makna tersebut. Lirik dalam album
7
http://hot.detik.com/music/read/2008/12/19/165654/1056630/217/1/efek-rumah-kaca-terangterangan-di-kamar-gelap. Diakses pada 27 Februari 2014.
6
Kamar Gelap ini akan penulis analisis dalam skripsi yang berjudul: “Kritik dan
Potret Realitas Sosial dalam Musik (Analisis Semiotika pada Album Kamar
Gelap Karya Efek Rumah Kaca).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa makna denotasi dan konotasi serta mitos yang terkandung dalam
album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca?
2. Bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam lagu-lagu Efek Rumah
Kaca di album Kamar Gelap?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui makna denotasi dan konotasi serta mitos yang
terkandung dalam album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca.
2. Untuk mengetahui bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam
lagu-lagu Efek Rumah Kaca di album Kamar Gelap.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu dari segi
akademis maupun segi praktisnya.
a. Manfaat akademis
7
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
komunikasi, khususnya bagi pengembangan penelitian kualitatif dan
analisis semiotik.
b. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
mengenai proses pemaknaan lagu-lagu yang mengandung tema-tema
sosial. Penelitian ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat meraih gelar
sarjana pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah
dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menemukan ada karya ilmiah yang
hampir sama, namun memiliki perbedaan pada fokus permasalahan penelitian dan
ada juga yang berbeda metode analisisnya. Karya ilmiah tersebut yaitu:
1. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syarif, mahasiswa jurusan
Komunikasi, Universitas Hasanuddin (2013), dengan judul skripsi
yaitu: “Konstruksi Modernitas dalam Album Radiohead (Analisis
Semiotika pada Lirik Lagu dan Artwork Album OK Computer)”.
Fokus dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana
modernitas dikonstruksi dalam album OK Computer karya grup band
Radiohead.
2. Skripsi yang ditulis oleh Ferdi Yulian, mahasiswa jurusan Komunikasi
dan Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta (2012), dengan judul skripsi yaitu: “Analisis
8
Wacana Terhadap Album Musik Anti Korupsi Group Band
Slank”. Fokus dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui
bagaimana wacana anti korupsi dalam album Anti Korupsi karya grup
band Slank.
3. Skripsi yang ditulis oleh Anwar Saputra, mahasiswa jurusan Ilmu
Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
(2013), dengan judul skripsi yaitu: “Kritik Sosial Politik Dalam
Musik: Analisis Isi Lirik Lagu “Gosip Jalanan, Birokrasi
Kompleks dan Kritis BBM” Grup Musik Slank”. Fokus dalam
penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana kritik sosial
dan politik dari lirik lagu yang berjudul ”Gosip Jalanan, Birokrasi
Kompleks dan Kritis BBM dari grup musik Slank, dan melalui analisis
isi.
F. Kerangka Teori
1. Kritik Sosial dan Konstruksi Realitas dalam Teks Media
Keadaan sosial suatu masyarakat yang tidak berjalan dengan semestinya,
memaksa beberapa kalangan untuk bertindak atau melakukan protes. Kritik sosial
menjadi salah satu dari bentuk tindakan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kritik dipahami sebagai kecaman, atau tanggapan, kadang-kadang
disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat,
dan sebagainya. Sedangkan sosial adalah sesuatu yang berkenaan dengan
masyarakat. Dengan demikian, kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi
9
yang berupa tanggapan terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat,
disertai dengan uraian tentang baik buruknya.
Fungsi kritik sosial jelas sebagai kontrol dari proses atau jalannya sistem
sosial. Mary Poovey dalam bukunya –seperti yang dikutip oleh Jacques Lacan,
menjelaskan bahwa kritik yang bermakna sosial bisa memberikan sarana yang
membuat manusia bisa memahami dunianya dan mendapatkan identitasnya, serta
dengan kritik sosial kita bisa merumuskan dan mengungkapkan hasrat kita.8
Apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya kritik? Kita bisa melihatnya
dari susunan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil hingga besar.
Kelompok masyarakat tersebut tentunya mempunyai tradisi dan membentuk suatu
aturan baik yang tertulis maupun tidak. Seiring berjalannya waktu, masuknya
pengaruh budaya-budaya luar menyebabkan terjadinya perubahan dalam perilaku,
norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
kecaman dari beberapa kalangan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kritik sosial tidak hanya ditujukan kepada kalangan masyarakat biasa,
namun juga bisa dikhususkan kepada para pejabat pemerintahan atau politisi.
Amien Rais menjelaskan bahwa kritik kepada elite politik biasanya berkenaan
dengan masalah ada tidaknya high standarts of performance atau pelaksanaan
fungsi dan tugasnya berdasarkan etos dan moralitas yang tinggi, sebagaimana
selalu diharapkan oleh masyarakat luas dari pejabat atau elite politik, sebagai
teladan dari masyarakat.9
8
Mark Bracher, 2009, Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar KritikBudaya Psikoanalisis (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 6.
9
Anwar Saputra, “Kritik Sosial Politik dalam Musik: Analisis Isi Lirik Lagu “Gosip Jalanan,
Birokrasi Kompleks dan Kritis BBM” Grup Musik Slank,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013, h. 26.
10
Selain berupa gerakan seperti demonstrasi, mogok makan dan lain
sebagainya, dalam sejarahnya kritik sosial juga dapat diekspresikan ke dalam
bentuk seni dan budaya-budaya kontemporer lainnya. Film, musik, lukisan, dan
lain sebagainya tak jarang menjadi media kritik yang ampuh kepada masyarakat
atau pemerintah.
Dengan seperangkat tanda-tanda yang disisipkan ke dalamnya, kritik dan
sindiran diharapkan bisa diterima oleh masyarakat atau pemerintah, tanpa mereka
harus tersinggung dan marah ketika menerimanya. Karena kritik bukanlah untuk
menjelek-jelekan sesuatu, namun untuk mengoreksi hal-hal yang keliru atau tidak
sesuai, demi memperoleh suatu kemajuan.
Sejarah telah membuktikan bahwa kritik dalam konteks sosial selalu
berproses secara beragam dengan cara membandingkan antara gagasan yang baru
dengan gagasan yang lama. Di bab kedua nanti akan dijelaskan bagaimana
kritisisme dari “Teori Kritis”, mengkritik keberadaan budaya industri/massa yang
memberikan dampak ideologis bagi sekelompok masyarakat.
Konstruksi Realitas
Seperti yang telah disebutkan di atas, kritik sosial hadir karena adanya
penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan dalam sistem sosial.
Gambaran mengenai realitas sosial yang terjadi kemudian mutlak harus dimiliki
oleh para kritikus demi mendukung kritik-kritiknya tersebut. Konstruksi realitas
sosial akhirnya dipandang penting demi mencapai misi-misi tertentu.
Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam bukunya The Social
Construction of Reality: A Treatise in Sociological of Knowledge (1966),
11
konstruksi sosial selalu sarat dengan kepentingan-kepentingan.10 Setiap peristiwa
yang ada kemudian bisa dikemas dan dibentuk secara simbolis. Simbol-simbol
tertentu dipilih berdasarkan ideologi sang komunikator. Dalam hal ini, bahasa
memegang peranan penting dalam wilayah signifikasi atau penandaan. Bahasa
kemudian digunakan untuk mensignifikasi makna-makna yang dipahami sebagai
pengetahuan yang relevan dengan masyarakat. 11 Namun pengetahuan tersebut
tentu saja tidak bisa dikatakan relevan bagi semua orang.
Ferdinand de Saussure, seperti yang dikutip oleh Alex Sobur, pernah
memaparkan bahwa tanda-tanda adalah konstruksi dari pandangan dan persepsi
kita terhadap realitas. 12 Jika dilihat dalam konteks sosial, maka tanda menurut
Saussure tidak hanya merepresentasikan realitas yang terjadi di masyarakat, tetapi
juga bisa membentuk persepsi manusia. Dengan demikian, masyarakat harus lebih
teliti dalam menyikapi berbagai tanda yang muncul, agar tidak terjadi salah baca
(misreading) yang bisa berakibat fatal.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan realitas? Realitas sangat sulit untuk
dijelaskan secara rinci. Sederhananya, realitas adalah kenyataan, atau dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: “hal yang nyata; yang benar-benar ada”.
Menurut kritikus budaya Yasraf Amir Piliang, realitas sesungguhnya sangat
kompleks dan selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apa yang
kita lihat dan kita dengar (misalnya benda, musik, cuaca) bisa saja adalah sebuah
realitas, namun tidak menutup kemungkinan jika yang kita lihat dan dengar tadi
sebenarnya adalah tanda dari realitas yang sebenarnya.
10
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 24.
11
Ibid., h. 17.
12
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 87.
12
Teks media dalam sejarahnya, selalu memiliki ideologi atau kepentingankepentingan yang ingin dibawa. Alex Sobur dalam Analisis Teks Media,
menjelaskan bahwa teks media tersusun atas seperangkat tanda dan tidak pernah
membawa makna tunggal.13 Dengan demikian, teks media tersebut bisa membawa
bias-bias yang perlahan bisa menyusup ke dalam satu budaya tertentu.
Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Teks memiliki arti
yang luas. Bisa berbentuk seperti berita, film, musik dan produk-produk budaya
lainnya. Roland Barthes, seorang pakar semiotika dari Perancis, memiliki
pemahaman yang luas dalam pengertian teks. Ia misalnya, berpendapat bahwa
musik adalah salah satu contoh teks yang dapat dibaca.
Sebagai bentuk teks, musik juga tentunya bisa menjadi media untuk
mengkonstruksi atau memotret realitas. Karena pada dasarnya, setiap upaya
“menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, adalah usaha
untuk mengkonstruksikan realitas. 14 Seorang musisi bisa saja menceritakan
sebuah peristiwa lewat sebuah lagu yang diciptakannya. Lagu White Riot milik
band punk The Clash misalnya, mengisahkan tentang kerusuhan yang dipicu oleh
warga kulit hitam di London pada 1977. Lagu tersebut juga berisi semacam
“ajakan” kepada pemuda kulit putih agar ikut bersama para warga kulit hitam
dalam memprotes kesewenangan pemerintah.
Fenomena tersebut menunjukan bahwa musik sebagai salah satu teks atau
bahasa, tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi dalam menggambarkan
realitas, namun juga menentukan gambaran yang hendak ditanamkan kepada
13
14
Ibid., h. 95.
Ibid., h. 88.
13
publik. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk
konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya.15
Kesadaran menjadi bagian yang terpenting dalam konstruksi sosial. 16
Karena kritik dan konstruksi realitas sosial dalam teks media selalu
mengekspresikan sikap dan pilihan sang komunikator, dan juga dikomunikasikan
melalui seperangkat tanda, maka semiotika bisa menjadi pendekatan yang terbaik
dalam menganalisisnya. Pembahasan mengenai semiotika secara lebih dalam
selanjutnya bisa dilihat dalam bab kedua skripsi ini.
2. Musik Sebagai Media Komunikasi
Musik pada dasarnya adalah pengorganisasian suara yang terdiri dari beat,
harmoni dan melodi, serta lirik lagu jika dalam konteks musik populer.17 Karena
musik sifatnya adalah menyampaikan informasi dan makna dari sang musisi
(komunikator) kepada pendengarnya (komunikan), maka musik bisa menjadi
salah satu bentuk komunikasi.18 Namun kendala yang sering muncul dalam proses
komunikasi ini adalah musik sering dianggap sebagai bahasa yang hanya
dipahami oleh segelintir orang. Salah satu sebabnya adalah bahasa musik sering
ditulis dalam berbagai simbol. Contoh yang paling sederhana bisa kita lihat dalam
partitur yang ditulis dalam beragam simbol musik, yang tidak semua orang bisa
paham.
15
Ibid., h. 90.
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman, h.
25.
17
Roy Shuker, Key Concepts in Popular Music, h. 57.
18
Ibid., h. 56.
16
14
Marcel Danesi, dalam bukunya Pesan, Tanda dan Makna menjelaskan
bahwa terdapat tiga tingkatan dalam seni musik. 19 Pertama, musik klasik yang
hanya tersebar di kalangan bangsawan dan lembaga keagamaan. Yang kedua,
musik tradisional yang biasanya didengarkan oleh sekelompok masyarakat
tertentu. Dan yang ketiga, adalah musik populer yang tersebar ke beragam
kalangan masyarakat.
Musik populer tidak akan tersebar tanpa melibatkan suatu media.
Pembagian tiga tingkatan musik seperti yang dipaparkan oleh Danesi di atas,
membuat musik bisa masuk ke dalam kajian media dan komunikasi. Inilah
sebabnya musik bisa menjadi salah satu dari bentuk teks media. Musik kemudian
tidak hanya menjadi bunyi-bunyian di telinga, namun juga sebagai salah satu cara
untuk menyampaikan pesan. Karena lagu-lagu seringkali memiliki fungsi
ekspresif, khususnya pada wilayah semantik, maka dengan demikian ia dapat pula
dianalisis melalui semiotika.
Roland Barthes dalam esainya yang berjudul Musica Practica (1970),
menulis bahwa seorang seniman –termasuk musisi, bisa mengalami beberapa
tahap perkembangan gaya dalam karirnya. Ia mencontohkan Beethoven, seorang
komposer yang dinilainya sebagai musisi pertama yang mencipta dengan bebas.
Barthes menggambarkan Beethoven yang terus menerus terdorong untuk
bermetamorfosis, dan menggunakan musik yang ia fungsikan sebagai bahasa
untuk mencitrakan jati dirinya kepada pendengar.
19
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, h. 243.
15
Dari contoh tersebut, kita bisa mengetahui bahwa karya seni seperti musik,
bisa menjadi sebuah pesan yang disadap dari totalitas hidup sang seniman. 20
Lagu-lagu yang ia ciptakan seringkali merupakan jejak-jejak makna yang berisi
ide dan karakter sang musisi. Namun seperti teks-teks lainnya, musik dapat
diinterpretasi oleh pembaca berdasarkan ranah pemahaman pembaca. Pembacaan
dikatakan berhasil apabila sang pembaca tersebut mampu membentuk teks baru
dengan mengawinkan elemen-elemen yang dipahaminya. Konsep ini kembali
menegaskan konsep Barthes lainnya yakni konotasi, di mana komunikasi adalah
suatu proses tafsir di antara subjek-subjek pelakunya. Baik penulis maupun
pembaca,
sama-sama
memproduksi
makna
berdasarkan
nilai-nilai
dan
pemahaman yang mereka anut.
Akibatnya musik pun bisa dimaknai secara konotatif oleh para
pendengarnya. Makna yang timbul pun menjadi sangat beragam karena perbedaan
budaya di antara para pendengar. Oleh karena itu, orientasi pembacaan karya
pengarang tidak hanya ditujukan pada maksud si pengarang, namun diposisikan
juga sebagai teks oleh pembacanya. Maka demikian, Roland Barthes juga
membedakan antara karya dan teks. Baginya, pengarang adalah subjek yang
menciptakan karya, sedangkan ketika karya tersebut pindah ke tangan pembaca
maka ia menjadi teks. Teks selalu terbuka dengan aktivitas baca-tafsir maupun
semiologi di kalangan pembacanya. Teks juga, seperti kata Barthes, bisa bebas
dibaca-tafsir tanpa harus terbebani dengan kekangan makna yang diciptakan oleh
20
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan, Film, Musik,
Alkitab,Penulisan dan Pembacaan Kritik Sastra (Terj.Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 155.
16
si pencipta karya. Lebih lanjut bisa dibaca dalam esai Roland Barthes yang
berjudul “Kematian Pengarang” dan “Perbedaan antara Karya dan Teks”.21
Terinspirasi dari pembagian fenoteks dan genoteks seperti yang dilakukan
oleh Julia Kristeva, Roland Barthes juga membagi teks lagu menjadi dua, yakni
feno-lagu dan geno-lagu. Jika fenoteks adalah segala sesuatu di dalam bahasa
yang berfungsi untuk komunikasi, representasi dan ekspresi, serta dapat
membentuk nilai-nilai budaya, maka feno-lagu seperti yang diungkapkan oleh
Barthes, berkaitan dengan segala sesuatu yang menangani bidang komunikasi,
representasi atau ekspresi dari suatu lagu. Feno-lagu juga erat kaitannya dengan
endapan-endapan nilai kultural, seperti cita rasa, gaya atau bahkan pikiran kritis
dari si pencipta lagu. Sedangkan jika genoteks adalah sarana yang memuat seluruh
evolusi historis bahasa dan aneka praktik penandaan 22 , maka geno-lagu adalah
aktivitas yang berhubungan dengan produksi, yang melingkupi banyak
pertandaan-pertandaan dalam musik. Geno-lagu tidak ada kaitannya sama sekali
dengan komunikasi. Karena itulah geno-lagu tidak akan penulis bahas dalam
penelitian ini.
Dalam penelitian ini, peneliti tidak hanya memposisikan Efek Rumah Kaca
sebagai pengarang, namun juga pembaca. Karena bagaimanapun juga, pengarang
dan pembaca adalah subjek yang sama-sama membangun makna berdasarkan nilai
dan kepentingannya masing-masing. Posisi si pengarang seringkali dipahami
berdasarkan produk yang dihasilkannya, padahal ia juga aktif sebagai subjek
pembaca atas lingkungan sosial di mana mereka hidup. Dalam menilai suatu
karya, alangkah bagusnya jika kita memahami si pengarang terlebih dahulu,
21
22
Ibid., h. 145 dan 156.
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 152.
17
termasuk posisinya sebagai pembaca. Kemudian lirik lagu dan artwork dalam
album Kamar Gelap kita pandang sebagai teks yang bermuatan kode-kode
budaya.
Maka demikian, pembacaan atas lagu-lagu Efek Rumah Kaca adalah
pembacaan terhadap bagaimana kritik dan potret realitas sosial ditafsir dalam lirik
lagu dan artwork dalam album tersebut. Dalam studi yang berkaitan dengan musik,
ada empat level wilayah yang bisa dikaji, yakni: level teks, level produksi, level
pendengar dan level konteks.23 Pada skripsi ini peneliti akan memilih level teks
sebagai wilayah yang akan dikaji.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif interpretatif dengan tujuan untuk
mendapatkan
gambaran
secara
deskriptif.
Penelitian
ini
menitikberatkan kepada „proses‟ bukan „hasil‟. Penelitian ini bisa
disebut sebagai penelitian interpretatif, karena data hasil yang
dikumpulkan merupakan interpretasi terhadap data dari subjek
penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri sumbersumber terkait yang berkenaan dengan permasalahan penelitian. Data
primer bersumber dari lirik lagu dan artwork yang terdapat dalam
23
Level teks berkaitan dengan lirik atau bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari instrumen/alat
musik. Level produksi berkaitan dengan proses produksi dalam dapur rekaman sebelum musik
diedarkan. Level pendengar adalah tentang bagaimana musik itu diapresiasi oleh pendengarnya.
Dan level konteks adalah tentang bagaimana situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya ketika
musik tersebut muncul.
18
album Kamar Gelap, sedangkan data sekunder bersumber dari buku,
internet, majalah dan wawancara.
3. Unit Analisis
Unit analisis berupa data teks dari duabelas lirik lagu Efek Rumah
Kaca dalam album Kamar Gelap, dengan masing-masing judul:
Tubuhmu Membiru... Tragis, Kau Dan Aku Menuju Ruang Hampa,
Mosi Tidak Percaya, Lagu Kesepian, Hujan Jangan Marah,
Kenakalan Remaja Di Era Informatika, Menjadi Indonesia, Kamar
Gelap, Jangan Bakar Buku, Banyak Asap Di Sana, Laki-laki Pemalu,
dan Balerina. Serta berupa artwork yang terdapat dalam kemasan
album.
4. Analisis Data
Teknik analisis data didasarkan pada metode analisis semiotika
konotasi Roland Barthes yang menekankan produksi tanda dengan
mengkaji proses pertukaran makna dari sebuah tanda yang diciptakan
seseorang dalam melakukan aktivitas komunikasi.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima
bab, yakni:
BAB I :
Bab pertama adalah Pendahuluan. Berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
19
BAB II :
Bab kedua berisi landasan teori dan pembahasan yang menunjang isi
penelitian ini, seperti sejarah singkat industri musik dan rekaman, teori kritis
dalam musik kritis dan pengertian serta macam-macam semiotika.
BAB III :
Bab ketiga berisi profil Efek Rumah Kaca, beserta discography-nya (daftar
album dan lagu).
BAB IV:
Bab keempat adalah hasil penelitian dan pembahasan. Berisi temuan makna
denotasi, konotasi dan mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap.
Juga menguraikan tentang bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam
album tersebut.
BAB V :
Bab kelima adalah penutup. Bab ini berisi kesimpulan penelitan dan saran
untuk subjek penelitian, juga untuk penyempurnaan penelitian ini sendiri.
20
BAB II
MUSIK, TEORI KRITIS DAN SEMIOTIKA
A. Sejarah Singkat Industri Musik dan Rekaman
Jauh sebelum adanya teknologi rekaman, komersialisasi musik sudah
dilakukan dengan cara menjual lembaran (sheet) musik yang berisi notasi sebuah
lagu. selama masa Renaissance, para komposer musik klasik biasanya tidak hanya
dibayar ketika memimpin sebuah konser, namun juga mereka memiliki pekerjaan
sampingan yakni menuliskan dan menjual musik yang mereka ciptakan. Di tahun
1800, ketika musik folk dan mesin cetak mulai populer di Amerika Serikat, sheet
musik menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. 24 Orang-orang ketika itu rela
membeli berbagai sheet musik supaya bisa dipraktekan dengan piano di rumahnya
masing-masing.
Dunia rekaman mulai lahir ketika di tahun 1877, Thomas Alva Edison
menciptakan alat perekam suara yang bernama fonograf. Cara kerja dari alat yang
terbuat dari silinder berbungkus kertas timah itu adalah dengan merubah getaran
udara menjadi alur udara yang meliputi sebuah rotasi silindris timah.25 Fonograf
memakai prinsip dasar dari teknik rekaman digital, sebuah teknik yang ternyata
masih bertahan hingga saat ini. Penemuan Edison tersebut kemudian
menginspirasi berbagai penemuan-penemuan lainnya terkait dengan teknologi
rekaman.
1
George Rodman, Mass Media in Changing World: History, Industry, Controversy (New York:
McGraw-Hill, 2008), h. 216.
2
Idhar Rez, Music Records Indie Label (Bandung: DAR! Mizan, 2008), h. 69.
21
Pada 1887, Emile Berliner menciptakan alat baru yang diberi nama
gramofon. Berbeda dengan fonograf yang memanfaatkan silinder, maka gramofon
menggunakan piringan hitam untuk merekam suara. Kelebihan dari alat ini adalah,
piringan hitam lebih murah dan lebih mudah diproduksi ketimbang silinder
Edison. 26 Berliner bersama dengan Eldridge Johnson kemudian mendirikan
perusahaan Victor Talking Machine Company dan menjual rekaman bintang
opera Enrico Caruso. Jejak mereka ini kemudian diikuti oleh para pengusaha yang
menjadikan dunia rekaman sebagai lahan bisnisnya.
Menjelang abad ke-20, perusahaan-perusahaan penyedia alat rekaman
tumbuh dan bersaing satu sama lain. Alat-alat seperti fonograf dan gramofon
tersebar ke tempat-tempat hiburan dan rumah-rumah penduduk. Era baru
mendengarkan musik pun muncul. Kini masyarakat tidak perlu lagi datang ke
aula-aula konser untuk mendengarkan musik. Hiburan musik bisa dengan mudah
diperoleh dalam setiap rumah.
Sebelum Perang Dunia II, dunia rekaman belum mengenal istilah “album
musik”. Dahulu setiap satu piringan hitam hanya berisi satu lagu dan berdurasi
rata-rata 3 menit. Album musik baru muncul sekitar tahun 1940. Seperti album
foto, saat itu satu album masih terdiri dari beberapa piringan hitam, tergantung
berapa jumlah lagunya. Tetapi semua itu berubah ketika Peter Goldmark, seorang
insinyur dan pekerja dari Colombia Records, berhasil menciptakan alat perekam
panjang (long playing –LP record) yang dapat memutar musik selama 23 menit).
3
George Rodman, Mass Media in Changing World: History, Industry, Controversy, h. 217.
22
Sehingga dengan demikian, satu piringan hitam (vinyl) bisa menyimpan beberapa
lagu.
Berkembangnya teknologi radio di Amerika Serikat pada awal 1920an, turut
mempengaruhi industri musik dan rekaman. Musik menjadi sajian utama pada
awal perkembangan radio.27 Saat itu bahkan siaran musik mendominasi isi radio,
disamping siaran berita. Karena kualitas rekaman yang masih kurang bagus,
biasanya siaran musik pada waktu itu menampilkan musisi yang tampil secara
langsung (live) di studio. Namun siaran musik di radio ini kemudian sempat
membuat was-was pelaku rekaman yang takut tersaingi. Terutama di masa Great
Depression, di mana banyak orang yang tidak bisa membeli musik rekaman
karena lebih mahal ketimbang mendengar di radio.
Walau industri rekaman sempat pesimis atas berkembangnya teknologi
radio, namun justru ini semakin mendorong perusahaan rekaman untuk semakin
memperbaiki kualitas rekamannya. Maka kemudian lahirlah rekaman elektrik
pada tahun 1925, yang jelas semakin baik kualitasnya dibandingkan dengan yang
terdahulu. Dengan cepat, teknologi rekaman elektrik ini dimanfaatkan secara baik
oleh para perusahaan rekaman major.
Sadar dengan potensi bisnis yang besar, pada 1926 industri rekaman mulai
bekerja sama dengan radio dan sekaligus memasarkan suatu alat yang merupakan
kombinasi dari fonograf dan radio. 28 Hal ini kemudian mendorong perusahaanperusahaan rekaman lainnya untuk bergabung dengan stasiun radio, contohnya
seperti The Radio Corporation of America (RCA) yang kemudian bergabung
dengan The Victor Talking Machine Company pada tahun 1928.
4
5
Idhar Rez, Music Records Indie Label, h. 74.
Ibid., h. 75.
23
Ditemukannya teknologi radio FM, semakin meramaikan dunia musik di
tahun 1950-1960an. Jika radio AM jangkauannya terlalu luas sehingga cenderung
„main aman‟ dengan hanya menyiarkan musik-musik mainstream, maka radio FM
yang jangkauannya lebih kecil bisa memberikan tempat pada studio-studio
rekaman independen yang berskala kecil untuk memasarkan produknya. Dengan
kata lain, tidak seperti radio AM, radio FM lebih menawarkan beragam genre
seperti blues, jazz dan rock n‟ roll yang ternyata lebih menarik perhatian para
penikmat musik dari kalangan muda.29
Seperti stasiun radio AM, label-label rekaman besar saat itu, seperti
Columbia, Victor, Capitol, MGM atau Mercury, lebih suka bermain aman, yaitu
dengan hanya memasarkan musik-musik yang mainstream. Sampai awal tahun
1950, musik di Amerika cenderung homogen. Musik pop bertempo lambat
mendominasi isi siaran musik di radio-radio besar. Hal ini membuat kalangan
remaja –yang memang selalu ingin mencari hal baru, mencoba untuk menciptakan
musik baru yang lebih enerjik.
Di pertengahan tahun 1950an, label-label kecil (independen) mulai merilis
lagu-lagu yang berirama atau bertempo lebih cepat. Jenis musik yang kemudian
dikenal dengan nama rock and roll ini, sebenarnya adalah campuran dari berbagai
elemen seperti rhythm and blues, gospel dan musik country. 30 Kalangan kulit
hitam punya andil besar dalam munculnya genre musik ini. Elvis Presley yang
dikenal sebagai “raja rock and roll” pun terinspirasi dan banyak mengadaptasi
gaya bermusik dari para musisi kulit hitam.
6
7
Roger Fidler, Mediamorfosis (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), h. 31.
George Rodman, Mass Media in Changing World: History, Industry, Controversy, h. 220.
24
Tidak hanya di Amerika Serikat, musik rock juga mendapatkan tempat yang
sangat besar di kalangan remaja di Inggris. Bahkan perkembangannya jauh lebih
pesat ketimbang di AS. Band-band seperti The Beatles, The Rolling Stones atau
The Who menjadi magnet besar bagi munculnya para pelaku bisnis musik.
Terutama ketika band-band Inggris ini menginvasi tanah Amerika. Musik rock
menjadi bisnis yang sangat menggiurkan dan menarik banyak penggemar dari
berbagai kalangan. Musik rock juga melahirkan banyak genre lainnya seperti punk,
metal dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian, rock menjadi jenis musik
yang paling banyak berkembang dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan berbagai genre musik populer, sama pesatnya dengan
perkembangan teknologi yang semakin memudahkan para pendengarnya. Mulai
dari ditemukannya teknologi stereo, tape recorder, Compact Disc, sampai
munculnya situs-situs yang menyediakan fitur untuk mengunduh (download)
lagu-lagu secara bebas. Jika kita petakan, maka pertumbuhan industri musik dan
rekaman dapat disederhanakan dan dicirikan dengan beberapa peristiwa penting
berikut ini:
1. Penemuan alat-alat seperti fonograf oleh Thomas Edison, dan gramofon
oleh Emile Berliner, yang menjadi cikal bakal munculnya industri
rekaman.
2. Ampex menciptakan tape recorder berkualitas tinggi, dan Minnesota
Mining and Manufacturing (3M) mengembangkan pita plastik.
Penggunaan kaset membuat suara dapat diedit dan disempurnakan,
sesuatu yang tidak dapat dilakukan pada piringan cakram.31
8
Shirley Biagi, Media/Impact: Pengantar Media Massa (Terj. Jakarta: Salemba Humanika, 2010),
h. 121.
25
3. Peter Goldmark menciptakan alat perekam panjang (long playing –LP
record) yang dapat memutar musik selama 23 menit).
4. Pada tahun 1956, teknologi suara stereo mulai dikenal.
5. Perusahaan rekaman Motown mempopulerkan jenis musik blues dan
rock and roll.
6. Pada 1979, Sony memperkenalkan alat musik stereo pribadi yang diberi
nama Walkman.
7. Munculnya compact disc (CD) yang dapat memberikan suara yang
jernih dan mengubah dunia musik dengan suara yang direkam pada
plastik alumunium berukuran 4,7 inchi, serta diputar menggunakan
laser.32 Sejak kemunculannya, CD secara otomatis menggantikan peran
piringan hitam (vinyl) dan kaset (tape) sejak pertengahan 1980an.
Keuntungan CD selain kualitasnya yang lebih baik dari kaset adalah:
CD lebih praktis dan mudah dibawa kemana saja.
8. Adanya teknologi MP3 di tahun 1999, yang membuat masyarakat
semakin mudah mendapatkan musik dari internet.
9. Pada tahun 2003, Apple meluncurkan iTunes, sebuah toko musik online,
dengan harga 99 sen per lagu.33
Munculnya teknologi radio FM, saluran televisi MTV, sampai adanya situs
Napster, membuat musik semakin bisa dijangkau kemana saja. Baik musisi dan
perusahaan rekaman semakin kreatif pula dalam mempromosikan album atau
single yang mereka ciptakan. Dewasa ini, industri musik populer dikuasai oleh
beberapa perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan besar terus berlomba-lomba
9
Ibid., h. 121.
Ibid., h. 122.
10
26
dalam menciptakan “bintang populer” yang digandrungi oleh masyarakat umum.
Layaknya perusahaan besar pada umumnya, orientasinya hanya satu, yakni
keuntungan yang besar.
B. Teori Kritis dalam Musik Kritis
Musik ketika diiringi dengan tujuan komersil, maka semua yang diciptakan
–baik lagu maupun album, harus juga mengikuti hukum pasar, yaitu menjual
sesuai dengan apa yang digemari oleh masyarakat pada saat itu. Tujuan komersil
ini tidak jauh berbeda dengan perusahaan-perusahaan lain yang mengejar
keuntungan dengan sebanyak-banyaknya. Musisi pun tak punya banyak pilihan
selain membuat sesuatu yang sesuai dengan keinginan pasar, walau mungkin itu
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si musisi. Nilai estetik dalam musik
terpaksa tunduk oleh hasrat mencari keuntungan.
Menurut Theodore Adorno dalam Dialectic of Enlightment34, musik populer
dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan
individualitas (keragaman) semu. 35 Standarisasi menyatakan bahwa musik pop
mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga
dapat dipertukarkan.36 Hal ini bisa menjelaskan tentang permasalahan yang sering
dialami oleh musik pop dalam hal originalitas. Standarisasi ini membuat musisi
secara sadar maupun tak sadar, berkarya menurut standar yang berlaku.
Setelah menstandarisasi musik, elit-elit industri juga membuat keragaman
semu, dengan tujuan untuk mengaburkan keragaman rasa yang terdapat pada
11
Bisa dilihat di http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm.
Dominic Strinati, Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Terj. Yogyakarta:
Jejak, 2007), h. 73.
13
Ibid., h. 73.
12
27
setiap orang ketika menikmati musik. Dominic Strinati menjelaskan bahwa
keragaman atau individualitas rasa adalah hal yang dihasilkan suatu produk
budaya dalam mempengaruhi suasana individual.
37
Dalam konteks musik,
individualitas rasa adalah hal yang bisa membangkitkan keragaman suasana atau
atmosfir tertentu di antara para pendengar musik.
Adorno mengambil contoh musik klasik karya Beethoven dalam hal
standarisasi dan keragaman rasa. Musik klasik dinilai sebagai musik yang mampu
menjelaskan tantangan fetisisme komoditas
38
karena musik klasik seperti
Beethoven adalah musik serius yang meninggalkan komoditas.
39
Hal ini
disebabkan karena musik klasik seperti ini mempunyai detail yang berbeda
dengan musik klasik lainnya, sehingga menimbulkan keragaman rasa diantara
para penggemarnya.
Berbeda dengan musik klasik tersebut, musik pop yang telah distandarisasi
justru semakin menihilkan adanya detail. Dengan standar yang sudah baku baik
dari sisi produksi maupun konsumsi di masyarakat, musisi seakan tidak boleh
banyak membuat variasi dalam menciptakan karyanya. Sedangkan masyarakat
juga sulit untuk keluar dari “jalur” dalam memilih musik yang ingin didengarnya.
Akibatnya seperti yang ditakutkan, muncul fetisisme komoditas, yang misalnya
kemudian membuat masyarakat mengagung-agungkan sosok seorang musisi,
ketimbang kualitas karya-karya yang telah dibuatnya.
14
Ibid., h. 70.
Fetisisme komoditas adalah bagaimana industri melakukan suatu upaya agar masyarakat
melakukan pemujaan yang salah terhadap suatu produk budaya. Contohnya sederhananya adalah
seseorang yang lebih bangga memamerkan tiket konser yang mahal ketimbang menikmati
konsernya itu sendiri.
16
Ibid., h. 74.
15
28
Agar keragaman rasa tersebut tidak keluar, maka para kapitalis yang
berlindung dalam industri musik kemudian menciptakan keragaman semu agar
masyarakat punya sedikit kebebasan atau pilihan dalam memilih musik pop.
Keragaman semu diciptakan dengan cara memberi sedikit variasi untuk
mengaburkan banyak kemiripan di dalam musik pop, sehingga terkesan berbeda
padahal seragam. Dengan demikian walaupun sudah dimunculkan beberapa detail,
namun standarisasi tetap berjalan karena pada dasarnya semua itu juga sudah
distandarisasikan sebelumnya.
Kemunculan fenomena seperti ini, menurut Adorno merupakan kehendak
kaum kapitalis yang ingin memanipulasi selera musik masyarakat. 40 Mereka
tergoda untuk menciptakan suatu pasar yang sangat menguntungkan dalam
masyarakat demi kelangsungan bisnisnya. Musik bagi mereka hanya menjadi
produk industri biasa yang bisa mengantarkan uang dalam jumlah banyak dan
juga cepat. Komodifikasi budaya oleh para kapitalis ini jugalah yang kemudian
menghilangkan pikiran kritis manusia yang sudah terlanjur tunduk pada tatanan
yang sudah baku.
Mahzab Frankfurt dengan tokoh-tokohnya seperti Theodore W. Adorno,
Walter Benjamin, Erich Fromm, Herbert Marcuse Jurgen Habermas dan lain
sebagainya, sering dikenal dengan teori kritisnya pada budaya populer. Banyak
dari anggota Mazhab ini yang menganggap bahwa industri budaya hanyalah
“pabrik selingan” yang merupakan hasil dari penyeragaman budaya yang
menyisakan ruang kecil bagi aksi politis yang produktif,41 tak terkecuali musik.
17
John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop (Terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 148.
John Hartley, Communication, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci (Terj. Yogyakarta:
Jalasutra, 2010), h. 184.
18
29
Bagi kelompok Mahzab Frankfurt, masyarakat harus terlibat dalam kritik
berkelanjutan. Hal ini demi memecah sistem kontekstual yang telah diterima.
Dengan melakukan kritik, maka kita bisa membantu menciptakan kesadaran akan
kemungkinan patahnya struktur dominasi yang ada.42 Kritisisme dari Teori Kritis
Mahzab Frankfurt terletak pada usaha mereka untuk menyingkap dan menyobek
selubung-selubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari
kesadaran kita.43 Sehingga sesuai dengan gagasan Karl Marx, dengan kritisisme
tersebut masyarakat bisa terbebas dari belenggu penindasan dan pengisapan. Para
pemikir mazhab Frankfurt memang dikenal memiliki ketertarikan dengan
pemikiran-pemikiran Karl Marx. Namun mereka memodifikasi pemikiran Marxist
tersebut agar bisa lebih sesuai dengan tantangan budaya di zaman modern.
Kritisisme mazhab Frankfurt juga tidak terlepas dari kritik. Mahzab ini
dianggap terlalu memandang tinggi konspirasi dalam membentuk tingkah laku
atau budaya, dan mengabaikan fakta bahwa budaya diciptakan melalui hubungan
yang saling mempengaruhi. Berbeda dengan pandangan Adorno dan Mazhab
Frankfurt, para pemikir dari Mazhab Birmingham memiliki perspektif yang
memandang bahwa budaya popular bukanlah suatu budaya rendahan atau suatu
hal yang remeh.44 Tokoh-tokoh cultural studies seperti Raymond Williams dan
Richard Hoggart, beranggapan bahwa budaya bisa dilihat sebagai penentu dan
juga bagian dari aktivitas sosial. Budaya juga merupakan area penting bagi
reproduksi ketimpangan kekuatan sosial dan komponen utama dari ekonomi dunia
yang meluas.45
19
Ibid., h. 185.
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 144.
21
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek (Terj.Yogyakarta : Bentang, 2004), h. 46.
22
John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 33.
20
30
Raymond Williams memahami kebudayaan sebagai suatu keseluruhan cara
hidup. Williams memperhatikan pengalaman-pengalaman kelas pekerja dan
aktivitas mereka dalam mengkonstruksi kebudayaan. Bagi Williams, kebudayaan
berpusat pada makna sehari-hari, nilai, gagasan abstrak dan benda-benda baik
simbolis maupun material yang dibangun secara kolektif.46
Richard Hoggart, seorang profesor pendiri Center for Cultural Studies,
Universitas Birmingham juga meneliti ciri kebudayaan lewat aktivitas sehari-hari
kelas pekerja mulai dari apa yang mereka lakukan di waktu luang hingga apa saja
lagu-lagu populer yang mereka dengarkan. Pemikiran Hogart kemudian menjadi
warisan yang penting, khususnya menyangkut makna dan praktik orang biasa
dalam menjalani hidup sehari-harinya yang dengan cara tersebut mereka
membangun sejarahnya.47
Secara umum, terdapat beberapa kesamaan antara perspektif cultural studies
dengan mazhab Frankfurt. Keduanya sama-sama menganggap terjadi penurunan
kesadaran radikal di antara para kelas pekerja, dan bahwa budaya media berperan
dalam membentuk kelas pekerja menjadi masyarakat kapitalis. Serta budaya
media juga turut membentuk hegemoni kaum kapitalis.
Perbedaan yang signifikan antara penganut cultural studies dengan Mazhab
Frankfurt salah satunya adalah: bahwa penganut cultural studies memandang
budaya juga sebagai bagian dari teks dan juga bermuatan makna sehingga setiap
saat berada dalam proses pembacaan.48 Para pemikir cultural studies memandang
bahwa tidak ada perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya,
antara budaya tinggi dan budaya rendah. Mereka beranggapan bahwa setiap
23
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, h. 40.
Ibid., h. 41.
25
Ibid., h. 69.
24
31
budaya memiliki konteksnya masing-masing, sehingga juga dibutuhkan beragam
perspektif untuk memahami masing-masing budaya tersebut. Dalam hal ini,
audiens juga dipandang mampu menyeleksi kebudayaan, ketimbang hanya
menjadi penerima yang pasif.
Musik Kritis
Kritik terhadap industri dan budaya juga telah coba dilakukan oleh musik itu
sendiri. Musik populer sering juga memiliki kaitan dengan sejarah kritisisme
sosial. Pemberontakan kaum muda di AS dan Inggris (baik kulit hitam maupun
kulit putih) yang kemudian melahirkan musik rock and roll, pernah berhasil
mematahkan dominasi musik klasik dan musik “cengeng” yang digandrungi oleh
orang-orang kulit putih kelas atas.
Musik yang dianggap liar tersebut menjadi simbol perlawanan kelas pekerja
terhadap hegemoni budaya yang dilakukan oleh orang-orang kelas atas. Musik
rock juga kemudian dimanfaatkan untuk memprotes kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dinilai tidak sejalan dengan kemauan rakyat, seperti yang
dilakukan oleh Bob Dylan atau grup musik The Who.
Seiring tumbuh dan berkembangnya musik rock menjadi musik yang
digemari oleh banyak kalangan, ia pun tidak lepas dari adanya kritik-kritik tajam.
Musik punk lahir ketika kaum muda mulai bosan dan muak dengan musik rock
yang dianggapnya telah kehilangan semangat seperti di awal kemunculannya.
Musik rock yang saat itu berkembang menjadi berbagai subgenre seperti
progressive rock, heavy metal dan lain sebagainya, dinilai telah kehilangan jiwa
32
“perlawanannya” dan kemudian hanya menjadi komoditas mainstream yang
dimanfaatkan oleh kaum kapitalis.
Ironis sebenarnya, karena lagu-lagu progressive rock juga sebenarnya
mengandung banyak kritik sosial. Album The Dark Side of the Moon milik Pink
Floyd contohnya, bercerita tentang modernitas yang membuat manusia menjadi
gila dan menghamba kepada uang. Dalam perkembangannya, lagu-lagu
progressive rock memang banyak mengambil tema mengenai modernitas dan
konsumerisme yang menjangkiti banyak orang.
Musik protes, musik-musik bertema kritis sosial, dalam sejarahnya memang
selalu berhasil dan disukai banyak orang, terutama kaum muda. Bukan hanya
karena mengandung nilai-nilai perlawanan di dalamnya, tapi juga karena memang
bagus dari komposisi musiknya. Taufiq Rahman, jurnalis The Jakarta Post,
pernah menulis bahwa komposisi-komposisi mutakhir tersebut selalu berhasil,
karena musik tersebut memang diciptakan oleh musisi-musisi nomer satu yang
serius berkesenian dimana kegiatan berfikir berbanding lurus dengan kegiatan
kreatif mencipta lagu.49
Artinya, seperti yang dijelaskan lebih lanjut oleh Taufiq Rahman, lagu
protes sosial hanya bisa lahir dari musisi-musisi bermutu semacam The Beatles,
Sam Cooke, Nirvana atau Crosby, Stills, Nash and Young dan bukan band-band
dan musisi kelas teri yang mungkin jarang membaca. Walaupun hal ini dapat
diperdebatkan lagi, namun musik-musik kritik sosial selalu lahir dari musisimusisi yang jenius, yang selalu berpikir kritis terhadap banyak hal.
26
http://jakartabeat.net/kolom/konten/kenapa-lagu-protes-slank-iwan-fals-dan-rhoma-iramaberhasil. diakses pada 2 Mei 2014.
33
Di Indonesia, kita bisa mengambil contoh Iwan Fals yang lagu-lagunya
banyak mengandung kritik sosial. Di masa Orde Baru, Iwan tak jarang diperiksa
oleh pihak berwajib terkait dengan lagu-lagunya yang mengkritik pemerintah.
Orde Baru bahkan menganggap lagu-lagu yang mengandung kritik sosial tersebut
sebagai ancaman. Itulah sebabnya banyak
perusahaan rekaman sulit untuk
merekam lagu-lagu kritik sosial karena pengawasan yang ketat dari kepolisian.
Gambaran realitas sosial dan politik yang terjadi pada masa Orde Baru
memang dengan mudah bisa kita temukan dalam lirik-lirik lagu Iwan Fals. Liriklirik ciptaan Iwan Fals umumnya memang tidak sulit untuk ditafsirkan. Hal
tersebut juga bisa kita temukan dalam lagu-lagu milik Harry Roesli, Doel
Sumbang dan juga band Slank.
Dewasa ini di Indonesia, musik bertema sosial lebih sering ditemukan dalam
scene musik indie. Berbeda dengan Iwan Fals atau Slank, band-band indie yang
sudah lama eksis seperti Efek Rumah Kaca, Navicula, Seringai dan lain
sebagainya, lebih suka menggunakan bahasa yang metaforis dalam lirik-lirik
lagunya, sehingga pendengar harus mencernanya dengan baik agar bisa
menemukan makna kritik sosialnya.
Penggunaan musik sebagai media untuk menyampaikan aspirasi, seharusnya
memang bukan hal yang asing lagi di kalangan musisi. Untuk menjalankan fungsi
komunikasi massa, musisi bisa memotret realitas dan mengeluarkan kritik-kritik
sosialnya yang dianggap perlu. Karena keberadaan kritik, apapun medianya,
sangat penting demi pengawasan suatu kebijakan atau fenomena yang terjadi
dalam suatu bangsa. Dan tentu saja demi kemajuan bangsa itu sendiri.
34
C. Pengertian dan Macam-macam Semiotika
Manusia sejak dahulu mendefinisikan sejarahnya melalui seperangkat tandatanda. Bahkan hal itu sudah dilakukan sejak jaman prasejarah. Segala hal yang
ditangkap oleh pikiran manusia, selalu diungkapkan dan diwakili oleh tanda.
Maka dari itulah, tanda kemudian memiliki pengertian sebagai representasi dari
berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karena manusia adalah homo
culturalis (meminjam istilah dari Marcel Danesi dan P. Perron), yakni sebagai
makhluk yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya,
maka seiring dengan majunya peradaban, keberadaan tanda dipandang menjadi
sangat penting dalam meneliti seluk beluk kebudayaan manusia. Sehingga
benarlah apa yang dikatakan oleh Charles Sanders Pierce, bahwa tanpa tanda kita
tidak akan dapat berkomunikasi.50 Karena makna yang terdapat pada kehidupan
manusia, selalu berada pada sistem tanda-tanda.
Ada tiga poin penting yang harus kita ingat sebelum menelaah berbagai
tanda yang akan diselidiki.51
1. Tanda bukan hanya ulasan tentang dunia, tapi merupakan bagian dari
dunia. Khususnya dalam konteks sosial.
2. Tanda tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga memproduksi
makna.
3. Tanda memproduksi banyak makna.
John Hartley, seorang profesor dan juga penulis buku-buku cultural studies
memaparkan bahwa tanda juga haruslah memiliki tiga karakteristik:52
27
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 124.
Tony Twhaites, dkk., Introducing and Cultural Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik
(Yogyakarta: Jalasutra, 2009) h. 13-14.
29
John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 295.
28
35
1. Harus
memiliki
bentuk
fisik,
sehingga
kita
bisa
melihatnya,
mendengarnya, menciumnya, dan menyentuhnya.
2. Tanda harus mengacu kepada sesuau selain dirinya.
3. Tanda harus digunakan dan dikenali sebagai tanda. Jadi, tanda bisa
menjadi unsur atau sistem budaya bersama.
Benny H. Hoed juga memaparkan bahwa dalam memahami tanda sebagai
objek kajian semiotika, peneliti harus melihatnya berdasarkan tiga jenis dimensi,
yaitu:53
1. Dimensi temporal: sinkronis atau diakronis atau dinamis.
2. Dimensi notasional: melihat makna tanda secara denotatif, konotatif atau
anotatif (secara individual).
3. Dimensi struktural: pemaknaan dari segi paradigmatik, sintagmatik, atau
analogis.
Semiotika dianggap sebagai model yang sangat penting dalam mempelajari
sederetan tanda-tanda. Banyak ahli yang sepakat bahwa semiotika adalah ilmu
yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semiotika sendiri secara bahasa
berasal dari kata Yunani yaitu semeion, yang berarti “tanda”. Kemudian secara
terminologis, Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh
kebudayaan sebagai tanda.
54
Semiotika selalu berkembang seiring dengan
banyaknya fenomena sosial dan budaya yang dikomunikasikan melalui
seperangkat tanda.
30
31
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: FIB UI Depok, 2008), h. 22.
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 95.
36
Semiotika secara sederhana, selalu berusaha untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan “sesuatu”, dan “sesuatu” tersebut dapat berupa isyarat atau
bahasa, atau pula komposisi dalam teks media. Walaupun semiotika dianggap
bukan sebagai disiplin ilmu yang pasti, tetapi pengaruhnya pada cara resmi dalam
pendekatan teks media cukup dipertimbangkan.55
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (18391941)
dianggap
sebagai
dua
tokoh
yang
paling
berpengaruh
dalam
mengembangkan semiotika. Walaupun keduanya bisa dikatakan hidup di jaman
yang
sama,
namun
keduanya
berbeda
dalam
menggunakan
istilah
semiotika/semiologi. Namun hal itu tidak terlalu menjadi masalah yang serius.
Perbedaan istilah ini seperti yang dituliskan oleh Alex Sobur hanya menunjukan
perbedaan orientasi. 56 Semiologi mengacu kepada tradisi linguistik Eropa yang
bermula dari Saussure. Sedangkan semiotika mengacu kepada tradisi filsafat
Amerika Serikat yang bermula dari Pierce. Filsuf asal Amerika tersebut
memandang semiotika sebagai sinonim atau perluasan logika. Sedangkan
Saussure, sebagai seorang sarjana lingusitik, memandang linguistik lebih penting
dari kecanggihan logika.
Agar tidak terjadi perbedaan implikasi filosofis dari dua istilah tersebut,
maka dalam tulisan ini penulis memilih menggunakan istilah semiotika, karena
seperti yang dipaparkan oleh Umberto Eco, hal ini sudah dengan resolusi dari
komite internasional di Paris pada bulan Januari 1969. Dan kemudian dikukuhkan
32
33
John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 278.
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 107.
37
oleh Association for Semiotics Studies pada kongresnya yang pertama tahun
1974.57
Bagi Pierce, semiotika adalah tindakan, pengaruh dan kerja sama dari tanda
(sign), objek (object) dan interpretan (interpretant). 58 Tanda menurut Pierce,
seperti yang dikutip oleh Umberto Eco, adalah segala sesuatu yang ada pada
seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas.
Tanda dipahami oleh Pierce dan para pragmatis lainnya, sebagai suatu proses
kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera. 59 Sesuatu
yang dirujuk oleh tanda itu disebut objek. Sedangkan interpretan dipahami
sebagai tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh
tanda.
Hubungan antara ketiga elemen di atas bisa disebut sebagai teori segitiga
makna (triangle meaning). Ketika ketiga elemen ini berinteraksi dalam benak
manusia, maka munculah makna sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Yang
dikupas oleh Pierce dalam teori ini adalah bagaimana makna bisa muncul lewat
sebuah tanda ketika tanda tersebut dipakai oleh manusia pada saat
berkomunikasi.60
Gagasan dari teori Pierce bersifat menyeluruh. Ia melakukan deskripsi
struktural atas semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel
dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur
tunggal. Semiotika seperti yang maksud oleh Pierce adalah dengan membongkar
bahasa secara keseluruhan seperti seorang ahli fisika yang membongkar suatu zat
34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 13.
Ibid., h. 109.
36
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 4.
37
John Fiske, Cultural and Communication Study: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (terj.
Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 42.
35
38
dan kemudian menyediakan model teoritis untuk menunjukkan bagaimana
semuanya bertemu dalam sebuah struktur.
Dalam tanda, Pierce membagi konsep mengenai qualisigns, sinsigns dan
legisigns. Qualisigns adalah sesuatu yang berkaitan dengan kualitas, atau ia bisa
menjadi tanda walau belum mewujud. Qualisigns, bisa dibilang adalah tandatanda yang berdasarkan suatu sifat. Contohnya ialah warna „merah‟. Merah
memungkinkan dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisign karena
merupakan tanda pada suatu bidang yang mungkin. Agar benar-benar berfungsi
sebagai tanda, qualisign itu harus memperoleh bentuk. Misalnya jika berbentuk
palang maka berarti adalah lambang dari Palang Merah.
Sinsigns adalah sesuatu yang berkaitan dengan kenyataan (aktual). Sinsign,
adalah tanda yang merupakan representasi tanda atas dasar tampilnya dalam
kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat menjadi
sinsign. Contoh dari sinsign adalah sebuah jeritan yang bisa berarti kesakitan atau
ketakutan.
Kemudian terdapat konsep Legisigns. Legisign adalah sesuatu yang
berkaitan dengan kaidah atau prinsip. Legisign, adalah tanda-tanda yang
merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi.
Lampu lalu lintas sebagai contoh, merupakan sebuah legisign. Kemudian bahasa,
gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan
dan sebagainya yang sudah disepakati secara umum dan konvensional adalah
merupakan legisign.
Dalam objek, dikenal konsep berupa icon, index dan symbol. Icon adalah
sesuatu tanda yang serupa dengan bentuk objeknya. Icon didasarkan pada
39
kemiripan di antara tanda dan objeknya. Contohnya bisa dilihat pada pada gambar
atau lukisan. Kemudian index yaitu sesuatu yang memiliki kaitan fisik di antara
tanda dan objek, yang di mana karakternya akan hilang jika tanda atau objeknya
dihilangkan. Misalnya seperti suara, bau, gerak dan lain sebagainya. Terakhir,
symbol adalah sesuatu tanda yang merujuk pada objek tertentu, yang terbentuk
melalui kaidah-kaidah yang secara umum telah lazim atau murni berasal dari
pemahaman bersama. Contohnya seperti unsur-unsur leksikal di dalam kosakata
suatu bahasa.
Kemudian dalam interpretan, terdapat tiga konsep yaitu: rheme, decisign
dan argument. Rheme adalah penanda yang berkaitan dengan objek petanda bagi
penafsir. Kedua, decisign yaitu penanda yang menampilkan informasi bagi
petandanya. Dan yang ketiga, Argument yaitu penanda yang petanda akhirnya
bukan suatu benda tetapi kaidah.
Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik dari Swiss, memaparkan
bahwa tanda lahir ketika terjadi hubungan antara penanda (signifier) dan petanda
(signified). Bagi Saussure, kedua hal ini menjadi dasar pembentuk tanda dan tak
dapat dipisahkan satu sama lain. Signifier merupakan citra yang terbentuk dari
kognisi pemakai tanda dari suatu bunyi, material, warna dan juga dapat diinderai,
sedangkan signified berkaitan dengan pengertian, konsep atau gambaran mental
dalam pikiran kita. Kombinasi dari suatu konsep dan suatu citra bunyi inilah yang
kemudian menghasilkan tanda.61 Hubungan antara signifier dan signified tersebut
38
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta: Jalasutra,
2003), h. 30.
40
kemudian dinamakan significaton. Signification secara singkat, seperti menurut
John Fiske adalah: upaya dalam memberi makna pada dunia.62
Pokok-pokok pikiran linguistik Saussure yang utama mendasari diri pada
pembedaan beberapa pasangan konsep. 63 Pertama, yaitu konsepnya tentang
bahasa (langage), dengan pasangan konsep langue dan parole. Kedua, dua jenis
pendekatan dalam linguistik, yaitu sinkronik dan diakronik. Dan yang ketiga,
konsepnya tentang tanda dengan pasangan penanda (signifier) dan petanda
(signified).
Langue menurut Sobur adalah suatu pengetahuan dan kesadaran yang secara
kolektif dimiliki suatu masyarakat mengenai sesuatu hal, sedangkan parole adalah
bahasa yang hidup atau sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. 64 Jika langue
adalah sistem abstrak yang mendasari linguistik, maka parole lebih memuat
percakapan individu. Parole sesungguhnya adalah penerapan langue dalam
kehidupan bermasyarakat.65
Ahli linguistik dari Swiss ini juga membedakan dua jenis pendekatan dalam
linguistik, menjadi sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah pendekatan yang
berkonsentrasi pada keadaan bahasa pada saat tertentu, sedangkan diakronik
adalah pendekatan yang berkonsentrasi pada perubahan bahasa dari waktu ke
waktu.66
Saussure mendefenisikan tanda sebagai sesuatu yang terdiri atas penanda
dan petanda. Hubungan antara penanda dan petanda ini bersifat arbitrer, atau
39
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 125.
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Yogyakarta:
Jalasutra, 2003), h. 51.
41
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 114.
42
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 28.
43
John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 282
40
41
mana-suka. Arbitrer di sini bukan berarti jika pemilihan penanda-penanda tersebut
sepenuhnya terserah pada si penutur, melainkan bahwa pemilihan tersebut tak
bermotivasi, atau tak berhubungan secara alamiah dengan hal yang ditandai
(petanda).67
Sesuatu dapat menjadi tanda apabila ada sistem tanda yang bersifat
diferensial. Sebagaimana halnya penanda, petanda pun bersifat diferensial atau
relasional. Saussure pada dasarnya mengusulkan bahwa bahasa bekerja sebagai
sistem perbedaan, dimana unsur apapun adalah arbitrer, terdiri atas hal-hal yang
tidak dimiliki oleh sistem lain.68 Bagi Saussure, hubungan penanda dan petanda
ini tidak akan pernah bisa dilepaskan.
Tanda menurut Ferdinand de Saussure juga tersusun atas suatu susunan
yang dikenal dengan susunan sintagmatik. Susunan ini bisa diamati secara
langsung, bersifat linier dan mengikuti urutan tertentu. Komponen-komponen
dalam susunan ini kemudian saling berhubungan dan membentuk satu makna.
Contohnya dalam kata persatuan, maka kita akan bisa melihat hubungan antara
per-, satu, dan –an. Jika komponen tersebut dibalik, maka tidak akan bisa
membentuk makna persatuan.
Hubungan antartanda juga terhubung atas suatu paradigma, sehingga disebut
paradigmatik. Misalnya kita lihat dalam hubungan persatuan, bersatu,
menyatukan dan lain sebagainya. Dalam paradigma ini, kata satu menjadi kata
dasar, sedangkan unsur-unsur lainnya adalah imbuhan. Perbedaan imbuhan yang
menyebabkan perbedaan makna tersebut, terjadi secara tak langsung dalam
ingatan atau secara asosiatif.
44
45
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 132.
Ibid., h. 278.
42
Roland Barthes kemudian melihat adanya kemungkinan yang berbeda dari
sifat hubungan signifier (penanda) dan signified (petanda) seperti yang digagas
oleh Saussure. Menurutnya, signification juga bergantung pada nilai budaya yang
dianut bersama. signified tidak harus selalu berpegang pada signifier yang
dianggap sesuai dengan arti bahasa secara umum dengannya. Tikus misalnya,
sebagai sebuah signified, dalam pandangan Saussure, hanyalah seekor binatang
pengerat yang lazim kita lihat. Namun, oleh Barthes, ternyata tikus sebagai
signified memiliki kemungkinan lain menjadi signifier yang merujuk pada
ungkapan politisi atau pejabat yang korup.
Pandangan Barthes ini berkonsekuensi bahwa tanda pada dirinya selalu
memiliki kemungkinan untuk mendapatkan pemaknaan yang bertingkat. Di tahap
awal, kata (ujaran atau tulisan) tikus memainkan perannya sebagai signified yang
memiliki signifier tertentu di dalam benak. Makna dalam tahap ini, hadir dalam
ungkapan lahir tanda yang disebut Barthes sebagai tahap denotasi, yaitu sebutan
untuk makna yang dikenal secara umum. Denotasi mengacu kepada penggunaan
bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap, 69 dan sering dikaitkan
dengan ketertutupan makna.
Namun, di tahap kedua, signifier tikus yang tertanam dalam benak, dapat
keluar kembali menjadi signified. Ia mengambil bentuk signified sebelumnya,
kemudian mengosongkan isi-nya, dan mengisinya kembali dengan bentuk baru
signified yang mempunyai kemungkinan signifier yang lain, misalnya sebagai
simbol politisi atau pejabat yang korup. Barthes menamakan tahap ini sebagai
tahap konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda
46
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 140.
43
sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang
ada dalam masyarakatnya. 70 Sejarah pemakaian suatu kata, sangat berpengaruh
terhadap munculnya makna dalam konotasi. Dari konotasi inilah kemudian
muncul mitos yang mengakar di masyarakat. Mitos yang dimaksud adalah
bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas.71 Mitos, seperti yang dipaparkan oleh Sobur, adalah produk kelas sosial
yang sudah mempunyai suatu dominasi di kalangan masyarakat.
Proses signifikasi kedua dalam lapis konotasi ini dapat berlangsung secara
terus-menerus. Makna dapat lahir dari signified yang telah disusupi signifier,
dalam rantai pertandaan yang tanpa henti. Tikus sebagai denotasi dimaknai
kembali sebagai konotasi tikus tahap pertama, dan konotasi tahap pertama
tersebut dapat lahir lagi dalam konotasi dengan kemungkinan-kemungkinan
maknanya yang lain dalam tahap kedua, ketiga, dan seterusnya. Hal ini
sebenarnya sesuai dengan teori dari Umberto Eco yang menyatakan bahwa
penerima tanda, selalu bisa memproduksi berbagai tanda baru dalam memaknai
tanda tersebut.
Teori tanda dari Roland Barthes sebenarnya hampir sama dengan metode
dekonstruksi dari J. Derrida. Walau Barthes dan Derrida selalu berupaya untuk
memperoleh pemaknaan baru dari hubungan penanda-petanda, namun keduanya
memiliki perbedaan yang signifikan. Jika Derrida lebih suka menunda
(mendekonstruksi) hubungan penanda-petanda untuk mendapatkan makna secara
lebih mandiri (individual), maka Barthes mengembangkan hubungan penandapetanda menjadi konotasi yang dimiliki oleh budaya masyarakat tertentu (bukan
47
48
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 12.
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.
44
individual). Dengan mempelajari konotasi-konotasi inilah, ideologi yang
terkandung dalam teks, dan mengandung nilai-nilai dari suatu kebudayaan,
kemudian bisa kita temukan. Teori semiotika Barthes juga sebenarnya adalah teori
yang struktural dan dikotomis seperti yang dipaparkan oleh Saussure. Namun
teori dari Barthes tentunya lebih dinamis, terbuka dan memberi kesempatan
kepada kognisi atau pikiran manusia untuk lebih berperan aktif dalam hal
interpretasi makna.
Dari Roland Barthes, Derrida atau Umberto Eco, kita bisa mengetahui
bahwa kebudayaan adalah objek kajian utama dari semiotika. Dengan semiotika,
kita bisa memahami teks media atau kebudayaan secara lebih terstruktur dan
menyeluruh. Sebagai penutup dari tulisan di bab ini, ada baiknya kita menyimak
dan merenungkan pendapat dari Danesi dan Perron, seperti yang dikutip oleh
Benny H. Hoed dalam bukunya. Marcel Danesi dan Perron menjelaskan bahwa
tujuan semiotika yaitu adalah untuk memahami kemampuan otak kita dalam
memproduksi dan memahami tanda serta juga kegiatan untuk membangun
pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia.72
49
Ibid., h. 21.
45
BAB III
PROFIL DAN DISCOGRAPHY EFEK RUMAH KACA
A. Profil Efek Rumah Kaca73
Adrian Yunan Faisal (bass, vokal latar) dan Cholil Mahmud (vokal, gitar)
sebenarnya sudah saling mengenal sejak tahun 1991, sejak keduanya bersekolah
di SMA yang sama, yakni SMAN 47 Jakarta. Mereka berdua juga diketahui sudah
hobi bermain musik dengan bandnya masing-masing. Namun barulah pada 1998,
keduanya bersatu untuk membentuk satu band baru. Bersama dengan Hendra
(gitar) dan Sita (piano), band ini mencoba untuk mencari identitasnya, namun
karena tidak kunjung ketemu, maka Hendra dan Sita pun kemudian keluar dari
band.
Sejak tahun 2001-2007, bersama dengan Akbar Bagus Sudibyo (drum,
vokal latar), ketiganya rutin latihan seminggu sekali. Di awal kegiatan
bermusiknya, motivasi mereka saat itu sangat sederhana: hanya bersenang-senang
dan iseng membuat lagu dan album. Barulah kemudian di tahun 2003, mereka
mulai menemukan konsep bermusik yang akan dipakai oleh band ini ke depannya.
Mereka pun mulai membuat demo lagu (eksperimen) dan mengirimkannya
ke beberapa label. Setelah mengenal Harlan Bur yang kini menjadi manajer dari
Efek Rumah Kaca, mereka pun mulai memahami kultur musik independen dan
berani bermain di acara-acara (event) komunitas. Setelah merilis album pertama,
barulah diketahui bahwa konsep yang mereka usung disukai oleh banyak
1
Tulisan profil ini dirangkum dari wawancara yang dilakukan oleh Finroll.com, dan dimuat juga
dalam situs resmi http://efekrumahkaca.net.
46
penggemar musik independen. Tawaran untuk manggung pun akhirnya semakin
banyak.
Nama Efek Rumah Kaca diambil dari lagu yang terdapat di album pertama.
Awalnya mereka memakai beberapa nama seperti Hush dan Superego. Namun
karena ada band lain yang sudah memakainya, maka terpaksa diganti menjadi
Efek Rumah Kaca. Harlan Bur, sang manajerlah yang mengajukan nama tersebut
pada 2005.
Mengenai genre, Efek Rumah Kaca mengaku tidak terlalu mengkhususkan
diri pada satu genre. Mereka tidak ambil pusing dengan satu genre tertentu dan
lebih fokus untuk mendapatkan soul bermusik. Namun jika kita melihat dua
album yang telah dibuat –Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008),
maka bisa katakan bahwa genre pop lebih mendominasi, dan juga sedikit sentuhan
rock di album yang kedua.
Efek Rumah Kaca lebih memilih jalur musik independen (indie) ketimbang
melalui label-label rekaman besar. Pilihan tersebut berawal dari adanya suatu
keresahan. Mereka resah jika dipaksa untuk mengikuti kemauan label besar dalam
setiap arahan musiknya. Karena hal tersebut hanya menghambat kreatifitas ERK
sendiri. Sehingga mereka lebih suka mengambil jalan sendiri dan mengelola
semuanya secara mandiri, alias secara independen. Dengan demikian mereka bisa
menjiwai musik itu sendiri tanpa adanya tekanan dari manapun juga.
Dalam menciptakan lagu, ERK biasanya menyiapkan materi nada dan
aransemennya terlebih dahulu. Setelah dirasa bagus, barulah lirik masuk dan
menyesuaikan. Seluruh anggota mempunyai porsi yang sama dalam membuat
lagu, dengan Cholil diberi jatah yang banyak dalam hal lirik. Mereka juga tidak
47
menggunakan istilah “enam bar” layaknya band-band Indonesia belakangan ini.
Jika lagu yang diciptakan dirasa mirip dengan karya orang lain, maka lagu
tersebut akan segera diganti atau dibatalkan.
Untuk referensi bermusik, mereka mengambil baik dari band/musisi lokal
maupun luar, sebut saja: Jon Anderson, Peter Gabriel, The Beatles, Sting,
Smashing Pumpkins, Bjork, Radiohead, Jeff Buckley, Rufus Wainwright, Sufjan
Stevens, Billie Holiday, Iwan Fals, Eros Djarot, Guruh Sukarno Putra, Chrisye,
Sore, Santamonica, dan Zeke And The Popo. Pengaruh paling besar berasal dari
Radiohead dan Jeff Buckley. Ini terlihat dari vokal Cholil yang tinggi dan
menyeret-nyeret seperti pada vokalis Radiohead dan Jeff Buckley. Namun tetap
saja, sebesar apapun pengaruhnya, hal itu tidak akan membuat mereka merasa
“terpenjara” dalam menciptakan lagu.
Selain bermusik, para personil ERK juga rajin memonitor perkembangan
band-band indie lainnya. Mereka juga menjalin hubungan pertemanan yang erat
dengan band-band tersebut. Para personil ERK bahkan kagum dengan para musisi
indie tersebut, yang selalu berani bereksplorasi, sehingga terkesan tidak
membosankan dan “itu-itu saja”. Terutama band-band dari Yogyakarta seperti
Melancholic
Bitch
perkembangannya.
dan
Risky Summerbee
Walau
hanya
sebatas
yang
sering
mengikuti
mereka
ikuti
lewat
situs
www.myspace.com.
Setelah dirasa cukup mengetahui medan musik independen, Efek Rumah
Kaca mengaku mempunyai gagasan yang lebih liar dan berani, yaitu dengan tidak
membuat lagu dengan tema atau materi yang sama. Mereka akan selalu mencoba
mencari formula yang lebih baru dan tidak akan malu-malu untuk membuat lagu
48
yang berisi kemarahan. Bahkan Cholil, sang vokalis, sudah menyiapkan amunisi
lirik untuk lagu bertema “kemarahan” tersebut.
Bagi Efek Rumah Kaca, ciri khas atau trademark sebuah band memang
sangat penting. Namun hal itu tidak membuat ERK untuk berhenti mencari
banyak hal baru. Karena personil ERK pun mengakui selalu bosan jika harus
memainkan lagu yang sama dalam setiap penampilannya. Bahkan ERK siap untuk
memulai dari nol lagi ketika menyiapkan materi yang baru.
Sejauh ini pola yang dipakai oleh ERK untuk memasarkan karyanya tetap
konvensional, yaitu melalui label mereka Aksara Records. Namun terkadang
mereka juga sering menjual langsung CD albumnya ketika diundang dalam
sebuah event. Bahkan mereka tekadang rela menukar CD tersebut dengan honor
yang ditawarkan penyelenggara acara.
Selain sebagai musisi, para personil Efek Rumah Kaca juga dikenal giat
dalam berbagai kegiatan sosial atau kemanusiaan. Cholil, sang vokalis, tak jarang
terlibat dalam berbagai kegiatan Kontras. Pendapatan dari RBT lagu “Di Udara”
juga ternyata disumbangkan kepada Kasum (Komite Aksi Solidaritas Untuk
Munir). Mereka juga selalu mencoba berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan
bertema lingkungan hidup.
Efek Rumah Kaca sebenarnya punya mimpi besar yakni membuat label
sendiri dan membantu menerbitkan band indie lainnya kepada masyarakat. Karena
kemunculan ERK sendiri tidak lepas dari bantuan orang lain, maka kini mereka
mencoba untuk membantu band-band indie lainnya untuk bisa tampil dalam dunia
musik di Indonesia.
49
Discography:

Efek Rumah Kaca (Aksara Records, 2007)
Daftar Lagu:
1. Jalang (4:43)
2. Jatuh Cinta itu Biasa Saja (5:15)
3. Bukan Lawan Jenis (4:38)
4. Belanja Terus Sampai Mati (4:24)
5. Insomnia (4:19)
6. Debu-debu Beterbangan (4:59)
7. Di Udara (4:36)
8. Efek Rumah Kaca (3:30)
9. Melankolia (5:04)
10. Cinta Melulu (4:23)
11. Sebelah Mata (4:30)
12. Desember (4:17)

Kamar Gelap (Aksara Records, 2008)
Daftar Lagu:
1. Tubuhmu Membiru... Tragis (6:50)
2. Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa (4:02)
3. Mosi Tidak Percaya (3:54)
4. Lagu Kesepian (4:30)
5. Hujan Jangan Marah (4:30)
6. Kenakalan Remaja di Era Informatika (4:23)
50
7. Menjadi Indonesia (4:40)
8. Kamar Gelap (4:45)
9. Jangan Bakar Buku (4:44)
10. Banyak Asap di Sana (4:06)
11. Laki-laki Pemalu (5:14)
12. Ballerina (4:03)
B. Efek Rumah Kaca: Komposisi Lirik Cerdas nan Puitis
Gambar 1
Rilis
: 2007
Genre
: Pop, Rock
Label
: Paviliun Records
Produser
: Harlan Boer
51
Album pertama dari Efek Rumah Kaca mengambil tema sosial, politik,
lingkungan dan juga kemanusiaan. Sangat jarang ada sebuah band di masa kini
yangg berani mengambil tema-tema berat tersebut. Kebanyakan lebih suka main
aman dengan membuat lagu-lagu bertema cinta yang liriknya sudah sangat klise
dan banal. Ini jugalah yang kemudian disindir oleh ERK dalam lagu yang berjudul
“Cinta Melulu”.
Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Elegi patah hati
Ode pengusir rindu
Atas nama pasar semuanya begitu banal
Penggalan lirik dari lagu “Cinta Melulu” di atas merupakan sindiran telak
bagi para pelaku industri musik, entah itu musisi atau label rekaman, yang seakan
tidak mau bereksperimen dan memilih bermain aman demi meraih popularitas
dengan cepat. Dalam satu wawancara dengan stasiun televisi NET, Cholil
Mahmud, sang vokalis, sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan tema cinta
yang ingin diambil para musisi. 74 Namun dari tema cinta tersebut sebenarnya
masih bisa digali lebih banyak lagi agar sudut pandang dan liriknya tidak “itu-itu
aja”.
2
Pendapat Cholil tersebut bisa dilihat di sini http://www.youtube.com/watch?v=dIb4yRjW_jg.
52
Kita bisa melihat contohnya dalam lagu “Jatuh Cinta itu Biasa Saja”.
Dalam lagu ini, Efek Rumah Kaca mengambil tema cinta namun dengan sudut
pandang seseorang yang memandang bahwa cinta sebenarnya hanyalah hal biasa
yang tak perlu dibesar-besarkan. Suatu hal yang tentu jarang kita temukan pada
band-band lainnya.
Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu, kian membelenggu, cepat berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja
Sebenarnya Efek Rumah Kaca, dalam album yang berjudul sama dengan
nama bandnya ini, cukup banyak mengambil tema-tema tentang cinta. Namun
seperti yang dijelaskan di atas, tema cinta tersebut tidak sesempit hubungan
seorang lelaki dengan perempuan, namun meluas kepada cinta tanah air, cinta
lingkungan, kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat, dan lain sebagainya.
Dalam
lagu
“Efek
Rumah
Kaca”
misalnya,
ERK
menyatakan
keprihatinannya terhadap pemanasan global yang juga terjadi akibat ulah manusia.
Kerusakan lingkungan akibat ketidakpahaman manusia akan buminya sendiri ini,
digambarkan secara gamblang oleh ERK, dengan lirik atau kata-kata yang lugas
agar mudah dipahami.
Tipis ozon berlubang
Debu kosmik hujan asam
Matahari tiada tirai
53
Bakal bunga tak mekar
***
Album Efek Rumah Kaca dimulai dengan lagu yang berjudul “Jalang”. Kata
jalang biasanya mengacu kepada perempuan nakal yang melanggar suatu aturan
susila. 75 Namun jika kita melihat keseluruhan liriknya, maka lagu tersebut
sebenarnya bercerita tentang suatu masa di mana semua orang tidak boleh
mengekspresikan sesuatu, kalau tidak akan dimusnahkan atau dieksekusi. Hal ini
mirip dengan keadaan di suatu negara yang dikuasai oleh pemerintahan yang
otoriter.
Siapa yang berani bernyanyi
Nanti akan dikebiri
Siapa yang berani menari
Nanti kan dieksekusi
Karena kami, beda misi
Lalu mereka bilang kami jalang
Lagu ketiga (setelah Jatuh Cinta itu Biasa Saja) berjudul “Bukan Lawan
Jenis”. Lagi-lagi Efek Rumah Kaca mengambil tema cinta yang tidak biasa, yakni
cinta kepada sesama jenis. Di sini kita melihat keberanian dari band ini untuk
mengumbar fenomena yang cenderung masih sangat tabu dalam masyarakat
Indonesia.
3
http://kbbi.web.id/jalang.
54
Maaf aku pernah mengisi relung hatimu
Karna memang aku bukanlah lawan jenismu
Budaya konsumerisme juga diangkat oleh Efek Rumah Kaca dalam lagu
berjudul “Belanja Terus Sampai Mati”. Dalam lagu ini, ERK mengkritik
kebiasaan buruk kaum urban di perkotaan yang sulit dihilangkan, yakni
konsumerisme. Menurut KBBI, konsumerisme adalah paham atau gaya hidup
yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan,
kesenangan, dsb; gaya hidup yang tidak hemat.
Atas bujukan setan,
Hasrat yang dijebak jaman
Kita belanja terus sampai mati
Duhai korban keganasan peliknya kehidupan urban
Selanjutnya lagu yang ke-tujuh yakni berjudul “Di Udara”. Lagu ini konon
dipersembahkan untuk almarhum Munir yang pada tahun 2004 meninggal setelah
diracun oleh seseorang. Pada lagu ini, Efek Rumah Kaca mencoba membagi
semangat Munir yang gigih memperjuangkan hak asasi manusia, agar bisa tercipta
Munir-munir berikutnya kelak. Lagu ini juga sering diputar dalam acara-acara
diskusi publik yang bertema HAM.
Aku sering diancam
juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
sampai dimana kapan
55
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Selain lagu-lagu yang sudah disebutkan di atas, album Efek Rumah Kaca
juga diisi dengan lagu-lagu renungan yang dibalut dengan lirik-lirik puitis. Lagu
“Insomnia” bercerita tentang penyakit sulit tidur. Lagu “Debu-debu Beterbangan”
bercerita tentang umat manusia yang setiap saat akan menghadapi hari kiamat.
Kemudian lagu “Melankolia” mengisahkan tentang kesendirian. Lagu “Sebelah
Mata” menggambarkan tentang kekurangan seorang manusia yang bisa menjadi
kelebihan. Dan terakhir lagu “Desember” berkisah tentang kesepian dan juga
kesetiaan.
56
C. Kamar Gelap
Gambar 2
Rilis
: 2008
Genre
: Pop, Rock
Label
: Aksara Records
Produser
: Efek Rumah Kaca
Album Kamar Gelap dirilis pada 19 Desember 2008. Pada tahun 2010,
album kedua Efek Rumah Kaca yang dirilis oleh Aksara Records ini sempat
mendapat penghargaan dari ICEMA (Indonesia Cutting Edge Music Award)
sebagai album terbaik.
Hampir sama dengan album pertama, di album Kamar Gelap, Efek Rumah
Kaca kembali mengangkat tema-tema sosial, dan juga kritik terhadap dunia
57
politik.76 Perbedaannya terletak pada proses penggarapan dan juga tempo album
yang lebih cepat dan enerjik ketimbang di album pertama. Dalam proses
penggarapan Kamar Gelap, Efek Rumah Kaca lebih banyak menggarap lagulagunya di studio. Berbeda dengan album pertama yang lagu-lagunya banyak
dibuat di rumah para personil.
Dalam Kamar Gelap, Efek Rumah Kaca juga berkolaborasi dengan
beberapa musisi selama proses rekaman. Pada lagu “Jangan Bakar Buku”, Cholil ,
sang vokalis bernyanyi bersama Ade Paloh dari band Sore. Iman Fattah pun turut
menyumbangkan permainan gitarnya pada lagu. Kemudian Ramondo Gascaro
juga ikut berperan dalam pembuatan lagu “Laki-laki Pemalu”.
Selain berisi kumpulan lagu, dalam kemasan album ini juga terdapat
kumpulan foto dari seniman asal Yogyakarta, Angkin Purbandono. Foto-foto
tersebut konon menggambarkan isi dari lagu-lagu dalam Kamar Gelap. Sehingga
dengan demikian, album ini memakai konsep audio-fotografi. Selanjutnya, dalam
bab 4 nanti akan dianalisis secara mendalam bagaimana kritik dan potret realitas
sosial yang terdapat pada lirik dalam kemasan album tersebut.
4
http://entertainment.kompas.com/read/2009/04/24/e163347/erk.lima.ribu.copy.saja. Diakses pada
27 Juni 2014.
58
BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Temuan Penelitian
Pada penelitian ini, penulis akan mengambil teks lirik yang terdapat dalam
kemasan album Kamar Gelap versi compact disc (CD). Jika kemasan CD ini
dibuka, maka kita akan menemukan sebuah kertas yang berisi keseluruhan 12 teks
lirik.
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dituliskan pada bab awal
penelitian ini, penulis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan
melakukan sistemasi analisis. Demi tujuan tersebut, pada tahap awal teks akan
dideskripsikan berdasarkan aspek denotasi dalam lirik. Selanjutnya, teks denotasi
akan diinterpretasi lagi demi memahami makna konotasi dari teks lirik tersebut.
Pada level konotasi inilah penanda kritik sosial yang digunakan oleh Efek Rumah
Kaca dalam album Kamar Gelap dapat dikenali.
Selanjutnya untuk menjelaskan bagaimana penanda-penanda kritik sosial
dalam bentuk konotasi yang dikonstruksi oleh Efek Rumah Kaca, pembahasan
akan terfokus pada isi dan gaya bahasa yang digunakan oleh Efek Rumah Kaca
dalam menyusun teks-teks mereka. Melalui cara ini penulis berharap dapat
memahami keragaman cara pengkonstruksian yang digunakan oleh Efek Rumah
Kaca dalam memotret realitas beserta kritik sosialnya.
Pada teks lirik, Efek Rumah Kaca secara keseluruhan menggunakan
substansi linguistik. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Untuk
59
memahami maksud lirik-lirik ini dibutuhkan pemahaman atas kode-kode bahasa
yang digunakan. Agar sesuai dengan urutan lagu di album tersebut, maka
deskripsi juga akan dilakukan dari lirik lagu pertama, kedua dan seterusnya
sampai ke lirik lagu terakhir.
1. Makna Denotasi
Tubuhmu Membiru... Tragis
Kamu ingin melompat, ingin sekali melompat
Dari ketinggian di ujung sana, menuju entah apa namanya
Coba bukalah mata, indah di bawah sana
Tutup rapat kedua telinga, dari bisikan entah di mana
Kau terbang, dari ketinggian mencari yang paling sunyi
Dan kau melayang, mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata
Perihmu yang menganga, tak hentinya bertanya
Hidup tak selamanya linier, tubuh tak seharusnya tertier
Lagu di atas berjudul “Tubuhmu membiru... Tragis”. Secara bahasa,
penggabungan ketiga kata tersebut merujuk kepada suatu keadaan seseorang yang
sedang sakit. Tubuh yang membiru bisa berarti memar atau pendarahan di dalam.
Sedangkan kata “tragis” menunjukan suatu kesedihan. Atau dengan kata lain:
tubuhnya tersebut sakit (membiru) secara menyedihkan.
60
Selanjutnya pada awal lirik lagu, kita melihat ada kalimat “Kamu ingin
melompat, ingin sekali melompat”. Kalimat ini menunjukan adanya seseorang
yang sedang berada di tempat yang lebih tinggi, dan ia ingin sekali berpindah dari
tempat yang tinggi tersebut ke tempat yang lebih rendah. Pada bait selanjutnya.
“Coba bukalah mata, indah di bawah sana” kita melihat ada kalimat yang berupa
ajakan yakni “coba bukalah mata”. Kalimat ajakan tersebut diikuti dengan
semacam rayuan manis yang mencoba memberi tahu bahwa di tempat yang lebih
rendah tersebut terdapat sesuatu yang sangat indah. Pada baris selanjutnya juga
terdapat kalimat ajakan untuk menutup kedua telinga agar tidak terdengar bisikanbisikan dari tempat lain.
Dalam bait selanjutnya, terdapat kalimat “Kau terbang, dari ketinggian
mencari yang paling sunyi”, diikuti dengan kalimat “Dan kau melayang, mencari
mimpi-mimpi tak kunjung nyata”. Kalimat ini menyiratkan bahwa seseorang
tersebut akhirnya berpindah dari ketinggian dengan tujuan untuk mencapai tempat
yang lebih sunyi. Sunyi bisa berarti hening atau senyap, tak ada bunyi-bunyian
atau suara apa pun. Dan dalam proses pindah tersebut (melayang), ia juga malah
mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata.
Pada bait terakhir lagu, kembali menegaskan tentang adanya suatu keadaan
sakit, dengan melihat kalimat “Perihmu yang menganga”. Berikutnya dalam
kalimat “Hidup tak selamanya linier, tubuh tak seharusnya tertier”, terdapat
semacam nasihat bahwa hidup tak selamanya harus berjalan secara lurus (linier),
dan tubuh tak boleh diperlakukan secara tertier, atau pada kepentingan ketiga.
61
Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa
Akan ke manakah aku dibawanya?
Hingga saat ini menimbulkan tanya
Engkau dan aku menuju ruang hampa
Tak ada sesiapa hanya kita berdua
Kau belah dadaku mengganti isinya
Dihisap pikiranku memori terhapus
Terkunci mulutku menjeritkan pahit...
Uuuuuuuuu...
Hingga kau belah rongga dadaku
Mengganti isinya dengan batu
Hingga kau kunci rapat mulutku
Engkau dan aku bumi dan langit
Lagu kedua dalam album Kamar Gelap berjudul “Kau dan Aku Menuju
Ruang Hampa”. Hampa menurut KBBI bisa berarti tidak berisi; kosong, sepi, siasia; tidak ada hasil atau juga bodoh; tidak berpengetahuan. Bait pertama secara
jelas menunjukan adanya seseorang yang ingin dibawa menuju ruang hampa
tersebut oleh seseorang lainnya. “Akan ke manakah aku dibawanya? Engkau dan
aku menuju ruang hampa. Tak ada sesiapa hanya kita berdua”.
Pada bait selanjutnya, secara denotatif kita bisa melihat adanya beberapa
aktivitas yang menjurus pada kekerasan, seperti “membelah dada”, “pengisapan
62
atau penarikan pikiran”, “penghapusan memori atau ingatan” dan juga
“penguncian mulut”, yang membuat si korban tersebut menjerit pahit. Pahit secara
literal dapat juga berarti tidak menyenangkan hati dan menyedihkan. “Kau belah
dadaku mengganti isinya. Dihisap pikiranku memori terhapus. Terkunci mulutku
menjeritkan pahit...”
Kemudian pada bait terakhir lagu ini, aktivitas kekerasan tersebut berlanjut
dengan mengganti isi dada yang sebelumnya telah dibelah dengan batu, serta
mengunci rapat mulut. “Hingga kau belah rongga dadaku. Mengganti isinya
dengan batu. Hingga kau kunci rapat mulutku.” Pada baris terakhir menunjukan
adanya perbandingan antara “engkau” dan “aku”, serta “bumi” dan “langit”.
Mosi Tidak Percaya
Ini masalah kuasa, alibimu berharga
Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa?
Kamu tak berubah, selalu mencari celah
Lalu smakin parah, tak ada jalan tengah
Pantas kalau kami marah, sebab dipercaya susah
Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah
Kamu ciderai janji, luka belum terobati
Kami tak mau dibeli, kami tak bisa dibeli
63
Janjimu, pelan-pelan akan menelanmu
Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya
Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya
Lagu ketiga berjudul “Mosi Tidak Percaya”. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia, “mosi tidak percaya” adalah pernyataan tidak percaya dari
Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Mosi sendiri artinya
pernyataan atau pendapat mengenai sesuatu.
Makna denotasi dalam lirik lagu ini bisa kita lihat dari pemilihan katakatanya yang bisa langsung kita pahami dalam benak. Secara denotatif, dalam
lagu ini kita bisa melihat ada sekelompok orang (lihat kata “kami”) yang marah
dan resah, kepada seseorang yang sulit dipercaya. “Pantas kalau kami marah,
sebab dipercaya susah. Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah.” Dari
kalimat “Kamu ciderai janji”, juga telah memperkuat gagasan bahwa seseorang
tersebut sulit dipercaya, karena tidak menepati janji yang telah dibuat.
Lagu Kesepian
Ku tak melihat kau membawa terang
Yang kau janjikan
Kau bawa bara berserak di halaman
Hingga kekeringan
Oh di mana terang yang kau janjikan... Aku kesepian...
64
Di mana tenang yang kau janjikan... Aku kesepian...
Di mana menang yang kau janjikan... Aku kesepian...
Sepi...
Ku tak melihat kau membawa tenang
Yang kau janjikan
Kau bawa debu bertebar di beranda
Berair mata
Lagu keempat berjudul “Lagu Kesepian”. Walau lirik dalam lagu ini
terkesan ambigu, karena tidak jelas siapa “aku” dan “kau” yang dimaksud, namun
secara denotatif kalimat-kalimat dalam lirik ini menceritakan tentang adanya janji
yang tidak bisa ditepati. Ada beberapa hal yang dijanjikan oleh sosok “kau” dalam
lagu ini, yakni: terang, tenang, dan menang.
Secara literal, terang adalah keadaan dapat dilihat (didengar); nyata; jelas.
Kemudian tenang: tidak gelisah: tidak rusuh; tidak kacau; tidak ribut; aman dan
tenteram (tentang perasaan hati, keadaan). Dan terakhir, menang adalah meraih
(mendapat) hasil (perolehan) karena dapat mengalahkan lawan (saingan). Hal-hal
yang dijanjikan namun tak bisa ditepati tersebut akhirnya membuat sosok “aku”
menjadi kesepian. “di mana terang yang kau janjikan... Aku kesepian... Di mana
tenang yang kau janjikan... Aku kesepian... Di mana menang yang kau janjikan...
Aku kesepian...”
65
Hujan Jangan Marah
Lihatkah? Aku pucat pasi, sembilu hisapi jemari
Setiap ku peluk dan menangisi hijau pucatnya cemara
Yang sedih aku letih
Dengarkah? Jantungku menyerah, terbelah di tanah yang merah
Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering
Melemah dan melemah
Hujan, hujan jangan marah...
Lagu selanjutnya berjudul “Hujan Jangan Marah”. Judul lagu ini jelas
menggunakan majas personifikasi. Majas personifikasi menurut Wikipedia
Bahasa Indonesia adalah: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia
yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
Pada bait pertama lagu ini menyiratkan adanya kesedihan ditandai dengan
kata “menangisi” dan juga “sedih”. Objek yang ditangisi adalah cemara (bernama
latin Casuarina eqnisetifolia), yaitu sebuah pohon yang batangnya tinggi dan
daunnya kecil-kecil. Dalam bait tersebut digambarkan bahwa cemara tersebut
pucat hijaunya (yang bisa berarti daun). “Setiap ku peluk dan menangisi hijau
pucatnya cemara.”
Kemudian pada bait kedua, Efek Rumah Kaca menggunakan majas
hiperbola, yaitu Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga
66
kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Bisa dilihat pada kalimat:
“Dengarkah? Jantungku menyerah, terbelah di tanah yang merah.”
Kenakalan Remaja di Era Informatika
Senang mengabadikan tubuh yang tak berhalang
Padahal hanya iseng belaka
Ketika birahi yang juara, etika menguap entah ke mana
Oh nafsu menderu-deru, bikin malu...
Oh nafsu menderu-deru, susah maju...
Rekam dan memamerkan badan yang lainnya
Mungkin hanya untuk kenangan
Apakah kita tersesat arah? Mengapa kita tak bisa dewasa?
Lagu selanjutnya berjudul “Kenakalan Remaja di Era Informatika”. Lirik
lagu ini dituliskan dengan gaya bahasa yang tidak terlalu sulit dipahami. Lagu ini
memberi ilustrasi tentang maraknya kenakalan yang dilakukan remaja di era
informatika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, informatika adalah ilmu
tentang pengumpulan, klasifikasi, pe-nyimpanan, pengeluaran, dan penyebaran
pengetahuan yang direkam.
67
Dalam lagu ini terdapat kata “birahi”, “rekam” dan “memamerkan badan”,
sehingga jelas yang dimaksud “kenakalan” dalam lagu ini adalah kegiatan
merekam hubungan seks yang dilakukan oleh para remaja.
Menjadi Indonesia77
Ada yang memar, kagum banggaku
Malu membelenggu
Ada yang mekar, serupa benalu
Tak mau temanimu
Lekas,
Bangun tidur berkepanjangan
Menyatakan mimpimu
Cuci muka biar terlihat segar
Merapikan wajahmu
Masih ada cara menjadi besar
Memudakan tuamu
Menjelma dan menjadi Indonesia
Ada yang runtuh, tamah ramahmu
Beda teraniaya
Ada yang tumbuh, iri dengkimu
Cinta pergi ke mana?
1
Judul lagu “Menjadi Indonesia” terinspirasi dari judul yang sama pada buku karangan Parakitri T.
Simbolon [Gramedia Pustaka Utama].
68
Kamar Gelap
Yang kau jerat adalah riwayat
Tidak punah dari sejarah
Yang bicara adalah cahaya
Dikonstruksi dikomposisi
Padam semua lampu
Semua lampu
Membekukan yang cair
Mencairkan yang beku
Jangan kabur berjamur
Segala negatif menuju positif
Kekal...
Pada dua lagu di atas, yakni “Menjadi Indonesia” dan “Kamar Gelap”,
penulis kesulitan untuk menangkap makna denotatif yang terdapat pada lirik. Jika
kita hanya mengandalkan makna denotasi, maka kita hanya mendapatkan susunan
69
kalimat yang tidak jelas apa maksudnya. Untuk itulah pada dua lagu tersebut akan
dimaknai secara konotatif pada bahasan berikutnya.
Dalam lagu “Menjadi Indonesia”, penulis menangkap adanya ajakan untuk
segera bangun dari tidur panjang dan kemudian menjadi Indonesia. Pada lagu
berikutnya berjudul “Kamar Gelap”. Kamar Gelap biasanya adalah sebutan untuk
sebuah ruangan tempat mencuci foto.
Jangan Bakar Buku
Karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya
Karena setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi
Habis sudah, habis sudah
Bait demi bait pemicu anestesi
Hangus sudah, hangus sudah
Karena setiap abunya membangkitkan dendam yang reda
Karena setiap dendamnya menumbuhkan hasutan baka
Lagu kesembilan diberi judul “Jangan Bakar Buku”. Judul ini menggunakan
kalimat larangan, dengan dicirikan adanya kata „jangan‟. Larangan yang dimaksud
adalah larangan untuk tidak membakar buku.
70
Dalam lagu ini kita bisa melihat adanya kata-kata yang berhubungan dengan
buku. Seperti lembar, aksara, kata, dan bait. Kemudian juga terdapat kata-kata
yang berhubungan dengan kegiatan pembakaran, seperti: hangus dan abu.
Banyak Asap di Sana
Hidup tak lagi sama, konglomerasi pesta
Lapar bagaikan hama tak ada yang tersisa
Dedikasi dijaga berjejal di kepala
Demi sanak saudara hingga menyesakkan dada
Diskriminasi harga untuk kita semua
Kado bersama-sama di musim petik tiba
Yang muda lari ke kota, berharap tanahnya mulia
Kosong di depan mata, banyak asap di sana
Menanam tak bisa, menangis pun sama
Gantung cita-cita di tepian kota
“Banyak Asap di Sana” adalah lagu kesepuluh dalam album Kamar Gelap.
Sama seperti lagu keenam dan ketujuh, penulis kesulitan menangkap makna lirik
71
yang ingin disampaikan, jika susunan kalimatnya hanya dimaknai secara
denotatif, sehingga lebih baik langsung dicari makna konotatifnya.
Dalam lagu ini bait keempat menjadi perhatian dari penulis, karena terdapat
kalimat “banyak asap di sana”, yang menjadi judul dari lagu ini. Dalam bait
tersebut terdapat kalimat “yang muda lari ke kota”, yang bisa berarti adalah
urbanisasi. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Laki-laki Pemalu
Senja akan segera berlalu
Seorang lelaki melintas menyimpan malu... Uuu...
Menyusul langkah sang gadis yang mungil...
Tapak kakinya yang lelah menyisakan perih hihi...
Nanti malam kan ia jerat rembulan
Disimpan dalam sunyi hingga esok hari
Lelah berpura-pura bersandiwara
Esok pagi kan seperti hari ini
Menyisakan duri, menyisakan perih
Menyisakan sunyi... Aaa...
Berharap gadis mengerti hatinya...
Tetes keringat mengalir mencoba melawan ragu...
72
Balerina
Hidup bagai balerina, gerak maju berirama
Detaknya di mana-mana, seperti udara
Hidup bagai balerina
Menghimpun energi, mengambil posisi
Menjejakkan kaki, meniti temali
Merendah meninggi, rasakan api, konsentrasi
Biar tubuhmu berkelana, lalui kegelisahan
Mencari keseimbangan, mengisi ketiadaan
Di kepala dan di dada
Hidup trasa begitu lentur, raba tekstur ciptakan gestur
Berjingkat tidak teratur, seperti melantur
Hidup trasa begitu lentur
Lagu kesebelas dan keduabelas berjudul “Laki-laki Pemalu” dan
“Ballerina”. Secara denotatif, kalimat-kalimat dalam lagu “Laki-laki Pemalu”
bercerita tentang seorang laki-laki yang berpura-pura dan malu dalam
mengungkapkan perasaan hatinya kepada sang gadis pujaan. “Disimpan dalam
sunyi hingga esok hari. Lelah berpura-pura bersandiwara.”
Kemudian pada bait pertama di lagu “Ballerina”, terdapat kalimat “Hidup
bagai
ballerina”
yang menggunakan majas
73
simile. Majas
ini adalah
pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan
dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, bak, bagai.78
2. Makna Konotasi dan Mitos
Pada tahap ini, penulis mengembangkan analisis terhadap deskripsi teks
dalam album Kamar Gelap, untuk memahami penanda-penanda yang digunakan
oleh Efek Rumah Kaca untuk menandai kritik sosial dan memotret realitas. Pada
bagian sebelumnya telah dijabarkan makna denotasi yang terdapat pada teks lirik.
Pada tahap ini, penulis membahas bentuk penanda lainnya yang kita pahami
sebagai tanda konotasi.
Pembahasan mengenai penanda konotasi dalam album Kamar Gelap pada
penelitian ini berdasar pada batasan atau definisi penulis terhadap kritik dan potret
realitas sosial di bab awal penelitian ini. Hal ini juga mempersempit ruang
pembacaan sekaligus mefokuskan analisis pada penanda konotasi kritik dan potret
realitas sosial.
Makna konotasi, sebagaimana menurut gagasan Barthes, ditentukan oleh
kode-kode kultural yang dimiliki oleh pembaca teks. Tentunya, teks yang
diproduksi oleh penulis teks juga tidak dapat dipisahkan dari kode-kode sang
penulis. Meski demikian tidak tertutup kemungkinan antara pengarang dan
pembaca teks saling berbagi kode yang sama. Pembacaan teks secara konotasi
menjadi jalan untuk memahami bagaimana makna lirik-lirik dalam album Kamar
Gelap. Kritik dan potret realitas sosial dalam album Kamar Gelap harus dipahami
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Majas.
74
melalui penanda konotatif. Dengan demikian langkah selanjutnya adalah
memahami makna konotatif dari teks ini.
Efek Rumah Kaca membuka album Kamar Gelap dengan lagu berjudul
“Tubuhmu Membiru... Tragis”. Sebagaimana dijelaskan pada bahasan denotasi di
atas, judul lagu ini menyiratkan adanya keadaan orang sedang sakit secara
menyedihkan. Kemudian pada bait pertama menjelaskan tentang adanya
seseorang yang melompat dari ketinggian. Ini adalah konotasi bagi orang yang
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, contoh: dengan melompat dari suatu
atap gedung atau jembatan. Kemudian pada bait keempat dalam kalimat “Dan kau
melayang, mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata,” digambarkan bahwa motif
bunuh diri tersebut adalah karena putus asa dalam menjalani hidup yang terasa
sia-sia.
Pada bait terakhir dalam kalimat “Perihmu yang menganga, tak hentinya
bertanya” dijelaskan bahwa kegiatan bunuh diri itu pada akhirnya tak
menghasilkan apa-apa, kecuali duka dan haru yang dialami keluarga dan juga
teman-teman terdekat. Hal ini diperjelas dengan adanya suara “hu.. hu.. hu.. hu..”
pada menit-menit terakhir, yang merupakan tanda index yang mengisyaratkan
adanya keharuan.
Mitos: Melompat dari ketinggian bisa merupakan bunuh diri
Dalam lagu “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa” ada baiknya kita
langsung menyimak reff dalam lagu ini, karena reff biasanya menjadi puncak dari
apa yang coba disampaikan oleh si penulis lagu. Pada reff tersebut terdapat
kalimat “Kau belah dadaku mengganti isinya. Dihisap pikiranku memori
75
terhapus” kalimat tersebut berkonotasi pada adanya kegiatan brainwash atau cuci
otak, dan juga penyuntingan ingatan.
Praktek brainwash, pembelokkan sejarah, penyuntingan ingatan, dan juga
penghilangan paksa (ditandai pada kalimat Akan ke manakah aku dibawanya?
Engkau dan aku menuju ruang hampa) lazimnya terdapat pada negara-negara
fasis, otoriter dan totaliter. Dr. Jossef Goebbels sebagai menteri propaganda pada
era Jerman Nazi misalnya, kerap melakukan kebohongan demi kebohongan demi
melancarkan pemerintahan fasis yang dipimpin oleh Hitler.
Mitos: penghapusan memori erat kaitannya dengan praktek pencucian otak
(brainwash)
Lagu selanjutnya yakni berjudul “Mosi Tidak Percaya”. Secara denotatif,
mosi tidak percaya memiliki pengertian: pernyataan tidak percaya dari Dewan
Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Namun dalam lagu ini,
pengertian tersebut berkembang dan meluas maknanya menjadi ketidakpercayaan
rakyat terhadap pemerintah (baik itu legislatif maupun eksekutif).
Pada bait keempat lagu ini dijelaskan tentang adanya pengingkaran janji
yang dilakukan oleh pemerintah, juga tentang adanya praktik suap atau korupsi
yang membudaya di kalangan pejabat pemerintahan.
Pengingkaran janji dan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah, pada
akhirnya akan membuat rakyatnya menjadi jengah dan tidak percaya lagi. Ini
dijelaskan oleh Efek Rumah Kaca pada bait terakhir: “Ini mosi tidak percaya,
jangan anggap kami tak berdaya. kami tak mau lagi diperdaya.”
76
Mitos: kekuasaan biasanya menyangkut apa yang ada dalam pemerintahan,
mulai dari legislatif sampai eksekutif
Dalam tulisan Yulia Dian di detikhot (2012), dijelaskan bahwa “Lagu
Kesepian” adalah satu-satunya lagu cinta yang terdapat dalam album Kamar
Gelap. Cholil sang vokalis juga memaparkan bahwa lagu tersebut adalah lagu
cinta yang tidak ada kata cinta di dalamnya.79 Karena lagu ini sifatnya personal
(cinta) dan penulis sendiri tidak menemukan kaitannya dengan kritik dan potret
realitas sosial, maka lagu ini tidak akan dibahas lebih dalam makna konotasinya.
Secara konotatif, lirik dalam lagu “Hujan Jangan Marah” bercerita tentang
alam yang rusak dan juga musim kemarau yang parah. Ditandai dengan pohonpohon yang mengering (...menangisi hijau pucatnya cemara) dan juga tanah-tanah
yang terbelah (...terbelah di tanah yang merah). Kata “musim kering” pada bait
kedua juga semakin memperkuat kandungan lagu ini.
Dari kalimat “Hujan Jangan Marah” pada bait terakhir–yang juga menjadi
judul lagu ini, penulis menangkap adanya ketakutan dari si penulis lagu yang
khawatir jika turunnya hujan juga sama-sama akan menyebabkan bencana (banjir
misalnya) bagi manusia, yang sebenarnya disebabkan oleh si manusia itu sendiri.
Mitos: tanah terbelah berarti menandakan musim kemarau yang parah.
Di Indonesia, ibukota Jakarta sering diidentikan dengan masalah banjir.
Dalam portal berita viva.co.id (Januari 2014) disebutkan bahwa salah satu
penyebab banjir yang terjadi di DKI Jakarta adalah karena rusaknya tata kota
3
http://hot.detik.com/music/read/2008/12/19/165654/1056630/217/efek-rumah-kaca-terangterangan-di-kamar-gelap. Diakses pada 12 Agustus 2014.
77
sejak lama. Ada banyak perubahan fungsi ruang di mana lahan seharusnya
menjadi tempat resapan justru dibangun untuk kawasan komersil.80
Lagu selanjutnya yakni “Kenakalan Remaja di Era Informatika”. Seperti
yang dijelaskan di atas, lirik dalam lagu ini tidak memakai metafora-metafora
yang sulit dipahami seperti pada lagu-lagu yang lain. Pada bait pertama, kata
“mengabadikan” merupakan konotasi dari memotret atau merekam melalui
kamera. Kemudian diperjelas lagi di bait keempat dalam kalimat “Rekam dan
memamerkan badan yang lainnya”.
Bait terakhir lagu ini berisi ajakan untuk merenungkan mengapa banyak
orang (khususnya remaja) yang tersesat dan meninggalkan norma-norma yang
berlaku. Juga mengapa para remaja tersebut tidak mencoba untuk bersikap lebih
dewasa dan meninggalkan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma dan hukum
yang berlaku.
Mitos: mengabadikan adalah merekam dan memotret.
Tema nasionalisme atau kebangsaan juga coba diusung oleh Efek Rumah
Kaca dalam lagu “Menjadi Indonesia”. Pada bait pertama, ERK menggunakan
metafora “benalu” untuk menggambarkan segelintir orang yang kelakuannya
hanya memperburuk citra bangsa Indonesia (Ada yang mekar, serupa benalu).
Pada bait kedua, terdapat ajakan yang secara konotatif mengajak masyarakat
Indonesia agar membersihkan diri dan bangkit dari keterpurukan, serta berupaya
untuk membuat keadaan bangsanya menjadi lebih baik lagi. Di bait terakhir, Efek
4
http://metro.news.viva.co.id/news/read/475771-ini-empat-faktor-penyebab-banjir-jakarta.
Diakses pada 12 Agustus 2014.
78
Rumah Kaca juga menyindir perilaku banyak orang Indonesia yang mudah sekali
marah dan tidak toleran terhadap perbedaan. “Ada yang runtuh, tamah ramahmu.
Beda teraniaya. Ada yang tumbuh, iri dengkimu.”
Mitos: kata “tidur” dalam lagu bisa bermakna: malas, diam atau tak
melakukan apa-apa
Seperti yang disinggung dalam bab pertama, album Kamar Gelap mencoba
memotret realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Tema “memotret” ini
kemudian dipertegas dalam lagu ke-8 yakni berjudul “Kamar Gelap”. Dalam
dunia fotografi, kamar gelap adalah istilah untuk ruangan kedap cahaya untuk
mencuci film atau foto.
Dalam lagu ini, diksi-diksi yang dipilih oleh Efek Rumah Kaca berkaitan
erat juga dengan dunia fotografi, seperti cahaya, lampu, negatif, positif dan
sebagainya. Kalimat-kalimat dalam lagu ini secara denotatif memang menjelaskan
proses mencuci film di dalam kamar gelap.
Mitos: memotret di sini maksudnya adalah mengkonstruksi realitas.
Pada lagu selanjutnya, yakni “Jangan Bakar Buku”, Efek Rumah Kaca
bercerita tentang betapa kejinya kegiatan penghancuran buku. Pada bait pertama,
kata “cahaya” merupakan konotasi dari pengetahuan dan juga wawasan, yang bisa
mengantarkan munculnya ide dan gagasan. Sementara “jendela dunia” merupakan
konotasi dari pengetahuan mengenai negara-negara lain. Dengan demikian buku
adalah sumber pengetahuan mengenai banyak hal yang bisa memicu pembacanya
untuk bisa mengeluarkan ide-ide yang cemerlang.
79
Pada bait terakhir lagu ini secara konotatif disebutkan bahwa kegiatan
pembakaran dan pemusnahan buku hanya menciptakan dampak negatif berupa
ketidaktahuan,
kemudian
dari
ketidaktahuan
tersebut
hanya
melahirkan
kebencian-kebencian tidak mendasar pada segala hal yang dirasa asing.
Mitos: jendela dunia adalah pengetahuan.
Jika melihat judul “Banyak Asap di Sana”, mungkin yang terbayang di
benak kita bahwa lagu ini berkaitan dengan asap atau kebakaran. Namun jika
menyimak keseluruhan lirik lagu, secara konotatif bercerita tentang fenomena
urbanisasi, yakni berpindahnya penduduk dari desa atau kampung, ke kota.
Dipertegas lagi dalam video klip yang berisi gambaran kehidupan di perkotaan.
Biasanya urbanisasi dilakukan oleh penduduk desa dengan tujuan untuk
mencari penghidupan yang lebih baik karena tidak adanya lapangan pekerjaan di
desa. “Yang muda lari ke kota, berharap tanahnya mulia.” Fenomena urbanisasi
banyak berdampak negatif, salah satunya adalah karena ketidaksiapan si
penduduk desa untuk hidup di kota. Mulai dari gaya hidup yang berbeda, sampai
karena keahlian yang tidak dimiliki, membuat si pendatang tersebut hanya
menjadi gelandangan tidak jelas arah hidupnya. Dijelaskan oleh Efek Rumah
Kaca pada bait terakhir: “Menanam tak bisa, menangis pun sama. Gantung citacita di tepian kota”.
Mitos: kota selalu dikaitkan dengan kemajuan, sedangkan desa adalah
keterbelakangan
80
Pada lagu kesebelas, yakni “Laki-laki Pemalu”, penulis tidak menangkap
adanya kaitan dengan tema kritik dan potret realitas sosial. Dari liriknya, penulis
hanya melihat bahwa lagu ini bercerita tentang seorang laki-laki yang tidak
memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya kepada sang gadis
pujaan. Karena lagu ini tidak memiliki kaitan dengan kritik dan potret realitas
sosial, maka lagu ini bisa kita lewatkan.
Lagu terakhir dalam album Kamar Gelap berjudul “Balerina”. Balerina
adalah sebutan untuk penari balet wanita. Balerina adalah metafora yang dipilih
oleh Efek Rumah kaca untuk menggambarkan hidup yang seimbang. Dalam lagu
ini jelaskan bahwa hidup haruslah memiliki keseimbangan yang harmonis, tanpa
adanya sesuatu yang berlebihan.
Dalam lirik lagu ini juga digambarkan bahwa dalam hidup pasti ada yang
datar dan ada pula yang bergejolak. Maka solusi terbaiknya adalah untuk
membiarkan hidup ini berjalan dengan semestinya, tidak perlu diberat-beratkan,
dan juga tidak diringan-ringankan. Seperti penari balet yang bergerak secara
anggun dari satu tempat ke tempat lainnya. Biar tubuhmu berkelana, lalui
kegelisahan. Mencari keseimbangan, mengisi ketiadaan. Di kepala dan di dada.
Mitos: hidup lentur di sini maksudnya adalah hidup yang seimbang, dan tak
berlebih-lebihan.
81
B. Pembahasan
Kritik dan Potret Realitas Sosial pada Album Kamar Gelap
Jika melihat dari makna konotasi dan juga mitosnya, beragam tema diangkat
oleh Efek Rumah Kaca dalam album Kamar Gelap ini. Lagu “Tubuhmu
Membiru... Tragis” mengkritik dan memotret tentang fenomena bunuh diri.
Tren bunuh diri dengan cara melompat dari ketinggian bukanlah hal baru,
terutama pada masyarakat perkotaan. Kasus paling baru yang penulis ketahui,
terjadi pada bulan Juni 2014 di Jakarta Pusat. Seperti yang penulis kutip dari situs
merdeka.com pada 13 Juni 2014, Seorang pria bunuh diri dengan cara melompat
dari Jembatan Semanggi.
Lagu “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa” tentang pemaksaan kehendak
dan pencucian otak. Berbicara mengenai masalah penyuntingan ingatan, penulis
ingat dengan satu paragraf dalam novel Jalan Lain ke Tulehu (Bentang Pustaka,
2014) karya Zen RS yang menjelaskan bahwa dalam setiap konflik atau
perseteruan dua kubu, contohnya antara penguasa dengan penentangnya, selalu
melibatkan ingatan yang dihapus, disunting atau diedit. Selalu ada ingatan yang
ditonjol-tonjolkan, tetapi juga ada yang disembunyikan. Zen RS juga
menambahkan, bahwa konflik pada akhirnya seperti sebuah kisah fiksi yang
dibuat-buat demi memenangkan satu pihak.
Kemudian lagu “Mosi Tidak Percaya” mengkritisi pemerintah yang
dianggap ingkar janji dan korup. Mengenai praktik korupsi, kita bisa melihat
laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, yang mengemukakan
bahwa terjadi peningkatan tren korupsi di kalangan pejabat daerah.
82
Laporan ICW yang penulis kutip dari portal tempo.co pada 4 Agustus 2014,
menyebutkan bahwa jumlah pejabat pemda sebagai koruptor meningkat dari dua
tahun sebelumnya. Pada laporan ICW tahun 2012, ada 48 pejabat pemda yang
melakukan korupsi. Satu tahun berikutnya, ada 60 pejabat pemda jadi terdakwa
kasus korupsi. Dan pada tahun 2014 ini, tercatat ada 101 pejabat pemda yang
terbukti sebagai koruptor.
Masalah lingkungan hidup juga diangkat oleh Efek Rumah Kaca melalui
lagu “Hujan Jangan Marah”. Lagu ini mengisahkan tentang musim kemarau yang
berkepanjangan. Dalam lagu ini terdapat keinginan dari sang penulis lagu tentang
agar hujan tidak marah dan bisa turun untuk mengatasi dampak musim kemarau
yang parah
Masalah kenakalan remaja diangkat dalam lagu “Kenakalan Remaja di Era
Informatika”. Dalam album Kamar Gelap, hanya ada tiga lagu yang dilengkapi
dengan video klip, yakni Kenakalan Remaja di Era Informatika, Banyak Asap di
Sana, dan Ballerina. Dalam video klip lagu ini, bisa dilihat lagi sindiran kepada
para remaja yang menyalahgunakan teknologi, dalam bentuk potongan-potongan
klip video porno yang sudah disensor.
Ada juga kritik dan potret soal nasionalisme dan kebangsaan melalui lagu
“Menjadi Indonesia”. Judul lagu ini sebenarnya diambil dari buku “Menjadi
Indonesia” yang ditulis oleh Parakitri T. Simbolon, dan diterbitkan pada tahun
2007 oleh Penerbit Buku Kompas.
Buku itu sendiri bercerita tentang proses panjang terbentuknya kebangsaan
Indonesia sejak awal mula sejarah Nusantara hingga menjelang Perang Pasifik.
Dalam buku itu, Parakitri T. Simbolon memahami kebangsaan sebagai proses
83
yang menghasilkan keseimbangan hubungan antara masyarakat dan kekuasaan
negara, yang terwujud dalam serangkaian tradisi, pranata, atau lembaga; tegasnya,
keseluruhan aturan main bermasyarakat dan bernegara.
Lagu “Jangan Bakar Buku” berkisah tentang pemusnahan buku. Dalam
buku berjudul “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa” karangan Fernando
Baez
81
, disebutkan bahwa kegiatan pembakaran atau penghancuran buku
bertujuan untuk menghabisi memori penyimpanan sejarah, atau juga untuk
menghabisi gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan (bisa dari masa lalu) secara
menyeluruh.
Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa sejarah penghancuran buku
sudah ada sejak buku itu sendiri lahir. Sejak dari zaman Mesir kuno, Byzantium,
Rennaisance, sampai ke era Nazi Jerman, penghancuran buku dilakukan dengan
berbagai dalih yang kesemuanya adalah untuk mengamankan eksistensi suatu
pihak.
Di Indonesia sendiri, sejak awal Suharto berkuasa, banyak terjadi
pelarangan buku-buku yang dianggap mengandung gagasan marxisme-sosialisme.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer sendiri pernah menuturkan bahwa koleksikoleksi buku karyanya pernah dibakar oleh tentara dengan alasan yang kurang
jelas.
Kemudian Efek Rumah Kaca mengangkat masalah urbanisasi lewat lagu
“Banyak Asap di Sana”. Menurut gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, seperti
yang dikutip dari news.liputan6.com, urbanisasi di Jakarta terjadi karena lapangan
pekerjaan terbesar memang berada di ibukota Jakarta. Lonjakan penduduk naik
5
Diterbitkan oleh Marjin Kiri pada tahun 2013.
84
sebagian besar karena didasari minat mencari penghidupan layak. Maka menurut
Jokowi, solusi terbaiknya adalah dengan mendorong pemodal untuk berinvestasi
di daerah.82
Efek Rumah Kaca juga membahas filosofi hidup melalui lagu “Balerina”.
Dalam lagu ini dijelaskan bagaimana hidup yang seimbang dan tak berlebihlebihan melalui metafora balerina (penari balet)
Memang tidak semua lagu dalam album Kamar Gelap ini memiliki tema
sosial, seperti lagu “Lagu Kesepian” dan “Laki-laki Pemalu”. Namun lagu ini
sebagian besar bercerita tentang fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat
kita, beserta kritiknya.
Lagu “Kamar Gelap” menjadi penegasan bahwa album ini memang
mencoba memberikan gambaran yang terjadi dalam masyarakat, atau dengan kata
lain potret realitas sosial yang terjadi.
Lagu “Kamar Gelap” inilah yang kemudian menjelaskan tema besar dalam
album ini, bahwa apa yang ada dalam album ini adalah potret realitas sosial yang
terjadi dalam masyarakat kita, juga beserta kritiknya. “Yang kau jerat adalah
riwayat. Tidak punah dari sejarah.”
6
http://news.liputan6.com/read/2086005/ini-solusi-jokowi-tekan-urbanisasi-di-jakarta.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diajukan penulis, terdapat dua
kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini.
1. Efek Rumah Kaca menggunakan penanda-penanda yang mempunyai
makna konotasi yang berkaitan erat dengan masalah-masalah sosial.
Makna denotasi dalam lirik lagu bisa kita abaikan, karena hal
tersebut tidak menjelaskan makna lagu-lagu tersebut, sehingga kita
bisa lebih fokus menyimak makna konotasi dan mitosnya. Penanda
konotasi digunakan dalam bentuk penggunaan metafora-metafora
dan gaya bahasa simile. Konotasi ini sesuai dengan latar belakang
pengetahuan penulis dan juga kode-kode kultural yang dijumpai
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
2. Efek Rumah Kaca mengkritik dan memotret realitas sosial dengan
mengkombinasi konotasi-konotasi dan mitos-mitos yang berlaku
dalam masyarakat. Melalui kombinasi tersebut, bisa dilihat
fenomena-fenomena sosial yang berlaku dalam masyarakat, mulai
dari fenomena bunuh diri, kenakalan remaja, masalah lingkungan,
nasionalisme dan lain sebagainya. Tidak lupa juga Efek Rumah
86
Kaca mengkritik budaya korupsi yang terjadi di pemerintahan, serta
usaha-usaha pembelokan sejarah yang dilakukan oleh berbagai pihak.
B. Saran
Terdapat beberapa hal yang penulis ingin sampaikan terkait dengan
penelitian ini:
1. Penelitian ini hanya dapat mengkaji aspek tekstual dari objek yang
diteliti. Beberapa dimensi seperti sudut pandang atau perspektif
pengarang, dalam hal ini Efek Rumah Kaca, tidak terlalu menjadi
perhatian. Penulis sudah pernah mewawancarai Cholil Mahmud,
sang pengarang lagu, namun jawaban-jawaban yang ia berikan tidak
terlalu informatif. Penulis sudah menduganya karena Cholil memang
dikenal misterius dan enggan untuk berbagi makna dari lagu-lagunya.
Jika ada peneliti lain yang melakukan penelitian serupa, tak perlu
khawatir dengan masalah seperti itu. Karena hal ini sesuai dengan
konsep Kematian Pengarang (The Death of the Author) yang
dipaparkan oleh Roland Barthes. Dalam konsep itu dijelaskan bahwa
peran pengarang sudah mati ketika karyanya dilepas ke publik dan
menjadi teks. Seperti yang dijelaskan pada bab pertama, teks yang
sudah berada tangan pembacanya, bebas diinterpretasi sesuai dengan
pemahaman dan kode-kode budaya yang dimiliki. Dengan kata lain
sang pengarang sudah tidak bisa campur tangan lagi.
87
2. Disarankan juga kepada peneliti yang lain, yang ingin melakukan
penelitian serupa, agar lebih banyak membaca dan menggali
informasi-informasi yang terdapat dalam masyarakat. Hal tersebut
dilakukan agar kita bisa lebih mudah memahami kode-kode kultural,
makna konotasi dan mitos yang digunakan dalam teks. Sehingga
bisa meminimalisir kesalahpahaman yang terjadi.
88
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktek, Terj.Yogyakarta: Bentang,
2004.
Barthes, Roland. Imaji, Musik, Teks: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan,
Film,
Musik,
Alkitab,
Penulisan
dan
Pembacaan
Kritik
Sastra,
Terj.Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Biagi, Shirley. Media/Impact: Pengantar Media Massa, Terj. Jakarta: Salemba
Humanika, 2010.
Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar
Kritik-Budaya Psikoanalisis, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Budiman, Kris. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas,
Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media
Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter
L. Berger & Thomas Luckman, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011
Danesi, Marcel. Pesan, Tanda dan Makna, Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Djohan. Terapi Musik: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Galangpress Group, 2006.
Fidler, Roger. Mediamorfosis, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003.
Fiske, John. Cultural and Communication Study: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif, terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Hartley, John. Communication, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, Terj.
Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Hoed H. Benny. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok: FIB UI Depok,
2008.
89
Mulyana, Dedi dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010.
Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna, Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Rez, Idhar. Music Records Indie Label, Bandung: DAR! Mizan, 2008.
Rodman, George. Mass Media in Changing World: History, Industry,
Controversy, New York: McGraw-Hill, 2008.
Saputra, Anwar. Kritik Sosial Politik dalam Musik: Analisis Isi Lirik Lagu “Gosip
Jalanan, Birokrasi Kompleks dan Kritis BBM” Grup Musik Slank, Skripsi
S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013.
Shuker, Roy. Key Concepts in Popular Music, London: Routledge, 1998.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
--------------- Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Storey, John. Teori Budaya dan Budaya Pop, Terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Strinati, Dominic. Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer,
Terj. Yogyakarta: Jejak, 2007.
Thwaites, Tony. dkk. Introducing and Cultural Media Studies: Sebuah
Pendekatan Semiotik, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Sumber dari internet:
http://efekrumahkaca.net
http://jakartabeat.net
http://kbbi.web.id
http://marxist.org
90
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber : Cholil Mahmud
Posisi
: Vokalis Efek Rumah Kaca, penulis lagu-lagu di album Kamar Gelap
Tanggal
: 22 Agustus 2014
1. Apa makna dari kalimat “tubuh tak seharusnya tertier” dalam lagu “Tubuhmu
Membiru... Tragis”?
Raga penting juga, primer.
2. Siapa sosok “kau” yang dimaksud dalam lagu “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa”?
Bisa siapa aja, kalau dalam konteks pacaran yang straight ya..lawan jenis
3. Dalam KBBI, mosi tidak percaya artinya adalah pernyataan tidak percaya dari Dewan
Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Yang ingin saya tanyakan, siapa
sasaran kemarahan di lagu “Mosi Tidak Percaya”, apakah legislatif (DPR) atau
eksekutif (pemerintah)?
http://voiceplus.co.id/contentef.php?cId=2&id=93&page=2
4. Dalam “Lagu Kesepian” terdapat kalimat “di mana menang yang kau janjikan”, apa
maksud dari kata “menang” tersebut? Menang dari apa?
Menang ya menang. Menang dari melawan atau menjalani proses dari kegelapan dan
kesepian
5. Jika lagu “Hujan Jangan Marah” bercerita tentang kekeringan atau kemarau, lalu
apakah anda menyalahkan manusia yang juga berkontribusi dalam kekeringan itu?
Ya, jelas. Termasuk diri kami sendiri.
91
6. Menurut anda apakah kenakalan remaja lebih disebabkan karena efek negatif
teknologi informatika atau pendidikan yang salah dalam keluarga?
Pendidikan punya pengaruh vital. Tapi saya gak terlalu yakin apakah pendidikan yang
salah dalam keluarga adalah faktor utama, atau faktor bukan utama atau malahan
bukan faktor, kalau dalam konteks lagu ini. Saya agak bingung, karena anda
memberikan pilihan yang bisa jadi keduanya bukan faktor utama terciptanya lagu itu.
Anda mengerangkeng saya dengan pilihan yang belum tentu itu penyebabnya.
7. Apa sebenarnya yang menjadi kegelisahan anda dalam lagu “Menjadi Indonesia”?
https://www.youtube.com/watch?v=EZCzAtkvKgM
mulai menit 09.40
8. Mengapa menjadikan “Kamar Gelap” sebagai judul album?
http://deathrockstar.info/album-kedua-efek-rumah-kaca-%E2%80%9Dkamargelap%E2%80%9D/
9. Apakah lagu “Jangan Bakar Buku” terinspirasi dari kejadian nyata? Kalo iya, bisa
ceritakan secara singkat kejadian itu?
Ya, kalau tidak salah peristiwa pembakaran buku tahun 2006-2007 (coba di cek lagi)
yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Lalu, ada wartawan yang menuliskan tentang
pembakaran buku ini malah ditangkap. Kalau tidak salah namanya Bersihar Lubis.
Tadinya kami tidak ingin selangsung itu menuliskan judulnya, namun sejak
ditangkapnya wartawan itu, kami langsung memastikan bahwa jdulnya adalah “jangan
bakar buku” supaya tidak ada sayap dalam pemaknaan lagu ini. Straight forward.
10. Apa yang dimaksud dengan “konglomerasi pesta” dalam lagu “Banyak Asap di
Sana”?
Lurus aja. Maksudnya? Pengusaha/konglomerat pada pesta. Kok bisa? Untung banyak
mungkin. Kok bisa? Sistemnya mendukung
92
11. Menurut anda pemalu yang baik dan tidak baik itu seperti apa?
Kami tidak memikirkan itu ketika membuat lagu itu. Sampai sekarang pun tidak, jadi
kami tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
12. Mengapa menggunakan metafora “balerina” untuk penggambaran hidup?
Mengapa tidak?. Tak ada alasan khusus, mugkin karena merasa cocok sebagai simbol
representasi kehidupan aja, cantik indah, kegetiran tidak tampak tapi kita rasakan ada,
naik, turun..yah seliteral lagu itulah.
P.S. Jika ada yang mas Cholil ingin sampaikan terkait dengan album Kamar Gelap, namun
tidak ada di daftar pertanyaan, boleh juga disampaikan.
Kalau pertanyaan-pertanyaan ini diajukan 2 -3 tahun lalu mungkin jawabannya akan jauh
beda. Karena, belakangan gua merasa, jika lagu-lagu itu terlalu detil dijabarkan, dia seperti
dipasung. Dia tidak punya perjalanannya sendiri, padahal dia bisa mencari pengalamannya
sendiri untuk punya makna yang lain atau baru sama sekali bagi orang-orang yang
mendengarkannya jika tidak dikerangkeng dengan penjabaran yang sangat detil. Ya betul,
pengarang sudah mati setelah karya itu dilepas ke publik, kira-kira begitulah.
Terima kasih.
Sama-sama, maaf kalau jawabannya tidak berkenan atau kurang memuaskan.
93
94
95
96
FOTO SIDANG MUNAQASYAH
97
Download