PENGARUH REALITAS SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN PASANGAN CAMPURAN DALAM NOVEL L’HISTOIRE DE LA FEMME CANNIBALE KARYA MARYSE CONDÉ Oleh : Rita Nurhasanah 180510070020 PROGRAM STUDI SASTRA PERANCIS FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR Agustus, 2012 Pengaruh Realitas Sosial Terhadap Kehidupan Pasangan Campuran Dalam Novel L’histoire de la femme cannibale Karya Maryse Condé Oleh : Rita Nurhasanah* ABSTRAK Skripsi ini berjudul Pengaruh realitas sosial terhadap kehidupan pasangan campuran dalam novel L’histoire de la femme cannibale, karya Maryse Condé yang bersumber dari novel yang ditulis oleh pengarang pada tahun 2003. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan pengaruh realitas sosial terhadap kehidupan pasangan campuran di dalam novel ini. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan analisis alur, analisis tokoh, analisis latar dan analisis sudut pandang. Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Dari seluruh rangkaian analisis ini, kita dapat melihat realitas sosial yang terjadi di Afrika Selatan, diantaranya pemisahan kaum kulit putih dengan kaum kulit hitam, maraknya aksi kejahatan seperti pembunuhan, kekerasan dan penindasan, situasi kultural seperti masih adanya kepercayaan yang kuat terhadap dukun, serta pencarian identitas pada diri tokoh utama. Kata kunci : realitas sosial di Afrika Selatan, politik Apartheid, Perkawinan campuran, Metis (anak keturunan campuran), diskriminasi ras, sosial budaya Afrika Selatan. *penulis adalah mahasiswi program studi Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya yang lulus pada tanggal 18 juli 2012 ABSTRACT This thesis entitled “The Influence of Social Reality towards Intermarriage Life in the novel L’histoire de la femme cannibale, by Maryse Condé, written in 2003”. The research was aimed at demonstrating the influence of social reality towards intermarriage life in the novel. Analysis on plots, figures, backgrounds and perceptions were carried out in order to gain the result. The method used in this paper was descriptive analysis method. From this whole series of analysis, we can see the social reality in South Africa, including the race discrimination, the rise of crime such as murder, violence and intimidation, as well as cultural situation on belief towards witches or magic, and the search self-identity on the main character. PENDAHULUAN Afrika Selatan merupakan satu-satunya negara yang dinamai sesuai dengan letak geografisnya yang berada di bagian selatan benua Afrika. Negara ini mempunyai sejarah dan kebudayaan yang sangat terkenal di seluruh dunia, termasuk pula sistem politiknya yang sangat kontroversial pada satu abad yang lalu, yaitu politik Apartheid. Politik ini pada prinsipnya bertujuan untuk memisahkan orang berkulit putih dengan orang berkulit hitam, memberi keuntungan yang sangat besar kepada orang berkulit putih sebagai kaum minoritas untuk menguasai segala bidang baik dalam bidang pemerintahan, perekonomian maupun sosial kemasyarakatan, dan memperbudak orang berkulit hitam yang merupakan kaum mayoritas di negara tersebut. Akibat politik diskriminatif itu, seluruh dunia mengutuk Afrika Selatan, begitu juga Dewan Keamanan PBB yang memberikan ultimatum agar politik Apartheid segera dihapus. Dengan adanya politik tersebut, orang berkulit hitam sangat dirugikan dan begitu menderita. Selain itu juga, politik ini melarang adanya pernikahan atau hubungan sebagai pasangan campuran antara orang berkulit putih dan orang berkulit hitam. Oleh karena itu, pasangan campuran di Afrika Selatan dianggap sebagai pasangan yang ilegal dan melanggar hukum. Meskipun politik Apartheid telah dihapuskan, namun pasangan campuran tetap dianggap sebagai hal yang tidak wajar, karena realitas sosial mengenai pasangan campuran di negara tersebut sudah menjadi sebuah mitos negatif, sehingga para pasangan campuran akan selalu mendapatkan sanksi sosial. Oleh karena itu, keberadaan pasangan campuran selalu menimbulkan konflik, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial. Hal tersebut membuat kehidupan pasangan berbeda warna kulit ini menjadi tidak tenang dan tidak berjalan sebaik kehidupan pasangan berkulit warna sama. Maka dari itu, pasangan ini senantiasa berada dalam tekanan, yang kemudian berpengaruh terhadap sisi psikologis masingmasing individunya. Seperti dalam novel L’histoire de la femme cannibale, Maryse Condé mengangkat tema mengenai hubungan pasangan campuran di Afrika Selatan yang dihubungkan dengan realitas sosial, budaya dan sejarah negara tersebut. Pasangan campuran yang dimaksud dalam novel ini adalah wanita kulit hitam yang berpasangan dengan lelaki kulit putih. Keberadaan pasangan campuran tersebut tidak terlepas dari pengaruh situasi negara yang tidak kondusif dan sarat dengan konflik itu. Di samping hal tersebut, dalam novel ini juga terlihat adanya dampak negatif dari sejarah Afrika Selatan, seperti banyaknya aksi kriminal dan masih terjadinya fenomena diskriminasi ras yang mengganggu sisi psikologis para tokoh. Latar tersebut kemudian memancing tokoh utama dalam buku ini untuk melakukan suatu tindakan tertentu terhadap realitas sosial yang ada di Afrika Selatan. Alur adalah salah satu elemen penting pembentuk karya sastra. Dalam konteksnya dapat dikatakan bahwa alur merupakan rangkaian tahapan-tahapan peristiwa yang kemudian membentuk suatu cerita yang dihadirkan oleh para tokoh. Menurut Goldenstein dalam bukunya Pour Lire Le Roman (1988 : 63), alur adalah konstruksi terpenting yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara kronologis dan logis saling berkaitan, dan yang diakibatkan atau dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Fungsinya adalah sebagai suatu sarana yang memudahkan para pembaca untuk dapat mengikuti perkembangan kejadian dalam cerita. Terdapat dua cara untuk menyusun alur teks naratif yaitu sekuen dan episode. Tokoh adalah elemen penting sebagai pembentuk karya sastra. Cerita dalam karya sastra merupakan pengembangan dari peristiwa yang dialami atau yang dilihat oleh tokoh. Tokoh-tokoh yang ditemukan dalam cerita dibentuk dari elemen-elemen yang ditiru dari kehidupan nyata. Oleh karena itu, tokoh-tokoh dalam suatu karya sastra dapat dikatakan lahir dari persilangan antara imajinasi pengarang dengan kenyataan (Schmitt dan Viala, 1982 : 69). Dalam analisis latar, novel ini menggunakan tiga jenis latar dalam ceritanya, seperti latar tempat, waktu dan sosial untuk menunjukkan dan menggambarkan realitas sosial di Afrika Selatan. Element lain yang sama pentingnya juga yaitu sudut pandang. Menurut Roland Barthes (1977 : 40), sudut pandang adalah kedudukan atau tempat berpijaknya narator terhadap cerita atau posisi narator dalam menyajikan sebuah cerita. Sebagai cara pandang pengarang dan pembaca yang diwakilkan pada pencerita (narrateur) dalam karya sastra, sudut pandang sangat penting keberadaannya dalam memberitahukan tendensi dari pesan yang akan disampaikan pengarang, karena teks sastra bukanlah teks yang bersifat netral tetapi selalu memuat perasaan-perasaan dan ideologi pengarang dari sudut pandang tertentu. (Schmitt, 1982 : 30) ISI/PEMBAHASAN Novel L’histoire de la femme cannibale ditulis oleh Maryse Condé. Ia merupakan seorang penulis besar frakofon yang lahir pada tanggal 11 februari 1937 di Pointe-à-Pitre, Guadeloupe. Ia merupakan Ketua Departemen Studi Perancis di Universitas Kolombia dan juga bekerja untuk mempromosikan kesusastraan Karibia. Selama perjalanannya di Afrika dan Karibia, Maryse Condé lebih memfokuskan pandangannya pada perbedaan ras kulit hitam dan putih. Selain mengenai ras, ia juga mengangkat gagasan tentang feminisme, identitas diri dan kebudayaan lokal. Maryse Condé menulis novel pertamanya yang berjudul Heremakhonon pada tahun 1976. Kemudian ia menulis novel kembali pada tahun 1981 yang berjudul Une saison à Rihata, dan novel berjudul Traversée de la mangrove pada tahun 1989. Condé berdiri di antara para penulis Karibia kontemporer. Dalam novel-novelnya, para protagonis terpecah di antara dua budaya, sehingga mereka harus mencari identitas diri. Pada tahun 1984, ia menerbitkan novel barunya yang berjudul Segou. Setahun kemudian ia mendapatkan penghargaan atas novel terbarunya, dan itu merupakan awal kesuksesan dalam karir menulisnya. Setelah itu, ia mendapatkan lagi beberapa penghargaan atas novel-novelnya. Dua novel yang mendapatkan penghargaan terbaik yaitu Moi, Tituba, sorcière noire de Salem yang ditulis pada tahun 1986 dan mendapatkan le grand prix de la femme pada tahun yang sama, dan novel berjudul La Vie scélérate yang ditulis pada tahun 1987 mendapatkan penghargaan dari l’Académie Française setahun kemudian. Pada tahun 1997, ia mendapatkan le prix Carbet de la Caraïbe untuk novel berjudul Desirada, dan pada tahun 1999 le prix Marguerite Yourcenar untuk novel berjudul Le coeur à rire et à pleurer. Akhirnya, Condé mendapatkan penghargaan kehormatan seni dan sastra pada tahun 2001 dan masih banyak penghargaan lain yang ia dapatkan dari novel-novelnya. Novel L’histoire de la femme cannibale menceritakan tentang seorang wanita bernama Rosélie Thibaudin. Ia yang mempunyai bakat melukis merupakan seorang wanita berkulit hitam yang cantik dengan rambut tebal, berpostur tubuh tinggi dan indah. Saat kecil, Rosélie tidak mempunyai teman karena kecemburuan dan sifat posesif ibunya yang hanya menginginkan Rosélie menghabiskan waktunya bersama dengan keluarganya. Kesepian selalu menyelimuti Rosélie karena ia merasa tidak cocok dengan kebiasaan sepupu-sepupunya yang hanya membicarakan tentang hal yang Rosélie anggap tidak menarik. Oleh sebab itu gadis ini lebih suka menyendiri. Rosélie melanjutkan kuliahnya di Paris, kemudian ia bertemu dengan SalamaSalama, seorang lelaki yang membawanya pergi ke Afrika Selatan. Kemudian tanpa alasan yang jelas, Salama-Salama pergi meninggalkan Rosélie seorang diri di N’Dossou. Setelah kepergian Salama-Salama, Rosélie memutuskan untuk menjadi seorang pelacur agar dapat bertahan hidup di N’Dossou. Kemudian, ia bertemu dengan lelaki berkulit putih yang bernama Stephen Stewart, seorang dosen yang mengajar sastra Irlandia. Setelah perkenalan tersebut, mereka menjalin hubungan asmara. Rosélie dan Stephen menjelajahi beberapa negara. Mereka pernah tinggal di Amerika Serikat selama tujuh tahun, kemudian mereka pindah ke Jepang sebelum akhirnya kembali lagi ke Afrika Selatan, lebih tepatnya ke kota Cap. Meski sebenarnya hubungan mereka tidak disetujui oleh keluarga Rosélie karena dalam tradisi keluarganya tidak menghendaki adanya perkawinan campuran, tetapi Rosélie dan Stephen tetap menjalani hubungan mereka sehingga menjadi pasangan yang bahagia. Selain itu, hubungan mereka pun ditolak oleh lingkungan sosial akibat dari adanya politik Apartheid. Namun, terkadang Stephen memandang rendah Rosélie, karena wanita tersebut berkulit hitam. Oleh karena itu, Rosélie berselingkuh dengan dengan seorang lelaki bernama Ariel. Pada akhirnya Stephen mengetahui perselimgkuhan tersebut. Dengan kebesaran hatinya, Stephen memaafkan semua kesalahan Rosélie. Simone Bazin des Roseraies adalah teman wanita pertama Rosélie. Mereka bertemu di Pusat Kebudayaan Perancis di Afrika Selatan. Simone yang merupakan wanita berkulit hitam dan mempunyai suami berkulit putih, selalu tertarik mengenai politik dan mengemukakan opininya mengenai semua hal seperti diktator, demokrasi, Islam, homoseksuel, terorisme, konflik India-Pakistan. Oleh karena kebiasaannya itu, secara tidak langsung Rosélie mendapatkan pengetahuan mengenai politik. Rosélie merasa kesepian setelah kepergian Simone, karena ia tidak mempunyai teman selain wanita itu. Kemudian, ia bertemu dengan Dido yang merupakan seorang wanita keturunan campuran. Mereka berteman setelah Rosélie berhasil menghidupkan lagi suasana batin Dido yang selalu merasa bersalah atas kematian anaknya. Suatu hari Stephen ditemukan dalam keadaan bersimbah darah, hingga akhirnya ia meninggal setelah dirawat di rumah sakit. Rosélie sangat terpukul atas kematian pasangannya itu. Semenjak itu Rosélie kehilangan gairah hidup, sehingga ia lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Kebiasaan yang selalu dilakukannya hanya membaca surat kabar serta mengomentari dengan tajam tiap berita kriminal yang ada. Kemudian Rosélie mulai berpikir untuk membantu orang-orang yang menderita akibat diskriminasi ras di Afrika Selatan. Ia memutuskan untuk menjadi seorang dukun. Ide tersebut berasal dari Dido yang mengkhawatirkan kondisi Rosélie yang hanya berdiam diri saja. Selain itu, Rosélie memang sudah memiliki bakat supranatural sejak ia kecil. Rosélie dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit luar maupun dalam, sehingga ia menjadi seorang dukun yang sangat terkenal. Rosélie mempunyai banyak pasien, terutama pasien imigran. Namun, di antara semua pasiennya, terdapat dua pasien yang selalu berada di pikiran Rosélie, yaitu Faustin dan Fiéla. Faustin merupakan pasien yang mempunyai hubungan asmara dengan Rosélie. Namun, pada akhirnya ia meninggalkan Rosélie. Sedangkan Fiéla adalah wanita berkulit hitam yang telah membunuh suaminya yang berkulit putih. Rosélie merasa tertarik dengan kasusnya Fiéla dan ia merasa bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, sehingga Rosélie menganggap bahwa ia dan Fiéla merupakan saudara kembar. Dari hari ke hari, rasa kepedulian Rosélie terhadap orang berkulit hitam semakin besar, karena ia juga pernah merasakan penderitaan yang sama seperti mereka. Ia percaya bahwa ia dapat mengalahkan rasisme dengan kecerdasan dan kemampuannya itu, sehingga ia berusaha melawan realitas sosial tersebut. Ia mengharapkan agar rasisme segera berakhir, sehingga tidak akan ada lagi orangorang yang menderita akibat diskriminasi ras. Untuk menjabarkan struktur cerita secara menyeluruh dan mengetahui pengaruh realitas sosial terhadap kehidupan pasangan campuran, akan digunakan teori pembagian cerita secara sekuensial dalam analisis alur. Teori pembagian cerita secara sekuensial berfungsi untuk mengetahui deretan peristiwa secara kronologis dan logis yang kemudian diintegrasikan dengan aplikasi teori tindakan. Pada awal cerita, pengarang mengambarkan Rosélie sebagai wanita berkulit hitam yang mempunyai pasangan lelaki berkulit putih. selain itu, pengarang juga menggambarkan kehidupan Rosélie sejak ia kecil, remaja, dewasa dan pekerjaannya sebagai seorang dukun. Dari analisis alur, terlihat munculnya konflik atau masalah dalam cerita yang berawal dari terjalinnya hubungan Rosélie, wanita berkulit hitam yang merupakan tokoh utama dalam novel ini, dengan Stephen, lelaki berkulit putih. Hubungan tersebut ditentang oleh berbagai pihak, baik dari keluarga Rosélie maupun dari lingkungan sosial. Meskipun tekanan yang datang begitu bertubi-tubi, namun mereka tetap menjalani kehidupan sebagai pasangan campuran yang cukup bahagia, hingga kematian Stephen. Setelah peristiwa itu, Rosélie memulai aksinya untuk melakukan “pemberontakan” terhadap realitas sosial yang ada di negara itu. Hal tersebut dipicu oleh rasa kepeduliannya terhadap orang-orang yang menderita akibat realitas tersebut. Analisis alur terdiri dari 70 sekuen yang didominasi oleh jenis sekuen tindakan (acte). Hal tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama cenderung aktif dalam menggulirkan cerita melalui berbagai aksinya. Tindakan (acte) tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor yang bersifat internal, yaitu suasana hati (état) dan juga eksternal, yaitu peristiwa (événement) dan hubungan antartokoh (situation). Hal ini berarti bahwa reaksi yang dilakukan oleh tokoh utama dipengaruhi oleh rasa kepedulian dan pengalaman hidupnya, yang kemudian semakin terpicu akibat adanya pengaruh realitas sosial yang sangat merugikan orang-orang di sekitarnya. Hasil dari analisis tokoh menunjukkan bahwa tokoh utama digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh yang mengalami berbagai macam kesulitan dan kemalangan, terutama saat menjalani kehidupan pasangan campuran, yang dipengaruhi oleh realitas sosial di Afrika Selatan. Namun demikian, karakter tokoh utama mengalami suatu perubahan visi dan misinya setelah mengalami berbagai peristiwa yang membuatnya harus terus berjuang meski telah kehilangan orang yang dicintainya. Selain itu, dalam analisis hubungan antartokoh dapat dilihat bagaimana hubungan tokoh utama dengan Stephen berperan dalam munculnya konflik dalam cerita. Hal itu terjadi karena mereka merupakan pasangan campuran kulit hitam dan putih. Dalam analisis ini, juga dapat diketahui bahwa kehidupan pasangan campuran tidak berjalan mulus, penyebabnya yaitu adanya pengaruh realitas sosial yang ada di Afrika Selatan, yang tidak menghendaki adanya hubungan di antara pasangan dengan warna kulit berbeda. Oleh karena itu, mereka selalu terkucilkan oleh keluarga atau lingkungan sosial dan tidak mendapatkan kebebasan seperti pasangan biasa lainnya. Pada analisis hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh pembantu atau pelengkap lainnya juga bisa dilihat bahwa sesungguhnya Rosélie adalah sosok wanita yang mudah untuk jatuh cinta kepada siapa pun tanpa memerdulikan warna kulitnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kisah cintanya bersama beberapa lelaki seperti Salama-Salama, Stephen, Ariel dan Faustin. Selain itu, dalam analisis hubungan antartokoh bisa dilihat juga adanya reaksi yang dilakukan oleh tokoh utama terhadap realitas sosial yang ada. Tokoh utama berusaha membantu semua korban diskriminasi ras yang mengalami trauma atau masalah psikologis lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung tokoh utama melakukan suatu “pemberontakan” terhadap realitas tersebut, yang juga menimpa dirinya. Selanjutnya, pada analisis latar yang merupakan inti pada penelitian ini, dapat diketahui bagaimana gambaran kehidupan pasangan campuran di Afrika Selatan. Pengarang menunjukkan keadaan tempat, waktu, dan sosial di negara itu secara terperinci, sehingga dapat menimbulkan rasa empati pembaca untuk ikut merasakan suasana di sana. Semua latar yang telah dianalisis tersebut sangat memengaruhi tokoh utama, Rosélie, dalam menjalani kehidupan sebagai wanita berkulit hitam yang memiliki pasangan lelaki berkulit putih, serta memicu rasa kepeduliannya untuk membantu orang-orang yang menderita karena realitas sosial tersebut. Analisis sudut pandang sebagai analisis terakhir dalam penelitian ini memiliki peranan dalam menunjukkan ide-ide, pendapat, pemikiran serta pesan pengarang dalam novel L’histoire de la femme cannibale. Melalui sudut pandang tak terbatas, pengarang leluasa keluar masuk pemikiran dan perasaan para tokoh untuk memaparkan idenya mengenai gambaran kehidupan pasangan campuran. Pandangan serta ide-ide pengarang semakin ditegaskan melalui penggunaan sudut pandang terbatas, yang memunculkan penilaian subyektifnya mengenai realitas sosial tersebut, termasuk pemikiran bahwa rasisme dianggap lebih menyakitkan dibandingkan dengan penyakit paling berbahaya sekalipun. Penggunaan kedua jenis sudut pandang ini terbukti efektif digunakan oleh pengarang, untuk membantu pembaca agar dapat menyelami lebih dalam mengenai realitas sosial yang terjadi di Afrika Selatan. SIMPULAN Dari keseluruhan analisis dalam skripsi ini, dapat terlihat ide pengarang yang mencoba mengetengahkan rumitnya realitas sosial akibat politik Apartheid yang terjadi di Afrika Selatan. Politik tersebut telah melibatkan berbagai aspek kehidupan dan nilai-nilai kehidupan manusia, nilai moral, budaya dan sosial. Dampak yang ditimbulkan dari politik Apartheid bagi orang-orang berkulit hitam begitu berkepanjangan, meskipun secara formal politik ini telah ditiadakan. Bahkan, bagi pasangan campuran, dampak tersebut akan selalu dialaminya, mereka akan selalu terkucilkan dari lingkungan sosial, karena realitas sosial tersebut telah menjadi sebuah tradisi yang melembaga. Melalui novel fiksi yang berjudul L’histoire de la femme cannibale ini, pengarang juga memperlihatkan adanya suatu sikap dari seorang manusia yang merasa terpicu rasa kepeduliannya terhadap orang-orang yang menderita akibat adanya diskriminasi ras. Seorang wanita yang telah mengalami berbagai tekanan dan penderitaan, sehingga dapat merasakan rasa sakit orang-orang yang bernasib sama dengannya. Wanita ini berusaha membantu menyembuhkan luka fisik maupun psikis para pasiennya, terutama pasien imigran. Sikap wanita tersebut berkaitan dengan judul novel ini, L’histoire de la femme cannibale yang merupakan judul sebuah lukisan, dapat diartikan sebagai perjalanan wanita ini dalam melakukan pemberontakan dan berusaha untuk mengakhiri realitas sosial yang terjadi di Afrika Selatan, walaupun ia harus melawan takdirnya sendiri. Setelah membaca novel ini, tampak bahwa pengarang mengajak kita untuk memaknai kehidupan dengan lebih bijaksana. Bagaimana seharusnya manusia menempatkan dirinya dengan baik dan seimbang dalam statusnya sebagai makhluk pribadi, makhluk Tuhan dan juga terutama sebagai makhluk sosial. Dengan mengutamakan perbuatan baik pada sesama dan tidak memandang rendah orang lain hanya karena perbedaan fisik, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Ali, mantan petinju Amerika Serikat “Membenci orang karena warna kulitnya itu salah. Tidak masalah apa ras si pembenci. Hanya saja ini benar-benar salah.”. Setiap perbedaan itu seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya, manusia memang diciptakan berbeda, namun tetap memiliki darah yang sama berwarna merah. Perbedaan tersebut sebaiknya tidak dijadikan sebagai jurang pemisah kebersamaan, karena masih ada beberapa kesamaan dibalik semua perbedaan itu, seperti dikutip dari salah satu bukunya Clive Barker, penulis Inggris, “Setiap orang merupakan sebuah buku yang terbuat dari darah, di mana pun kita dibuka, kita merah”. “Ketidaktahuan dan prasangka adalah bagian dari propaganda. Oleh karena itu, misi kami untuk mengalahkan kebodohan dengan pengetahuan, kefanatikan dengan toleransi, dan isolasi dengan tangan terentang dari kemurahan hati. Rasisme dapat, akan, dan harus dikalahkan .” - Kofi AnnanDaftar sumber : Barthes, Roland. 1981. Introduction à l’Analyse Structurale du Récit. Paris : Seuil. Condé, Maryse. 2003. L’histoire de la femme cannibale. Mercure de France Goldenstein, J. P. 1988. Pour Lire le Roman. Brussel-Paris: De Boeck-Duculot Schmitt, M.P. & A. Viala. 1982. Savoir-lire. Paris: © Les Éditions Didier www.monsieur-biographie.com/celebrite/biographie/maryse_conde-5707.php : diakses tanggal 2 Desember 2011 http://www.colby.edu/french/fr128/efdavis/biographie.htm Desember 2011 : diakses tanggal 2