DELI RAHMALIA SUMADY

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial di
dunia. Permintaan energi yang meningkat disebabkan oleh pertumbuhan populasi
penduduk, menipisnya sumber cadangan minyak dunia, dan permasalahan emisi
dari bahan bakar fosil memberikan tekanan kepada setiap negara untuk segera
memproduksi dan menggunakan energi alternatif (Pambudi, 2008).
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak,
pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber
energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut
menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai alternatif
pengganti bahan bakar minyak. Salah satu sumber energi alternatif adalah biogas
(Pambudi, 2008).
Pembuatan biogas merupakan teknologi yang mudah dan sederhana.
Biogas merupakan salah satu sumber energi atau bahan bakar berupa gas yang
mudah terbakar dan murah. Sifat dari biogas ini adalah bersih, tidak berbau, tidak
larut dalam air, dan tidak reaktif. Biogas dihasilkan apabila bahan-bahan organik
terdegradasi dari senyawa-senyawa pembentuknya dalam keadaan tanpa oksigen
atau kondisi anaerob (Firdaus, 2005). Biogas mengandung gas metan sebesar 5080% dan karbondioksida sebesar 20-50%. Biogas akan menghasilkan energi
1
ketika dilakukan pembakaran. Energi ini dapat dimanfaatkan untuk memasak,
menjalankan
mesin-mesin
pembakaran,
alat
penerangan,
dan
lain-lain
(Nandiyanto, 2007).
Pada umumnya semua jenis bahan organik dapat diproses untuk
menghasilkan biogas. Tetapi hanya bahan organik yang homogen, baik padat
maupun cair yang cocok untuk sistem biogas sederhana (Hermawan, 2005).
Bahan organik yang dapat dijadikan sebagai bahan baku biogas diantaranya
adalah limbah pertanian, sampah pasar, daun-daunan, kotoran hewan yang berasal
dari sapi,
kambing, kuda, dan lain-lain, bahkan kotoran manusia atau
campurannya, atau bahan lain yang mengandung bahan organik (Hidayati, 1999).
Masalah sampah memang sangat kompleks karena penanggulangannya
melibatkan beberapa aspek yang bukan hanya tanggung jawab pemerintah
melainkan partisipasi masyarakat juga sangat diperlukan. Tumpukan sampah kota
yang menggunung dengan bau yang sangat menusuk hidung merupakan
pandangan yang tidak terpisahkan dari lingkungan pasar tradisional. Sampah
merupakan
bagian realita hidup yang harus dihadapi. Hal yang perlu
dikembangkan dalam setiap individu masyarakat adalah mencari solusi bagaimana
cara menjadikan sampah sebagai objek yang memberikan manfaat bagi manusia
dan lingkungannya (Farid, 2005).
Bila kita melihat dari segi komposisi kandungan sampah, ternyata sampah
memiliki potensi yang luar biasa untuk dikelola. Kandungan materi dan komposisi
sampah terdiri dari sejumlah mikroorganisme bermanfaat, bahan organik dan
2
anorganik. Salah satu solusi yang dapat menangani masalah sampah tersebut
adalah dengan cara mengubah sampah menjadi sumber biogas.
Proses pembuatan biogas melalui biokonversi energi yang dibantu oleh
mikroorganisme bakteri pembusuk dan bakteri penghasil metan. Dalam proses
pembuatan biogas ini menggunakan dua tahap proses fermentasi, yaitu fermentasi
aerob dan fermentasi anaerob. Dalam proses fermentasi aerob akan dihasilkan
asam-asam organik seperti asam asetat dan energi yang akan digunakan oleh
bakteri metanogen pada proses anaerob sehingga menghasilkan gas metan lebih
cepat.
Sebelum proses fermentasi aerob dilakukan, salah satu sampel yang
digunakan ditambahkan bioaktivator
Effective Microorganism
4 (EM4).
Kandungan mikroba dalam EM4 sangat efektif digunakan untuk limbah rumah
tangga, limbah pasar, limbah pabrik, dan lain-lain. Manfaat dari bioaktivator ini
diantaranya adalah mempercepat proses fermentasi limbah organik, menurunkan
kadar COD, menekan bau yang tidak sedap (H2S dan NH3), menekan
perkembangan mikroorganisme patogen, dan sebagainya (Hanifah, 2001).
Penambahan
bioaktivator
ini
bertujuan
untuk
mempercepat
pendegradasian bahan baku. Menurut Ginting (2007), penambahan bioaktivator
biasanya dilakukan pada awal pengomposan untuk merangsang perkembangan
mikroorganisme tersebut dalam menguraikan bahan organik. Laju pembentukan
biogas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah suhu dan rasio
C/N. Hermawan (2005) mendapatkan kondisi optimum pembuatan biogas dari
3
sampah organik sayur-sayuran dan buah-buahan adalah pada suhu 35°C dan rasio
C/N 20-30.
1.2. Rumusan Masalah
·
Berapa suhu dan rasio C/N yang menghasilkan produksi biogas terbaik?
·
Bagaimana pengaruh penambahan bioaktivator EM4 terhadap produksi
biogas?
1.3. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil
produksi biogas pada suhu 25°C, 30°C, dan 35°C dan rasio C/N 25, 30, dan 35
serta penambahan bioaktivator EM4.
1.4. Tujuan Penelitian
·
Mengetahui suhu dan rasio C/N yang dapat menghasilkan produksi biogas
terbaik dari sampah buah-buahan.
·
Mengetahui pengaruh penambahan bioaktivator EM4 terhadap produksi
biogas dari sampah buah-buahan.
1.5. Hipotesis
·
Kondisi terbaik dalam memproduksi biogas dari sampah buah-buahan
terjadi pada suhu 35°C dan rasio C/N 30.
4
·
Penambahan bioaktivator EM4 dapat meningkatkan produksi biogas dari
sampah buah-buahan.
1.6. Manfaat Penelitian
·
Dapat mengetahui suhu dan rasio C/N yang menghasilkan produksi
biogas terbaik sehingga proses produksi dapat lebih efisien dan hemat.
·
Dapat mengetahui fungsi penambahan bioaktivator EM4 dalam produksi
biogas.
·
Dapat memberikan informasi mengenai proses pembuatan biogas dengan
menggunakan fermentasi aerob dan anaerob.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biogas
Biogas atau sering disebut pula gas bio merupakan gas yang timbul jika
bahan-bahan organik, seperti kotoran ternak, kotoran manusia, atau sampah
direndam dalam air dan disimpan di dalam tempat tertutup atau anaerob (tanpa
oksigen dari udara). Biogas ini sebenarnya dapat pula terjadi pada kondisi alami.
Namun, untuk mempercepat dan menampung gas ini, diperlukan alat yang
memenuhi syarat terjadinya gas tersebut (Setiawan, 1996).
Jika kotoran ternak yang telah dicampur air atau isian (slurry) dimasukan
ke dalam alat pembuat biogas maka akan terjadi proses pembusukan yang terdiri
dari dua tahap, yaitu proses aerob dan proses anaerob. Pada proses yang pertama
diperlukan oksigen dan hasil prosesnya berupa karbondioksida (CO2). Proses ini
berakhir setelah oksigen di dalam alat ini habis. Selanjutnya proses pembusukan
berlanjut dengan tahap kedua (proses anaerob). Pada proses yang kedua inilah
biogas dihasilkan. Dengan demikian, untuk menjamin terjadinya biogas, alat ini
harus tertutup rapat dan tidak berhubungan dengan udara luar sehingga tercipta
kondisi hampa udara (Setiawan, 1996).
Secara ilmiah, biogas yang dihasilkan dari sampah organik adalah gas
yang mudah terbakar. Gas ini dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan
organik oleh bakteri anaerob. Umumnya, semua jenis bahan organik dapat
6
diproses menghasilkan biogas. Menurut Hermawan (2005) komposisi senyawa
penyusun biogas adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Komposisi senyawa penyusun biogas
Komponen
Konsentrasi (%)
Metana (CH4)
55-75
Karbon dioksida (CO2)
25-45
Nitrogen (N2)
0-0,3
Hidrogen (H2)
1-5
Hidrogen Sulfida (H2S)
0-3
Oksigen (O2)
0,1-0,5
Pada dasarnya efisiensi produksi biogas sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, meliputi suhu, derajat keasaman (pH), nutrisi (nisbah karbon dan nitrogen),
dan lain-lain. Kondisi optimum proses produksi biogas sebagai berikut :
Tabel 2. Kondisi optimum produksi biogas
Parameter
Kondisi Optimum
Suhu
35°C
Derajat Keasaman
7-7,2
Nutrient Utama
Karbon dan Nitrogen
Nisbah Karbon dan Nitrogen
20/1 sampai 30/1
Sulfida
< 200 mg/L
Logam-logam Berat Terlarut
< 1 mg/L
Sodium
< 5000 mg/L
Kalsium
< 2000 mg/L
Magnesium
< 1200 mg/L
Ammonia
< 1700 mg/L
Sumber : Beni Hermawan (2005)
7
Teknologi biogas merupakan sebuah cara konversi limbah melalui proses
anaerobic digestion yang memiliki beberapa keuntungan (Pambudi, 2008),
diantaranya yaitu :
·
Energi biogas dapat berfungsi sebagai energi pengganti bahan bakar fosil
sehingga dapat mengurangi ketergantungan bahan bakar minyak (BBM).
·
Biogas tidak hanya menghasilkan gas metan sebagai penyuplai energi,
tetapi juga menghasilkan sludge yang sangat baik untuk digunakan sebagai
pupuk (Sahidu, 1983).
·
Energi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
seperti memasak, penerangan, dan lain-lain (Sasse, 1992).
·
Limbah berupa sampah, kotoran hewan dan manusia merupakan material
yang tidak bermanfaat bahkan dapat mengakibatkan racun yang sangat
berbahaya. Aplikasi teknologi biogas akan meminimalkan efek tersebut
dan meningkatkan nilai manfaat dari limbah.
2.2.Sejarah Perkembangan Biogas
Sejarah penemuan proses anaerobic digestion untuk menghasilkan biogas
tersebar di benua Eropa. Kebudayaan Mesir, China, dan Roma Kuno diketahui
telah memanfaatkan gas alam ini untuk menghasilkan panas. Penemuan ilmiah
Volta terhadap gas yang dikeluarkan di rawa-rawa terjadi pada tahun 1770. Volta
(1976) juga merupakan orang pertama yang mengaitkan gas bakar ini dengan
proses pembusukan bahan sayuran. Sedangkan William Henry pada tahun 1806
mengidentifikasikan gas yang dapat terbakar tersebut sebagai metan. Becham
8
(1868), memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan metan. Tahun 1884
Pasteur melakukan penelitian tentang biogas menggunakan kotoran hewan. Era
penelitian Pasteur menjadi landasan untuk penelitian biogas hingga saat ini
(Pambudi, 2008).
Pada akhir abad ke-19 ada beberapa riset dalam bidang ini dilakukan.
Jerman dan Prancis melakukan riset pada masa antara dua perang dunia dan
beberapa unit pembangkit biogas dengan memanfaatkan limbah pertanian. Selama
Perang Dunia II banyak petani Inggris dan benua Eropa yang membuat digester
kecil untuk menghasilkan biogas yang digunakan untuk menggerakan traktor.
Karena harga BBM semakin murah dan mudah diperoleh, pada tahun 1900-an
pemakaian biogas di Eropa ditinggalkan. Namun di negara-negara berkembang
kebutuhan akan sumber energi yang murah selalu tersedia dan selalu ada
(Nurcahyo, 2007).
Kegiatan produksi biogas di India telah dilakukan semenjak abad ke-19,
alat pencerna anaerob dibangun pada tahun 1900 (Rahman, 2005). Negara
berkembang lainnya seperti, China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini,
telah melakukan beberapa riset dan pengembangan alat pembangkit biogas dengan
prinsip yang sama, yaitu menciptakan alat kedap udara dengan bagian-bagian
pokok terdiri dari alat pencerna (digester), lubang pemasukan bahan baku, dan
pengeluaran lumpur sisa hasil pencernaan (slurry), dan pipa penyaluran biogas
yang terbentuk. Dengan teknologi tertentu, gas metan dapat dipergunakan untuk
menggerakan turbin yang menghasilkan energi listrik, traktor, dan mobil. Secara
9
sederhana, gas metan dapat digunakan untuk keperluan memasak dan penerangan
gas sebagaimana halnya elpiji (Nurcahyo, 2007).
2.3. Bahan Baku Biogas
Biogas merupakan salah satu sumber energi alternatif yang berkembang
pesat dalam dasawarsa terakhir. Teknologi pembuatan biogas memanfaatkan
kotoran organik, baik kotoran hewan maupun sampah sayuran dan tumbuhan
dengan memanfaatkan bakteri anaerob yang terdapat dalam kotoran tersebut untuk
proses fermentasi yang menghasilkan gas metan (Firdaus, 2005). Pada umumnya
semua jenis bahan organik dapat diproses menghasilkan biogas. Tetapi hanya
bahan organik homogen, baik padat maupun cair yang cocok untuk sistem biogas
sederhana.
Pemanfaatan kotoran ternak pada umumnya digunakan langsung sebagai
pupuk kandang tanpa pengolahan, sehingga potensi kotoran ternak yang cukup
tinggi tersebut mempunyai tingkat kegunaan yang terbatas. Banyak bahaya yang
ditimbulkan oleh penggunaan kotoran ternak yang belum dilakukan pengolahan
pada lingkungan yaitu berupa terganggunya sistem (keseimbangan alam),
gangguan penyakit atau racun bagi manusia, satwa, atau biota lainnya. Terdapat
berbagai cara pengolahan kotoran ternak seperti pembuatan kompos maupun
biogas (Hidayati, 1999).
Kotoran hewan lebih sering dipilih sebagai bahan pembuatan biogas,
karena ketersediaannya yang sangat besar di seluruh dunia. Bahan ini mempunyai
keseimbangan nutrisi, mudah diencerkan, dan relatif dapat diproses secara biologi.
10
Kotoran segar lebih mudah diproses dibandingkan dengan kotoran yang lama atau
yang telah dikeringkan, hal ini disebabkan karena hilangnya substrat volatile solid
dalam pengeringan (Amaru, 2004).
Kotoran sapi merupakan substrat yang dianggap paling cocok sebagai
sumber pembuat biogas, karena substrat tersebut telah mengandung bakteri
penghasil gas metan yang terdapat dalam perut hewan ruminansia (Meynell,
1976). Keberadaan bakteri di dalam usus ruminansia tersebut dapat membantu
proses fermentasi sehingga proses pembentukan biogas pada tangki pencerna
dapat dilakukan lebih cepat.
Sampah organik sayur-sayuran dan buah-buahan seperti layaknya kotoran
ternak juga merupakan substrat terbaik untuk menghasilkan biogas. Bahan
organik dari sayuran dan buah-buahan terdiri dari tiga komponen utama yang
merupakan senyawa pokok, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Karbohidrat
merupakan sumber energi, lemak berfungsi sebagai cadangan energi, dan protein
berfungsi sebagai enzim. Ketiga senyawa ini merupakan molekul-molekul besar
yang perlu dipecah dahulu menjadi molekul kecil sebelum dapat dimanfaatkan
mikroorganisme. Proses pemecahan molekul ini dapat terjadi secara aerob dan
anaerob (Aiman dan Milono, 1983).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2007) dengan sampel
berupa campuran sampah sayur dan buah-buahan mendapatkan produksi biogas
seperti pada Tabel 3.
11
Tabel 3. Produksi biogas dari campuran sampah sayur dan buah
Suhu (°C)
30
35
40
Rasio C/N
20
25
30
20
25
30
20
25
30
Volume Biogas (ml/100g COD)
10,48
4,36
76,9
74,07
68,42
94,45
80,13
58,17
71,61
2.4. Effective Microorganism 4 (EM4)
Teknologi pengolahan bahan organik dengan proses fermentasi pertama
kali dikembangkan di Okinawa Jepang oleh Profesor Dr. Teruo Higa pada tahun
1980. Teknologi ini dikenal dengan teknologi EM (Effective Microorganism).
Sebelum tahun 1980, penelitian dan penerapan proses fermentasi masih terbatas
pada proses fermentasi untuk pembuatan bahan makanan, termasuk pakan ternak,
dan belum banyak dilakukan untuk pengolahan limbah organik serta penyuburan
tanah. Di Indonesia kita sudah mengenal proses fermentasi ini melalui proses
peragian kedelai dalam pembuatan tempe, tauco, kecap; fermentasi susu menjadi
keju, yogurt; serta masih banyak lagi produk fermentasi hasil kerja
mikroorganisme fermentasi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia
(Malesi, 2006).
Fermentasi merupakan proses penguraian atau perombakan bahan
organik yang dilakukan dalam kondisi tertentu oleh mikroorganisme fermentatif.
Sasaran proses fermentasi adalah biomolekul seperti karbohidrat, protein, dan
lipid. Kondisi lingkungan yang mendukung proses fermentasi antara lain adalah
12
derajat keasaman, kadar air, dan adanya mikroorganisme fermentasi (Kapahang,
2007).
2.4.1. Manfaat Effective Microrganism 4 (EM4)
EM4 sangat efektif digunakan untuk limbah rumah tangga, limbah pasar,
limbah pabrik, dan lain-lain, baik dalam bentuk cair maupun dalam bentuk padat.
Beberapa manfaat aplikasi EM4 adalah :
·
Mempercepat proses fermentasi limbah organik.
·
Menurunkan kadar COD.
·
Menekan bau yang tidak sedap (H2S dan NH3).
·
Menekan perkembangan mikroorganisme patogen.
·
Dapat digunakan sebagai pupuk organik cair dan sumber nutrisi
tanaman.
·
Tidak merusak lingkungan, aman bagi manusia, hewan, dan
tanaman.
2.4.2. Kandungan Mikroba dalam Effective microorganism 4
Kandungan mikroba dalam Effective microorganism terdiri dari
mikroorganisme aerob dan anaerob yang bekerjasama menguraikan bahan organik
secara terus menerus. Effective Microorganism merupakan cairan berwarna coklat
dan berbau khas, apabila muncul bau busuk menandakan bahwa mikroorganisme
yang terkandung di dalamnya telah rusak atau mati (Hanifah, 2001).
13
Effective Microorganism mengandung beberapa jenis mikroorganisme,
yaitu :
a. Bakteri Fotosintetik
Bakteri fotosintetik adalah mikroorganisme yang mandiri. Bakteri ini
membentuk senyawa-senyawa yang bermanfaat dari sekresi akar tumbuhtumbuhan, bahan organik, dan atau gas-gas berbahaya seperti hidrogen
sulfida, dengan dibantu sinar matahari dan panas sebagai sumber energi. Zatzat bermanfaat tersebut meliputi asam amino, asam nukleat, dan gula, yang
semuanya dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
b. Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dari gula, dan karbohidrat
lain yang dihasilkan oleh bakteri fotosintetik dan ragi. Bakteri asam laktat
dapat menghancurkan bahan-bahan organik seperti lignin dan selulosa, serta
memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa-senyawa beracun yang
ditimbulkan dari pembusukan bahan organik.
c. Ragi
Ragi dapat mengahasilkan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi
pertumbuhan tanaman dari asam amino dan gula di dalam tanah yang
dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau bahan organik melalui proses
fermentasi. Ragi juga menghasilkan senyawa bioaktif seperti hormon dan
enzim.
14
d. Actinomycetes
Actinomycetes merupakan suatu kelompok mikroorganisme yang
strukturnya merupakan bentuk antara dari bakteri dan jamur. Kelompok ini
menghasilkan zat-zat antimikroba dari asam amino yang dikeluarkan oleh
bakteri fotosintetik dan bahan organik. Zat-zat yang dihasilkan oleh
mikroorganisme ini dapat menekan pertumbuhan jamur dan bakteri yang
merugikan tanaman, tetapi dapat hidup berdampingan dengan bakteri
fotosintetik.
e. Jamur Fermentasi
Jamur fermentasi seperti Aspergillus dan Penicillium menguraikan bahan
organik secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester, dan zat-zat anti
mikroba. Pertumbuhan jamur ini berfungsi dalam menghilangkan bau dan
mencegah serbuan serangga serta ulat-ulat yang merugikan dengan cara
menghilangkan penyediaan makanannya.
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Biogas
Bakteri pembentuk biogas memerlukan kondisi anaerob sehingga alat-alat
yang dibutuhkan harus kedap udara. Sedikit saja terjadi kebocoran pada alat dapat
menyebabkan kegagalan terbentuknya biogas (Setiawan, 1995). Selain itu,
menurut Padmi (2001) ada faktor lain yang dapat mempengaruhi produksi
terbentuknya biogas, diantaranya adalah :
15
1. Bahan Baku
Biogas akan terbentuk bila bahannya berupa padatan berbentuk bubur
halus atau butiran kecil. Pembentukan biogas dapat berlangsung dengan
sempurna, apabila bahan baku yang berupa padatan sebaiknya digiling atau
dirajang terlebih dahulu. Kandungan padatan ini sebaiknya hanya 7-9%
(Setiawan, 1996).
2. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman suatu cairan ditentukan dengan mengukur nilai pHnya.
Alat yang sering digunakan dalam pengukuran ini adalah pH meter dan kertas pH
atau lakmus. Pada awal pencernaan, pH cairan akan turun menjadi 6 atau mungkin
lebih rendah. Bakteri akan giat bekerja pada kisaran pH antara 6,8-8,0. Kisaran
pH ini akan memberikan hasil pencernaan yang optimal (Setiawan,1996).
3. Ketersediaan Oksigen
Bakteri metanogenik merupakan bakteri yang sensitif terhadap kehadiran
oksigen. Oleh karena itu, ketidakhadiran oksigen merupakan syarat mutlak bagi
pertumbuhan bakteri metanogenik.
4. Kadar Air
Air memegang peranan penting dalam dekomposisi sampah. Laju produksi
biogas meningkat secara eksponensial pada kandungan air sampah hingga 60%.
Penambahan air dapat meratakan sebaran bakteri dalam substrat, menjamin
percampuran dan ketersediaan nutrient (Karsini, 1980).
16
5. Perbandingan Karbon dan Nitrogen
Perbandingan karbon dan nitrogen dapat mempengaruhi proses produksi
biogas. Dalam proses pembentukan metan bakteri anaerob membutuhkan unsur
karbon dan nitrogen untuk hidup dan berkembang biak. Agar proses dalam
digester dapat
menghasilkan gas
secara
optimal
dan sekaligus
dapat
mempertahankan kelangsungan kehidupan bakteri anaerob, maka perbandingan
C/N yang ideal adalah 30:1 (Fry, 1974). Nilai rasio C/N tergantung pada
dekomposisi substrat yang digunakan dalam pembuatan biogas. Kandungan
nitrogen yang besar terdapat dalam kotoran hewan maupun manusia.
6. Temperatur
Perkembangan bakteri sangat dipengaruhi oleh kondisi temperatur.
Temperatur yang tinggi akan memberikan hasil biogas yang baik. Namun, suhu
tersebut sebaiknya tidak boleh melebihi suhu kamar. Untuk itulah suhu
pembentukan biogas harus disesuaikan dengan kebutuhan bakteri metan.
Temperatur ini akan berhubungan dengan kemampuan bakteri yang ada
dalam reaktor. Kemampuan bakteri psychrophilik pada temperatur 0-7°C, bakteri
mesophilik pada temperatur 13-40°C, sedangkan thermophilik pada temperatur
55-60°C. Suhu yang baik untuk proses pembentukan biogas berkisar antara 2040°C, karena pada selang suhu tersebut suhu dapat dijaga, kadar H2S yang
dihasilkan rendah dan bakteri mesofilik lebih toleran terhadap fluktuasi suhu.
Suhu optimum proses pembentukan biogas antara 28-30°C (Nandiyanto, 2007).
Hermawan (2005) mendapatkan kondisi optimum pembuatan biogas dari sampah
organik adalah pada suhu 35°C.
17
7. Pengenceran Bahan Baku
Isian dalam pembuatan biogas harus berupa bubur. Bentuk bubur ini dapat
diperoleh bila bahan bakunya mempunyai kandungan air yang tinggi. Bahan baku
dengan kadar air rendah dapat dijadikan berkadar air tinggi dengan menambahkan
air ke dalamnya dengan perbandingan tertentu sesuai dengan kadar bahan kering
tersebut. Jika terlalu banyak atau terlalu sedikit menambahkan air maka akan
berakibat biogas yang terbentuk tidak optimal. Isian bahan baku yang paling baik
mengandung 7-9% bahan kering. Pada keadaan ini proses pencernaan anaerob
akan berjalan dengan baik (Setiawan, 1996).
2.6. Fermentasi Aerob dan Anaerob
Biogas merupakan hasil proses produksi degradasi material organik
dengan bantuan bakteri. Proses pendegradasian material organik dapat dilakukan
melalui proses aerob maupun anaerob. Pendegradasian secara aerob diperlukan
energi yang lebih besar dibandingkan dengan fermentasi anaerob (Manik, 1994).
2.6.1. Fermentasi Aerob
Kebanyakan sel disusun oleh senyawa organik. Sel dibangun oleh
beberapa makromolekul, diantaranya adalah protein, karbohidrat, dan lemak.
Pendegradasian senyawa organik ini dapat dilakukan melalui proses aerob.
Degradasi aerob membutuhkan oksigen untuk mendegradasi makromolekul
tersebut menjadi molekul sederhana (Gaur, 1981). Persamaan reaksi yang terjadi
sebagai berikut :
R- C–
O–
H–
S
R-COOH + H2S + E
18
Mikroorganisme yang berperan dalam perombakan bahan organik adalah
bakteri hidrolitik. Bakteri hidrolitik berperan terlebih dahulu memecah bahan
organik kompleks menjadi senyawa sederhana seperti gula, asam amino, asam
propionat, dan lain-lain. Senyawa-senyawa sederhana ini kemudian digunakan
sebagai sumber nutrisi untuk bakteri asetogenik dan dikonversi menjadi asamasam organik seperti asam asetat (Bryant, 1972). Asam asetat akan dirombak
lebih lanjut dengan membebaskan energi yang besar dan karbondioksida menjadi
gas metan dalam proses anaerob (Meynell, 1976).
2.6.2. Fermentasi Anaerob
Proses yang terjadi dalam suatu digester anaerobic pada umumnya adalah
penguraian zat organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tidak terdapatnya
udara (Gaur, 1981). Proses degradasi bahan organik pada kondisi anaerob adalah
sebagai berikut :
RCOOH
CH4 + CO2 + E
Mikroorganisme yang berperan dalam perombakan bahan organik secara
anaerob adalah bakteri metanogenik. Bakteri metanogenik berfungsi merubah
asam organik yang dibentuk bakteri asidogenik menjadi gas metan dan
karbondioksida. Bakteri jenis ini sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan,
mempunyai laju pertumbuhan yang lambat yaitu berkisar antara 1-9 hari dan juga
sensitif terhadap perubahan pH dan suhu (Pranoto, 1999).
19
2.7. Mekanisme Pembentukan Biogas
Sampah organik buah-buahan dan sayuran seperti layaknya kotoran ternak
adalah substrat terbaik untuk menghasilkan biogas (Padmi, 2001). Proses
pembentukan biogas merupakan proses bertahap dengan tiga tahap utama, yaitu
hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis (Hermawan,2005).
1. Hidrolisis
Hidrolisis bahan organik diperlukan untuk mengkonversi bahan tersebut
ke bentuk dan ukuran yang dapat melewati dinding sel bakteri untuk digunakan
sebagai sumber nutrisi atau energi (Nuraeni, 2002). Tahap pertama adalah reduksi
senyawa organik yang kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh
bakteri hidrolitik. Bahan-bahan organik yang mengalami proses hidrolisis seperti
karbohidrat, lemak, dan protein diubah menjadi senyawa terlarut seperti asam
karboksilat, asam hidroksi, keton, alkohol, glukosa, asam-asam amino, hidrogen,
dan karbondioksida (Hermawan, 2005). Menurut Manurung (2007) reaksi yang
terjadi pada tahap ini adalah :
·
Bakteri hidrolitik menguraikan selulosa menjadi glukosa :
(C6H10O5)n + nH2O
Selulosa
n(C6H12O6)
Glukosa
Bakteri hidrolitik ini bekerja pada suhu antara 30-40°C. Bakteri yang aktif
merombak bahan organik tergantung dari substrat yang tersedia. Tahap pertama
ini berlangsung dengan pH optimum antara 6-7 (Nuraeni, 2002).
2. Asidogenesis
Tahap kedua adalah perubahan senyawa sederhana menjadi asam organik
yang mudah menguap seperti asam asetat, asam butirat, asam propionat, dan lain-
20
lain. Dengan terbentuknya asam organik maka pH akan terus menurun, namun
pada waktu yang bersamaan terbentuk buffer yang dapat menetralisir pH. Di sisi
lain untuk mecegah penurunan pH yang drastis maka perlu ditambahkan buffer
sebelum tahap pertama berlangsung. Bakteri pembentuk asam-asam organik
tersebut diantaranya adalah Pseudomonas, Flavobacterium, Eschericia, dan
Acetobacter (Hermawan, 2005).
Sebagian produk hasil metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat yang
berupa asam lemak rantai pendek (asam butirat, asam propionat, dan asam laktat)
juga akan dikonversi menjadi asam asetat oleh bakteri acetogenik penghasil
hidrogen. Pada tahap ini juga akan terbentuk hidrogen dan karbondioksida
(Nuraeni, 2002). Persamaan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut (Manurung,
2007) :
·
Bakteri pembentuk asam menguraikan senyawa glukosa menjadi asam lemak
volatil:
C6H12O6 + 2H2O
2CH3COOH + 2CO2 + 4H2
As. asetat
2CH3CH2CH2COOH + 4CO2 + 2H2
As. butirat
2CH3CH2COOH + 2H2O
2C6H12O6
C6H12O6 + 2H2
As. propionat
3. Metanogenesis
Tahap
ketiga
adalah
konversi
asam
organik
menjadi
metan,
karbondioksida, dan gas-gas lain seperti hidrogen sulfida, hidrogen, dan nitrogen
(Hermawan, 2005). Menurut Manurung (2007) reaksi yang terjadi dalam tahap ini
adalah :
21
a. Bakteri asetogenik meguraikan asam propionat dan asam butirat menjadi asam
asetat :
CH3CH2COOH + 2H2O
CH3COOH + CO2 + 3H2
As. asetat
CH3CH2CH2COOH + 2H2O
2CH3COOH + CO2 + 2H2
As. asetat
b. Bakteri metan asetotropik menguraikan asam asetat menjadi metan:
CH3COOH
CH4 + CO2
metan
c. Bakteri metan hidrogenotropik mensintesa hidrogen dan karbondioksida
menjadi metan :
2H2 + CO2
CH4 + 2H2
metan
Bakteri metanogenik bersifat strict atau obligate anaerob dengan oksigen
sebagai penghambat. Salah satu karakteristik tahap ini yang penting adalah hanya
sedikit substrat yang digunakan sebagai sumber energi untuk bakteri metanogenik.
Sampai saat ini disepakati bahwa hanya asam format, asam asetat, metanol, dan
hidrogen yang dapat digunakan sebagai sumber energi oleh berbagai bakteri
metanogenik (Karsini, 1980). Konversi ini dilakukan oleh bakteri metan seperti
Methanobacterium omelianskii, Methanobacterium solugenii, Methanobacterium
suboxydons, dan lain-lain. Bakteri metan ini sangat sensitif terhadap perubahan
suhu dan pH, oleh karenanya kedua parameter ini harus dikendalikan dengan baik.
pH optimum pembentukan biogas adalah antara 7,0-7,2 (Hermawan, 2005).
Ketiga proses pembuatan biogas di atas dapat disederhanakan dalam
Gambar 1:
22
Hidrolisis
Bahan organik kompleks
· Karbohidrat
· Protein
· Lemak
Senyawa organik sederhana
Asidogenesis
Asetat, Format,
CO2, H2
Asam volatil,
alkohol, keton,
aldehid, H2O
Asetat, H2
Metanogenesis
CH4, CO2,
H2 O
Gambar 1. Proses pembentukan metan dalam produksi biogas
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi
Isotop dan Radiasi (PATIR), BATAN, Pasar Jum’
at. Penelitian ini dilaksanakan
selama 8 bulan mulai dari tanggal 3 Maret –
31 Oktober 2008.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada proses pembuatan biogas adalah bejana, aerator,
digester dan waterbath incubator. Alat yang digunakan untuk analisis adalah
gelas ukur, gelas piala, erlemeyer, labu ukur, pipet tetes, tabung reaksi, buret, alat
distilasi, tanur, oven, desikator, gegep (alat penjepit), timbangan digital, cawan
petri, dan indikator pH.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampah berupa
campuran buah-buahan (pepaya, apel, pir, jambu, mangga, jeruk, melon,
semangka, dan belimbing) yang berasal dari pasar Ciputat, bioaktivator EM4,
feses sapi dari peternakan H. Mahmud Ciputat. Bahan kimia yang digunakan
untuk analisis beberapa parameter diantaranya K2CrO7 0,025 N, Fe(NH4)2SO4
0,025 N, HCl 0,01 N, H2SO4 pekat, H2SO4 15%, NaOH 40%, H3BO3 4%, NaOH
0,1 N, Selen, indikator Bromocresol Green / Methylred (BCG-MR), indikator
Ferroin, indikator Fenolftalein.
24
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Perlakuan Sampel
Sampel (sampah buah-buahan) dikecilkan ukurannya menjadi 1-2 cm dan
dihomogenkan. Setelah homogen, dilakukan pengukuran kadar air sampel.
3.3.2. Fermentasi Aerob
Fermentasi aerob dilakukan pada suhu ruang 28oC selama + 5 hari. Sampel
yang telah homogen ditimbang sebanyak 200 g dan dimasukan ke dalam 2 buah
bejana, lalu ditambahkan air masing-masing sebanyak 200 ml (1:1 = w/v). Pada
bejana 1 tanpa penambahan bakteri (B0) dan bejana 2 dengan penambahan bakteri
EM4 sebanyak 2 mL (B2). Ke dalam masing-masing bejana tersebut dialirkan
udara melalui aerator.
Analisis yang dilakukan pada tahap ini adalah pengukuran pH, kadar air,
Total Solid (TS), Volatile Fatty Acid (VFA), Chemical Oxygen Demand (COD),
kandungan karbon, dan kandungan nitrogen.
3.3.3. Fermentasi Anaerob
Hasil dari fermentasi aerob digunakan sebagai substrat untuk fermentasi
anaerob. Rasio C/N substrat ditambahkan feses sapi sehingga dicapai rasio C/N
yang diinginkan yaitu 25, 30, dan 35. Percobaan ini dilakukan tanpa oksigen.
Substrat hasil fermentasi aerob ditambahkan feses sapi yang sudah
dicampur dengan rezazury, mikromineral, makromineral, aquadest, larutan
pereduksi, dan natrium karbonat sehingga didapatkan rasio C/N 25, 30, dan 35
(Lampiran 4).
Hasil campuran tersebut diambil sebanyak 20 ml dan di masukan ke dalam
digester. Suhu water bath incubator diatur 25°C, 30°C, dan 35°C. Analisis pada
25
tahap ini adalah pengukuran COD, VFA, dan pH yang dilakukan pada awal dan
akhir proses fermentasi, hal ini dikarenakan digester yang digunakan berupa
digester tipe batch. Volume gas terakumulasi dilakukan pengukuran setiap hari
selama + 15 hari.
3.3.4. Analisis yang dilakukan selama Proses Fermentasi
·
Analisis pH
Sampel dibiarkan dahulu lalu diencerkan dengan air dengan perbandingan
1:1 (w/v) kemudian diaduk selama + 5 menit dan ditentukan nilai pH dengan
menggunakan kertas indikator pH.
·
Analisis Kadar Air (metode oven, SNI 01-3555-1998)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada temperatur
105°C lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mendapatkan bobot
tetap (A). Ditimbang berat sampel sebanyak 2 g (B), dimasukan ke dalam cawan
porselen dan dipijarkan + 1 jam. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator
dan ditimbang lagi hingga mendapatkan bobot yang tetap (C). Pemanasan diulang
sampai diperoleh berat konstan. Sisa sampel dihitung sebagai total padatan dan
pengurangan berat menunjukan banyaknya air dalam bahan.
Kadar Air =
·
(B - A) - (C - A)
´ 100%
( B - A)
Total Solid (TS) (APHA ed 20th 1996)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada temperatur
105°C lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mendapatkan bobot
26
tetap (A). Ditimbang berat sampel sebanyak 2 g (B), dimasukan ke dalam cawan
porselen dan dipijarkan + 2 jam pada temperatur 105°C. Kemudian cawan
didinginkan dalam desikator dan ditimbang lagi hingga mendapatkan bobot yang
tetap (C).
Total Solid (%) =
·
C- A
´ 100%
B- A
Volatile Fatty Acid (VFA) Total
Sebanyak 5 ml sampel diambil lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15%.
Dimasukan 2 ml supernatan ke dalam labu distilasi yang kemudian didistilasi.
Distilat diambil dan dimasukan ke dalam gelas erlemeyer. Distilat ditritasi dengan
NaOH 0,1 N dengan ditambahkan indikator PP terlebih dahulu. Titrasi dihentikan
setelah terjadi perubahan warna dari tidak berwarna manjadi ungu muda. Volume
NaOH 0,1 N yang digunakan untuk titrasi dicatat.
VFA (mg/ml) = ml NaOH x N NaOH x
·
vSampel + vH 2SO4 vDestilat
´
mlSuperna tan
mlSampel
Chemical Oxygen Demand (COD) (APHA ed 20 th, 1996)
1 ml sampel yang telah diencerkan dengan aquades dimasukan ke dalam
labu erlemeyer kemudian ditambahkan 2 ml K2 CrO7 0,025 N ditambah 2 ml
H2SO4 pekat. Setelah dingin, larutan tersebut dititrasi dengan Fe(NH4)2SO4 0,025
N dengan indikator ferroin. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari
biru kehijauan menjadi merah anggur. Volume Fe(NH4)2SO4 0,025 N yang
digunakan untuk titrasi dicatat (a), volume Fe(NH4)2SO4 yang digunakan untuk
titrasi blanko dicatat (b).
27
COD (mg/L) =
(a - b) x0,025x8000
x faktor pengenceran
mLsampel
Keterangan :
a = Volume Fe(NH4)2SO4 yang digunakan untuk titrasi sampel
b = Volume Fe(NH4)2 SO4 yang digunakan untuk titrasi blanko
0,025 = Normalitas Fe(NH4)2SO4
·
Kandungan karbon (ASTM D-189)
Disiapkan cawan porselen yang bersih kemudian dikeringkan dalam oven
selama 1 jam pada temperatur 105°C lalu didinginkan dalam desikator dan
ditimbang hingga mendapatkan bobot tetap (A). Ditimbang berat sampel sebanyak
2 g (B), Lalu cawan dimasukan ke dalam tanur dengan temperatur 650°C selama
+ 6 jam. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang lagi hingga
mendapatkan bobot yang tetap (C).
Kadar abu (%) =
(C - A)
´ 100%
(B - A)
Kandungan karbon = 100% - Kadar abu
·
Kandungan nitrogen
Sebanyak 0,5 g sampel dimasukan ke dalam laju Kjeldahl dan
ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 25 ml dan 0,25 g selen, lalu didestruksi ke
dalam destruksi dingin hingga jernih. Ditambahkan NaOH 40% sebanyak 15 ml
ke dalam larutan tersebut. Kemudian disiapkan larutan penampung dalam
erlemeyer 125 ml yang terdiri dari 15ml H3BO3 4% dan BCG-MR sebanyak 2-3
tetes. Sampel dimasukan ke dalam labu distilasi kemudian hasilnya didistilasi.
Distilasi dihentikan apabila tidak ada lagi gelembung-gelembung yang keluar
pada larutan penampung . Hasil distilasi kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N.
28
% N = (ml titrasi sampel –
ml titrasi blanko) x N HCl x Ar N x 100%
ml sampel
3.3.5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPSS 13 dengan
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap menggunakan 2x pengulangan.
29
Sampah Buah-buahan
Air 200ml
(1:1=w/v)
dan aerator
sebagai
sumber O2
Analisis pH,
COD, VFA,TS,
& kandungan C
dan N
Timbang 200g bahan baku
dan masukan ke dalam bejana
dikecilkan ukurannya
menjadi 1-2 cm dan
analisis kadar air
Bejana 1 tanpa
penambahan bakteri
(B0). Bejana 2 dengan
penambahan EM4 2ml
(B2)
Fermentasi Aerob
Substrat
Fermentasi Anaerob
Rasio C/N 25, C/N 30, C/N 35 dan
Suhu 25°C, 30°C, 35°C
Larutan
Feses
Analisis pH, COD,
dan VFA
Pengukuran biogas
Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembentukan Biogas
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fermentasi Aerob
Bahan baku (sampel) yang digunakan terdapat dua jenis, yaitu sampel
tanpa penambahan EM4 (B0) dan sampel yang ditambahkan bioaktivator EM4
(B2). Kandungan mikroba dalam effective microorganism terdiri dari bakteri
aerob dan anaerob yang bekerjasama menguraikan bahan organik secara terus
menerus.
4.1.1. Kadar Air
Berdasarkan hasil yang didapatkan nilai kadar air pada B0 dan B2 cukup
besar. Hal ini disebabkan karena bahan baku yang digunakan berupa buah-buahan
yang mengandung kandungan air yang besar, seperti semangka, melon, jeruk, dan
lainnya. Menurut Widowati (2007) buah-buahan umumnya mempunyai kadar air
tinggi (60-80%). Nilai kadar air yang besar juga diperoleh dari hasil degradasi
bahan organik yang menyebabkan kandungan air dalam bahan menjadi
meningkat. Hasil analisis penurunan kandungan air ini ditunjukkan dalam Gambar
3.
25
20
Tanpa EM4
15
Penam bahan
EM4
10
5
0
0
3
5
W aktu fermentasi (hari)
Gambar 3. Hasil analisis penurunan kadar air pada fermentasi aerob
Dari Gambar di atas terlihat bahwa pada hari ke-0 sampai ke-3 nilai kadar
air B0 mengalami penurunan yang cukup tinggi yaitu sebesar 26,19% sedangkan
pada B2 sebesar 15,19%. Penurunan kadar air B0 lebih tinggi dibandingkan B2, hal
ini dapat disebabkan bakteri yang terdapat dalam B2 masih beradaptasi dengan
lingkungan baru sehingga degradasi bahan-bahan organik sedikit berjalan lambat.
Pada hari ke-3 sampai hari ke-5 penurunan nilai kadar air B0 16,74% dan
B2 19,99%. Penurunan nilai kadar air B2 lebih tinggi dibandingkan B0, hal ini
menunjukkan bahwa bakteri yang terdapat dalam B2 telah melewati proses
adaptasi sehingga bahan-bahan organik menjadi lebih cepat terdegradasi. Bahan
organik yang didegradasi diantaranya adalah karbohidrat, lemak, dan protein. Dari
hasil analisis menggunakan analisa variasi, nilai kadar air yang dihasilkan B0 dan
B2 tidak berbeda nyata dengan nilai signifikansi 0,185 (lampiran 7).
32
4.1.2. Total Solid (TS)
Nilai TS yang diperoleh pada sampel mengalami penurunan seperti yang
terlihat pada Gambar 4.
70
60
50
40
Tanpa EM4
30
Penam bahan
EM4
20
10
0
0
1
3
5
Waktu ferm entasi (hari)
Gambar 4. Hasil analisis penurunan TS pada fermentasi aerob
Penurunan nilai TS pada hari ke-0 sampai ke-1 pada B0 3,24% dan B2
36,39%. Dari data tersebut terlihat bahwa penurunan TS pada B2 lebih tinggi
dibandingkan pada B0. Hal ini disebabkan adanya penambahan bakteri EM4 pada
B2 sehingga pendegradasian sampel menjadi lebih cepat. Dari Gambar 4 juga
didapatkan bahwa penurunan nilai TS pada B2 tetap lebih tinggi sampai hari ke-5.
Penurunan nilai TS menunjukkan bahan organik seperti karbohidrat,
lemak, dan protein mengalami degradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Karbohidrat diubah menjadi glukosa, lemak diubah menjadi asam lemak, dan
protein diubah menjadi asam amino (Padmi, 2001). Penurunan nilai TS ini juga
memperlihatkan adanya perombakan senyawa organik menjadi asam-asam
organik (asam asetat, asam butirat, dan asam propionat) dan karbondioksida.
33
Nilai TS yang dihasilkan B0 dan B2 setelah diuji menggunakan SPSS
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan nilai signifikansi 0,277
(Lampiran 8). Hal ini menunjukan bahwa penambahan EM4 pada sample belum
memberikan pengaruh terhadap pendegradasian sampel.
4.1.3. Rasio C/N
Analisis Rasio C/N bertujuan untuk mengetahui kandungan karbon dan
nitrogen dalam bahan baku. Berdasarkan hasil analisis, nilai rasio C/N sampel
ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini :
Tabel 4. Hasil Analisis Rasio C/N pada Fermentasi Aerob
Sampel
Rasio C/N
Penurunan Rasio
Awal (hari ke-0)
Akhir (hari ke-5)
C/N (%)
B0
93,47
71,76
23,23
B2
79,51
59,07
25,71
Nilai rasio C/N baik sampel B0 dan B2 mengalami penurunan. Penurunan
nilai rasio C/N ini menunjukkan adanya penguraian kandungan karbon oleh
mikroorganisme membentuk karbondioksida sedangkan nitrogen digunakan untuk
hidup dan melakukan pertumbuhan (Syafila, 2007). Penurunan nilai rasio C/N
pada B2 lebih besar dibandingkan pada B0, hal ini disebabkan adanya penambahan
EM4 dalam sampel B2 sehingga jumlah bakteri yang terkandung menjadi lebih
banyak dan lebih cepat menguraikan senyawa karbon.
34
Dari Tabel 4 dapat dilihat kandungan karbon yang terdapat dalam kedua
sampel tinggi. Untuk menghasilkan produksi biogas yang efisien diperlukan
bahan yang mempunyai rasio C/N antara 20 dan 30 (Hermawan, 2005). Menurut
Hidayati (1999), bila rasio C/N lebih dari 30 maka proses pembentukan biogas
memerlukan waktu yang agak lama karena nitrogen akan cepat habis dan
pendegradasian berlangsung lambat.
4.1.4. Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan
selama dekomposisi bahan organik secara kimia (Harsini, 1995). Analisis COD
ini menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya
kalium dikromat untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam
larutan. Berdasarkan hasil analisis nilai COD yang didapat mengalami penurunan
seperti yang terlihat pada Gambar 5.
10
9
8
7
6
Tanpa EM4
5
Penam bahan
EM4
4
3
2
1
0
0
1
3
5
Waktu fermentasi (hari)
Gambar 5. Hasil Analisis COD pada fermentasi aerob
35
Penurunan nilai COD hari ke-0 sampai ke-1 pada B0 6,98% dan B2 4,55%.
Hasil ini menunjukkan adanya pemakaian
oksigen oleh bakteri untuk
menguraikan bahan organik menjadi asam-asam organik dan karbondioksida.
Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan
karbon yang diperoleh dari oksigen terlarut dalam larutan (Amaru, 2004).
Dari hasil analisa SPSS (Lampiran 9) terlihat baik sampel B0 dan B2 nilai
COD yang didapatkan tidak berbeda nyata dengan nilai signifikansi sebesar 0,845.
4.1.5. Volatile Fatty Acid (VFA)
Volatile Fatty Acid (VFA) atau asam lemak volatil adalah asam organik
yang mudah menguap seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat.
Berdasarkan hasil analisis seperti yang terlihat pada Gambar 6 nilai VFA pada B0
mengalami fluktuasi sedangkan pada B2 mengalami peningkatan.
2.5
2
1.5
tanpa EM4
Penam bahan
EM4
1
0.5
0
0
1
3
5
Waktu fe rme ntasi (hari)
Gambar 6. Hasil analisis VFA pada fermentasi aerob
36
Pada hari ke-1 sampai ke-3, nilai VFA pada B0 dan B2 meningkat yaitu 1,7
mmol/100ml dan 1,5 mmol/100ml. Hal ini menunjukkan adanya produksi asamasam volatil organik oleh bakteri. Pada hari ke-3 sampai hari ke-5, nilai VFA B0
menurun menjadi 1,5 mmol/100 ml sedangkan nilai VFA B2 mengalami
peningkatan menjadi 1,7 mmol/100ml.
Hasil ini
menunjukkan adanya
penambahan EM4 dalam B2 memberikan pengaruh yang baik terhadap proses
perombakan bahan-bahan organik sehingga pada hari ke-5 bakteri masih
memproduksi asam-asam organik dan menghasilkan nilai VFA yang lebih tinggi
dibandingkan sampel B0.
Asam organik yang dihasilkan ini akan digunakan oleh bakteri asetogenik
sebagai substrat pembentuk metan. Menurut Bryant (1987) alkohol dan asam
volatil rantai pendek tidak dapat langsung digunakan sebagai substrat pembentuk
metan, tetapi harus dirombak dahulu oleh bakteri asetogenik menjadi asetat,
hidrogen, dan karbondioksida.
Berdasarkan hasil yang didapatkan menggunakan analisa variasi, nilai
VFA B0 dan B2
menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan nilai
signifikansi 0,977. Hasil analisis SPSS ini dapat dilihat pada Lampiran 10.
4.1.6. Derajat keasaman (pH)
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi laju produksi biogas adalah
pH. Nilai pH menunjukkan tingkat keasaman suatu bahan. Hasil analisis pH dapat
dilihat pada Gambar 7.
37
7
6
5
4
Tanpa EM4
3
Penam bahan
EM4
2
1
0
0
1
2
3
4
5
Waktu fermentasi (hari)
Gambar 7. Hasil analisis pH pada fermentasi aerob
Dari Gambar di atas terlihat bahwa nilai pH mengalami penurunan sampai
hari ke-2, hal ini menunjukkan bahwa adanya proses degradasi senyawa organik
menjadi asam-asam organik yang terkandung dalam sampel sehingga membuat
suasana larutan menjadi asam. Penurunan pH tertinggi pada B0 terjadi pada hari
ke-1 sedangkan pada B2 terjadi pada hari ke-2 yaitu pH 3,5. Menurut Rochaeni
(2003) pada awal proses fermentasi, pH akan selalu turun karena sejumlah
mikroorganisme tertentu akan mengubah sampah organik menjadi asam-asam
organik. Selain itu, komposisi bahan yang digunakan dapat mempengaruhi nilai
pH, karena buah-buahan yang sudah tidak segar umumnya mempunyai nilai pH
rendah (bersifat asam).
Setiawan (1996) juga mengatakan pada awal pencernaan, pH cairan akan
turun menjadi 6 atau mungkin lebih rendah. Bakteri akan giat bekerja pada kisaran
pH antara 6,8-8,0. Kisaran pH ini akan memberikan hasil pencernaan yang
optimal. Semakin lama waktu fermentasi, nilai pH larutan meningkat kembali.
38
Pada hari ke-5 nilai pH B0 dan B2 sama yaitu 6. Hal ini menunjukkan bahwa asam
organik yang telah dihasilkan dijadikan sumber nutrisi oleh mikroorganisme yang
bekerja sehingga dapat menyebabkan nilai pH menjadi naik kembali (Rochaeni,
2003).
Berdasarkan hasil analisa variasi didapatkan baik B0 dan B2 nilai pH yang
dihasilkan tidak berbeda nyata dengan nilai signifikansi 0,574 (Lampiran 11), hal
ini memperlihatkan bahwa belum adanya pengaruh penambahan EM4 dalam
sampel B2.
4.2. Fermentasi Anaerob
Substrat hasil dari proses fermentasi aerob ditambahkan dengan feses sapi
sehingga pH larutan menjadi 7 (netral). Menurut Fry (1974) pertumbuhan bakteri
penghasil gas metan akan baik bila pH bahannya dalam keadaan basa. Bila proses
fermentasi berlangsung dalam keadaan normal dan anaerob, maka pH akan secara
otomatis berkisar antara 7,0-8,5.
Rasio C/N substrat pada sampel B2 sebesar 59,07%. Berdasarkan rasio
C/N tersebut, terlihat bahwa kandungan karbon dalam sampel cukup tinggi
sehingga diperlukan penambahan nitrogen untuk memperoleh rasio C/N 25, 30,
dan 35. Kandungan nitrogen yang besar terdapat dalam kotoran hewan dan
kotoran manusia, sehingga substrat hasil fermentasi aerob ini ditambahkan feses
sapi terlebih dahulu agar kebutuhan nitrogen dapat terpenuhi dengan baik.
Feses sapi merupakan substrat yang paling cocok sebagai sumber pembuat
biogas karena substrat tersebut telah mengandung bakteri penghasil gas metan
39
yang terdapat dalam perut hewan ruminansia (Meynell, 1976). Selama proses
berlangsung, mikroba yang bekerja membutuhkan nutrien. Kebutuhan nutrien
tersebut diantaranya karbon, nitrogen, hidrogen, dan fosfor. Nutrisi yang paling
penting diantara nutrien tersebut adalah karbon dan nitrogen (Yani dan Darwis,
1990).
4.2.1. Produksi Biogas
Proses
pembentukan
biogas
dilakukan
secara
anaerob.
Bakteri
methanogenik adalah bakteri yang sensitif terhadap kehadiran oksigen sehingga
alat-alat yang dibutuhkan harus kedap udara. Sedikit saja terjadi kebocoran pada
alat dapat menyebabkan kegagalan terbentuknya biogas. Pada dasarnya efisiensi
produksi biogas sangat dipengaruhi berbagai faktor. Dalam penelitian ini,
penambahan EM4 ke dalam sampel B2, adanya variasi suhu dan rasio C/N akan
diamati sehingga didapatkan kondisi terbaik untuk menghasilkan biogas yang
optimum.
A. Pengaruh Penambahan Bakteri
Produksi biogas melalui fermentasi anaerob dilakukan oleh aktivitas
mikroorganisme. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penambahan
EM4 pada sampel B2 dapat mempengaruhi produksi biogas yang dihasilkan. Hal
ini ditunjukkan pada Gambar 8.
40
90
80
70
C/N 25 B0
60
C/N 25 B2
50
C/N 30 B0
C/N 30 B2
40
C/N 35 B0
30
C/N 35 B2
20
10
0
0
1
3
5
7
9
11
13
15
W a ktu fe rm e n ta si (ha ri)
Gambar 8. Produksi Biogas pada Suhu 35°C
Dari Gambar 8 terlihat bahwa sampel B2 menghasilkan volume gas lebih
banyak dibandingkan sampel B0. Hal ini dapat terjadi karena adanya penambahan
bioaktivator EM4 pada sampel B2 sehingga proses degradasi dapat berjalan
dengan cepat.
Mikroorganisme EM4 mampu mendegradasi senyawa-senyawa organik
dalam limbah lebih cepat daripada hanya tergantung dari mikroorganisme alami
dalam limbah (Hanifah, 2001). Penambahan bioaktivator ini bertujuan untuk
merangsang perkembangbiakan mikroorganisme dalam menguraikan bahan
organik (Ginting, 2007). Kandungan mikroba dalam Effective Microorganism 4
terdiri dari bakteri aerob dan anaerob yang bekerjasama menguraikan bahan
organik secara terus menerus. Pada tahap pembentukan gas metan ini bakteri yang
berperan adalah bakteri metanogenesis. Bakteri metanogenesis ini akan
membentuk gas metan dan karbondioksida dari gas hidrogen, karbondioksida, dan
asam asetat yang dihasilkan pada tahap fermentasi aerob (Amaru, 2004).
41
Hasil analisis SPSS menggunakan analisa variasi menunjukan sampel B0
dan B2 berbeda nyata dengan nilai signifikansi 0,004 (Lampiran 12). Hasil ini
menunjukkan bahwa penambahan EM4 dalam sampel B2 memberikan pengaruh
yang baik sehingga volume biogas yang dihasilkan lebih besar dibandingkan
sampel B0.
B. Pengaruh Suhu dan Rasio C/N
Berdasarkan hasil yang didapatkan bahwa produksi biogas dari hari ke-0
sampai hari ke-15 mengalami peningkatan. Peningkatan volume biogas ini
menandakan bahwa proses degradasi bahan organik yang terdapat dalam sampel
berjalan dengan baik. Pengamatan produksi biogas ini dilakukan selama 15 hari.
Menurut Hidayati (1999) lamanya proses fermentasi dari bahan organik hingga
tercerna dan terbentuk biogas dalam digester membutuhkan waktu 12-60 hari.
Berdasarkan literatur tersebut produksi biogas masih akan terus meningkat. Hasil
produksi biogas dengan adanya variasi suhu ditunjukkan dalam Gambar berikut.
90
80
70
60
T 2 5°C
50
T 3 0°C
40
T 3 5°C
30
20
10
0
0
1
3
5
7
9
11
13
15
W a k tu fe r m e n ta si (h a r i )
Gambar 9. Produksi Biogas pada rasio C/N 25
42
Dari Gambar 9 terlihat bahwa produksi biogas terus meningkat sampai
hari ke-15. Pada rasio C/N 25 produksi biogas tertinggi terjadi pada suhu 35°C
yaitu 77,80 ml/100g COD sedangkan produksi biogas terendah terjadi pada suhu
25°C yaitu 32,40 ml/100g COD. Dari hasil analisis data menggunakan SPSS
menunjukkan pada rasio C/N 25, antara suhu 25°C terhadap suhu 30°C tidak
berbeda nyata (a >0,05), tetapi antara suhu 25°C dan 30°C terhadap suhu 35°C
berbeda nyata (Lampiran 13). Produksi biogas pada rasio C/N 30 ditunjukan pada
Gambar berikut.
90
80
70
60
T 25°C
50
T 30°C
40
T 35°C
30
20
10
0
0
1
3
5
7
9
11
13
15
W a ktu fe rm e nta si (ha ri)
Gambar 10. Produksi Biogas pada rasio C/N 30
Dari gambar di atas menunjukkan produksi biogas tertinggi terjadi pada
suhu 35°C sebesar 83,30 ml/100g COD sedangkan produksi biogas terendah
terjadi pada suhu 25°C sebesar 28,50 ml/100g COD. Berdasarkan analisa variasi
memperlihatkan rasio C/N 30 baik suhu 25°C, 30°C, dan 35°C berbeda nyata
(a <0,05) terlihat pada Lampiran 13. Hasil produksi biogas rasio C/N 35
ditunjukan dalam Gambar 11.
43
70
60
50
T 25°C
40
T 30°C
30
T 35°C
20
10
0
0
1
3
5
7
9
11
13
15
Wa ktu ferme nta si (hari)
Gambar 11. Produksi Biogas pada rasio C/N 35
Dari Gambar 11 terlihat suhu 35°C menghasilkan produksi biogas
tertinggi sebesar 60,30 ml/100g COD sedangkan produksi biogas terendah terjadi
pada suhu 30°C sebesar 16,80 ml/100g COD. Hasil analisis SPSS pada rasio C/N
35 didapatkan baik suhu 25°C terhadap suhu 30°C tidak berbeda nyata sedangkan
terhadap suhu 35°C berbeda nyata dengan nilai signifikansi 0,064 (Lampiran 13).
Dari Gambar 9 sampai 11 terlihat laju pembentukan gas metan dalam
reaktor biogas sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu. Suhu bagi mikroorganisme
dapat mempengaruhi proses metabolisme sel dalam proses perombakan bahan
organik. Dengan meningkatnya suhu akan meningkatkan produk metabolisme
seperti biogas (Kharisma, 2006). Hasil produksi biogas tertinggi sampel terjadi
pada suhu 35°C. Hasil ini sama dengan yang didapatkan oleh Indriyati (1999)
yang menyatakan bahwa suhu 35°C merupakan suhu optimum dari bakteri
mesophilic untuk tumbuh dan memproduksi metan dalam digester. Produksi
44
biogas terendah terdapat pada suhu 25°C. Dari sini dapat terlihat jelas bahwa suhu
sangat mempengaruhi produksi biogas.
Pranoto (1999) juga mengatakan bahwa semakin tinggi temperatur maka
pertumbuhan bakteri akan semakin cepat dan hal ini berarti proses penguraian
akan semakin cepat. Apabila temperatur terlalu rendah, aktivitas bakteri akan
menurun dan mengakibatkan produksi biogas menurun. Sebaliknya, apabila
temperatur terlalu tinggi bakteri akan mati dan produksi biogas akan terhenti
(Hidayati, 1999).
Selain kondisi suhu, faktor terpenting dalam produksi biogas ini juga
dipengaruhi oleh rasio C/N yang digunakan. Faktor rasio C/N dari bahan organik
sangat menentukan kegiatan mikroorganisme dan produksi biogas. Unsur karbon
dan nitrogen ini diperlukan untuk makanan (nutrisi) mikroba yang bekerja selama
proses fermentasi. Unsur karbon akan dikonversi menjadi CO2 sebagai energi
yang digunakan untuk mengaktifkan mikroorganisme sedangkan nitrogen adalah
protein yang digunakan untuk makanan bakteri (Syafilia, 2007).
Dari Gambar 9 sampai Gambar 11 menunjukan rasio C/N yang
menghasilkan produksi gas tertinggi adalah rasio C/N 30. Kebutuhan bakteri akan
karbon kira-kira 30 kali lebih banyak daripada nitrogen, oleh karena itu
perbandingan C/N yang optimal untuk memproduksi gas metan adalah 30:1 (Fry,
1974). Menurut Hermawan (2005), untuk menghasilkan proses pembuatan yang
efisien diperlukan bahan yang mempunyai nisbah C/N antara 20 dan 30. Apabila
rasio C/N lebih dari 30 maka kandungan karbon terlalu banyak sehingga dalam
proses pembentukan biogas memerlukan waktu yang agak lama, hal ini akan
45
menyebabkan nitrogen akan cepat habis dan produksi biogas berlangsung lambat
(Hidayati, 1999).
Berdasarkan hasil yang didapatkan oleh Sari (2007) menunjukkan bahwa
suhu dan rasio C/N dapat mempengaruhi produksi biogas. Sari mendapatkan suhu
terbaik untuk pembentukan biogas dari campuran sayuran dan buah-buahan
adalah 35°C dan rasio C/N 30. Hasil ini sama dengan yang didapatkan dalam
penelitian ini, tetapi volume biogas yang dihasilkan berbeda. Sari mendapatkan
volume biogas sebesar 94,45 ml/100gCOD sedangkan penelitian ini sebesar 83,30
ml/100gCOD. Hal ini dapat disebabkan kandungan bahan organik yang terdapat
dalam campuran sampah sayuran dan buah-buahan lebih banyak dibandingkan
hanya sampah buah-buahan saja sehingga senyawa organik yang dihasilkan untuk
dirombak menjadi biogas pun besar.
Hasil analisis SPSS dengan analisa variasi memperlihatkan bahwa antara
rasio C/N 25, C/N 30, dan C/N 35 berbeda nyata dengan nilai signifikansi 0,001
(lampiran 13).
4.2.2. Chemical Oxygen Demand (COD)
Gas metan terbentuk karena proses fermentasi secara anaerob oleh bakteri
penghasil metan. Pembentukan gas metan ini diawali dengan meningkatnya H2
dan CO2 yang selanjutnya diikuti dengan menurunnya CO2. Metan mulai
terbentuk segera setelah kadar fatty acid rendah dan H2 mulai menurun
(Murdiyarso, 1997). Nilai COD yang dihasilkan pada fermentasi anaerob
46
mengalami penurunan dibandingkan dengan nilai COD pada awal fermentasi.
Penurunan nilai COD ini dapat dilihat pada Gambar 12.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
T 25°C T 30°C T 35°C T 25°C T 30°C T 35°C T 25°C T 30°C T 35°C
C/N 25
C/N 30
C/N 35
Gambar 12. Analisis COD fermentasi anaerob dengan perlakuan penambahan EM4
Dari Gambar 12 terlihat bahwa penurunan nilai COD menunjukkan adanya
penurunan jumlah bahan organik dalam substrat. Bahan organik dalam substrat
mengalami degradasi sehingga kebutuhan oksigen (COD) selama fermentasi
anaerob menurun.
Penurunan nilai COD tertinggi terjadi pada rasio C/N 30 suhu 30°C
sebesar 81,8% dengan volume biogas yang dihasilkan 43,10 ml/100g COD
sedangkan nilai COD yang mengalami penurunan terendah terjadi pada rasio C/N
30 suhu 35°C sebesar 11,1% dengan volume biogas 83,80 ml/100g COD. Nilai
COD yang mengalami penurunan yang tinggi tidak sebanding dengan jumlah
volume biogas yang dihasilkan.
47
Penurunan COD tertinggi dan terendah terjadi pada rasio C/N 30 tetapi
dengan suhu yang berbeda yaitu 30°C dan 35°C. Penurunan nilai COD pada suhu
30°C mendapatkan volume biogas lebih rendah dibandingkan pada suhu 35°C.
Hal ini dapat terjadi karena tidak semua bahan organik dirombak menjadi gas
metan tetapi menjadi bahan organik mikro (berupa padatan) yang tertinggal dalam
sludge. Produksi biogas yang rendah juga dapat disebabkan karena perombakan
senyawa organik yang terdapat dalam limbah berjalan lambat sehingga volume
yang dihasilkan sedikit. Jika dekomposisi berjalan lambat maka asam-asam
organik yang dihasilkan sedikit sehingga perombakan menjadi gas metan pun
kecil (Hanifah, 2001).
Penurunan nilai COD pada suhu 35°C dapat menghasilkan produksi
biogas yang tinggi, hal ini disebabkan suhu 35°C merupakan kondisi optimum
dari bakteri untuk mendegradasi senyawa-senyawa organik dalam sampel.
Semakin banyak senyawa yang terdegradasi maka akan menurunkan kadar COD.
Berdasarkan hasil analisis SPSS didapatkan bahwa nilai COD dengan adanya
variasi suhu dan rasio C/N berbeda nyata dengan nilai signifikansi 0,010
(Lampiran 14).
4.2.4. Volatile Fatty Acid (VFA)
Tahapan proses anaerobik diawali oleh penguraian senyawa organik
bermolekul besar menjadi senyawa organik bermolekul rendah. Bahan tersebut
selanjutnya akan diuraikan menjadi asam organik kompleks dan kemudian
menjadi asam organik sederhana seperti asam asetat yang akhirnya diuraikan
48
menjadi gas metan (Purwati dan Rina, 2006). Banyaknya asam organik yang
dirombak menjadi biogas ini ditunjukan dalam Gambar 13.
5
4.5
4
3.5
3
awal
2.5
akhir
2
1.5
1
0.5
0
T
25°C
T
30°C
T
35°C
C/N 25
T
25°C
T
T
30°C 35°C
C/N 30
T
25°C
T
30°C
T
35°C
C/N 35
Gambar 13. Analisis VFA fermentasi anaerob dengan perlakuan penambahan EM4
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa nilai VFA mengalami
kenaikan. Kenaikan nilai VFA tertinggi terjadi pada rasio C/N 25 suhu 30°C
sebesar 2,8 mmol/100ml dengan volume biogas 46,60 ml/100g COD sedangkan
kenaikan VFA terendah terjadi pada rasio C/N 25 suhu 35°C dengan volume
biogas 77,80 ml/100g COD. Menurut Amaru (2004) asam organik yang
dihasilkan dari perombakan senyawa organik sederhana digunakan sebagai nutrisi
untuk pertumbuhan bakteri metanogen sehingga produksi biogas mengalami
peningkatan.
Dari hasil tersebut terlihat bahwa kenaikan nilai VFA tertinggi dan
terendah terjadi pada rasio C/N 25 dengan suhu yang berbeda yaitu suhu 30°C dan
35°C. Pada suhu 35°C volume biogas yang dihasilkan lebih besar dibandingkan
49
pada suhu 30°C. Hal ini disebabkan suhu 35oC merupakan suhu optimum bakteri
mesophilik untuk memproduksi biogas. Peningkatan kadar VFA juga dapat
disebabkan adanya penambahan larutan feses sapi yang banyak mengandung
selulosa sehingga oleh bakteri asetogenik selulosa tersebut difementasi menjadi
asam asetat yang kemudian oleh bakteri metan diubah menjadi metan.
Pada suhu 30°C kenaikan kadar VFA yang tinggi tidak sebanding dengan
volume biogas yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena tidak semua asamasam organik dirombak menjadi gas metan tetapi menjadi gas-gas lainnya seperti
karbondioksida, hidrogen sulfida, nitrogen dan lain-lain (Hermawan, 2005).
Berdasarkan hasil analisis variasi didapatkan bahwa nilai VFA dengan adanya
variasi suhu dan rasio C/N tidak berbeda nyata dengan nilai signifikansi 0,773
(Lampiran 14).
E. Derajat Keasaman (pH)
Perubahan nilai VFA juga dapat mempengaruhi nilai pH, apabila nilai
VFA naik maka dapat mengakibatkan menurunnya nilai pH. Penurunan nilai pH
akan mengakibatkan produksi biogas terhenti (Rahman, 2005). Untuk mencegah
turunnya nilai pH dapat dicegah dengan cara penambahan larutan buffer pada
awal proses fermentasi anaerob. Larutan buffer adalah suatu larutan yang bertahan
terhadap perubahan pH yang besar (Underwood, 1986). Hasil analisis pH dalam
proses fermentasi anaerob ini dapat dilihat dari Gambar 14.
50
9
8
7
6
5
awal
4
akhir
3
2
1
0
T
25°C
T
30°C
T
35°C
C/N 25
T
30°C
T
35°C
C/N 30
T
30°C
T
35°C
C/N 35
Gambar 14. Analisis pH fermentasi anaerob dengan perlakuan penambahan EM4
Berdasarkan Gambar 14 terlihat nilai pH mengalami kenaikan. Kenaikan
nilai pH tertinggi terjadi pada C/N 35 yaitu 12,5% dan kenaikan pH terendah
terjadi pada rasio C/N 25 sebesar 6,3%. Kenaikan pH ini disebabkan oleh
terbentuknya NH3 yang melebihi batas yang optimum sehingga menaikkan nilai
pH (Padmi, 2001). Nilai pH tertinggi yang didapatkan pada fermentasi anaerob ini
adalah 8,3 dan pH terendah adalah 7.
Dari hasil yang didapatkan ini terlihat bahwa nilai pH tidak mengalami
kenaikan yang tinggi dan proses fermentasi ini masih dalam rentang pH optimum
untuk produksi biogas. Pada umumnya bakteri penghasil metan sensitif terhadap
perubahan pH dan mempunyai kisaran pH optimum antara 6,5 –
8,5. Di atas pH
ini penguraian dapat berjalan tetapi efisiensi penguraian akan turun dengan cepat
dan akan menghasilkan kondisi asam yang akan menghambat pertumbuhan
bakteri metanogenik. Jika pertumbuhan bakteri metan terhambat, laju penguraian
asam volatil akan berkurang sehingga akan terjadi akumulasi asam volatil
51
(Padmi,2001). Hidayati (1999) juga menyatakan bahwa kondisi pH dipengaruhi
oleh kandungan asam-asam lemak organik.
Berdasarkan hasil analisis variasi didapatkan bahwa nilai pH dengan
adanya variasi suhu dan rasio C/N tidak berbeda nyata dengan nilai signifikansi
0,652 (Lampiran 14).
52
Download