Makalah Akhir Mata Kuliah Sejarah Politik AS di Timur Tengah

advertisement
(Makalah Akhir Mata Kuliah Sejarah Politik AS di Timur Tengah)
KEBIJAKAN NUKLIR AMERIKA SERIKAT – INDIA:
ANALISIS TERHADAPKEUNTUNGAN YANG DITERIMA INDIA, IMPLIKASINYA
TERHADAP REZIM NON-PROLIFERASI, DAN ALASAN KEPENTINGAN AS
Dibuat oleh:
Ahmad Naufal Da’i (0706291174)
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Depok
Maret 2010
Page | 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
India mengembangkan nuklirnya untuk dua tujuan, mendapatkan kemampuan
pengembangan senjata demi kepentingan nasional India (alasan pertahanan) dan juga
mengembangkan nuklir untuk mencukupi kebutuhan negerinya. Kebutuhan energi India
meningkat tajam seiring pertumbuhan perekonomiannya yang sangat menakjubkan, 6-7% per
tahun dimana sekarang India bersama Jerman sama-sama merupakan negara dengan
perekonomian terbesar ketiga di dunia1. Terhitung data tahun 2006 energi nuklir merupakan
sumber energi terbesar keempat di India setelah energi panas (thermal energy), energy air (hydro
energy), dan sumber energi yang dapat diperbahrui (renewable energy resources)2. Pada tahun
2008 India sudah memiliki 17 pembangkit nuklir dengan operasional yang mampu
membangkitkan tenaga sebesar 4.120 MW, sementara itu India masih menunggu penyelesaian
pembangunan 6 pembangkit nuklir lainnya yang diperkirakan akan mampu menambah suplai
pasokan energy listrik sebesar 3.160 MW kedepannya3. India sendiri memiliki tujuan jangka
panjang untuk mengembangkan lebih banyak reaktor nuklir dan meningkatkan efisiensi dan
produktivitas teknologi pembangkit nuklirnya demi memenuhi target pada tahun 2020,
menghasilkan 20.000 MW demi mencapai 10% kontribusi energi nasionalnya.
Namun India mengalami banyak sekali halangan dalam pengembangan teknologi
nuklirnya, halangan itu bukan saja datang dari keterbatasan pasokan uranium lokal yang semakin
menipis namun juga datang dari keterbatasan teknologi nuklir India yang kurang efisien dan dan
1
Securing India’s Energy Needs, diambil dari
http://www.mckinseyquarterly.com/Securing_Indias_energy_needs_1672 pada 16/03/2010 p.k.18.35 WIB
2
India Energy Sources, diambil dari http://cea.nic.in/power_sec_reports/Executive_Summary/2008_12/27-33.pdf
diakses pada 14/03/10 p.k. 10.29 WIB
3
India and Nuclear Energy, diambil dari http://www.reuters.com/article/marketsNews/idUSDEL16711520080818
diakses pada 14/03/10 p.k. 09.23 WIB
Page | 2
masih memiliki standard keamanan yang memprihatinkan. Kesulitan ini sebetulnya dapat
diseleseikan andai saja India mendapatkan dukungan dan bantuan dari negara-negara penyuplai
nuklir (Nuclear Supplier Group, NSG) yang bukan saja mampu memberikan dukungan teknis
namun diharapkan mampu membantu mengatasi masalah keterbatasan pasokan uranium lewat
mekanisme perdagangan internasional. Sayangnya, status India sebagai negara yang tidak
menandatangani NPT menghalangi bantuan tersebut untuk datang, karena hanya negara
penandatangan NPT-lah yang diperbolehkan mendapatkan bantuan untuk mengembangkan
teknologi nuklir sipil. Polemik permasalahan inilah yang kemudian menyudutkan India yang
tetap bersikeras berupaya mengembangkan teknologi nuklirnya dengan segala keterbatasan yang
ia miliki. Apalagi setelah India melakukan uji coba nuklir pada tahun 1998 takanan internasional
semakin menguat dan termaterialisasi dalam bentuk sangsi yang diberikan pada India atas
tindakannya yang dinilai membahayakan kestabilan dan keamanan kawasan Asia selatan.
Adiministrasi Bush dalam hal ini mencoba mengambil langkah yang berbeda, dimulai
pada tahun 2001 ia mencabut sanksi internasional yang dikenakan AS terhadap India.
Pembicaraan dan upaya persuasi-pun terus dilakukan oleh pemerintah AS – India sehingga pada
tahun 2005, melalui pembicaraan awal antara PM India Momohan Singh dan Presiden Bush
terciptalah embrio kesepakatan yang selanjutnya akan melahirkan US-India nuclear deal 2008.
Perubahan radikal kebijakan AS inilah yang menurut saya menarik untuk dikaji, apa
penyebab utama berubahnya haluan kebijakan AS yang sekarang mau memberikan privilege
lebih pada India. Perlu juga melihat proyeksi implikasi yang akan diterima oleh rejim NPT,
akibat kebijakan AS ini. Saya rasa perspektif Cooperative Security dapat dipergunakan untuk
menganalisis peristiwa-peristiwa yang terjadi.
I.2 . Rumusan Masalah
Pertanyaan tulisan ini adalah: “..Mengapa AS memberikan US-India Nuclear Deal yang
secara fundamental mengubah posisi kebijakannya terhadap India yang tidak mau
menandatangani NPT ?..”
Page | 3
I.3. Dasar Teori
I.3.1. Kerjasama Kooperatif
Kerjasama kooperatif adalah kerjasama keamanan internasional yang mengaplikasinan
pendekatan ‘keamanan di dalam’ (security within) dan bukan keamanan untuk melawan keluar
(security against). Pendekatan ini memasukan isu keamanan dalam aspek: sosial, ekonomi,
politik, militer, dan lingkungan. Gareth Evans berargumen bahwa kerjasama keamanan
kooperatif menangkap esensi keamanan yang multidimensional: permasalahan politis dan
diplomatis, ancaman terhadap stabilitas perekonomian, dan pelanggaran HAM4. Kerjasama
keamanan dalam hal ini berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kejersama
bukan melalui aspek deterrence namun menggukan confidence-building measure (CBM). Seperti
yang ditekankan Gareth Evan: “..The term tends to connote consultation rather than
confrontation, reassurance rather than deterrence, transparency rather than secrecy, prevention
rather than correction, and interdependence rather than unilateralism...”5. Pendekatan
keamanan kooperatif juga menggarisbawahi pentingnya diplomasi preventif dan second track
diplomacy.
I.3.2. Keamanan Energi (Energy Security)
Keamanan energi (energy security) merupakan sebuah konsep dimana sebuah negara
mampu mempertahankan diri dan melakukan pembangunan dengan mengutamakan keamanan
dan ketersediaan cadangan energi yang memadai dengan harga yang terjangkau, baik minyak
ataupun variasi jenis energi lainnya6. Hal ini semakin penting dengan kenyataan bahwa dinamika
ekonomi dan politik turut mempengaruhi suplai energi yang sangat krusial bagi kegiatan
pembangunan sebuah negara. Hal-hal yang mempengaruhi keberlanjutan cadangan enegri antara
lain adalah ketersediaan cadangan energi, fluktuasi harga, ancaman terorisme, instabilitas
4
Gareth Evans, Cooperative Security and Intrastate Conflict, Foreign Policy, No. 96 (Autumn, 1994), hal: 7
Ibid.
6
Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”, dalam jurnal foreign affairs . Volume 85 No. 2 March/April 2006
5
Page | 4
domestic negara pengekspor energi, adanya perang, persaingan geopolitik, hingga peta energi
oleh negara-negara besar pengkonsumsi energi dunia7.
Ketersediaan suplai energi menjadi masalah yang cukup signifikan dalam hal ini.
Pertama, jika suplai energi menurun, maka akan menimbulkan kenaikan harga energi yang
berakibat pada turunnya daya beli energi8. Hal ini akan berimbas pada kolapsnya kegiatan
ekonomi dan bersifat destruktif terhadap kegiatan produksi dan konsumsinya masyarakat. Kedua,
dengan ditemukannya sumber suplai energi baru, maka hal ini dapat menunda kelangkaan energi
yang mungkin terjadi dan mengamankan cadangan energi dalam kurun waktu tertentu. Suplai
memegang peranan yang sangat penting, karena permintaan akan energi sebagai komoditas
primer cenderung selalu tetap dan bersifat inelastis9.
I.3.3. Konsep Kepentingan Nasional
Kebijakan luar negeri merupakan seperangkat kajian tentang bagaimana sebuah negara
membuat kebijakan sehingga melibatkan studi politik internasional dan domestik yang
menyangkut hubungan internasional dan kebijakan publik10. Kebijakan ini didasarkan pada
analisa dari diplomasi, perang, hubungan antar organisasi, maupun perspektif lain seperti
ekonomi, yang tergantung bagaimana masing-masing negara menerapkan kebijakan asing.
Dalam proses pembuatannya, kebijakan luar negeri melibatkan beberapa tahap11: (1) Penilaian
internasional dan domestik politik lingkungan; Kebijakan luar negeri dibuat dan dilaksanakan
dalam konteks politik internasional dan domestik, yang harus dipahami oleh negara untuk
menentukan pilihan kebijakan luar negeri terbaik, (2) Tujuan pengaturan; dimana sebuah negara
harus menentukan tujuan yang sangat dipengaruhi oleh internasional dan domestik politik
lingkungan pada suatu waktu yang akan memudahkan negara untuk melakukan prioritas, (3)
Penetapan kebijakan pilihan; Sebuah negara harus menentukan pilihan kebijakan yang tersedia
untuk memenuhi tujuan atau tujuan yang telah ditetapkan dalam lingkungan politik. Ini akan
melibatkan penilaian dari negara kapasitas untuk melaksanakan kebijakan pilihan dan penilaian
7
Ibid.
Florian Baumann, Energy Security as multidimensional concept, dalam jurnal CAP policy analysis, no. 1 March
2008
9
Ibid.
10
M. Clarke, ‘The Foreign Policy System: A Framework for Analysis’, in M. Clarke and B. White (eds) Understanding
Foreign Policy: The Foreign Policy Systems Approach (Cheltenham: Edward Elgar 1989), pp.27–59.
11
Ibid. hlm. 25
8
Page | 5
tentang konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, (4) Pengambilan Keputusan Formal; yang
biasanya oleh lembaga eksekutif seperti kepala negara atau kepala pemerintahan, kabinet, atau
menteri, dan (5) Implementasi.
Esensi dari kebijakan luar negeri merupakan rencana dan kebijakan-kebijakan yang
ditujukan
kepada
tujuan
yang
satu
yakni
perwujudan
kepentingan
nasional
demi
mempertahankan kelangsungan hidup negara12. Sehingga setiap pengambilan kebijakan luar
negeri, suatu negara selalu mendasarkan pada kepentingan nasional.
I.4. Deskripsi Terhadap Polemik India dan NPT
Anggota NPT diakui memiliki hak untuk mengakses energi nuklir demi tujuan damai dan
juga memenuhi kebutuhannya untuk bekerjasama dalam kerangka penggunaan energy nuklir
untuk kepentingan sipil. Dalam konteks ini, negara yang menandatangani NPT diminta untuk
tidak mengembangkan teknologi nuklirnya untuk bersifat militer dan ofensif. Negara anggota
NPT juga diminta untuk membuka dirinya dan transparan terhadap fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh IAEA demi mencegah bencana nuklir yang diakibatkan keteledoran prosedural
maupun demi mencegah jatuhnya teknologi nuklir ke tangan yang salah.
Persetujuan NPT tidak hanya berimplikasi negara pada penandatangan perjanjian. Lebih
jauh lagi perjanjian ini berimplikasi pada negara-negara yang mampu melakukan perdagangan
uranium, spare parts reaktor nuklir, membangun fasilitas dan instalasi nuklir untuk kebutuhan
sipil, dan memberikan technical assistance terkait dengan pelatihan sumber daya manusia untuk
pengoperasian teknologi nuklir. Negara-negara yang tergabung dalam kelompok ini disebut
negara penyuplai nuklir (nuclear supplier group, NSG). Perjanjian NPT memberikan guidelines
dan larangan bagi negara-negara untuk melakukan transaksi dan asistensi terhadap negara-negara
yang tidak menandatangani perjanjian NPT13. Oleh karena sebab inilah India terutama, tidak
pernah dibantu oleh negara-negara NSG dalam pengembangan nuklirnya. Awalnya diharapkan
negara-negara yang tidak memiliki bantuan untuk mengembangkan nuklir akan menyerah dan
melupakan ambisinya sehingga insentif ‘bantuan negara-negara NSG’ akan cukup menarik
negara-negara untuk menandatangani perjanjian NPT.
12
Ibid. hlm. 25
Hanya ada 4 negara di dunia yang merupakan non-signatory parties of NPT. Mereka adalah: India, Pakistan,
Israel dan Korea Utara, diambil dari
13
Page | 6
Namun pada kenyataannya India, termasuk juga 3 negara yang tidak menandatangani
NPT terus berupaya mengembangkan industri nuklir domestiknya walau tanpa dukungan negaranegara NSG. Sejauh ini India cukup berhasil baik dalam mengembangkan teknologi senjata
nuklir taktis maupun fasilitas sumber pembangkit energi nuklir-nya. Dan status quo polemik
nuklir India dan NPT akan berubah dengan kesepakatan nuklir India-AS dan sekali lagi
pertanyaanya adalah
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Rangkuman Terhadap Kesepakatan Nuklir India – AS (US-India
Nuclear Deal)
Persetujuan nuklir India – AS (dinamakan juga Indo-US nuclear deal) adalah
kesepakatan bilateral mengenai penggunaan nuklir untuk tujuan damai natara pemerintah AS dan
pemerintahan India. Dalam kesepakatan India diminta memisahkan fasilitas nuklir sipil dan
militernya dan bersedia untuk senantiasa diperiksa dan diawasi oleh badan pengawas energi atom
internasional (International Atomic Energy Agency, IAEA)14. Sebagai gantinya AS harus mau
bekerjasama dengan India dalam sector penggunaan nuklir untuk tujuan sipil, baik dalam hal
transfer teknologi, perdagangan bahan bakar uranium maupun technical support. Kebijakan ini
juga akan memungkinkan India bekerja sama dengan negara lain yang merupakan negara-negara
penyuplai nuklir (NSG) seperti Kanada, Australia, Perancis Maupun Russia15.
II.2. Keuntungan Yang Didapatkan India
14
AFP: India is Energized by Nuclear Deal, diambil dari
http://afp.google.com/article/ALeqM5geN2RWjoN4oJhPibc7rhkyxMXfzg diakses pada 22/03/2010 p.k. 17.22 WIB
15
India Sign Nuclear Deal With Russia, diambil dari: Rediff: http://news.rediff.com/report/2009/dec/07/ndealindia-russia-sign-deal-for-supplying-reactors.htm diakses pada 19/03/2010 p.k. 14.33 WIB
Page | 7
India bukanlah negara penandatangan perjanjian NPT (Nuclear Non-Proliferation
Treayty) dan India juga menolak berpartisipasi dalam beberapa perjanjian yang dibuat untuk
membatasi pengembangan kemampuan senjata nuklir seperti CTBT (Comprehensive Test Ban
Treaty, yang membatasi fleksibilitas pengujicobaan nuklir). Dua hal tersebut mengakibatkan
India diembargo oleh negara-negara anggota NSG (Nuclear Suppliers Group) sehingga terpaksa
mengandalkan pada industri nuklir domestik sampai tahun 2006 (dimana terjadi penurunan
kempampuan
produksi listrik sebesar 12,83% dikarenakan ketersediaan uranium yang
menipis)16.
India dalam hal penggunaan nuklir untuk sebagai sumber energi menempati menempati
peringkat ke-sembilan di dunia, sebuah upaya yang dengan keras diperjuangkan India demi
mencukupi kebutuhan energy negaranya yang sangat besar. India dalam hal ini menilai nuklir
merupakan alternatif pilihan energy yang tepat demi mencukupi kebutuhan dalam negerinya saat
ini dan di masa yang akan datang dikarenakan keterbatasan persediaan cadangan bahan bakar
fosil yang ada di negerinya. Investasi keluar negeri telah diupayakan seperti terlihat pada 2001 –
2003 dimana India menanamkan investasi di Russia dan Sudan untuk mendapatkan suplai
Minyak dan Gas bumi17, namun India sadar bahwa energy fosil akan semakin tidak ekonomis
mengingat jumlah permintaan dunia yang semakin besar berbanding terbalik dengan
ketersediaan. Hal inilah yang menjadi factor pendorong India untuk mengoptimalkan
kemampuan nuklirnya.
Selama ini India harus mengoptimalkan industri nuklir domestiknya demi penyediaan
tidak hanya nuklir, namun juga teknologi, suku cadang, dan teknisi bagi pengoperasian beberapa
reactor nuklirnya. Embargo yang dilakukan oleh negara-negara NSG bukan saja menghalangi
target India untuk mencapai ‘target pengingkatan kempampuan suplai energi’ sebesar 20.000
MW pada tahun 2020, namun hal itu juga menyebabkan India mengalami kesulitan menjalankan
industri energy nuklir domestiknya dan menyebabkan operation cost lebih tinggi sementara level
keselamatan nuklir-nya rendah. Indian – US Nuclear deal merupakan titik penting bagi India
dimana perjanjian ini akan memperbolehkan India untuk melakukan perdagangan bahan bakar
16
Uranium Shortage Holding Back India’s Energy Production, diakses dari
http://www.livemint.com/2008/06/30222448/Uranium-shortage-holding-back.html, pada 15/03/10 p.k. 10.46
WIB
17
Securing India’s Energy Needs, Op.Cit.,
Page | 8
dan teknologi dengan negara lain (terutama NSG) untuk membangkitkan potensi nuklirnya
secara signifikan. Kalau persetujuan ini berjalan dengan mulus India diperkirakan akan mampu
membangkitkan 25.000 MW tambahan tenaga sehingga secara agregat menambah daya suplai
energy nuklir India menjadi 45.000 MW dan mencukupi proyeksi kebutuhan India sampai tahun
2020 yang berniat mampu menyuplai 10% dari total kebutuhan energy dunia18. Keuntungan lain
yang akan didapatkan oleh India adalah peningkatan kualitas keamanan reaktor nuklirnya
dikarenakan skema pengawasan dari IAEA akan memberikan masukan dan kritikan yang mampu
secara konstruktif membimbing kebijakan nuklir procedural di India.
II.3. Implikasi Kesepakatan Nuklir Terhadap Rezim Non-Proliferasi (NPT)
Saya menilai kebijakan AS yang memberikan kemudahan bagi India untuk mengakses
teknologi nuklir dan berinteraksi dengan negara-negara NSG demo kepentingannya merugikan
rezim non-prolifersi nuklir secara keseluruhan. Dua alasan utama, implikasi kebijakan tersebut
pada negara-negara non-NPT yang lain dan implikasi kebijakan tersebut bagi negara
penandatangan NPT yang juga kemungkinan memiliki aspirasi nuklir.
Dasar terbentuknya NPT adalah sebuah upaya yang disetujui oleh setiap pihak demi
tujuan mencegah penyebaran teknologi nuklir yang dapat membahayakan keamanan dunia dan
kestabilan politik internasional. Dalam prinsipnya hanya 5 negara anggota permanen DK-PBB
saja yang seharusnya diperbolehkan mengembangkan kemampuan nuklir ofensif. Hal ini
disebabkan posisi mereka yang diberi beban ‘ekstra’ untuk menjaga perdamaian di seluruh
dunia, untuk memiliki kapabilitas proyeksi kekuatan militer demi mencapai hal tersebut. Negaranegara selain anggota permanen DK harus dibatasi pengembangan nuklirnya. Hal tersebut dapat
dicapai dengan mewajibkan negara selain anggota permanen DK untuk berkomitmen tidak akan
mengembangkan teknologi nuklir demi kepentingan militer. Fasilitas kerjasama dengan negaranegara penyuplai nuklir (NSG) diharapkan mampu menjadi carrot demi menarik negara-negara
menandatangai NPT.
Amerika Serikat lewat kebijakannya baru saja memberi India posisi istimewa kepada
India yang walaupun tidak menandatangani NPT tetap saja mendapat keuntungan engagement
18
India Needs Energy and the USA, diambil dari http://www.rediff.com/news/2005/sep/02sg.htm pada
16/03/2010 p.k. 16.44 WIB
Page | 9
dengan negara-negara NSG. Konsekuensinya hal ini menjadi precedent buruk bagi dunia
internasional terutama terkait dengan rezim non-proliferasi yang ada. Pesan yang tersampaikan
oleh tindakan Amerika akan berimplikasi pada rasa ketidakadilan yang akan dirasakan ketiga
negara non-signatory dari NPT, Pakistan, Israel dan Korea Utara. Apalagi mengingat Pakistan
dan Israel adalah sekutu dekat Amerika Serikat. Bukan tidak mungkin kedua negara ini menjadi
semakin asertif meminta AS member privilege yang sama seperti yang dinikmati India. Bukan
tidak mungkin seiring waktu AS justru akan melunak dan memberi nuclear deal kepada dua
negara tersebut. Intinya, kesepakatan nuklir AS – India menciptakan slippery slope yang buruk
bagi Israel, Pakistan dan Korea Utara yang tentunya akan menjadi lebih semakin sulit diajak
menandatangani NPT dan malah akan membuat mereka semakin keras mempertahankan
posisinya. Apalagi implikasi kebijakan ini pada Korea Utara yang makin melihat NPT sebagai
upaya imperialis yang tidak adil bagi negerinya.
Selain itu dampak negatif deal India – AS dikhawatirkan justru memperlemah
kohesivitas rejim non-proliferasi yang ada di status quo. Negara-negara yang menandatangani
NPT tentunya mengorbankan kepentingan nasionalnya untuk memperoleh senjata nuklir taktis.
India, sebuah negara yang terlanjur memiliki teknologi nuklir, menolak untuk meratifikasi NPT,
dan bersikeras mengembangkan kemampuan nuklir ofensifnya pada ujungnya diberikan hak
yang sama dengan negara-negara yang harus rela mengorbankan aspirasi nuklirnya. Lagi-lagi
sentiment negatif dan rasa kurang adilnya regulasi yang ada sangat mungkin memicu reaksi
keras dari negara penandatangan NPT untuk mempertanyakan relevansi keberadaanya dalam
rezim pro-liferasi tersebut. Bukan tidak mungkin negara-negara yang memiliki ambisi nuklir
keluar dari NPT karena kasus AS-India nuclear deal.
II.4. Analisis Terhadap Kebijakan AS: Strategi Untuk Merangkul India ?
Kebijakan AS dapat dijelaskan dengan melihat berbagai sudut pandang penjelasan.
Pertama, kita dapat melihat kebijakan ini sebagai upaya AS memperkuat aliansinya dengan India
untuk counter-balancing Cina dan memperkuat partisipasi India dalam perang melawan
terorisme dan juga merespon kebutuhan industri nuklir domestiknya yang menginginkan
ekspansi pasar untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dengan melakukan transaksi nuklir
dengan negara yang memiliki permintaan besar, dalam hal ini India.
Page | 10
India secara tradisional adalah aktor antagonis bagi RRC. India mulai mengembangkan
teknologinya dimulai sejak tahun 1974 untuk merespon kapabilitas nuklir Cina. India juga
memiliki sejarah konfliktual dengan Cina dalam isu Kashmir. India juga pada saat ini merupakan
salah satu negara yang pertumbuhan perekonomiannya sangat pesat mendekati RRC. Ditambah
lagi lingkungan geostrategic India yang memang berbatasan langsung membuatnya menjadi
salah satu kawan terbaik AS dalam upaya counter-balancing Cina. India juga merupakan partner
penting AS untuk menghadapi transnational terrorism yang berskala global. India yang juga
merupakan negara yang kerap kali menjadi target upaya terror oleh kelompok muslim radikal di
Bangladesh, Pakistan, Jammu maupun Kashmir. India setidaknya memiliki perspektif da intense
yang sama dengan AS dalam melihat isu radikalisme dan terorisme. AS melihat upaya
membangun sebuah aliansi dengan India merupakan upaya yang tepat terutama melihat stabilitas
politik demokrasi india yang semakin stabil dan dinamis, berbeda dengan Pakistan yang sangat
volatile dan sulit ditebak. Saya rasa kepentingan nasional AS, yaitu pembangunan aliansi untuk
mengantisipasi Cina dan kerjasama menanggulangi terorisme global merupakan pertimbangan
utama disegelnya kesepakatan nuklir India-AS.
Kemudian saya melihat AS juga termotivasi untuk melakukan transaksi nuklir dengan
India yang notabenenya memiliki pasar yang sangat potensial dengan permintaan akan nuklir
yang sangat besar. Industri nuklir AS yang akan terlibat dalam proses penyediaan uranium,
pelatihan pekerja dan juga pembangunan beberapa reaktor pembangkit tambahan diperkirakan
akan mencapai angka $10 Milyar, sebuah potensi keuntungan yang sangat menjanjikan bahkan
untuk AS.
Page | 11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Page | 12
BAHAN BACAAN
Gareth Evans, Cooperative Security and Intrastate Conflict, Foreign Policy, No. 96 (Autumn, 1994)
Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”, dalam jurnal foreign affairs . Volume 85 No. 2 March/April
2006
Florian Baumann, Energy Security as multidimensional concept, dalam jurnal CAP policy analysis, no. 1
March 2008
. Clarke, ‘The Foreign Policy System: A Framework for Analysis’, in M. Clarke and B. White (eds)
Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy Systems Approach (Cheltenham: Edward Elgar 1989),
pp.27–59.
AFP: India is Energized by Nuclear Deal,
http://afp.google.com/article/ALeqM5geN2RWjoN4oJhPibc7rhkyxMXfzg
India Energy Sources, http://cea.nic.in/power_sec_reports/Executive_Summary/2008_12/27-33.pdf
India Needs Energy and the USA, diambil dari http://www.rediff.com/news/2005/sep/02sg.htm
Securing India’s Energy Needs,
http://www.mckinseyquarterly.com/Securing_Indias_energy_needs_1672
Uranium Shortage Holding Back India’s Energy
Production,http://www.livemint.com/2008/06/30222448/Uranium-shortage-holding-back.html
Page | 13
Download