PERANAN TNF - Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

advertisement
PERANAN TNF, IL-1, DAN IL-6 PADA RESPON IMUN TERHADAP
PROTOZOA
Kartika Ishartadiati
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak: Salah satu reaksi awal dari hospes terhadap infeksi parasit protozoa adalah mensekresi
serangkaian sitokin yang poten termasuk tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), dan
interleukin 6 (IL-6). Aktivitas bersama dari sitokin-sitokin ini menyebabkan demam, leukositosis,
dan produksi dari protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP). Respon-respon awal ini
berperan secara nyata terhadap hasil akhir infeksi dengan cara mempengaruhi perjalanan infeksi
secara langsung dan mengatur respon imun spesifik terhadap parasit.
Kata kunci: protozoa, IL-1, IL-6, TNF
ROLE OF TNF, IL-1, AND IL-6 IN PROTOZOA IMMUNE RESPONSE
AGAINST
Kartika Ishartadiati
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract: One of the initial reaction of the host of the protozoan parasite infection is to secrete a
series of potent cytokines including tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), and
interleukin 6 (IL-6). Joint activity of these cytokines cause fever, leukocytosis, and production of
acute phase proteins like C-reactive protein (CRP). These early responses contribute significantly
towards the end result of infection by affecting travel directly infection and regulate specific
immune response against the parasite.
Key words: protozoa, IL-1, IL-6, TNF
Pendahuluan
Sitokin adalah mediator (berupa
protein atau glikoprotein dengan berat
molekul 8-80kDa) yang dihasilkan oleh
sel dalam reaksi radang atau imunologik
yang berfungsi sebagai isyarat antara selsel
untuk
membentuk
jaringan
komunikasi dalam respon imun. Sitokin
tersebut mempengaruhi peradangan dan
imunitas
melalui
pengaturan
pertumbuhan, mobilitas dan diferensiasi
lekosit dan sel-sel jenis lain. Sitokin dapat
bersifat autokrin atau berefek pada sel
yang menghasilkannya maupun parakrin
atau bekerja pada sel yang berdekatan.
Sitokin bekerja dengan cara berikatan
dengan reseptor spesifik pada membran
sel , memulai kaskade yang menyebabkan
induksi,
dan
peningkatan
atau
penghambatan berbagai respon imun.
Sitokin hampir tidak pernah diproduksi
atau bekerja sendirian, tetapi selalu dalam
suatu jaringan kerja yang kompleks. Yang
termasuk dalam sitokin adalah berbagai
interleukin (IL-1, IL-2, dan seterusnya),
interferon (IFN α, β, dan γ), faktor
nekrosis tumor (tumour necrosis factor,
TNF), faktor perangsang koloni (colony
stimulating
factor,
CSF),
faktor
pertumbuhan (growth factor), dan
khemokin (sitokin khemotaktik), dll.
Berbagai macam interaksi antar-sitokin,
adalah (1) sinergistik atau antagonistik,
beberapa sitokin bekerja secara sinergistik
atau secara antagonistik terhadap suatu
aktivitas tertentu; (2) induksi atau inhibisi,
beberapa sitokin dapat menginduksi atau
menghambat produksi sitokin yang lain,
dalam suatu bentuk sinergi atau
antagonisme berurutan (efek kaskade);
(3) regulasi ekspresi reseptor, beberapa
sitokin meregulasi ekspresi reseptornya
sendiri maupun reseptor sitokin yang lain
(Samik & Madarina, 2002).
Hampir semua proses peradangan
mengakibatkan
aktivasi
makrofag
jaringan dan infiltrasi monosit darah.
Aktivasi
menyebabkan
banyak
perubahan-perubahan dalam sel, di
antaranya adalah produksi TNF, IL-1, dan
IL-6, sitokin-sitokin yang meyebabkan
efek multipel pada hospes. Efek-efek ini
meliputi (1) induksi demam, (2) respon
fase akut hepatik, yang disertai lekositosis
dan produksi protein fase akut seperti
CRP, dan (3) diferensiasi dan/atau
aktivasi dari sel T, sel B dan makrofagmakrofag (Tabel 1).
TNF, IL-1, dan IL-6 adalah hasil
dari gen-gen berbeda yang menyandikan
protein-protein
non
homolog
dan
mengikat
reseptor-reseptor
berbeda,
walaupun ada tumpang tindih pada
sumber seluler dan aktifitas biologi dari
ketiga sitokin tersebut. TNF dan IL- 1
dapat menginduksi biosintesis mereka
sendiri, dan satu dengan yang lain serta
IL-6, dan ketiganya sering bekerja secara
sinergistik. Misalnya IL-1 dan IL-6
bersinergi dalam induksi dari aktivasi sel
T.
Banyak efek dari TNF, IL-1, dan
IL-6 (Tabel 1) yang memungkinkan
hospes kebal terhadap suatu patogen.
Demam dapat meningkatkan respon imun
terhadap suatu patogen, sebab responrespon
tertentu
meningkat
pada
temperatur sekitar 2ºC di atas normal;
pengaktifan IL-1 dari limfosit dan respon
antibodi adalah contohnya. Sebagai
tambahan,
respon
demam
menggambarkan
sebuah
mekanisme
pertahanan hospes, sebab-contohnyatahap perkembangan tertentu dari parasit
malaria akan rusak pada peningkatan
temperatur (Titus et al., 1991).
TNF, IL-1, dan IL-6 merangsang
hati untuk mensintesis dan melepas
sejumlah protein plasma yang disebut
protein fase akut seperti CRP yang dapat
meningkat 1000 kali. CRP dikenal
bertindak
sebagai
opsonin
yang
membantu
melenyapkan
patogen.
Pengukuran CRP berguna untuk menilai
aktivitas penyakit inflamasi. Secara
keseluruhan,
respon
fase
akut
memberikan efek yang menguntungkan
melalui peningkatan resistensi hospes,
mengurangi
cidera
jaringan
dan
meningkatkan resolusi dan perbaikan
cidera inflamasi (Baratawidjaja, 2006).
Aktivasi dari sel T, sel B, dan
makrofag oleh TNF, IL-1 atau IL-6 dapat
meningkatkan sel T spesifik dan respon
antibodi
terhadap
patogen
dan
mempercepat pelenyapan patogen yang
dicerna oleh makrofag. Bagaimanapun,
meskipun setiap sitokin ini dapat
melindungi hospes yang terinfeksi,
produksi
yang
berlebihan
dapat
meningkatkan patologi dan dapat
menyebabkan kematian hospes. Ini
terutama ditandai dengan produksi
berlebih dari TNF. Beberapa contoh yang
paling jelas dari efek ’pedang bermata
dua’ dapat dilihat dari analisis respon
imun terhadap patogen protozoa (Titus et
al., 1991).
Tabel 1. Sebagian daftar dari sumber
seluler dan aktivitas biologi dari TNF,
IL-1 dan IL-6
TNF
IL-1
IL-6
Sumber
Makrof Makrofa Makrofag
ag
g
Sel T
Sel T
Keratinos Sel B
Sel NK it
Sel endotel
Sel
Sel epitel
endotel
Fibroblas
Sel
dendritik
Sel NK
Fibroblas
Induksi
Ya
Ya (+++) Ya (+)
demam
(++)
Induksi
Ya
Ya
Ya
protein fase
akut
Induksi TNF Ya
Ya
Tidak
Induksi IL-1
Ya
Ya
Tidak
Induksi IL-6
Ya
Ya
Tidak
Diferensiasi/a Ya
Ya
Ya
ktivasi sel
T/B atau
makrofag
(Baratawidjaja, 2006; Detrick et al., 2008;
Titus, 1991)
Tumor Necrosis Factor
TNF merupakan sitokin utama
pada respons inflamasi akut. Infeksi yang
berat dapat memicu produksi TNF dalam
jumlah besar yang menimbulkan reaksi
sistemik. TNF disebut TNF-α atas dasar
historis dan untuk membedakannya dari
TNF-β atau limfotoksin (Baratawidjaja,
2006). TNF-α dan –β secara struktur
berhubungan, mengikat reseptor seluler
yang sama, dan menghasilkan perubahan
biologi yang mirip pada berbagai sel.
TNF-α diproduksi oleh neutrofil, limfosit
yang diaktifkan, makrofag sel NK, dan
beberapa sel non limfoid seperti astrosit,
sel endotel dan sel otot polos, sementara
TNF-β nampaknya hanya diproduksi oleh
sel T (Detrick et al., 2008). LPS
merupakan rangsangan poten untuk
mensekresi TNF. IFN-γ yang diproduksi
oleh sel T dan sel NK juga merangsang
makrofag antara lain meningkatkan
sintesis TNF. Pada kadar rendah, TNF
bekerja terhadap leukosit dan endotel,
menginduksi inflamasi akut. Pada kadar
sedang, TNF berperan dalam inflamasi
sistemik. Pada kadar tinggi, TNF
menimbulkan kelainan patologik syok
septik.
TNF
antara lain :
memiliki
efek
biologik

Pengerahan neutrofil dan monosit
ke
tempat
infeksi
serta
mengaktifkan sel-sel tersebut
untuk menyingkirkan mikroba.

Memacu ekspresi molekul adhesi
sel endotel vaskular terhadap
leukosit.

Merangsang makrofag mensekresi
kemokin
dan
menginduksi
kemotaksis
dan
pengerahan
leukosit.

Merangsang fagosit mononuklear
untuk mensekresi IL-1 dengan
efek seperti TNF.

Merangsang hipotalamus yang
menginduksi panas dan oleh
karena itu disebut pirogen
endogen. Panas ditimbulkan atas
pengaruh prostaglandin yang
diproduksi sel hipotalamus yang
dirangsang TNF dan IL-1.
Inhibitor sintesis prostaglandin
seperti
aspirin,
menurunkan
panas. TNF seperti halnya dengan
IL-1 dan IL-6 meningkatkan
sintesis protein serum tertentu
oleh hepatosit (Baratawidjaja,
2006).
TNF memegang peran penting
pada malaria dan Ian Clark mencatat
bahwa ”efek samping yang diamati pada
penderita kanker yang mendapat infus
TNF rekombinan sangat mirip dengan
klinis malaria”. Di antara efek samping ini
adalah demam, kekakuan, sakit kepala,
myalgia,
mual-muntah
dan
trombositopenia. Sebagai tambahan, level
serum TNF sering berkaitan dengan
keparahan penyakit (Titus et al., 1991).
Dari beberapa penelitian dibuktikan
bahwa penderita malaria serebral yang
meninggal atau dengan komplikasi berat
seperti hipoglikemia mempunyai kadar
TNF-α yang tinggi. Demikian juga
malaria tanpa komplikasi kadar TNF-α,
IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria
serebral (Chen et al., 2006). Jadi, apakah
TNF menguntungkan atau merugikan
pada hospes yang terinfeksi malaria?
Jawabannya tidak sederhana. Walaupun
pada kondisi tertentu TNF dapat
melindungi, tetapi produksi yang berlebih
dari TNF merusak hospes dan berperan
pada patologi penyakit. Sebagai contoh,
TNF telah diketahui menghambat
ketahanan parasit malaria rodent, dan
meningkatkan pembunuhan neutrofil
manusia dari Plasmodium falciparum.
Sebaliknya, injeksi TNF pada tikus
dengan parasitemia rendah dari P. vinckei,
dengan cepat (4-8 jam sesudah injeksi)
menyebabkan banyak ciri patologis dari
stadium akhir infeksi (ketika parasitemia
70-80%).
Pada malaria serebral juga, TNF
sebagian
besar
bertanggung-jawab
terhadap patologi penyakit. Ketika tikus
yang rentan CBA/Ca diinfeksi dengan P.
berghei ANKA, terjadi akumulasi sel-sel
mononuklear darah dalam kapiler otak
yang dikelilingi oleh daerah perdarahan.
Keadaan ini menyerupai malaria serebral
pada manusia, yang dapat dicegah dengan
injeksi antibodi neutralizing anti-mouse
TNF, sebuah regimen kombinasi dari anti
IL-3 dan antibodi anti-granulocytemonocyte colony-stimulating factor (GMCSF) atau antibodi anti-gamma-interferon
(IFN-γ). Hasil ini diinterpretasikan
sebagai, pertama, antibodi anti-TNF
bertindak secara langsung mencegah efek
merusak dari TNF; kedua, antibodi anti
IL-3 ditambah anti-GM-CSF mencegah
multiplikasi dan akumulasi fagosit
mononuklear pada kapiler otak, dan
ketiga, antibodi anti IFN-γ mencegah
aktivasi fagosit mononuklear dan
selanjutnya mencegah pelepasan TNF.
Pada pasien dengan malaria
falciparum, ada korelasi langsung antara
level serum TNF dan kematian. Selain itu,
penelitian pada anak-anak Gambian yang
terinfeksi P. falciparum, level serum TNF
diperiksa pada pasien malaria tanpa
komplikasi dan pasien dengan malaria
serebral. Level serum TNF meningkat
pada semua anak, tetapi tertinggi pada
pasien malaria serebral yang kemudian
meninggal, intermediet pada pasien
malaria serebral yang tidak meninggal,
dan terendah pada pasien malaria tanpa
komplikasi. Penelitian ini menunjukkan
bahwa level serum TNF dapat digunakan
untuk memprediksi keparahan malaria
falciparum, meskipun fakta menunjukkan
bahwa TNF yang diproduksi oleh monosit
pada lesi otak lebih berperan dalam
patologi serebral daripada TNF dalam
serum.
Stimulasi makrofag murine in
vitro,
dengan antigen larut dan stabil
terhadap panas dari P. yoelii atau P.
berghei menyebabkan sekresi TNF dan
demikian pula injeksi antigen yang sama
pada tikus menyebabkan sekresi TNF in
vivo. Antigen analog dari parasit P.
falciparum manusia juga menginduksi
sekresi TNF oleh monosit darah manusia
dan kultur eritrosit P. falciparum
menginduksi sekresi TNF oleh sel
mononuklear manusia, dengan angka
peningkatan yang paling tajam dari
sekresi terjadi segera setelah skizon ruptur
(Titus et al., 1991). Banyak bukti
mengarah
pada
glycosylphosphatidylinositol
dari
Plasmodium sebagai faktor patogenik
penting
dalam
kemampuannya
menginduksi TNF-α dan IL-1 (Angulo et
al., 2002).
Gejala khas malaria terjadi pada
saat skizon ruptur, di mana toksin parasit
menyebabkan sel hospes melepaskan
sitokin, seperti TNF. TNF mungkin
sebagian yang paling bertanggung-jawab
terhadap demam yang terjadi setelah
skizon ruptur pada pasien malaria, sebab
demam pada malaria akut dapat berkurang
dengan antibodi anti-TNF (Biggs et al.,
2001).
Demam
mungkin
adalah
mekanisme pertahanan, sebab ketika kulur
eritrosit P. falciparum dikenai suhu 40ºC
(suhu yang sering dijumpai pada pasien
malaria), parasit pada separuh pertama
lingkaran
pertumbuhan
(cincintropozoit) bertumbuh hampir
sebaik parasit pada suhu 37ºC, tetapi
parasit pada separuh kedua dari siklus
(tropozoitskizoncincin)
menghasilkan skizon piknotik dan cincin
yang lebih sedikit. Jadi, ketika demam
meningkat pada pasien malaria, parasitparasit yang tidak dalam tahap
cincintropozoit terbunuh, dan sisa
parasit melanjutkan siklus pertumbuhan.
Fenomena ini dapat ditiru in vitro; pada
kultur eritrosit asinkron dari P. falciparum
di mana suhu diatur antara 37ºC dan 40ºC
pada hari berikutnya, parasit menjadi
sinkron (pada suhu 37ºC didominasi
cincin, pada suhu 40ºC didominasi
tropozoit).
Seperti perannya pada malaria,
TNF
dapat
menguntungkan
dan
merugikan
pada
tripanosomiasis,
tergantung pada level TNF yang
diproduksi selama infeksi. Level TNF
yang tinggi dideteksi dalam serum tikus
yang terinfeksi Trypanosoma cruzi yang
dihadapkan dengan lipopolisakarida dan
TNF diketahui menghambat replikasi T.
Cruzi dalam makrofag in vitro, tetapi,
ketika tikus yang terinfeksi T. Cruzi diberi
TNF, hewan mati lebih cepat daripada
hewan kontrol yang tidak diberi TNF.
Kelinci-kelinci yang diinfeksi T.
brucei brucei mengalami sindrom
cachexia berat yang ditandai oleh
hipertrigliseridemia (akumulasi dari very
low density lipoprotein dalam plasma)
(Titus et al., 1991) . Cachexia hampir
pasti karena TNF, sebab cachectin dan
TNF diidentifikasi sebagai molekul yang
sama, yang sekarang dikenal sebagai
TNF-α
(Detrick
et
al.,
2008).
Hipertrigliseridemia yang diamati pada
kelinci-kelinci yang diinfeksi T. brucei
brucei dapat pula diperantarai TNF, sebab
TNF
dapat
menghambat
enzim
lipoprotein lipase (Detrick et al., 2008;
Titus et al.,1991), tetapi pemikiran yang
lain adalah bahwa hipertrigliseridemia
karena peningkatan produksi lipoprotein
hepatik. Menariknya, lipogenesis hepatik
distimulasi oleh IL-6 dan TNF diketahui
menginduksi IL-6 (Kishimoto, 2003;
Titus et al., 1991).
TNF telah diketahui memainkan
peran perlindungan pada percobaan
leshmaniasis cutaneous murine. Injeksi
TNF pada tikus terbukti menguntungkan,
sementara pemberian antibodi anti-TNF
pada tikus memperburuk penyakit. Selain
itu, secara genetik tikus yang resisten
memproduksi TNF saat terinfeksi
Leishmania major, sedangkan tikus yang
rentan tidak memproduksi TNF saat
terinfeksi Leishmania major. TNF
mengaktifkan
makrofag,
in
vitro,
menghancurkan L. major intraseluler dan
mungkin ini adalah mekanisme TNF
untuk melindungi tikus dari infeksi L.
major. Makrofag murine yang terinfeksi
baik L. major maupun L. donovani
melepaskan TNF, kemudian makrofag
yang tidak terinfeksi juga, saat diaktifkan
dengan lipopolisakarida.
Level TNF meningkat pada serum
pasien leishmaniasis visceral, dan dengan
keberhasilan pengobatan akan turun
dengan cepat. Tidak jelas apakah TNF
melindungi pasien-pasien ini, karena –
sebagai contoh aktivasi makrofag- tercatat
bahwa leishmaniasis visceral dikaitkan
dengan penurunan BB, demam, dan
anemia yang semuanya adalah tanda dari
cachexia yang diinduksi TNF.
Tabel 2. Peran TNF pada malaria, tripanosomiasis dan leishmaniasis
Penyakit
Hal yang mungkin penting pada penyakit
Malaria
Diproduksi untuk merespon infeksi malaria, berkaitan dengan keparahan
penyakit dan hipoglikemia
Dapat melindungi tikus dari infeksi dan meningkatkan pembunuhan parasit
Berperan penting pada malaria serebral dan patologi yang berkaitan
Diinduksi oleh antigen parasit yang larut dan tahan panas dan eritrosit
yang terinfeksi parasit
Menyebabkan demam yang merupakan perlindungan hospes
Menghambat erythropoiesis
Menyebabkan aborsi
Tripanosomiasis
Leishmaniasis
Diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, dapat melindungi bila
produksinya tidak berlebihan
Diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, dapat memberi perlindungan
pada leishmaniasis cutaneous kemungkinan melalui kemampuannya
mengaktifkan makrofag untuk membunuh Leishmania
hilangnya respon-respon sel T. Tetapi,
Interleukin 1
makrofag dari tikus yang terinfeksi T. cruzi
tidak dapat dibedakan dari makrofag normal
IL-1 juga berperan penting pada
dalam kemampuannya mengekspresikan
malaria, meskipun laporan-laporan dalam
bentuk membran IL-1 dan mensekresi IL-1 in
literatur bertentangan. Walaupun level serum
vitro.
Sebagai
tambahan,
saat
IL-1 secara langsung berkaitan dengan
monosit/makrofag manusia terinfeksi T.
keparahan penyakit pada pasien yang
cruzi, in vitro, parasit menyebabkan sel
terinfeksi P. falciparum, namun level serum
memproduksi level IL-1 yang signifikan.
IL-1 tidak meningkat pada tikus yang
Jadi, imunoregulasi pada T. cruzi tidak
terinfeksi P. berghei. Meskipun penemuan ini
sesederhana yang nampak. IL-1 diketahui
mencegah malaria serebral dan mengurangi
menginduksi produksi sitokin yang lain,
parasitemia pada tikus yang terinfeksi P.
seperti TNF dan IL-6, yang penting pada
berghei yang ditangani dengan IL-1.
infeksi protozoa. Oleh karena itu, level IL-1
yang diproduksi oleh hewan-hewan yang
Selama infeksi T. cruzi, penekanan
terinfeksi T. cruzi, tidak menjadi sekritis efek
respon sel T dapat terjadi. Kurang
secara keseluruhan yang dipunyai IL-1 pada
beresponnya sel T pada tikus yang terinfeksi
respon imun dan sitokin lain yang
T. cruzi dapat dipulihkan dengan penanganan
diinduksinya.
sel hewan dengan IL-1 in vitro, atau
pemberian IL-1 pada hewannya sendiri.
Meskipun T. brucei tidak berelasi
Hasilnya menunjukkan bahwa kekurangan
dekat dengan T. cruzi, tetapi kemiripan pada
produksi IL-1 pada hewan-hewan yang
respon IL-1 didapatkan pada infeksi
terinfeksi T. cruzi bertanggung-jawab atas
keduanya. Supresi respon sel T terjadi pada
infeksi dengan T. brucei, meskipun fakta
menunjukkan bahwa makrofag dari tikus
yang terinfeksi T. brucei brucei mampu
melepaskan lebih banyak IL-1 pada respon
stimulasi dengan lipopolisakarida in vitro,
daripada makrofag tikus normal. Sebagai
tambahan, makrofag splenik dari tikus yang
terinfeksi
T.
brucei
rhodesiense
menghasilkan level IL-1 yang sama dengan
makrofag dari tikus normal atau tikus
terinfeksi T. brucei rhodesiense yang telah
disembuhkan obat. Oleh karena itu, mungkin
bahwa bentuk imunoregulasi yang diterapkan
pada
trypanosomiasis
Amerika
juga
diterapkan pada infeksi dengan tripanosoma
Afrika.
Pada kasus leshmaniasis, efek yang
dipunyai parasit pada produksi IL-1 oleh
makrofag tergantung pada spesies dari mana
makrofag berasal. Sementara monosit
manusia yang terinfeksi L. major atau L.
donovani menunjukkan penurunan produksi
IL-1, makrofag tikus yang terinfeksi L. major
memproduksi lebih banyak IL-1. Pengamatan
selanjutnya, terutama sekali berhubungan
pada perkembangan respon sel T spesifik L.
major pada tikus yang terinfeksi parasit. IL1 adalah co-factor untuk aktivasi subset TH2
dari sel T CD4+ murine dan aktivasi selektif
dari sel TH1 atau TH2 spesifik L. major yang
memainkan
peranan
penting
dalam
penentuan hasil akhir infeksi.
Interleukin 6 dan CRP
Berbeda dengan TNF dan IL-1, peran
IL-6 pada malaria, tripanosomiasis dan
leishmaniasis sedikit diketahui. Hal ini
niscaya akan berubah, sebab TNF dan IL-1
terbukti sangat penting pada penyakitpenyakit ini dan ketiga sitokin ini
mempunyai hubungan dalam bioaktivitas.
Level serum IL-6, dilaporkan
meningkat baik pada tikus yang terinfeksi P.
berghei maupun pada pasien malaria P.
falciparum. Hasil ini telah dipastikan pada
penelitan yang dilakukan oleh Grau yang
juga meneliti peranan IL-6 pada malaria
serebral. Mereka mendapati bahwa pada tikus
yang terinfeksi P. berghei dan diterapi
dengan antibodi anti IL-6, insiden dari
malaria serebral tidak berubah, menunjukkan
bahwa IL-6 tidak terlibat dalam patogenesa
malaria serebral (Titus et al., 1991).
Pada infeksi dengan Leishmania
major, lesi yang lebih besar dikaitkan dengan
kehadiran parasit dan level yang tinggi dari
sitokin proinflamatori IL-6 dan TNF-α
(Louzir et al., 1998).
Karena
IL-1
menghambat
perkembangan P. falciparum pada kultur
hepatosit dan menyebabkan sekresi CRP oleh
hepatosit, maka peran CRP pada malaria juga
telah diselidiki. Tikus dengan peningkatan
level serum CRP terlindung dari infeksi P.
yoelii dan perlindungan ini dapat dihilangkan
dengan antiserum anti-CRP. Level CRP juga
meningkat pada serum pasien malaria, tetapi
level ini tidak lebih tinggi dari pasien dengan
penyakit demam lainnya (Titus et al., 1991).
Kesimpulan
Jelaslah bahwa respon imun terhadap
parasit
prokariotik
adalah
komplek.
Pemotongan respon menjadi lebih sulit
karena banyak sitokin yang diinduksi oleh
parasit protozoa mempunyai efek pleiotropik
dan berinteraksi satu dengan lainnya pada
multipel level.
Daftar Pustaka
Angulo I, Fresno M. Cytokines in the
Pathogenesis and Protection against
Malaria. Clinical and Diagnostic
Laboratory Immunology Vol. 9 2002;
6: 1145-1152.
Balakrishnan I, Zumla A. African
Trypanosomiasis. IN: Gillespie SH,
Pearson RD. (Eds). Principles and
Practice of Clinical Parasitology.
John Wiley & Sons Ltd, 2001.
Baratawidjaja K. Imunologi Dasar. Ed. 7.
Jakarta: Penerbit FKUI, 2006.
Biggs BA, Brown GV. Malaria. IN: Gillespie
SH, Pearson RD. (Eds). Principles
and
Practice
of
Clinical
Parasitology. John Wiley & Sons
Ltd, 2001.
Chen K, Suhendro, Nainggolan L. Malaria.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S.(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Ed. 4. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006.
Detrick B, Nagineni CN, Hooks J. Cytokines:
Regulators of Immune Responses and
Key Therapeutic Targets. IN:
Gorman MRG ,Donnenberg AD.
(Eds).
Handbook
of
Human
nd
Imunology. 2 ed. CRC Press, 2008.
Kishimoto T. Interleukin-6. IN: Thomson
WA, Lotse MT. (Eds). The Cytokine
Handbook. 4th ed. San Diego:
Academic Press, 2003.
Louzir H, Melby PC, Salah AB, Marrakci H,
Aoun K, Ismail RB, Dellagi Koussay.
Immunologic
Determinants
of
Disease Evolution in Localized
Cutaneous Leishmaniasis due to
Leishmania major. The Journal of
Infectious Disease 1998; 177: 16871695.
Pearson RD, Jeronimo SMB, Sousa A.
Leishmaniasis. IN: Gillespie SH,
Pearson RD. (Eds). Principles and
Practice of Clinical Parasitology.
John Wiley & Sons Ltd, 2001.
Titus RG, Sherry B, Cerami A. The
involvement of TNF, IL-1 and IL-6 in
the immune response to protozoan
parasites. Parasitology Today 1991;
A13-A16.
Wahab,
A.S, Julia M. Sistem Imun,
Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta:
Widya Medika, 2002.
Download