1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orang Dengan HIV

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) merasa mengalami dampak dari stigma
dan diskriminasi. Dari berbagai ilustrasi yang ada diberbagai mass media tampak
bahwa memang terjadi tindak diskriminatif terhadap ODHA. Hal tersebut diperkuat
oleh kurangnya informasi yang lengkap dan memadai tentang apa itu HIV/AID.
Miskonsepsi yang terjadi tentang bagaimana virus tersebut menyebar dapat
meneguhkan stigma dan diskriminasi yang ada di masyarakat. Media cetak maupun
elektronik terkadang kurang akurat dalam mengulas isu HIV/AIDS. Rasa was-was
dan khawatir pada ODHA dan mempengaruhi hubungan sosial dengan orang lain.
Menurut Stolley & Glass (2009) Human Immunodeficiency Virus (HIV)
merupakan sebuah virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Virus
tersebut menyerang dua jenis sel darah putih (sel CD4 dan T), dimana sel darah
tersebut sangat penting bagi sistem kekebalan tubuh manusia. Ketika kedua sel
tersebut terinfeksi HIV maka sistem kekebalan tubuh manusia akan melemah dan
tidak mampu lagi melawan beragam infeksi penyakit.
Kemudian ada pula yang disebut dengan Acquired Immunodeficiency Down
Syndrome (AIDS) yang merupakan kondisi lanjutan dari HIV dimana sistem
kekebalan tubuh tidak dapat lagi berfungsi dengan baik atau tidak dapat lagi
berfungsi sama sekali sehingga tubuh tidak mampu lagi melawan atau menahan
infeksi-infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Namun perkembangan dari HIV
menuju AIDS hanya terjadi jika dibiarkan tanpa medikasi maupun terapi (AIDS Ina,
2012).
1
2
Awal mula ditemukannya virus HIV/AIDS adalah pada tahun 1981
dilaporkan oleh U.S. Centers for Disease Control & Prevention (CDC) dan dalam
perjalanan waktu HIV/AIDS menjadi sebuah pandemi diseluruh dunia dikarenakan
banyaknya korban yang meninggal dan meningkatnya jumlah individu yang
terinfeksi virus tersebut (Stolley & Glass, 2009). Berdasarkan dari hasil survey
United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) yang diterbitkan pada tahun
2012 penderita HIV/AIDS diseluruh dunia pada akhir tahun 2011 mencapai 36,5 juta
jiwa. Dimana diantaranya jumlah orang dewasa yang baru terjangkit sebanyak 2,2
juta jiwa dan jumlah pada anak-anak sebanyak 330.000 juta jiwa. Dalam survei yang
sama pula disebutkan bahwa angka kematian yang disebabkan oleh virus ini
mencapai 1,7 juta jiwa. Dan diperkirakan bahwa semua jumlah ini mungkin saja
akan terus bertambah (UNAIDS, 2012).
Di Indonesia sendiri kasus HIV/AIDS pertama kali diidentifikasikan terjadi di
Bali pada seorang wisatawan asing yang kemudian meninggal pada April 1987
(Tempo.Co, 2004). Penyebaran HIV di Indonesia terus meningkat setelah tahun
1995. Pada pertengahan tahun 1990an terjadi peningkatan yang tajam dalam
penularan dikalangan pengguna narkotika, psikotropika dan zat aktif (Napza) atau
biasanya disebut dengan pengguna napza suntik (Penasun). Tahun 1999 terjadi
fenomena baru, penyebaran HIV/AIDS yaitu infeksi HIV mulai terlihat pada para
pengguna narkoba suntik. Penularan pada kelompok ini terjadi secara cepat karena
lingkungan sosial yang mengkriminalisasikan penasun, menyebabkan sebagian besar
para Penasun menyuntik secara sembunyi-sembunyi dengan berbagi alat suntik. Pada
tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran epidemi HIV secara nyata melalui
pekerja seks dan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV juga
telah meluas ke rumah tangga (Tempo.Co, 2004).
3
Berdasarkan hasil survei dari Direktorat Jendral Pengedalian Penyakit
(Ditjen PP) dan Kementerian Kesehatan jumlah kumulatif individu yang baru
terinfeksi HIV yang dilaporkan dari bulan Januari sampai dengan maret 2013 ada
sebanyak 5.369 orang dengan persentase terbanyak pada kelompok usia 25 – 49
tahun yaitu 74,2% dan untuk individu yang terinfeksi AIDS sebanyak 460 orang
dengan persentase terbanyak pada kelompok usia 30 -39 tahun yaitu 39,1%.
Pada bulan Desember 2012, Avin (dalam Berita Satu, 2012) berusia 27 tahun
merasa bahwa dia tidak perlu malu lagi untuk mengakui dan menunjukkan jati
dirinya sebagai orang yang terjangkit virus HIV. Mahasiswa tersebut terjangkit virus
HIV/AIDS pada saat usianya 24 tahun. Saat pertama kali terkena virus HIV/AIDS,
ODHA tersebut hanya memilih untuk memberitahukan kepada teman-teman
terdekatnya saja dan sejak ia mengaku mengidap HIV beberapa temannya tersebut
mulai menjauhinya. Diskriminasi yang diterima dianggapnya sebagai bentuk
ketidaktahuan dalam menghadapi orang yang terinfeksi HIV. Mahasiswa tersebut
membutuhkan waktu satu tahun berpikir untuk memberitahukan kepada orangtuanya
tentang penyakit yang diidapnya. Pada awalnya orangtua mahasiswa tersebut merasa
sangat terkejut namun pada akhirnya mereka dapat menerima kenyataan tesebut
dengan baik, bahkan orangtua mahasiswa tersebut mendukung dia untuk
mengungkapkan statusnya kepada orang lain. Dengan open status, dia ingin
menghapus stigma negatif serta memerangi diskriminasi terhadap pengidap HIV.
ODHA tersebut mengetahui banyak orang yang dipecat karena berstatus mengidap
HIV dan dia berharap semua orang yang terjangkit virus mematikan tersebut dapat
menjalani kehidupan mereka dengan normal dan berpikir jika semua orang pengidap
HIV tidak bersembunyi dan memisahkan diri dari pergaulannya, akan banyak orang
4
yang merangkul dan mengakhiri stigma buruk yang selama ini melekat pada
pengidap HIV.
Dalam penelitian ‘Knowledge of School Youth on AIDS’, menunjukan
bahwa banyak prasangka-prasangka yang terjadi diantara para pelajar akan ODHA.
90% pelajar dalam penelitian tersebut mengetahui bahwa HIV tidak menular melalui
berbagi penggunaan toilet, namun hanya 10% yang tetap mau menggunakan toilet
yang sudah digunakan oleh ODHA. Dalam lingkungan sosial sebagian besar pelajar
menjaga jarak mereka dari ODHA dan merasa bahwa ODHA seharusnya diberikan
perawatan pada suatu institusi khusus dan terpisah dari yang lainnya (Ministry of
Health, 2001; Zefi, 2013).
Seringkali pula ODHA menerima begitu saja perlakuan ini karena merasa
pantas menerima perlakuan diskriminatif tersebut. Namun ada juga ODHA yang
sadar bahwa mereka terdiskriminasi. Di Indramayu seorang ibu rumah tangga
berinisial Nv yang berstatus ODHA merasa terdiskriminasi dan susah mencari
pekerjaan untuk kehidupannya. Ibu Nv terinfeksi virus Human Immunodeficiency
Virus (HIV) setelah ia pulang bekerja sebagai TKW (TribunNews.com, 2013) .
Dalam dunia kerja misalnya, ODHA mendapatkan perlakuan yang berbeda.
Bahkan kadang ketika seseorang kedapatan mengidap HIV/AIDS langsung dipecat.
Awal Mei 2011, seorang karyawan pabrik gula di Jawa Timur, diberhentikan oleh
pihak perusahaan karena terindikasi mengidap HIV. Dan yang menyebabkan
pemberhentian karyawan tersebut dikarenakan atas permintaan rekan kerjanya yang
mengaku merasa terganggu dan takut tertular HIV/AIDS (BBC Indonesia, 2011).
Dalam pelayanan kesehatan ODHA juga mendapatkan perlakuan diskriminatif
5
karena stigma sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi pelayanan dari para
tenaga kesehatan (nakes).
Berdasarkan beberapa pemaparan diatas dapat dilihat bahwa HIV/AIDS
menjadi isu global tidak hanya karena angka pravelensi yang terus meningkat dari
tahun ke tahun, tetapi juga tindak diskriminasi yang muncul yang diberikan oleh
masyarakat terhadap ODHA. Pandangan masyarakat mengenai penyakit HIV/AIDS
masih dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman yang irasional, sehingga stigma
terhadap ODHA pun tak terhindarkan dan terus berkembang. ODHA dijauhi dan
distigmanisasi sebagai orang yang tidak punya hak untuk hidup sebagaimana orang
normal lainnya, kemudian secara langsung perilaku mendiskriminasi ODHA pun
terjadi. ODHA merasa terdiskrisminasi dan mereka mengalami penolakan dari
masyarakat sehingga hak untuk memiliki hidup yang layak, mendapatkan pendidikan
serta pekerjaan, serta hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pun tidak
diperolehnya. Selain keluarga dan masyarakat, tindak diskriminatif juga dilakukan
oleh petugas kesehatan. Para dokter dan perawat ogah-ogahan melayani ODHA
karena resiko tertular. Asisten Sekjen Komunitas ODHA Bali (KOBA) Yurike
Ferdinandus menyatakan bahwa, beberapa tenaga kesehatan secara terang-terangan
menolak memberikan pelayanan kesehatan ketika mengetahui pasien yang ditangani
positif mengidap HIV/AIDS (odhaberhaksehat.org, 2011).
Persepsi tentang diskriminasi (Perceived discrimination) didefinisikan
sebagai manifestasi perilaku sikap negatif, penilaian, atau perlakuan tidak adil yang
diterima oleh anggota kelompok (Banks, Kohn-Wood, & Spencer, 2006; Pascoe &
Richman, 2009). Menurut Pascoe & Richman (2009), pengalaman diskriminasi dapat
mempengaruhi kesehatan dengan mengurangi sumber daya individu dalam
pengendalian diri, berpotensi meningkatkan partisipasi dalam perilaku tidak sehat
6
atau menurunkan partisipasi dalam perilaku sehat. Diskriminasi yang dirasakan
adalah persepsi individu bahwa ia diperlakukan berbeda atau tidak adil karena nya
keanggotaan kelompok (Sanchez dan Brock, 1996; Ensher, Grant-Valloned &
Donaldson, 2001).
Faktor individual, situasional dan budaya mempengaruhi sejauh mana
individu akan mengaggap diri mereka sebagai korban diskriminasi (Kaiser & Major
2006) dan perasaan terdiskriminasi ini dapat mempengaruhi harga diri mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Moskowitz dan Seal (2010) menjelaskan bahwa harga diri
(Self-esteem) merupakan perasaan berharga dari diri sendiri sebagai obyek sosial, arti
keseluruhan sebagai individu bernilai dengan signifikansi sosial. Harga diri dalam
psikologi digambarkan oleh Rosenbergs (1965) sebagai sikap positif atau negatif
terhadap diri sendiri (Tariq 2011). Blascovich dan Tomaka (1991) (dalam Tariq
2011) menjelaskan bahwa konsep harga diri banyak digunakan untuk mengacu pada
pandangan nilai berharga nilai seseorang terhadap dirinya, sejauh mana nilai orang
tersebut dalam menerima, menghargai atau menyukai dirinya.
Harga diri mempengaruhi kehidupan individu dalam berbagai cara dan
individu yang memiliki harga diri yang positif mengarah pada pengembangan sifatsifat psikologis yang sehat dan individu dengan harga diri negatif mengacu terhadap
berbagai masalah emosional dan perilaku (Khanam & Moghal, 2012). Berdasarkan
Mann, Hosman, Schaalma dan de Vries (2004) (dalam Khanam & Moghal, 2012)
harga diri yang rendah diasosiasikan dengan sejumlah hasil kehidupan yang negatif,
termasuk penyalahgunaan zat, kenakalan, kecenderungan untuk bunuh diri,
ketidakbahagiaan dan depresi, sedangkan self esteem yang tinggi diasosiasikan
dengan karakteristik yang positif seperti inisiatif, kemampuan coping yang kuat, dan
perilaku pro sosial lainnya.
7
1.2 Rumusan Masalah
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) merasa mengalami dampak dari
stigma dan diskriminasi. Dari paparan fenomena yang diungkap pada latar
belakang dapat dilihat beberapa contoh perilaku diskriminatif terhadap ODHA
memunculkan persepsi tentang diskriminasi pada ODHA yang dapat
mengganggu kesejahteraan psikologis ODHA. Penelitian ini bermaksud untuk
melihat hubungan antar persepsi tentang diskriminasi dengan salah satu faktor
kesejahteraan psikologis seorang individu yaitu, harga diri. Berdasarkan uraian
di atas, peneliti merumuskan satu pertanyaan penelitian, yaitu Apakah ada
hubungan negatif antara persepsi tentang diskriminasi dengan harga diri pada
ODHA di Makassar?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antar persepsi tentang
diskriminasi dan harga diri pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Makassar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
a)
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan menjadi sumber literatur tentang HIV/AIDS baik bagi pihak-pihak
akademisi maupun non-akademisi.
b) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan di bidang Psikologi, yaitu memberi kontribusi berupa
penjelasan mengenai peran perceived discrimination terhadap tingkat
harga diri Orang dengan HIV/AIDS.
8
c) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk
menentukkan faktor-faktor apa saja yang dapat dijadikan penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA).
1.4.2 Manfaat Praktis
a)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
organisasi-organisasi
HIV/AIDS
agar
kesejahteraan sosial
maupun psikologis
lebih
memperhatikan
pada Orang dengan
HIV/AIDS berkaitan dengan persepsi tentang diskriminasi dan harga
diri mereka agar dapat dilakukan tindakan atau pendekatan preventif
terhadap tingkat harga diri yang tidak sehat.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan para Psikolog dan
relawan di LSM dan Komunitas HIV/AIDS dalam memberikan
pendampingan kepada Orang dengan HIV/AIDS berkaitan dengan
persepsi tentang diskriminasi (perceived discrimination) dan perannya
terhadap tingkat harga diri mereka.
c) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
dan kepedulian masyarakat terhadap efek dari tindak diskriminasi
yang dilakukan kepada Orang dengan HIV/AIDS.
d) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu para ODHA
dalam menghadapi tindak diskriminasi yang diterima dan memberikan
pengetahuan bahwa persepsi tentang diskriminasi yang dirasakan
sangat dapat mempengaruhi kesejahteraan sosial dan psikologis
Download