KRITIK DAN POTRET REALITAS SOSIAL DALAM MUSIK (ANALISIS SEMIOTIKA DALAM ALBUM KAMAR GELAP KARYA EFEK RUMAH KACA) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I.) Oleh: REZA FAJRI NIM: 1110051000012 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M ABSTRAK Reza Fajri NIM: 1110051000012 Kritik dan Potret Realitas Sosial dalam Musik (Analisis Semiotika pada Album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca) Musik pada awalnya dipakai dalam ritual-ritual sakral untuk memuja sang Pencipta. Namun seiring dengan perkembangan jaman, musik kemudian memiliki beragam fungsi, mulai dari sarana hiburan, mata pencaharian, sampai menjadi media untuk menyampaikan pesan atau kritik. Efek Rumah Kaca menjadi salah satu band yang kerap menyisipkan “protes” dalam lagu-lagunya tetapi dengan tidak secara eksplisit dan membuat kita harus melakukan aktivitas baca-tafsir untuk bisa memahaminya. Seperti pada album kedua mereka, yakni Kamar Gelap. Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam album Kamar Gelap? Kemudian pertanyaan minornya adalah apa makna denotasi dan konotasi dalam album Kamar Gelap? Apa mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap? Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi yang berupa tanggapan terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, disertai dengan uraian tentang baik buruknya. kritik bukanlah untuk menjelek-jelekan sesuatu, namun untuk mengoreksi hal-hal yang keliru atau tidak sesuai, demi memperoleh suatu kemajuan. Konstruksi realitas, pada dasarnya adalah setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun (Sobur, 2012:88). Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman, konstruksi sosial selalu sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2011:24). Kritik dan konstruksi realitas sosial dalam teks media selalu mengekspresikan sikap dan pilihan sang komunikator, Karena dikomunikasikan melalui seperangkat tanda, maka semiotika bisa menjadi pendekatan yang terbaik dalam menganalisisnya. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan semiotika. Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan manusia. Menurut Roland Barthes, aktivitas penandaan tidak hanya berhenti pada makna denotasi (makna sebenarnya), namun bisa berkembang ke tahap konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Sejarah pemakaian suatu kata, sangat berpengaruh terhadap munculnya makna dalam konotasi. Bila konotasi menetap lama dalam masyarakat, maka besar kemungkinan bisa menjadi mitos. Mitos yang dimaksud di sini adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas (Sobur, 2012:128). Mitos, lanjut Sobur, adalah produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Lirik-lirik dalam album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca, diketahui memiliki makna-makna konotasi yang sesuai dengan kode-kode kultural yang ada pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari metafora-metafora yang mereka gunakan, bisa terlihat kritik dan potret realitas yang ingin mereka sampaikan. Musik bisa berperan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi. Untuk menjalankan fungsi komunikasi massa, para musisi bisa memotret realitas dan mengeluarkan kritik-kritik sosialnya yang dianggap perlu melalui lagu yang mereka ciptakan. Seperti yang dilakukan oleh Efek Rumah Kaca dalam album Kamar Gelap. . Keywords: Kamar Gelap, semiotika, denotasi, konotasi dan mitos, kritik dan konstruksi realitas sosial. i KATA PENGANTAR Skripsi ini tak akan pernah bisa lahir tanpa adanya persahabatan yang diberikan oleh banyak pihak, baik dari pihak kampus, keluarga, sahabat dan orang-orang yang ada di sekitar saya. Saya berhutang budi kepada kawan-kawan yang telah membantu penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanpa kehangatan mereka, skripsi ini mungkin tidak akan pernah ada. Maka dari itu, saya sebagai penulis wajib mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Arief Subhan, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Suparto, M.Ed, M.A. sebagai Wakil Dekan I. Drs. Jumroni, M.Si. sebagai Wakil Dekan II. Dr. Sunandar, M.Ag, sebagai Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Rachmat Baihaky, M.A. selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 4. Ibu Ade Rina Farida, M.Si. Sebagai dosen pembimbing skripsi ini. Terima kasih kepada beliau yang telah memberikan ilmu dan pengarahannya agar skripsi ini bisa terlihat lebih baik lagi. 5. Ibu Fita Fathurokhmah M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. ii 6. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si., sebagai dosen pembimbing akademik kelas KPI A angkatan tahun 2010. 7. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Seluruh jajaran staf karyawan Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Terima kasih sebesar-besarnya juga kepada kedua orang tua penulis, yakni: Haryadi Mansur dan Nurhikmah, yang tanpa cinta kasih yang tulus dari keduanya, mustahil penulis bisa melaju sampai saat ini. penulis berhutang budi yang sangat besar kepada keduanya (dan mungkin tak akan pernah bisa dibalas oleh penulis), yang telah memberikan dukungan, doa dan motivasinya, sehingga penulis bisa hidup dan memperoleh pendidikan sampai ke perguruan tinggi. 10. Terima kasih juga kepada kakak, Ervina Destriana, yang selama ini membiayai pendidikan penulis di perguruan tinggi. Juga terima kasih kepada adik, Tri Wahyudi. 11. Kepada paman, bibi, kakak ipar serta keluarga besar lainnya. 12. Mas Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca, yang telah bersedia memberikan waktunya untuk wawancara via email, walau beliau sedang sibuk bersekolah di Amerika Serikat. 13. Kepada sahabat-sahabat di kelas KPI A 2010 yang telah sama-sama mengukir kisah dengan penulis, baik suka maupun duka. Terutama kepada iii Dani, Andre, Bustami, Edi, Muharram, Muhammad, Adit dll yang selama ini membantu penulis dikala menemui kesulitan. 14. Kepada teman-teman sepermainan di Bogor dan di Cirebon yang namanamanya tidak bisa disebutkan semua, yang telah menghibur penulis disaat sedang mengalami kebuntuan menulis. 15. Teman-teman KKN Interaktif 2013 di desa Batujajar Cigudeg. 16. Kolega-kolega penulis di Chelsea Indonesia Supporter Club (CISC) Regional Bogor, yang selalu mengadakan kegiatan yang membuat penulis bisa sejenak melupakan kepenatan. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar skripsi ini bisa menjadi lebih baik lagi. Semoga semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini diberi kebaikan dan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin. Jakarta, 10 Agustus 2014 Reza Fajri iv DAFTAR ISI ABSTRAK ................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. B. C. D. E. F. G. H. Latar Belakang Masalah ........................................................... Rumusan Masalah ..................................................................... Tujuan Penelitian ..................................................................... Kegunaan Penelitian ................................................................. Tinjauan Pustaka ...................................................................... Kerangka Teori ......................................................................... Metodologi Penelitian .............................................................. Sistematika Penulisan .............................................................. 1 7 7 7 8 9 18 19 BAB II MUSIK, TEORI KRITIS DAN SEMIOTIKA ......................... 21 A. Sejarah Singkat Industri Musik dan Rekaman ......................... B. Teori Kritis dalam Musik Kritis ............................................... C. Pengertian dan Macam-macam Semiotika ............................... 21 27 34 BAB III PROFIL DAN DISCOGRAPHY EFEK RUMAH KACA ..... 46 A. Profil Efek Rumah Kaca .......................................................... B. Efek Rumah Kaca: Komposisi Lirik Cerdas nan Puitis ............ C. Kamar Gelap ............................................................................. 46 51 57 BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ................... 59 A. Temuan Penelitian .................................................................... B. Pembahasan .............................................................................. 59 82 BAB V PENUTUP .................................................................................... 86 A. Kesimpulan .............................................................................. 86 v B. Saran ......................................................................................... 87 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 89 LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 91 vi DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 1 2. Gambar 2 51 57 vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Musik tidak bisa dipisahkan dari sejarah peradaban manusia. Sebagai karya seni, musik menyimpan nilai-nilai estetika yang sangat tinggi. Friedrich Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy, memandang musik sebagai sarana yang bisa membangkitkan suasana estetik tertentu. Musik bisa menghadirkan rasa gembira atau sedih seorang manusia lewat suatu atmosfer yang menyentuh. Musik juga bisa mempengaruhi pikiran dan tindakan dari seorang manusia. Sehingga, musik dapat membuat pendengarnya lari sejenak dari realita dan masuk ke dalam imajinasinya sendiri. Pada awalnya musik dipakai dalam ritual-ritual sakral untuk memuja sang Pencipta. Orang-orang Yunani kuno bahkan percaya bahwa musik adalah cerminan dari hukum-hukum harmoni yang mengatur alam semesta. 1 Kala itu musik sangat erat kaitannya dengan berbagai kegiatan supranatural. Musik dan ritme-ritme tertentu dimainkan dengan berbagai alat dan diyakini dapat membawa ketenangan pikiran dan memberikan kenyamanan fisik.2 Namun seiring dengan perkembangan jaman, musik kemudian memiliki beragam fungsi, mulai dari sarana hiburan, mata pencaharian, sampai menjadi media untuk menyampaikan pesan atau kritik. Dalam sejarahnya, musik pun bisa menjadi bagian dari suatu revolusi sosial. Bob Dylan atau John Lennon telah 1 2 Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 244. Djohan, Terapi Musik: Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Galangpress Group, 2006), h. 35. 1 membuktikan dengan lagu-lagunya, bahwa musik bisa menggerakan masyarakat agar menentang keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Munculnya subkultur-subkultur dalam masyarakat, juga seringkali melibatkan musik di dalamnya. Bentuk dan gaya bermusik (yang cenderung baru) sering dijadikan sebagai identitas dasar dalam sebuah subkultur.3 Subkultur adalah suatu komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi atau sosial yang memperlihatkan pola perilaku yang membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam suatu budaya atau masyarakat yang melingkupinya. 4 Para penganut Rastafarian misalnya, menjadikan musik reggae sebagai bentuk perlawanan negara ketiga terhadap dominasi negara maju dan juga untuk menentang kebijakan Apartheid di Afrika Selatan. Subkultur mod atau punk, juga menggunakan musik sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial ataupun politik kepada pemerintah dan masyarakat umum. Pesan-pesan dalam musik seringkali diungkapkan secara konotatif dan denotatif lewat lirik lagu atau video klip yang diciptakan. Lirik dan video klip dalam lagu God Save The Queen karya The Sex Pistols misalnya, berisi kecaman terhadap pemerintah Inggris yang bermewah-mewahan dalam merayakan 50 tahun berkuasanya sang ratu (Queen’s Jubilee), padahal ketika itu banyak orang Inggris yang sedang mengalami pengangguran. Contoh lain adalah lagu Bento dari Iwan Fals, yang secara tak langsung adalah kritik terhadap para pejabat di masa Orde Baru yang dianggap lebih sibuk memperkaya dirinya sendiri. Unsur-unsur dalam musik modern, seperti lirik, video klip atau album artwork, sering menjadi sarana favorit para musisi untuk menyuarakan isi hati 3 Roy Shuker, Key Concepts in Popular Music (London: Routledge, 1998), h. 314. Dedi Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 19. 4 2 mereka. Dalam musik, para musisi berani untuk mengangkat isu-isu yang masih tabu di masyarakat. Lagu-lagu Tupac – seorang rapper asal Amerika Serikat, misalnya, seringkali bercerita tentang diskriminasi rasial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat AS pada saat itu. Musik diketahui memiliki fungsi komunikasi. Melalui lagu, musisi menjadikan musik sebagai media komunikasi untuk menyampaikan apa yang ada dalam benaknya. Dalam menulis sebuah lirik lagu, musisi kerap menggunakan metafora-metafora yang menggambarkan sebuah konsep. Metafora adalah sesuatu yang mengacu kepada gejala penggantian sebuah kata yang harfiah dengan sebuah kata lain yang figuratif. 5 Namun kebiasaan dalam menggunakan metafora pada lagu tak jarang menjadi pisau bermata dua. Makna-makna dalam lagu sering pula tidak dimengerti oleh para pendengarnya, bahkan menimbulkan multitafsir. Hal ini terjadi karena setiap orang memiliki latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda. Perbedaan interpretasi ini menyebabkan para musisi tak jarang menjadi bahan gunjingan masyarakat, yang menganggap bahwa mereka hanyalah mencari popularitas semata. Jika kita merujuk pada dekonstruksionisme yang dirintis Derrida, maka makna bukan sekedar tanda yang disepakati oleh banyak orang. Dengan kata lain, makna dari suatu kata atau kalimat tidak bisa dimaknai secara tunggal, tetapi juga dibuka peluang makna lainnya.6 Sehingga tidak mengherankan jika ada seseorang yang bisa berbeda dalam menafsirkan suatu kandungan teks, termasuk dalam lagu. Dalam gagasan semiotika post-strukturalis, juga disebutkan bahwa bahasa adalah 5 Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 170. 6 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 106. 3 suatu sistem pengungkapan yang tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Sehingga suatu kata atau kalimat bisa memperoleh pemaknaan yang lebih beragam. Sejak merebaknya tren band-band melayu di Indonesia, tema dalam setiap lagu menjadi terkesan selalu monoton. Banyak musisi yang selalu mengobral tema cinta yang basi dalam setiap lirik lagunya. Musik kemudian hanya menjadi alat pengeruk keuntungan dan popularitas semata. Demi kepentingan pasar, para musisi rela menyampingkan ideologi bermusik mereka. Mereka menjadi tidak sungguh-sungguh dalam menciptakan karyanya, asalkan bisa terkenal dengan cepat dan bisa mendapatkan banyak uang. Namun tidak semua musisi terperangkap dalam kekangan major label tersebut. Ada pula musisi-musisi independen (indie) yang tidak ingin dianggap sebagai barang jualan semata, sehingga mereka tidak memakai major label dalam memproduksi dan mempromosikan musiknya. Mereka merasa bahwa sebuah karya musik adalah karya kreatif yang bisa mengeluarkan ide-idenya tanpa terikat dengan kemauan pasar. Jadi dengan kata lain, musisi indie adalah musisi yang mandiri, bebas dan mencoba memegang teguh nilai-nilai otentik dalam karyakaryanya. Keunggulan musik indie dibandingkan dengan musik mainstream yang sering kita lihat di televisi bagi penulis adalah tema lagu yang selalu beragam. Contohnya mereka kerap menyisipkan kritik sosial mengenai korupsi, ketidakadilan, globalisasi dan lain sebagainya ke dalam lagu-lagunya. Dengan kemampuan kreatifnya, mereka menjadikan musik sebagai alat kontrol sosial dalam masyarakat. Mereka juga menjadikan musik sebagai media untuk 4 menyajikan realitas sosial yang terjadi sehari-hari di masyarakat. Sehingga dengan demikian, para musisi tersebut mengfungsikan musik sebagai sarana untuk berkomunikasi. Efek Rumah Kaca adalah salah satu dari para musisi independen tersebut. Grup band yang berasal dari Jakarta ini terdiri dari: Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (vokal, bass), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal). Band yang mengambil namanya dari isu global yang sangat menakutkan ini dikenal kerap mengangkat tema sosial, politik dan lingkungan ke dalam lagulagunya. Mereka sering menyisipkan „protes‟ dalam lagu-lagu dengan tidak secara eksplisit dan membuat kita harus melakukan aktivitas baca-tafsir untuk bisa memahaminya. Trio ini juga pernah mengisi suatu rubrik bertema politik di koran Kompas setiap hari sabtu dan sering diundang menjadi pembicara dalam diskusi-diskusi bertema sosial dan politik. Mereka juga kerap aktif dalam kampanye-kampanye tentang pelanggaran hak asasi manusia. Dengan melihat latar belakang keseharian mereka tersebut, menarik untuk melihat bagaimana karakter yang terbentuk dalam karya-karya mereka tersebut. Sampai saat ini Efek Rumah Kaca, sudah menghasilkan dua album, yaitu: Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008). Album pertama yang dinamai sama dengan nama bandnya, sukses meraih berbagai penghargaan, diantaranya: Editor’s Choise Award 2008 versi majalah Rolling Stone Indonesia, MTV Indonesia Award 2008 untuk kategori “Best Cutting Edge”, serta Nominator AMI Award 2008 untuk kategori “Best Alternative”. Debut album ini banyak bercerita 5 seputar budaya konsumerisme, pemanasan global, sampai kritik terhadap industri musik pada saat itu. Adalah Kamar Gelap, album kedua dari band ini yang menurut para kritikus musik lebih menunjukan kematangan Efek Rumah Kaca dalam berkarya. Album yang pernah meraih penghargaan sebagai album terbaik versi Indonesia Cutting Edge Music Award (ICEMA) di tahun 2010 ini disebut-sebut lebih variatif ketimbang album yang pertama. Beberapa resensi di portal musik menyimpulkan bahwa kritik sosial dan politik terasa lebih kuat pada lagu-lagu di album ini. Dalam resensi di situs http://jakartabeat.net pada tahun 2009, dikatakan bahwa album ini mencoba memotret realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Yulia Dian jurnalis DetikHot pada 2008, juga menulis bahwa album ini bukan sekadar kumpulan lagu, namun juga merupakan gambaran hidup.7 Terdapat 12 lagu dalam album yang dirilis oleh Aksara Records ini, diantaranya adalah: Tubuhmu Membiru... Tragis, Kau Dan Aku Menuju Ruang Hampa, Mosi Tidak Percaya, Lagu Kesepian, Hujan Jangan Marah, Kenakalan Remaja Di Era Informatika, Menjadi Indonesia, Kamar Gelap, Jangan Bakar Buku, Banyak Asap Di Sana, Laki-laki Pemalu, dan Balerina. Berdasarkan datadata tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap lagulagu Efek Rumah Kaca di album Kamar Gelap yang secara khusus memiliki signifikansi dengan tema sosial. Penulis tertarik untuk mengetahui penanda apa yang digunakan oleh Efek Rumah Kaca melalui lirik dalam album Kamar Gelap. Maka dari itu, penulis akan menggunakan metode analisis semiotika komunikasi sebagai cara untuk memahami makna tersebut. Lirik dalam album 7 http://hot.detik.com/music/read/2008/12/19/165654/1056630/217/1/efek-rumah-kaca-terangterangan-di-kamar-gelap. Diakses pada 27 Februari 2014. 6 Kamar Gelap ini akan penulis analisis dalam skripsi yang berjudul: “Kritik dan Potret Realitas Sosial dalam Musik (Analisis Semiotika pada Album Kamar Gelap Karya Efek Rumah Kaca).” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa makna denotasi dan konotasi serta mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca? 2. Bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam lagu-lagu Efek Rumah Kaca di album Kamar Gelap? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui makna denotasi dan konotasi serta mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca. 2. Untuk mengetahui bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam lagu-lagu Efek Rumah Kaca di album Kamar Gelap. D. Kegunaan Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu dari segi akademis maupun segi praktisnya. a. Manfaat akademis 7 Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bagi pengembangan penelitian kualitatif dan analisis semiotik. b. Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai proses pemaknaan lagu-lagu yang mengandung tema-tema sosial. Penelitian ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Tinjauan Pustaka Dalam penulisan penelitian ini, penulis menemukan ada karya ilmiah yang hampir sama, namun memiliki perbedaan pada fokus permasalahan penelitian dan ada juga yang berbeda metode analisisnya. Karya ilmiah tersebut yaitu: 1. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syarif, mahasiswa jurusan Komunikasi, Universitas Hasanuddin (2013), dengan judul skripsi yaitu: “Konstruksi Modernitas dalam Album Radiohead (Analisis Semiotika pada Lirik Lagu dan Artwork Album OK Computer)”. Fokus dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana modernitas dikonstruksi dalam album OK Computer karya grup band Radiohead. 2. Skripsi yang ditulis oleh Ferdi Yulian, mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2012), dengan judul skripsi yaitu: “Analisis 8 Wacana Terhadap Album Musik Anti Korupsi Group Band Slank”. Fokus dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana wacana anti korupsi dalam album Anti Korupsi karya grup band Slank. 3. Skripsi yang ditulis oleh Anwar Saputra, mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2013), dengan judul skripsi yaitu: “Kritik Sosial Politik Dalam Musik: Analisis Isi Lirik Lagu “Gosip Jalanan, Birokrasi Kompleks dan Kritis BBM” Grup Musik Slank”. Fokus dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana kritik sosial dan politik dari lirik lagu yang berjudul ”Gosip Jalanan, Birokrasi Kompleks dan Kritis BBM dari grup musik Slank, dan melalui analisis isi. F. Kerangka Teori 1. Kritik Sosial dan Konstruksi Realitas dalam Teks Media Keadaan sosial suatu masyarakat yang tidak berjalan dengan semestinya, memaksa beberapa kalangan untuk bertindak atau melakukan protes. Kritik sosial menjadi salah satu dari bentuk tindakan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik dipahami sebagai kecaman, atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sedangkan sosial adalah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Dengan demikian, kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi 9 yang berupa tanggapan terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, disertai dengan uraian tentang baik buruknya. Fungsi kritik sosial jelas sebagai kontrol dari proses atau jalannya sistem sosial. Mary Poovey dalam bukunya –seperti yang dikutip oleh Jacques Lacan, menjelaskan bahwa kritik yang bermakna sosial bisa memberikan sarana yang membuat manusia bisa memahami dunianya dan mendapatkan identitasnya, serta dengan kritik sosial kita bisa merumuskan dan mengungkapkan hasrat kita.8 Apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya kritik? Kita bisa melihatnya dari susunan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil hingga besar. Kelompok masyarakat tersebut tentunya mempunyai tradisi dan membentuk suatu aturan baik yang tertulis maupun tidak. Seiring berjalannya waktu, masuknya pengaruh budaya-budaya luar menyebabkan terjadinya perubahan dalam perilaku, norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kecaman dari beberapa kalangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kritik sosial tidak hanya ditujukan kepada kalangan masyarakat biasa, namun juga bisa dikhususkan kepada para pejabat pemerintahan atau politisi. Amien Rais menjelaskan bahwa kritik kepada elite politik biasanya berkenaan dengan masalah ada tidaknya high standarts of performance atau pelaksanaan fungsi dan tugasnya berdasarkan etos dan moralitas yang tinggi, sebagaimana selalu diharapkan oleh masyarakat luas dari pejabat atau elite politik, sebagai teladan dari masyarakat.9 8 Mark Bracher, 2009, Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar KritikBudaya Psikoanalisis (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 6. 9 Anwar Saputra, “Kritik Sosial Politik dalam Musik: Analisis Isi Lirik Lagu “Gosip Jalanan, Birokrasi Kompleks dan Kritis BBM” Grup Musik Slank,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013, h. 26. 10 Selain berupa gerakan seperti demonstrasi, mogok makan dan lain sebagainya, dalam sejarahnya kritik sosial juga dapat diekspresikan ke dalam bentuk seni dan budaya-budaya kontemporer lainnya. Film, musik, lukisan, dan lain sebagainya tak jarang menjadi media kritik yang ampuh kepada masyarakat atau pemerintah. Dengan seperangkat tanda-tanda yang disisipkan ke dalamnya, kritik dan sindiran diharapkan bisa diterima oleh masyarakat atau pemerintah, tanpa mereka harus tersinggung dan marah ketika menerimanya. Karena kritik bukanlah untuk menjelek-jelekan sesuatu, namun untuk mengoreksi hal-hal yang keliru atau tidak sesuai, demi memperoleh suatu kemajuan. Sejarah telah membuktikan bahwa kritik dalam konteks sosial selalu berproses secara beragam dengan cara membandingkan antara gagasan yang baru dengan gagasan yang lama. Di bab kedua nanti akan dijelaskan bagaimana kritisisme dari “Teori Kritis”, mengkritik keberadaan budaya industri/massa yang memberikan dampak ideologis bagi sekelompok masyarakat. Konstruksi Realitas Seperti yang telah disebutkan di atas, kritik sosial hadir karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan dalam sistem sosial. Gambaran mengenai realitas sosial yang terjadi kemudian mutlak harus dimiliki oleh para kritikus demi mendukung kritik-kritiknya tersebut. Konstruksi realitas sosial akhirnya dipandang penting demi mencapai misi-misi tertentu. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in Sociological of Knowledge (1966), 11 konstruksi sosial selalu sarat dengan kepentingan-kepentingan.10 Setiap peristiwa yang ada kemudian bisa dikemas dan dibentuk secara simbolis. Simbol-simbol tertentu dipilih berdasarkan ideologi sang komunikator. Dalam hal ini, bahasa memegang peranan penting dalam wilayah signifikasi atau penandaan. Bahasa kemudian digunakan untuk mensignifikasi makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakat. 11 Namun pengetahuan tersebut tentu saja tidak bisa dikatakan relevan bagi semua orang. Ferdinand de Saussure, seperti yang dikutip oleh Alex Sobur, pernah memaparkan bahwa tanda-tanda adalah konstruksi dari pandangan dan persepsi kita terhadap realitas. 12 Jika dilihat dalam konteks sosial, maka tanda menurut Saussure tidak hanya merepresentasikan realitas yang terjadi di masyarakat, tetapi juga bisa membentuk persepsi manusia. Dengan demikian, masyarakat harus lebih teliti dalam menyikapi berbagai tanda yang muncul, agar tidak terjadi salah baca (misreading) yang bisa berakibat fatal. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan realitas? Realitas sangat sulit untuk dijelaskan secara rinci. Sederhananya, realitas adalah kenyataan, atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: “hal yang nyata; yang benar-benar ada”. Menurut kritikus budaya Yasraf Amir Piliang, realitas sesungguhnya sangat kompleks dan selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apa yang kita lihat dan kita dengar (misalnya benda, musik, cuaca) bisa saja adalah sebuah realitas, namun tidak menutup kemungkinan jika yang kita lihat dan dengar tadi sebenarnya adalah tanda dari realitas yang sebenarnya. 10 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 24. 11 Ibid., h. 17. 12 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 87. 12 Teks media dalam sejarahnya, selalu memiliki ideologi atau kepentingankepentingan yang ingin dibawa. Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, menjelaskan bahwa teks media tersusun atas seperangkat tanda dan tidak pernah membawa makna tunggal.13 Dengan demikian, teks media tersebut bisa membawa bias-bias yang perlahan bisa menyusup ke dalam satu budaya tertentu. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Teks memiliki arti yang luas. Bisa berbentuk seperti berita, film, musik dan produk-produk budaya lainnya. Roland Barthes, seorang pakar semiotika dari Perancis, memiliki pemahaman yang luas dalam pengertian teks. Ia misalnya, berpendapat bahwa musik adalah salah satu contoh teks yang dapat dibaca. Sebagai bentuk teks, musik juga tentunya bisa menjadi media untuk mengkonstruksi atau memotret realitas. Karena pada dasarnya, setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, adalah usaha untuk mengkonstruksikan realitas. 14 Seorang musisi bisa saja menceritakan sebuah peristiwa lewat sebuah lagu yang diciptakannya. Lagu White Riot milik band punk The Clash misalnya, mengisahkan tentang kerusuhan yang dipicu oleh warga kulit hitam di London pada 1977. Lagu tersebut juga berisi semacam “ajakan” kepada pemuda kulit putih agar ikut bersama para warga kulit hitam dalam memprotes kesewenangan pemerintah. Fenomena tersebut menunjukan bahwa musik sebagai salah satu teks atau bahasa, tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi dalam menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran yang hendak ditanamkan kepada 13 14 Ibid., h. 95. Ibid., h. 88. 13 publik. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya.15 Kesadaran menjadi bagian yang terpenting dalam konstruksi sosial. 16 Karena kritik dan konstruksi realitas sosial dalam teks media selalu mengekspresikan sikap dan pilihan sang komunikator, dan juga dikomunikasikan melalui seperangkat tanda, maka semiotika bisa menjadi pendekatan yang terbaik dalam menganalisisnya. Pembahasan mengenai semiotika secara lebih dalam selanjutnya bisa dilihat dalam bab kedua skripsi ini. 2. Musik Sebagai Media Komunikasi Musik pada dasarnya adalah pengorganisasian suara yang terdiri dari beat, harmoni dan melodi, serta lirik lagu jika dalam konteks musik populer.17 Karena musik sifatnya adalah menyampaikan informasi dan makna dari sang musisi (komunikator) kepada pendengarnya (komunikan), maka musik bisa menjadi salah satu bentuk komunikasi.18 Namun kendala yang sering muncul dalam proses komunikasi ini adalah musik sering dianggap sebagai bahasa yang hanya dipahami oleh segelintir orang. Salah satu sebabnya adalah bahasa musik sering ditulis dalam berbagai simbol. Contoh yang paling sederhana bisa kita lihat dalam partitur yang ditulis dalam beragam simbol musik, yang tidak semua orang bisa paham. 15 Ibid., h. 90. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman, h. 25. 17 Roy Shuker, Key Concepts in Popular Music, h. 57. 18 Ibid., h. 56. 16 14 Marcel Danesi, dalam bukunya Pesan, Tanda dan Makna menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan dalam seni musik. 19 Pertama, musik klasik yang hanya tersebar di kalangan bangsawan dan lembaga keagamaan. Yang kedua, musik tradisional yang biasanya didengarkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Dan yang ketiga, adalah musik populer yang tersebar ke beragam kalangan masyarakat. Musik populer tidak akan tersebar tanpa melibatkan suatu media. Pembagian tiga tingkatan musik seperti yang dipaparkan oleh Danesi di atas, membuat musik bisa masuk ke dalam kajian media dan komunikasi. Inilah sebabnya musik bisa menjadi salah satu dari bentuk teks media. Musik kemudian tidak hanya menjadi bunyi-bunyian di telinga, namun juga sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pesan. Karena lagu-lagu seringkali memiliki fungsi ekspresif, khususnya pada wilayah semantik, maka dengan demikian ia dapat pula dianalisis melalui semiotika. Roland Barthes dalam esainya yang berjudul Musica Practica (1970), menulis bahwa seorang seniman –termasuk musisi, bisa mengalami beberapa tahap perkembangan gaya dalam karirnya. Ia mencontohkan Beethoven, seorang komposer yang dinilainya sebagai musisi pertama yang mencipta dengan bebas. Barthes menggambarkan Beethoven yang terus menerus terdorong untuk bermetamorfosis, dan menggunakan musik yang ia fungsikan sebagai bahasa untuk mencitrakan jati dirinya kepada pendengar. 19 Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, h. 243. 15 Dari contoh tersebut, kita bisa mengetahui bahwa karya seni seperti musik, bisa menjadi sebuah pesan yang disadap dari totalitas hidup sang seniman. 20 Lagu-lagu yang ia ciptakan seringkali merupakan jejak-jejak makna yang berisi ide dan karakter sang musisi. Namun seperti teks-teks lainnya, musik dapat diinterpretasi oleh pembaca berdasarkan ranah pemahaman pembaca. Pembacaan dikatakan berhasil apabila sang pembaca tersebut mampu membentuk teks baru dengan mengawinkan elemen-elemen yang dipahaminya. Konsep ini kembali menegaskan konsep Barthes lainnya yakni konotasi, di mana komunikasi adalah suatu proses tafsir di antara subjek-subjek pelakunya. Baik penulis maupun pembaca, sama-sama memproduksi makna berdasarkan nilai-nilai dan pemahaman yang mereka anut. Akibatnya musik pun bisa dimaknai secara konotatif oleh para pendengarnya. Makna yang timbul pun menjadi sangat beragam karena perbedaan budaya di antara para pendengar. Oleh karena itu, orientasi pembacaan karya pengarang tidak hanya ditujukan pada maksud si pengarang, namun diposisikan juga sebagai teks oleh pembacanya. Maka demikian, Roland Barthes juga membedakan antara karya dan teks. Baginya, pengarang adalah subjek yang menciptakan karya, sedangkan ketika karya tersebut pindah ke tangan pembaca maka ia menjadi teks. Teks selalu terbuka dengan aktivitas baca-tafsir maupun semiologi di kalangan pembacanya. Teks juga, seperti kata Barthes, bisa bebas dibaca-tafsir tanpa harus terbebani dengan kekangan makna yang diciptakan oleh 20 Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab,Penulisan dan Pembacaan Kritik Sastra (Terj.Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 155. 16 si pencipta karya. Lebih lanjut bisa dibaca dalam esai Roland Barthes yang berjudul “Kematian Pengarang” dan “Perbedaan antara Karya dan Teks”.21 Terinspirasi dari pembagian fenoteks dan genoteks seperti yang dilakukan oleh Julia Kristeva, Roland Barthes juga membagi teks lagu menjadi dua, yakni feno-lagu dan geno-lagu. Jika fenoteks adalah segala sesuatu di dalam bahasa yang berfungsi untuk komunikasi, representasi dan ekspresi, serta dapat membentuk nilai-nilai budaya, maka feno-lagu seperti yang diungkapkan oleh Barthes, berkaitan dengan segala sesuatu yang menangani bidang komunikasi, representasi atau ekspresi dari suatu lagu. Feno-lagu juga erat kaitannya dengan endapan-endapan nilai kultural, seperti cita rasa, gaya atau bahkan pikiran kritis dari si pencipta lagu. Sedangkan jika genoteks adalah sarana yang memuat seluruh evolusi historis bahasa dan aneka praktik penandaan 22 , maka geno-lagu adalah aktivitas yang berhubungan dengan produksi, yang melingkupi banyak pertandaan-pertandaan dalam musik. Geno-lagu tidak ada kaitannya sama sekali dengan komunikasi. Karena itulah geno-lagu tidak akan penulis bahas dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti tidak hanya memposisikan Efek Rumah Kaca sebagai pengarang, namun juga pembaca. Karena bagaimanapun juga, pengarang dan pembaca adalah subjek yang sama-sama membangun makna berdasarkan nilai dan kepentingannya masing-masing. Posisi si pengarang seringkali dipahami berdasarkan produk yang dihasilkannya, padahal ia juga aktif sebagai subjek pembaca atas lingkungan sosial di mana mereka hidup. Dalam menilai suatu karya, alangkah bagusnya jika kita memahami si pengarang terlebih dahulu, 21 22 Ibid., h. 145 dan 156. Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 152. 17 termasuk posisinya sebagai pembaca. Kemudian lirik lagu dan artwork dalam album Kamar Gelap kita pandang sebagai teks yang bermuatan kode-kode budaya. Maka demikian, pembacaan atas lagu-lagu Efek Rumah Kaca adalah pembacaan terhadap bagaimana kritik dan potret realitas sosial ditafsir dalam lirik lagu dan artwork dalam album tersebut. Dalam studi yang berkaitan dengan musik, ada empat level wilayah yang bisa dikaji, yakni: level teks, level produksi, level pendengar dan level konteks.23 Pada skripsi ini peneliti akan memilih level teks sebagai wilayah yang akan dikaji. G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif interpretatif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran secara deskriptif. Penelitian ini menitikberatkan kepada „proses‟ bukan „hasil‟. Penelitian ini bisa disebut sebagai penelitian interpretatif, karena data hasil yang dikumpulkan merupakan interpretasi terhadap data dari subjek penelitian. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri sumbersumber terkait yang berkenaan dengan permasalahan penelitian. Data primer bersumber dari lirik lagu dan artwork yang terdapat dalam 23 Level teks berkaitan dengan lirik atau bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari instrumen/alat musik. Level produksi berkaitan dengan proses produksi dalam dapur rekaman sebelum musik diedarkan. Level pendengar adalah tentang bagaimana musik itu diapresiasi oleh pendengarnya. Dan level konteks adalah tentang bagaimana situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya ketika musik tersebut muncul. 18 album Kamar Gelap, sedangkan data sekunder bersumber dari buku, internet, majalah dan wawancara. 3. Unit Analisis Unit analisis berupa data teks dari duabelas lirik lagu Efek Rumah Kaca dalam album Kamar Gelap, dengan masing-masing judul: Tubuhmu Membiru... Tragis, Kau Dan Aku Menuju Ruang Hampa, Mosi Tidak Percaya, Lagu Kesepian, Hujan Jangan Marah, Kenakalan Remaja Di Era Informatika, Menjadi Indonesia, Kamar Gelap, Jangan Bakar Buku, Banyak Asap Di Sana, Laki-laki Pemalu, dan Balerina. Serta berupa artwork yang terdapat dalam kemasan album. 4. Analisis Data Teknik analisis data didasarkan pada metode analisis semiotika konotasi Roland Barthes yang menekankan produksi tanda dengan mengkaji proses pertukaran makna dari sebuah tanda yang diciptakan seseorang dalam melakukan aktivitas komunikasi. H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima bab, yakni: BAB I : Bab pertama adalah Pendahuluan. Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. 19 BAB II : Bab kedua berisi landasan teori dan pembahasan yang menunjang isi penelitian ini, seperti sejarah singkat industri musik dan rekaman, teori kritis dalam musik kritis dan pengertian serta macam-macam semiotika. BAB III : Bab ketiga berisi profil Efek Rumah Kaca, beserta discography-nya (daftar album dan lagu). BAB IV: Bab keempat adalah hasil penelitian dan pembahasan. Berisi temuan makna denotasi, konotasi dan mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap. Juga menguraikan tentang bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam album tersebut. BAB V : Bab kelima adalah penutup. Bab ini berisi kesimpulan penelitan dan saran untuk subjek penelitian, juga untuk penyempurnaan penelitian ini sendiri. 20 BAB II MUSIK, TEORI KRITIS DAN SEMIOTIKA A. Sejarah Singkat Industri Musik dan Rekaman Jauh sebelum adanya teknologi rekaman, komersialisasi musik sudah dilakukan dengan cara menjual lembaran (sheet) musik yang berisi notasi sebuah lagu. selama masa Renaissance, para komposer musik klasik biasanya tidak hanya dibayar ketika memimpin sebuah konser, namun juga mereka memiliki pekerjaan sampingan yakni menuliskan dan menjual musik yang mereka ciptakan. Di tahun 1800, ketika musik folk dan mesin cetak mulai populer di Amerika Serikat, sheet musik menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. 24 Orang-orang ketika itu rela membeli berbagai sheet musik supaya bisa dipraktekan dengan piano di rumahnya masing-masing. Dunia rekaman mulai lahir ketika di tahun 1877, Thomas Alva Edison menciptakan alat perekam suara yang bernama fonograf. Cara kerja dari alat yang terbuat dari silinder berbungkus kertas timah itu adalah dengan merubah getaran udara menjadi alur udara yang meliputi sebuah rotasi silindris timah.25 Fonograf memakai prinsip dasar dari teknik rekaman digital, sebuah teknik yang ternyata masih bertahan hingga saat ini. Penemuan Edison tersebut kemudian menginspirasi berbagai penemuan-penemuan lainnya terkait dengan teknologi rekaman. 1 George Rodman, Mass Media in Changing World: History, Industry, Controversy (New York: McGraw-Hill, 2008), h. 216. 2 Idhar Rez, Music Records Indie Label (Bandung: DAR! Mizan, 2008), h. 69. 21 Pada 1887, Emile Berliner menciptakan alat baru yang diberi nama gramofon. Berbeda dengan fonograf yang memanfaatkan silinder, maka gramofon menggunakan piringan hitam untuk merekam suara. Kelebihan dari alat ini adalah, piringan hitam lebih murah dan lebih mudah diproduksi ketimbang silinder Edison. 26 Berliner bersama dengan Eldridge Johnson kemudian mendirikan perusahaan Victor Talking Machine Company dan menjual rekaman bintang opera Enrico Caruso. Jejak mereka ini kemudian diikuti oleh para pengusaha yang menjadikan dunia rekaman sebagai lahan bisnisnya. Menjelang abad ke-20, perusahaan-perusahaan penyedia alat rekaman tumbuh dan bersaing satu sama lain. Alat-alat seperti fonograf dan gramofon tersebar ke tempat-tempat hiburan dan rumah-rumah penduduk. Era baru mendengarkan musik pun muncul. Kini masyarakat tidak perlu lagi datang ke aula-aula konser untuk mendengarkan musik. Hiburan musik bisa dengan mudah diperoleh dalam setiap rumah. Sebelum Perang Dunia II, dunia rekaman belum mengenal istilah “album musik”. Dahulu setiap satu piringan hitam hanya berisi satu lagu dan berdurasi rata-rata 3 menit. Album musik baru muncul sekitar tahun 1940. Seperti album foto, saat itu satu album masih terdiri dari beberapa piringan hitam, tergantung berapa jumlah lagunya. Tetapi semua itu berubah ketika Peter Goldmark, seorang insinyur dan pekerja dari Colombia Records, berhasil menciptakan alat perekam panjang (long playing –LP record) yang dapat memutar musik selama 23 menit). 3 George Rodman, Mass Media in Changing World: History, Industry, Controversy, h. 217. 22 Sehingga dengan demikian, satu piringan hitam (vinyl) bisa menyimpan beberapa lagu. Berkembangnya teknologi radio di Amerika Serikat pada awal 1920an, turut mempengaruhi industri musik dan rekaman. Musik menjadi sajian utama pada awal perkembangan radio.27 Saat itu bahkan siaran musik mendominasi isi radio, disamping siaran berita. Karena kualitas rekaman yang masih kurang bagus, biasanya siaran musik pada waktu itu menampilkan musisi yang tampil secara langsung (live) di studio. Namun siaran musik di radio ini kemudian sempat membuat was-was pelaku rekaman yang takut tersaingi. Terutama di masa Great Depression, di mana banyak orang yang tidak bisa membeli musik rekaman karena lebih mahal ketimbang mendengar di radio. Walau industri rekaman sempat pesimis atas berkembangnya teknologi radio, namun justru ini semakin mendorong perusahaan rekaman untuk semakin memperbaiki kualitas rekamannya. Maka kemudian lahirlah rekaman elektrik pada tahun 1925, yang jelas semakin baik kualitasnya dibandingkan dengan yang terdahulu. Dengan cepat, teknologi rekaman elektrik ini dimanfaatkan secara baik oleh para perusahaan rekaman major. Sadar dengan potensi bisnis yang besar, pada 1926 industri rekaman mulai bekerja sama dengan radio dan sekaligus memasarkan suatu alat yang merupakan kombinasi dari fonograf dan radio. 28 Hal ini kemudian mendorong perusahaanperusahaan rekaman lainnya untuk bergabung dengan stasiun radio, contohnya seperti The Radio Corporation of America (RCA) yang kemudian bergabung dengan The Victor Talking Machine Company pada tahun 1928. 4 5 Idhar Rez, Music Records Indie Label, h. 74. Ibid., h. 75. 23 Ditemukannya teknologi radio FM, semakin meramaikan dunia musik di tahun 1950-1960an. Jika radio AM jangkauannya terlalu luas sehingga cenderung „main aman‟ dengan hanya menyiarkan musik-musik mainstream, maka radio FM yang jangkauannya lebih kecil bisa memberikan tempat pada studio-studio rekaman independen yang berskala kecil untuk memasarkan produknya. Dengan kata lain, tidak seperti radio AM, radio FM lebih menawarkan beragam genre seperti blues, jazz dan rock n‟ roll yang ternyata lebih menarik perhatian para penikmat musik dari kalangan muda.29 Seperti stasiun radio AM, label-label rekaman besar saat itu, seperti Columbia, Victor, Capitol, MGM atau Mercury, lebih suka bermain aman, yaitu dengan hanya memasarkan musik-musik yang mainstream. Sampai awal tahun 1950, musik di Amerika cenderung homogen. Musik pop bertempo lambat mendominasi isi siaran musik di radio-radio besar. Hal ini membuat kalangan remaja –yang memang selalu ingin mencari hal baru, mencoba untuk menciptakan musik baru yang lebih enerjik. Di pertengahan tahun 1950an, label-label kecil (independen) mulai merilis lagu-lagu yang berirama atau bertempo lebih cepat. Jenis musik yang kemudian dikenal dengan nama rock and roll ini, sebenarnya adalah campuran dari berbagai elemen seperti rhythm and blues, gospel dan musik country. 30 Kalangan kulit hitam punya andil besar dalam munculnya genre musik ini. Elvis Presley yang dikenal sebagai “raja rock and roll” pun terinspirasi dan banyak mengadaptasi gaya bermusik dari para musisi kulit hitam. 6 7 Roger Fidler, Mediamorfosis (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), h. 31. George Rodman, Mass Media in Changing World: History, Industry, Controversy, h. 220. 24 Tidak hanya di Amerika Serikat, musik rock juga mendapatkan tempat yang sangat besar di kalangan remaja di Inggris. Bahkan perkembangannya jauh lebih pesat ketimbang di AS. Band-band seperti The Beatles, The Rolling Stones atau The Who menjadi magnet besar bagi munculnya para pelaku bisnis musik. Terutama ketika band-band Inggris ini menginvasi tanah Amerika. Musik rock menjadi bisnis yang sangat menggiurkan dan menarik banyak penggemar dari berbagai kalangan. Musik rock juga melahirkan banyak genre lainnya seperti punk, metal dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian, rock menjadi jenis musik yang paling banyak berkembang dari waktu ke waktu. Pertumbuhan berbagai genre musik populer, sama pesatnya dengan perkembangan teknologi yang semakin memudahkan para pendengarnya. Mulai dari ditemukannya teknologi stereo, tape recorder, Compact Disc, sampai munculnya situs-situs yang menyediakan fitur untuk mengunduh (download) lagu-lagu secara bebas. Jika kita petakan, maka pertumbuhan industri musik dan rekaman dapat disederhanakan dan dicirikan dengan beberapa peristiwa penting berikut ini: 1. Penemuan alat-alat seperti fonograf oleh Thomas Edison, dan gramofon oleh Emile Berliner, yang menjadi cikal bakal munculnya industri rekaman. 2. Ampex menciptakan tape recorder berkualitas tinggi, dan Minnesota Mining and Manufacturing (3M) mengembangkan pita plastik. Penggunaan kaset membuat suara dapat diedit dan disempurnakan, sesuatu yang tidak dapat dilakukan pada piringan cakram.31 8 Shirley Biagi, Media/Impact: Pengantar Media Massa (Terj. Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 121. 25 3. Peter Goldmark menciptakan alat perekam panjang (long playing –LP record) yang dapat memutar musik selama 23 menit). 4. Pada tahun 1956, teknologi suara stereo mulai dikenal. 5. Perusahaan rekaman Motown mempopulerkan jenis musik blues dan rock and roll. 6. Pada 1979, Sony memperkenalkan alat musik stereo pribadi yang diberi nama Walkman. 7. Munculnya compact disc (CD) yang dapat memberikan suara yang jernih dan mengubah dunia musik dengan suara yang direkam pada plastik alumunium berukuran 4,7 inchi, serta diputar menggunakan laser.32 Sejak kemunculannya, CD secara otomatis menggantikan peran piringan hitam (vinyl) dan kaset (tape) sejak pertengahan 1980an. Keuntungan CD selain kualitasnya yang lebih baik dari kaset adalah: CD lebih praktis dan mudah dibawa kemana saja. 8. Adanya teknologi MP3 di tahun 1999, yang membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan musik dari internet. 9. Pada tahun 2003, Apple meluncurkan iTunes, sebuah toko musik online, dengan harga 99 sen per lagu.33 Munculnya teknologi radio FM, saluran televisi MTV, sampai adanya situs Napster, membuat musik semakin bisa dijangkau kemana saja. Baik musisi dan perusahaan rekaman semakin kreatif pula dalam mempromosikan album atau single yang mereka ciptakan. Dewasa ini, industri musik populer dikuasai oleh beberapa perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan besar terus berlomba-lomba 9 Ibid., h. 121. Ibid., h. 122. 10 26 dalam menciptakan “bintang populer” yang digandrungi oleh masyarakat umum. Layaknya perusahaan besar pada umumnya, orientasinya hanya satu, yakni keuntungan yang besar. B. Teori Kritis dalam Musik Kritis Musik ketika diiringi dengan tujuan komersil, maka semua yang diciptakan –baik lagu maupun album, harus juga mengikuti hukum pasar, yaitu menjual sesuai dengan apa yang digemari oleh masyarakat pada saat itu. Tujuan komersil ini tidak jauh berbeda dengan perusahaan-perusahaan lain yang mengejar keuntungan dengan sebanyak-banyaknya. Musisi pun tak punya banyak pilihan selain membuat sesuatu yang sesuai dengan keinginan pasar, walau mungkin itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si musisi. Nilai estetik dalam musik terpaksa tunduk oleh hasrat mencari keuntungan. Menurut Theodore Adorno dalam Dialectic of Enlightment34, musik populer dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas (keragaman) semu. 35 Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan.36 Hal ini bisa menjelaskan tentang permasalahan yang sering dialami oleh musik pop dalam hal originalitas. Standarisasi ini membuat musisi secara sadar maupun tak sadar, berkarya menurut standar yang berlaku. Setelah menstandarisasi musik, elit-elit industri juga membuat keragaman semu, dengan tujuan untuk mengaburkan keragaman rasa yang terdapat pada 11 Bisa dilihat di http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm. Dominic Strinati, Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Terj. Yogyakarta: Jejak, 2007), h. 73. 13 Ibid., h. 73. 12 27 setiap orang ketika menikmati musik. Dominic Strinati menjelaskan bahwa keragaman atau individualitas rasa adalah hal yang dihasilkan suatu produk budaya dalam mempengaruhi suasana individual. 37 Dalam konteks musik, individualitas rasa adalah hal yang bisa membangkitkan keragaman suasana atau atmosfir tertentu di antara para pendengar musik. Adorno mengambil contoh musik klasik karya Beethoven dalam hal standarisasi dan keragaman rasa. Musik klasik dinilai sebagai musik yang mampu menjelaskan tantangan fetisisme komoditas 38 karena musik klasik seperti Beethoven adalah musik serius yang meninggalkan komoditas. 39 Hal ini disebabkan karena musik klasik seperti ini mempunyai detail yang berbeda dengan musik klasik lainnya, sehingga menimbulkan keragaman rasa diantara para penggemarnya. Berbeda dengan musik klasik tersebut, musik pop yang telah distandarisasi justru semakin menihilkan adanya detail. Dengan standar yang sudah baku baik dari sisi produksi maupun konsumsi di masyarakat, musisi seakan tidak boleh banyak membuat variasi dalam menciptakan karyanya. Sedangkan masyarakat juga sulit untuk keluar dari “jalur” dalam memilih musik yang ingin didengarnya. Akibatnya seperti yang ditakutkan, muncul fetisisme komoditas, yang misalnya kemudian membuat masyarakat mengagung-agungkan sosok seorang musisi, ketimbang kualitas karya-karya yang telah dibuatnya. 14 Ibid., h. 70. Fetisisme komoditas adalah bagaimana industri melakukan suatu upaya agar masyarakat melakukan pemujaan yang salah terhadap suatu produk budaya. Contohnya sederhananya adalah seseorang yang lebih bangga memamerkan tiket konser yang mahal ketimbang menikmati konsernya itu sendiri. 16 Ibid., h. 74. 15 28 Agar keragaman rasa tersebut tidak keluar, maka para kapitalis yang berlindung dalam industri musik kemudian menciptakan keragaman semu agar masyarakat punya sedikit kebebasan atau pilihan dalam memilih musik pop. Keragaman semu diciptakan dengan cara memberi sedikit variasi untuk mengaburkan banyak kemiripan di dalam musik pop, sehingga terkesan berbeda padahal seragam. Dengan demikian walaupun sudah dimunculkan beberapa detail, namun standarisasi tetap berjalan karena pada dasarnya semua itu juga sudah distandarisasikan sebelumnya. Kemunculan fenomena seperti ini, menurut Adorno merupakan kehendak kaum kapitalis yang ingin memanipulasi selera musik masyarakat. 40 Mereka tergoda untuk menciptakan suatu pasar yang sangat menguntungkan dalam masyarakat demi kelangsungan bisnisnya. Musik bagi mereka hanya menjadi produk industri biasa yang bisa mengantarkan uang dalam jumlah banyak dan juga cepat. Komodifikasi budaya oleh para kapitalis ini jugalah yang kemudian menghilangkan pikiran kritis manusia yang sudah terlanjur tunduk pada tatanan yang sudah baku. Mahzab Frankfurt dengan tokoh-tokohnya seperti Theodore W. Adorno, Walter Benjamin, Erich Fromm, Herbert Marcuse Jurgen Habermas dan lain sebagainya, sering dikenal dengan teori kritisnya pada budaya populer. Banyak dari anggota Mazhab ini yang menganggap bahwa industri budaya hanyalah “pabrik selingan” yang merupakan hasil dari penyeragaman budaya yang menyisakan ruang kecil bagi aksi politis yang produktif,41 tak terkecuali musik. 17 John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop (Terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 148. John Hartley, Communication, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci (Terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 184. 18 29 Bagi kelompok Mahzab Frankfurt, masyarakat harus terlibat dalam kritik berkelanjutan. Hal ini demi memecah sistem kontekstual yang telah diterima. Dengan melakukan kritik, maka kita bisa membantu menciptakan kesadaran akan kemungkinan patahnya struktur dominasi yang ada.42 Kritisisme dari Teori Kritis Mahzab Frankfurt terletak pada usaha mereka untuk menyingkap dan menyobek selubung-selubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari kesadaran kita.43 Sehingga sesuai dengan gagasan Karl Marx, dengan kritisisme tersebut masyarakat bisa terbebas dari belenggu penindasan dan pengisapan. Para pemikir mazhab Frankfurt memang dikenal memiliki ketertarikan dengan pemikiran-pemikiran Karl Marx. Namun mereka memodifikasi pemikiran Marxist tersebut agar bisa lebih sesuai dengan tantangan budaya di zaman modern. Kritisisme mazhab Frankfurt juga tidak terlepas dari kritik. Mahzab ini dianggap terlalu memandang tinggi konspirasi dalam membentuk tingkah laku atau budaya, dan mengabaikan fakta bahwa budaya diciptakan melalui hubungan yang saling mempengaruhi. Berbeda dengan pandangan Adorno dan Mazhab Frankfurt, para pemikir dari Mazhab Birmingham memiliki perspektif yang memandang bahwa budaya popular bukanlah suatu budaya rendahan atau suatu hal yang remeh.44 Tokoh-tokoh cultural studies seperti Raymond Williams dan Richard Hoggart, beranggapan bahwa budaya bisa dilihat sebagai penentu dan juga bagian dari aktivitas sosial. Budaya juga merupakan area penting bagi reproduksi ketimpangan kekuatan sosial dan komponen utama dari ekonomi dunia yang meluas.45 19 Ibid., h. 185. Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 144. 21 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek (Terj.Yogyakarta : Bentang, 2004), h. 46. 22 John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 33. 20 30 Raymond Williams memahami kebudayaan sebagai suatu keseluruhan cara hidup. Williams memperhatikan pengalaman-pengalaman kelas pekerja dan aktivitas mereka dalam mengkonstruksi kebudayaan. Bagi Williams, kebudayaan berpusat pada makna sehari-hari, nilai, gagasan abstrak dan benda-benda baik simbolis maupun material yang dibangun secara kolektif.46 Richard Hoggart, seorang profesor pendiri Center for Cultural Studies, Universitas Birmingham juga meneliti ciri kebudayaan lewat aktivitas sehari-hari kelas pekerja mulai dari apa yang mereka lakukan di waktu luang hingga apa saja lagu-lagu populer yang mereka dengarkan. Pemikiran Hogart kemudian menjadi warisan yang penting, khususnya menyangkut makna dan praktik orang biasa dalam menjalani hidup sehari-harinya yang dengan cara tersebut mereka membangun sejarahnya.47 Secara umum, terdapat beberapa kesamaan antara perspektif cultural studies dengan mazhab Frankfurt. Keduanya sama-sama menganggap terjadi penurunan kesadaran radikal di antara para kelas pekerja, dan bahwa budaya media berperan dalam membentuk kelas pekerja menjadi masyarakat kapitalis. Serta budaya media juga turut membentuk hegemoni kaum kapitalis. Perbedaan yang signifikan antara penganut cultural studies dengan Mazhab Frankfurt salah satunya adalah: bahwa penganut cultural studies memandang budaya juga sebagai bagian dari teks dan juga bermuatan makna sehingga setiap saat berada dalam proses pembacaan.48 Para pemikir cultural studies memandang bahwa tidak ada perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya, antara budaya tinggi dan budaya rendah. Mereka beranggapan bahwa setiap 23 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, h. 40. Ibid., h. 41. 25 Ibid., h. 69. 24 31 budaya memiliki konteksnya masing-masing, sehingga juga dibutuhkan beragam perspektif untuk memahami masing-masing budaya tersebut. Dalam hal ini, audiens juga dipandang mampu menyeleksi kebudayaan, ketimbang hanya menjadi penerima yang pasif. Musik Kritis Kritik terhadap industri dan budaya juga telah coba dilakukan oleh musik itu sendiri. Musik populer sering juga memiliki kaitan dengan sejarah kritisisme sosial. Pemberontakan kaum muda di AS dan Inggris (baik kulit hitam maupun kulit putih) yang kemudian melahirkan musik rock and roll, pernah berhasil mematahkan dominasi musik klasik dan musik “cengeng” yang digandrungi oleh orang-orang kulit putih kelas atas. Musik yang dianggap liar tersebut menjadi simbol perlawanan kelas pekerja terhadap hegemoni budaya yang dilakukan oleh orang-orang kelas atas. Musik rock juga kemudian dimanfaatkan untuk memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sejalan dengan kemauan rakyat, seperti yang dilakukan oleh Bob Dylan atau grup musik The Who. Seiring tumbuh dan berkembangnya musik rock menjadi musik yang digemari oleh banyak kalangan, ia pun tidak lepas dari adanya kritik-kritik tajam. Musik punk lahir ketika kaum muda mulai bosan dan muak dengan musik rock yang dianggapnya telah kehilangan semangat seperti di awal kemunculannya. Musik rock yang saat itu berkembang menjadi berbagai subgenre seperti progressive rock, heavy metal dan lain sebagainya, dinilai telah kehilangan jiwa 32 “perlawanannya” dan kemudian hanya menjadi komoditas mainstream yang dimanfaatkan oleh kaum kapitalis. Ironis sebenarnya, karena lagu-lagu progressive rock juga sebenarnya mengandung banyak kritik sosial. Album The Dark Side of the Moon milik Pink Floyd contohnya, bercerita tentang modernitas yang membuat manusia menjadi gila dan menghamba kepada uang. Dalam perkembangannya, lagu-lagu progressive rock memang banyak mengambil tema mengenai modernitas dan konsumerisme yang menjangkiti banyak orang. Musik protes, musik-musik bertema kritis sosial, dalam sejarahnya memang selalu berhasil dan disukai banyak orang, terutama kaum muda. Bukan hanya karena mengandung nilai-nilai perlawanan di dalamnya, tapi juga karena memang bagus dari komposisi musiknya. Taufiq Rahman, jurnalis The Jakarta Post, pernah menulis bahwa komposisi-komposisi mutakhir tersebut selalu berhasil, karena musik tersebut memang diciptakan oleh musisi-musisi nomer satu yang serius berkesenian dimana kegiatan berfikir berbanding lurus dengan kegiatan kreatif mencipta lagu.49 Artinya, seperti yang dijelaskan lebih lanjut oleh Taufiq Rahman, lagu protes sosial hanya bisa lahir dari musisi-musisi bermutu semacam The Beatles, Sam Cooke, Nirvana atau Crosby, Stills, Nash and Young dan bukan band-band dan musisi kelas teri yang mungkin jarang membaca. Walaupun hal ini dapat diperdebatkan lagi, namun musik-musik kritik sosial selalu lahir dari musisimusisi yang jenius, yang selalu berpikir kritis terhadap banyak hal. 26 http://jakartabeat.net/kolom/konten/kenapa-lagu-protes-slank-iwan-fals-dan-rhoma-iramaberhasil. diakses pada 2 Mei 2014. 33 Di Indonesia, kita bisa mengambil contoh Iwan Fals yang lagu-lagunya banyak mengandung kritik sosial. Di masa Orde Baru, Iwan tak jarang diperiksa oleh pihak berwajib terkait dengan lagu-lagunya yang mengkritik pemerintah. Orde Baru bahkan menganggap lagu-lagu yang mengandung kritik sosial tersebut sebagai ancaman. Itulah sebabnya banyak perusahaan rekaman sulit untuk merekam lagu-lagu kritik sosial karena pengawasan yang ketat dari kepolisian. Gambaran realitas sosial dan politik yang terjadi pada masa Orde Baru memang dengan mudah bisa kita temukan dalam lirik-lirik lagu Iwan Fals. Liriklirik ciptaan Iwan Fals umumnya memang tidak sulit untuk ditafsirkan. Hal tersebut juga bisa kita temukan dalam lagu-lagu milik Harry Roesli, Doel Sumbang dan juga band Slank. Dewasa ini di Indonesia, musik bertema sosial lebih sering ditemukan dalam scene musik indie. Berbeda dengan Iwan Fals atau Slank, band-band indie yang sudah lama eksis seperti Efek Rumah Kaca, Navicula, Seringai dan lain sebagainya, lebih suka menggunakan bahasa yang metaforis dalam lirik-lirik lagunya, sehingga pendengar harus mencernanya dengan baik agar bisa menemukan makna kritik sosialnya. Penggunaan musik sebagai media untuk menyampaikan aspirasi, seharusnya memang bukan hal yang asing lagi di kalangan musisi. Untuk menjalankan fungsi komunikasi massa, musisi bisa memotret realitas dan mengeluarkan kritik-kritik sosialnya yang dianggap perlu. Karena keberadaan kritik, apapun medianya, sangat penting demi pengawasan suatu kebijakan atau fenomena yang terjadi dalam suatu bangsa. Dan tentu saja demi kemajuan bangsa itu sendiri. 34 C. Pengertian dan Macam-macam Semiotika Manusia sejak dahulu mendefinisikan sejarahnya melalui seperangkat tandatanda. Bahkan hal itu sudah dilakukan sejak jaman prasejarah. Segala hal yang ditangkap oleh pikiran manusia, selalu diungkapkan dan diwakili oleh tanda. Maka dari itulah, tanda kemudian memiliki pengertian sebagai representasi dari berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karena manusia adalah homo culturalis (meminjam istilah dari Marcel Danesi dan P. Perron), yakni sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya, maka seiring dengan majunya peradaban, keberadaan tanda dipandang menjadi sangat penting dalam meneliti seluk beluk kebudayaan manusia. Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Charles Sanders Pierce, bahwa tanpa tanda kita tidak akan dapat berkomunikasi.50 Karena makna yang terdapat pada kehidupan manusia, selalu berada pada sistem tanda-tanda. Ada tiga poin penting yang harus kita ingat sebelum menelaah berbagai tanda yang akan diselidiki.51 1. Tanda bukan hanya ulasan tentang dunia, tapi merupakan bagian dari dunia. Khususnya dalam konteks sosial. 2. Tanda tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga memproduksi makna. 3. Tanda memproduksi banyak makna. John Hartley, seorang profesor dan juga penulis buku-buku cultural studies memaparkan bahwa tanda juga haruslah memiliki tiga karakteristik:52 27 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 124. Tony Twhaites, dkk., Introducing and Cultural Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik (Yogyakarta: Jalasutra, 2009) h. 13-14. 29 John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 295. 28 35 1. Harus memiliki bentuk fisik, sehingga kita bisa melihatnya, mendengarnya, menciumnya, dan menyentuhnya. 2. Tanda harus mengacu kepada sesuau selain dirinya. 3. Tanda harus digunakan dan dikenali sebagai tanda. Jadi, tanda bisa menjadi unsur atau sistem budaya bersama. Benny H. Hoed juga memaparkan bahwa dalam memahami tanda sebagai objek kajian semiotika, peneliti harus melihatnya berdasarkan tiga jenis dimensi, yaitu:53 1. Dimensi temporal: sinkronis atau diakronis atau dinamis. 2. Dimensi notasional: melihat makna tanda secara denotatif, konotatif atau anotatif (secara individual). 3. Dimensi struktural: pemaknaan dari segi paradigmatik, sintagmatik, atau analogis. Semiotika dianggap sebagai model yang sangat penting dalam mempelajari sederetan tanda-tanda. Banyak ahli yang sepakat bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semiotika sendiri secara bahasa berasal dari kata Yunani yaitu semeion, yang berarti “tanda”. Kemudian secara terminologis, Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. 54 Semiotika selalu berkembang seiring dengan banyaknya fenomena sosial dan budaya yang dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. 30 31 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: FIB UI Depok, 2008), h. 22. Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 95. 36 Semiotika secara sederhana, selalu berusaha untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan “sesuatu”, dan “sesuatu” tersebut dapat berupa isyarat atau bahasa, atau pula komposisi dalam teks media. Walaupun semiotika dianggap bukan sebagai disiplin ilmu yang pasti, tetapi pengaruhnya pada cara resmi dalam pendekatan teks media cukup dipertimbangkan.55 Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (18391941) dianggap sebagai dua tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan semiotika. Walaupun keduanya bisa dikatakan hidup di jaman yang sama, namun keduanya berbeda dalam menggunakan istilah semiotika/semiologi. Namun hal itu tidak terlalu menjadi masalah yang serius. Perbedaan istilah ini seperti yang dituliskan oleh Alex Sobur hanya menunjukan perbedaan orientasi. 56 Semiologi mengacu kepada tradisi linguistik Eropa yang bermula dari Saussure. Sedangkan semiotika mengacu kepada tradisi filsafat Amerika Serikat yang bermula dari Pierce. Filsuf asal Amerika tersebut memandang semiotika sebagai sinonim atau perluasan logika. Sedangkan Saussure, sebagai seorang sarjana lingusitik, memandang linguistik lebih penting dari kecanggihan logika. Agar tidak terjadi perbedaan implikasi filosofis dari dua istilah tersebut, maka dalam tulisan ini penulis memilih menggunakan istilah semiotika, karena seperti yang dipaparkan oleh Umberto Eco, hal ini sudah dengan resolusi dari komite internasional di Paris pada bulan Januari 1969. Dan kemudian dikukuhkan 32 33 John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 278. Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 107. 37 oleh Association for Semiotics Studies pada kongresnya yang pertama tahun 1974.57 Bagi Pierce, semiotika adalah tindakan, pengaruh dan kerja sama dari tanda (sign), objek (object) dan interpretan (interpretant). 58 Tanda menurut Pierce, seperti yang dikutip oleh Umberto Eco, adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dipahami oleh Pierce dan para pragmatis lainnya, sebagai suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera. 59 Sesuatu yang dirujuk oleh tanda itu disebut objek. Sedangkan interpretan dipahami sebagai tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh tanda. Hubungan antara ketiga elemen di atas bisa disebut sebagai teori segitiga makna (triangle meaning). Ketika ketiga elemen ini berinteraksi dalam benak manusia, maka munculah makna sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Yang dikupas oleh Pierce dalam teori ini adalah bagaimana makna bisa muncul lewat sebuah tanda ketika tanda tersebut dipakai oleh manusia pada saat berkomunikasi.60 Gagasan dari teori Pierce bersifat menyeluruh. Ia melakukan deskripsi struktural atas semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotika seperti yang maksud oleh Pierce adalah dengan membongkar bahasa secara keseluruhan seperti seorang ahli fisika yang membongkar suatu zat 34 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 13. Ibid., h. 109. 36 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 4. 37 John Fiske, Cultural and Communication Study: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 42. 35 38 dan kemudian menyediakan model teoritis untuk menunjukkan bagaimana semuanya bertemu dalam sebuah struktur. Dalam tanda, Pierce membagi konsep mengenai qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah sesuatu yang berkaitan dengan kualitas, atau ia bisa menjadi tanda walau belum mewujud. Qualisigns, bisa dibilang adalah tandatanda yang berdasarkan suatu sifat. Contohnya ialah warna „merah‟. Merah memungkinkan dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisign karena merupakan tanda pada suatu bidang yang mungkin. Agar benar-benar berfungsi sebagai tanda, qualisign itu harus memperoleh bentuk. Misalnya jika berbentuk palang maka berarti adalah lambang dari Palang Merah. Sinsigns adalah sesuatu yang berkaitan dengan kenyataan (aktual). Sinsign, adalah tanda yang merupakan representasi tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat menjadi sinsign. Contoh dari sinsign adalah sebuah jeritan yang bisa berarti kesakitan atau ketakutan. Kemudian terdapat konsep Legisigns. Legisign adalah sesuatu yang berkaitan dengan kaidah atau prinsip. Legisign, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi. Lampu lalu lintas sebagai contoh, merupakan sebuah legisign. Kemudian bahasa, gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya yang sudah disepakati secara umum dan konvensional adalah merupakan legisign. Dalam objek, dikenal konsep berupa icon, index dan symbol. Icon adalah sesuatu tanda yang serupa dengan bentuk objeknya. Icon didasarkan pada 39 kemiripan di antara tanda dan objeknya. Contohnya bisa dilihat pada pada gambar atau lukisan. Kemudian index yaitu sesuatu yang memiliki kaitan fisik di antara tanda dan objek, yang di mana karakternya akan hilang jika tanda atau objeknya dihilangkan. Misalnya seperti suara, bau, gerak dan lain sebagainya. Terakhir, symbol adalah sesuatu tanda yang merujuk pada objek tertentu, yang terbentuk melalui kaidah-kaidah yang secara umum telah lazim atau murni berasal dari pemahaman bersama. Contohnya seperti unsur-unsur leksikal di dalam kosakata suatu bahasa. Kemudian dalam interpretan, terdapat tiga konsep yaitu: rheme, decisign dan argument. Rheme adalah penanda yang berkaitan dengan objek petanda bagi penafsir. Kedua, decisign yaitu penanda yang menampilkan informasi bagi petandanya. Dan yang ketiga, Argument yaitu penanda yang petanda akhirnya bukan suatu benda tetapi kaidah. Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik dari Swiss, memaparkan bahwa tanda lahir ketika terjadi hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Bagi Saussure, kedua hal ini menjadi dasar pembentuk tanda dan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Signifier merupakan citra yang terbentuk dari kognisi pemakai tanda dari suatu bunyi, material, warna dan juga dapat diinderai, sedangkan signified berkaitan dengan pengertian, konsep atau gambaran mental dalam pikiran kita. Kombinasi dari suatu konsep dan suatu citra bunyi inilah yang kemudian menghasilkan tanda.61 Hubungan antara signifier dan signified tersebut 38 Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 30. 40 kemudian dinamakan significaton. Signification secara singkat, seperti menurut John Fiske adalah: upaya dalam memberi makna pada dunia.62 Pokok-pokok pikiran linguistik Saussure yang utama mendasari diri pada pembedaan beberapa pasangan konsep. 63 Pertama, yaitu konsepnya tentang bahasa (langage), dengan pasangan konsep langue dan parole. Kedua, dua jenis pendekatan dalam linguistik, yaitu sinkronik dan diakronik. Dan yang ketiga, konsepnya tentang tanda dengan pasangan penanda (signifier) dan petanda (signified). Langue menurut Sobur adalah suatu pengetahuan dan kesadaran yang secara kolektif dimiliki suatu masyarakat mengenai sesuatu hal, sedangkan parole adalah bahasa yang hidup atau sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. 64 Jika langue adalah sistem abstrak yang mendasari linguistik, maka parole lebih memuat percakapan individu. Parole sesungguhnya adalah penerapan langue dalam kehidupan bermasyarakat.65 Ahli linguistik dari Swiss ini juga membedakan dua jenis pendekatan dalam linguistik, menjadi sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah pendekatan yang berkonsentrasi pada keadaan bahasa pada saat tertentu, sedangkan diakronik adalah pendekatan yang berkonsentrasi pada perubahan bahasa dari waktu ke waktu.66 Saussure mendefenisikan tanda sebagai sesuatu yang terdiri atas penanda dan petanda. Hubungan antara penanda dan petanda ini bersifat arbitrer, atau 39 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 125. Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 51. 41 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 114. 42 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 28. 43 John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 282 40 41 mana-suka. Arbitrer di sini bukan berarti jika pemilihan penanda-penanda tersebut sepenuhnya terserah pada si penutur, melainkan bahwa pemilihan tersebut tak bermotivasi, atau tak berhubungan secara alamiah dengan hal yang ditandai (petanda).67 Sesuatu dapat menjadi tanda apabila ada sistem tanda yang bersifat diferensial. Sebagaimana halnya penanda, petanda pun bersifat diferensial atau relasional. Saussure pada dasarnya mengusulkan bahwa bahasa bekerja sebagai sistem perbedaan, dimana unsur apapun adalah arbitrer, terdiri atas hal-hal yang tidak dimiliki oleh sistem lain.68 Bagi Saussure, hubungan penanda dan petanda ini tidak akan pernah bisa dilepaskan. Tanda menurut Ferdinand de Saussure juga tersusun atas suatu susunan yang dikenal dengan susunan sintagmatik. Susunan ini bisa diamati secara langsung, bersifat linier dan mengikuti urutan tertentu. Komponen-komponen dalam susunan ini kemudian saling berhubungan dan membentuk satu makna. Contohnya dalam kata persatuan, maka kita akan bisa melihat hubungan antara per-, satu, dan –an. Jika komponen tersebut dibalik, maka tidak akan bisa membentuk makna persatuan. Hubungan antartanda juga terhubung atas suatu paradigma, sehingga disebut paradigmatik. Misalnya kita lihat dalam hubungan persatuan, bersatu, menyatukan dan lain sebagainya. Dalam paradigma ini, kata satu menjadi kata dasar, sedangkan unsur-unsur lainnya adalah imbuhan. Perbedaan imbuhan yang menyebabkan perbedaan makna tersebut, terjadi secara tak langsung dalam ingatan atau secara asosiatif. 44 45 Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 132. Ibid., h. 278. 42 Roland Barthes kemudian melihat adanya kemungkinan yang berbeda dari sifat hubungan signifier (penanda) dan signified (petanda) seperti yang digagas oleh Saussure. Menurutnya, signification juga bergantung pada nilai budaya yang dianut bersama. signified tidak harus selalu berpegang pada signifier yang dianggap sesuai dengan arti bahasa secara umum dengannya. Tikus misalnya, sebagai sebuah signified, dalam pandangan Saussure, hanyalah seekor binatang pengerat yang lazim kita lihat. Namun, oleh Barthes, ternyata tikus sebagai signified memiliki kemungkinan lain menjadi signifier yang merujuk pada ungkapan politisi atau pejabat yang korup. Pandangan Barthes ini berkonsekuensi bahwa tanda pada dirinya selalu memiliki kemungkinan untuk mendapatkan pemaknaan yang bertingkat. Di tahap awal, kata (ujaran atau tulisan) tikus memainkan perannya sebagai signified yang memiliki signifier tertentu di dalam benak. Makna dalam tahap ini, hadir dalam ungkapan lahir tanda yang disebut Barthes sebagai tahap denotasi, yaitu sebutan untuk makna yang dikenal secara umum. Denotasi mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap, 69 dan sering dikaitkan dengan ketertutupan makna. Namun, di tahap kedua, signifier tikus yang tertanam dalam benak, dapat keluar kembali menjadi signified. Ia mengambil bentuk signified sebelumnya, kemudian mengosongkan isi-nya, dan mengisinya kembali dengan bentuk baru signified yang mempunyai kemungkinan signifier yang lain, misalnya sebagai simbol politisi atau pejabat yang korup. Barthes menamakan tahap ini sebagai tahap konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda 46 Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, h. 140. 43 sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. 70 Sejarah pemakaian suatu kata, sangat berpengaruh terhadap munculnya makna dalam konotasi. Dari konotasi inilah kemudian muncul mitos yang mengakar di masyarakat. Mitos yang dimaksud adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas.71 Mitos, seperti yang dipaparkan oleh Sobur, adalah produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi di kalangan masyarakat. Proses signifikasi kedua dalam lapis konotasi ini dapat berlangsung secara terus-menerus. Makna dapat lahir dari signified yang telah disusupi signifier, dalam rantai pertandaan yang tanpa henti. Tikus sebagai denotasi dimaknai kembali sebagai konotasi tikus tahap pertama, dan konotasi tahap pertama tersebut dapat lahir lagi dalam konotasi dengan kemungkinan-kemungkinan maknanya yang lain dalam tahap kedua, ketiga, dan seterusnya. Hal ini sebenarnya sesuai dengan teori dari Umberto Eco yang menyatakan bahwa penerima tanda, selalu bisa memproduksi berbagai tanda baru dalam memaknai tanda tersebut. Teori tanda dari Roland Barthes sebenarnya hampir sama dengan metode dekonstruksi dari J. Derrida. Walau Barthes dan Derrida selalu berupaya untuk memperoleh pemaknaan baru dari hubungan penanda-petanda, namun keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Jika Derrida lebih suka menunda (mendekonstruksi) hubungan penanda-petanda untuk mendapatkan makna secara lebih mandiri (individual), maka Barthes mengembangkan hubungan penandapetanda menjadi konotasi yang dimiliki oleh budaya masyarakat tertentu (bukan 47 48 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 12. Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128. 44 individual). Dengan mempelajari konotasi-konotasi inilah, ideologi yang terkandung dalam teks, dan mengandung nilai-nilai dari suatu kebudayaan, kemudian bisa kita temukan. Teori semiotika Barthes juga sebenarnya adalah teori yang struktural dan dikotomis seperti yang dipaparkan oleh Saussure. Namun teori dari Barthes tentunya lebih dinamis, terbuka dan memberi kesempatan kepada kognisi atau pikiran manusia untuk lebih berperan aktif dalam hal interpretasi makna. Dari Roland Barthes, Derrida atau Umberto Eco, kita bisa mengetahui bahwa kebudayaan adalah objek kajian utama dari semiotika. Dengan semiotika, kita bisa memahami teks media atau kebudayaan secara lebih terstruktur dan menyeluruh. Sebagai penutup dari tulisan di bab ini, ada baiknya kita menyimak dan merenungkan pendapat dari Danesi dan Perron, seperti yang dikutip oleh Benny H. Hoed dalam bukunya. Marcel Danesi dan Perron menjelaskan bahwa tujuan semiotika yaitu adalah untuk memahami kemampuan otak kita dalam memproduksi dan memahami tanda serta juga kegiatan untuk membangun pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia.72 49 Ibid., h. 21. 45 BAB III PROFIL DAN DISCOGRAPHY EFEK RUMAH KACA A. Profil Efek Rumah Kaca73 Adrian Yunan Faisal (bass, vokal latar) dan Cholil Mahmud (vokal, gitar) sebenarnya sudah saling mengenal sejak tahun 1991, sejak keduanya bersekolah di SMA yang sama, yakni SMAN 47 Jakarta. Mereka berdua juga diketahui sudah hobi bermain musik dengan bandnya masing-masing. Namun barulah pada 1998, keduanya bersatu untuk membentuk satu band baru. Bersama dengan Hendra (gitar) dan Sita (piano), band ini mencoba untuk mencari identitasnya, namun karena tidak kunjung ketemu, maka Hendra dan Sita pun kemudian keluar dari band. Sejak tahun 2001-2007, bersama dengan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar), ketiganya rutin latihan seminggu sekali. Di awal kegiatan bermusiknya, motivasi mereka saat itu sangat sederhana: hanya bersenang-senang dan iseng membuat lagu dan album. Barulah kemudian di tahun 2003, mereka mulai menemukan konsep bermusik yang akan dipakai oleh band ini ke depannya. Mereka pun mulai membuat demo lagu (eksperimen) dan mengirimkannya ke beberapa label. Setelah mengenal Harlan Bur yang kini menjadi manajer dari Efek Rumah Kaca, mereka pun mulai memahami kultur musik independen dan berani bermain di acara-acara (event) komunitas. Setelah merilis album pertama, barulah diketahui bahwa konsep yang mereka usung disukai oleh banyak 1 Tulisan profil ini dirangkum dari wawancara yang dilakukan oleh Finroll.com, dan dimuat juga dalam situs resmi http://efekrumahkaca.net. 46 penggemar musik independen. Tawaran untuk manggung pun akhirnya semakin banyak. Nama Efek Rumah Kaca diambil dari lagu yang terdapat di album pertama. Awalnya mereka memakai beberapa nama seperti Hush dan Superego. Namun karena ada band lain yang sudah memakainya, maka terpaksa diganti menjadi Efek Rumah Kaca. Harlan Bur, sang manajerlah yang mengajukan nama tersebut pada 2005. Mengenai genre, Efek Rumah Kaca mengaku tidak terlalu mengkhususkan diri pada satu genre. Mereka tidak ambil pusing dengan satu genre tertentu dan lebih fokus untuk mendapatkan soul bermusik. Namun jika kita melihat dua album yang telah dibuat –Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008), maka bisa katakan bahwa genre pop lebih mendominasi, dan juga sedikit sentuhan rock di album yang kedua. Efek Rumah Kaca lebih memilih jalur musik independen (indie) ketimbang melalui label-label rekaman besar. Pilihan tersebut berawal dari adanya suatu keresahan. Mereka resah jika dipaksa untuk mengikuti kemauan label besar dalam setiap arahan musiknya. Karena hal tersebut hanya menghambat kreatifitas ERK sendiri. Sehingga mereka lebih suka mengambil jalan sendiri dan mengelola semuanya secara mandiri, alias secara independen. Dengan demikian mereka bisa menjiwai musik itu sendiri tanpa adanya tekanan dari manapun juga. Dalam menciptakan lagu, ERK biasanya menyiapkan materi nada dan aransemennya terlebih dahulu. Setelah dirasa bagus, barulah lirik masuk dan menyesuaikan. Seluruh anggota mempunyai porsi yang sama dalam membuat lagu, dengan Cholil diberi jatah yang banyak dalam hal lirik. Mereka juga tidak 47 menggunakan istilah “enam bar” layaknya band-band Indonesia belakangan ini. Jika lagu yang diciptakan dirasa mirip dengan karya orang lain, maka lagu tersebut akan segera diganti atau dibatalkan. Untuk referensi bermusik, mereka mengambil baik dari band/musisi lokal maupun luar, sebut saja: Jon Anderson, Peter Gabriel, The Beatles, Sting, Smashing Pumpkins, Bjork, Radiohead, Jeff Buckley, Rufus Wainwright, Sufjan Stevens, Billie Holiday, Iwan Fals, Eros Djarot, Guruh Sukarno Putra, Chrisye, Sore, Santamonica, dan Zeke And The Popo. Pengaruh paling besar berasal dari Radiohead dan Jeff Buckley. Ini terlihat dari vokal Cholil yang tinggi dan menyeret-nyeret seperti pada vokalis Radiohead dan Jeff Buckley. Namun tetap saja, sebesar apapun pengaruhnya, hal itu tidak akan membuat mereka merasa “terpenjara” dalam menciptakan lagu. Selain bermusik, para personil ERK juga rajin memonitor perkembangan band-band indie lainnya. Mereka juga menjalin hubungan pertemanan yang erat dengan band-band tersebut. Para personil ERK bahkan kagum dengan para musisi indie tersebut, yang selalu berani bereksplorasi, sehingga terkesan tidak membosankan dan “itu-itu saja”. Terutama band-band dari Yogyakarta seperti Melancholic Bitch perkembangannya. dan Risky Summerbee Walau hanya sebatas yang sering mengikuti mereka ikuti lewat situs www.myspace.com. Setelah dirasa cukup mengetahui medan musik independen, Efek Rumah Kaca mengaku mempunyai gagasan yang lebih liar dan berani, yaitu dengan tidak membuat lagu dengan tema atau materi yang sama. Mereka akan selalu mencoba mencari formula yang lebih baru dan tidak akan malu-malu untuk membuat lagu 48 yang berisi kemarahan. Bahkan Cholil, sang vokalis, sudah menyiapkan amunisi lirik untuk lagu bertema “kemarahan” tersebut. Bagi Efek Rumah Kaca, ciri khas atau trademark sebuah band memang sangat penting. Namun hal itu tidak membuat ERK untuk berhenti mencari banyak hal baru. Karena personil ERK pun mengakui selalu bosan jika harus memainkan lagu yang sama dalam setiap penampilannya. Bahkan ERK siap untuk memulai dari nol lagi ketika menyiapkan materi yang baru. Sejauh ini pola yang dipakai oleh ERK untuk memasarkan karyanya tetap konvensional, yaitu melalui label mereka Aksara Records. Namun terkadang mereka juga sering menjual langsung CD albumnya ketika diundang dalam sebuah event. Bahkan mereka tekadang rela menukar CD tersebut dengan honor yang ditawarkan penyelenggara acara. Selain sebagai musisi, para personil Efek Rumah Kaca juga dikenal giat dalam berbagai kegiatan sosial atau kemanusiaan. Cholil, sang vokalis, tak jarang terlibat dalam berbagai kegiatan Kontras. Pendapatan dari RBT lagu “Di Udara” juga ternyata disumbangkan kepada Kasum (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Mereka juga selalu mencoba berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan bertema lingkungan hidup. Efek Rumah Kaca sebenarnya punya mimpi besar yakni membuat label sendiri dan membantu menerbitkan band indie lainnya kepada masyarakat. Karena kemunculan ERK sendiri tidak lepas dari bantuan orang lain, maka kini mereka mencoba untuk membantu band-band indie lainnya untuk bisa tampil dalam dunia musik di Indonesia. 49 Discography: Efek Rumah Kaca (Aksara Records, 2007) Daftar Lagu: 1. Jalang (4:43) 2. Jatuh Cinta itu Biasa Saja (5:15) 3. Bukan Lawan Jenis (4:38) 4. Belanja Terus Sampai Mati (4:24) 5. Insomnia (4:19) 6. Debu-debu Beterbangan (4:59) 7. Di Udara (4:36) 8. Efek Rumah Kaca (3:30) 9. Melankolia (5:04) 10. Cinta Melulu (4:23) 11. Sebelah Mata (4:30) 12. Desember (4:17) Kamar Gelap (Aksara Records, 2008) Daftar Lagu: 1. Tubuhmu Membiru... Tragis (6:50) 2. Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa (4:02) 3. Mosi Tidak Percaya (3:54) 4. Lagu Kesepian (4:30) 5. Hujan Jangan Marah (4:30) 6. Kenakalan Remaja di Era Informatika (4:23) 50 7. Menjadi Indonesia (4:40) 8. Kamar Gelap (4:45) 9. Jangan Bakar Buku (4:44) 10. Banyak Asap di Sana (4:06) 11. Laki-laki Pemalu (5:14) 12. Ballerina (4:03) B. Efek Rumah Kaca: Komposisi Lirik Cerdas nan Puitis Gambar 1 Rilis : 2007 Genre : Pop, Rock Label : Paviliun Records Produser : Harlan Boer 51 Album pertama dari Efek Rumah Kaca mengambil tema sosial, politik, lingkungan dan juga kemanusiaan. Sangat jarang ada sebuah band di masa kini yangg berani mengambil tema-tema berat tersebut. Kebanyakan lebih suka main aman dengan membuat lagu-lagu bertema cinta yang liriknya sudah sangat klise dan banal. Ini jugalah yang kemudian disindir oleh ERK dalam lagu yang berjudul “Cinta Melulu”. Nada-nada yang minor Lagu perselingkuhan Atas nama pasar semuanya begitu klise Elegi patah hati Ode pengusir rindu Atas nama pasar semuanya begitu banal Penggalan lirik dari lagu “Cinta Melulu” di atas merupakan sindiran telak bagi para pelaku industri musik, entah itu musisi atau label rekaman, yang seakan tidak mau bereksperimen dan memilih bermain aman demi meraih popularitas dengan cepat. Dalam satu wawancara dengan stasiun televisi NET, Cholil Mahmud, sang vokalis, sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan tema cinta yang ingin diambil para musisi. 74 Namun dari tema cinta tersebut sebenarnya masih bisa digali lebih banyak lagi agar sudut pandang dan liriknya tidak “itu-itu aja”. 2 Pendapat Cholil tersebut bisa dilihat di sini http://www.youtube.com/watch?v=dIb4yRjW_jg. 52 Kita bisa melihat contohnya dalam lagu “Jatuh Cinta itu Biasa Saja”. Dalam lagu ini, Efek Rumah Kaca mengambil tema cinta namun dengan sudut pandang seseorang yang memandang bahwa cinta sebenarnya hanyalah hal biasa yang tak perlu dibesar-besarkan. Suatu hal yang tentu jarang kita temukan pada band-band lainnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja Saat cemburu, kian membelenggu, cepat berlalu Jatuh cinta itu biasa saja Sebenarnya Efek Rumah Kaca, dalam album yang berjudul sama dengan nama bandnya ini, cukup banyak mengambil tema-tema tentang cinta. Namun seperti yang dijelaskan di atas, tema cinta tersebut tidak sesempit hubungan seorang lelaki dengan perempuan, namun meluas kepada cinta tanah air, cinta lingkungan, kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat, dan lain sebagainya. Dalam lagu “Efek Rumah Kaca” misalnya, ERK menyatakan keprihatinannya terhadap pemanasan global yang juga terjadi akibat ulah manusia. Kerusakan lingkungan akibat ketidakpahaman manusia akan buminya sendiri ini, digambarkan secara gamblang oleh ERK, dengan lirik atau kata-kata yang lugas agar mudah dipahami. Tipis ozon berlubang Debu kosmik hujan asam Matahari tiada tirai 53 Bakal bunga tak mekar *** Album Efek Rumah Kaca dimulai dengan lagu yang berjudul “Jalang”. Kata jalang biasanya mengacu kepada perempuan nakal yang melanggar suatu aturan susila. 75 Namun jika kita melihat keseluruhan liriknya, maka lagu tersebut sebenarnya bercerita tentang suatu masa di mana semua orang tidak boleh mengekspresikan sesuatu, kalau tidak akan dimusnahkan atau dieksekusi. Hal ini mirip dengan keadaan di suatu negara yang dikuasai oleh pemerintahan yang otoriter. Siapa yang berani bernyanyi Nanti akan dikebiri Siapa yang berani menari Nanti kan dieksekusi Karena kami, beda misi Lalu mereka bilang kami jalang Lagu ketiga (setelah Jatuh Cinta itu Biasa Saja) berjudul “Bukan Lawan Jenis”. Lagi-lagi Efek Rumah Kaca mengambil tema cinta yang tidak biasa, yakni cinta kepada sesama jenis. Di sini kita melihat keberanian dari band ini untuk mengumbar fenomena yang cenderung masih sangat tabu dalam masyarakat Indonesia. 3 http://kbbi.web.id/jalang. 54 Maaf aku pernah mengisi relung hatimu Karna memang aku bukanlah lawan jenismu Budaya konsumerisme juga diangkat oleh Efek Rumah Kaca dalam lagu berjudul “Belanja Terus Sampai Mati”. Dalam lagu ini, ERK mengkritik kebiasaan buruk kaum urban di perkotaan yang sulit dihilangkan, yakni konsumerisme. Menurut KBBI, konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dsb; gaya hidup yang tidak hemat. Atas bujukan setan, Hasrat yang dijebak jaman Kita belanja terus sampai mati Duhai korban keganasan peliknya kehidupan urban Selanjutnya lagu yang ke-tujuh yakni berjudul “Di Udara”. Lagu ini konon dipersembahkan untuk almarhum Munir yang pada tahun 2004 meninggal setelah diracun oleh seseorang. Pada lagu ini, Efek Rumah Kaca mencoba membagi semangat Munir yang gigih memperjuangkan hak asasi manusia, agar bisa tercipta Munir-munir berikutnya kelak. Lagu ini juga sering diputar dalam acara-acara diskusi publik yang bertema HAM. Aku sering diancam juga teror mencekam Kerap ku disingkirkan sampai dimana kapan 55 Ku bisa tenggelam di lautan Aku bisa diracun di udara Aku bisa terbunuh di trotoar jalan tapi aku tak pernah mati Tak akan berhenti Selain lagu-lagu yang sudah disebutkan di atas, album Efek Rumah Kaca juga diisi dengan lagu-lagu renungan yang dibalut dengan lirik-lirik puitis. Lagu “Insomnia” bercerita tentang penyakit sulit tidur. Lagu “Debu-debu Beterbangan” bercerita tentang umat manusia yang setiap saat akan menghadapi hari kiamat. Kemudian lagu “Melankolia” mengisahkan tentang kesendirian. Lagu “Sebelah Mata” menggambarkan tentang kekurangan seorang manusia yang bisa menjadi kelebihan. Dan terakhir lagu “Desember” berkisah tentang kesepian dan juga kesetiaan. 56 C. Kamar Gelap Gambar 2 Rilis : 2008 Genre : Pop, Rock Label : Aksara Records Produser : Efek Rumah Kaca Album Kamar Gelap dirilis pada 19 Desember 2008. Pada tahun 2010, album kedua Efek Rumah Kaca yang dirilis oleh Aksara Records ini sempat mendapat penghargaan dari ICEMA (Indonesia Cutting Edge Music Award) sebagai album terbaik. Hampir sama dengan album pertama, di album Kamar Gelap, Efek Rumah Kaca kembali mengangkat tema-tema sosial, dan juga kritik terhadap dunia 57 politik.76 Perbedaannya terletak pada proses penggarapan dan juga tempo album yang lebih cepat dan enerjik ketimbang di album pertama. Dalam proses penggarapan Kamar Gelap, Efek Rumah Kaca lebih banyak menggarap lagulagunya di studio. Berbeda dengan album pertama yang lagu-lagunya banyak dibuat di rumah para personil. Dalam Kamar Gelap, Efek Rumah Kaca juga berkolaborasi dengan beberapa musisi selama proses rekaman. Pada lagu “Jangan Bakar Buku”, Cholil , sang vokalis bernyanyi bersama Ade Paloh dari band Sore. Iman Fattah pun turut menyumbangkan permainan gitarnya pada lagu. Kemudian Ramondo Gascaro juga ikut berperan dalam pembuatan lagu “Laki-laki Pemalu”. Selain berisi kumpulan lagu, dalam kemasan album ini juga terdapat kumpulan foto dari seniman asal Yogyakarta, Angkin Purbandono. Foto-foto tersebut konon menggambarkan isi dari lagu-lagu dalam Kamar Gelap. Sehingga dengan demikian, album ini memakai konsep audio-fotografi. Selanjutnya, dalam bab 4 nanti akan dianalisis secara mendalam bagaimana kritik dan potret realitas sosial yang terdapat pada lirik dalam kemasan album tersebut. 4 http://entertainment.kompas.com/read/2009/04/24/e163347/erk.lima.ribu.copy.saja. Diakses pada 27 Juni 2014. 58 BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Temuan Penelitian Pada penelitian ini, penulis akan mengambil teks lirik yang terdapat dalam kemasan album Kamar Gelap versi compact disc (CD). Jika kemasan CD ini dibuka, maka kita akan menemukan sebuah kertas yang berisi keseluruhan 12 teks lirik. Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dituliskan pada bab awal penelitian ini, penulis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan melakukan sistemasi analisis. Demi tujuan tersebut, pada tahap awal teks akan dideskripsikan berdasarkan aspek denotasi dalam lirik. Selanjutnya, teks denotasi akan diinterpretasi lagi demi memahami makna konotasi dari teks lirik tersebut. Pada level konotasi inilah penanda kritik sosial yang digunakan oleh Efek Rumah Kaca dalam album Kamar Gelap dapat dikenali. Selanjutnya untuk menjelaskan bagaimana penanda-penanda kritik sosial dalam bentuk konotasi yang dikonstruksi oleh Efek Rumah Kaca, pembahasan akan terfokus pada isi dan gaya bahasa yang digunakan oleh Efek Rumah Kaca dalam menyusun teks-teks mereka. Melalui cara ini penulis berharap dapat memahami keragaman cara pengkonstruksian yang digunakan oleh Efek Rumah Kaca dalam memotret realitas beserta kritik sosialnya. Pada teks lirik, Efek Rumah Kaca secara keseluruhan menggunakan substansi linguistik. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Untuk 59 memahami maksud lirik-lirik ini dibutuhkan pemahaman atas kode-kode bahasa yang digunakan. Agar sesuai dengan urutan lagu di album tersebut, maka deskripsi juga akan dilakukan dari lirik lagu pertama, kedua dan seterusnya sampai ke lirik lagu terakhir. 1. Makna Denotasi Tubuhmu Membiru... Tragis Kamu ingin melompat, ingin sekali melompat Dari ketinggian di ujung sana, menuju entah apa namanya Coba bukalah mata, indah di bawah sana Tutup rapat kedua telinga, dari bisikan entah di mana Kau terbang, dari ketinggian mencari yang paling sunyi Dan kau melayang, mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata Perihmu yang menganga, tak hentinya bertanya Hidup tak selamanya linier, tubuh tak seharusnya tertier Lagu di atas berjudul “Tubuhmu membiru... Tragis”. Secara bahasa, penggabungan ketiga kata tersebut merujuk kepada suatu keadaan seseorang yang sedang sakit. Tubuh yang membiru bisa berarti memar atau pendarahan di dalam. Sedangkan kata “tragis” menunjukan suatu kesedihan. Atau dengan kata lain: tubuhnya tersebut sakit (membiru) secara menyedihkan. 60 Selanjutnya pada awal lirik lagu, kita melihat ada kalimat “Kamu ingin melompat, ingin sekali melompat”. Kalimat ini menunjukan adanya seseorang yang sedang berada di tempat yang lebih tinggi, dan ia ingin sekali berpindah dari tempat yang tinggi tersebut ke tempat yang lebih rendah. Pada bait selanjutnya. “Coba bukalah mata, indah di bawah sana” kita melihat ada kalimat yang berupa ajakan yakni “coba bukalah mata”. Kalimat ajakan tersebut diikuti dengan semacam rayuan manis yang mencoba memberi tahu bahwa di tempat yang lebih rendah tersebut terdapat sesuatu yang sangat indah. Pada baris selanjutnya juga terdapat kalimat ajakan untuk menutup kedua telinga agar tidak terdengar bisikanbisikan dari tempat lain. Dalam bait selanjutnya, terdapat kalimat “Kau terbang, dari ketinggian mencari yang paling sunyi”, diikuti dengan kalimat “Dan kau melayang, mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata”. Kalimat ini menyiratkan bahwa seseorang tersebut akhirnya berpindah dari ketinggian dengan tujuan untuk mencapai tempat yang lebih sunyi. Sunyi bisa berarti hening atau senyap, tak ada bunyi-bunyian atau suara apa pun. Dan dalam proses pindah tersebut (melayang), ia juga malah mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata. Pada bait terakhir lagu, kembali menegaskan tentang adanya suatu keadaan sakit, dengan melihat kalimat “Perihmu yang menganga”. Berikutnya dalam kalimat “Hidup tak selamanya linier, tubuh tak seharusnya tertier”, terdapat semacam nasihat bahwa hidup tak selamanya harus berjalan secara lurus (linier), dan tubuh tak boleh diperlakukan secara tertier, atau pada kepentingan ketiga. 61 Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa Akan ke manakah aku dibawanya? Hingga saat ini menimbulkan tanya Engkau dan aku menuju ruang hampa Tak ada sesiapa hanya kita berdua Kau belah dadaku mengganti isinya Dihisap pikiranku memori terhapus Terkunci mulutku menjeritkan pahit... Uuuuuuuuu... Hingga kau belah rongga dadaku Mengganti isinya dengan batu Hingga kau kunci rapat mulutku Engkau dan aku bumi dan langit Lagu kedua dalam album Kamar Gelap berjudul “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa”. Hampa menurut KBBI bisa berarti tidak berisi; kosong, sepi, siasia; tidak ada hasil atau juga bodoh; tidak berpengetahuan. Bait pertama secara jelas menunjukan adanya seseorang yang ingin dibawa menuju ruang hampa tersebut oleh seseorang lainnya. “Akan ke manakah aku dibawanya? Engkau dan aku menuju ruang hampa. Tak ada sesiapa hanya kita berdua”. Pada bait selanjutnya, secara denotatif kita bisa melihat adanya beberapa aktivitas yang menjurus pada kekerasan, seperti “membelah dada”, “pengisapan 62 atau penarikan pikiran”, “penghapusan memori atau ingatan” dan juga “penguncian mulut”, yang membuat si korban tersebut menjerit pahit. Pahit secara literal dapat juga berarti tidak menyenangkan hati dan menyedihkan. “Kau belah dadaku mengganti isinya. Dihisap pikiranku memori terhapus. Terkunci mulutku menjeritkan pahit...” Kemudian pada bait terakhir lagu ini, aktivitas kekerasan tersebut berlanjut dengan mengganti isi dada yang sebelumnya telah dibelah dengan batu, serta mengunci rapat mulut. “Hingga kau belah rongga dadaku. Mengganti isinya dengan batu. Hingga kau kunci rapat mulutku.” Pada baris terakhir menunjukan adanya perbandingan antara “engkau” dan “aku”, serta “bumi” dan “langit”. Mosi Tidak Percaya Ini masalah kuasa, alibimu berharga Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa? Kamu tak berubah, selalu mencari celah Lalu smakin parah, tak ada jalan tengah Pantas kalau kami marah, sebab dipercaya susah Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah Kamu ciderai janji, luka belum terobati Kami tak mau dibeli, kami tak bisa dibeli 63 Janjimu, pelan-pelan akan menelanmu Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya Lagu ketiga berjudul “Mosi Tidak Percaya”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mosi tidak percaya” adalah pernyataan tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Mosi sendiri artinya pernyataan atau pendapat mengenai sesuatu. Makna denotasi dalam lirik lagu ini bisa kita lihat dari pemilihan katakatanya yang bisa langsung kita pahami dalam benak. Secara denotatif, dalam lagu ini kita bisa melihat ada sekelompok orang (lihat kata “kami”) yang marah dan resah, kepada seseorang yang sulit dipercaya. “Pantas kalau kami marah, sebab dipercaya susah. Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah.” Dari kalimat “Kamu ciderai janji”, juga telah memperkuat gagasan bahwa seseorang tersebut sulit dipercaya, karena tidak menepati janji yang telah dibuat. Lagu Kesepian Ku tak melihat kau membawa terang Yang kau janjikan Kau bawa bara berserak di halaman Hingga kekeringan Oh di mana terang yang kau janjikan... Aku kesepian... 64 Di mana tenang yang kau janjikan... Aku kesepian... Di mana menang yang kau janjikan... Aku kesepian... Sepi... Ku tak melihat kau membawa tenang Yang kau janjikan Kau bawa debu bertebar di beranda Berair mata Lagu keempat berjudul “Lagu Kesepian”. Walau lirik dalam lagu ini terkesan ambigu, karena tidak jelas siapa “aku” dan “kau” yang dimaksud, namun secara denotatif kalimat-kalimat dalam lirik ini menceritakan tentang adanya janji yang tidak bisa ditepati. Ada beberapa hal yang dijanjikan oleh sosok “kau” dalam lagu ini, yakni: terang, tenang, dan menang. Secara literal, terang adalah keadaan dapat dilihat (didengar); nyata; jelas. Kemudian tenang: tidak gelisah: tidak rusuh; tidak kacau; tidak ribut; aman dan tenteram (tentang perasaan hati, keadaan). Dan terakhir, menang adalah meraih (mendapat) hasil (perolehan) karena dapat mengalahkan lawan (saingan). Hal-hal yang dijanjikan namun tak bisa ditepati tersebut akhirnya membuat sosok “aku” menjadi kesepian. “di mana terang yang kau janjikan... Aku kesepian... Di mana tenang yang kau janjikan... Aku kesepian... Di mana menang yang kau janjikan... Aku kesepian...” 65 Hujan Jangan Marah Lihatkah? Aku pucat pasi, sembilu hisapi jemari Setiap ku peluk dan menangisi hijau pucatnya cemara Yang sedih aku letih Dengarkah? Jantungku menyerah, terbelah di tanah yang merah Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering Melemah dan melemah Hujan, hujan jangan marah... Lagu selanjutnya berjudul “Hujan Jangan Marah”. Judul lagu ini jelas menggunakan majas personifikasi. Majas personifikasi menurut Wikipedia Bahasa Indonesia adalah: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Pada bait pertama lagu ini menyiratkan adanya kesedihan ditandai dengan kata “menangisi” dan juga “sedih”. Objek yang ditangisi adalah cemara (bernama latin Casuarina eqnisetifolia), yaitu sebuah pohon yang batangnya tinggi dan daunnya kecil-kecil. Dalam bait tersebut digambarkan bahwa cemara tersebut pucat hijaunya (yang bisa berarti daun). “Setiap ku peluk dan menangisi hijau pucatnya cemara.” Kemudian pada bait kedua, Efek Rumah Kaca menggunakan majas hiperbola, yaitu Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga 66 kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Bisa dilihat pada kalimat: “Dengarkah? Jantungku menyerah, terbelah di tanah yang merah.” Kenakalan Remaja di Era Informatika Senang mengabadikan tubuh yang tak berhalang Padahal hanya iseng belaka Ketika birahi yang juara, etika menguap entah ke mana Oh nafsu menderu-deru, bikin malu... Oh nafsu menderu-deru, susah maju... Rekam dan memamerkan badan yang lainnya Mungkin hanya untuk kenangan Apakah kita tersesat arah? Mengapa kita tak bisa dewasa? Lagu selanjutnya berjudul “Kenakalan Remaja di Era Informatika”. Lirik lagu ini dituliskan dengan gaya bahasa yang tidak terlalu sulit dipahami. Lagu ini memberi ilustrasi tentang maraknya kenakalan yang dilakukan remaja di era informatika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, informatika adalah ilmu tentang pengumpulan, klasifikasi, pe-nyimpanan, pengeluaran, dan penyebaran pengetahuan yang direkam. 67 Dalam lagu ini terdapat kata “birahi”, “rekam” dan “memamerkan badan”, sehingga jelas yang dimaksud “kenakalan” dalam lagu ini adalah kegiatan merekam hubungan seks yang dilakukan oleh para remaja. Menjadi Indonesia77 Ada yang memar, kagum banggaku Malu membelenggu Ada yang mekar, serupa benalu Tak mau temanimu Lekas, Bangun tidur berkepanjangan Menyatakan mimpimu Cuci muka biar terlihat segar Merapikan wajahmu Masih ada cara menjadi besar Memudakan tuamu Menjelma dan menjadi Indonesia Ada yang runtuh, tamah ramahmu Beda teraniaya Ada yang tumbuh, iri dengkimu Cinta pergi ke mana? 1 Judul lagu “Menjadi Indonesia” terinspirasi dari judul yang sama pada buku karangan Parakitri T. Simbolon [Gramedia Pustaka Utama]. 68 Kamar Gelap Yang kau jerat adalah riwayat Tidak punah dari sejarah Yang bicara adalah cahaya Dikonstruksi dikomposisi Padam semua lampu Semua lampu Membekukan yang cair Mencairkan yang beku Jangan kabur berjamur Segala negatif menuju positif Kekal... Pada dua lagu di atas, yakni “Menjadi Indonesia” dan “Kamar Gelap”, penulis kesulitan untuk menangkap makna denotatif yang terdapat pada lirik. Jika kita hanya mengandalkan makna denotasi, maka kita hanya mendapatkan susunan 69 kalimat yang tidak jelas apa maksudnya. Untuk itulah pada dua lagu tersebut akan dimaknai secara konotatif pada bahasan berikutnya. Dalam lagu “Menjadi Indonesia”, penulis menangkap adanya ajakan untuk segera bangun dari tidur panjang dan kemudian menjadi Indonesia. Pada lagu berikutnya berjudul “Kamar Gelap”. Kamar Gelap biasanya adalah sebutan untuk sebuah ruangan tempat mencuci foto. Jangan Bakar Buku Karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya Karena setiap aksara membuka jendela dunia Kata demi kata mengantarkan fantasi Habis sudah, habis sudah Bait demi bait pemicu anestesi Hangus sudah, hangus sudah Karena setiap abunya membangkitkan dendam yang reda Karena setiap dendamnya menumbuhkan hasutan baka Lagu kesembilan diberi judul “Jangan Bakar Buku”. Judul ini menggunakan kalimat larangan, dengan dicirikan adanya kata „jangan‟. Larangan yang dimaksud adalah larangan untuk tidak membakar buku. 70 Dalam lagu ini kita bisa melihat adanya kata-kata yang berhubungan dengan buku. Seperti lembar, aksara, kata, dan bait. Kemudian juga terdapat kata-kata yang berhubungan dengan kegiatan pembakaran, seperti: hangus dan abu. Banyak Asap di Sana Hidup tak lagi sama, konglomerasi pesta Lapar bagaikan hama tak ada yang tersisa Dedikasi dijaga berjejal di kepala Demi sanak saudara hingga menyesakkan dada Diskriminasi harga untuk kita semua Kado bersama-sama di musim petik tiba Yang muda lari ke kota, berharap tanahnya mulia Kosong di depan mata, banyak asap di sana Menanam tak bisa, menangis pun sama Gantung cita-cita di tepian kota “Banyak Asap di Sana” adalah lagu kesepuluh dalam album Kamar Gelap. Sama seperti lagu keenam dan ketujuh, penulis kesulitan menangkap makna lirik 71 yang ingin disampaikan, jika susunan kalimatnya hanya dimaknai secara denotatif, sehingga lebih baik langsung dicari makna konotatifnya. Dalam lagu ini bait keempat menjadi perhatian dari penulis, karena terdapat kalimat “banyak asap di sana”, yang menjadi judul dari lagu ini. Dalam bait tersebut terdapat kalimat “yang muda lari ke kota”, yang bisa berarti adalah urbanisasi. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Laki-laki Pemalu Senja akan segera berlalu Seorang lelaki melintas menyimpan malu... Uuu... Menyusul langkah sang gadis yang mungil... Tapak kakinya yang lelah menyisakan perih hihi... Nanti malam kan ia jerat rembulan Disimpan dalam sunyi hingga esok hari Lelah berpura-pura bersandiwara Esok pagi kan seperti hari ini Menyisakan duri, menyisakan perih Menyisakan sunyi... Aaa... Berharap gadis mengerti hatinya... Tetes keringat mengalir mencoba melawan ragu... 72 Balerina Hidup bagai balerina, gerak maju berirama Detaknya di mana-mana, seperti udara Hidup bagai balerina Menghimpun energi, mengambil posisi Menjejakkan kaki, meniti temali Merendah meninggi, rasakan api, konsentrasi Biar tubuhmu berkelana, lalui kegelisahan Mencari keseimbangan, mengisi ketiadaan Di kepala dan di dada Hidup trasa begitu lentur, raba tekstur ciptakan gestur Berjingkat tidak teratur, seperti melantur Hidup trasa begitu lentur Lagu kesebelas dan keduabelas berjudul “Laki-laki Pemalu” dan “Ballerina”. Secara denotatif, kalimat-kalimat dalam lagu “Laki-laki Pemalu” bercerita tentang seorang laki-laki yang berpura-pura dan malu dalam mengungkapkan perasaan hatinya kepada sang gadis pujaan. “Disimpan dalam sunyi hingga esok hari. Lelah berpura-pura bersandiwara.” Kemudian pada bait pertama di lagu “Ballerina”, terdapat kalimat “Hidup bagai ballerina” yang menggunakan majas 73 simile. Majas ini adalah pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, bak, bagai.78 2. Makna Konotasi dan Mitos Pada tahap ini, penulis mengembangkan analisis terhadap deskripsi teks dalam album Kamar Gelap, untuk memahami penanda-penanda yang digunakan oleh Efek Rumah Kaca untuk menandai kritik sosial dan memotret realitas. Pada bagian sebelumnya telah dijabarkan makna denotasi yang terdapat pada teks lirik. Pada tahap ini, penulis membahas bentuk penanda lainnya yang kita pahami sebagai tanda konotasi. Pembahasan mengenai penanda konotasi dalam album Kamar Gelap pada penelitian ini berdasar pada batasan atau definisi penulis terhadap kritik dan potret realitas sosial di bab awal penelitian ini. Hal ini juga mempersempit ruang pembacaan sekaligus mefokuskan analisis pada penanda konotasi kritik dan potret realitas sosial. Makna konotasi, sebagaimana menurut gagasan Barthes, ditentukan oleh kode-kode kultural yang dimiliki oleh pembaca teks. Tentunya, teks yang diproduksi oleh penulis teks juga tidak dapat dipisahkan dari kode-kode sang penulis. Meski demikian tidak tertutup kemungkinan antara pengarang dan pembaca teks saling berbagi kode yang sama. Pembacaan teks secara konotasi menjadi jalan untuk memahami bagaimana makna lirik-lirik dalam album Kamar Gelap. Kritik dan potret realitas sosial dalam album Kamar Gelap harus dipahami 2 http://id.wikipedia.org/wiki/Majas. 74 melalui penanda konotatif. Dengan demikian langkah selanjutnya adalah memahami makna konotatif dari teks ini. Efek Rumah Kaca membuka album Kamar Gelap dengan lagu berjudul “Tubuhmu Membiru... Tragis”. Sebagaimana dijelaskan pada bahasan denotasi di atas, judul lagu ini menyiratkan adanya keadaan orang sedang sakit secara menyedihkan. Kemudian pada bait pertama menjelaskan tentang adanya seseorang yang melompat dari ketinggian. Ini adalah konotasi bagi orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, contoh: dengan melompat dari suatu atap gedung atau jembatan. Kemudian pada bait keempat dalam kalimat “Dan kau melayang, mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata,” digambarkan bahwa motif bunuh diri tersebut adalah karena putus asa dalam menjalani hidup yang terasa sia-sia. Pada bait terakhir dalam kalimat “Perihmu yang menganga, tak hentinya bertanya” dijelaskan bahwa kegiatan bunuh diri itu pada akhirnya tak menghasilkan apa-apa, kecuali duka dan haru yang dialami keluarga dan juga teman-teman terdekat. Hal ini diperjelas dengan adanya suara “hu.. hu.. hu.. hu..” pada menit-menit terakhir, yang merupakan tanda index yang mengisyaratkan adanya keharuan. Mitos: Melompat dari ketinggian bisa merupakan bunuh diri Dalam lagu “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa” ada baiknya kita langsung menyimak reff dalam lagu ini, karena reff biasanya menjadi puncak dari apa yang coba disampaikan oleh si penulis lagu. Pada reff tersebut terdapat kalimat “Kau belah dadaku mengganti isinya. Dihisap pikiranku memori 75 terhapus” kalimat tersebut berkonotasi pada adanya kegiatan brainwash atau cuci otak, dan juga penyuntingan ingatan. Praktek brainwash, pembelokkan sejarah, penyuntingan ingatan, dan juga penghilangan paksa (ditandai pada kalimat Akan ke manakah aku dibawanya? Engkau dan aku menuju ruang hampa) lazimnya terdapat pada negara-negara fasis, otoriter dan totaliter. Dr. Jossef Goebbels sebagai menteri propaganda pada era Jerman Nazi misalnya, kerap melakukan kebohongan demi kebohongan demi melancarkan pemerintahan fasis yang dipimpin oleh Hitler. Mitos: penghapusan memori erat kaitannya dengan praktek pencucian otak (brainwash) Lagu selanjutnya yakni berjudul “Mosi Tidak Percaya”. Secara denotatif, mosi tidak percaya memiliki pengertian: pernyataan tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Namun dalam lagu ini, pengertian tersebut berkembang dan meluas maknanya menjadi ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah (baik itu legislatif maupun eksekutif). Pada bait keempat lagu ini dijelaskan tentang adanya pengingkaran janji yang dilakukan oleh pemerintah, juga tentang adanya praktik suap atau korupsi yang membudaya di kalangan pejabat pemerintahan. Pengingkaran janji dan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah, pada akhirnya akan membuat rakyatnya menjadi jengah dan tidak percaya lagi. Ini dijelaskan oleh Efek Rumah Kaca pada bait terakhir: “Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya. kami tak mau lagi diperdaya.” 76 Mitos: kekuasaan biasanya menyangkut apa yang ada dalam pemerintahan, mulai dari legislatif sampai eksekutif Dalam tulisan Yulia Dian di detikhot (2012), dijelaskan bahwa “Lagu Kesepian” adalah satu-satunya lagu cinta yang terdapat dalam album Kamar Gelap. Cholil sang vokalis juga memaparkan bahwa lagu tersebut adalah lagu cinta yang tidak ada kata cinta di dalamnya.79 Karena lagu ini sifatnya personal (cinta) dan penulis sendiri tidak menemukan kaitannya dengan kritik dan potret realitas sosial, maka lagu ini tidak akan dibahas lebih dalam makna konotasinya. Secara konotatif, lirik dalam lagu “Hujan Jangan Marah” bercerita tentang alam yang rusak dan juga musim kemarau yang parah. Ditandai dengan pohonpohon yang mengering (...menangisi hijau pucatnya cemara) dan juga tanah-tanah yang terbelah (...terbelah di tanah yang merah). Kata “musim kering” pada bait kedua juga semakin memperkuat kandungan lagu ini. Dari kalimat “Hujan Jangan Marah” pada bait terakhir–yang juga menjadi judul lagu ini, penulis menangkap adanya ketakutan dari si penulis lagu yang khawatir jika turunnya hujan juga sama-sama akan menyebabkan bencana (banjir misalnya) bagi manusia, yang sebenarnya disebabkan oleh si manusia itu sendiri. Mitos: tanah terbelah berarti menandakan musim kemarau yang parah. Di Indonesia, ibukota Jakarta sering diidentikan dengan masalah banjir. Dalam portal berita viva.co.id (Januari 2014) disebutkan bahwa salah satu penyebab banjir yang terjadi di DKI Jakarta adalah karena rusaknya tata kota 3 http://hot.detik.com/music/read/2008/12/19/165654/1056630/217/efek-rumah-kaca-terangterangan-di-kamar-gelap. Diakses pada 12 Agustus 2014. 77 sejak lama. Ada banyak perubahan fungsi ruang di mana lahan seharusnya menjadi tempat resapan justru dibangun untuk kawasan komersil.80 Lagu selanjutnya yakni “Kenakalan Remaja di Era Informatika”. Seperti yang dijelaskan di atas, lirik dalam lagu ini tidak memakai metafora-metafora yang sulit dipahami seperti pada lagu-lagu yang lain. Pada bait pertama, kata “mengabadikan” merupakan konotasi dari memotret atau merekam melalui kamera. Kemudian diperjelas lagi di bait keempat dalam kalimat “Rekam dan memamerkan badan yang lainnya”. Bait terakhir lagu ini berisi ajakan untuk merenungkan mengapa banyak orang (khususnya remaja) yang tersesat dan meninggalkan norma-norma yang berlaku. Juga mengapa para remaja tersebut tidak mencoba untuk bersikap lebih dewasa dan meninggalkan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. Mitos: mengabadikan adalah merekam dan memotret. Tema nasionalisme atau kebangsaan juga coba diusung oleh Efek Rumah Kaca dalam lagu “Menjadi Indonesia”. Pada bait pertama, ERK menggunakan metafora “benalu” untuk menggambarkan segelintir orang yang kelakuannya hanya memperburuk citra bangsa Indonesia (Ada yang mekar, serupa benalu). Pada bait kedua, terdapat ajakan yang secara konotatif mengajak masyarakat Indonesia agar membersihkan diri dan bangkit dari keterpurukan, serta berupaya untuk membuat keadaan bangsanya menjadi lebih baik lagi. Di bait terakhir, Efek 4 http://metro.news.viva.co.id/news/read/475771-ini-empat-faktor-penyebab-banjir-jakarta. Diakses pada 12 Agustus 2014. 78 Rumah Kaca juga menyindir perilaku banyak orang Indonesia yang mudah sekali marah dan tidak toleran terhadap perbedaan. “Ada yang runtuh, tamah ramahmu. Beda teraniaya. Ada yang tumbuh, iri dengkimu.” Mitos: kata “tidur” dalam lagu bisa bermakna: malas, diam atau tak melakukan apa-apa Seperti yang disinggung dalam bab pertama, album Kamar Gelap mencoba memotret realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Tema “memotret” ini kemudian dipertegas dalam lagu ke-8 yakni berjudul “Kamar Gelap”. Dalam dunia fotografi, kamar gelap adalah istilah untuk ruangan kedap cahaya untuk mencuci film atau foto. Dalam lagu ini, diksi-diksi yang dipilih oleh Efek Rumah Kaca berkaitan erat juga dengan dunia fotografi, seperti cahaya, lampu, negatif, positif dan sebagainya. Kalimat-kalimat dalam lagu ini secara denotatif memang menjelaskan proses mencuci film di dalam kamar gelap. Mitos: memotret di sini maksudnya adalah mengkonstruksi realitas. Pada lagu selanjutnya, yakni “Jangan Bakar Buku”, Efek Rumah Kaca bercerita tentang betapa kejinya kegiatan penghancuran buku. Pada bait pertama, kata “cahaya” merupakan konotasi dari pengetahuan dan juga wawasan, yang bisa mengantarkan munculnya ide dan gagasan. Sementara “jendela dunia” merupakan konotasi dari pengetahuan mengenai negara-negara lain. Dengan demikian buku adalah sumber pengetahuan mengenai banyak hal yang bisa memicu pembacanya untuk bisa mengeluarkan ide-ide yang cemerlang. 79 Pada bait terakhir lagu ini secara konotatif disebutkan bahwa kegiatan pembakaran dan pemusnahan buku hanya menciptakan dampak negatif berupa ketidaktahuan, kemudian dari ketidaktahuan tersebut hanya melahirkan kebencian-kebencian tidak mendasar pada segala hal yang dirasa asing. Mitos: jendela dunia adalah pengetahuan. Jika melihat judul “Banyak Asap di Sana”, mungkin yang terbayang di benak kita bahwa lagu ini berkaitan dengan asap atau kebakaran. Namun jika menyimak keseluruhan lirik lagu, secara konotatif bercerita tentang fenomena urbanisasi, yakni berpindahnya penduduk dari desa atau kampung, ke kota. Dipertegas lagi dalam video klip yang berisi gambaran kehidupan di perkotaan. Biasanya urbanisasi dilakukan oleh penduduk desa dengan tujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik karena tidak adanya lapangan pekerjaan di desa. “Yang muda lari ke kota, berharap tanahnya mulia.” Fenomena urbanisasi banyak berdampak negatif, salah satunya adalah karena ketidaksiapan si penduduk desa untuk hidup di kota. Mulai dari gaya hidup yang berbeda, sampai karena keahlian yang tidak dimiliki, membuat si pendatang tersebut hanya menjadi gelandangan tidak jelas arah hidupnya. Dijelaskan oleh Efek Rumah Kaca pada bait terakhir: “Menanam tak bisa, menangis pun sama. Gantung citacita di tepian kota”. Mitos: kota selalu dikaitkan dengan kemajuan, sedangkan desa adalah keterbelakangan 80 Pada lagu kesebelas, yakni “Laki-laki Pemalu”, penulis tidak menangkap adanya kaitan dengan tema kritik dan potret realitas sosial. Dari liriknya, penulis hanya melihat bahwa lagu ini bercerita tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya kepada sang gadis pujaan. Karena lagu ini tidak memiliki kaitan dengan kritik dan potret realitas sosial, maka lagu ini bisa kita lewatkan. Lagu terakhir dalam album Kamar Gelap berjudul “Balerina”. Balerina adalah sebutan untuk penari balet wanita. Balerina adalah metafora yang dipilih oleh Efek Rumah kaca untuk menggambarkan hidup yang seimbang. Dalam lagu ini jelaskan bahwa hidup haruslah memiliki keseimbangan yang harmonis, tanpa adanya sesuatu yang berlebihan. Dalam lirik lagu ini juga digambarkan bahwa dalam hidup pasti ada yang datar dan ada pula yang bergejolak. Maka solusi terbaiknya adalah untuk membiarkan hidup ini berjalan dengan semestinya, tidak perlu diberat-beratkan, dan juga tidak diringan-ringankan. Seperti penari balet yang bergerak secara anggun dari satu tempat ke tempat lainnya. Biar tubuhmu berkelana, lalui kegelisahan. Mencari keseimbangan, mengisi ketiadaan. Di kepala dan di dada. Mitos: hidup lentur di sini maksudnya adalah hidup yang seimbang, dan tak berlebih-lebihan. 81 B. Pembahasan Kritik dan Potret Realitas Sosial pada Album Kamar Gelap Jika melihat dari makna konotasi dan juga mitosnya, beragam tema diangkat oleh Efek Rumah Kaca dalam album Kamar Gelap ini. Lagu “Tubuhmu Membiru... Tragis” mengkritik dan memotret tentang fenomena bunuh diri. Tren bunuh diri dengan cara melompat dari ketinggian bukanlah hal baru, terutama pada masyarakat perkotaan. Kasus paling baru yang penulis ketahui, terjadi pada bulan Juni 2014 di Jakarta Pusat. Seperti yang penulis kutip dari situs merdeka.com pada 13 Juni 2014, Seorang pria bunuh diri dengan cara melompat dari Jembatan Semanggi. Lagu “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa” tentang pemaksaan kehendak dan pencucian otak. Berbicara mengenai masalah penyuntingan ingatan, penulis ingat dengan satu paragraf dalam novel Jalan Lain ke Tulehu (Bentang Pustaka, 2014) karya Zen RS yang menjelaskan bahwa dalam setiap konflik atau perseteruan dua kubu, contohnya antara penguasa dengan penentangnya, selalu melibatkan ingatan yang dihapus, disunting atau diedit. Selalu ada ingatan yang ditonjol-tonjolkan, tetapi juga ada yang disembunyikan. Zen RS juga menambahkan, bahwa konflik pada akhirnya seperti sebuah kisah fiksi yang dibuat-buat demi memenangkan satu pihak. Kemudian lagu “Mosi Tidak Percaya” mengkritisi pemerintah yang dianggap ingkar janji dan korup. Mengenai praktik korupsi, kita bisa melihat laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, yang mengemukakan bahwa terjadi peningkatan tren korupsi di kalangan pejabat daerah. 82 Laporan ICW yang penulis kutip dari portal tempo.co pada 4 Agustus 2014, menyebutkan bahwa jumlah pejabat pemda sebagai koruptor meningkat dari dua tahun sebelumnya. Pada laporan ICW tahun 2012, ada 48 pejabat pemda yang melakukan korupsi. Satu tahun berikutnya, ada 60 pejabat pemda jadi terdakwa kasus korupsi. Dan pada tahun 2014 ini, tercatat ada 101 pejabat pemda yang terbukti sebagai koruptor. Masalah lingkungan hidup juga diangkat oleh Efek Rumah Kaca melalui lagu “Hujan Jangan Marah”. Lagu ini mengisahkan tentang musim kemarau yang berkepanjangan. Dalam lagu ini terdapat keinginan dari sang penulis lagu tentang agar hujan tidak marah dan bisa turun untuk mengatasi dampak musim kemarau yang parah Masalah kenakalan remaja diangkat dalam lagu “Kenakalan Remaja di Era Informatika”. Dalam album Kamar Gelap, hanya ada tiga lagu yang dilengkapi dengan video klip, yakni Kenakalan Remaja di Era Informatika, Banyak Asap di Sana, dan Ballerina. Dalam video klip lagu ini, bisa dilihat lagi sindiran kepada para remaja yang menyalahgunakan teknologi, dalam bentuk potongan-potongan klip video porno yang sudah disensor. Ada juga kritik dan potret soal nasionalisme dan kebangsaan melalui lagu “Menjadi Indonesia”. Judul lagu ini sebenarnya diambil dari buku “Menjadi Indonesia” yang ditulis oleh Parakitri T. Simbolon, dan diterbitkan pada tahun 2007 oleh Penerbit Buku Kompas. Buku itu sendiri bercerita tentang proses panjang terbentuknya kebangsaan Indonesia sejak awal mula sejarah Nusantara hingga menjelang Perang Pasifik. Dalam buku itu, Parakitri T. Simbolon memahami kebangsaan sebagai proses 83 yang menghasilkan keseimbangan hubungan antara masyarakat dan kekuasaan negara, yang terwujud dalam serangkaian tradisi, pranata, atau lembaga; tegasnya, keseluruhan aturan main bermasyarakat dan bernegara. Lagu “Jangan Bakar Buku” berkisah tentang pemusnahan buku. Dalam buku berjudul “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa” karangan Fernando Baez 81 , disebutkan bahwa kegiatan pembakaran atau penghancuran buku bertujuan untuk menghabisi memori penyimpanan sejarah, atau juga untuk menghabisi gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan (bisa dari masa lalu) secara menyeluruh. Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa sejarah penghancuran buku sudah ada sejak buku itu sendiri lahir. Sejak dari zaman Mesir kuno, Byzantium, Rennaisance, sampai ke era Nazi Jerman, penghancuran buku dilakukan dengan berbagai dalih yang kesemuanya adalah untuk mengamankan eksistensi suatu pihak. Di Indonesia sendiri, sejak awal Suharto berkuasa, banyak terjadi pelarangan buku-buku yang dianggap mengandung gagasan marxisme-sosialisme. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer sendiri pernah menuturkan bahwa koleksikoleksi buku karyanya pernah dibakar oleh tentara dengan alasan yang kurang jelas. Kemudian Efek Rumah Kaca mengangkat masalah urbanisasi lewat lagu “Banyak Asap di Sana”. Menurut gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, seperti yang dikutip dari news.liputan6.com, urbanisasi di Jakarta terjadi karena lapangan pekerjaan terbesar memang berada di ibukota Jakarta. Lonjakan penduduk naik 5 Diterbitkan oleh Marjin Kiri pada tahun 2013. 84 sebagian besar karena didasari minat mencari penghidupan layak. Maka menurut Jokowi, solusi terbaiknya adalah dengan mendorong pemodal untuk berinvestasi di daerah.82 Efek Rumah Kaca juga membahas filosofi hidup melalui lagu “Balerina”. Dalam lagu ini dijelaskan bagaimana hidup yang seimbang dan tak berlebihlebihan melalui metafora balerina (penari balet) Memang tidak semua lagu dalam album Kamar Gelap ini memiliki tema sosial, seperti lagu “Lagu Kesepian” dan “Laki-laki Pemalu”. Namun lagu ini sebagian besar bercerita tentang fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat kita, beserta kritiknya. Lagu “Kamar Gelap” menjadi penegasan bahwa album ini memang mencoba memberikan gambaran yang terjadi dalam masyarakat, atau dengan kata lain potret realitas sosial yang terjadi. Lagu “Kamar Gelap” inilah yang kemudian menjelaskan tema besar dalam album ini, bahwa apa yang ada dalam album ini adalah potret realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat kita, juga beserta kritiknya. “Yang kau jerat adalah riwayat. Tidak punah dari sejarah.” 6 http://news.liputan6.com/read/2086005/ini-solusi-jokowi-tekan-urbanisasi-di-jakarta. 85 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diajukan penulis, terdapat dua kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini. 1. Efek Rumah Kaca menggunakan penanda-penanda yang mempunyai makna konotasi yang berkaitan erat dengan masalah-masalah sosial. Makna denotasi dalam lirik lagu bisa kita abaikan, karena hal tersebut tidak menjelaskan makna lagu-lagu tersebut, sehingga kita bisa lebih fokus menyimak makna konotasi dan mitosnya. Penanda konotasi digunakan dalam bentuk penggunaan metafora-metafora dan gaya bahasa simile. Konotasi ini sesuai dengan latar belakang pengetahuan penulis dan juga kode-kode kultural yang dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. 2. Efek Rumah Kaca mengkritik dan memotret realitas sosial dengan mengkombinasi konotasi-konotasi dan mitos-mitos yang berlaku dalam masyarakat. Melalui kombinasi tersebut, bisa dilihat fenomena-fenomena sosial yang berlaku dalam masyarakat, mulai dari fenomena bunuh diri, kenakalan remaja, masalah lingkungan, nasionalisme dan lain sebagainya. Tidak lupa juga Efek Rumah 86 Kaca mengkritik budaya korupsi yang terjadi di pemerintahan, serta usaha-usaha pembelokan sejarah yang dilakukan oleh berbagai pihak. B. Saran Terdapat beberapa hal yang penulis ingin sampaikan terkait dengan penelitian ini: 1. Penelitian ini hanya dapat mengkaji aspek tekstual dari objek yang diteliti. Beberapa dimensi seperti sudut pandang atau perspektif pengarang, dalam hal ini Efek Rumah Kaca, tidak terlalu menjadi perhatian. Penulis sudah pernah mewawancarai Cholil Mahmud, sang pengarang lagu, namun jawaban-jawaban yang ia berikan tidak terlalu informatif. Penulis sudah menduganya karena Cholil memang dikenal misterius dan enggan untuk berbagi makna dari lagu-lagunya. Jika ada peneliti lain yang melakukan penelitian serupa, tak perlu khawatir dengan masalah seperti itu. Karena hal ini sesuai dengan konsep Kematian Pengarang (The Death of the Author) yang dipaparkan oleh Roland Barthes. Dalam konsep itu dijelaskan bahwa peran pengarang sudah mati ketika karyanya dilepas ke publik dan menjadi teks. Seperti yang dijelaskan pada bab pertama, teks yang sudah berada tangan pembacanya, bebas diinterpretasi sesuai dengan pemahaman dan kode-kode budaya yang dimiliki. Dengan kata lain sang pengarang sudah tidak bisa campur tangan lagi. 87 2. Disarankan juga kepada peneliti yang lain, yang ingin melakukan penelitian serupa, agar lebih banyak membaca dan menggali informasi-informasi yang terdapat dalam masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar kita bisa lebih mudah memahami kode-kode kultural, makna konotasi dan mitos yang digunakan dalam teks. Sehingga bisa meminimalisir kesalahpahaman yang terjadi. 88 DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktek, Terj.Yogyakarta: Bentang, 2004. Barthes, Roland. Imaji, Musik, Teks: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan Kritik Sastra, Terj.Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Biagi, Shirley. Media/Impact: Pengantar Media Massa, Terj. Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis, Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Budiman, Kris. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2003. Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011 Danesi, Marcel. Pesan, Tanda dan Makna, Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Djohan. Terapi Musik: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Galangpress Group, 2006. Fidler, Roger. Mediamorfosis, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003. Fiske, John. Cultural and Communication Study: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2004. Hartley, John. Communication, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, Terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Hoed H. Benny. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok: FIB UI Depok, 2008. 89 Mulyana, Dedi dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutra, 2003. Rez, Idhar. Music Records Indie Label, Bandung: DAR! Mizan, 2008. Rodman, George. Mass Media in Changing World: History, Industry, Controversy, New York: McGraw-Hill, 2008. Saputra, Anwar. Kritik Sosial Politik dalam Musik: Analisis Isi Lirik Lagu “Gosip Jalanan, Birokrasi Kompleks dan Kritis BBM” Grup Musik Slank, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Shuker, Roy. Key Concepts in Popular Music, London: Routledge, 1998. Sobur, Alex. Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012. --------------- Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. Storey, John. Teori Budaya dan Budaya Pop, Terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2003. Strinati, Dominic. Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Terj. Yogyakarta: Jejak, 2007. Thwaites, Tony. dkk. Introducing and Cultural Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik, Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Sumber dari internet: http://efekrumahkaca.net http://jakartabeat.net http://kbbi.web.id http://marxist.org 90 TRANSKRIP WAWANCARA Narasumber : Cholil Mahmud Posisi : Vokalis Efek Rumah Kaca, penulis lagu-lagu di album Kamar Gelap Tanggal : 22 Agustus 2014 1. Apa makna dari kalimat “tubuh tak seharusnya tertier” dalam lagu “Tubuhmu Membiru... Tragis”? Raga penting juga, primer. 2. Siapa sosok “kau” yang dimaksud dalam lagu “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa”? Bisa siapa aja, kalau dalam konteks pacaran yang straight ya..lawan jenis 3. Dalam KBBI, mosi tidak percaya artinya adalah pernyataan tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Yang ingin saya tanyakan, siapa sasaran kemarahan di lagu “Mosi Tidak Percaya”, apakah legislatif (DPR) atau eksekutif (pemerintah)? http://voiceplus.co.id/contentef.php?cId=2&id=93&page=2 4. Dalam “Lagu Kesepian” terdapat kalimat “di mana menang yang kau janjikan”, apa maksud dari kata “menang” tersebut? Menang dari apa? Menang ya menang. Menang dari melawan atau menjalani proses dari kegelapan dan kesepian 5. Jika lagu “Hujan Jangan Marah” bercerita tentang kekeringan atau kemarau, lalu apakah anda menyalahkan manusia yang juga berkontribusi dalam kekeringan itu? Ya, jelas. Termasuk diri kami sendiri. 91 6. Menurut anda apakah kenakalan remaja lebih disebabkan karena efek negatif teknologi informatika atau pendidikan yang salah dalam keluarga? Pendidikan punya pengaruh vital. Tapi saya gak terlalu yakin apakah pendidikan yang salah dalam keluarga adalah faktor utama, atau faktor bukan utama atau malahan bukan faktor, kalau dalam konteks lagu ini. Saya agak bingung, karena anda memberikan pilihan yang bisa jadi keduanya bukan faktor utama terciptanya lagu itu. Anda mengerangkeng saya dengan pilihan yang belum tentu itu penyebabnya. 7. Apa sebenarnya yang menjadi kegelisahan anda dalam lagu “Menjadi Indonesia”? https://www.youtube.com/watch?v=EZCzAtkvKgM mulai menit 09.40 8. Mengapa menjadikan “Kamar Gelap” sebagai judul album? http://deathrockstar.info/album-kedua-efek-rumah-kaca-%E2%80%9Dkamargelap%E2%80%9D/ 9. Apakah lagu “Jangan Bakar Buku” terinspirasi dari kejadian nyata? Kalo iya, bisa ceritakan secara singkat kejadian itu? Ya, kalau tidak salah peristiwa pembakaran buku tahun 2006-2007 (coba di cek lagi) yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Lalu, ada wartawan yang menuliskan tentang pembakaran buku ini malah ditangkap. Kalau tidak salah namanya Bersihar Lubis. Tadinya kami tidak ingin selangsung itu menuliskan judulnya, namun sejak ditangkapnya wartawan itu, kami langsung memastikan bahwa jdulnya adalah “jangan bakar buku” supaya tidak ada sayap dalam pemaknaan lagu ini. Straight forward. 10. Apa yang dimaksud dengan “konglomerasi pesta” dalam lagu “Banyak Asap di Sana”? Lurus aja. Maksudnya? Pengusaha/konglomerat pada pesta. Kok bisa? Untung banyak mungkin. Kok bisa? Sistemnya mendukung 92 11. Menurut anda pemalu yang baik dan tidak baik itu seperti apa? Kami tidak memikirkan itu ketika membuat lagu itu. Sampai sekarang pun tidak, jadi kami tidak bisa menjawab pertanyaan ini. 12. Mengapa menggunakan metafora “balerina” untuk penggambaran hidup? Mengapa tidak?. Tak ada alasan khusus, mugkin karena merasa cocok sebagai simbol representasi kehidupan aja, cantik indah, kegetiran tidak tampak tapi kita rasakan ada, naik, turun..yah seliteral lagu itulah. P.S. Jika ada yang mas Cholil ingin sampaikan terkait dengan album Kamar Gelap, namun tidak ada di daftar pertanyaan, boleh juga disampaikan. Kalau pertanyaan-pertanyaan ini diajukan 2 -3 tahun lalu mungkin jawabannya akan jauh beda. Karena, belakangan gua merasa, jika lagu-lagu itu terlalu detil dijabarkan, dia seperti dipasung. Dia tidak punya perjalanannya sendiri, padahal dia bisa mencari pengalamannya sendiri untuk punya makna yang lain atau baru sama sekali bagi orang-orang yang mendengarkannya jika tidak dikerangkeng dengan penjabaran yang sangat detil. Ya betul, pengarang sudah mati setelah karya itu dilepas ke publik, kira-kira begitulah. Terima kasih. Sama-sama, maaf kalau jawabannya tidak berkenan atau kurang memuaskan. 93 94 95 96 FOTO SIDANG MUNAQASYAH 97