konsep tuhan223-225_karen-amstrong-sejarah

advertisement
Keesaan: Tuhan Islam
tradisionis. Mereka menarik bagi orang awam karena etika mereka
yang sangat egalitarian. Mereka menentang kemewahan pemerintahan Dinasti Umayah dan Abbasiyah, tetapi bukan dalam bentuk taktiktaktik revolusioner Syiah. Mereka tidak percaya bahwa khalifah
haruslah seorang yang memiliki kualitas spiritual yang luar biasa:
khalifah hanyalah seorang administrator pemerintahan. Sungguhpun
demikian, dengan menekankan kesucian Al-Quran dan Sunnah, setiap
Muslim memiliki sarana untuk berhubungan langsung dengan Tuhan
dan berpotensi untuk menjadi sangat kritis terhadap kekuatan absolut.
Tak dibutuhkan kasta pendeta untuk bertindak sebagai perantara.
Setiap Muslim bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas nasib dan
peruntungannya sendiri.
Di atas segalanya, kaum tradisionis mengajarkan bahwa Al-Quran
adalah sebuah realitas abadi, seperti halnya Taurat atau Logos, yang
dalam beberapa hal menyangkut Tuhan itu sendiri; realitas itu telah
bersemayam di dalam pikirannya jauh sebekim waktu berawal.
Doktrin mereka tentang ketakterciptaan Al-Quran mengandung
pengertian bahwa ketika kitab itu dibaca, umat Muslim bisa secara
langsung mendengar Tuhan Yang Mahagaib. Al-Quran mewakili
kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka. Firmannya berada di
bibir mereka pada saat mereka membaca kata-kata suci di dalam
kitab itu, dan ketika mereka memegang mushaf Al-Quran, mereka
seakan-akan menyentuh kesucian itu sendiri. Orang Kristen terdahulu
memiliki gagasan tentang manusia Yesus dalam cara yang sama:
Apa yang telah ada sejak semula,
yang telah kami dengar,
yang telah kami lihat dengan mata kami,
yang telah kami saksikan
dan yang telah kami raba dengan tangan kami
tentang Firman hidup—
itulah yang kami tuliskan kepada kamu.37
Pembahasan tentang status pasti Yesus, sang Firman, telah sangat
menyibukkan orang Kristen. Kini kaum Muslim pun mulai memperdebatkan sifat Al-Quran: dalam pengertian yang bagaimana naskah
berbahasa Arab itu menjadi Firman Tuhan? Sebagian Muslim memandang pengagungan Al-Quran sebagai sesuatu yang berlebihan seperti
halnya kelompok Kristen yang tidak bisa menerima gagasan bahwa
Yesus adalah inkarnasi Logos.
223
Sejarah Tuhan
Akan tetapi, Syiah secara perlahan-lahan mengembangkan gagasan yang lebih dekat kepada konsep Inkarnasi Kristen. Setelah kematian Husain yang tragis, orang Syiah semakin yakin bahwa hanya
keturunan ayah Husain, yakni Ali ibn Abi Thalib, yang mesti memimpin ummah, dan mereka menjadi sekte yang semakin terlihat jelas
di dalam Islam. Sebagai sepupu dan menantunya, Ali memiliki hubungan darah ganda dengan Muhammad. Karena tidak seorang pun dari
putra Muhammad yang bertahan hidup, Ali menjadi kerabat laki-laki
utamanya. Di dalam Al-Quran, Nabi sering memohonkan rahmat
bagi keturunannya. Orang Syiah memperluas pengertian tentang
rahmat suci ini dan berkeyakinan bahwa hanya anggota keluarga
Nabi melalui garis keluarga Ali saja yang memiliki pengetahuan
('ilm) sejati tentang Tuhan. Hanya mereka yang mampu memberikan
bimbingan suci kepada ummah. Jika seorang keturunan Ali berkuasa,
kaum Muslim dapat berharap akan menapaki zaman keemasan bagi
keadilan dan ummah akan dibimbing sesuai dengan kehendak Tuhan.
Antusiasme terhadap pribadi Ali berkembang dalam cara yang
mengejutkan. Beberapa kelompok Syiah radikal meninggikan Ali
dan keturunannya ke tingkat yang bahkan lebih tinggi daripada
Muhammad sendiri dan memberi mereka status semi-ilahiah. Mereka
mengambil tradisi Persia kuno mengenai keluarga pilihan keturunandewa yang akan mewarisi kemuliaan suci dari satu generasi ke
generasi. Menjelang akhir periode Umayah, sebagian orang Syiah
mulai berkeyakinan bahwa 'ilm yang autoritatif hanya dapat ditemukan dalam satu garis keturunan Ali tertentu. Kaum Muslim hanya
mungkin mendapati pribadi yang dipilih oleh Tuhan sebagai imam
(pemimpin) sejati bagi ummah di dalam keluarga ini. Apakah pribadi
itu berkuasa secara politis atau tidak, bimbingannya tetap dibutuhkan
secara mutlak sehingga setiap Muslim berkewajiban untuk mencarinya
dan menerima kepemimpinannya. Karena imam-imam ini dipandang
sebagai sumber perpecahan, para khalifah menganggap mereka
musuh negara: menurut kaum Syiah, sebagian dari imam itu diracuni
dan sebagian lainnya terpaksa menyembunyikan diri. Ketika seorang
imam wafat, dia akan memilih satu di antara keturunannya untuk
menerima warisan 'ilm. Lambat laun, para imam itu dipuja sebagai
avatar ilahi: masing-masing mereka menjadi "bukti" (hujjah) kehadiran Tuhan di bumi dan, dalam pengertian yang misterius, membuat
yang ilahi berinkarnasi di dalam diri manusia. Kata-katanya, keputusan
dan perintah-perintahnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana orang
224
Keesaan: Tuhan Islam
Kristen memandang Yesus sebagai Jalan, Kebenaran, dan Cahaya
yang bisa membimbing manusia menuju Tuhan, orang Syiah memuja
imam-imam mereka sebagai Gerbang (bab) menuju Tuhan, Jalan
(sabil), dan Pembimbing setiap generasi.
Berbagai aliran Syiah mengurai silsilah suci itu secara berbedabeda. Syiah Dua Belas Imam, misalnya, memuliakan dua belas
keturunan Ali lewat garis Husain, hingga pada tahun 939, imam
terakhir bersembunyi dan menghilang dari masyarakat; tak ada lagi
keturunan setelah dia, sehingga garis itu pun terputus. Syiah Ismailiyah, yang dikenal pula sebagai Syiah Tujuh, meyakini bahwa imam
ketujuh dalam garis inilah yang merupakan imam terakhir. Paham
tentang Al-Mahdi muncul di kalangan Syiah Dua Belas yang meyakini
bahwa imam kedua belas atau imam yang gaib itu akan kembali
untuk menahbiskan zaman kegemilangan. Ini merupakan gagasan
yang berbahaya. Bukan hanya subversif secara polilis, tetapi gagasan
ini cenderung untuk ditafsirkan secara kasar dan gampangan. Oleh
karena itu, kalangan Syiah yang lebih ekstrem mengembangkan tradisi
esoterik berdasarkan penafsiran simbolik terhadap Al-Quran, seperti
yang akan kita saksikan pada bab mendatang. Keyakinan mereka
terlalu musykil bagi mayoritas Muslim, yang tidak dapat menerima
gagasan tentang inkarnasi, sehingga Syiah biasanya terdapat di
kalangan kelas yang lebih aristokratis dan intelektual. Sejak revolusi
Iran, orang Barat cenderung melihat Syiah sebagai sekte Islam yang
secara inheren bersifat fundamentalis. Ini penilaian yang tidak akurat.
Syiah telah berkembang menjadi tradisi yang canggih. Sesungguhnya,
Syiah memiliki banyak kesamaan dengan kaum Muslim yang secara
sistematik berupaya mengaplikasikan argumen-argumen rasional terhadap Al-Quran. Kaum rasionalis ini, yang dikenal sebagai Mu'tazilah,
membentuk kelompok tersendiri; mereka juga memiliki komitmen
politik yang teguh: seperti kaum Syiah, orang-orang Mu'tazilah sangat
kritis terhadap gaya hidup mewah para penguasa dan sering aktif
secara politis menentang kemapanan.
Persoalan politik mengilhami perdebatan teologis tentang pengaturan Tuhan atas urusan-urusan manusia. Para pendukung Dinasti
Umayah secara tidak jujur mengklaim bahwa perilaku tidak Islami
mereka bukan merupakan kesalahan mereka, melainkan karena Tuhan
telah menakdirkan mereka untuk menjadi jenis manusia yang demikian. Al-Quran memiliki konsepsi yang sangat kukuh tentang kemahakuasaan Tuhan, dan banyak teks yang bisa dipakai untuk mendukung
225
Download