BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan
suatu
kelompok
penyakit
metabolik
dengan
karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (PERKENI, 2006).
2.1.2 Faktor Risiko
Menurut Suyono (2007), DM di Indonesia akan terus meningkat
disebabkan beberapa faktor antara lain :
a. Faktor keturunan (genetik)
b. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2)
- Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat
- Makan berlebihan
- Hidup santai, kurang gerak badan
c. Faktor demografi
- Jumlah penduduk meningkat
- Urbanisasi
- Penduduk berumur di atas 40 tahun meningkat
d. Kurang gizi
2.1.3 Epidemiologi
Sekitar 18,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM dan diantara
pasien ini 5,2 juta orang tidak terdiagnosa. Risiko mengalami diabetes untuk bayi
yang dilahirkan pada tahun 2000 diperkirakan adalah 32,8% untuk pria dan 38,5%
untuk wanita. DM tipe 1 ditemukan pada 5% sampai 10% pasien dengan diabetes
dan prevalensinya pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun adalah sekitar 1
dalam 400. DM tipe 1 tidak memiliki variasi musiman dan perbedaan jenis
Universitas Sumatera Utara
kelamin secara klinis tidak bermakna. DM tipe 2 dijumpai pada 90% sampai 95%
dari semua pasien dengan diabetes. Prevalensinya berbeda di antara kelompok ras
dan etnis yang berbeda (Afrika-Amerika 11,4%, Latino 8,2%, dan Amerika Asli
14,9%) (Cramer dan Manyon, 2007).
Menurut data organisasi Persatuan Rumah Sakit di Indonesia (PERSI)
tahun 2008, Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah
penderita diabetes mellitus di dunia.
Pada 2006, jumlah penyandang diabetes (diabetasi) di Indonesia mencapai
14 juta orang. Dari jumlah itu, baru 50% penderita yang sadar mengidap, dan
sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan secara teratur. Menurut beberapa
penelitian epidemiologi, prevalensi diabetes di Indonesia berkisar 1,5% sampai
2,3%, kecuali di Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu 6,1 % (PERSI, 2008)
Menurut kepala Dinas Kesehatan Kota Medan Edwin Effendi, penyakit
DM di Medan, sejak September-Oktober 2009 merupakan penyakit dengan
penderita terbanyak, yang terus mengalami peningkatan jumlahnya, jika
dibanding dengan jumlah pasien Penyakit Jantung Koroner atau penyakit yang
lainnya. Diperkirakan di Medan terdapat lebih dari 14 juta orang menderita
diabetes, tetapi baru 50% yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru
sekitar 30% yang datang berobat teratur (Waspada Online, 2009).
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut PERKENI 2006 dalam dilihat dalam
tabel 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus
Jenis
Tipe 1
Tipe 2
Etiologi
Destruksi sel β, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut
• Autoimun
• Idiopatik
Bervariasi, mulai dari resistensi insulin yang disertai
defisiensi insulin relatif hingga defek sekresi insulin yang
Universitas Sumatera Utara
Tipe lain
Diabetes
Melitus
gestasional
dibarengi resistensi insulin.
• Defek genetik fungsi sel β
• Defek genetik kerja insulin
• Penyakit eksokrin pankreas
• Endokrinopati
• Karena obat atau zat kimia
• Infeksi
• Sebab imunologi (jarang)
• Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada
kehamilan pertama dan gangguan toleransi glukosa setelah
terminasi kehamilan.
a. DM tipe 1, insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)
Diabetes jenis ini terjadi akibat kerusakan sel β pakreas. Dahulu, DM tipe
1 disebut juga diabetes onset-anak (atau onset-remaja) dan diabetes rentanketosis (karena sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 biasanya terjadi
sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan
lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Sekresi insulin
mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali).
Dengan demikian, tanpa pengobatan dengan insulin (pengawasan dilakukan
melalui pemberian insulin bersamaan dengan adaptasi diet), pasien biasanya akan
mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik (Arisman, 2011).
Gejala biasanya muncul secara mendadak, berat dan perjalanannya sangat
progresif; jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma.
Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah.
Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140
mg/dL (Arisman, 2011).
b. DM tipe 2, non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)
DM jenis ini disebut juga diabetes onset-matur (atau onset-dewasa) dan
diabetes resistan-ketosis (istilah NIDDM sebenarnya tidak tepat karena 25%
diabetes, pada kenyataannya, harus diobati dengan insulin; bedanya mereka tidak
Universitas Sumatera Utara
memerlukan insulin sepanjang usia). DM tipe 2 merupakan penyakit familier yang
mewakili kurang-lebih 85% kasus DM di Negara maju, dengan prevalensi sangat
tinggi (35% orang dewasa) pada masyarakat yang mengubah gaya hidup
tradisional menjadi modern (Arisman, 2011).
DM tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an tahun), atau
lebih tua, dan cenderung tidak berkembang kearah ketosis. Kebanyakan penderita
memiliki berat badan yang lebih. Atas dasar ini pula, penyandang DM jenis ini
dikelompokkan menjadi dua : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes.
Kemungkinan untuk menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan
bertambah sebanyak 20% di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun
atau di atas 40 tahun (Arisman, 2011).
Gejala muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang-kadang
bahkan belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas
gejala berjalan lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus-kasus berat.
Namun, ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress
atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin
bekerja tidak efektif (Arisman, 2011).
Pengendaliannya boleh jadi hanya berupa diet dan (jika tidak ada
kontraindikasi) olahraga, atau dengan pemberian obat hipoglisemik (Arisman,
2011).
Perbedaan DM tipe 1 dan 2 dapat digambarkan didalam tabel 2.2 di bawah
ini:
Tabel 2.2 Perbedaan antara DM tipe 1 dan 2
Riwayat Keluarga
Gejala
Ketoasidosis
DM tipe 1
Anak/dewasa muda
(<25 tahun)
<10% dari semua
penyandang DM
Tidak lazim
Akut/sub-akut
Sering sekali
Antibodi ICA, GAD
Obesitas saat onset
Sangat sering positif
Tidak obes
Onset
Proporsi
DM tipe 2
Biasanya setelah usia
pertengahan
>90% dari semua
penyandang DM
Sangat lazim
Lambat
Jarang, kecuali jika
sakit/stress
Biasanya negative
Obes sebelum onset
Universitas Sumatera Utara
Kaitan dengan HLA
tipe tertentu
Kaitan dengan penyakit
autoimun
C-peptida darah/urin
Kegunaan insulin
Ada
Tidak ada
Kadang-kadang ada
Tidak ada
Sangat rendah
Penyelamat nyawa
Penyebab
Pankreas tidak mampu
membuat insulin
Kegunaan diet
Mengawasi gula darah
(makan/jajan harus diatur
seputar pemberian insulin
agar tidak terjadi
hipoglisemia)
Merangsang sirkulasi dan
membantu tubuh dalam
penggunaan insulin
Rendah/normal/tinggi
Kadang-kadang
diperlukan sebagai
pengawasan gula darah
Produksi insulin masih
ada, tetapi sel target tidak
peka
Menurunkan BB (jadwal
tidak harus ketat, kecuali
kalau insulin juga
diberikan)
Kegunaan latihan fisik
Membuat tubuh menjadi
lebih peka terhadap
insulinnya sendiri, di
samping menggunakan
energi untuk mengurangi
BB
(Sumber : Arisman, 2011)
c. DM tipe lain
Diabetes jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe
lain. Etiologi diabetes jenis ini, meliputi : (a) penyakit pada pankreas yang
merusak sel β, seperti hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik; (b) sindrom
hormonal yang mengganggu sekresi dan/atau menghambat kerja insulin, seperti
akromegali, feokromositoma, dan sindrom Cushing; (c) obat-obat yang
menggangu sekresi insulin (fenitoin [Dilantin]) atau menghambat kerja insulin
(estrogen dan glukokortikoid); (d) kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti
kelainan pada reseptor insulin; dan (e) sindrom genetic (Arisman, 2011).
d. Diabetes Mellitus kehamilan (DMK)
Diabetes mellitus kehamilan didefenisikan sebagai setiap intoleransi
glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang
derajat intoleransi serta tidak memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau
Universitas Sumatera Utara
menetap selepas melahirkan. Diabetes jenis ini biasanya muncul pada kehamilan
trimester kedua dan ketiga. Kategori ini mencakup DM yang terdiagnosa ketika
hamil (sebelumnya tidak diketahui). Wanita yang sebelumnya diketahui telah
mengidap DM, kemudian hamil, tidak termasuk ke dalam kategori ini (Arisman,
2011).
2.1.5 Patofisiologi
Keadaan normal kadar glukosa darah berkisar antara 70-110 mg/dl, setelah
makan kadar glukosa darah dapat meningkat 120-140 mg/dl dan akan menjadi
normal dengan cepat. Kelebihan glukosa dalam darah disimpan sebagai glikogen
dalam hati dan sel-sel otot (glicogenesis) yang diatur oleh hormon insulin yang
bersifat anabolik. Kadar glukosa darah normal dipertahankan selama keadaan
puasa karena glukosa dilepaskan dari cadangan-cadangan tubuh (glycogenolisisi)
oleh hormon glucagon yang bersifat katabolik (Arisman, 2011)
Mekanisme regulasi kadar glukosa darah, hormon insulin merupakan satusatunya hormon yang menurunkan glukosa darah (PERKENI, 2006).
Insulin adalah hormon protein dibuat dari dua rantai peptida (rantai A dan
rantai B) dihubungkan pada dua lokasi melalui jembatan disulfida. Dalam bentuk
ini lah insulin dilepaskan ke dalam darah dan beraksi pada sel target. Insulin
disintesa di dalam sel β di reticulum endoplasmik, sebagai rantai peptida lebih
besar yang disebut proinsulin (Mardiati, 2000).
Pada diabetes melitus defisiensi atau resistensi hormon insulin
menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi karena menurunnya ambilan
glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta peningkatan pengeluaran glukosa
oleh hati, akibatnya otot tidak mendapatkan energi dari glukosa dan membuat
alternatif dengan membakar lemak dan protein (Mardiati, 2000). Dampak lebih
jauh terjadi komplikasi-komplikasi yang secara biokimia menyebabkan kerusakan
jaringan atau komplikasi tersebut akibat terdapatnya : (1) Glikosilasi, kadar gula
yang tinggi memudahkan ikatan glukosa pada berbagai protein yang dapat
ireversibel yang sering mengganggu fungsi protein; (2) Jalur poliol (peningkatan
aktifitas aldose reductase), jaringan mengandung aldose reductase (saraf, ginjal,
Universitas Sumatera Utara
lensa mata) dapat menyebabkan metabolisme kadar gula yang tinggi menjadi
sorbitol dan fructose. Produk jalur poliol ini berakumulasi dalam jaringan yang
terkena menyebabkan bengkak osmotik dan kerusakan sel (Salzler, Crawford dan
Kumar, 2007).
2.1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, antara lain
(PERKENI, 2006) :
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.
Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
sesuai kondisi dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler (Gustaviani, 2006; PERKENI, 2006).
Tabel 2.3 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM
Kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dl)
Kadar glukosa darah
Puasa (mg/dl)
Plasma vena
Darah kapiler
Plasma vena
Darah kapiler
< 100
<90
< 100
<90
Belum pasti
DM
100-199
90-199
100-125
90-99
DM
≥200
≥200
≥126
≥100
Sumber : Konsesus Pengelolaan DM Tipe-2 di Indonesia, PERKENI 2006
Universitas Sumatera Utara
Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosa DM adalah (PERKENI, 2006) :
a.
Didahului dengan adanya keluhan-keluhan khas yang dirasakan dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan glukosa darah.
b.
Pemeriksaan glukosa darah menunjukkan hasil : pemeriksaan glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dl (sudah cukup menegakkan diagnosis), pemeriksaan
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl (patokan diagnosis DM).
Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis DM
1.
2.
3.
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau
Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Atau
Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Sumber : PERKENI, 2006
Untuk kelompok tanpa keluhan DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosa
DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa
≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah setelah pembebanan
≥ 200 mg/dl
(PERKENI, 2006).
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
Diabetes
Melitus
dapat
dilakukan
dengan
cara
pengelolaan yang baik. Tujuan penatalaksanaan secara umum menurut PERKENI
(2006) adalah meningkatkan kualitas hidup penderita Diabetes.
Universitas Sumatera Utara
Penatalaksanaan dikenal dengan empat pilar penatalaksanaan diabetes
melitus, yang meliputi : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
pengelolaan farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2006).
a. Edukasi
Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan
pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku
yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang
memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi
(PERKENI, 2006).
b. Terapi Gizi Medis
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
baik sebagai berikut (PERKENI, 2006):
•
Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi
•
Protein : 10 – 20% total asupan energi
Universitas Sumatera Utara
•
Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali
kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk
wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi
status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan
kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan
non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik
maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal
(PERKENI, 2006).
c. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti :
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 Aktivitas Fisik Sehari-hari
Kurangi Aktivitas
Hindari aktivitas sedenter
Persering Aktivitas
Mengikuti olahraga
rekreasi dan beraktivitas
fisik tinggi pada waktu
liburan
Aktivitas Harian
Kebiasaan bergaya hidup
sehat
Misalnya : menonton televisi,
internet, main game komputer
menggunakan
Misalnya : jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda,
sepak bola
Misalnya : berjalan kaki ke pasar (tidak
menggunakan mobil), menggunakan tangga (tidak
menggunakan lift), menemui rekan kerja (tidak
hanya melalui telepon internal), jalan dari tempat
parkir
Sumber : Konsesus Pengelolaan DM Tipe-2 di Indonesia, PERKENI 2006
d. Pengelolaan Farmakologis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes mellitus dapat berupa Obat
Hipoglikemik Oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4
golongan, antara lain (Soegondo,2007) :
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
1.
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang
tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
2.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
Universitas Sumatera Utara
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati.
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di
sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa,
sehingga
meningkatkan
ambilan
glukosa
di
perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama
dipakai
pada
penyandang
diabetes
gemuk.
Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan.
D. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
Universitas Sumatera Utara
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap
penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 2.6 (Soegondo, 2007).
Tabel 2.6 Mekanisme kerja, efek-samping utama dan pengaruh terhadap
penurunan A1C (Hb-glikosilat)
Efek samping
Penurunan
Cara kerja utama
utama
A1C
Sulfonilurea
Meningkatkan sekresi
BB naik,
1,5-2%
insulin
Hipoglikemia
Glinid
Meningkatkan sekresi
BB naik,
?
insulin
Hipoglikemia
Metformin
Menekan produksi
Diare, dispepsia,
glukosa hati dan
1,5-2%
asidosis laktat
menambah sensitivitas
terhadap insulin
Penghambat
Menghambat absorpsi
Flatulens, tinja
glukosidase
0,5-1,0%
glukosa
lembek
Alfa
Tiazolidindion
Menambah sensitivitas
Edema
1,3%
terhadap insulin
Sumber : Buku Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, 2007
2.1.8
Penilaian Hasil Terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah (PERKENI, 2006).
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah :
-
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
-
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai
sasaran terapi.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai
dengan kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka
pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam
setahun.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini
banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering
yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi
dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara
standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara
reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu
sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada
terapi. Waktu yang dianjurkan, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah
makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk
menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai
adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala, atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglicemic spells. Prosedur PGDM dapat
dilihat pada tabel 2.7.
Tabel 2.7 Kriteria Pengendalian DM
Baik
Sedang
Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl)
80-<100
100-125
≥126
Glukosa darah 2 jam (mg/dl)
80-144
145-179
≥180
A1C (%)
<6,5
6,5-8
>8
Kolesterol Total (mg/dl)
<200
200-239
>240
Kolesterol LDL (mg/dl)
<100
100-129
≥130
Universitas Sumatera Utara
Kolesterol HDL (mg/dl)
Pria: > 40
Wanita: >50
<150
150-199
≥200
IMT (kg/m2)
18,5-<23
23-25
>25
Tekanan darah (mmHg)
≤130/80
>130-140/
>80-90
>140/90
Trigeliserida (mg/dl)
Sumber : PERKENI, 2006
2.1.9 Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi akut pada diabetes mellitus antara lain (Boedisantoso R,
2007):
a.
Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari
gejala adrinergic (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan
gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma). Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemia
oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida dan glibenklamida.
Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari aturan yang
ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan dan
lain-lain.
b.
Ketoasidosis Diabetik
ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut
dari suatu perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias
hiperglikemia, asidosi dan ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman
kematian pada pasien DM.
c.
Hiperglikemia Non Ketotik
Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis
dengan atau tanpa adanya ketosis.
Universitas Sumatera Utara
Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus
yang dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan
sel dan juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan dasar itu terjadi pada
endotel pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun pada sel masingeal
ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kematian sel
yang akhirnya akan menjadi komplikasi vaskular DM. Struktur pembuluh darah,
saraf dan struktur lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula
di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan
mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang,
terutama menuju kulit dan saraf. Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan
beberapa komplikasi antara lain (Waspadji, 2006) :
a.
Retinopati
Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan
terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan
kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan
meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang
selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh darah yang
menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang menyebabkan kebutaan.
b.
Nefropati
Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular
dan disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan
terjadinya
penebalan
membran
basal
yang
akan
menyebabkan
berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya
yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan
timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dna kemudian berkembang
menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi
laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal.
c.
Neuropati
Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa
hilangnya sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri dan lebih terasa sakit dimalam hari.
Universitas Sumatera Utara
d.
Penyakit jantung koroner
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan
kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat
aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).
Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat
aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi
penyakit jantung koroner.
e.
Penyakit pembuluh darah kapiler
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki
diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada
penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah
di kaki.
2.2
Pengaturan Kadar Gula Darah Tubuh
Yang berperan penting dalam fisiologi pengaturan kadar glukosa darah
adalah hepar, pankreas, adenohipofise dan kelenjar adrenal. Pengaruh lain berasal
dari : kelenjar tiroid, kerja fisik, serta faktor imunologi dan herediter.
a. Hepar
Setelah absorbsi makanan oleh usus, glukosa dialirkan kehepar melalui
vena porta. Sebagian dari glukosa tersebut disimpan sebagai glikogen. Pada saat
itu kadar glukosa dalam vena porta lebih tinggi daripada vena hepatik. Setelah
absorbsi selesai, glikogen dalam hepar dipecah lagi menjadi glukosa. Pada saat ini
kadar glukosa dalam vena hepatik lebih tinggi daripada dalam vena porta. Jadi
jelaslah bahwa hepar dalam hal ini berperan sebagai glukostat.
Dalam keadaan biasa, persediaan glikogen dalam hepar cukup untuk
mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam.
b. Pankreas
Sekresi insulin kedalam darah diatur oleh berbagai faktor yaitu :
• Jumlah makanan yang masuk
• Hormon saluran cerna
Universitas Sumatera Utara
• Hormon susunan saraf (baik susunan saraf otonom maupun
susunan saraf pusat)
Berbagai zat dalam makanan dapat merangsang sekresi insulin. Pada
manusia glukosa merupakan stimulus terkuat, dimana pemberian oral lebih kuat
merangsang sekresi insulin daripada pemberian intra vena. Perangsangan sekresi
insulin ini dengan perantaraan hormon intestinal. Yang dimaksud hormon
intestinal adalah sekretin, gastrin, pankreozimin, dan glukagon intestinal.
Selain insulin, hormon pankreas yang juga penting ikut mengatur
metabolisme karbohidrat adalah glukagon. Glukagon menyebabkan glikogenolisis
dengan jalan merangsang adenilsiklase, suatu enzim yang penting untuk
mengaktifkan enzim fosforilase. Penurunan cadangan glikogen dalam hepar
menyebabkan bertambahnya deaminasi dan transaminasi asam amino, sehingga
glukoneogenesis menjadi lebih aktif.
c. Sistem adrenergik (Kelenjar adenohipofise dan kelenjar adrenal)
Kerja zat adrenergik/simpatik/simpatomimetik terhadap metabolisme
adalah :
• Meningkatkan glikogenolisis dihepar dan otot rangka
• Meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari
jaringan lemak
Hepar mempunyai Glukosa 6 Phosfatase, tetapi otot rangka tidak
mempunyai, sehingga hepar melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas
asam laktat.
Zat adrenergik juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin.
Diketahui bahwa sekresi insulin distimulasi oleh aktifitas reseptor β (beta)
adrenergik. Tetapi dalam pengaruhnya, reseptor α (alpha) adrenergik lebih
dominan dan ini menghambat aktifitas reseptor β sehingga sekresi insulin
dihambat.
Epinefrin juga menyebabkan berkurangnya ambilan (uptake) glukosa oleh
jaringan perifer, akibatnya peningkatan kadar glukosa darah dan laktat darah, serta
penurunan glikogen dalam hepar dan otot rangka.
Universitas Sumatera Utara
Epinefrin meningkatkan aktifitas enzim lipase trigliserida dalam jaringan
lemak sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas
(free fatty acid = FFA) dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam
darah menintgkat. Aktifitas enzim lipase trigliserida tersebut terjadi karena
aktifitas reseptor β yang berakibat terbentuknya siklik AMP.
Pentingnya pengaturan glukosa darah adalah karena secara normal glukosa
merupakan satu-satunya bahan makanan yang dapat digunakan oleh otak, retina,
epitel germinal gonad dalam jumlah yang cukup untuk menyuplai jaringan
tersebut secara optimal sesuai dengan energi yang dibutuhkannya. Oleh karena
itu, konsentrasi glukosa darah harus dipertahankan pada kadar normal.
Konsentrasi glukosa darah juga perlu dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi
karena empat alasan berikut : (1) glukosa dapat menimbulkan sejumlah besar
tekanan osmotik dalam cairan ekstrasel, dan bila konsentrasi glukosa meningkat
sangat berlebihan, akan dapat mengakibatkan timbulnya dehidrasi sel; (2)
tingginya konsentrasi glukosa darah menyebabkan keluarnya glukosa dalam air
seni; (3) Hilangnya glukosa melalui urin juga menimbulkan diuresis osmotik oleh
ginjal, yang dapat mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit; (4) peningkatan
jangka panjang glukosa darah dapat menyebabkan kerusakan pada banyak
jaringan, terutama pembuluh darah. Kerusakan vaskular, akibat diabetes melitus
yang tidak terkontrol, akan berakibat pada peningkatan risiko terkena serangan
jantung, stroke, penyakit ginjal stadium akhir dan kebutaan (Guyton, 2008).
2.3
Kebutuhan Zat Gizi Pada Penderita Diabetes Melitus
Perencanaan makan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup
dan disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh. Pengetahuan porsi
makanan sedemikian rupa sehingga supan zat gizi tersebar sepanjang hari.
Penurunan berat badan ringan atau sedang (5 – 10 kg), sudah terbukti dapat
meningkatkan kontrol diabetes, walaupun berat badan idaman tidak dicapai
(Hiswani, 2007).
Penurunan berat badan dapat diusahakan dicapai dengan baik dengan
penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi.
Universitas Sumatera Utara
Dianjurkan pembatasan kalori sedang yaitu 250-500 Kkal lebih rendah dari
asupan rata-rata sehari (Hiswani).
Kebutuhan zat gizi dapat diuraikan dibawah ini (Hiswani, 2007) :
1. Protein
Hanya sedikit data ilmiah untuk membuat rekomendasi yang kuat tentang
asupan protein orang dengan diabetes. ADA pada saat ini menganjurkan
mengkonsumsi 10% sampai 20% energi dari protein total. Menurut konsensus
pengelolaan diabetes di Indonesia kebutuhan protein untuk orang dengan diabetes
adalah 10 – 15% energi. Perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg perhari
atau 10% dari kebutuhan energi dengan timbulnya nefropati pada orang dewasa
dan 65% hendaknya bernilai biologi tinggi.
2. Total Lemak.
Asupan lemak dianjurkan < 10% energi dari lemak jenuh dan tidak lebih
10% energi dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan selebihnya yaitu 60 – 70%
total energi dari lemak tidak jenuh tunggak dan karbohidrat. Distribusi energi dari
lemak dan karbohidrat dapat berbeda-beda setiap individu berdasarkan pengkajia
gizi dan tujuan pengobatan. Anjuran persentase energi dari lemak tergantung dari
hasil pemeriksaan glukosa, lipid, dan berat badan yang diinginkan.
Untuk individu yang mempunyai kadar lipid normal dan dapat
mempertahankan berat badan yang memadai (dan untuk pertumbuhan dan
perkembangan normal pada anak dan remaja) dapat dianjurkan tidak lebih dari
30% asupan energi dari lemak total dan < 10% energi dari lemak jenuh. Dalam
hal ini anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20 – 25% energi.
Apabila peningkatan LDL merupakan masalah utama, dapat diikuti
anjuran diet dislipidemia tahap II yaitu < 7% energi total dari lemaj jenuh, tidak
lebih dari 30% energi dari lemak total dan kandungan kolesterol 200 mg/hari.
Apabila peningkatan trigliserida dan VLDL merupakan masalah utama,
pendekatan yang mungkin menguntungkan selain menurunkan berat badan dan
peningkatan aktivitas adalah peningkatan sedang asupan lemak tidak jenuh
tunggal 20% energi dengan < 10% masing energi masing-masing dari lemak
Universitas Sumatera Utara
jenuh dan tidak jenuh ganda sedangkan asupan karbohidrat lebih rendah.
Perencanaan makan tinggi lemak tidak jenuh tunggal dapat dilakukan antara lain
dengan penggunaan nuts, alpukat dan minyak zaitun. Namun demikian pada
individu yang kegemukan peningkatan asupan lemak dapat memperburuk
kegemukannya. Pasien dengan kadar trigliserida > 1000 mg/dl mungkin perlu
penurunan semua tipe lemak makanan untuk menurunkan kadar lemak plasma
dalam bentuk kilomikron.
3. Lemak Jenuh dan Kolesterol.
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolestrol adalah
untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu < 10% asupan
energi sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan makanan kolesterol
makanan hendaknya dibatasi tidak lebih dari 300 mg perhari. Namun demikian
rekomendasi ini harus disesuaikan dengan latar belakang budaya dan etnik.
4. Karbohidrat dan Pemanis
Rekomendasi tahun 1994 lebih menfokuskan pada jumlah total karbohidrat
dari pada jenisnya. Rekomendasi untuk sukrosa lebih liberal, menilai kembali
fruktosa dan lebih konservatif untuk serat. Buah dan susu sudah terbukti
mempunyai respon glikemik menyerupai roti, nasi dan kentang. Walaupun
berbagai tepung-tepungan mempunyai respon glikemik yang berbeda, prioritas
hendaknya lebih pada jumlah total karbohidrat yang dikonsumsi dari pada sumber
karbohidrat. Anjuran konsumsi karbohidrat untuk orang dengan diabetes di
Indonesia adalah 60 – 70% energi.
5. Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa sebagai bagian dari
perencanaan makan tidak memperburuk kontrol glukosa darah pada individu
dengan diabetes tipe 1 dan 2. Sukrosa dan makanan yang mengandung sukrosa
harus diperhitungkan sebagai pengganti karbohidrat makanan lain dan tidak hanya
dengan menambahkannya pada perencanaan makan. Dalam melakukan substitusi
Universitas Sumatera Utara
ini kandungan zat gizi dari makanan-makanan manis yang pekat dan kandungan
zat gizi makanan yang mengandung sukrosa harus dipertimbangkan, demikian
juga adanya zat gizi-zat gizi lain pada makanan tersebut seperti lemak yang sering
dimakan bersama sukrosa. Mengkonsumsi makanan yang bervariasi memberikan
lebih banyak zat gizi dari pada makanan dengan sukrosa sebagai satu-satunya zat
gizi.
6. Pemanis
a. Fruktosa menaikkan glukosa plasma lebih kecil dari pada sukrosa
dan kebanyakannya karbohidrat jenis tepung-tepungan. Dalam hal
ini fruktosa dapat memberikan keuntungan sebagai bahan pemanis
pada diet diabetes. Namun demikian, karena pengaruh penggunaan
dalam jumlah besar (20% energi) yang potensial merugikan pada
kolesterol dan LDL, fruktosa tidak seluruhnya menguntungkan
sebagai bahan pemanis untuk orang dengan diabetes. Penderita
dislipidemia hendaknya menghindari mengkonsumsi fruktosa dalam
jumlah besar, namun tidak ada alasan untuk menghindari makanan
seperti buah dan sayuran yang mengnadung fruktosa alami ataupun
konsumsi sejumlah sedang makanan yang mengandung pemanis
fruktosa.
b. Sorbitol, mannitol dan xylitol adalah gula alkohol biasa (polyols)
yang menghasilkan respon glikemik lebih rendah dari pada sukrosa
dan karbohidrat lain. Penggunaan pemanis tersebut secra berlebihan
dapat mempunyai pengaruh laxatif.
c. Sakarin, aspartam, acesulfame adalah pemanis tak bergizi yang dapat
diterima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
7. Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetes sama dengan
untuk orang yang tidak diabetes. Dianjurkan mengkonsumsi 20 – 35 g serat
Universitas Sumatera Utara
makanan dari berbagai sumber bahan makanan. Di Indonesia anjurannya adalah
kira-kira 25 g/hari dengan mengutamakan serat larut.
8. Natrium
Anjuran asupan untuk orang dengan diabetes sama dengan penduduk biasa
yaitu tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi yang menderita hipertensi ringan
sampai sedang, dianjurkan 2400 mg natrium perhari.
Universitas Sumatera Utara
Download