www.kewang-haruku.com RENCANA PENGELOLAAN SATWA BURUNG MALEO/MOMOA (EULIPOA WALLACE) DI MALUKU. Oleh Ir. A. A. Tuhumury. MS Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unpatti A. Latar belakang Burung maleo (Macrocephalon maleo SAL. MULLER, 1846) adalah satwa endemik Sulawesi yang statusnya dilindungi undang-undang, di Maluku ada juga jenis burung yang sama yang oleh masyarakat setempat disebut Maleo/Momoa, tapi dari genus yang berbeda yaitu : dari genus Megapodius dan genus Eulipoa kedua jenis ini statusnya di lindungi undang-undang, namun populasinya terus menurun dengan drastis karena degradasi dan fragmentasi habitat, serta dipercepat oleh eksploitasi terhadap telurnya. Degradasi habitat meliputi penurunan kualitas yang disebabkan oleh kerusakan hutan dan pengurangan luas akibat konversi hutan. Fragmentasi habitat disebabkan oleh konversi hutan di sekitar habitatnya sehingga menjadi terisolasi dan terpencar-pencar dalam kantongkantong habitat yang kecil. Hal ini disebabkan oleh rencana tata ruang wilayah yang kurang memperhatikan aspek ekologi akibat kurangnya koordinasi antar sektor. B. Diskripsi satwa burung maleo/momoa (Eulipoa wallacei ) Burung Maleo/Momoa termasuk dalam : Kelas Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus Spesies Sinonim Nama Daerah : : : : : : : : : Aves Galliformes Gali Megapodidae Crocoidae Eulipoa Eulipoa wallacei Megapodius wallacei Maleo, Momoa, Maleo pantai, Moa, Mammoa, Burung gosong, Nan lato C. Habitat bertelur. Komponen habitat burung maleo, atau burung Momoa yang terpenting adalah lapangan tempat mengeramkan telurnya, karena burung maleo tidak mengerami sendiri telurnya, melainkan memendamnya didalam tanah atau pasir 1 www.kewang-haruku.com pada kedalaman tertentu di pantai atau di hutan dengan cara menimbun tanah dan seresah dengan tinggi satu setengah meter dan diameter sarang 3 – 4 meter tergantung jumlah pasangan yang bertelur. Hampir di pastikan bahwa semua jenis Momoa (Eulipoa wallacei atau Megapodius wallacei ) habitat bertelurnya di dekat pantai dan jenis ini yang akan di bahas dalam tulisan ini. Dalam rangka upaya konservasi burung maleo, diperlukan berbagai informasi ekologis satwa tersebut. Salah satu aspek yang sangat penting untuk diketahui adalah strategi burung tersebut dalam seleksi dan penggunaan habitat tempat bertelurnya sehubungan dengan adanya perbedaan sumber panas, perubahan struktur vegetasi, keragaman jenis vegetasi, ketersediaan pakan dan meningkatnya gangguan oleh aktivitas oleh manusia. Untuk keperluan tersebut, dilakukan penelitian di dua tipe habitat tempat bertelur yaitu di habitat yang bersumber panas matahari di pantai Tanjung maleo, Pulau Pombo dan Pulau Kassa, ketiganya berada di Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku. Pengamatan juga dilakukan di Pulau Buru dan Pulau Seram. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1). Karateristik habitat tempat bertelur burung maleo/momoa yang bersumber pada panas matahari dan pada panas bumi/panas yang di peroleh akibat proses pelapukan; (2). Strategi burung maleo dalam seleksi habitat tempat bertelurnya, baik di pantai maupun di pedalaman; (3). Tingkah laku umum burung maleo di lapangan tempat bertelurnya meliputi tingkah laku sebelum bertelur, pada saat bertelur dan sesudah bertelur; (4). Memprediksi implikasi terhadap pengelolaan konservasi burung maleo. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedua tipe habitat yang diteliti, memiliki perbedaan dalam tipe vegetasi, struktur, komposisi dan keragaman jenis tumbuhan dan satwaliar. Habitat tempat bertelur bersumber pada panas dari energi yang di lepaskan pada proses pelapukan, Sedangkan untuk Tanjung Maleo, P, Pombo dan lain-lain merupakan hutan pantai dengan 32 jenis flora yang dijumpai pada petak contoh dan indeks keragaman jenis 1,55. Di P.Buru dijumpai 36 jenis satwa liar, sedangkan di P. Buano dijumpai 51 jenis. Dan Indeks keragaman jenis burung di Wahai adalah 3,25. Dalam seleksi habitat tempat bertelur, burung momoa lebih merespon vegetasi dari aspek strukturalnya, yaitu kesinambungan horisontal, kesinambungan vertikal (tipe percabangan) dan penutupan permukaan tanah. Hal ini berkaitan dengan kemampuan terbangnya dan kebutuhannya akan media pergerakan (traveling), tempat istirahat, mengintai lapangan sarang (exploring), berlindung, bersembunyi dan melarikan diri dari predator. Penutupan permukaan tanah berhubungan dengan kebutuhan ruang untuk sarang, kemudahan menggali dan kebutuhan akan radiasi matahari untuk sarang yang bersumber panas matahari. 2 www.kewang-haruku.com Burung momoa membuat sarang pengeraman telurnya dengan bentuk, dimensi dan tipe sedemikian rupa sehingga dapat memberikan fungsi pengeraman yang efektif dan memberikan perlindungan serta kemudahan bagi anak momoa setelah menetas agar dapat mencapai permukaan tanah dengan selamat. Berdasarkan distribusi letaknya, sarang pengeraman telur burung momoa dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu (1) sarang tunggal dan (2) sarang komunal. Sarang komunal umumnya dibuat di lokasi yang arealnya terbatas. Berdasarkan letaknya terhadap benda lain, sarang pengeraman telur burung maleo dapat dikelompokan menjadi 6 tipe, yaitu : (1) sarang di tempat terbuka; (2) sarang dibawah naungan tajuk; (3) sarang dibawah lindungan pohon tumbang; (4) sarang dibawah naungan tebing atau batu; (5) sarang disamping akar; (6) sarang diantara banir. Sarang di tempat terbuka umumnya ditemukan di habitat bersumber panas matahari, sedangkan tipe sarang lainnya umumnya dijumpai di tempat habitat bertelur bersumber panas geothermal. Tipe sarang yang paling disukai oleh burung maleo di dalam hutan berturut-turut adalah : tipe sarang diantara banir pohon, dibawah pohon tumbang, di samping sistem perakaran, dibawah naungan tajuk dan yang paling tidak disukai adalah di tempat terbuka. Sementara itu, di Tanjung Maleo 100% sarang yang dipergunakan dibuat di tempat terbuka. Burung momoa sangat toleran terhadap perbedaan temperatur pengeraman yang bervariasi menurut lokasi, musim dan sumber panas. Perbedaan temperatur dalam batas-batas toleransi tersebut hanya mengakibatkan perbedaan masa pengeraman. Temperatur pengeraman telur burung maleo di Tanjung Maleo berkisar antara 32 – 38,5 ˚C (rata-rata 35,78 ˚C), sedangkan di Wahai 29,5 – 33 ˚C (rata-rata 30,77 ˚C). temperatur optimal untuk pengeraman telur burung maleo/momoa adalah 34 ˚C. Berkaitan dengan temperatur, faktor kunci yang menentukan cocok tidaknya suatu tempat sebagai sarang adalah keberadaan sumber panas pada kedalaman tanah yang dapat dicapai oleh induk maleo/momoa. Kelembapan tanah sarang di Tanjung Maleo berkisar antara 60 – 85 % (rata-rata 69,28 %), sedangkan di Wahai 50 – 65 % (rata-rata 58,34 %). Kelembapan tanah sarang burung maleo bermanfaat mengurangi resiko dehidrasi, tetapi kelembapan yang berlebihan dapat mengurangi difusi oksigen, menurunkan temperatur dan menghambat perkembangan embrio. Untuk menghindari terjadinya kelembapan berlebihan, burung maleo umumnya bertelur pada musim kemarau di pantai. Sedangkan di habitat yang bersumber panas geothermal, sarang dibuat dibawah naungan. Kelembapan tanah bukan merupakan faktor kunci dalam menentukan cocok tidaknya (suitability) suatu tempat sebagai habitat tempat bertelur burung maleo. Pertukaran udara (aerasi) dalam tanah sarang merupakan salah satu faktor penting dalam pengeraman telur burung maleo. Untuk mendapatkan aerasi yang baik, induk maleo harus mempertimbangkan tekstur tanah, kelembapan tanah, cuaca (musim) dan cover di habitat tempat bertelurnya. Meskipun demikian, 3 www.kewang-haruku.com tampaknya aerasi tersebut bukan merupakan faktor kunci dalam selekski habitat tetapi merupakan implikasi (konsekuensi) dari kegiatan seleksi habitat dan musim bertelur. Keasaman tanah (pH) sarang pengeraman telur burung maleo/momoa cukup beragam, dari netral sampai cukup masam, namun pada kisaran tersebut tidak mempengaruhi burung momoa dalam seleksi habitat tempat bertelurnya. Nilai pH tertinggi terdapat di Tanjung Maleo yaitu 7,1 (netral) dan terendah di Wahai yaitu 5,9 (cukup masam), sedangkan di P. Buru tergolong agak masam (pH = 6,5). Kandungan bahan organik mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat tanah (menurunkan temperatur, meningkatkan kemampuan menahan air dan memperbaiki struktur tanah), tapi bukan merupakan faktor kunci bagi burung maleo dalam melakukan seleksi habitat tempat bertelurnya. Hal ini ditunjukan dengan keragamannya yang tinggi mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Kandungan kuarsa (SiO2) yang berwarna terang dapat menyerap panas matahari hingga 80 %, maka pemilihan pantai Tanjung Maleo sebagai tempat bertelur bersumber panas matahari oleh burung maleo tampaknya cukup efektif karena kandungan kuarsanya mencapai 51,2 %. Meskipun peranan tekstur tanah dalam persarangan burung maleo sangat besar karena mempengaruhi dimensi sarang, temperatur, kelembapan dan aerasi, namun bukan merupakan faktor kunci dalam seleksi habitat tempat bertelurnya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya kisaran kelas tekstur tanah sarang yaitu mulai dari pasir sampai lempung. Burung maleo tampaknya menyukai tanah berpasir untuk lokasi sarangnya, oleh karena itu kebanyakan lapangan persarangan ditemukan di muara-muara/ delta dari tepi sungai dan tepi pantai karena di tempat-tempat tersebut biasa tekstur tanahnya berpasir. Burung momoa berinteraksi dengan satwaliar lain di habitat tempat bertelurnya dalam bentuk pemangsaan, persaingan makanan dan komensalisme. Satwaliar yang menjadi pemangsa (predator) burung maleo atau telurnya antara lain : Hydrosaurus amboinensis, Varanus sp, Phyton sp, Sus sp, dan burung elang. Pesaing burung maleo dalam makanan adalah burung-burung yang memiliki jenis makanan yang sama (buah, biji dan invertebrata) dan mencari makan di lantai hutan. Interaksi dalam bentuk komensalisme terjadi dengan satwaliar yang memiliki makanan yang sama tetapi melakukan aktivitas makan diatas pohon dan karena aktivitasnya membuat makanan jatuh ke lantai hutan, seperti burung rangkong (Rhyticeros plicatus), Pombo hutan (Ducula consina/Ducula bicolor) dan satwa-satwa pemakan buah/biji lainnya seperti Kuskus (Phalanger spp). Aktivitas bertelur dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu sebelum bertelur, saat bertelur dan sesudah bertelur. Aktivitas sebelum bertelur meliputi eksplorasi lapangan sarang, baik dari atas pohon maupun di permukaan tanah, mencari makan, 4 www.kewang-haruku.com bersosialisasi dan membuat sarang palsu. Aktivitas pada saat bertelur meliputi penggalian sarang asli, peletakan telur dan penimbunan sarang. Aktivitas sesudah bertelur meliputi beristirahat, mencari makan dan kembali ke hutan tropis dataran rendah. Dalam melakukan aktivitas di habitat tempat bertelurnya, burung maleo memiliki preferensi terhadap jenis-jenis pohon tertentu untuk tempat bertengger. Jenis-jenis pohon yang disukai adalah yang memiliki percabangan horisontal dan bertingkat-tingkat serta tajuknya yang tidak terlalu lebat, seperti : Dracontomelon mangiferum, Koordersiodendron pinnatum, Vitex sp, dan Casuarina equisetifolia. Dalam pergerakan dan pengintaian burung maleo lebih banyak menggunakan strata C (4-20 m). Feeding territory burung maleo/momoa tampaknya bukan di lapangan persarangan tetapi di dalam hutan tropis dataran rendah. Meskipun demikian, jika di lapangan persarangan tersedia makanan, maka burung maleo akan mencari makan, baik sebelum bertelur maupun sesudah bertelur. Burung maleo termasuk omnivora atau pemakan segala, makanannya meliputi buah-buahan, biji-bijian, serangga, invertebrata lantai hutan, siput dan kepiting. Burung maleo mencari makan di lantai hutan dengan cara mencakar-cakar atau mengais serasah. Burung maleo juga mencari makan di tepi-tepi sungai, rawa dan danau. Musim bertelur berlangsung sepanjang tahun dengan puncaknya pada beberapa bulan tertentu. Di habitat tempat bertelur dengan bersumber panas matahari, musim bertelur sangat bervariasi menurut lokasi, tergantung pada faktor cuaca yang terkait dengan kondisi ekologis dan letak geografis. Musim bertelur di Tanjung Maleo berlangsung dari Bulan Oktober sampai dengan Bulan Mei atau Juni dengan Puncaknya pada Bulan Desember. Masa pengeraman telur burung maleo sangat bervariasi dipengaruhi oleh temperatur dan kelembapan sarang serta jenis sumber panas dan musim (iklim). Dari observasi terhadap 165 butir telur yang ditetaskan, rata-rata masa pengeramannya 65,19 hari (SD = 5,92), masa pengeraman terpendek 30 hari pada temperatur 38 ˚C dan terlama 98 hari pada temperatur 34 ˚C. Peningkatan temperatur lebih dari 34 ˚C dapat memperpendek masa pengeraman tetapi menurunkan keberhasilan penetasan. Alokasi waktu oleh burung maleo/momoa untuk berbagai aktivitas di habitat tempat bertelurnya sangat tergantung pada faktor internal, yaitu kebutuhan individu (seperti makan, minum dan istirahat) dan faktor eksternal berupa kondisi bio-fisik (tekstur tanah dan ketersediaan makanan) serta intensitas gangguan. Dari proporsi waktu yang dialokasikan pada setiap strata pohon, selama berada di habitat tempat bertelurnya, burung maleo menhabiskan 75 % waktunya di lantai hutan (strata E) atau dapat dikatakan bersifat teresterial daripada arboreal. Faktor kunci dalam strategi seleksi habitat tempat bertelur burung maleo adalah : (1) sumber panas, (2) aksesibilitas, (3) keamanan dan gangguan dan (4) musim (untuk habitat bersumber panas matahari). Dalam menentukan tempat 5 www.kewang-haruku.com sarang, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan adalah (1) keamanan tempat dari gangguan (site) dari gangguan manusia, (2) efektifitas sumber panas, (3) kelembapan tanah, (4) pengaruh iklim mikro diatasnya (terutama hujan) dan (4) keamanan dari predator. Faktor lain yang juga mempengaruhi strategi seleksi habitat tempat bertelur tetapi bukan merupakan pembatas adalah tipe percabangan, ketersediaan makanan, bentuk-bentuk lindungan (cover) serta sifat fisik dan kimia tanah (tekstur, kandungan bahan organik dan kandungan kuarsa). Kegiatan seleksi habitat tempat bertelur menghasilkan keputusan di habitat tempat bertelur mana yang aman untuk bertelur. Sedangkan dalam seleksi tempat (site) sarang menghasilkan tipe sarang dan dimensi sarang yang cocok (suitable) bagi pengeraman telur. Masalah utama yang dihadapi dalam usaha pelestarian burung maleo adalah penurunan populasi yang sangat tajam hampir di semua habitatnya akibat dari eksploitasi terhadap telurnya, degradasi habitat dan fragmentasi habitat. Eksploitasi telur terutama disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat. Kemerosotan kualitas habitat disebabkan oleh kerusakan hutan akibat penebangan dan perambahan hutan, sedangkan berkurangnya luasan habitat disebabkan konversi hutan dan perladangan liar. Konversi hutan juga menyebabkan fragmentasi habitat pada umumnya dan isolasi tempat bertelur pada khususnya. Isolasi tempat bertelur menyebabkan terhambatnya proses regenerasi, sedangkan isolasi habitat secara umum dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas genetik populasi akibat inbreeding (pembawaan). D. Upaya pelestarian dan pengelolaannya. Untuk dapat mengkonservasi burung maleo, Rencana Tata Ruang Wilayah/Daerah yang melibatkan habitat tempat bertelur burung maleo perlu dievaluasi kembali. Sementara itu semua habitat tempat bertelur burung maleo yang terletak di luar kawasan konservasi perlu segera dicagarkan. Rumput dan vegetasi sekunder yang menutupi lapangan persarangan perlu segera dibersihkan agar dapat memberikan ruang bagi sarang yang cukup. Pengamanan habitat tempat bertelur burung maleo dan sanksi terhadap pencuri telur burung maleo perlu diefektifkan. Disamping itu, perlu dilakukan penetasan buatan secara insitu di beberapa lokasi yang rawan. Pembinaan habitat yang telah rusak dan restorasi habitat yang telah ditinggalkan sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan memulihkan kembali fungsinya. Bila perlu di bekas habitat yang populasinya menurun atau telah punah dilakukan re-introduksi. Untuk mendukung upaya-upaya konservasi tersebut maka diperlukan penelitian mencakup berbagai aspek seperti : status populasi dan tempat bertelur di seluruh lokasi tempat bertelur dari burung maleo/momoa, variasi genetik 6 www.kewang-haruku.com menurut lokasi geografis, spesiasi akibat pengaruh geografis dan adaptasi ekologis, fisiologi dan biologi reproduksi, serta home range, teritori dan pemisahan relung dengan burung sekerabatnya. E. Predator satwa burung maleo/momoa. Predator yang sering di temukan pada malam hari adalah ular, Soa-soa, kucing, anjing, babi, dan tikus, sedang pada siang hari yaitu; burung elang,masyarakat setempat menyebutnya yaba dan manusia yang mengambil telur atau satwa burung momoanya dengan menggunakan jerat. F. Bahan Bacaan (Pustaka) Argeloo. M. 1991.The Maleo Conservation Project Preliminary Report Unpublished. Argeloo. M & S. Boroma 1991a. Maleo diambang Kepunahan. Menado Post Oktober 1991. Heij, Kees, 1995 – Wallacei Megapoda – Avicultural for small live stock Breeder. 1.6 1995 pp 19 – 21. Heij, C. J. 1996 – The biology of the Moluccan Megapoda Eulipoa wallacei ( Aves Megapodidadie) on Haruku island, Moluccas Indonesia - Abstr – 2nd Int Conf; - estern Indo – Australia. Lambert, F. R. 1994. Avivauna of Bacan, Kasiruta and Obi, North Moluccas - Kukila 7 (1) 1.9. 7