BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Waris Kata waris berasal

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu mi>ra>s|. Bentuk jamaknya adalah
mawa>ri>s} yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang meninggal dunia
yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Dari segi istilah, mawa>ri>s| adalah ilmu
tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Ilmu
mawa>ri>s| merupakan padanan dari Ilmu Fara>id, dengan kata lain ilmu mawaris
disebut juga Ilmu Fara>id.1
Kata fara>id merupakan bentuk jamak dari fari>d}ah, yang diartikan para
ulama fara>d}iyun semakna dengan kata mafru>d}ah yaitu bagian yang telah
ditemukan kadarnya.2 Dari segi istilah, fara>id adalah ilmu tentang bagaimana
membagi harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal dunia. Dalam
kaitannya dengan bagian adalah sebagaimana membagi dan berapa bagian
masing-masing ahli waris, menurut ketentuan syara’.3
Selanjutnya lafadz fard}u, sebagai suku kata dari lafadz fari>d}ah, menurut
bahasa mempunyai beberapa arti, antara lain4: taqdi>r yaitu suatu ketentuan, qat}’u
yakni ketetapan yang pasti, inza>l yakni menurunkan, tabyi>n yakni penjelasan,
1
Departemen Agama RI, Fiqih (Jakarta: Departemen Agama, 2002), hlm. 5.
2
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 11.
3
Departemen Agama, op. cit., hlm. 5.
4
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1975), hlm. 31.
11
12
ih}la>l yakni menghalalkan dan at}a>’ yakni pemberian. Keenam arti tersebut dapat
digunakan keseluruhannya, disebabkan dalam ilmu faraidh itu mengandung
saham-saham yang telah ditentukan dengan pasti besar dan kecilnya yang
fungsinya sebagai suatu pemberian yang bebas dari tegenprestasi dan telah
dijelaskan oleh Allah tentang halalnya sesuai dengan peraturan-peraturan yang
telah diturunkan.
Sedang ilmu faraid oleh sebagian Fara>d}iyun, seperti menurut Muhammad
Asy-Syarbi>ni> al-Khati>b dijelaskan dengan:
ِ ِ ‫ك ومع ِرفَ ِة قَ ْد ِر الْوا ِج‬
ِ ِ
ِ
ِ ‫اب الْمو‬
ِ
ِ ِِ ِ
‫الّتَك ِة لِ ُك ِل‬
ْ َ َ َ ‫ص ِل اىل َم ْع ِرفَة ذَل‬
ْ ِ ‫ب م َن‬
َْ ِ ‫س‬
َ
َ ‫الْف ْقهُ ال ُْمتَ َعل ُق ِب ْْل ْرث َوَم ْع ِرفَةُ ا ْْل‬
5
.‫ِذ ْي َح ٍّق‬
“Ilmu fikih berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang
cara perhitungan yang menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk
setiap pemilik hak pusaka.”
Sedang menurut Muhammad Ali> as}-S}abu>ni> menjelaskan ilmu faraid
adalah:
6
.‫انتقال الشيئ من شخص او من قوم اىل قوم‬
“berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari sesuatu
kaum kepada kaum lainnya”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian ilmu faraid ialah suatu hukum yang mengatur mengenai perpindahan
harta dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.
5
Muhammad Asy-Syarbi>ni al-Kha>ti>b, Mugnil Muh}ta>j (Beirut: Darul Fikri, t.th), Juz II,
hlm. 3.
6
Muhammad ‘Ali> As}-S}abu>ni>, Al-Mawari>s| fi> Syari>atil Isla>miyyah ‘Ala> Kita>b wa Sunnah
(Kairo, Darul Hadits, t.th), hlm. 3.
13
14
B. Sumber Hukum Waris
Sumber hukum ilmu fara>id (waris) adalah:
1. Al-Qur’an, merupakan sumber hukum waris yang banyak menjelaskan
ketentuan-ketentuan fard} tiap-tiap ahli waris. Yaitu tercantum dalam surat
an-Nisa>’ ayat 7, 11, 12, 176 dan surat-surat lain
2. Al-Hadi>ts, antara lain hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a:
ِ
ِ
‫ض ِِبَ ْهلِ َها فَ َما بَِقى‬
َ ‫ا ْْل ُقوا الْ َف َرائ‬: ‫عن ابن عباس رضى هللا عنه عن النىب صلى هللا عليه وسلم قال‬
7
)‫فَِِلَ ْو َىل َر ُج ٍّل ذَ َك ٍّر (متفق عليه‬
“Dari Abbas r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Berikanlah harta
warisan kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk
laki-laki yang lebih utama.” (HR. Bukhari-Muslim)
3. Ijma’ dan Ijtihad sahabat, imam mazhab dan para mujtahid dapat
digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah waris yang belum
dijelaskan oleh nas} yang s}ari>h}. Misalnya: status saudara-saudara bersama
dengan kakek. Dalam al-Qur’an, masalah ini tidak dijelaskan, kecuali
dalam masalah kalalah. Akan tetapi, menurut kebanyakan sahabat dan
imam mazhab yang mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-saudara
tersebut mendapat bagian waris secara muqa>samah bersama dengan kakek.
C. Rukun Waris dan Syarat Mewaris
Ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian
warisan. Sebagian mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri, yaitu :
Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj al Qusairi an-Naisaburi, S}ah}i>h} Muslim, Juz II, no.
1615, hlm. 56.
7
15
1. Al-Muwarris|, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah al-muwarris| benar-benar telah
meninggal dunia. Apakah meninggal secara h}aqi>qi>, secara yuridis (h}ukmi>) atau
secara taqdi>ri berdasarkan perkiraan.
a) Mati h}aqi>qi> artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan
dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia.8
b) Mati h}ukmi> adalah orang yang hilang atau gaib tanpa diketahui hidup atau
mati, dan hakim menghukuminya sebagai orang yang telah mati sesudah
berlakunya waktu yang ditentukan untuk itu. Para fukaha Imamiyah
mengatakan bahwa orang yang gaib dan tidak diketahui keadaannya
dihukumi sebagai telah mati bila terdapat bukti-bukti yang menunjukan hal
itu.9
c) Mati taqdi>ri>, yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
Misalnya karena dia ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara
lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar
beritanya, dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal, maka
dapat dinyatakan bahwa ia telah meninggal.10
Menurut Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam bahwa yang dimaksud
dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
8
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 22.
9
Muhammad Abu> Zahrah, Hukum Waris (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 70.
10
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 23
16
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.11
2. Al-Wa>ris| atau ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan, atau
akibat memerdekakan hamba sahaya.12
Sedangkan yang dimaksud dengan ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 171 huruf (c) yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.13
3. Al-Mauru>s| atau al-Mi>ra>s| yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi
biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.14
Dalam Kompilasi Hukum Islam dibedakan istilah harta peninggalan dan harta
waris. Pada Pasal 171 huruf (d) bahwa yang dimaksud dengan harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya, sedangkan pada huruf (e)
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta waris adalah harta bawaan
ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
11
Ibid.
12
Ahmad Rofiq, loc. cit.
13
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 53.
14
Ahmad Rofiq, loc. cit.
17
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.15
D. Sebab-sebab Mewaris
Sebab-sebab terjadinya kewarisan sebagaimana dijelaskan al-Qur’an. Oleh
mufassiri>n dinyatakan bahwa faktornya ada tiga, yakni hubungan nikah, nasab,
dan wala>.16
1. Nikah
Nikah yang menyebabkan terjadinya kewarisan itu adalah hubungan
perkawinan antara suami dan isteri yang dilakukan melalui akad yang sah
menurut syari’at. Dengan demikian jika meninggal salah satu dari keduanya,
maka yang terkemudian hidupnya akan menjadi ahli waris terhadap harta
peninggalannya. Dalam Q.S. an-Nisa>’ ayat 12 disebutkan:
ُ
ُ
ُ
َ١٢َ...‫۞وَلك ۡمَن ِۡصفَماَتركَأ ۡزو َٰ ُجك َۡم‬
“Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu...”17
Secara etimologi, kata azwa>jukum berasal dari kata zawjun yang
mempunyai makna berpasangan suami istri dalam segala hal. Ini berarti,
perkawinan baru dapat dinyatakan sah jika akad nikahnya telah dilakukan sesuai
dengan rukun dan syarat perkawinan serta bebas dari halangan perkawinan,
15
Ibid.
16
Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah (Beirut: Darul Fikri, t.th), Jilid ke-3, hlm. 293.
17
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 63.
18
sekalipun antara keduanya belum sempat dukhu>l, dan atas dasar ini pula istri tetap
menjadi waris terhadap suami yang menceraikannya sepanjang masih berada
dalam masa iddah.18
2. Hubungan Nasab
Hubungan nasab atau hubungan darah ialah hubungan kekerabatan antara
orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh
kelahiran baik dekat maupun jauh.19 Ahli waris yang berhak menerima harta
warisan karena hubungan nasab ini dapat dikelompokkan menjadi furu>’ul mayyit,
us}u>lul mayyit, dan hawa>syi>.
3. Al-Wala>’
Al-Wala>’ yaitu kekerabatan berdasarkan hukum dan dinamakan wala>’ul
‘itqi dan wala>’un ni’mah. Sebabnya ialah nikmat yang dberikan tuan yang
membebaskan budaknya. Apabila seorang tuan membebaskan budaknya ia pun
menghasilkan hubungan dan ikatan yang dinamakan wala>’ul itqi.20
Apabila orang yang memerdekakan itu tidak mempunyai waris, baik
dengan
sebab
kekerabatan
atau
sebab
perkawinan,
maka
tuan
yang
memerdekakannya berhak menerima harta peninggalannya dengan warisan.21
18
Wahidah, Al Mafqud (Kajian Tentang Kewarisan Orang Hilang), (Banjarmasin:
Antasari Press, 2008), hlm. 30.
19
Ibid., hlm. 32.
20
Muchamad ‘Ali> As}-S}a>bu>ni>, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1999), hlm. 31.
21
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 29.
19
E. Penghalang Mewaris
Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani’ al-irs| adalah halhal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari
harta peninggalan al-muwarris|. Adapun hal-hal yang dapat menghalangi tersebut,
yang disepakati oleh agama ada tiga, yaitu: 1. Pembunuhan, 2. Perbudakan, 3.
Berlainan Agama.22
1. Pembunuhan
Pembunuhan
yang
dilakukan
ahli
waris
terhadap
al-muwarris|
menyebabkan tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya.
Demikian kesepakan mayoritas (jumhur) ulama. Golongan Khawarij yang
memisahkan diri dari Ali Ibnu Abi T}al> ib dan Mua|wiyah menentang pendapat ini.
Alasan mereka, ayat-ayat al-Qur’an tidak mengecualikan si pembunuh. Ayat-ayat
mawa>ris| hanya memberi petunjuk umum. Oleh karena itu, keumuman ayat-ayat
tersebut harus diamalkan.23
Dasar hukum yang melarang si pembunuh mewarisi harta peninggalan si
mati adalah sabda Rasulullah saw. di antaranya:
24
.)‫ث‬
َ َ‫ ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم اَنَّهُ ق‬،‫عن أيب هريرة‬
ُ ‫(الْ َقاتِ ُل ْلَيَ ِر‬: ‫ال‬
“Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. bersabda: “Seorang pembunuh
tidak mewarisi”
22
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 30.
23
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hlm. 54.
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Ma>jah (Beirut: Darul Fikri, 2004), hlm.
24
113.
20
Persoalannya, mengingat banyak jenis dan macam pembunuhan yang
mana menghalangi si pembunuh untuk mewarisi korban. Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini.
Ulama mazhab Hanafiah menjelaskan bahwa pembunuhan yang menjadi
penghalang mewarisi adalah:
1) Pembunuhan yang dapat diqisas, yaitu pembunuhan yang dilakukan secara
sengaja,
direncanakan
dan
menggunakan
peralatan
yang
dapat
menghilangkan nyawa orang lain, seperti pedang, golok, atau benda tajam
lainnya.
2) Pembunuhan yang hukumannya berupa kafarat, yaitu:
Pembunuhan mirip sengaja (syibh al-‘amd), seseorang sengaja memukul
atau menganiaya orang lain tanpa disertai niat membunuhnya, tetapi tibatiba orang yang dipukul meninggal dunia. Pembunuhnya dikenakan
kafarat.
Menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad Al-Syaibani, pembunuhan
mirip sengaja dikategorikan sengaja, dengan menitikberatkan pada
kematian korban. Jadi, bukan teknis memukul atau menganiaya yang
dilihat. Pemahaman ini membawa implikasi terhadap jenis hukumannya,
karena tidak lagi kafarat tetapi berubah menjadi qisas.
3) Pembunuhan khilaf (qatl al-khata>’). Ini dapat dibedakan pada dua.
Pertama, khilaf maksud. Misalnya seseorang menembakkan peluru kepada
sasaran yang dikira binatang dan mengenai sasaran, lalu mati. Ternyata
yang terkena sasaran adalah manusia. Kedua, khilaf tindakan, seperti
21
seseorang menebang pohon, tiba-tiba mengenai keluarga yang melihatnya
dari bawah hingga tewas.
Abd Al-Qadir Audah dalam buku al-Tasyri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi> memberi
contoh, seseorang melepaskan tembakan pada suatu sasaran dengan
maksud latihan, tetapi mengenai keluarganya. Kekeliruan ini terletak pada
tindakannya yang tidak mengenai sasaran yang dimaksud justru mengenai
sasaran lain yang berakibat keluarganya meninggal dunia.
4) Pembunuhan dianggap khila>f (al-ja>r majra> al-khata>’). Contohnya,
seseorang membawa beban, tanpa disengaja beban tersebut menimpa
saudaranya hingga tewas. Dalam hal ini pembawa beban tadi dikenakan
hukuman kafarat.
Lebih lanjut Ulama Hanafiah mengatakan bahwa pembunuhan yang tidak
menghalangi hak seseorang untuk mewarisi ada empat, yaitu:
1) Pembunuhan tidak langsung (tasabbub),
2) Pembunuhan karena hak, seperti algojo yang diserahi tugas membunuh
si terhukum,
3) Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum,
4) Pembunuhan karena uzur, seperti membela diri.25
Ulama mazhab Malikiyah menyatakan bahwa pembunuhan yang menjadi
penghalang mewarisi adalah:
1) Pembunuhan sengaja,
2) Pembunuhan mirip sengaja,
25
Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 89.
22
3) Pembunuhan tidak langsung yang disengaja.26
Sementara pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewarisi adalah:
1) Pembunuhan karena khilaf,
2) Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum,
3) Pembunuhan yang dilakukan karena hak, seperti algojo melaksanakan
hukuman qis}as}, dan
4) Pembunuhan karena uzur.27
Ulama mazhab Syafi’iyah menyatakan secara mutlak bahwa semua jenis
pembunuhan merupakan penghalang mewarisi. Di sini mereka tidak membedakan
jenis pembunuhan, apakah yang dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung, beralasan atau tidak beralasan. Jadi, seorang algojo misalnya, yang
melakukan tembakan terhadap terhukum yang masih ada hubungan keluarga,
maka ia tidak berhak mewarisi harta peninggalan si terhukum, kendatipun tidak
ada ahli waris lainnya.
Dasar hukum yang digunakan adalah keumuman sabda Rasulullah saw.
riwayat An-Nasa’i seperti dikutip terdahulu. Selain itu, diperkuat lagi bahwa
tindakan makar pembunuhan dengan segala macam tipenya itu memutuskan tali
perwalian, di mana justru perwalian itu sendiri menjadi dasar saling mewarisi.
Dengan demikian, tindakan itulah yang mewujudkan adanya penghalang
(mawani’) untuk dapat mewarisi.28
26
Ibid., hlm. 26.
27
Ibid.
28
Ibid., hlm. 91.
23
Ulama Hanabilah mengemukakan pendapat yang lebih realistis, yaitu
pembunuhan yang diancam hukuman qis}as}, kafarat dan diyatlah yang dapat
menjadi penghalang mewarisi bagi ahli waris. Rinciannya adalah:
1) Pembunuhan sengaja,
2) Pembunuhan mirip sengaja,
3) Pembunuhan yang dianggap khilaf,
4) Pembunuhan khilaf,
5) Pembunuhan tidak langsung, dan
6) Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan
hukum.29
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama
berpendapat bahwa semua jenis pembunuhan adalah menjadi penghalang
mewarisi, kecuali pembunuhan yang hak yang dibenarkan oleh syariat Islam,
seperti algojo yang melaksanakan hukuman qis}as}, atau hukuman bunuh lainnya.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 juga disebutkan bahwa: “seseorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.30
29
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, op. cit., hlm. 27.
30
Kompilasi Hukum Islam, op.cit., hlm. 54.
24
Persoalan lain yang muncul sehubungan dengan masalah ini perlu kiranya
dipertimbangkan. Banyak cara ditempuh si pembunuh untuk merealisasikan niat
jahatnya. Seseorang bisa saja melakukan pembunuhan dengan meminjam tangan
orang lain, atau menggunakan racun misalnya. Dalam kasus seperti ini, tentu tidak
mudah menentukan siapa pelaku pembunuhan itu. Oleh karena itu, peran hakim
dalam menemukan kebenaran materil menjadi tumpuan terakhir untuk
menentukan jenis pembunuhan. Apakah berakibat menjadi penghalang mewarisi
atau tidak.31
2. Perbudakan atau Hamba Sahaya
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk
mewarisi sekalipun dari saudaranya. Karena bila ia mewarisi sesuatu maka barang
itu diambil oleh tuannya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara
langsung menjadi milik tuannya. Itulah sebabnya semua jenis budak merupakan
penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak
mempunyai hak milik32. Terhalangya budak dalam waris-mewarisi dapat ditinjau
dari dua jurusan, yakni:33 mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya dan
mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya.
3. Berlainan Agama
31
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 24-28.
32
Ibid., hlm. 34.
33
Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 84.
25
Fukaha sepakat bahwasanya berlainan agama antara orang yang mewarisi
dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang. Dengan
demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim
tidak dapat mewarisi harta orang kafir.34
Yang dimaksud dengan perbedaan agama yang menghalangi pusaka ialah
adanya perbedaan agama antara ahli waris dengan muwwaris|, sehingga ahli waris
gugur haknya dalam memperoleh harta warisan. Dalam hal ini sama saja apakah
muwaris yang bukan Islam atau ahli waris yang bukan Islam. Oleh sebab itu tidak
ada hak pusaka mempusakai antara suami yang muslim dengan istrinya yang
bukan muslim. Demikian juga tidak ada hak pusaka mempusakai antara ayah yang
muslim dengan anaknya yang bukan muslim, walaupun mereka memenuhi syarat
dan memiliki sebab waris mewarisi yakni ikatan perkawinan dan ikatan
kekeluargaan.35 Rasulullah saw. bersabda :
.36‫ث ال ُْم ْسلِ ُم الْ َكافِ َر َوالْ َكافِ ُر ال ُْم ْسلِ َم‬
ُ ‫َْليَ ِر‬
“Orang Islam tidak mewarisi orang kafir demikian juga orang kafir tidak
mewarisi orang Islam” (Riwayat Jamaah).
Adapun orang murtad ialah orang yang meninggalkan Agama Islam
dengan kemauan sendiri. Para ulama sependapat menetapkan bahwa orang yang
murtad, laki-laki atau perempuan, tidak berhak menerima warisan dari
34
Wahidah, op. cit., hlm. 35.
35
Hasniah Hasan, Hukum Kewarisan dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994),
hlm23.
36
Imam Abu Husain, op. cit., hlm. 56.
26
keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga keluarganya yang Islam tidak
berhak menerima warisan dari muwawris| yang murtad.37
Orang murtad tidak dapat mewarisi harta peninggalan keluarganya yang
beragama Islam, karena ia lebih rendah derajatnya dari pada keluarganya yang
muslim. Dari segi yang lain pusaka-mempusakai itu merupakan suatu silah
syar’iyyah (penyambung ruh keagamaan). Sedang riddah (kemurtadan) itu
merupakan pemutus silah syar’iyyah.38
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 172 bahwa ahli waris dipandang
beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan
atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.39
F. Ketentuan Kewarisan Cucu
Cucu-cucu laki-laki pancar laki-laki adalah termasuk far’u waris|, yaitu
anak turun si mati yang mempunyai hak mewarisi. Hak pusaka far’u waris| itu ada
kalanya dengan jalan fard}, seperti anak perempuan dan cucu perempuan pancar
laki-laki, betapapun rendah menurunnya dan adakalanya dengan jalan us}ubah,
seperti anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki, betapapun rendah
menurunnya.
37
Hasniah Hasan, op. cit, hlm. 24
38
Fatchur Rahman, loc.cit.,
39
Kompilasi Hukum Islam, op.cit., hlm. 119.
27
Hukum pusaka cucu-cucu pancar laki-laki didasarkan pemakaian istilah
walad secara mutlak, yang dapat diterapkan untuk anak turun betapa jauh derajat
menurunnya. Di samping itu, terdapat juga perkataan salah seorang sahabat ulama
ilmu fara>id yang terkenal, yaitu Zaid bin Sabit r.a., yang dapat digunakan sebagai
sumber untuk menetapkan pusaka cucu laki-laki atau perempuan pancar laki-laki,
yang mengatakan:
،‫ ذكرهم كذكرهم وانثاهم كانثاهم يرثون كما يرثون‬،‫ولد اْلبناء مبنزلة اْلبناء اذامل يكن دوهنم ابناء‬
‫ فان ترك ابنة وابن بن ذكر فللبنت النصف وْلبن‬،‫ وْليرث ولدبن مع ابن ذكر‬،‫حيجبون كما حيجبون‬
.‫اْلبن مابقى‬
“Cucu-cucu pancar laki-laki menduduki derajat anak-anak laki-laki bila si
mati tidak meninggalkan anak-anak. Kelaki-lakian mereka (cucu-cucu)
seperti kelaki-lakian anak-anak dan keperempuanan mereka (cucu-cucu)
seperti keperempuanan anak-anak, yakni mereka dapat mewarisi
sebagaimana halnya anak-anak mewarisi dan dapat menghijab sebagaimana
halnya anak-anak menghijab da,n cucu-cucu pancar laki-laki. Oleh karena
itu bila seseorang meninggalkan seorang anak perempuan dan cucu laki-laki
pancar laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat separoh dan untuk
cucu laki-laki mendapat sisanya.” 40
1. Pusaka cucu laki-laki pancar laki-laki
Hak pusaka cucu laki-laki pancar laki-laki itu ialah us}ubah dengan
ketentuan sebagai berikut:41
a. Jika si mati tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang lain, ia
menerima seluruh harta peninggalan secara us}ubah. Kalau ada ahli waris
as}a>bul-furud} ia menerima sisa dari as}a>bul-furud}.
40
Fachtur Rahamn, Ilmu Waris, (Bandung: Alumni, 1981), hlm 196.
41
Ibid.
28
b. Jika cucu itu mewarisi bersama-sama dengan saudari-saudarinya, ia
membagi seluruh harta peninggalan atau sisa harta dari as}abul-furud}
dengan saudari-saudarinya menurut perbandingan dua banding satu (2 :
1). Untuk orang laki-laki menerima bagian dua kali lipat bagian orang
perempuan.
2. Cucu perempuan pancar laki-laki
Cucu perempuan pancar laki-laki ialah anak perempuan dari anak laki-laki
orang yang meninggal (bintu-ibni) dan anak perempuannya cucu laki-laki
pancar laki-laki (bintu-ibnil-ibni) betapa pun jauh menurunnya.
Hak pusaka cucu perempuan pancar laki-laki itu ada 6 macam:
a. Separoh, bila ia hanya seorang diri.
b. Dua pertiga, bila ia dua orang atau lebih.
Penerimaan separoh dan dua pertiga ini bila tidak bersama-sama dengan
ahli waris yang menjadikan mereka as}a>bah bersama (muas}shib bil-gair).
c. Us}ubah, bila ia mewarisi bersama-sama dengan orang laki-laki yang
sederajat yang menjadikan mereka as}a>bah bersama. Dalam keadaan ini
ada tiga kemungkinan.
1) Jika tidak ada as}abul-furud} seorangpun, maka menerima seluruh harta
peninggalan secara us}ubah, dengan ketentuan bahwa mereka yang
laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat bagian perempuan.
2) Jika ada as}abul-furud}, mereka hanya menerima sisa harta dari as}abulfurud} juga dengan cara pembagian seperti tersebu di atas.
29
3) Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh as}abul-furud } mereka
tidak menerima bagian sedikitpun.42
Sementara itu, menurut A. Sukris Sarmadi dengan adanya Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam maka cucu lelaki atau perempuan pancar perempuan
beroleh hak waris sebagaimana hak para cucu lelaki atau perempuan pancar lelaki.
Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dapat ditafsirkan sebagai berikut :
a. Cucu laki-laki atau perempuan pancar laki-laki atau anak turun-anak laki-laki
pewaris mengambil saham as}a>bah sebagaimana orang tua mereka. Baik ketika
ia sendirian tunggal laki-laki ataupun tunggal perempuan. Apabila ia
berkumpul lelaki dan perempuan, mereka mengambil bagian as}a>bah orang tua
mereka kemudian diantara mereka berbagi 2:1, lelaki memperoleh bagian yang
sama dengan dua perempuan berdasar pada Q.S. an-Nisa>’ ayat 11, 12 dan 76.
b. Cucu laki-laki atau perempuan pancar perempuan atau anak turun anak
perempuan pewaris mengambil saham anak perempuan ½ fard}. Baik ketika ia
sendirian tunggal laki-laki ataupun tunggal perempuan, berbilang tunggal lakilaki atau perempuan berbagi sama rata 1:1, dan jika berkumpul lelaki dan
perempuan berbagi 2:1, lelaki memperoleh bagian yang sama dengan bagian
dua orang perempuan (Pasal 185) Q.S. an-Nisa>’ ayat 11, 12, 76. Para cucu lakilaki dan perempuan, pancar laki-laki atau perempuan tidak boleh memperoleh
saham melebihi dari perolehan orang-orang yang sederajat dengan orang yang
mereka ganti (Pasal 185). Jika mereka menggantikan anak lelaki padahal ada
anak perempuan pewaris, maka bagian mereka tidaklah boleh melebihi bagian
42
Ibid., hlm. 174.
30
dari anak perempuan tersebut. Alasannya karena derajat anak perempuan
adalah seperti derajat orang yang diganti (anak lelaki) sedang orang yang
mengganti naik derajatnya karena matinya orang tua mereka.43
G. Ahli Waris Pengganti dan Dasar Hukum
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terdapat pasal baru jika
dibandingkan dengan pemahaman mapan selama ini, yaitu ketentuan mengenai
ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan
posisi orang tuanya yang terlebih dahulu meninggal daripada pewaris.44 Menurut
M. Yahya Harahap, sebagaimana dikutip Badrian, ketentuan Pasal 185 KHI yang
melembagakan ahli waris pengganti (plaatsvervuling) merupakan terobosan
terhadap pelenyapan (pe-mahjub-an) hak cucu atas warisan ayah apabila ayah
lebih meninggal lebih dahulu dari kakek. Pelembagaannya melalui pendekatan
kompromistis dengan hukum Adat dan nilai-nilai hukum Eropa. Motivasi
pelembagaan waris pengganti didasarkan atas rasa keadilan dan prikemanusiaan,
agar anak yatim tidak melarat dan miskin. Yang dimaksud oleh M. Yahya
Harahap dengan nilai-nilai hukum Eropa kemungkinan besar adalah Pasal 841
B.W. Pemikiran Hazairin mengenai ahli waris pengganti bisa jadi diilhami oleh
Pasal 841 B.W. tersebut.45
43
A. Sukris Sarmadi, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti dalam
Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2012) hlm. 3.
44
Badrian, Kewarisan Ahli Waris Pengganti Ahli Waris yang Mah}ru>m (Onwaardig)
Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Makalah yang tidak
dipublikasikan, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Banjarmasin Tahun 2015.
45
Ibid.
31
Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam disebutkan “Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya.46
Mengenai ahli waris pengganti ini ada beberapa pendapat, di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Menurut Hazairin :
Waris pengganti atau mawa>li> adalah “ahli waris karena tidak ada lagi
penghubung antara mereka dan si pewaris”.47 Tidak ada penghubung dimaksud
adalah yang masih hidup, misalnya: antara cucu si pewaris dengan pewaris
manakala anak si pewaris yang menjadi penghubung dalam keturunan itu telah
meninggal lebih dahulu.
2. Menurut Sayuti Thalib :
Waris pengganti dengan kata mawa>li>, yaitu ahli waris yang menggantikan
seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh
orang yang digantikannya itu. Sebab orang yang digantikannya itu adalah orang
yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus
bersangkutan dia telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Orang yang
digantikan itu hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan
ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. Mereka yang menjadi
mawa>li> ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan
46
Kompilasi Hukum Islam, op. cit, hlm. 57.
47
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith (Jakarta : Tinta Mas,
1982), hlm. 32.
32
orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja
dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.48
3. Menurut Raihan A. Rasyid
Waris pengganti adalah sistem kewarisan di mana orang yang sejak
semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris dan
menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak
meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak
laki-laki.49
4. Menurut J. Satrio :
Waris pengganti atau ahli waris karena pergantian tempat adalah ahli waris
yang merupakan keturunan (keluarga sedarah) dari pewaris yang muncul sebagai
pengganti tempat orang lain, sedianya akan mewaris.50
Sebagaimana telah disebutkan bahwa dasar hukum waris pengganti adalah
Kompilasi Hukum Islam Pasal 185 yang berbunyi:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173;
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.51
48
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hlm. 80-81.
49
Raihan A, Rasyid, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah”, Mimbar Hukum No.
23, Tahun VI, November 1995.
50
J. Satrio, Hukum Waris (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 56.
51
Kompilasi Hukum Islam, op.cit., hlm. 54
33
Pengecualian tersebut dalam Pasal 173 adalah karena adanya halangan
khusus berbunyi, “seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.52
Hukum kewarisan Kompilasi Hukum Islam memiliki beberapa asas di
antaranya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan Buku II berikut :
a. Asas bilateral/parental, yang tidak membedakan laki-laki dan
perempuan dari segi keahliwarisan, sehingga tidak mengenal kerabat
z|awi< al-arh}a>m. Asas ini didasarkan atas :
(1) Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam tidak membedakan antara kakek,
nenek dan paman baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu.53
(2) Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam mengatur ahli waris pengganti,
sehingga cucu dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara
laki-laki dan anak perempuan/anak laki-laki dari saudara perempuan,
bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari bibi
adalah ahli waris pengganti.
(3) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
b.
Asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti.
(1) Ahli waris langsung (eigen hoofde) adalah ahli waris yang disebut
pada Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam.
(2) Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang diatur
dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, yaitu ahli waris
pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam Pasal 174
Kompilasi Hukum Islam. Di antaranya keturunan dari pihak lakilaki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan
nenek, yaitu bibi dan keturunannya (paman walaupun keturunan
kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti karena paman sebagai
52
Ibid.
53
Ibid.
34
ahli waris langsung yang disebut dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum
Islam).54
Penerapan ketentuan pergantian ahli waris ini bersifat kasuitis,
menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda walaupun kasusnya sama-sama
menyangkut persoalan waris pengganti. Kompilasi Hukum Islam memberlakukan
penggantian ahli waris dengan kasus per kasus demi kemaslahatan ahli waris
secara kesluruhan. Hal ini disebabkan oleh bunyi Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam pada kata “dapat” yang berarti boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak
dilaksanakan.
Penggantian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam, berbeda dengan
penggantian ahli waris dalam hukum Islam. Perbedaannya antara lain bahwa
pengganti ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam dapat menerima bagian harta
warisan bersama-sama dengan orang tua dan anak-anak pewaris, sedangkan
pengganti ahli waris menurut hukum Islam tidak mungkin karena mereka baru
dapat mewaris apabila tidak ada lagi ahli waris nasabiyah dari golongan z>awi> al-
furu>d} dan as}a>bah.
Adapun persamaan antara penggantian ahli waris dalam KHI dan
penggantian ahli waris menurut hukum Islam adalah:
a.
Ahli waris yang diganti telah meninggal dunia lebih dahulu dari
pewaris dan dialah yang menjadi penghubung antara pengganti ahli
waris dengan pewaris.
54
Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Jenderal Badan Peradilam Agama “
Pedoman pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II”, Edisi Revisi 2010, 2010 hlm.
164.
35
b. Pengganti ahli waris menempati tempat yang digantikan dan
memperoleh bagian yang semestinya diterima oleh yang diganti
seandainya ia masih hidup, jika penggantian terjadi khusus bagi zawi>
al-arh}a>m, kecuali dalam Kompilasi Hukum Islam, bagian pengganti ahli
waris dibatasi tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti.55
Dengan demikian terdapat perbedaan yang mendasar mengenai istilah
penggantian waris antara hukum waris Islam dengan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia.
Adapun lembaga yang agak menyerupai penggantian ahli waris dalam hal
menggantikan hak mewaris orang yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris
adalah wasiat wajibah yang diperkenalkan oleh Undang-undang Wasiat Mesir
Nomor 71 Tahun 1946. Tetapi tampaknya wasiat wajibah yang diberlakukan di
negara-negara muslim selain Mesir, hanya diperuntukan kepada cucu atau cucucucu yang ayah atau ibunya meninggal dunia lebih dahulu ataupun bersamaan
waktunya daripada pewaris (dalam hal ini kakek/nenek penerima wasiat wajibah).
Persamaan wasiat wajibah yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Wasiat Mesir dengan ahli waris pengganti menurut Kompilasi Hukum Islam
adalah:
a. Adanya kematian orang yang digantikan itu mendahului meninggalnya
pewaris (orang yang diwarisi).
b. Bagian pengganti tidak lebih besar dari bagian orang yang digantikan.
55
Asni Zubair dan Lebba, “Penggantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum Islam”,
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, hlm. 355.
36
c. Dalam wasiat wajibah, yang dapat menggantikan kedudukan khusus
hanya cucu-cucu baik laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya
telah meninggal lebih dahulu dari pewaris.56
Sedangkan perbedaan wasiat wajibah dengan ahli waris pengganti dalam
Kompilasi Hukum Islam adalah: dalam wasiat wajibah, yang diganti
kedudukannya adalah berupa hak memperoleh bagian orang tua dengan batasan
tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam, ahli waris pengganti menempati kedudukan orang tuanya yang telah
meninggal dengan memperoleh hak dari harta warisan kemudian bagian yang
diperoleh pengganti tidak boleh melebihi bagian orang/ahli waris yang sederajat
dengan yang digantikannya.
Apabila Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menempuh jalan dengan
pengganti ahli waris bagi cucu atau cucu-cucu dari pewaris yang ayahnya/ibunya
meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka di negara-negara muslim lainnya
kebanyakan menempuh jalan dengan wasiat wajibah.
Pakistan dan Indonesia sama-sama menempuh jalan penggantian ahli
waris, tetapi apabila di Pakistan berlaku penggantian ahli waris tanpa melihat
kasus dari kasus, maka di Indonesia sebaliknya, seperti yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam yaitu memberlakukan penggantian ahli waris dengan
kasus per kasus demi kemaslahatan ahli waris secara keseluruhan.57
Dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata dikenal ada 3 (tiga) macam
penggantian (representasi atau bij-plaatsvervulling), yaitu:
56
Ibid., hlm. 356.
57
Ibid., hlm. 357.
37
a. Penggantian dalam garis lencang ke bawah
Penggantian dalam garis lencang ke bawah. Ini dapat terjadi dengan tiada
batasnya. Tiap anak yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan oleh semua
anak-anaknya, begitu pula jika dari pengganti-pengganti itu ada salah satu yang
meninggal dunia lebih dahulu lagi, ia juga digantikan oleh anak-anaknya dan
begitu seterusnya, dengan ketentuan, bahwa segenap turunan dari satu orang yang
meninggal dunia lebih dahulu harus dianggap sebagai suatu staak (cabang) dan
bersama-sama memperoleh bagian orang yang mereka gantikan. Dengan demikian
jika semua anak-anak telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga hanya ada
cucu saja, maka mereka ini mewaris atas dasar penggantian, artinya tidak
langsung (uit-eigen-hoofde) apabila semua anak si meninggal ternyata
(“onwaardig”, “onterfd) atau menolak warisan.
Dalam hal ini tidak mungkin terjadi penggantian sebab anak si meninggal
masih hidup dan hanya orang telah mati saja dapat digantikan. Tetapi dalam
keadaan tersebut tidak terdapat ahli waris dalam tingkat kesatu, maka cucu-cucu
tersebut tampil ke muka sebagai golongan ahli waris yang terdekat dan karenanya
mereka itu lalu mewarisi atas dasar kedudukannya sendiri-sendiri (uit-eigenhoofde).
b. Penggantian dalam garis ke samping
Penggantian dalam garis ke samping (zijlinie), di mana tiap-tiap saudara si
meninggal dunia, baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal dunia lebih
dahulu, digantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dilakukan dengan
tiada batasnya (Pasal 853, jo Pasal 856 jo 857).
38
c. Penggantian dalam garis ke samping menyimpang
Penggantian dalam garis ke samping menyimpang dalam hal datuk dan
nenek baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, maka harta peninggalan
diwarisi oleh golongan keempat, yaitu paman sebelah ayah dan sebelah ibu.
Pewarisan ini juga dapat digantikan oleh keturunannya sampai derajat keenam
(Pasal 861 KUH Perdata atau B.W.).58
Akan tetapi, kalau dikaji lebih jauh masalah ahli waris pengganti bukan
hanya diberlakukan di Indonesia. Di beberapa negara muslim lainnya telah
terlebih dahulu memberlakukan hal serupa. Namun berbeda dengan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia yang menerapkannya melalui lembaga plaatsvervuling
atau penggantian ahli waris, negara-negara muslim lainnya menerapkannya
melalui lembaga wasiat wajibah. Hukum waris Mesir tahun 1946 menyatakan
bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak,
maka si cucu itu menggantikan ayahnya dalam mewarisi kakek atau neneknya
dengan cara wasiat wajibah, memperoleh tidak lebih dari sepertiga harta. Adapun
yang menetapkan wasiat wajibah itu ialah pengadilan karena si mati memang
tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini adalah untuk membantu
cucu yatim. Langkah Mesir itu ternyata diikuti dan diberlakukan oleh Syiria,
Tunisia, Maroko, dan Pakistan dengan beberapa modifikasi. Di Mesir aturan
wasiat wajibah itu berlaku bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun
perempuan. Di Syiria dan Maroko wasiat wajibah itu aturan wasiat wajibah sama
58
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undng-undang Hukum Perdata (B.W), (Jakarta: Sinar Grafika: 2000),
hlm. 129-130.
39
dengan di Mesir, tetapi hanya untuk cucu generasi pertama. Di Pakistan
diberlakukan aturan yang lebih radikal, yaitu bahwa cucu dalam keadaan
demikian mendapat bagian yang sama dengan bagian yang semestinya diterima
ayahnya bila ia masih hidup.59
H. Golongan Ahli Waris Pengganti
Siapakah yang dimaksud golongan ahli waris pengganti? Golongan ahli
waris yang mendapat bagian sebagai ahli waris pengganti sebagaimana yang
tertulis dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama adalah sebagai berikut:
(1) keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikannya.
(2) keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu)
mewarisi bagian yang ditinggalkannya.
(3) kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masingmasing berbagi sama.
(4) kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi dari bagian ibu, masing-masing
berbagi sama.
(5) paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari
ayah apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ayah.60
Selain itu, berlaku juga asas tetroaktif terbatas bagi ahli waris pengganti
yaitu asas yang mengatur bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak berlaku surut
59
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, hlm. 164.
60
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II”, op.cit, hlm.
167.
40
dalam arti apabila harta warisan telah dibagi secara riil (bukan hanya pembagian
di atas kertas) sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam, maka keluarga yang
mempunyai hubungan darah karena waris pengganti tidak dapat mengajukan
gugatan waris.61 Jika harta warisan tersebut belum dibagi secara riil, maka
terhadap kasus waris yang pewarisnya meninggal dunia sebelum Kompilasi
Hukum Islam lahir, dapat diberlakukan ketentuan waris pengganti yang dengan
sendirinya Kompilasi Hukum Islam dapat berlaku surut.
Sebenarnya di dalam al-Qur’an golongan ahi waris yang berhak mendapat
warisan telah terpenuhi dengan turunnya surah an-Nisa’ ayat 12 yang berbunyi:
ُ ۡ ۡ ُ
ُ
‫ل َفإنََكن َل ُه َّن َو د‬
‫َّ ۡ ُ َّ ُ َّ د‬
ۡ ُ ُ ۡ
ُّ ‫ك ُم‬
َ‫َٱلر ُب ُع‬
‫ل َفل‬
ِ ٞۚ ‫۞ولكم َن ِصف َماَترك َأزوَٰجكم َإِنَلم َيكنَلهن َو‬
ۡ
ُ َّ ُ ۡ َّ
‫ك ۡمَو د‬
ُ َّ ِ ‫م َِّماَتر ۡكنَ ِم ۢنَب ۡعدَِو‬
ُّ ‫وصنيَبهآَأ ۡوَديۡنَول ُه َّن‬
َٞۚ‫ل‬
َ ‫َٱلر ُب ُعَم َِّماَترك ُت ۡمَإِنَلمَيك‬
‫نَل‬
ٖۚ ٖ
ٞۚ
ِ ِ ‫صيةَٖي‬
ۡ
ٓ
ُ
ۡ ۡ
ُ ُ َّ ِ ‫َم ۢن َب ۡع ِد َو‬
‫ك ۡم َو د‬
ِ ‫ل َفل ُه َّن َٱثلُّ ُم ُن َم َِّماَترك ُت ٖۚم‬
َ‫ن َِإَونََكن‬
‫فإِنََكن َل‬
ٖۗ ٖ ‫صي ٖة َتوصون َبِهَا َأو َدي‬
ُ
ُ ُ ‫ُ د‬
ۡ ْ ُ
ۡ ‫ث َكلَٰل ًة َأو‬
ُ ُ ُّ
‫َٱمرأة دَو َُل ٓۥ َأ ٌخ َأ ۡو َأ ۡخ د‬
ُ ۡ ِ َٰ ‫ت َفل ُِك َو‬
َ‫كث‬
َ ‫س َفإِنََكن ٓوا َأ‬
‫رجل َيور‬
ِ
ٞۚ ‫ح ٖد َمِنهماَٱلسد‬
ِ
ٓ ُ ۡ ُ
ٓ ُ ۡ
ٓ َٰ ُ َّ
ُ ُّ
ٗ
َّ
ۡ
َِِۗ‫ص َّيةَمِنَٱّلل‬
‫وَصَبِهاَأ ۡوَديۡ ٍنَغَۡي‬
‫صيةَٖي‬
ِ ‫َو‬ٖٞۚ‫َمضار‬
ِ ‫ثَ ِم ۢنَبعدَِو‬
ٖۚ ِ ‫َِفَٱثلل‬
ِ ‫مِنَذَٰل ِكَفهمَُشَك ُء‬
ُ َّ ‫و‬
‫ِيمَحل د‬
ٌ ‫ٱّللَعل‬
َ١٢َ‫ِيم‬
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
61
Ibid., hlm. 166.
41
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai ) syari’at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun”.62
Dari ayat di atas Allah telah menjelaskan bagian masing-masing ahli waris
sesuai dengan posisi dan kondisi ahli waris. Jika istri meninggal dunia, maka
suami mendapat ½ bagian dari harta peninggalan jika tidak mempunyai keturunan
dan ¼ bagian dari harta peninggalan jika mempunyai keturunan. Jika suami
meninggal dunia, maka istri mendapat ¼ bagian dari harta peninggalan jika tidak
ada mempunyai keturunan dan 1/8 bagian dari harta peninggalan jika mempunyai
keturunan. Jika seseorang laki-laki maupun perempuan diwarisi secara kala>lah
dan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan maka
bagi saudara itu masing-masing seperenam dari harta peninggalan. Jika seseorang
laki-laki atau perempuan diwarisi secara kala>lah dan baginya ada beberapa orang
saudara, semuanya laki-laki atau semuanya perempuan atau semuanya campuran
antara laki-laki dan perempuan, maka semua saudara itu berbagi sama rata atas
sepertiga bagian dari harta peninggalannya.63
62
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 117.
63
Hazairin, Hukum Kewarisan bilateral Berdasarkan Qur’an dan Hadith, op.cit. hlm. 7-8.
Download