Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 KONFLIK PALESTINA–ISRAEL DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Elvira Dewi Ginting, SH., M.Hum *) *) Dosen IAIN Medan Abstract The Palestinians with Israel Issues are mostly related to human rights issues (rights). Where the role of international law in it. That is, when there are violations of human rights, then the applicable international law. In many cases this conflict are violations of human rights one of them. When, blockade by Israel against the Palestinian people of Gaza is actually violating Human Rights (HAM), the human rights violations visible from the blockade by Israel resulted in many Palestinian citizens of Gaza malnourished and many diseases, meaning that the blockade was not done in a peaceful way. Supposed good intentions of the Palestinians who want to become members of the United Nations should not be hindered much less rejected because clearly said to violate international human rights, every person and nation deserve equality (equality) without having to look at the differences of religion, race and ethnic background. Under international law, we can analyze the Israeli-Palestinian armed conflict that Israel committed serious violations of the basic principles of international humanitarian law governing the procedure of the war. More detail again, wounding Israel on the protection of the Geneva Convention IV on civilians in war, as well as degrading the five basic principles of the law of war. Keywords :Palestine- Israel conflic, international law I. Pendahuluan Masalah antara Palestina dengan Israel ini sebagian besarnya adalah terkait masalah hak asasi manusia (HAM). Dimana hukum internasional juga membawahinya. Artinya, ketika ada pelanggaran HAM, maka hukum internasional tersebut berlaku. Dan ini yang dalam konteks piagam PBB pernah disinggung,”PBB akan memajukan penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua bangsa membedakan suku, bangsa, kelamin, bahasa atau agama.”(pasal 55 c paigam PBB) 50 resolusi yang dibuat PBB untuk menghentikan konflik yang terjadi di palestina dan israel tidak pernah digubris oleh israel. Maka disini, kita akan bertanya Apa PBB tidak bisa menyelesaikan konflik antara palestina dengan israel?“. PBB itu sebenarnya bukan tidak bisa, dalam arti sebenarnya PBB itu bisa menyelesaikan konflik tersebut, lihat saja konflik di Afrika mampu diselesaikan oleh PBB. Akan tetapi, ada pihak ketiga yang senantiasa menggagalkan penyelesaian konflik tersebut. Masalah antara palestina dengan Israel ini yang menurut Todung Mulya Loebis adalah sebuah kejahatan perang (war crime) dan kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity). Kenapa kejahatan perang dan kenapa kejahatan atas kemanusiaan? Dalam hukum internasional, hukum perang (laws of war) diatur sedemikian rinci. Semua hukum yang berlaku mensyaratkan agar dalam perang semua tindakan (ius in bello) tunduk kepada hukum perang, dimana penduduk sipil dan tempat-tempat publik tidak boleh diserang. Tetapi pada kenyataannya, Israel yang seharusnya sudah paham dengan hukum ini tidak sekalipun mau tunduk. Kita melihat di 1 Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 televisi-televisi; rumah-rumah, sekolahsekolah, dan rumah sakit-rumah sakit yang ada di palestina hancur berantakan. Padahal seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan karena melanggar hukum internasional itu tadi. Lalu, syarat yang kedua adalah alasan untuk perang (lus ad belium), jadi suatu perang itu dilakukan bukan karena semata-mata ingin perang atau hanya sekedar menguasai daerah tertentu. Disinilah ius in bello dan ius ad beilum berhubungan satu sama yang lainnya, sehingga membatasi perang ini sebagai self defense dan atau respon terhadap tindakan permusuhan (conduct of hostilities). Jikalau ditelusuri dengan cermat dari kedua syarat tadi atau bahwasanya perang itu boleh asalkan sebagai self defense atau conduct of hostilities, maka Israel tidaklah memasuki kriteria dan kesemuanya. Jadi sesungguhnya konflik ini direncanakan oleh Israel, karena tidak mungkin israel berdalih dengan self defense dengan persenjataan super canggih melawan persenjataan apa adanya. Kalau secara psikologis, tidak mungkin persenjataan yang apa adanya berani menantang persenjataan yang super canggih. Dan Israel tentu juga tidak mungkin berdalih karena respon terhadap tindakan permusuhan yang dilakukan oleh palestina. Kalau memang itu adalah respon terhadap tindakan permusuhan, maka sudah barang tentu segala tempat-tempat publik yang ada di israel lebih parah ketimbang dari milik palestina. Tetapi, realita di dunia berbicara lain. Konflik Palestina-Israel adalah konflik yang diawali dari perebutan wilayah namun meluas hingga menimbulkan sentimen-sentimen yang berwarna “rasisme” antara Arab dan Yahudi. Sebab-sebab konflik mulai meluas, dan “sekadar” perebutan wilayah kekuasaan antara Palestina dan Israel hingga akhirnya menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena masalahnya bukan lagi sekadar perebutan wilayah tetapi pertahanan atas apa yang telah direbut dengan berbagai cara sehingga pihak Israel terus melakukan aksi perluasan okupasi dengan alasan melindungi diri dari serangan Palestina sementara pihak Palestina sulit menghentikan aksi-aksi bom bunuh diri yang destniktif yang dilakukan oleh warga negaranya. Resolusi konflik berupaya mencari penyelesaian masalah yang jauh dari 2 penggunaan kekerasan. Walaupun pada akhirnya tetap membutuhkan aksi militer untuk menurunkan eskalasi konflik pada awal tahapan resolusi konflik. Setelah tercapainya keadaan ketiadaan kekerasan barulah dapat dimulai proses panjang menuju rekonsiliasi antar pihak yang bertikai. Upaya tersebut memiliki tujuan jangka panjang yang bukan sekadar menciptakan keadaan tanpa perang tetapi menciptakan perdamaian yang positif yaitu perdamaian dimana tercipta suatu sistem nilai bersama, norma-norma universal dari kesadaran dan kemauan untuk memahami pihak lawan dan memaafkannya sehingga menghilangkan trauma, ketakutan dan kebencian, yang membuat proses rekonsiliasi akan sulit berlangsung. Lahirnya PBB sebagai penerus tugas dari LBB, tidak banyak membantu penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah Palestina. PBB sebagai Organisasi yang diharapkan dan dilegitimasikan sebagai hukum Internasional tidak pernah memberikan sanksi terhadap Israel yang sudah terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan. Selain itu kontribusi yang diberikan PBB dalam penyelesaian konflik Palestina Israel terkesan memihak pada israel sehingga kerangka penyelesaian yang diajukan sulit sesuai dengan pihak yang lain yaitu Palestina. PBB sebagai organisasi Penjaga Perdamaian dunia telah gagal melaksanakan perannya dalam konflik Internasional dalam kasus ini Konflik Palestina-Israel. Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad kedua belas. Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai “pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan” bagi penyelesaian konflik IsraelPalestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konflik Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel kewilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa melebihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta obatobatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan. Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada korban Patestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam. Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina, beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya sebagai “pasukan jihad”. Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spirituatitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. lstilah “jihad” sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan di jalan Allah, sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan ditengah masyarakat Islam tentang adanya “fakta lain” di balik situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina. Fakta lain adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada lsrael. Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik lsrael-Palestina kerap “dimentahkan” Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal dianggap sebagai “kampung halaman Islam” dan berteman dekat dengan Amerika) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini. Konflik lsrael-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri sebagai dikatakan Obserscall mengutip Coser-diartikan sebagai “…a struggle over values or claims to status, power, and resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to again the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals. Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik social meliputi spectrum yang lebar dengan melibatkan berbagai konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and ractal conflicts), konflik antar pemeluk agama (religion conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya. Dalam kasus Israel-Palestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik lsrael-Palestina murni sebagai konflik politik sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. 3 Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 Nuansa teologis dalam konflik IsraelPalestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi keyakinan terhadap “Tanah yang Dijanjikan memanjang dari Sungai Nil ke Eufrat. Itu termasuk bagian Suriah dan Lebanon” sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik. Maka, jika dilihat secara definisi memang bisa dikatakan bahwa kasus Palestina-Israel dapat adalah konflik. Karena terdapat salah satu pihak berusaha menyingkirkan & menghancurkan pihak lain. Tetapi bila dilihat dari faktor penyebab dan jenis konflik, tidak ada satu hal pun yang bisa dikatakan bahwa kasus Palestina-Israel ini adalah sebagai suatu konflik. Jadi sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa kasus kekerasan yang terjadi antara Palestina dan Israel adalah bukan merupakan “konflik”. Lalu istilah apa yang cocok digunakan ? “Imperialisme”, adalah istilah yang cocok digunakan dalam kasus ini. Untuk itu perlu ditelaah lebih lanjut pengertian dari istilah tersebut. Asal mula kata/istilah imperialisme Imperialisme berasal dari kata Latin “imperare” yang artinya “memerintah”. Hak untuk memerintah (imperare) disebut “imperium”. Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut “imperator”. Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka raja suatu negara ingin selalu memperluas kerajaannya dengan merebut negara-negara lain. Tindakan raja inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal sekarang ini. Arti kata imperialisme Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya. 4 “Menguasai” disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium disini tidak perlu berarti suatu gabungan dan jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. Apakah beda antara imperialisme dan kolonialisme? Imperialisme ialah politik yang dijalankan mengenai seluruh imperium. Kolonialisme ialah politik yang dijalankan mengenai suatu koloni, sesuatu bagian dan imperium jika imperium itu merupakan gabungan jajahanjajahan. II. Akar Masalah Palestina-lsrael Sebelum Israel bercokol di Timur Tengah khususnya di tanah Palestina yang mereka diami sekarang. Palestina merupakan bagian dari wilayah kekhilafahan ustmaniyah. Secara aqidah, dalam padangan Islam Tanah Palestina (Syam) adalah tanah milik kaum Muslim. Di tanah ini berdiri al-Quds. yang merupakan lambang kebesaran umat ini, dan ia menempati posisi yang sangat mulia di mata kaum Muslim. Ada beberapa keutamaan dan sejarah penting yang dimiliki al-Quds. Pertama: Tanah wahyu dan kenabian. Rasulullah saw. bersabda, “Para malaikat membentangkan sayapnva di atas Syam dan para nabi telah membangun Baitul Maqdis (AlQuds)” Ibnu Abbas menambahkan bahwa Rasulullah saw, juga bersabda, “Para nabi tinggal di Syam dan tidak ada sejengkal pun kota Baitul Maqdis kecuali seorang nabi atau malaikat pernah berdoa atau berdiri di sana.” (HR at-Tirmidzi) Kedua: Tanah kiblat pertama. Arah kiblat pertama bagi Nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim setelah hijrah ke Madinah adalah Baitul Maqdis (al-Quds) sampai Allah SWT menurunkan wahyu untuk mengubah kiblat ke arah Ka’bah. (Surah al-Baqarab: 144) Ketiga: Masjid al-Aqsha adalah tempat suci ketiga bagi umat Islam dan satu dari tiga masjid yang direkomendasikan Nabi saw, untuk dikunjungi. Beliau bersabda, “Tidaklah diadakan perjalanan dengan sengaja kecuali ke tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi di Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 Madinah), Masjidil Haram (di Makkah), dan MasjidAI-Aqsha.” (HR al-Bukhari dan Muslim) Rasulullah saw. juga bersabda, “Sekali shalat di Masjidil Haram sama dengan 100.000 shalat. Sekali shalat di Masjidku (di Madinah) sama dengan 1000 shalat. Sekali shalat di Masjid al-A qhsa sama dengan 500 shalat” (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar) Keempat: Tanah ibu kota Khilafah Yunus bin Maisarah bin Halbas bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Perkara ini (Khilafah) akan ada sesudahku di Madinah, lalu di Syam, lalu di Jazirah, lalu di Irak, lalu di Madinah, lalu di Al-Quds (Baitul Maqdis). Jika di khalifah ada di al-Quds, pusat negerinya akan ada di sana dan siapa pun yang memaksa ibukotanya keluar dari sana (al-Khilafah tak akan kembali ke sana selamanya”. (HR Ibn Asakir) Keinginan bangsa Yahudi untuk punya tanah air sendiri sudah lama terpendam, salah seorang tokoh Yahudi bernama Theodore Herzl (1860-1904) menulis cita-citanya dalam buku yang berjudul Der Judenstadt (Negara Yahudi). Pada Juni tahun 1896 M, datanglah pemimpin Yahudi Internasional Theodore Herz ditemani Neolanski kepada Khalifah Abdul Hamid di Konstantinopel. Kedatangan mereka adalah meminta Khalifah memberikan tanah Palestina kepada Yahudi. Tidak tanggung-tanggung, mereka pun memberi iming-iming: “Jika kami berhasil menguasai Palestina, maka kami akan memberi uang kepada Turki (Khilafah Utsmaniah) dalam jumlah yang sangat besar. Kami pun akan memberi hadiah melimpah bagi orang yang menjadi perantara kami. Sebagai balasan juga, kami akan senantiasa bersiap sedia untak membereskan masalah keuangan Turki”. Namun, Khalifah Abdul Hamid menentang keras. Beliau menyatakan, “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina,), Karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.. Yahudi silahkahkan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu huri, maka mereka, boleh mengambil tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara Aku hidup, Aku lebih rela menusukan ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadt.aku tidak akan memulai pemisahan tubuh, kami selama kami masih hidup!” Kesungguhan sang Khalifah itu ditunjukkan pula dalam Maklumat yang dikeluarkannya pada tahun 1890 M: “Wajib bagi semua menteri (wazir,) untuk melakukan studi beragam serta wajib mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah Yahudi tersebut” akibat dari ketegasan Khalifah Abdul Hamid tersebut menjadikan Herzl tak berdaya menghadapinya. Diapun menyampaikan. “Sesungguhnya saya kehilangan harapan untuk bias merealisasikan keinginan orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak akan pernah bisa masuk kedalam tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di atas kursinya.” Kemudian pada Tahun 1902, delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Hamid. Delegasi Herzl menyodorkan sejumlah tawaran seperti: 1) memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan, 2) membayar semua utang pemerintah Turkis Utsmani yang mencapai 33 juta Pounsterling 3) Membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Frank 4) memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta Poundsterling dan, 5) membangun sebuah universitas Utsmani di Palestina. Namun, semua tawaran itu, ditolak oleh Sultan Hamid II. Beberapa catatan menyebutkan setidaknya ada 6 kali delegasi yahudi mendatangi istana khalifah untuk meloloskan roposal ini. Diantaranya dialog yang “menyarankan” agar orang-orang yahudi “membeli” Palestina terjadi antara Sir Moses Haim Montefiore dengan Shah Nasr ad Dhin. Kemudian Khalifah Abdul Hamid 11 menolaknya dan mengatakan kepada delegasi tersebut: “Nasehatilah temanmu Hertzl agar tidak mengambil langkah-langkah baru dalam masalah ini. Sebab, saya tidak akan bisa 5 Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 mundur dari tanah suci (Palestina) ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah milik bangsa dan rakyatku. Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan tanah ini mereka lelah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan Palestina tanpa imbalan dan balasan apapun. Namun patut dilihat, bahwa hendaknya pencabikcabikan itu dimulai dan tubuh dan raga kami. Namun, tentu aku tidak menerima ragaku dicabik-cabik selama hayat masih di kandung badan.” Setelah tidak berhasil dengan upaya tersebut, maka kaum Zionist berpindah cara yakni dengan cara menggunakan kekuatan negara Inggris. Bagaimana caranya? Yakni dengan Menjerat negara Inggrjs dengan Utang beserta ribanya. Hal ini terjadi pasca perang dunia pertama. Dalam kasus konflik ini banyak terdapat pelanggaran HAM salah satunya. Ketika, blockade yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza palestina sebenarnya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran HAM tersebut terlihat dari blockade yang dilakukan oleh Israel mengakibatkan banyak warga gaza Palestina mengalami gizi buruk dan banyak penyakit, artinya blokade tidak dilakukan dengan cara damai. Blokade adalah upaya sengketa internasional berupa pengepungan suatu wilayah kota atau pelabuhan untuk memutuskan komunikasi dengan dunia luar, walau blokade merupakan tindakan yang dikaui oleh hokum internasional akan tetapi tidak dibenarkan jika terjadi krisis gizi buruk dan krisis. Dari beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Israel maka pemerintah Turki melalui Perdana Menterinya Erdogan menyatakan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel (persona non grata) yaitu tindakan hukum yang dikeluarkan oleh negara penerima dalam hal ini Turki tidak mengakui perwakilan dari negara pengirim dalam hal ini Israel dengan alas an tidak disukai atas tindakan-tindakannya ataupun tindakan negaranya (Israel) terhadap apa yang dilakukan pada warga Negara Turki. Hal inilah penyebab berakhirnya hubungan diplomatik antara kedua negara 6 tersebut. Persona non grata merupakan tindakan hukum yang sah dan diakui dalam hukum internasional yang tercantum dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, tindakan Turki tersebut dinilai sangat tepat karena sebagai negara yang berdaulat dan memiliki pemerintahan, idealnya sebagai kepala pemerintahan. Erdogan memiliki tanggung jawab moral dan politik terhadap warga negaranya atas tindakan Israel. III. Palestina dalam Perspektif Hukum Internasional Sejak banyaknya negara-negara dan berbagai macam organisasi internasional yang mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi sampai hari ini tidak sama sekali merubah wajah Palestina. Berbicana mengenai negara, maka langkah awal yang harus kita ketahui bersama adalah syarat tentang pembentukan suatu negara itu sendiri. Selanjutnya untuk dikatakan sebagai negara haruslah memenuhi unsur-unsur tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tersebut adalah adanya wilayah, penduduk dan pemerintahan yang sah tersehut sesuai dengan isi ketentuan yang ada di dalam Pasal I Konvensi Montevideo 1933 :“The state as a person of international law should possess the following quallfications: (a) permanent population, (b,) a defined territory, (c) government and (d) capacity to enter into relations with the other states.” Bahkan disebutkan dalam konvensi ini ketentuan tambahan mengenai kemampuan untuk melakukan hubungan (diplomatik dan konsuler) dengan negara-negara lain. Berdasarkan ketentuan Konvensi Montevideo 1933 kita bisa mengambil sedikitnya beberapa kesimpulan hasil analisa sederhana yaitu: 1. Palestina jelas memiliki populasi penduduk, memiliki luas wilayah dan pemerintahan yang sedang berjalan menggerakkan roda pemerintahannya. 2. Palestina juga sudah mampu melakukan hubungan diplomatik dengan beberapa negara dan organisasi internasional di dunia. 3. Palestina jelas sudah memiliki pemerintahan dengan mekanisme yang sebenarnya yaitu melalui mekanisme Pemilihan Umum dimana Partai Hamas Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 yang menjadi pemenangnya, lalu bagaimanakah sebenarnya status Palestina sekarang ini menurut hukum internasional Pada dasarnya Indonesia sudah lama mengakui keberadaan negara Palestina. Bukti bahwa Indonesia telah mengakui Palestina sebagai negara ditandai dengan adanya perwakilan kedutaan besar di Jakarta, Indonesia. Permasalahan yang sedang diupayakan oleh negara-negara di dunia saat ini sebenarnya adalah keikutsertaan Palestina menjadi anggota baru di Perserikatan BangsaBangsa (PBB), namun anggota tetap dan Dewan Keamanan PBB seperti Amerika sudah pasti akan menggunakan hak vetoya untuk tidak memasukkan dan mengakui Palestina menjadi anggota PBB. Seharusnya niat baik dari Palestina yang ingin menjadi anggota PBB tidak boleh di halang-halangi apalagi ditolak oleh Amerika karena jelas dikatakan melanggar HAM Internasional, setiap orang maupun negara berhak mendapat kesetaraan (equality) tanpa harus melihat perbedaan agama, ras dan latar belakang etnisnya. Pada saat ini hukum internasional telah mengakui suatu hak, yaitu hak negara untuk menentukan nasibnya sendiri (right to selfdetermination) sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM) internasional, Hal tersebut secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights” (ICCPR) yaitu: “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status andfreely pursue their economic, social and cultural development Artinya “berdasarkan hak ini semua bangsa (peoples) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budayanya” Namun, dalam konteks hukum internasional kemerdekaan sebagai wujud dan hak untuk menentukan nasib sendiri “right to selfdetermination” (dalam bidang ekonomi, politik, dsb) dalam hat ini sangat jelas dimaksudkan untuk membebaskan Palestina dari segala macam bentuk penjajahan dan dominasi otoriter Israel. Hukum internasional tidaklah sama dengan hukum nasional, penegakan hukum internasional dinilai sangat lemah. Maka dari itu kebanyakan para pakar hukum internasional menganggap hukum internasonal bersifat primitif karena sangat bergantung kepada siapa yang melakukan penegakan hukum tersebut. Bila hukum tersebut ditegakkan oleh negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer seperti Amerika maka hasilnya akan efektif, sebaliknya jika hukum internasional ditegakkan oleh negara yang biasa-biasa saja maka akan sulit terciptanya keadilan di dunia internasional terlebih untuk masalah penegakan hukum Hak Asasi Manusia Interniasional. Kongres pertama gerakan Zionis yang didirikan oleh Theodore Herzl pada tahun 1896 merekomendasikan berdirinya sebuah negara khusus bagi kaum Yahudi yang tercerai berai diseluruh dunia. Kemudian pada kongres berikutnya pada tahun 1906, gerakan Zionis merekomendasikan secara tegas berdirinya sebuah negara bagi bangsa Yahudi di Palestina. Situasi politik di benua Eropa akibat pecahnya Perang Dunia I (1914-1918), memberikan peluang bagi gerakan Zionis untuk mewujudkan cita-cita tersebut. lnggris yang terlibat pada Perang Dunia I melawan Jerman, bekerjasama dengan gerakan Zionis pimpinan Theodore Herzl dan bangsa-bangsa Arab yang berada di bawah otoritas dinasti Ottoman khalifah Ustmaniyah. Di satu pihak lnggris mendorong bangkitnya nasionalisme bangsa Arab untuk melawan dinasti Ottoman yang memihak Jerman, sedangkan di pihak lain lnggris memberikan janji kepada gerakan Zionis pimpinan Theodore Herzl untuk mendirikan negara di Pakstina. Sehingga terjadi konspirasi internasional yang memberi peluang berdirinya negara bagi bangsa Yahudi di wilayah Palestina. Negara-negara barat dengan segala upaya menciptakan suatu kondisi untuk mendukung cita-cita gerakan Zionis, dan lemahnya Kekhalifahan Ustmaniyah pada saat Palestina berada di bawah kekuasaannya (1526-1917), berperan dalam keberhasilan gerakan Zionis tersebut. Pada Konferensi London (1905-1907) muncul gagasan untuk mendirikan “negara tirai” di wilayah Palestina dan pada saat itu Perdana Menteri Inggris Campbell Weizm, merekomendasikan untuk mendirikan entitas yang menjadi tirai humanis yang kuat dan asing di wilayah timur laut 7 Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 tengah dan sebaik-baik pelaksana proyek ini adalah Yahudi. Negara Israel berdiri pada tanggai 14 Mel 1948 didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947. Resolusi menetapkan Jerusalem sebagai daerah yang berada di bawah kekuasaan internasional. Pada tanggal 29 November tahun 1947 Israel melanggar resolusi ini dengan mengklaim Jerusalem sebagai jantung kota Israel. Sejak diklaimnya Palestina sebagai teritorial negara Israel, maka Israel mulai melakukan pembangunan pemukiman di wilayah Palestina dengan dua proses evekuasi dan substitusi. Proses evakuasi dari substitusi yaitu dengan mengosongkan wilayah dan mengganti penduduknya dengan bangsa Yahudi yang dilakukan dengan cara kekerasan dan pembunuhan terhadap penduduk sipil Palestina. Hal ini sesuai dengan kebijakan utama politik luar negeri Israel adalah ekspansi wilayah , yang dapat dilihat dan dikuasainya 80% wilayah Palestina pada tahun 1949, jauh melebihi bagian yang ditetapkan PBB pada tahun 1947 yaitu hanya sebesar 56%. Proses substitusi rakyat Palestina dengan penduduk israel mencapai proporsi yang sulit dipecahkan, selain itu pemerintahan Israel menghancurkan tempat ibadah Islam dan Kristen dan pada bulan Mei 1949 kemudian Israel membangun 1.947 pemukiman baru dan bulan Oktober 1947 imigran Yahudi berdatangan ke wilyah Palestina, jumlah mereka mencapai 25.255 imigran. Salah satu jenis konflik bersenjata internasional yang merupakan jenis konflik baru, sebagaimana tercantum dalam Pasal I ayat (4) Protokol Tambahan I tahun 1977, adalah konflik bersenjata yang dikenal dengan nama “pendudukan asing”. Sejak dimulainya konflik bersenjata antara Israel dan Palestina dari tahun 1947 hingga saat ini, banyak sekali pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan oleh Israel. Sebenarnya, pelanggaran yang dilakukan oleh Israel tidak saja bertentangan dengan Hukum Humaniter, akan tetapi sekaligus juga bertentangan dengan Hukum Internasional pada umumnya dan bertentangan pula dengan Hukum Hak asasi Manusia lnternasional. Pendudukan Israel di Palestina menjadi bagian penting dalam penegakan hak asasi manusia pencapaian perdamaian dunia. 8 Tantangan bagi komunitas internasional adalah menegakkan keadilan dengan menyeret penjahat kemanusiaan ke Pengadilan Pidana internasional dan menjamin pedamaian untuk Palestina serta kawasan timur tengah pada umumnya. Israel adalah negara yang mencari kekuasaannya dengan melakukan terorisasi terhadap musuh dan menghalangi segala potensi yang dapat menentang kekuatannya, sehingga Israel dapat dikategorikan sebagai barak militer yang mempraktekkan penghancuran lawan, pertumpahan darah, menghancurkan tempat tinggal penduduk sipil, deportasi secara paksa penduduk sipil dan menanamkan rasa takut terhadap anak-anak Palestina. IV. Kesimpulan Berdasarkan latar belakang tersebut membukt ikan bahwa korban jiwa yang ditimbulkan dari konflik bersenjata antara Palestina – Israel adalah tidak sedikit dan kebanyakan dari korban tersebut adalah penduduk sipil yang tidak ikut berperang seperti orang tua, wanita dan anak-anak. Meskipun sudah ada hukum aturan yang mengatur mengenai konflik bersenjata, namun tetap saja masih banyak negara yang melanggar khususnya pelanggaran terhadap penduduk sipil seperti diatur dalam Konvensi Jenewa IV 1949 tentang perlindungan penduduk sipil saat konflik bersenjata”. Negara-negara di dunia sepakat bahwa mereka tidak bisa menghindari perang sehingga lahir hukum humaniter internasional yang mengatur tata cara perang. Namun, di Palestina hukum itu kini tinggal kenangan. Dunia, punya banyak pengalaman tentang perang. Perang dalam rangka memperoleh kemerdekaan Indonesia misalnya, adalah bagian kecil dari sejarah yang mengajarkan masyarakat dunia bahwa perang, walaupun kejam, tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu instrumen politik internasional. Karenanya, untuk meminimalisasi dampak perang yang mengerikan, lahirlah hukum humaniter internasional alias hukum perikemanusiaan internasional atau disebut juga hukum perang. Konvensi Jenewa 1949, konvensi Den Haag 1899 dan 1907, inilah ‘kitab suci’ hukum humaniter internasional. Betapa tidak, Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681 konvensi Jenewa memuat aturan tentang perlindungan korban perang. Awalnya, dalam konvensi Jenewa I hanya diatur perlindungan terhadap tentara yang terlibat dalam perang di darat. Namun, kemudian dilakukan perluasan meliputi perlindungan bagi tentara perang dilaut melalui konvensi Jenewa II. Pada konvensi Jenewa III, melihat kenyataan adanya tindak tidak manusiawi terhadap tawanan perang, ditambahkan hukum yang melindungi mereka. Dalam konvensi Jenewa IV dengan kesadaran terancamnya keselamatan pihak sipil di tengah perang, disahkan pula aturan perlindungan bagi mereka., Tidak hanya mencakup konflik antar negara, tahun 1977 dua protokol tambahan disahkan. Protokol tambahan I mangatur perlindungan atas korban konflik bersenjata dalam rangka perjuangan menentukan nasib melawan kolonialisme, pendudukan asing, dan rezim pemerintahan yang rasialis. Sementara protokol tambahan II melindungi korban konflik internal dalam suatu negara. Ketika salah satu pihak mendominasi negara itu secara geografis. Sedangkan konvensi Den Haag membatasi metode dan alat-alat yang digunakan dalam perang. Berdasarkan hukum internasional tersebut, kita dapat menganalisa konflik bersenjata Israel-Palestina bahwa israel melakukan pelanggaran berat terhadap prinsip dasar hukum humaniter internasional yang mengatur tata cara perang. Lebih detail lagi, Israel mencederai konvensi Jenewa IV tentang perlindugan terhadap pihak sipil dalam perang, sekaligus merendahkan lima prinsip dasar dalam hukum perang. Husnaidi Adian, Israel Sang Teroris yang Pragmatis, Pustaka Progresif, Jakarta, 2002 Kuncahyono Trias, Kesucian, dan Pengadilan Akhir, Kompas, Jakarta, 2008 Nasution Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986 Obert Vail John, “lslam Continuity and Change in the Modern World”, Terjemahan: Ajat Sudrajat , Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan Dunia Modern, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997 Shaleh M. Muhammad, Palestina, Sejarah, Perkembangan dan Konspirasi, Gema insani Press, Jakarta, 2002 Internet http://tumbuhberbagidiridhoi.blogspot.com/2O 1 2/02/analisis-faktor-utama-konflikpalestina. Daftar Pustaka Al Fandi Safuan, Jihad: Makna dan dalam Sudut Pandang Islam, Sandang Ilmu, Solo, 2000 Awaluddin Hamid, Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012 Beriansyah, Kompilasi Dokumen-dokumen Pokok HAM, UI Press, Jakarta, 1999 Husaini Adian, Israel Sang Teroris yang Praqmatis, Pustaka Progressif, Jakarta, 2002 9