Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. Resensi Buku : Judul Buku : Respon Pemerintah, Ormas dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia Penulis : Abdul Aziz, dkk. Editor : Haidlor Ali Ahmad Penerbit : Balitbang dan Diklat Depag, Jakarta Cetakan : 1, 2007 Tebal : xiii + 207 hlm. Menyikapi Perbedaan Aliran Keagamaan di antara Kita Oleh : Zainul Arifin* Dalam kehidupan keagamaan, aqidah atau keyakinan terhadap doktrin yang dianut adalah hal yang paling esensial, sakral dan memiliki muatan nilai-nilai emosional. Manakala keyakinan itu diusik atau hanya karena ada individu atau kelompok lain yang memiliki keyakinan yang berbeda maka identitas diri akan muncul dan memberikan respon disertai luapan-luapan emosi, bahkan tidak jarang dapat menimbulkan konflik atau tindakan anarkhis. Perbedaan keyakinan atau faham keagamaan dalam satu agama disebabkan antara lain oleh perbedaan penafsiran atau pemahaman terhadap teks-teks suci. Sementara perbedaan penafsiran atau pemahaman bersumber dari perspektif madzhab atau grand teori dalam ilmu agama baik dalam ilmu tauhid (teologi) maupun ilmu fiqh. Adapun perbedaan respons pemerintah, ormas keagamaan, dan masyarakat dapat dilihat melalui dua sisi tatanan kehidupan, yaitu tatanan kehidupan beragama dan tatanan kehidupan bernegara. Di satu sisi, masyarakat kita secara umum memang tampak masih kurang dalam penguasaan ilmu agama dan juga kurang dewasa dalam kehidupan keagamaan. Kondisi ini diperparah dengan kekurangdewasaan dalam kehidupan bernegara. Dalam hal ini, sering dikatakan kita baru belajar berdemokrasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, buku ini menghadirkan sejumlah tulisan yang diangkat dari hasil penelitian lapangan tentang aliran/faham keagamaan di berbagai daerah. Halhal yang menjadi fokus kajian antara lain, ajaran, aktivitas keagamaan (peribadatan dan penyiarannya), dan ciri-cirinya. Ciri-ciri faham/aliran keagamaan dilihat, baik dan sisi teologi (sebagai fakta yang membedakan antara faham/aliran yang menjadi sasaran penelitian dengan faham/aliran lain, khususnya faham mainstream), maupun sisi sosialnya, yakni bagaimana para penganutnya berinteraksi dengan masyarakat, khususnya dengan mereka yang berada di luar kelompoknya. Fokus lain dalam penelitian ini adalah respon pemerintah setempat, ormas keagamaan, dan masyarakat terhadap kehadiran aliran/faham keagamaan di lingkungannya. Aliran/faham keagamaan yang menjadi sasaran kajian dalam buku ini adalah Jamaah Tabligh, Ahmadiyah, LDII, Saksi-saksi Yehuwa dan Hindu Tamil di kota-kota : Banjarmasin, Samarinda, Palembang, Tanjung Pinang, Manado dan Medan. Ahmadiyah Qadiyani (AQ) masuk ke Banjarmasin dibawa oleh Yuli Fadli, mubaligh AQ dari Malaysia tahun 1961. Tahun 1963 di daerah Kebun Sayur ia mendirikan pusat dakwah AQ, yang merupakan ranting dari Cabang AQ Surabaya. Perkembangan AQ di Kalsel umumnya termasuk sedang-sedang saja, karena masyarakat Banjarmasin lebih cenderung mengikuti tradisi keagamaan yang berlaku di kalangan NU. Sebelum peristiwa penyerbuan Kampus Mubarok di Bogor, masyarakat sekitar kantor AQ tidak begitu tahu tentang AQ. Bahkan banyak anak-anak Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. sekitar yang belajar mengaji kepada aktivis AQ di sana. Namun setelah peristiwa Kampus Mubarok, masyarakat mulai menarik anak-anak mereka dari guru-guru ngaji di lingkungan AQ. Di kalangan AQ terdapat beberapa doktrin penting yang menjadi dasar keyakinan pengikutnya, yang secara parallel dianggap berbeda dengan doktrin keagamaan mayoritas umat Islam di Banjarmasin. Kategorisasi yang dibuat oleh WC Smith memasukkan Ahmadiyah sebagai gerakan teologi, berbeda dengan pendapat gurunya, H.A.R. Gibb yang memasukkan Ahmadiyah ke dalam gerakan intelektual, walaupun aspek intelektualnya merupakan unsur yang tidak begitu dominan di dunia Islam. Aspek intelektual Ahmadiyah hanya sedikit artinya sebagai pembawa tafsirantafsiran Islam yang bersifat liberal. Ahmadiyah —yang menjadi sasaran penelitian ini — dilihat dari sisi interaksi sosialnya dapat dikategorikan sebagai gerakan yang bersifat eksklusif. Sementara LDII, walaupun belakangan telah melakukan reformasi, menjadi kelompok faham keagamaan yang inklusif, tetapi masyarakat secara umum belum begitu percaya akan perubahan yang dilakukan LDII. Karena memori kolektif masyarakat masih memandang LDII tidak lain sebagai metamorfose dari Islam Jama’ah, Lemkari dan Darul Hadits yang merupakan faham keagamaan yang ekslusif. Begitu juga sebagian anggota LDII belum bisa menunjukkan perubahan ke arah inklusif tersebut, terutama dalam interaksi sosial mereka dengan anggota masyarakat di luar kelompok. Faham/aliran Saksi-saksi Yehuwa (di Indonesia: Saksi-saksi Yehuwa Indonesia/SSYI) yang merupakan salah satu sekte dari Kristen Protestan, disamping sebagai gerakan teologi, juga merupakan gerakan puritan. Faham ini tidak mengakui Tritunggal yang menjadi doktrin umat Kristiani secara umum; tidak merayakan Natal dan tidak memakai salib; serta melarang menghormati bendera yang dinilai bertentangan dengan al-Kitab dan dapat merusak iman. Di lingkungan umat Kristiani, aliran Saksi-saksi Yehuwa dipandang sebagai aliran yang radikal. Hindu Tamil di Medan merupakan aliran agama Hindu yang dibawa ke Medan sekitar abad ke-17 oleh migran Suku Tamil dari P. Andaman dan P. Nikobar di Teluk Benggala. Perbedaan antara Hindu Tamil dengan Hindu Bali lebih bersifat budaya. Orang-orang Tamil mengadopsi ajaran Hindu dari India Selatan. Bahasa yang digunakan dalam ritual-ritual Hindu Tamil adalah bahasa Tamil. Perbedaan lainnya adalah tempat ibadat yang tersendiri dan masing-masing memiliki hari raya yang berbeda. Misalnya, Hari Raya Dipawali yang biasa diperingati oleh penganut Hindu Tamil, tidak dikenal oleh penganut Hindu Bali. Sebaliknya, orang-orang Hindu Tamil tidak mengenal hari Nyepi, Kuningan dan Galungan yang merupakan hari raya yang selalu diperingati oleh orang Hindu Bali. Meski demikian, penganut Hindu Tamil di Medan tetap memakai buku-buku agama Hindu yang diterjemahkan atau ditulis dari Bali. Respon pemerintah, ormas dan masyarakat terhadap fenomena di atas berbeda-beda, ada yang acuh tak acuh, ada yang bersifat represif , ada pula yang cenderung anarkhis. Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar