perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id11 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Stroke 1. Definisi Stroke Penyakit cerebrovascular accident (CVA) atau stroke merupakan kegawatdaruratan neurologi yang timbul mendadak dan dapat menyebabkan kematian. Stroke dapat muncul kapan saja, di manapun dan pada siapa saja, baik saat seseorang sedang melakukan aktivitas maupun ketika sedang beristirahat, kadang tanpa gejala penyerta atau kondisi sebelumnya benarbenar normal. Defisit neurologis fokal ditandai dengan gangguan fungsi neurologis bagian tubuh tertentu seperti wajah yang asimetris, gangguan bicara serta kelemahan pada ektremitas atas dan bawah (Bogousslavsky dan Caplan, 2001; Sharma et al., 2005; WHO, 2006). Stroke merupakan sindrom klinis yang ditandai serangan defisit neurologis sebagian atau keseluruhan karena penyebab vaskuler akibat dari gangguan aliran darah di otak, yang menyebabkan defisit sementara atau permanen dari fungsi satu atau beberapa area otak karena penyebab vaskuler (Rosamond, 2008; Arroyo et al., 2009; Brandon dan Safdieh, 2009). Stroke menurut WHO didefinisikan sebagai sindrom atau gejala klinis yang berkembang dengan cepat berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global, yang berlangsung lebih dari 24 jam atau lebih, yang dapat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id12 menyebabkan kematian tanpa sebab yang jelas selain berasal dari vaskuler (WHO, 2006; Arroyo et al., 2009; Alan et al., 2013; Baidya et al., 2015). 2. Epidemiologi World Health Organization menyebutkan kasus stroke di seluruh dunia adalah 15 juta kasus per tahun dengan persentase stroke iskemik 75 – 85% dan hemoragik 15 – 25% kasus. Lima juta atau sekitar sepertiga dari kasuskasus stroke mengalami kematian, sepertiga menderita kecacatan atau defisit neurologis dan sepertiga sembuh atau dengan hasil yang baik. Mayoritas kematian akibat stroke terjadi di negara-negara miskin dan berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Indonesia sendiri memiliki jumlah pasien stroke terbesar di Asia (WHO, 2006; Auriel, 2009; Bendok et al., 2011; Perdossi, 2011). Data Riskesdas menunjukkan peningkatan prevalensi stroke di Indonesia, yaitu 0,83% pada tahun 2007 menjadi 1,21% tahun 2013. Di Propinsi Jawa tengah, prevalensi stroke adalah 1,23%. Saat ini penyakit stroke, terutama stroke hemoragik menjadi penyebab kematian utama hampir semua rumah sakit di Indonesia. Angka kematian akibat stroke di Indonesia mencapai 15,4% dari seluruh kasus kematian. Jumlah kematian akibat stroke, diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya karena belum adanya strategi penanganan yang baku. Berdasarkan data rekam medis RSDM di Surakarta tahun 2014, stroke menempati peringkat ketujuh penyebab kematian commit to user (Riskesdas, 2013; Kemenkes RI, 2014; RSDM, 2014). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id13 Faktor-faktor risiko yang memberikan konstribusi terjadinya serangan stroke secara umum dibedakan menjadi 2 faktor, yaitu (Saenger dan Christenson, 2010; Perdossi, 2011) : a. Faktor risiko yang tidak bisa diubah (non-modifiable risk factor), antara lain usia, jenis kelamin, suku bangsa, riwayat keluarga dan faktor genetik. b. Faktor risiko yang dapat diubah (modifiable risk factor), meliputi hipertensi, gagal ginjal, merokok, penyakit jantung, diabetes mellitus (DM), obesitas, penggunaan kontrasepsi oral, konsumsi alkohol, dislipidemia, homosisteinemia, dan kelainan koagulasi . Hipertensi merupakan faktor risiko tertinggi terjadinya stroke, yaitu lebih dari 12,7 juta per tahun di seluruh dunia. 3. Stroke Akut Secara umum, stroke dibedakan menjadi 3 fase, yaitu (Wirawan, 2009; Yew dan Cheng, 2009; Perdossi, 2011) : a. Stroke akut, yaitu gejala defisit neurologis karena penyebab vaskuler yang terjadi pada 2 minggu pertama pasca serangan stroke b. Stroke subakut, yaitu gejala defisit neurologis karena penyebab vaskuler yang terjadi pada 2 minggu - 6 bulan pasca serangan stroke c. Stroke kronis, yaitu gejala defisit neurologis karena penyebab vaskuler yang terjadi pada lebih dari 6 bulan pasca serangan stroke commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id14 Terdapat juga diagnosis stroke berulang atau recurrent dengan batasan kriteria diagnosis, meliputi (Worp dan Gijn, 2007; Wirawan, 2009; Yew dan Cheng, 2009) : a. Defisit neurologis baru atau eksaserbasi defisit terdahulu dan bukan disebabkan keadaan toksik atau penyakit lain. b. Defisit neurologis baru pada sisi berbeda atau pada sisi sama dalam waktu lebih dari 21 hari. c. Tidak termasuk batasan ini apabila tanpa gejala atau tanda klinis neurologi baru, walaupun pemeriksaan CT-scan atau MRI menemukan lesi baru. Berdasarkan sifat lesi otak dan penyebab, stroke akut dapat dikelompokkan menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stadium stroke iskemik berdasarkan onset penyakitnya, dapat dibedakan menjadi (Worp dan Gijn, 2007; Amarenco et al., 2009; Arroyo et al., 2009) : a. Transient ischemic attack (TIA), yaitu disfungsi neurologis fokal maupun retinal singkat, bersifat reversibel dan permanen yang berlangsung selama kurang dari 24 jam sebagai akibat dari defisit asupan darah pada sistem vaskuler otak. b. Reversible ischemic neurological deficit (RIND) atau defisit neurologis iskemik sepintas yang akan menghilang dalam waktu lebih lama 24 jam (tidak lebih dari 7 hari). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id15 c. Cerebral infarction i. Progressive cerebral infarction, merupakan infark dengan manifestasi klinis atau gejala neurologis makin lama makin berat. Penilaian progresifitas harus dilakukan setelah jam pertama dan paling lambat 72 jam setelah dimulainya gejala. ii. Stable cerebral infarction, yaitu bila tidak ada perubahan gejala selama minimal 24 jam pada sistem karotis dan 72 jam dalam sistem vertebrobasilar. Berdasarkan penyebab, stroke iskemik terbagi atas (Amarenco et al., 2009; Arroyo et al., 2009; Yew dan Cheng, 2009) : a. Stroke iskemik trombosis, merupakan penyumbatan pembuluh darah serebral oleh trombus yang umumnya disebabkan karena aterosklerosis. b. Stroke iskemik emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah serebral oleh embolus yang berasal dari jantung. Penyebabnya antara lain atrium fibrilasi (50%), gangguan atau penyakit katup, kardiomiopati dan infark miokard. Stroke hemoragik disebabkan karena kerusakan pembuluh darah di otak dengan efusi darah di luar aliran pembuluh darah. Berdasarkan letak efusi darah melalui pemeriksaan neuro-image, stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi (Arroyo et al., 2009) : a. Intracerebral hemorrhagic merupakan kumpulan perdarahan dalam commit to user parenkim otak, akibat kerusakan arteri atau arteriola otak, dengan atau perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id16 tanpa gangguan ventrikel pada ruang subarachnoid. Angka kejadian 10 – 15% dari semua kasus stroke. b. Subarachnoid hemorrhagic (SAH), disebabkan karena bekas trauma sebelumnya atau tidak memiliki asal traumatis (spontan SAH). c. Subdural and epidural haematoma, merupakan sekunder dan sebagian besar kasus dengan trauma kepala. 4. Gejala dan Diagnosis Stroke Setiap serangan stroke, baik hemoragik maupun iskemik, akan menimbulkan defisit neurologis yang bersifat akut. Untuk menentukan jenis stroke, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi gejala klinis yang muncul. Pada stroke hemoragik dan stroke iskemik, mempunyai perbedaan gejala klinis yang khas (Tabel 2) (Freitas et al., 2009). Tabel 2. Perbedaan gejala stroke hemoragik dan stroke iskemik NO Gejala Stroke Hemoragik 1 Onset atau awitan saat onset Mendadak saat aktifitas 2 Peringatan /warning 3 Nyeri kepala +++ + 4 Kejang 5 Muntah + 6 Penurunan kesadaran +++ Keterangan : + : ada gejala : tidak ada gejala Stroke Iskemik Mendadak saat istirahat + +/+/- (Freitas et al., 2009) Stroke iskemik dapat disebabkan karena trombosis dan emboli. Terdapat perbedaan gejala klinis yang ditimbulkan dari kedua penyebab ini. Stroke iskemik karena emboli sering menimbulkan prognosis yang buruk. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id17 Gejala klinis stroke iskemik trombosis antara lain (Worp dan Gijn, 2007) : a. Onset lambat, keluhan sering timbul pada pagi hari saat bangun tidur. b. Didahului gejala prodromal, seperti vertigo, sakit kepala, kesemutan, afasia dan tidak berasa pada ujung-ujung ekstremitas serta gangguan mental. c. Umumnya kesadaran baik, hemiparese atau hemiplegi, disatria, afasia, mulut mencong atau merot, hemianopsia atau gejala fokal otak lainnya. Gejala klinis stroke iskemik emboli meliputi (Worp dan Gijn, 2007): a. Onset serangan mendadak, keluhan sering pada waktu aktivitas. b. Gangguan motorik atau sensorik. c. Apabila emboli besar, bisa menyebabkan delirium, pingsan, gelisah, kejang dan penurunan kesadaran. Penegakkan diagnosis stroke didasarkan atas hasil (Yew dan Cheng, 2009; Perdossi, 2011) : a. Penemuan gejala klinis neurologis i. Anamnesis : a) Terjadinya keluhan atau gejala defisit neurologis mendadak b) Tanpa trauma kepala c) Adanya faktor risiko ii. Pemeriksaan fisik commit to user a) Adanya defisit neurologis fokal perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id18 b) Ditemukan faktor risiko stroke c) Adanya kelainan pembuluh darah iii. Pemeriksaan jenis stroke dengan algoritma atau skor stroke Penentuan jenis stroke dapat dilakukan dengan penilaian skor stroke. Ada beberapa penilaian skor stroke, yaitu algoritma stroke Gajah Mada, Djoenaedi Stroke Score (DSS) dan Siriraj Stroke Score (SSS). Siriraj Stroke Score merupakan penilaian skor stroke yang paling sering digunakan (Tabel 3) (Singh et al., 2001; Nyodu et al., 2013). Tabel 3. Variabel penilaian SSS Variabel Gambaran Klinis Skor Tingkat kesadaran Composmentis 0 Somnolen/Stupor 1 Koma 2 Muntah/ vomiting Tidak 0 Ya 1 Nyeri kepala/ Headache Tidak 0 Penanda ateroma Tidak 0 (DM, penyakit jantung) Ya 1 (Nyodu et al., 2013). Rumus penghitungan SSS : (2,5 x kesadaran) + ( 2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0,1 x tekanan distolik) – (3 x penanda ateroma) – 12 Interpetasi SSS : a) Bila nilai SSS >1 : menunjukkan stroke hemoragik b) Bila nilai SSS < -1: menunjukkan stroke iskemik commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id19 c) Bila nilai SSS antara -1 dan 1 : masih memerlukan pemeriksan CT- scan. b. Pemeriksaan gold standard diagnosis stroke, yaitu dengan pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala. Pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala digunakan untuk menentukan secara pasti letak dan penyebab atau jenis stroke, yaitu hemoragik atau iskemik. Hasil pemeriksaan CT-scan kepala stroke hemoragik menunjukkan gambaran hipodens. Computed tomography-scan merupakan test diagnostik dengan menggunakan sinar X yang dapat mendeteksi perdarahan intrakranial, lesi pada rongga otak atau space occupying lesions (SOL), edema serebral, adanya perubahan struktur otak serta dapat untuk mengidentikasi infark, hidrosefalus dan atrofi otak. Pemeriksaan CT-scan dapat dengan mudah menentukan lokasi, ukuran dan tingkat keparahan stroke hemoragik. Terdapat berbagai macam jenis CT-scan, tetapi yang paling sering digunakan adalah non-contrast computed tomography (NCCT) (Fisher, 2009; Perdossi, 2011). Sensitivitas CT-scan untuk deteksi hemoragik dapat dipengaruhi oleh waktu onset, yaitu 98 – 100% pada 12 jam pertama setelah onset, 93% pada 24 jam dan 57 – 85% setelah onset 6 hari (Duncan dan Lo, 2011). Pada era sebelum digunakannya CT-scan, seringkali kasus stroke hemoragik dengan minimal perdarahan diklasifikasikan sebagai stroke commit to user iskemik (Carhuapoma et al., 2010). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id20 Gambaran CT-scan pada stroke hemoragik akan menunjukkan adanya area berwarna putih (dense), baik di parenkim, subarakhnoid maupun subdural. Gambaran CT-scan dari jenis stroke hemoragik, sebagai berikut (Llinas, 2007; Nyodu et al., 2013) : i. Epidural hematom, yaitu pendarahan pada daerah antara duramater dan tulang cranium. Gambaran hiperdens bikonvek, tanpa melewati sutura. ii. Subdural hematom, yaitu pendarahan ada di antara duramater dengan arachnoidmater. Gambarannya bentuk hiperden dengan bentuk kovek sampai konkaf. iii. Subarachnoid hematom berarti pendarahannya ada di cavum subarachnoid. Pendarahan masuk ke dalam sulkus, sehingga gambaran hiperden pada sulkus. iv. Intraserebral hematom, merupakan pendarahan terjadi pada parenkim otak. Gambaran CT-scan cysterna melebar. Gambaran CT-scan pada stroke iskemik yaitu adanya gambaran pendangkalan sulkus serebri (sulcal effacement), menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri, hipodensitas insula serebri, hipodensitas nukleus lentiformis, hiperdensitas arteri serebri media. Pada infark lama, batasnya tegas, sedangkan pada infark baru, batasnya samar (Freitas et al., 2009; Nyodu et al., 2013). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id21 c. Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang (Yew dan Cheng, 2009; Perdossi, 2011) : i. Electrocardiography (ECG), yaitu untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan jantung pada pasien stroke, dilakukan selama 48 jam sejak kejadian stroke. ii. Foto thorak, dilakukan pada semua pasien stroke untuk mengetahui adanya kelainan paru. iii. Pemeriksaan laboratorium, meliputi pemeriksaan darah rutin, laju endap darah (LED), protrombine time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT), kadar glukosa darah, pemeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati, profil lipid, meliputi kolesterol total, low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), trigliserida, pemeriksaan elektrolit, troponin-I dan creatine kinaseMB (CKMB). Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan apabila dicurigai adanya hipoksia. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengindentifikasi kelainan sistemik yang dapat menyebabkan stroke atau untuk melakukan pengobatan spesifik pada pasien stroke. Saat ini telah ditemukan beberapa penanda biokimia cedera sel otak dan iskemia otak yang dapat membantu diagnosis dini stroke dan dapat untuk membedakan stroke hemoragik dan iskemik antara lain protein S-100B, NSE, FABP, GFAP, PARK7 dan NDKA. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id22 Protein S-100B merupakan protein pengikat kalsium (Ca) asidik dengan berat molekul 10 – 12 kiloDalton (kDa) dan waktu paruh biologis sekitar 1 jam yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada sitosol sel glial dan sel schwann, melanosit, adiposit, dan kondrosit. Protein S-100B dimetabolisme di ginjal dan diekskresikan melalui urin. Protein S-100B dapat digunakan sebagai penanda dini stroke apabila digunakan sebagai panel bersama dengan penanda yang lain (Pelinka, 2004; Immanuel dan Utami, 2009; Jensen et al., 2009). Neuron specific enolase adalah enzim glikolitik dengan berat molekul 78 kDa, waktu paruh biologis 48 jam merupakan penanda biokimia untuk diagnosis dan prognosis stroke dan cedera kepala bila digunakan dengan penanda lain. Neuron specific enolase ditemukan dalam sitoplasma neuron, trombosit, eritrosit, sel neuroendokrin perifer dan pada tumor tertentu yang terkait dengan serapan prekursor amina, seperti oat cell carcinoma di paru, neuroblastoma, melanoma (Pelinka, 2004; Jensen et al., 2009). Fatty acid binding protein merupakan protein sitoplasmik yang berperan dalam sistem transpor intraseluler oksidasi asam lemak dan membran lipid yang dilepaskan dengan cepat ke dalam sirkulasi oleh sel yang rusak dan diekskresi oleh ginjal dengan waktu paruh di commit to user plasma 20 menit. Terdapat beberapa jenis FABP, diantaranya brain- perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id23 FABP (B-FABP) terdapat pada sel neuronal dan glial, sedangkan jenis heart-FABP (H-FABP) dapat ditemukan di otak, otot jantung, endotel, paru, dan ginjal (Zimmermann et al., 2004; Immanuel dan Utami, 2009; Jensen et al., 2009). Parkinson 7 dan NDKA merupakan protein yang ditemukan dalam jumlah besar pada CSF postmortem yang diekspresi pada berbagai jaringan, termasuk otak dan jantung. Fungsi protein ini belum diketahui dengan pasti, tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa protein ini berperan dalam perlindungan terhadap stres oksidatif (Immanuel dan Utami, 2009; Jensen et al., 2009). Untuk membedakan diagnosis stroke hemoragik dan stroke iskemik, ditentukan dari hasil pemeriksaan CT-scan atau MRI (Fisher, 2009; Perdossi, 2011). 5. Patogenesis Stroke Otak hanya terdiri dari 2% dari massa tubuh. Otak membutuhkan hingga 20% dari output jantung dan tergantung dari suplai oksigen dan glukosa yang terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya. Secara fisiologis, otak mendapat suplai darah 50 – 60 ml/100 gram otak/menit. Darah merupakan sarana transportasi oksigen, nutrisi dan bahanbahan lain yang sangat diperlukan untuk mempertahankan fungsi penting commit to user jaringan otak dan mengangkut sisa metabolik. Terhenti atau berkurangnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24 aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF) secara mendadak, menyebabkan keterbatasan kemampuan dalam mengkompensasi dan meminimalkan tersedianya energi. Apabila aliran darah ke otak kurang dari 16 – 18 ml/100 gram jaringan otak/menit maka akan menyebabkan infark dalam satu jam dan bila kurang dari 20 ml/100 gram jaringan otak/menit menyebabkan iskemik tanpa infark. Kematian jaringan otak akan terjadi bila aliran darah serebral tidak ada sama sekali dalam 4 – 10 menit (Graham dan Hickey, 2002; Warlow et al., 2007). a. Stroke Hemoragik Penyebab paling sering stroke hemoragik adalah hipertensi kronik yang menyebabkan lemahnya dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan ruptur pembuluh darah otak. Kerusakan otak pada stroke hemoragik terdiri dari tiga fase, yaitu (Qureshi, 2009; Wei et al., 2010) : i. Fase pertama atau perdarahan awal, yaitu pada jam-jam pertama setelah serangan stroke hemoragik akan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik yang mempengaruhi pembentukan edema perihematom. Meningkatnya permeabilitas SDO menyebabkan protein molekuler berpindah ke ruang ekstraseluler dan pengaruh gradien osmotik akan membawa air masuk ke parenkim otak, terjadilah edema vasogenik. ii. Fase kedua atau perluasan hematom, yaitu 24 – 48 jam akan terjadi retraksi klot dan aktivasi kaskade koagulasi, sehingga membentuk commit to user trombin yang mengaktivasi edema dan semakin merusak SDO. perpustakaan.uns.ac.id iii. digilib.uns.ac.id25 Fase ketiga atau edema peri hematom, yaitu terjadi aktivasi kaskade komplemen, saat eritrosit mulai lisis, hemoglobin dan produk degradasi akan merusak parenkim otak karena proses inflamasi sehingga terjadi edema sitotoksik (Gambar 1 dan 2). Hematoma Edema Perihematom Complement activation 3a Membrane attack complex formation 3b Erytrocyte lysis Hemoglobin+iron+bilirubin by products Cytotoxic edema 1 Expanding hematoma Hydrostatic pressure Blood-brain barrier (BBB) Increased BBB permeability Water in Protein influx Osmotic preeure gradient 2 Clot activation Coagulation cascade activation Thrombin formation Diseruption of BBB Gambar 1. Skema patogenesis edema perihematom (Wei et al., 2010). commit to user perpustakaan.uns.ac.id Hematoma digilib.uns.ac.id26 Neuronal and glial mechanical diseruption, oligaemia or ischaemia Glutamat e release Neuronal and glial mechanical stretch Calcium influx, mitochondrial failure Sodium accumulation, cytotoxic oedema, necrosis Oxygen free radicals Thrombin, ferrous iron, haemin, halotransferin release MMP Microglia activation AQ-4 expression in astrocytes, breakdown of connective tissue in BBB,expression of adhesion molecules Complement factors Increase BBB permeability, vasogenic oedema Recruitment of PMNs and macrophages TNF--α TNF-α IL-1β Caspase activation, apoptosis in neurons and glia Cytochrome C Gambar 2. Proses kerusakan otak pada stroke hemoragik (Qureshi, 2009) Pada fase akut, keluarnya darah dari pembuluh yang pecah akan menyebabkan terbentuknya hematoma. Setelah terbentuk klot, jaringan otak akan mengalami reperfusi. Pada saat reperfusi akan terjadi respon inflamasi dan pelepasan sitokin inflamasi. Setelah 14 hari, hematoma akan mengecil karena sel-sel eritrosit yang lisis akan difagosit oleh makrofag, dan aliran darah otak kembali normal. Lisis eritrosit dapat menyebabkan edema otak dalam waktu 72 jam (Gambar 3) (Bogousslavsky dan Caplan, 2001; Carhuapoma et al., 2010; Saenger dan Christenson, 2010). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27 Gambar 3. Stadium perubahan aliran darah otak pada stroke hemoragik (Carhuapoma et al., 2010). Perdarahan jaringan otak pada stroke hemoragik secara lokal akan menginduksi heme oxygenase 1 (HO-1). Hemoglobin dapat menyebabkan kerusakan otak melalui produk degradasinya yang membentuk hydrogen peroxide (H2O2). Pada stroke hemoragik maupun stroke iskemik terjadi peningkatan ekspresi enzim HO (Dohi et al., 2005; Wang dan Dore, 2007; Mendez et al., 2013; Li et al., 2014). Pada stroke hemoragik, glutamat juga berpengaruh terhadap kerusakan di sekitar sel neuron yang mati. Saat terjadi perdarahan, kadar glutamat di dalam plasma tinggi secara cepat kemudian berdifusi ke dalam parenkim otak dan merusak oligodendrosit. Glutamat diambil oleh neuron dan sel glia yang kemudian menstimulasi glikolisis dan memproduksi asam laktat. Asam laktat yang tinggi akan menurunkan derajat keasaman dan sangat potensial merusak sel neuron maupun glia. Jumlah ikatan reseptor glutamat yangcommit berlebihan to user menyebabkan penumpukan ion perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28 kalsium (Ca2+) dalam sel dan proses inflamasi sehingga sel mati secara nekrosis atau apoptosis (Gambar 4) (Kenneth, 2003; Chang et al., 2005). Gambar 4. Penyebab kerusakan sel otak akibat stroke hemoragik (Kenneth, 2003) b. Stroke iskemik Stroke iskemik disebabkan karena berkurang atau terhentinya aliran darah ke otak akibat oklusi karena trombus atau emboli sehingga terjadi gangguan perfusi atau iskemik pada jaringan otak. Gangguan aliran darah dapat menyebabkan kerusakan saraf irreversibel. Stroke iskemik diawali serangkaian fase yang muncul akibat kaskade iskemik. Waktu masingmasing fase sangat heterogen dan tergantung berbagai faktor seperti ukuran infark, onset dan durasi iskemik, serta efektifitas reperfusi. Fase commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id29 iskemik diawali dengan hipoperfusi serebral mendadak dan diikuti kegagalan bioenergik seluler, eksitotoksik, stres oksidatif, kerusakan SDO, cedera mikrovaskuler, aktivasi hemostatik serta inflamasi dan nekrosis pada neuronal, glial dan sel endotel (Gambar 5) (Auriel, 2009; Brouns dan De Dyen, 2009; Singhal et al., 2011). Gambar 5. Kaskade iskemik (Singhal et al., 2011) Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dan area penumbra iskemik (Gambar 6). Core iskemik merupakan bagian sentral dan terberat tingkat iskemik. Pada area penumbra, aliran darah otak masih bertahan 30 – 40% dari normal, sedangkan di area core iskemik sekitar 5 – 10%. Pada daerah core iskemik, kematian sel karena eksitoksisitas dan nekrosis dapat terjadi dalam waktu hitungan menit dan bersifat irreversibel oleh karena tidak adanya reperfusi yang adekuat pada area tersebut (Singhal et al., 2011). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id30 Gambar 6. Daerah regional otak iskemik (core dan penumbra) (Singhal et al., 2011) Mekanisme iskemik secara umum dapat dibagi menjadi 5 kategori, yaitu trombosis, emboli, hipoperfusi sistemik, arteri obliterasi luminal, dan kongesti vena. Trombosis vena serebral dapat menyebabkan kongesti vaskuler, penurunan aliran darah dan akhirnya infark. Proses trombosis berawal dari rusaknya lapisan endotel pembuluh darah karena adanya plak aterosklerotik yaitu plasminogen activator protrombotik inhibitor-1 yang (PAI-1) meningkatkan dan faktor ekspresi jaringan. Terpaparnya struktur sub endotel secara langsung oleh aliran darah mengakibatkan proses adhesi, yaitu trombus melekat pada struktur sub endotel (Brandon dan Safdieh, 2009; Fisher, 2009). Proses adhesi ini mengakibatkan platelet teraktivasi dan berubah bentuk. Platelet yang teraktivasi akan melepaskan beberapa bahan kimia, antara lain adenosin difosfat (ADP), arachidonic acid (AA) dan bahan eikosanoid lainnya, seperti prostaglandin F2α (PGF2α) dan serotonin, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id31 yang mengakibatkan vasokonstriksi dan agregasi platelet, sehingga menyebabkan hipoksia serebri dan penurunan glukosa, sehingga iskemik atau infark serebri karena berkurangnya aliran darah ke otak (Brandon dan Safdieh, 2009; Fisher, 2009; Saenger and Christenson, 2010). Penurunan aliran darah otak yang cepat pada core iskemik menyebabkan kegagalan asupan energi, penurunan kadar adenosine triphosphate (ATP) dan glukosa serta menyebabkan gangguan homeostasis osmotik pada sel-sel di area tersebut. Penurunan kadar ATP akan mempengaruhi aktifitas natrium-kalium ATPase (Na-K ATPase), yang mengkonsumsi lebih dari 70% ATP seluler. Penurunan aktivitas Na2+ K ATPase dan peningkatan Na seluler akan menyebabkan influks Ca melalui Na-Ca exhanger dan Ca-magnesium (Mg) ATPase. Peningkatan Na akan menyebabkan sel otak menjadi bengkak atau edema vasogenik yang dapat terjadi pada 24 jam pertama hingga hari keempat setelah onset stroke iskemik (Worp dan Gijn, 2007; Auriel, 2009; Fisher, 2009). Peningkatan kadar Ca2+ sitosolik akan menyebabkan kadar Ca2+ di mitokrondria berlebihan dan terjadi aktivasi protease dan phospholipase. Keadaan ini, menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria, gangguan keseimbangan ion dan hilangnya integritas membran akan menyebabkan peningkatan kadar reactive oxygen species (ROS) seperti superoxide dan H2O2 sehingga terjadi kerusakan pada lipid, protein dan deoxyribonucleic commit to user acid (DNA). Secara normal, radikal bebas oksigen akan diproduksi oleh perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id32 mitokondria selama proses transport elektron. Peningkatan kadar Ca2+, Na dan ADP di intraseluler akan menstimulasi produksi radikal oksigen yang berlebihan di mitokondria (Worp dan Gijn, 2007; Singhal et al., 2011). Sel yang membengkak karena influks cairan ke dalam sel, akan mengalami ruptur membran plasma dan menyebabkan keluarnya kandungan seluler ke jaringan sekitar sehingga memicu terjadinya respon inflamasi. Kerusakan parenkim akibat iskemik akan mengaktifkan mediator inflamasi seperti mikroglia, makrofag dan leukosit. 12 – 24 jam setelah iskemik, akan didapatkan peningkatan radikal bebas, ekspresi kemokin dan sitokin seperti interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, tumor necrosis factor alpha (TNF-α), yang dapat mengkatalisis kerja enzim HO yang akan mengkonversi heme menjadi biliverdin, ion ferro (Fe2+) dan karbonmonoksida (CO) yang kemudian terbentuk H2O2 (Maines, 2000; Mendez et al., 2013). Enzim HO mempunyai 2 isoform yaitu HO-1 dan HO-2. Enzim HO-1 merupakan enzim yang dapat terinduksi oleh heme dan substratnya, sedangkan HO-2 merupakan enzim konsititutif dan tidak dapat terinduksi. Enzim HO-1 terdapat pada beberapa sel yang lebih spesifik di saraf seperti mikroglia dan makrofag, merupakan suatu heat shock protein 32 (hsp32) atau suatu akut fase reaktan yang dapat diinduksi oleh sitokin, logam berat, hipoksia dan radikal bebas. Pada stroke iskemik, akan terjadi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id33 induksi enzim HO-1 yang akan memicu terjadinya stress oksidatif dan kerusakan SDO (Maines, 2000; Dohi et al., 2005; Auriel, 2009). Defisit energi juga akan menyebabkan gangguan keseimbangan ionik serta glutamat eksitoksisitas. Glutamat merupakan suatu neurotransmiter yang akan berikatan dengan ionotropik reseptor N-methylD-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4- isoxazolepropionic acid (AMPA) yang akan memicu influks Ca, pelepasan phospolipase serta protease yang berlebihan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadi kerusakan membran dan protein lain yang menjaga integritas seluler, sehingga terjadi kematian sel (Gambar 7 dan 8) (Brandon dan Safdieh, 2009; Fisher, 2009; Singhal et al., 2011). Gambar 7. Mekanisme kematian sel pada stroke iskemik (Singhal et al., 2011). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id34 Gambar 8. Proses iskemik otak (Singhal et al., 2011) Pada area penumbra iskemik, integritas seluler masih terjaga dan energi masih mencukupi, dan mekanisme kematian sel terjadi secara apoptosis. Apoptosis terjadi dipicu oleh produksi radikal bebas, TNF, defisiensi growth factor, induksi protein 53 (p53) dan pelepasan cytochrome c selama proses kerusakan mitokondria pada saat iskemik serebral (Worp dan Gijn, 2007; Auriel, 2009). B. Sel Glia Otak Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia, CSF dan pembuluh darah. Anatomi pembuluh darah otak dibagi menjadi dua bagian yaitu anterior (carotid system) dan posterior (vertebrobasiler system). Pada setiap sistem terdapat arteri-arteri ekstrakranial, arteri-arteri intrakranial dan arteri-arteri perforantes (Fisher, 2009). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id35 Gambar 9. Sel glia pada otak (Fisher, 2009) Sel-sel glia atau neuroglia adalah sel-sel non neuronal yang mempunyai fungsi utama sebagai sel pendukung neuron. Fungsi lain adalah mengatur suasana internal otak, khususnya cairan di sekitar neuron, sinap dan menyediakan nutrisi yang cukup untuk sel-sel saraf. Sel glia juga berperan dalam pertumbuhan neuron sebagai sel pemandu migrasi pada awal pertumbuhan dan memproduksi molekulmolekul yang memodifikasi pertumbuhan axon dan dendrit (Michael dan Harry, 2010). Ada 2 tipe sel glia, yaitu mikroglia dan makroglia. Mikroglia mempunyai kemampuan sebagai fagosit yang melindungi neuron pada SSP. Sel ini relatif kecil dibandingkan sel-sel makroglia dan hanya merupakan 35% dari total sel glia dalam SSP. Sel ini ikut bergerak dengan otak dan mengalami multiplikasi bila otak mengalami cedera. Makroglia terdapat pada sebagian besar SSP, meliputi astrosit atau astroglia, oligodendroglia, sel-sel ependym dan radial glia, sedangkan yang terdapat pada sistem saraf tepi yaitu sel schwan dan sel satelit (Nedergaard et al., 2003; Michael dan Harry,commit 2010). to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id36 1. Astrosit atau Astroglia Astrosit adalah sel yang paling awal responsif ketika terjadi iskemik otak dan merupakan tipe sel non-neuronal terbanyak pada SSP yang memenuhi 50% dari volume otak manusia. Astrosit dibagi menjadi 2 subtipe, yaitu astrosit protoplasmik dan fibrous, keduanya berbeda dalam hal morfologi seluler dan lokasi anatomis. Astrosit protoplasmik memiliki cabang-cabang prosesus pendek, tebal dan bercabang banyak, letaknya di substansia grisea. Astrosit fibrous mempunyai prosesus panjang, tipis, dan sedikit bercabang, terletak di substansia alba (Chen dan Swanson. 2003; Michael dan Harry, 2010). Astrosit memiliki berbagai fungsi penting, yaitu untuk aktivitas neuronal normal meliputi pengambilan glutamat, pelepasan glutamat, buffer ion kalium (K+) dan ion hidrogen (H+) serta transport air. Astrosit menjaga suplai darah neuron, meregulasi lingkungan kimia eksternal neuron dengan mengeliminasi ion-ion yang berlebih, mendaur ulang pelepasan neurotransmiter pada sinap selama aktifitas transmisi dan merupakan bahan utama pada jaringan SDO (Chen dan Swanson. 2003). Astrosit juga berfungsi sebagai mediator utama saat terjadi perubahan aliran darah otak yang berespon dengan mengubah aktivitas neuronal. Saat terjadi aktivitas sinaptik, prosesus astrosit mempertahankan aliran darah, homeostasis transmiter, cairan ion dan pH. Astrosit banyak mengandung commit to user aquaporin (AQP) yang merupakan jalur primer pergerakan air dan mengatur perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id37 respon astrosit terhadap perubahan osmotik, sehingga sangat berperan dalam proses pembentukan edema otak vasogenik maupun sitotoksik (Chen dan Swanson, 2003; Nedergaard et al., 2003; Schummers et al., 2008). Peranan astrosit pada SSP yang sehat, meliputi (Gambar 10) (Michael dan Harry, 2010) : 1. Sinap a. Astrosit melepaskan laktat sebagai substrat energi, glutamin dan glutamat sebagai pencetus transmiter, ATP dan adenosin sebagai purin, brain-derived neurotrophic factor (BDNF) sebagai faktor pertumbuhan, neurosteroid. b. Astrosit berperan dalam uptake K+, air (H2O) dan transmiter seperti glutamat, gamma-aminobutyric acid (GABA), glisin. 2. Pembuluh darah a. Astrosit melepaskan prostaglandin E (PGE) dan nitric oxide (NO) yang berperan sebagai dilatasi pembuluh darah, AA berperan sebagai kontraksi dan SDO sebagai faktor induksi. b. Astrosit berperan dalam uptake glukosa dan H2O commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id38 Gambar 10. Peranan astrosit pada SSP sehat (Michael dan Harry, 2010) Gangguan fungsi astrosit akan mempengaruhi kelangsungan hidup neuron selama proses iskemik dan cedera otak lain. Astrosit juga berpengaruh pada pertumbuhan neurit atau akson dan proses penyembuhan otak pasca cedera (Michael dan Harry, 2010). 2. Astrogliosis Astrosit seperti sel yang lain, sangat rentan terhadap ROS sebagai akibat dari iskemik dan reperfusi. Reactive oxygen species dihasilkan oleh ketidakseimbangan oksigen-glukosa sepintas yang menyebabkan depolarisasi membran mitokondria astrosit dan transisi permeabilitas membran mitokondria. Berkurangnya aliran darah otak, menyebabkan gangguan fungsi pompa ion astrosit dan mengganggu homeostasis yang ditandai dengan to user kenaikan Ca2+ intrasel dancommit K+ ekstrasel. Gangguan homeostasis ion ini perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id39 menyebabkan aliran pasif air ke dalam astrosit, sehingga terjadi edema vasogenik. Astrosit berperan dalam proses edema otak vasogenik maupun sitotoksik (Chen dan Swanson, 2003; Simard dan Nedergaard, 2004). Glikogen adalah sumber energi utama di otak dan tersimpan dominan di astrosit sehingga adanya gangguan fungsi sel menyebabkan iskemik sel otak semakin berat. Beberapa jam setelah cedera otak, astrosit pada daerah tersebut menjadi hipertrofi dan proliferasi yang disebut astrogliosis reaktif. Astrogliosis reaktif merupakan suatu perubahan molekular, selular dan fungsional pada astrosit yang muncul sebagai respon terhadap segala bentuk cedera pada SSP. Respon ini terjadi karena perpindahan mikroglia dan makrofag pada daerah yang iskemik. Astrosit reaktif ini akan melepaskan protein struktural seperti GFAP dan vimentin serta protein lain, diantaranya superoxide dismutase, gluthation peroxidase dan metalothionein. Peningkatan kadar GFAP serum merupakan pertanda astrosit reaktif dan berperan dalam mengurangi dan membatasi perlukaan glial selama perpanjangan akson (Pelinka et al., 2004; Sofroniew, 2009; Michael dan Harry, 2010). Beberapa jenis sinyal molekul interseluler yang dapat memicu atau meregulasi astrogliosis reaktif, antara lain (Gambar 11) (Michael dan Harry, 2010) : 1. Large polypeptide growth factor, sitokin seperti IL-6, leukemia inhibitory factor (LIF), ciliary neurotrophic factor (CNTF), TNF-α, intermediatecommit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id40 range nuclear forces (INF), IL-1, IL-10, tumor growth factor-β (TGF-β), fibroblast growth factor 2 (FGF2), dan lain-lain. 2. Mediators of innate immunity, seperti lipopolysaccharide (LPS) dan tolllike receptor (TLR) ligand. 3. Neurotransmitter, seperti glutamat dan noradrenalin. 4. Purin, seperti ATP 5. Reactive species oxygen, meliputi NO 6. Hipoksia dan kehilangan glukosa 7. Produk yang berkaitan dengan neurodegenerasi, seperti β-amiloid 8. Molekul-molekul yang berkaitan dengan toksisitas metabolik sistemik, seperti ion ammonium (NH4+) 9. Regulator proliferasi, seperti endotelin-1. commit to user Gambar 11. Faktor pencetus dan regulasi astrosit reaktif (Michael dan Harry, 2010) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id41 C. Glial Fibrillary Acidic Protein 1. Definisi dan Fungsi GFAP Konsep tentang protein spesifik otak atau “brain-specific proteins” digunakan untuk zat yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada SSP dan dalam konsentrasi sangat rendah atau tak terdapat pada organ lain. Saat ini dikembangkan penanda biokimia darah yang dapat digunakan untuk diagnosis dini dan prognosis untuk stroke antara lain protein S-100B, NSE, FABP, GFAP, PARK7 dan NDKA. Neuron specific enolase merupakan penanda paling established untuk kerusakan saraf, sedangkan GFAP dan S100B adalah yang paling established untuk cedera sel glial. Penurunan aliran darah serebral secara transien atau permanen akan menyebabkan peningkatan ekspresi GFAP (Nylen, 2007; Immanuel dan Utami, 2009: Jensen et al., 2009). Glial fibrillary acidic protein merupakan protein spesifik astrosit otak atau protein filamen intermediet monomer dengan berat molekul sekitar 50 kDa dan waktu paruh biologis 16 – 18 jam. Kadar GFAP serum normal adalah kurang dari 0,033 μg/l atau 0,033 ng/ml. Glial fibrillary acidic protein hanya ditemukan dan diekspresi di sitoskeleton astrosit pada sel glial SSP serta tidak dijumpai pada jaringan lain di luar SSP. Pada populasi individu sehat, kadar GFAP sangat rendah sehingga pada sebagian besar individu tidak terdeteksi. Glial fibrillary acidic protein juga meningkat, terutama pada trauma kepala, commit to user tumor otak, infeksi intrakranial, ensefalitis atau ensefalopati, karena terjadi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id42 kerusakan pada astrosit (Herrmann dan Vos, 2000; Pelinka, 2004; Immanuel dan Utami, 2009; Jensen et al., 2009; Mayer et al., 2013). Pemeriksaan kadar GFAP banyak digunakan dalam neuropatologi sebagai penanda imunohistokimia gangguan sel glial, dan untuk cedera sel otak. Peningkatan kadar GFAP mengindikasikan terjadinya perdarahan intraserebral pada pasien dengan gejala stroke akut dan sebagai tanda terjadinya kerusakan SSP (Pelinka at al., 2004; Nylen, 2007). 2. Pelepasan GFAP Glial fibrillary acidic protein merupakan protein astroglial dan telah diidentifikasi sebagai penanda biokimia yang potensial untuk penanda cedera sel otak terutama pada stroke hemoragik. Respon terhadap cedera otak, akan menyebabkan astrosit menjadi reaktif yang disebut astrogliosis yang ditandai dengan ekspresi GFAP yang cepat dan banyak oleh sel astrosit. Sel astrosit akan mengalami proliferasi, hipertropi dan membentuk filamen intermediet. Astrosit merupakan penyusun SDO, maka bila terjadi kerusakan pada astrosit akan menyebabkan GFAP lebih banyak beredar di dalam darah. Setelah terjadi cedera otak pada SSP, misalnya trauma atau stroke, terjadi disintegrasi astrosit yang diikuti leakage GFAP di CSF (Nylen, 2007; Immanuel dan Utami, 2009). Pemeriksaan kadar GFAP pada CSF dijadikan sebagai indikator kerusakan SSP. Penelitian Hayakawa et al. (1979) mengamati peningkatan commit to user kadar GFAP pada CSF pasien stroke akut hemoragik. Peningkatan kadar perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id43 GFAP pada CSF terjadi pada hari 1 – 2 setelah cedera otak akut dan kembali normal setelah 1 – 2 minggu. Pelepasan GFAP lebih cepat pada sroke hemoragik karena adanya perluasan perdarahan intraserebral. Pada stroke iskemik, pelepasan GFAP bertahap atau lebih lambat (Pelinka, 2004). Penelitian Missler et al. (1999) merupakan penelitian pertama yang mengukur kadar GFAP pada darah. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa GFAP akan dilepaskan ke sirkulasi darah segera setelah terjadi cedera otak berat. Penelitian kadar serum GFAP pada pasien stroke, saat ini belum banyak dilakukan. Destruksi SDO dan sel astrosit glial pada stroke hemoragik terjadi lebih cepat, sehingga peningkatan kadar serum GFAP terjadi lebih awal. Penelitian Foerch et al. (2006), mengobservasi dan menganalisa peningkatan kadar serum GFAP pada pasien stroke hemoragik dan stroke iskemik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar serum GFAP pada pasien stroke hemoragik, meningkat lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi dibandingkan pada stroke iskemik. Kadar GFAP meningkat melebihi nilai rujukan dalam 8 jam setelah serangan iskemik sampai 4 hari. Tujuh hari setelah serangan iskemik akan terjadi penurunan ekspresi GFAP (Foerch et al., 2006; Nylen, 2007; Immanuel dan Utami, 2009; Mayer et al., 2013). Penelitian Herrmann dan Vos. (2000) menjelaskan adanya delayed release GFAP pada pasien stroke iskemik, yang mungkin disebabkan karena commit to user pelepasan GFAP yang bertahap dari sel-sel glial yang mengalami nekrosis. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id44 Kadar puncak pada stroke iskemik adalah hari kedua sampai hari keempat (Gambar 12). Gambar 12. Grafik peningkatan GFAP serum pasien stroke iskemik (Herrmann et al., 2000) Penelitian Dvorak et al. (2009) menyatakan kadar GFAP serum pasien stroke hemoragik mulai meningkat setelah 2 jam onset dan mencapai puncak 6 – 8 jam setelah onset dan akan mulai menurun 24 – 48 jam setelah onset. Kadar GFAP serum pasien stroke iskemik secara konstan terdeteksi di bawah batas rujukan sebelum 24 jam onset serangan stroke. Setelah 48 jam akan meningkat dan mencapai kadar puncak (Gambar 13) Gambar 13. Grafik kadar GFAP serum pada stroke hemoragik dan stroke iskemikto(Dvorak commit user et al., 2009) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id45 Karena kerusakan mendadak pada SDO disertai kerusakan otak yang lebih mendadak, GFAP terdeteksi di serum pada stroke hemoragik fase akut, tetapi tidak pada stroke iskemik. Pada stroke iskemik integritas struktur selsel otak dan SDO dapat bertahan lebih lama. Kematian sel akibat nekrotik terjadi 6 – 12 jam setelah oklusi pembuluh darah. Pelepasan protein astroglial GFAP mencapai puncak setelah 48 – 72 jam setelah onset stroke iskemik. Kadar GFAP serum yang tinggi pada 6 – 12 jam setelah onset, mengindikasikaan adanya stroke hemoragik, sehingga GFAP dapat digunakan sebagai penanda diagnostik yang sangat cepat pada pasien stroke akut (Foerch et al., 2012). Tabel 4. Perbandingan beberapa penanda biokimia stroke Penanda Awal Peningkatan sampai Makna Lamanya Kadar Puncak Pasca Peningkatan Kadar Onset Protein 24 jam (iskemik) 55 – 56 jam Prediksi luas lesi, defisit neurologis, outcome S-100B NSE 2 jam (iskemik) 7 – 18 jam Diagnosis dini, prediksi luas lesi, defisit neurologis, outcome FABP 20 menit 12 jam Diagnosis dini PARK 7 3 jam 5 hari Diagnosis dini NDKA 3 jam 5 hari Diagnosis dini GFAP Iskemik : awal Diagnosis dini, prediksi peningkatan 6 – 12 jam; 4 – 7 hari luas lesi, defisit neurologi, kadar puncak 2 – 4 hari membedakan stroke Hemoragik : awal 24 – 48 jam hemoragik dan iskemik peningkatan 2 – 4 jam dan kadar puncak 6 – 8 jam Keterangan : NSE=neuron specific enolase; FABP=fatty acid binding protein; PARK7=parkinson 7; NDKA=nucleoside diphosphate kinase A; GFAP=glial fibrillary acidic protein (Dvorak et al., 2009; Immanuel dan Utami, 2009; Foerch et al., 2012 ) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id46 3. Metode Pemeriksaan GFAP Pemeriksaan immunohistochemical kadar dan GFAP immunoassay. dapat dilakukan metode Immunohistochemical adalah suatu metode kombinasi dari anatomi, imunologi dan biokimia untuk mengidentifikasi komponen jaringan yang memiliki ciri tertentu dengan menggunakan interaksi antara antigen target dan antibodi spesifik yang diberi label atau suatu cara pemeriksaan untuk mengukur derajat imunitas atau kadar antibodi atau antigen dalam sediaan jaringan. Immunohistochemical dapat mendeteksi sangat baik dan menunjukkan secara tepat di dalam jaringan mana protein tertentu yang diperiksa bahkan dapat memeriksa ekspresi protein dalam struktur otak tertentu. Kekurangan immunohistochemical adalah kurang spesifik terhadap protein tertentu tidak seperti metode imunoblotting yang dapat mendeteksi berat molekul protein dan sangat spesifik terhadap protein tertentu (Orsini et al., 2007). Gambar 14. Glial fibrillary acidic protein dengan pengecatan imunohistokimia commit to user fluorophore (Orsini et al., 2007). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id47 Immunoassay merupakan tes biokimia yang mengukur konsentrasi suatu substansi dalam cairan, berupa serum darah atau air seni dengan melihat reaksi antibodi terhadap antigennya. Ada beberapa tipe immunoassay untuk pemeriksaan GFAP yaitu ELISA, ECLIA dan DELFIA (Immanuel dan Utami, 2009). Electrochemiluminescence immunoassay adalah merupakan salah satu tipe immunoassay. Metode ECLIA merupakan metode pemeriksaan chemiluminescence berdasarkan pendaran cahaya yang dihasilkan oleh proses oksidasi dan reduksi pada permukaan eletroda antara ruthenium, tris (bypyridyl) dengan tripropylamine. Kelebihan pemeriksan ECLIA antara lain sensitivitas lebih tinggi dan limit detection yang rendah bila dibandingkan pemeriksaan chemiluminescence. Kekurangan sangat terinterferensi oleh cahaya. Perbedaan antara metode ECLIA dan ELISA adalah pada substansi yang berbeda untuk mendeteksi (Burtis et al., 2006; Immanuel dan Utami, 2009). Prinsip metode DELFIA hampir sama dengan sandwich-ELISA, yaitu analit ditangkap antibodi pada lempeng yang telah dilapisi, diikuti dengan penambahan antibodi spesifik. Perbedaan dengan ELISA, yaitu pada uji DELFIA menggunakan lanthanide chelate-labeled detection antibody yang menunjukkan fluoresensi. Kekurangan uji DELFIA antara lain tidak rentan terhadap degradasi aktivitas enzim konjugat atau sinyal substrat, karena commit to user DELFIA bukan merupakan teknologi berbasis enzim dan pengukuran sinyal perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id48 lantanida fluorescent memberikan pengukuran yang hasil stabil sampai beberapa bulan (Burtis et al., 2006). Enzyme linked immunosorbent assay merupakan metode immunoassay yang menggunakan enzim sebagai label. Metode ELISA dibagi 2 jenis yaitu kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi membentuk kompleks yang terbatas dengan antibodi spesifik pada fase padat (Asihara dan Kasahara, 2001). Prinsip dasar dari sandwich-ELISA adalah sampel yang mengandung antigen direaksikan dengan antibodi spesifik pertama yang terikat dengan fase padat dan ditambahkan antibodi spesifik kedua yang berlabel enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut, sehingga dapat menilai sampel yang tidak murni dan mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki (Asihara dan Kasahara, 2001; Burtis et al., 2006). commit to user Gambar 15. Prinsip dasar ELISA (Asihara dan Kasahara, 2001). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id49 Penelitian Rosengren et al. (1992), mengembangkan pemeriksaan ELISA untuk pemeriksaan pada GFAP pada CSF. Kelebihan metode ELISA yaitu memiliki sensitivitas yang tinggi, reagen relatif murah dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat memeriksa beberapa parameter sekaligus, bahan dan alat mudah didapat serta tidak menggunakan zat radiasi. Kekurangan metode ELISA antara lain enzim yang digunakan sebagai label cukup kompleks (Asihara dan Kasahara, 2001; Pelinka et al., 2003; Burtis et al., 2006; Immanuel dan Utami, 2009). Metode sandwich-ELISA kadar GFAP merupakan metode yang baik dan lebih efisien, karena kemampuannya menguji sampel yang tidak murni dan mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki. Metode sandwich-ELISA juga memiliki sensitivitas yang tinggi, dapat memeriksa beberapa parameter sekaligus bahan, alat dan reagen relatif murah, mudah didapat, reagen dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dan tidak menggunakan zat radiasi (Asihara dan Kasahara, 2001; Butis et al,. 2006). D. Uji Diagnostik 1. Definisi Uji Diagnostik Uji diagnostik adalah suatu uji penelitian yang bertujuan untuk menilai akurasi suatu alat/metode/penanda dalam menegakkan diagnosis, mendeteksi atau memprediksi penyakit pada kelompok orang yang tampaknya sehat tetapi mempunyai risiko terkena penyakit tertentu. Latar belakang suatu penyakit commit to user perlu dilakukan uji diagnostik antara lain karena tingginya angka prevalensi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id50 penyakit tersebut, perubahan bermakna angka morbiditas dan mortalitas bila tidak segera diobati, tersedia terapi atau intervensi yang efektif terhadap penyakit tersebut dan pengobatan dini menunjukkan hasil yang lebih baik pada perjalanan penyakit tersebut (Budiarto, 2002; Pusponegoro et al., 2011). Baku emas atau gold standard adalah standar untuk pembuktian ada atau tidaknya penyakit pada pasien dan merupakan sarana diagnostik terbaik yang ada, meskipun bukan yang termurah atau termudah. Syarat suatu uji diagnostik baru, yaitu baku emas yang dipergunakan sebagai pembanding tidak boleh mengandung unsur atau komponen yang diuji serta tidak boleh memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas lebih rendah dari uji diagnostik yang diteliti (Pusponegoro et al., 2011). Kriteria penanda biokimia stroke yang ideal, yaitu dapat membedakan stroke iskemik dan hemoragik, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, cepat atau segera terdeteksi, stabil pelepasannya setelah iskemik, dapat memprediksi keluaran atau outcome, dapat digunakan sebagai petunjuk terapi dan menentukan faktor risiko, mudah dikerjakan, hasil pengukurannya cepat, metode efektif dan harga yang relatif terjangkau. Kepentingan untuk memperbaiki outcome stroke membutuhkan penegakkan diagnosis yang cepat dan akurat. Kemampuan untuk membedakan stroke perdarahan atau hemoragik dan stroke iskemik secara cepat dan akurat menggunakan tes penanda biokimia, sangat menentukan tatalaksana yang spesifik, cepat dan commit to user tepat pada pasien stroke akut (Jensen et al., 2009; Jickling dan Sharp, 2011). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id51 Sebelum melakukan pemeriksaan sampel penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji analitik meliputi uji presisi atau ketelitian dan uji akurasi atau ketepatan. Uji diagnostik menggunakan tabel 2x2 untuk menilai sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, PLR, NLR dan nilai akurasi. Setelah dilakukan penilaian sensitivitas dan spesifisitas, selanjutnya menilai kemungkinan hasil yang sebenarnya dengan menilai PLR dan NLR (Dahlan, 2009). Tabel 5. Tabel 2x2 penelitian diagnostik Indeks Referensi Standar Positif Negatif a b c d a+c b+d Positif Negatif a+b c+d a+b+c+d Keterangan : a = true positive (TP)/positif benar b = false positive (FP)/positif palsu c = false negative (FN)/negatif palsu d = true negative (TN)/negatif benar (Dahlan, 2009) Sensitivitas adalah proporsi proporsi hasil tes positif pada populasi sakit. Sensitivitas menunjukkan kemampuan alat diagnostik untuk mendeteksi penyakit atau menghasilkan hasil positif bila dilakukan pada sekelompok subyek yang sakit. Nilai sensitivitas berkaitan dengan kemampuan. Penghitungan nilai sensitivitas menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011) : Sensitivitas = TP : (TP + FN) x 100% Spesifisitas merupakan proporsi hasil tes negative pada populasi tidak sakit. Spesifisitas menunjukkan kemampuan commit to user alat diagnostik untuk perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id52 menentukan bahwa subyek tidak sakit atau menghasilkan hasil negatif bila dilakukan pada sekelompok subyek yang sehat. Penghitungan nilai spesifisitas menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011) : Spesifisitas = TN : (FP + TN) x 100% Positive predictive value atau nilai duga positif adalah probabilitas seseorang menderita suatu penyakit apabila uji diagnostiknya positif atau menilai apakah hasil yang positif tersebut benar-benar positif. Penghitungan nilai PPV dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011) : PPV = TP : (TP + FP) x 100% Negative predictive value atau nilai duga negatif adalah probabilitas seseorang tidak menderita suatu penyakit apabila hasil uji diagnostiknya negatif atau untuk menilai apakah hasil yang negatif tersebut benar-benar negatif. Penghitungan nilai NPV menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011) : NPV = TN : (FN : TN) x 100% Likelihood ratio (LR) adalah rasio kemungkinan hasil positif dan negatif yang didapatkan pada kelompok sakit dibandingkan kelompok tidak sakit. Nilai likelihood ratio (LR) mempunyai makna yang sangat besar pada suatu uji diagnostik. Intepretasi nilai LR pada uji diagnostik adalah sebagai commit to user berikut (Tabel 6) (Jaeschke et al., 2002) : perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id53 Tabel 6. Intepretasi nilai LR LR Intepretasi > 10 Menghasilkan perubahan besar dan sering konklusif dalam kemungkinan terjadinya penyakit 5 – 10 Menghasilkan perubahan moderat dalam kemungkinan terjadinya penyakit Menghasilkan perubahan kecil (tapi kadang-kadang penting) dalam 2–5 kemungkinan terjadinya penyakit 1–2 Memberi perubahan sangat kecil atau minimal (jarang penting) dalam kemungkinan terjadinya penyakit Tidak ada perubahan dalam kemungkinan terjadinya penyakit 1 0,5 – 1,0 Memberikan perubahan sangat kecil atau minimal (jarang penting) dalam kemungkinan terjadinya penyakit 0,2 – 0,5 Memberikan perubahan kecil (tapi kadang-kadang penting) dalam kemungkinan terjadinya penyakit 0,1 – 0,2 Memberikan perubahan moderat dalam kemungkinan terjadinya penyakit <0,1 Memberikan perubahan besar dan sering konklusif dalam kemungkinan terjadinya penyakit Keterangan : LR= likelihood ratio (Jaeschke et al., 2002) Positive likelihood ratio atau rasio kemungkinan positif adalah perbandingan antara hasil positif pada kelompok yang sakit dibandingkan dengan hasil positif pada kelompok yang tidak sakit. Penghitungan nilai PLR menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011) : PLR = (1 - spesifisitas) : sensitivitas Negative likelihood ratio atau rasio kemungkinan negatif adalah perbandingan hasil negatif pada kelompok sakit dibandingkan dengan hasil negatif pada kelompok tidak sakit. Penghitungan nilai NLR menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011) : NLR = (1 - sensitivitas) : spesifisitas commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id54 Nilai akurasi suatu probabilitas uji berkaitan dengan kemampuannya memberikan pengukuran yang benar atas substansi yang dievaluasi. Tes akurasi adalah proporsi dari semua tes, baik positif maupun negatif yang benar atau kemampuan suatu tes untuk mendeteksi secara benar seluruh subyek yang di tes (Dahlan, 2009). Nilai akurasi = (TP + TN) : (TP + FP + FN + TN) Receive operating curve adalah cara untuk menentukan cut off atau titik potong uji diagnostik berupa grafik atau kurva yang dibentuk dari nilai sensitivitas dan spesifisitas pada berbagai cut off. Dari prosedur ROC ini, dapat dinilai AUC. Nilai AUC berkisar antara 0,5-1. Suatu pemeriksaan memiliki nilai diagnostik yang baik jika memiliki nilai AUC lebih dari 0,8 (Dahlan, 2009). Tabel 7. Interpretasi nilai AUC Nilai AUC > 0,5 – 0,6 > 0,6 – 0,7 > 0,7 – 0,8 > 0,8 – 0,9 > 0,9 – 1 Keterangan : AUC= area under curve Interpretasi Sangat lemah Lemah Sedang Baik Sangat baik (Dahlan, 2009) Nilai diagnostik suatu penanda dapat sebagai alat skrining maupun alat diagnostik. Pemeriksaan suatu penanda dapat digunakan sebagai alat untuk skrining, harus memiliki sensitivitas >80% dan untuk digunakan sebagai alat diagnostik harus memiliki spesifisitas >80%. Sensitivitas dan spesifisitas commit to userstabil, karena nilainya tidak berubah disebut sebagai nilai uji diagnostik yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id55 pada proporsi subyek sehat dan sakit yang berbeda atau prevalensi penyakit yang rendah maupun tinggi. Hasil uji diagnostik positif kuat, bila nilai PLR >1 sampai 10 atau lebih. Hasil uji diagnostik negatif kuat apabila nilai NLR mendekati 0 dan hasil uji negatif sedang apabila nilai NLR mendekati nilai 1 (Budiarto, 2002; Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011). 2. Uji Diagnostik Kadar GFAP Serum pada Pasien Stroke Akut Penelitian Foerch et al. (2006), menganalisis kadar GFAP serum dalam mendiagnosa stroke hemoragik pada 135 pasien stroke akut 6 jam setelah onset dengan menggunakan cut off 2,9 ng/l. Didapatkan sensitivitas 79% dan spesifisitas 98%, PPV = 0,94, NPV = 0,91, p<0,001. Penelitian Dvorak et al. (2009), menganalisis kadar GFAP serum pada cut off 0,11 µg/l atau 0,11 ng/ml dengan hasil CT-scan atau MRI kepala pada 53 pasien stroke dengan onset <6 jam. Hasil sensitivitas yang didapatkan adalah 71 % dan spesifisitas 95%. Penelitian Mondello et al. (2011), melakukan penelitian case control pada 35 kontrol dan 33 pasien stroke akut onset 122 menit menggunakan GFAP serum sebagai penanda diagnosis ICH pasien stroke akut onset 122 menit pada cut off 0,33 ng/ml dengan nilai area under curve (AUC) 0,99. Didapatkan sensitivitas 100% dan spesifisitas 96%. Foerch et al. (2012), menganalisis kadar plasma GFAP dengan metode ECLIA pada cut off 0,29 ng/l, dapat membedakan ICH dan stroke iskemik yang dilakukan pada 295 pasien stroke akut dengan 4,5 jam setelah onset commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id56 stroke. Didapatkan hasil peningkatan kadar GFAP yang signifikan pada pasien stroke hemoragik dengan sensitivitas 84,2% dan spesifisitas 96,3%. Penelitian Susilo dan Priyanto (2013), merupakan penelitian uji diagnostik kadar GFAP serum di Indonesia yang menganalisis 37 pasien stroke akut yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dengan melakukan pemeriksaan GFAP serum dan CT-scan kepala tanpa kontras untuk membedakan stroke pendarahan intraserebral dan bukan perdarahan pada pasien stroke akut onset <10 jam. Didapatkan sensitivitas 85,7% dan sepesifitas 64,4%. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, didapatkan variasi cut off kadar GFAP serum dalam mendiagnosis stroke hemoragik dan variasi sensitivitas dan spesifisitas, sehingga perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk menilai penampilan dan akurasi diagnostik GFAP serum pada pasien stroke akut yang dapat membantu dalam mengoptimalkan triase dan manajemen pasien dengan gejala stroke akut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id57 E. Kerangka Pikir Stroke Akut CT-scan Kepala Stroke Hemoragik Stroke Iskemik Ektravasasi Sel Darah Trombus/Emboli Cerebral Oklusi Arterial Hematom Aliran Darah Otak (CBF) ↓ Glukosa ↓ Ruptur Pembuluh Darah Tekanan Hidrostatik ↑ Release glutamat Edema Perihematom Glikolisis ↑ Herniasi Hipoksia Serebri Iskemik/Infark Serebri Gangguan Na-K ATPase ↓ Gangguan Hemostasis Na+ ↑ Edema Vasogenik Respon Inflamasi Heme Oxygenase 2+ As. Laktat ↑ Glutamat sitoksisitas Ca2+ ↑ Ruptur Membran Plasma Disfungsi Mitokondria ROS ↑ Bilirubin Indirek ↑ Fe ↑ Aktivasi Kaskade Koagulasi Hipertrofi & Proliferasi Astrosit, Kerusakan Sel Glial Kerusakan SDO Stres Oksidatif H2O2 ↑ Astrogliosis Nekrosis & Apoptosis Sel Degenerasi Neuronal Kerusakan Mitokondria Astrosit Lesi Hemisfer Keterangan : : Mempengaruhi, proses lanjut : Perlakuan : Lingkup penelitian : Bukan lingkup penelitian Gambar 16. Kerangka pikir commit to user GFAP ↑ perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id58 F. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : didapatkan penampilan uji diagnostik yang baik pada pemeriksaan kadar GFAP serum pada pasien stroke akut di RSDM. commit to user