atau stroke merupakan ke

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Stroke
1. Definisi Stroke
Penyakit cerebrovascular accident (CVA) atau stroke merupakan
kegawatdaruratan neurologi yang timbul mendadak dan dapat menyebabkan
kematian. Stroke dapat muncul kapan saja, di manapun dan pada siapa saja,
baik saat seseorang sedang melakukan aktivitas maupun ketika sedang
beristirahat, kadang tanpa gejala penyerta atau kondisi sebelumnya benarbenar normal. Defisit neurologis fokal ditandai dengan gangguan fungsi
neurologis bagian tubuh tertentu seperti wajah yang asimetris, gangguan
bicara serta kelemahan pada ektremitas atas dan bawah (Bogousslavsky dan
Caplan, 2001; Sharma et al., 2005; WHO, 2006).
Stroke merupakan sindrom klinis yang ditandai serangan defisit
neurologis sebagian atau keseluruhan karena penyebab vaskuler akibat dari
gangguan aliran darah di otak, yang menyebabkan defisit sementara atau
permanen dari fungsi satu atau beberapa area otak karena penyebab vaskuler
(Rosamond, 2008; Arroyo et al., 2009; Brandon dan Safdieh, 2009).
Stroke menurut WHO didefinisikan sebagai sindrom atau gejala klinis
yang berkembang dengan cepat berupa gangguan fungsional otak fokal
maupun global, yang berlangsung lebih dari 24 jam atau lebih, yang dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id12
menyebabkan kematian tanpa sebab yang jelas selain berasal dari vaskuler
(WHO, 2006; Arroyo et al., 2009; Alan et al., 2013; Baidya et al., 2015).
2. Epidemiologi
World Health Organization menyebutkan kasus stroke di seluruh dunia
adalah 15 juta kasus per tahun dengan persentase stroke iskemik 75 – 85%
dan hemoragik 15 – 25% kasus. Lima juta atau sekitar sepertiga dari kasuskasus stroke mengalami kematian, sepertiga menderita kecacatan atau defisit
neurologis dan sepertiga sembuh atau dengan hasil yang baik. Mayoritas
kematian akibat stroke terjadi di negara-negara miskin dan berkembang, salah
satunya adalah Indonesia. Indonesia sendiri memiliki jumlah pasien stroke
terbesar di Asia (WHO, 2006; Auriel, 2009; Bendok et al., 2011; Perdossi,
2011).
Data Riskesdas menunjukkan peningkatan prevalensi stroke di
Indonesia, yaitu 0,83% pada tahun 2007 menjadi 1,21% tahun 2013. Di
Propinsi Jawa tengah, prevalensi stroke adalah 1,23%. Saat ini penyakit
stroke, terutama stroke hemoragik menjadi penyebab kematian utama hampir
semua rumah sakit di Indonesia. Angka kematian akibat stroke di Indonesia
mencapai 15,4% dari seluruh kasus kematian. Jumlah kematian akibat stroke,
diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya karena belum adanya strategi
penanganan yang baku. Berdasarkan data rekam medis RSDM di Surakarta
tahun 2014, stroke menempati peringkat ketujuh penyebab kematian
commit to user
(Riskesdas, 2013; Kemenkes RI, 2014; RSDM, 2014).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id13
Faktor-faktor risiko yang memberikan konstribusi terjadinya serangan
stroke secara umum dibedakan menjadi 2 faktor, yaitu (Saenger dan
Christenson, 2010; Perdossi, 2011) :
a. Faktor risiko yang tidak bisa diubah (non-modifiable risk factor), antara
lain usia, jenis kelamin, suku bangsa, riwayat keluarga dan faktor genetik.
b. Faktor risiko yang dapat diubah (modifiable risk factor), meliputi
hipertensi, gagal ginjal, merokok, penyakit jantung, diabetes mellitus (DM),
obesitas, penggunaan kontrasepsi oral, konsumsi alkohol, dislipidemia,
homosisteinemia, dan kelainan koagulasi . Hipertensi merupakan faktor
risiko tertinggi terjadinya stroke, yaitu lebih dari 12,7 juta per tahun di
seluruh dunia.
3. Stroke Akut
Secara umum, stroke dibedakan menjadi 3 fase, yaitu (Wirawan, 2009;
Yew dan Cheng, 2009; Perdossi, 2011) :
a. Stroke akut, yaitu gejala defisit neurologis karena penyebab vaskuler yang
terjadi pada 2 minggu pertama pasca serangan stroke
b. Stroke subakut, yaitu gejala defisit neurologis karena penyebab vaskuler
yang terjadi pada 2 minggu - 6 bulan pasca serangan stroke
c. Stroke kronis, yaitu gejala defisit neurologis karena penyebab vaskuler
yang terjadi pada lebih dari 6 bulan pasca serangan stroke
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id14
Terdapat juga diagnosis stroke berulang atau recurrent dengan batasan
kriteria diagnosis, meliputi (Worp dan Gijn, 2007; Wirawan, 2009; Yew dan
Cheng, 2009) :
a. Defisit neurologis baru atau eksaserbasi defisit terdahulu dan bukan
disebabkan keadaan toksik atau penyakit lain.
b. Defisit neurologis baru pada sisi berbeda atau pada sisi sama dalam waktu
lebih dari 21 hari.
c. Tidak termasuk batasan ini apabila tanpa gejala atau tanda klinis neurologi
baru, walaupun pemeriksaan CT-scan atau MRI menemukan lesi baru.
Berdasarkan sifat lesi otak dan penyebab, stroke akut dapat
dikelompokkan menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stadium stroke
iskemik berdasarkan onset penyakitnya, dapat dibedakan menjadi (Worp dan
Gijn, 2007; Amarenco et al., 2009; Arroyo et al., 2009) :
a. Transient ischemic attack (TIA), yaitu disfungsi neurologis fokal maupun
retinal singkat, bersifat reversibel dan permanen yang berlangsung selama
kurang dari 24 jam sebagai akibat dari defisit asupan darah pada sistem
vaskuler otak.
b. Reversible ischemic neurological deficit (RIND) atau defisit neurologis
iskemik sepintas yang akan menghilang dalam waktu lebih lama 24 jam
(tidak lebih dari 7 hari).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id15
c. Cerebral infarction
i. Progressive cerebral infarction, merupakan infark dengan manifestasi
klinis atau gejala neurologis makin lama makin berat. Penilaian
progresifitas harus dilakukan setelah jam pertama dan paling lambat
72 jam setelah dimulainya gejala.
ii. Stable cerebral infarction, yaitu bila tidak ada perubahan gejala
selama minimal 24 jam pada sistem karotis dan 72 jam dalam sistem
vertebrobasilar.
Berdasarkan penyebab, stroke iskemik terbagi atas (Amarenco et al.,
2009; Arroyo et al., 2009; Yew dan Cheng, 2009) :
a. Stroke iskemik trombosis, merupakan penyumbatan pembuluh darah
serebral oleh trombus yang umumnya disebabkan karena aterosklerosis.
b. Stroke iskemik emboli, yaitu penyumbatan pembuluh darah serebral oleh
embolus yang berasal dari jantung. Penyebabnya antara lain atrium
fibrilasi (50%), gangguan atau penyakit katup, kardiomiopati dan infark
miokard.
Stroke hemoragik disebabkan karena kerusakan pembuluh darah di otak
dengan efusi darah di luar aliran pembuluh darah. Berdasarkan letak efusi
darah melalui pemeriksaan neuro-image, stroke hemoragik dapat dibedakan
menjadi (Arroyo et al., 2009) :
a. Intracerebral hemorrhagic merupakan kumpulan perdarahan dalam
commit to user
parenkim otak, akibat kerusakan arteri atau arteriola otak, dengan atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id16
tanpa gangguan ventrikel pada ruang subarachnoid. Angka kejadian 10 –
15% dari semua kasus stroke.
b. Subarachnoid hemorrhagic (SAH), disebabkan karena bekas trauma
sebelumnya atau tidak memiliki asal traumatis (spontan SAH).
c. Subdural and epidural haematoma, merupakan sekunder dan sebagian
besar kasus dengan trauma kepala.
4. Gejala dan Diagnosis Stroke
Setiap serangan stroke, baik hemoragik maupun iskemik, akan
menimbulkan defisit neurologis yang bersifat akut. Untuk menentukan jenis
stroke, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi gejala klinis yang muncul.
Pada stroke hemoragik dan stroke iskemik, mempunyai perbedaan gejala
klinis yang khas (Tabel 2) (Freitas et al., 2009).
Tabel 2. Perbedaan gejala stroke hemoragik dan stroke iskemik
NO
Gejala
Stroke Hemoragik
1 Onset atau awitan saat onset
Mendadak saat
aktifitas
2 Peringatan /warning
3 Nyeri kepala
+++
+
4 Kejang
5 Muntah
+
6 Penurunan kesadaran
+++
Keterangan : +
: ada gejala
: tidak ada gejala
Stroke Iskemik
Mendadak saat
istirahat
+
+/+/-
(Freitas et al., 2009)
Stroke iskemik dapat disebabkan karena trombosis dan emboli. Terdapat
perbedaan gejala klinis yang ditimbulkan dari kedua penyebab ini. Stroke
iskemik karena emboli sering menimbulkan prognosis yang buruk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id17
Gejala klinis stroke iskemik trombosis antara lain (Worp dan Gijn,
2007) :
a. Onset lambat, keluhan sering timbul pada pagi hari saat bangun tidur.
b. Didahului gejala prodromal, seperti vertigo, sakit kepala, kesemutan,
afasia dan tidak berasa pada ujung-ujung ekstremitas serta gangguan
mental.
c. Umumnya kesadaran baik, hemiparese atau hemiplegi, disatria, afasia,
mulut mencong atau merot, hemianopsia atau gejala fokal otak lainnya. Gejala
klinis stroke iskemik emboli meliputi (Worp dan Gijn, 2007):
a. Onset serangan mendadak, keluhan sering pada waktu aktivitas.
b. Gangguan motorik atau sensorik.
c. Apabila emboli besar, bisa menyebabkan delirium, pingsan, gelisah,
kejang dan penurunan kesadaran.
Penegakkan diagnosis stroke didasarkan atas hasil (Yew dan Cheng,
2009; Perdossi, 2011) :
a. Penemuan gejala klinis neurologis
i.
Anamnesis :
a) Terjadinya keluhan atau gejala defisit neurologis mendadak
b) Tanpa trauma kepala
c) Adanya faktor risiko
ii.
Pemeriksaan fisik
commit to user
a) Adanya defisit neurologis fokal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id18
b) Ditemukan faktor risiko stroke
c) Adanya kelainan pembuluh darah
iii.
Pemeriksaan jenis stroke dengan algoritma atau skor stroke
Penentuan jenis stroke dapat dilakukan dengan penilaian skor
stroke. Ada beberapa penilaian skor stroke, yaitu algoritma stroke
Gajah Mada, Djoenaedi Stroke Score (DSS) dan Siriraj Stroke Score
(SSS). Siriraj Stroke Score merupakan penilaian skor stroke yang
paling sering digunakan (Tabel 3) (Singh et al., 2001; Nyodu et al.,
2013).
Tabel 3. Variabel penilaian SSS
Variabel
Gambaran Klinis
Skor
Tingkat kesadaran
Composmentis
0
Somnolen/Stupor
1
Koma
2
Muntah/ vomiting
Tidak
0
Ya
1
Nyeri kepala/ Headache
Tidak
0
Penanda ateroma
Tidak
0
(DM, penyakit jantung)
Ya
1
(Nyodu et al., 2013).
Rumus penghitungan SSS :
(2,5 x kesadaran) + ( 2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0,1 x tekanan
distolik) – (3 x penanda ateroma) – 12
Interpetasi SSS :
a) Bila nilai SSS >1 : menunjukkan stroke hemoragik
b) Bila nilai SSS < -1: menunjukkan stroke iskemik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id19
c) Bila nilai SSS antara -1 dan 1 : masih memerlukan pemeriksan
CT- scan.
b. Pemeriksaan gold standard diagnosis stroke, yaitu dengan pemeriksaan
CT-scan atau MRI kepala. Pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala
digunakan untuk menentukan secara pasti letak dan penyebab atau jenis
stroke, yaitu hemoragik atau iskemik. Hasil pemeriksaan CT-scan kepala
stroke hemoragik menunjukkan gambaran hipodens.
Computed tomography-scan merupakan test diagnostik dengan
menggunakan sinar X yang dapat mendeteksi perdarahan intrakranial, lesi
pada rongga otak atau space occupying lesions (SOL), edema serebral,
adanya perubahan struktur otak serta dapat untuk mengidentikasi infark,
hidrosefalus dan atrofi otak. Pemeriksaan CT-scan dapat dengan mudah
menentukan lokasi, ukuran dan tingkat keparahan stroke hemoragik.
Terdapat berbagai macam jenis CT-scan, tetapi yang paling sering
digunakan adalah non-contrast computed tomography (NCCT) (Fisher,
2009; Perdossi, 2011).
Sensitivitas CT-scan untuk deteksi hemoragik dapat dipengaruhi
oleh waktu onset, yaitu 98 – 100% pada 12 jam pertama setelah onset,
93% pada 24 jam dan 57 – 85% setelah onset 6 hari (Duncan dan Lo,
2011). Pada era sebelum digunakannya CT-scan, seringkali kasus stroke
hemoragik dengan minimal perdarahan diklasifikasikan sebagai stroke
commit to user
iskemik (Carhuapoma et al., 2010).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id20
Gambaran CT-scan pada stroke hemoragik akan menunjukkan
adanya area berwarna putih (dense), baik di parenkim, subarakhnoid
maupun subdural. Gambaran CT-scan dari jenis stroke hemoragik, sebagai
berikut (Llinas, 2007; Nyodu et al., 2013) :
i.
Epidural hematom, yaitu pendarahan pada daerah antara duramater
dan tulang cranium. Gambaran hiperdens bikonvek, tanpa melewati
sutura.
ii.
Subdural hematom, yaitu pendarahan ada di antara duramater
dengan arachnoidmater. Gambarannya bentuk hiperden dengan
bentuk kovek sampai konkaf.
iii.
Subarachnoid hematom berarti pendarahannya ada di cavum
subarachnoid. Pendarahan masuk ke dalam sulkus, sehingga
gambaran hiperden pada sulkus.
iv.
Intraserebral
hematom,
merupakan
pendarahan
terjadi
pada
parenkim otak. Gambaran CT-scan cysterna melebar.
Gambaran CT-scan pada stroke iskemik yaitu adanya gambaran
pendangkalan sulkus serebri (sulcal effacement), menghilangnya batas
substansia alba dan substansia grisea serebri, hipodensitas insula serebri,
hipodensitas nukleus lentiformis, hiperdensitas arteri serebri media. Pada
infark lama, batasnya tegas, sedangkan pada infark baru, batasnya samar
(Freitas et al., 2009; Nyodu et al., 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id21
c. Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang (Yew dan Cheng, 2009; Perdossi,
2011) :
i.
Electrocardiography (ECG), yaitu untuk mengetahui ada atau
tidaknya kelainan jantung pada pasien stroke, dilakukan selama 48
jam sejak kejadian stroke.
ii.
Foto thorak, dilakukan pada semua pasien stroke untuk mengetahui
adanya kelainan paru.
iii.
Pemeriksaan laboratorium, meliputi pemeriksaan darah rutin, laju
endap darah (LED), protrombine time (PT), activated partial
thromboplastin time (APTT), kadar glukosa darah, pemeriksaan
fungsi ginjal dan fungsi hati, profil lipid, meliputi kolesterol total,
low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL),
trigliserida, pemeriksaan elektrolit, troponin-I dan creatine kinaseMB (CKMB). Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan apabila
dicurigai adanya hipoksia. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
untuk mengindentifikasi kelainan sistemik yang dapat menyebabkan
stroke atau untuk melakukan pengobatan spesifik pada pasien stroke.
Saat ini telah ditemukan beberapa penanda biokimia cedera sel otak
dan iskemia otak yang dapat membantu diagnosis dini stroke dan
dapat untuk membedakan stroke hemoragik dan iskemik antara lain
protein S-100B, NSE, FABP, GFAP, PARK7 dan NDKA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id22
Protein S-100B merupakan protein pengikat kalsium (Ca)
asidik dengan berat molekul 10 – 12 kiloDalton (kDa) dan waktu
paruh biologis sekitar 1 jam yang ditemukan dalam konsentrasi
tinggi pada sitosol sel glial dan sel schwann, melanosit, adiposit, dan
kondrosit. Protein S-100B dimetabolisme di ginjal dan diekskresikan
melalui urin. Protein S-100B dapat digunakan sebagai penanda dini
stroke apabila digunakan sebagai panel bersama dengan penanda
yang lain (Pelinka, 2004; Immanuel dan Utami, 2009; Jensen et al.,
2009).
Neuron specific enolase adalah enzim glikolitik dengan berat
molekul 78 kDa, waktu paruh biologis 48 jam merupakan penanda
biokimia untuk diagnosis dan prognosis stroke dan cedera kepala
bila digunakan dengan penanda lain. Neuron specific enolase
ditemukan dalam sitoplasma neuron, trombosit, eritrosit, sel
neuroendokrin perifer dan pada tumor tertentu yang terkait dengan
serapan prekursor amina, seperti oat cell carcinoma di paru,
neuroblastoma, melanoma (Pelinka, 2004; Jensen et al., 2009).
Fatty acid binding protein merupakan protein sitoplasmik yang
berperan dalam sistem transpor intraseluler oksidasi asam lemak dan
membran lipid yang dilepaskan dengan cepat ke dalam sirkulasi oleh
sel yang rusak dan diekskresi oleh ginjal dengan waktu paruh di
commit to user
plasma 20 menit. Terdapat beberapa jenis FABP, diantaranya brain-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id23
FABP (B-FABP) terdapat pada sel neuronal dan glial, sedangkan
jenis heart-FABP (H-FABP) dapat ditemukan di otak, otot jantung,
endotel, paru, dan ginjal (Zimmermann et al., 2004; Immanuel dan
Utami, 2009; Jensen et al., 2009).
Parkinson 7 dan NDKA merupakan protein yang ditemukan
dalam jumlah besar pada CSF postmortem yang diekspresi pada
berbagai jaringan, termasuk otak dan jantung. Fungsi protein ini
belum
diketahui
dengan
pasti,
tetapi
beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa protein ini berperan dalam perlindungan
terhadap stres oksidatif (Immanuel dan Utami, 2009; Jensen et al.,
2009).
Untuk membedakan diagnosis stroke hemoragik dan stroke
iskemik, ditentukan dari hasil pemeriksaan CT-scan atau MRI (Fisher,
2009; Perdossi, 2011).
5. Patogenesis Stroke
Otak hanya terdiri dari 2% dari massa tubuh. Otak membutuhkan
hingga 20% dari output jantung dan tergantung dari suplai oksigen dan
glukosa yang terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya.
Secara fisiologis, otak mendapat suplai darah 50 – 60 ml/100 gram
otak/menit. Darah merupakan sarana transportasi oksigen, nutrisi dan bahanbahan lain yang sangat diperlukan untuk mempertahankan fungsi penting
commit to user
jaringan otak dan mengangkut sisa metabolik. Terhenti atau berkurangnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id24
aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF) secara mendadak,
menyebabkan
keterbatasan
kemampuan
dalam
mengkompensasi
dan
meminimalkan tersedianya energi. Apabila aliran darah ke otak kurang dari 16
– 18 ml/100 gram jaringan otak/menit maka akan menyebabkan infark dalam
satu jam dan bila kurang dari 20 ml/100 gram jaringan otak/menit
menyebabkan iskemik tanpa infark. Kematian jaringan otak akan terjadi bila
aliran darah serebral tidak ada sama sekali dalam 4 – 10 menit (Graham dan
Hickey, 2002; Warlow et al., 2007).
a. Stroke Hemoragik
Penyebab paling sering stroke hemoragik adalah hipertensi kronik
yang menyebabkan lemahnya dinding pembuluh darah sehingga
menyebabkan ruptur pembuluh darah otak. Kerusakan otak pada stroke
hemoragik terdiri dari tiga fase, yaitu (Qureshi, 2009; Wei et al., 2010) :
i.
Fase pertama atau perdarahan awal, yaitu pada jam-jam pertama
setelah serangan stroke hemoragik akan terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik yang mempengaruhi pembentukan edema perihematom.
Meningkatnya permeabilitas SDO menyebabkan protein molekuler
berpindah ke ruang ekstraseluler dan pengaruh gradien osmotik akan
membawa air masuk ke parenkim otak, terjadilah edema vasogenik.
ii.
Fase kedua atau perluasan hematom, yaitu 24 – 48 jam akan terjadi
retraksi klot dan aktivasi kaskade koagulasi, sehingga membentuk
commit to user
trombin yang mengaktivasi edema dan semakin merusak SDO.
perpustakaan.uns.ac.id
iii.
digilib.uns.ac.id25
Fase ketiga atau edema peri hematom, yaitu terjadi aktivasi kaskade
komplemen, saat eritrosit mulai lisis, hemoglobin dan produk
degradasi akan merusak parenkim otak karena proses inflamasi
sehingga terjadi edema sitotoksik (Gambar 1 dan 2).
Hematoma
Edema
Perihematom
Complement
activation
3a
Membrane attack complex
formation
3b
Erytrocyte lysis
Hemoglobin+iron+bilirubin
by products
Cytotoxic edema
1
Expanding
hematoma
Hydrostatic pressure
Blood-brain barrier
(BBB)
Increased BBB permeability
Water in
Protein influx
Osmotic preeure
gradient
2
Clot activation
Coagulation cascade activation
Thrombin formation
Diseruption of BBB
Gambar 1. Skema patogenesis edema perihematom (Wei et al., 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Hematoma
digilib.uns.ac.id26
Neuronal and glial
mechanical
diseruption, oligaemia
or ischaemia
Glutamat
e release
Neuronal and
glial mechanical
stretch
Calcium influx,
mitochondrial
failure
Sodium
accumulation,
cytotoxic
oedema, necrosis
Oxygen
free
radicals
Thrombin,
ferrous iron,
haemin,
halotransferin
release
MMP
Microglia
activation
AQ-4 expression in
astrocytes,
breakdown of
connective tissue in
BBB,expression of
adhesion molecules
Complement
factors
Increase BBB
permeability,
vasogenic
oedema
Recruitment
of PMNs and
macrophages
TNF--α
TNF-α
IL-1β
Caspase activation,
apoptosis in
neurons and glia
Cytochrome C
Gambar 2. Proses kerusakan otak pada stroke hemoragik (Qureshi, 2009)
Pada fase akut, keluarnya darah dari pembuluh yang pecah akan
menyebabkan terbentuknya hematoma. Setelah terbentuk klot, jaringan
otak akan mengalami reperfusi. Pada saat reperfusi akan terjadi respon
inflamasi dan pelepasan sitokin inflamasi. Setelah 14 hari, hematoma akan
mengecil karena sel-sel eritrosit yang lisis akan difagosit oleh makrofag,
dan aliran darah otak kembali normal. Lisis eritrosit dapat menyebabkan
edema otak dalam waktu 72 jam (Gambar 3) (Bogousslavsky dan Caplan,
2001; Carhuapoma et al., 2010; Saenger dan Christenson, 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id27
Gambar 3. Stadium perubahan aliran darah otak pada stroke hemoragik
(Carhuapoma et al., 2010).
Perdarahan jaringan otak pada stroke hemoragik secara lokal akan
menginduksi heme oxygenase 1 (HO-1). Hemoglobin dapat menyebabkan
kerusakan otak melalui produk degradasinya yang membentuk hydrogen
peroxide (H2O2). Pada stroke hemoragik maupun stroke iskemik terjadi
peningkatan ekspresi enzim HO (Dohi et al., 2005; Wang dan Dore, 2007;
Mendez et al., 2013; Li et al., 2014).
Pada stroke hemoragik, glutamat juga berpengaruh terhadap
kerusakan di sekitar sel neuron yang mati. Saat terjadi perdarahan, kadar
glutamat di dalam plasma tinggi secara cepat kemudian berdifusi ke dalam
parenkim otak dan merusak oligodendrosit. Glutamat diambil oleh neuron
dan sel glia yang kemudian menstimulasi glikolisis dan memproduksi
asam laktat. Asam laktat yang tinggi akan menurunkan derajat keasaman
dan sangat potensial merusak sel neuron maupun glia. Jumlah ikatan
reseptor glutamat yangcommit
berlebihan
to user menyebabkan
penumpukan ion
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id28
kalsium (Ca2+) dalam sel dan proses inflamasi sehingga sel mati secara
nekrosis atau apoptosis (Gambar 4) (Kenneth, 2003; Chang et al., 2005).
Gambar 4. Penyebab kerusakan sel otak akibat stroke hemoragik (Kenneth, 2003)
b. Stroke iskemik
Stroke iskemik disebabkan karena berkurang atau terhentinya aliran
darah ke otak akibat oklusi karena trombus atau emboli sehingga terjadi
gangguan perfusi atau iskemik pada jaringan otak. Gangguan aliran darah
dapat menyebabkan kerusakan saraf irreversibel. Stroke iskemik diawali
serangkaian fase yang muncul akibat kaskade iskemik. Waktu masingmasing fase sangat heterogen dan tergantung berbagai faktor seperti
ukuran infark, onset dan durasi iskemik, serta efektifitas reperfusi. Fase
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id29
iskemik diawali dengan hipoperfusi serebral mendadak dan diikuti
kegagalan bioenergik seluler, eksitotoksik, stres oksidatif, kerusakan
SDO, cedera mikrovaskuler, aktivasi hemostatik serta inflamasi dan
nekrosis pada neuronal, glial dan sel endotel (Gambar 5) (Auriel, 2009;
Brouns dan De Dyen, 2009; Singhal et al., 2011).
Gambar 5. Kaskade iskemik (Singhal et al., 2011)
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian
inti (core) dan area penumbra iskemik (Gambar 6). Core iskemik
merupakan bagian sentral dan terberat tingkat iskemik. Pada area
penumbra, aliran darah otak masih bertahan 30 – 40% dari normal,
sedangkan di area core iskemik sekitar 5 – 10%. Pada daerah core
iskemik, kematian sel karena eksitoksisitas dan nekrosis dapat terjadi
dalam waktu hitungan menit dan bersifat irreversibel oleh karena tidak
adanya reperfusi yang adekuat pada area tersebut (Singhal et al., 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id30
Gambar 6. Daerah regional otak iskemik (core dan penumbra)
(Singhal et al., 2011)
Mekanisme iskemik secara umum dapat dibagi menjadi 5 kategori,
yaitu trombosis, emboli, hipoperfusi sistemik, arteri obliterasi luminal, dan
kongesti vena. Trombosis vena serebral dapat menyebabkan kongesti
vaskuler, penurunan aliran darah dan akhirnya infark. Proses trombosis
berawal dari rusaknya lapisan endotel pembuluh darah karena adanya plak
aterosklerotik
yaitu
plasminogen
activator
protrombotik
inhibitor-1
yang
(PAI-1)
meningkatkan
dan
faktor
ekspresi
jaringan.
Terpaparnya struktur sub endotel secara langsung oleh aliran darah
mengakibatkan proses adhesi, yaitu trombus melekat pada struktur sub
endotel (Brandon dan Safdieh, 2009; Fisher, 2009).
Proses adhesi ini mengakibatkan platelet teraktivasi dan berubah
bentuk. Platelet yang teraktivasi akan melepaskan beberapa bahan kimia,
antara lain adenosin difosfat (ADP), arachidonic acid (AA) dan bahan
eikosanoid lainnya, seperti prostaglandin F2α (PGF2α) dan serotonin,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id31
yang mengakibatkan vasokonstriksi dan agregasi platelet, sehingga
menyebabkan hipoksia serebri dan penurunan glukosa, sehingga iskemik
atau infark serebri karena berkurangnya aliran darah ke otak (Brandon
dan Safdieh, 2009; Fisher, 2009; Saenger and Christenson, 2010).
Penurunan aliran darah otak yang cepat pada core iskemik
menyebabkan kegagalan asupan energi, penurunan kadar adenosine
triphosphate
(ATP)
dan
glukosa
serta
menyebabkan
gangguan
homeostasis osmotik pada sel-sel di area tersebut. Penurunan kadar ATP
akan mempengaruhi aktifitas natrium-kalium ATPase (Na-K ATPase),
yang mengkonsumsi lebih dari 70% ATP seluler. Penurunan aktivitas Na2+
K ATPase dan peningkatan Na seluler akan menyebabkan influks Ca
melalui Na-Ca exhanger dan Ca-magnesium (Mg) ATPase. Peningkatan
Na akan menyebabkan sel otak menjadi bengkak atau edema vasogenik
yang dapat terjadi pada 24 jam pertama hingga hari keempat setelah onset
stroke iskemik (Worp dan Gijn, 2007; Auriel, 2009; Fisher, 2009).
Peningkatan kadar Ca2+ sitosolik akan menyebabkan kadar Ca2+ di
mitokrondria berlebihan dan terjadi aktivasi protease dan phospholipase.
Keadaan ini, menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria, gangguan
keseimbangan ion dan hilangnya integritas membran akan menyebabkan
peningkatan kadar reactive oxygen species (ROS) seperti superoxide dan
H2O2 sehingga terjadi kerusakan pada lipid, protein dan deoxyribonucleic
commit to user
acid (DNA). Secara normal, radikal bebas oksigen akan diproduksi oleh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id32
mitokondria selama proses transport elektron. Peningkatan kadar Ca2+, Na
dan ADP di intraseluler akan menstimulasi produksi radikal oksigen yang
berlebihan di mitokondria (Worp dan Gijn, 2007; Singhal et al., 2011).
Sel yang membengkak karena influks cairan ke dalam sel, akan
mengalami ruptur membran plasma dan menyebabkan keluarnya
kandungan seluler ke jaringan sekitar sehingga memicu terjadinya respon
inflamasi. Kerusakan parenkim akibat iskemik akan mengaktifkan
mediator inflamasi seperti mikroglia, makrofag dan leukosit. 12 – 24 jam
setelah iskemik, akan didapatkan peningkatan radikal bebas, ekspresi
kemokin dan sitokin seperti interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, tumor necrosis
factor alpha (TNF-α), yang dapat mengkatalisis kerja enzim HO yang
akan mengkonversi heme menjadi biliverdin, ion ferro (Fe2+) dan
karbonmonoksida (CO) yang kemudian terbentuk H2O2 (Maines, 2000;
Mendez et al., 2013).
Enzim HO mempunyai 2 isoform yaitu HO-1 dan HO-2. Enzim
HO-1 merupakan enzim yang dapat terinduksi oleh heme dan substratnya,
sedangkan HO-2 merupakan enzim konsititutif dan tidak dapat terinduksi.
Enzim HO-1 terdapat pada beberapa sel yang lebih spesifik di saraf seperti
mikroglia dan makrofag, merupakan suatu heat shock protein 32 (hsp32)
atau suatu akut fase reaktan yang dapat diinduksi oleh sitokin, logam
berat, hipoksia dan radikal bebas. Pada stroke iskemik, akan terjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id33
induksi enzim HO-1 yang akan memicu terjadinya stress oksidatif dan
kerusakan SDO (Maines, 2000; Dohi et al., 2005; Auriel, 2009).
Defisit energi juga akan menyebabkan gangguan keseimbangan
ionik
serta
glutamat
eksitoksisitas.
Glutamat
merupakan
suatu
neurotransmiter yang akan berikatan dengan ionotropik reseptor N-methylD-aspartate
(NMDA)
dan
α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA) yang akan memicu influks Ca,
pelepasan phospolipase serta protease yang berlebihan. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadi kerusakan membran dan protein lain yang menjaga
integritas seluler, sehingga terjadi kematian sel (Gambar 7 dan 8)
(Brandon dan Safdieh, 2009; Fisher, 2009; Singhal et al., 2011).
Gambar 7. Mekanisme kematian sel pada stroke iskemik (Singhal et al., 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id34
Gambar 8. Proses iskemik otak (Singhal et al., 2011)
Pada area penumbra iskemik, integritas seluler masih terjaga dan
energi masih mencukupi, dan mekanisme kematian sel terjadi secara
apoptosis. Apoptosis terjadi dipicu oleh produksi radikal bebas, TNF,
defisiensi growth factor, induksi protein 53 (p53) dan pelepasan
cytochrome c selama proses kerusakan mitokondria pada saat iskemik
serebral (Worp dan Gijn, 2007; Auriel, 2009).
B. Sel Glia Otak
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, CSF dan pembuluh darah. Anatomi pembuluh darah otak
dibagi menjadi dua bagian yaitu anterior (carotid system) dan posterior
(vertebrobasiler system). Pada setiap sistem terdapat arteri-arteri ekstrakranial,
arteri-arteri intrakranial dan arteri-arteri perforantes (Fisher, 2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id35
Gambar 9. Sel glia pada otak (Fisher, 2009)
Sel-sel glia atau neuroglia adalah sel-sel non neuronal yang mempunyai
fungsi utama sebagai sel pendukung neuron. Fungsi lain adalah mengatur suasana
internal otak, khususnya cairan di sekitar neuron, sinap dan menyediakan nutrisi
yang cukup untuk sel-sel saraf. Sel glia juga berperan dalam pertumbuhan neuron
sebagai sel pemandu migrasi pada awal pertumbuhan dan memproduksi molekulmolekul yang memodifikasi pertumbuhan axon dan dendrit (Michael dan Harry,
2010).
Ada 2 tipe sel glia, yaitu mikroglia dan makroglia. Mikroglia mempunyai
kemampuan sebagai fagosit yang melindungi neuron pada SSP. Sel ini relatif
kecil dibandingkan sel-sel makroglia dan hanya merupakan 35% dari total sel glia
dalam SSP. Sel ini ikut bergerak dengan otak dan mengalami multiplikasi bila
otak mengalami cedera. Makroglia terdapat pada sebagian besar SSP, meliputi
astrosit atau astroglia, oligodendroglia, sel-sel ependym dan radial glia, sedangkan
yang terdapat pada sistem saraf tepi yaitu sel schwan dan sel satelit (Nedergaard
et al., 2003; Michael dan Harry,commit
2010). to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id36
1. Astrosit atau Astroglia
Astrosit adalah sel yang paling awal responsif ketika terjadi iskemik
otak dan merupakan tipe sel non-neuronal terbanyak pada SSP yang
memenuhi 50% dari volume otak manusia. Astrosit dibagi menjadi 2 subtipe,
yaitu astrosit protoplasmik dan fibrous, keduanya berbeda dalam hal
morfologi seluler dan lokasi anatomis. Astrosit protoplasmik memiliki
cabang-cabang prosesus pendek, tebal dan bercabang banyak, letaknya di
substansia grisea. Astrosit fibrous mempunyai prosesus panjang, tipis, dan
sedikit bercabang, terletak di substansia alba (Chen dan Swanson. 2003;
Michael dan Harry, 2010).
Astrosit memiliki berbagai fungsi penting, yaitu untuk aktivitas
neuronal normal meliputi pengambilan glutamat, pelepasan glutamat, buffer
ion kalium (K+) dan ion hidrogen (H+) serta transport air. Astrosit menjaga
suplai darah neuron, meregulasi lingkungan kimia eksternal neuron dengan
mengeliminasi
ion-ion
yang
berlebih,
mendaur
ulang
pelepasan
neurotransmiter pada sinap selama aktifitas transmisi dan merupakan bahan
utama pada jaringan SDO (Chen dan Swanson. 2003).
Astrosit juga berfungsi sebagai mediator utama saat terjadi perubahan
aliran darah otak yang berespon dengan mengubah aktivitas neuronal. Saat
terjadi aktivitas sinaptik, prosesus astrosit mempertahankan aliran darah,
homeostasis transmiter, cairan ion dan pH. Astrosit banyak mengandung
commit to user
aquaporin (AQP) yang merupakan jalur primer pergerakan air dan mengatur
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id37
respon astrosit terhadap perubahan osmotik, sehingga sangat berperan dalam
proses pembentukan edema otak vasogenik maupun sitotoksik (Chen dan
Swanson, 2003; Nedergaard et al., 2003; Schummers et al., 2008).
Peranan astrosit pada SSP yang sehat, meliputi (Gambar 10) (Michael
dan Harry, 2010) :
1. Sinap
a. Astrosit melepaskan laktat sebagai substrat energi, glutamin dan
glutamat sebagai pencetus transmiter, ATP dan adenosin sebagai
purin, brain-derived neurotrophic factor (BDNF) sebagai faktor
pertumbuhan, neurosteroid.
b. Astrosit berperan dalam uptake K+, air (H2O) dan transmiter seperti
glutamat, gamma-aminobutyric acid (GABA), glisin.
2. Pembuluh darah
a. Astrosit melepaskan prostaglandin E (PGE) dan nitric oxide (NO)
yang berperan sebagai dilatasi pembuluh darah, AA berperan sebagai
kontraksi dan SDO sebagai faktor induksi.
b. Astrosit berperan dalam uptake glukosa dan H2O
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id38
Gambar 10. Peranan astrosit pada SSP sehat (Michael dan Harry, 2010)
Gangguan fungsi astrosit akan mempengaruhi kelangsungan hidup
neuron selama proses iskemik dan cedera otak lain. Astrosit juga berpengaruh
pada pertumbuhan neurit atau akson dan proses penyembuhan otak pasca
cedera (Michael dan Harry, 2010).
2. Astrogliosis
Astrosit seperti sel yang lain, sangat rentan terhadap ROS sebagai
akibat dari iskemik dan reperfusi. Reactive oxygen species dihasilkan oleh
ketidakseimbangan oksigen-glukosa sepintas yang menyebabkan depolarisasi
membran
mitokondria
astrosit
dan
transisi
permeabilitas
membran
mitokondria. Berkurangnya aliran darah otak, menyebabkan gangguan fungsi
pompa ion astrosit dan mengganggu homeostasis yang ditandai dengan
to user
kenaikan Ca2+ intrasel dancommit
K+ ekstrasel.
Gangguan homeostasis ion ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id39
menyebabkan aliran pasif air ke dalam astrosit, sehingga terjadi edema
vasogenik. Astrosit berperan dalam proses edema otak vasogenik maupun
sitotoksik (Chen dan Swanson, 2003; Simard dan Nedergaard, 2004).
Glikogen adalah sumber energi utama di otak dan tersimpan dominan
di astrosit sehingga adanya gangguan fungsi sel menyebabkan iskemik sel
otak semakin berat. Beberapa jam setelah cedera otak, astrosit pada daerah
tersebut menjadi hipertrofi dan proliferasi yang disebut astrogliosis reaktif.
Astrogliosis reaktif merupakan suatu perubahan molekular, selular dan
fungsional pada astrosit yang muncul sebagai respon terhadap segala bentuk
cedera pada SSP. Respon ini terjadi karena perpindahan mikroglia dan
makrofag pada daerah yang iskemik. Astrosit reaktif ini akan melepaskan
protein struktural seperti GFAP dan vimentin serta protein lain, diantaranya
superoxide dismutase, gluthation peroxidase dan metalothionein. Peningkatan
kadar GFAP serum merupakan pertanda astrosit reaktif dan berperan dalam
mengurangi dan membatasi perlukaan glial selama perpanjangan akson
(Pelinka et al., 2004; Sofroniew, 2009; Michael dan Harry, 2010).
Beberapa jenis sinyal molekul interseluler yang dapat memicu atau
meregulasi astrogliosis reaktif, antara lain (Gambar 11) (Michael dan Harry,
2010) :
1. Large polypeptide growth factor, sitokin seperti IL-6, leukemia inhibitory
factor (LIF), ciliary neurotrophic factor (CNTF), TNF-α, intermediatecommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id40
range nuclear forces (INF), IL-1, IL-10, tumor growth factor-β (TGF-β),
fibroblast growth factor 2 (FGF2), dan lain-lain.
2. Mediators of innate immunity, seperti lipopolysaccharide (LPS) dan tolllike receptor (TLR) ligand.
3. Neurotransmitter, seperti glutamat dan noradrenalin.
4. Purin, seperti ATP
5. Reactive species oxygen, meliputi NO
6. Hipoksia dan kehilangan glukosa
7. Produk yang berkaitan dengan neurodegenerasi, seperti β-amiloid
8. Molekul-molekul yang berkaitan dengan toksisitas metabolik sistemik,
seperti ion ammonium (NH4+)
9. Regulator proliferasi, seperti endotelin-1.
commit
to user
Gambar 11. Faktor pencetus dan
regulasi
astrosit reaktif (Michael dan Harry, 2010)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id41
C. Glial Fibrillary Acidic Protein
1. Definisi dan Fungsi GFAP
Konsep tentang protein spesifik otak atau “brain-specific proteins”
digunakan untuk zat yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada SSP dan
dalam konsentrasi sangat rendah atau tak terdapat pada organ lain. Saat ini
dikembangkan penanda biokimia darah yang dapat digunakan untuk diagnosis
dini dan prognosis untuk stroke antara lain protein S-100B, NSE, FABP,
GFAP, PARK7 dan NDKA. Neuron specific enolase merupakan penanda
paling established untuk kerusakan saraf, sedangkan GFAP dan S100B
adalah yang paling established untuk cedera sel glial. Penurunan aliran darah
serebral secara transien atau permanen akan menyebabkan peningkatan
ekspresi GFAP (Nylen, 2007; Immanuel dan Utami, 2009: Jensen et al.,
2009).
Glial fibrillary acidic protein merupakan protein spesifik astrosit otak
atau protein filamen intermediet monomer dengan berat molekul sekitar 50
kDa dan waktu paruh biologis 16 – 18 jam. Kadar GFAP serum normal adalah
kurang dari 0,033 μg/l atau 0,033 ng/ml. Glial fibrillary acidic protein hanya
ditemukan dan diekspresi di sitoskeleton astrosit pada sel glial SSP serta tidak
dijumpai pada jaringan lain di luar SSP. Pada populasi individu sehat, kadar
GFAP sangat rendah sehingga pada sebagian besar individu tidak terdeteksi.
Glial fibrillary acidic protein juga meningkat, terutama pada trauma kepala,
commit to user
tumor otak, infeksi intrakranial, ensefalitis atau ensefalopati, karena terjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id42
kerusakan pada astrosit (Herrmann dan Vos, 2000; Pelinka, 2004; Immanuel
dan Utami, 2009; Jensen et al., 2009; Mayer et al., 2013).
Pemeriksaan kadar GFAP banyak digunakan dalam neuropatologi
sebagai penanda imunohistokimia gangguan sel glial, dan untuk cedera sel
otak. Peningkatan kadar GFAP mengindikasikan terjadinya perdarahan
intraserebral pada pasien dengan gejala stroke akut dan sebagai tanda
terjadinya kerusakan SSP (Pelinka at al., 2004; Nylen, 2007).
2. Pelepasan GFAP
Glial fibrillary acidic protein merupakan protein astroglial dan telah
diidentifikasi sebagai penanda biokimia yang potensial untuk penanda cedera
sel otak terutama pada stroke hemoragik. Respon terhadap cedera otak, akan
menyebabkan astrosit menjadi reaktif yang disebut astrogliosis yang ditandai
dengan ekspresi GFAP yang cepat dan banyak oleh sel astrosit. Sel astrosit
akan mengalami proliferasi, hipertropi dan membentuk filamen intermediet.
Astrosit merupakan penyusun SDO, maka bila terjadi kerusakan pada astrosit
akan menyebabkan GFAP lebih banyak beredar di dalam darah. Setelah
terjadi cedera otak pada SSP, misalnya trauma atau stroke, terjadi disintegrasi
astrosit yang diikuti leakage GFAP di CSF (Nylen, 2007; Immanuel dan
Utami, 2009).
Pemeriksaan kadar GFAP pada CSF dijadikan sebagai indikator
kerusakan SSP. Penelitian Hayakawa et al. (1979) mengamati peningkatan
commit to user
kadar GFAP pada CSF pasien stroke akut hemoragik. Peningkatan kadar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id43
GFAP pada CSF terjadi pada hari 1 – 2 setelah cedera otak akut dan kembali
normal setelah 1 – 2 minggu. Pelepasan GFAP lebih cepat pada sroke
hemoragik karena adanya perluasan perdarahan intraserebral. Pada stroke
iskemik, pelepasan GFAP bertahap atau lebih lambat (Pelinka, 2004).
Penelitian Missler et al. (1999) merupakan penelitian pertama yang
mengukur kadar GFAP pada darah. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa
GFAP akan dilepaskan ke sirkulasi darah segera setelah terjadi cedera otak
berat. Penelitian kadar serum GFAP pada pasien stroke, saat ini belum banyak
dilakukan.
Destruksi SDO dan sel astrosit glial pada stroke hemoragik terjadi lebih
cepat, sehingga peningkatan kadar serum GFAP terjadi lebih awal. Penelitian
Foerch et al. (2006), mengobservasi dan menganalisa peningkatan kadar
serum GFAP pada pasien stroke hemoragik dan stroke iskemik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kadar serum GFAP pada pasien stroke
hemoragik, meningkat lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi dibandingkan
pada stroke iskemik. Kadar GFAP meningkat melebihi nilai rujukan dalam 8
jam setelah serangan iskemik sampai 4 hari. Tujuh hari setelah serangan
iskemik akan terjadi penurunan ekspresi GFAP (Foerch et al., 2006; Nylen,
2007; Immanuel dan Utami, 2009; Mayer et al., 2013).
Penelitian Herrmann dan Vos. (2000) menjelaskan adanya delayed
release GFAP pada pasien stroke iskemik, yang mungkin disebabkan karena
commit to user
pelepasan GFAP yang bertahap dari sel-sel glial yang mengalami nekrosis.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id44
Kadar puncak pada stroke iskemik adalah hari kedua sampai hari keempat
(Gambar 12).
Gambar 12. Grafik peningkatan GFAP serum pasien stroke iskemik
(Herrmann et al., 2000)
Penelitian Dvorak et al. (2009) menyatakan kadar GFAP serum pasien
stroke hemoragik mulai meningkat setelah 2 jam onset dan mencapai puncak
6 – 8 jam setelah onset dan akan mulai menurun 24 – 48 jam setelah onset.
Kadar GFAP serum pasien stroke iskemik secara konstan terdeteksi di bawah
batas rujukan sebelum 24 jam onset serangan stroke. Setelah 48 jam akan
meningkat dan mencapai kadar puncak (Gambar 13)
Gambar 13. Grafik kadar GFAP serum pada stroke hemoragik dan stroke
iskemikto(Dvorak
commit
user et al., 2009)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id45
Karena kerusakan mendadak pada SDO disertai kerusakan otak yang
lebih mendadak, GFAP terdeteksi di serum pada stroke hemoragik fase akut,
tetapi tidak pada stroke iskemik. Pada stroke iskemik integritas struktur selsel otak dan SDO dapat bertahan lebih lama. Kematian sel akibat nekrotik
terjadi 6 – 12 jam setelah oklusi pembuluh darah. Pelepasan protein astroglial
GFAP mencapai puncak setelah 48 – 72 jam setelah onset stroke iskemik.
Kadar GFAP serum yang tinggi pada 6 – 12 jam setelah onset,
mengindikasikaan adanya stroke hemoragik, sehingga GFAP dapat digunakan
sebagai penanda diagnostik yang sangat cepat pada pasien stroke akut (Foerch
et al., 2012).
Tabel 4. Perbandingan beberapa penanda biokimia stroke
Penanda Awal Peningkatan sampai
Makna
Lamanya
Kadar Puncak Pasca
Peningkatan
Kadar
Onset
Protein
24 jam (iskemik)
55 – 56 jam Prediksi luas lesi, defisit
neurologis, outcome
S-100B
NSE
2 jam (iskemik)
7 – 18 jam Diagnosis dini, prediksi
luas lesi, defisit
neurologis, outcome
FABP
20 menit
12 jam
Diagnosis dini
PARK 7
3 jam
5 hari
Diagnosis dini
NDKA
3 jam
5 hari
Diagnosis dini
GFAP
Iskemik : awal
Diagnosis dini, prediksi
peningkatan 6 – 12 jam;
4 – 7 hari luas lesi, defisit neurologi,
kadar puncak 2 – 4 hari
membedakan stroke
Hemoragik : awal
24 – 48 jam hemoragik dan iskemik
peningkatan 2 – 4 jam dan
kadar puncak 6 – 8 jam
Keterangan : NSE=neuron specific enolase; FABP=fatty acid binding protein;
PARK7=parkinson 7; NDKA=nucleoside diphosphate kinase A; GFAP=glial
fibrillary acidic protein
(Dvorak et al., 2009; Immanuel dan Utami, 2009; Foerch et al., 2012 )
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id46
3. Metode Pemeriksaan GFAP
Pemeriksaan
immunohistochemical
kadar
dan
GFAP
immunoassay.
dapat
dilakukan
metode
Immunohistochemical adalah
suatu metode kombinasi dari anatomi, imunologi dan biokimia untuk
mengidentifikasi komponen jaringan yang memiliki ciri tertentu dengan
menggunakan interaksi antara antigen target dan antibodi spesifik yang diberi
label atau suatu cara pemeriksaan untuk mengukur derajat imunitas atau kadar
antibodi atau antigen dalam sediaan jaringan. Immunohistochemical dapat
mendeteksi sangat baik dan menunjukkan secara tepat di dalam jaringan mana
protein tertentu yang diperiksa bahkan dapat memeriksa ekspresi protein
dalam struktur otak tertentu. Kekurangan immunohistochemical adalah kurang
spesifik terhadap protein tertentu tidak seperti metode imunoblotting yang
dapat mendeteksi berat molekul protein dan sangat spesifik terhadap protein
tertentu (Orsini et al., 2007).
Gambar 14. Glial fibrillary acidic protein dengan pengecatan imunohistokimia
commit
to user
fluorophore
(Orsini
et al., 2007).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id47
Immunoassay merupakan tes biokimia yang mengukur konsentrasi
suatu substansi dalam cairan, berupa serum darah atau air seni dengan melihat
reaksi antibodi terhadap antigennya. Ada beberapa tipe immunoassay untuk
pemeriksaan GFAP yaitu ELISA, ECLIA dan DELFIA (Immanuel dan
Utami, 2009).
Electrochemiluminescence immunoassay adalah merupakan salah satu
tipe immunoassay.
Metode ECLIA merupakan metode pemeriksaan
chemiluminescence berdasarkan pendaran cahaya yang dihasilkan oleh proses
oksidasi dan reduksi pada permukaan eletroda antara ruthenium, tris
(bypyridyl) dengan tripropylamine. Kelebihan pemeriksan ECLIA antara lain
sensitivitas lebih tinggi dan limit detection yang rendah bila dibandingkan
pemeriksaan chemiluminescence. Kekurangan sangat terinterferensi oleh
cahaya. Perbedaan antara metode ECLIA dan ELISA adalah pada substansi
yang berbeda untuk mendeteksi (Burtis et al., 2006; Immanuel dan Utami,
2009).
Prinsip metode DELFIA hampir sama dengan sandwich-ELISA, yaitu
analit ditangkap antibodi pada lempeng yang telah dilapisi, diikuti dengan
penambahan antibodi spesifik. Perbedaan dengan ELISA, yaitu pada uji
DELFIA menggunakan lanthanide chelate-labeled detection antibody yang
menunjukkan fluoresensi. Kekurangan uji DELFIA antara lain tidak rentan
terhadap degradasi aktivitas enzim konjugat atau sinyal substrat, karena
commit to user
DELFIA bukan merupakan teknologi berbasis enzim dan pengukuran sinyal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id48
lantanida fluorescent memberikan pengukuran yang hasil stabil sampai
beberapa bulan (Burtis et al., 2006).
Enzyme linked immunosorbent assay merupakan metode immunoassay
yang menggunakan enzim sebagai label. Metode ELISA dibagi 2 jenis yaitu
kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua
yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel
ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi
membentuk kompleks yang terbatas dengan antibodi spesifik pada fase padat
(Asihara dan Kasahara, 2001).
Prinsip dasar dari sandwich-ELISA adalah sampel yang mengandung
antigen direaksikan dengan antibodi spesifik pertama yang terikat dengan fase
padat dan ditambahkan antibodi spesifik kedua yang berlabel enzim dan
ditambahkan substrat dari enzim tersebut, sehingga dapat menilai sampel yang
tidak murni dan mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki
(Asihara dan Kasahara, 2001; Burtis et al., 2006).
commit to user
Gambar 15. Prinsip dasar ELISA (Asihara dan Kasahara, 2001).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id49
Penelitian Rosengren et al. (1992), mengembangkan pemeriksaan
ELISA untuk pemeriksaan pada GFAP pada CSF. Kelebihan metode ELISA
yaitu memiliki sensitivitas yang tinggi, reagen relatif murah dan dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat memeriksa beberapa
parameter sekaligus, bahan dan alat mudah didapat serta tidak menggunakan
zat radiasi. Kekurangan metode ELISA antara lain enzim yang digunakan
sebagai label cukup kompleks (Asihara dan Kasahara, 2001; Pelinka et al.,
2003; Burtis et al., 2006; Immanuel dan Utami, 2009).
Metode sandwich-ELISA kadar GFAP merupakan metode yang baik
dan lebih efisien, karena kemampuannya menguji sampel yang tidak murni
dan mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki. Metode
sandwich-ELISA juga memiliki sensitivitas yang tinggi, dapat memeriksa
beberapa parameter sekaligus bahan, alat dan reagen relatif murah, mudah
didapat, reagen dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dan tidak
menggunakan zat radiasi (Asihara dan Kasahara, 2001; Butis et al,. 2006).
D. Uji Diagnostik
1. Definisi Uji Diagnostik
Uji diagnostik adalah suatu uji penelitian yang bertujuan untuk menilai
akurasi suatu alat/metode/penanda dalam menegakkan diagnosis, mendeteksi
atau memprediksi penyakit pada kelompok orang yang tampaknya sehat tetapi
mempunyai risiko terkena penyakit tertentu. Latar belakang suatu penyakit
commit to user
perlu dilakukan uji diagnostik antara lain karena tingginya angka prevalensi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id50
penyakit tersebut, perubahan bermakna angka morbiditas dan mortalitas bila
tidak segera diobati, tersedia terapi atau intervensi yang efektif terhadap
penyakit tersebut dan pengobatan dini menunjukkan hasil yang lebih baik
pada perjalanan penyakit tersebut (Budiarto, 2002; Pusponegoro et al., 2011).
Baku emas atau gold standard adalah standar untuk pembuktian ada
atau tidaknya penyakit pada pasien dan merupakan sarana diagnostik terbaik
yang ada, meskipun bukan yang termurah atau termudah. Syarat suatu uji
diagnostik baru, yaitu baku emas yang dipergunakan sebagai pembanding
tidak boleh mengandung unsur atau komponen yang diuji serta tidak boleh
memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas lebih rendah dari uji diagnostik
yang diteliti (Pusponegoro et al., 2011).
Kriteria penanda biokimia stroke yang ideal, yaitu dapat membedakan
stroke iskemik dan hemoragik, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi, cepat atau segera terdeteksi, stabil pelepasannya setelah iskemik, dapat
memprediksi keluaran atau outcome, dapat digunakan sebagai petunjuk terapi
dan menentukan faktor risiko, mudah dikerjakan, hasil pengukurannya cepat,
metode efektif dan harga yang relatif terjangkau. Kepentingan untuk
memperbaiki outcome stroke membutuhkan penegakkan diagnosis yang cepat
dan akurat. Kemampuan untuk membedakan stroke perdarahan atau
hemoragik dan stroke iskemik secara cepat dan akurat menggunakan tes
penanda biokimia, sangat menentukan tatalaksana yang spesifik, cepat dan
commit to user
tepat pada pasien stroke akut (Jensen et al., 2009; Jickling dan Sharp, 2011).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id51
Sebelum melakukan pemeriksaan sampel penelitian, terlebih dahulu
dilakukan uji analitik meliputi uji presisi atau ketelitian dan uji akurasi atau
ketepatan. Uji diagnostik menggunakan tabel 2x2 untuk menilai sensitivitas,
spesifisitas, PPV, NPV, PLR, NLR dan nilai akurasi. Setelah dilakukan
penilaian sensitivitas dan spesifisitas, selanjutnya menilai kemungkinan hasil
yang sebenarnya dengan menilai PLR dan NLR (Dahlan, 2009).
Tabel 5. Tabel 2x2 penelitian diagnostik
Indeks
Referensi Standar
Positif
Negatif
a
b
c
d
a+c
b+d
Positif
Negatif
a+b
c+d
a+b+c+d
Keterangan :
a = true positive (TP)/positif benar
b = false positive (FP)/positif palsu
c = false negative (FN)/negatif palsu
d = true negative (TN)/negatif benar
(Dahlan, 2009)
Sensitivitas adalah proporsi proporsi hasil tes positif pada populasi
sakit. Sensitivitas menunjukkan kemampuan alat diagnostik untuk mendeteksi
penyakit atau menghasilkan hasil positif bila dilakukan pada sekelompok
subyek yang sakit. Nilai sensitivitas berkaitan dengan kemampuan.
Penghitungan nilai sensitivitas menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan,
2009; Pusponegoro et al., 2011) :
Sensitivitas = TP : (TP + FN) x 100%
Spesifisitas merupakan proporsi hasil tes negative pada populasi tidak
sakit.
Spesifisitas
menunjukkan
kemampuan
commit to user
alat
diagnostik
untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id52
menentukan bahwa subyek tidak sakit atau menghasilkan hasil negatif bila
dilakukan pada sekelompok subyek yang sehat. Penghitungan nilai spesifisitas
menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al.,
2011) :
Spesifisitas = TN : (FP + TN) x 100%
Positive predictive value atau nilai duga positif adalah probabilitas
seseorang menderita suatu penyakit apabila uji diagnostiknya positif atau
menilai apakah hasil yang positif tersebut benar-benar positif. Penghitungan
nilai PPV dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009;
Pusponegoro et al., 2011) :
PPV = TP : (TP + FP) x 100%
Negative predictive value atau nilai duga negatif adalah probabilitas
seseorang tidak menderita suatu penyakit apabila hasil uji diagnostiknya
negatif atau untuk menilai apakah hasil yang negatif tersebut benar-benar
negatif. Penghitungan nilai NPV menggunakan rumus sebagai berikut
(Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011) :
NPV = TN : (FN : TN) x 100%
Likelihood ratio (LR) adalah rasio kemungkinan hasil positif dan
negatif yang didapatkan pada kelompok sakit dibandingkan kelompok tidak
sakit. Nilai likelihood ratio (LR) mempunyai makna yang sangat besar pada
suatu uji diagnostik. Intepretasi nilai LR pada uji diagnostik adalah sebagai
commit to user
berikut (Tabel 6) (Jaeschke et al., 2002) :
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id53
Tabel 6. Intepretasi nilai LR
LR
Intepretasi
> 10
Menghasilkan perubahan besar dan sering konklusif dalam
kemungkinan terjadinya penyakit
5 – 10 Menghasilkan perubahan moderat dalam kemungkinan terjadinya
penyakit
Menghasilkan perubahan kecil (tapi kadang-kadang penting) dalam
2–5
kemungkinan terjadinya penyakit
1–2
Memberi perubahan sangat kecil atau minimal (jarang penting) dalam
kemungkinan terjadinya penyakit
Tidak ada perubahan dalam kemungkinan terjadinya penyakit
1
0,5 – 1,0 Memberikan perubahan sangat kecil atau minimal (jarang penting)
dalam kemungkinan terjadinya penyakit
0,2 – 0,5 Memberikan perubahan kecil (tapi kadang-kadang penting) dalam
kemungkinan terjadinya penyakit
0,1 – 0,2 Memberikan perubahan moderat dalam kemungkinan terjadinya
penyakit
<0,1
Memberikan perubahan besar dan sering konklusif dalam
kemungkinan terjadinya penyakit
Keterangan : LR= likelihood ratio
(Jaeschke et al., 2002)
Positive likelihood ratio atau rasio kemungkinan positif adalah
perbandingan antara hasil positif pada kelompok yang sakit dibandingkan
dengan hasil positif pada kelompok yang tidak sakit. Penghitungan nilai PLR
menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al.,
2011) :
PLR = (1 - spesifisitas) : sensitivitas
Negative likelihood ratio atau rasio kemungkinan negatif adalah
perbandingan hasil negatif pada kelompok sakit dibandingkan dengan hasil
negatif pada kelompok tidak sakit. Penghitungan nilai NLR menggunakan
rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011) :
NLR = (1 - sensitivitas) : spesifisitas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id54
Nilai akurasi suatu probabilitas uji berkaitan dengan kemampuannya
memberikan pengukuran yang benar atas substansi yang dievaluasi. Tes
akurasi adalah proporsi dari semua tes, baik positif maupun negatif yang
benar atau kemampuan suatu tes untuk mendeteksi secara benar seluruh
subyek yang di tes (Dahlan, 2009).
Nilai akurasi = (TP + TN) : (TP + FP + FN + TN)
Receive operating curve adalah cara untuk menentukan cut off atau titik
potong uji diagnostik berupa grafik atau kurva yang dibentuk dari nilai
sensitivitas dan spesifisitas pada berbagai cut off. Dari prosedur ROC ini,
dapat dinilai AUC. Nilai AUC berkisar antara 0,5-1. Suatu pemeriksaan
memiliki nilai diagnostik yang baik jika memiliki nilai AUC lebih dari 0,8
(Dahlan, 2009).
Tabel 7. Interpretasi nilai AUC
Nilai AUC
> 0,5 – 0,6
> 0,6 – 0,7
> 0,7 – 0,8
> 0,8 – 0,9
> 0,9 – 1
Keterangan : AUC= area under curve
Interpretasi
Sangat lemah
Lemah
Sedang
Baik
Sangat baik
(Dahlan, 2009)
Nilai diagnostik suatu penanda dapat sebagai alat skrining maupun alat
diagnostik. Pemeriksaan suatu penanda dapat digunakan sebagai alat untuk
skrining, harus memiliki sensitivitas >80% dan untuk digunakan sebagai alat
diagnostik harus memiliki spesifisitas >80%. Sensitivitas dan spesifisitas
commit to
userstabil, karena nilainya tidak berubah
disebut sebagai nilai uji diagnostik
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id55
pada proporsi subyek sehat dan sakit yang berbeda atau prevalensi penyakit
yang rendah maupun tinggi. Hasil uji diagnostik positif kuat, bila nilai PLR
>1 sampai 10 atau lebih. Hasil uji diagnostik negatif kuat apabila nilai NLR
mendekati 0 dan hasil uji negatif sedang apabila nilai NLR mendekati nilai 1
(Budiarto, 2002; Dahlan, 2009; Pusponegoro et al., 2011).
2. Uji Diagnostik Kadar GFAP Serum pada Pasien Stroke Akut
Penelitian Foerch et al. (2006), menganalisis kadar GFAP serum dalam
mendiagnosa stroke hemoragik pada 135 pasien stroke akut 6 jam setelah
onset dengan menggunakan cut off 2,9 ng/l. Didapatkan sensitivitas 79% dan
spesifisitas 98%, PPV = 0,94, NPV = 0,91, p<0,001.
Penelitian Dvorak et al. (2009), menganalisis kadar GFAP serum pada
cut off 0,11 µg/l atau 0,11 ng/ml dengan hasil CT-scan atau MRI kepala pada
53 pasien stroke dengan onset <6 jam. Hasil sensitivitas yang didapatkan
adalah 71 % dan spesifisitas 95%. Penelitian Mondello et al. (2011),
melakukan penelitian case control pada 35 kontrol dan 33 pasien stroke akut
onset 122 menit menggunakan GFAP serum sebagai penanda diagnosis ICH
pasien stroke akut onset 122 menit pada cut off 0,33 ng/ml dengan nilai area
under curve (AUC) 0,99. Didapatkan sensitivitas 100% dan spesifisitas 96%.
Foerch et al. (2012), menganalisis kadar plasma GFAP dengan metode
ECLIA pada cut off 0,29 ng/l, dapat membedakan ICH dan stroke iskemik
yang dilakukan pada 295 pasien stroke akut dengan 4,5 jam setelah onset
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id56
stroke. Didapatkan hasil peningkatan kadar GFAP yang signifikan pada
pasien stroke hemoragik dengan sensitivitas 84,2% dan spesifisitas 96,3%.
Penelitian Susilo dan Priyanto (2013), merupakan penelitian uji
diagnostik kadar GFAP serum di Indonesia yang menganalisis 37 pasien
stroke akut yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dengan melakukan
pemeriksaan GFAP serum dan CT-scan kepala tanpa kontras untuk
membedakan stroke pendarahan intraserebral dan bukan perdarahan pada
pasien stroke akut onset <10 jam. Didapatkan sensitivitas 85,7% dan
sepesifitas 64,4%.
Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, didapatkan variasi cut off
kadar GFAP serum dalam mendiagnosis stroke hemoragik dan variasi
sensitivitas dan spesifisitas, sehingga perlu dikembangkan penelitian lebih
lanjut untuk menilai penampilan dan akurasi diagnostik GFAP serum pada
pasien stroke akut yang dapat membantu dalam mengoptimalkan triase dan
manajemen pasien dengan gejala stroke akut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id57
E. Kerangka Pikir
Stroke Akut
CT-scan Kepala
Stroke Hemoragik
Stroke Iskemik
Ektravasasi
Sel Darah
Trombus/Emboli Cerebral
Oklusi Arterial
Hematom
Aliran Darah Otak (CBF) ↓
Glukosa ↓
Ruptur Pembuluh Darah
Tekanan
Hidrostatik ↑
Release
glutamat
Edema
Perihematom
Glikolisis
↑
Herniasi
Hipoksia Serebri
Iskemik/Infark Serebri
Gangguan Na-K ATPase ↓
Gangguan Hemostasis
Na+ ↑
Edema
Vasogenik
Respon Inflamasi
Heme Oxygenase
2+
As. Laktat
↑
Glutamat sitoksisitas
Ca2+ ↑
Ruptur Membran
Plasma
Disfungsi
Mitokondria
ROS ↑
Bilirubin
Indirek ↑
Fe ↑
Aktivasi Kaskade
Koagulasi
Hipertrofi & Proliferasi
Astrosit, Kerusakan Sel Glial
Kerusakan SDO
Stres
Oksidatif
H2O2 ↑
Astrogliosis
Nekrosis &
Apoptosis Sel
Degenerasi
Neuronal
Kerusakan
Mitokondria Astrosit
Lesi Hemisfer
Keterangan :
: Mempengaruhi, proses lanjut
: Perlakuan
: Lingkup penelitian
: Bukan lingkup penelitian
Gambar 16. Kerangka pikir
commit to user
GFAP ↑
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id58
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pikir di atas, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah : didapatkan penampilan uji diagnostik yang baik pada
pemeriksaan kadar GFAP serum pada pasien stroke akut di RSDM.
commit to user
Download