Keesaan: Tuhan Islam tradisionis. Mereka menarik bagi orang awam karena etika mereka yang sangat egalitarian. Mereka menentang kemewahan pemerintahan Dinasti Umayah dan Abbasiyah, tetapi bukan dalam bentuk taktiktaktik revolusioner Syiah. Mereka tidak percaya bahwa khalifah haruslah seorang yang memiliki kualitas spiritual yang luar biasa: khalifah hanyalah seorang administrator pemerintahan. Sungguhpun demikian, dengan menekankan kesucian Al-Quran dan Sunnah, setiap Muslim memiliki sarana untuk berhubungan langsung dengan Tuhan dan berpotensi untuk menjadi sangat kritis terhadap kekuatan absolut. Tak dibutuhkan kasta pendeta untuk bertindak sebagai perantara. Setiap Muslim bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas nasib dan peruntungannya sendiri. Di atas segalanya, kaum tradisionis mengajarkan bahwa Al-Quran adalah sebuah realitas abadi, seperti halnya Taurat atau Logos, yang dalam beberapa hal menyangkut Tuhan itu sendiri; realitas itu telah bersemayam di dalam pikirannya jauh sebekim waktu berawal. Doktrin mereka tentang ketakterciptaan Al-Quran mengandung pengertian bahwa ketika kitab itu dibaca, umat Muslim bisa secara langsung mendengar Tuhan Yang Mahagaib. Al-Quran mewakili kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka. Firmannya berada di bibir mereka pada saat mereka membaca kata-kata suci di dalam kitab itu, dan ketika mereka memegang mushaf Al-Quran, mereka seakan-akan menyentuh kesucian itu sendiri. Orang Kristen terdahulu memiliki gagasan tentang manusia Yesus dalam cara yang sama: Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup— itulah yang kami tuliskan kepada kamu.37 Pembahasan tentang status pasti Yesus, sang Firman, telah sangat menyibukkan orang Kristen. Kini kaum Muslim pun mulai memperdebatkan sifat Al-Quran: dalam pengertian yang bagaimana naskah berbahasa Arab itu menjadi Firman Tuhan? Sebagian Muslim memandang pengagungan Al-Quran sebagai sesuatu yang berlebihan seperti halnya kelompok Kristen yang tidak bisa menerima gagasan bahwa Yesus adalah inkarnasi Logos. 223 Sejarah Tuhan Akan tetapi, Syiah secara perlahan-lahan mengembangkan gagasan yang lebih dekat kepada konsep Inkarnasi Kristen. Setelah kematian Husain yang tragis, orang Syiah semakin yakin bahwa hanya keturunan ayah Husain, yakni Ali ibn Abi Thalib, yang mesti memimpin ummah, dan mereka menjadi sekte yang semakin terlihat jelas di dalam Islam. Sebagai sepupu dan menantunya, Ali memiliki hubungan darah ganda dengan Muhammad. Karena tidak seorang pun dari putra Muhammad yang bertahan hidup, Ali menjadi kerabat laki-laki utamanya. Di dalam Al-Quran, Nabi sering memohonkan rahmat bagi keturunannya. Orang Syiah memperluas pengertian tentang rahmat suci ini dan berkeyakinan bahwa hanya anggota keluarga Nabi melalui garis keluarga Ali saja yang memiliki pengetahuan ('ilm) sejati tentang Tuhan. Hanya mereka yang mampu memberikan bimbingan suci kepada ummah. Jika seorang keturunan Ali berkuasa, kaum Muslim dapat berharap akan menapaki zaman keemasan bagi keadilan dan ummah akan dibimbing sesuai dengan kehendak Tuhan. Antusiasme terhadap pribadi Ali berkembang dalam cara yang mengejutkan. Beberapa kelompok Syiah radikal meninggikan Ali dan keturunannya ke tingkat yang bahkan lebih tinggi daripada Muhammad sendiri dan memberi mereka status semi-ilahiah. Mereka mengambil tradisi Persia kuno mengenai keluarga pilihan keturunandewa yang akan mewarisi kemuliaan suci dari satu generasi ke generasi. Menjelang akhir periode Umayah, sebagian orang Syiah mulai berkeyakinan bahwa 'ilm yang autoritatif hanya dapat ditemukan dalam satu garis keturunan Ali tertentu. Kaum Muslim hanya mungkin mendapati pribadi yang dipilih oleh Tuhan sebagai imam (pemimpin) sejati bagi ummah di dalam keluarga ini. Apakah pribadi itu berkuasa secara politis atau tidak, bimbingannya tetap dibutuhkan secara mutlak sehingga setiap Muslim berkewajiban untuk mencarinya dan menerima kepemimpinannya. Karena imam-imam ini dipandang sebagai sumber perpecahan, para khalifah menganggap mereka musuh negara: menurut kaum Syiah, sebagian dari imam itu diracuni dan sebagian lainnya terpaksa menyembunyikan diri. Ketika seorang imam wafat, dia akan memilih satu di antara keturunannya untuk menerima warisan 'ilm. Lambat laun, para imam itu dipuja sebagai avatar ilahi: masing-masing mereka menjadi "bukti" (hujjah) kehadiran Tuhan di bumi dan, dalam pengertian yang misterius, membuat yang ilahi berinkarnasi di dalam diri manusia. Kata-katanya, keputusan dan perintah-perintahnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana orang 224 Keesaan: Tuhan Islam Kristen memandang Yesus sebagai Jalan, Kebenaran, dan Cahaya yang bisa membimbing manusia menuju Tuhan, orang Syiah memuja imam-imam mereka sebagai Gerbang (bab) menuju Tuhan, Jalan (sabil), dan Pembimbing setiap generasi. Berbagai aliran Syiah mengurai silsilah suci itu secara berbedabeda. Syiah Dua Belas Imam, misalnya, memuliakan dua belas keturunan Ali lewat garis Husain, hingga pada tahun 939, imam terakhir bersembunyi dan menghilang dari masyarakat; tak ada lagi keturunan setelah dia, sehingga garis itu pun terputus. Syiah Ismailiyah, yang dikenal pula sebagai Syiah Tujuh, meyakini bahwa imam ketujuh dalam garis inilah yang merupakan imam terakhir. Paham tentang Al-Mahdi muncul di kalangan Syiah Dua Belas yang meyakini bahwa imam kedua belas atau imam yang gaib itu akan kembali untuk menahbiskan zaman kegemilangan. Ini merupakan gagasan yang berbahaya. Bukan hanya subversif secara polilis, tetapi gagasan ini cenderung untuk ditafsirkan secara kasar dan gampangan. Oleh karena itu, kalangan Syiah yang lebih ekstrem mengembangkan tradisi esoterik berdasarkan penafsiran simbolik terhadap Al-Quran, seperti yang akan kita saksikan pada bab mendatang. Keyakinan mereka terlalu musykil bagi mayoritas Muslim, yang tidak dapat menerima gagasan tentang inkarnasi, sehingga Syiah biasanya terdapat di kalangan kelas yang lebih aristokratis dan intelektual. Sejak revolusi Iran, orang Barat cenderung melihat Syiah sebagai sekte Islam yang secara inheren bersifat fundamentalis. Ini penilaian yang tidak akurat. Syiah telah berkembang menjadi tradisi yang canggih. Sesungguhnya, Syiah memiliki banyak kesamaan dengan kaum Muslim yang secara sistematik berupaya mengaplikasikan argumen-argumen rasional terhadap Al-Quran. Kaum rasionalis ini, yang dikenal sebagai Mu'tazilah, membentuk kelompok tersendiri; mereka juga memiliki komitmen politik yang teguh: seperti kaum Syiah, orang-orang Mu'tazilah sangat kritis terhadap gaya hidup mewah para penguasa dan sering aktif secara politis menentang kemapanan. Persoalan politik mengilhami perdebatan teologis tentang pengaturan Tuhan atas urusan-urusan manusia. Para pendukung Dinasti Umayah secara tidak jujur mengklaim bahwa perilaku tidak Islami mereka bukan merupakan kesalahan mereka, melainkan karena Tuhan telah menakdirkan mereka untuk menjadi jenis manusia yang demikian. Al-Quran memiliki konsepsi yang sangat kukuh tentang kemahakuasaan Tuhan, dan banyak teks yang bisa dipakai untuk mendukung 225