Jakarta, 14 Agustus 2013 Kepada Yth. Bapak Drs. GBPH Yudaningrat, MM Kepala Dinas Kebudayaan – Pemda DIY Di Yogyakarta. Merujuk pada Surat Kepala Dinas Kebudayaan Pemda DIY No. 436/2146 tanggal 31 Mei 2013 perihal Permohonan sebagai Nara Sumber. Bersama ini kami sampaikan konfirmasi tertulis kesediaan dan makalah kami yang berjudul: Pengaruh Wayang Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat, Masa Lalu, Masa Kini dan Yang Akan Datang” guna kami presentasikan pada Seminar dalam rangka Kongres Pewayangan II di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta tgl. 22 s/d 24 Agustus 2013. Mengingat jadwal Kongres yang telah ditetapkan tersebut di atas, kami merencanakan akan tiba di Yogyakarta tgl 21 Agustus 2013, sehubungan dengan itu kami mohon Bapak berkenan menugaskan staf Bapak untuk mem-booking kamar hotel penginapan kami di tempat diselenggarakannya Seminar (Hotel Inna Garuda-Yogyakarta). Terima kasih kami haturkan atas perhatian Bapak. Ketua Umum SENA WANGI, Ttd. Drs. Suparmin Sunjoyo PENGARUH WAYANG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT, MASA LALU, MASA KINI DAN YANG AKAN DATANG Oleh : Suparmin Sunjoyo1 I. PENDAHULUAN Pertama-tama kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Kepala Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah - Daerah Istimewa Yogyakarta dan jajarannya serta Pimpinan dan staf Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardja Soemantri Universitas Gadjah Mada yang menyelenggarakan Kongres Pewayangan ke II pada tgl 22 – 24 Agustus 2013 bertempat di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta. Seperti kami ketahui, penyelenggaraan kongres di Yogyakarta ini adalah sebagai ganti belum adanya kesanggupan Pemerinta Daerah lain yang bersedia menjadi Tuan Rumah sejak diselenggarakannya Kongres Pawayangan ke I di Yogyakarta pada tahun 2005. Tentunya pada kesempatan ini kami berharap agar Pemda-pemda yang lain bersedia menjadi Tuan Rumah pada Kongres Pewayangan yang ke III mendatang dengan memrosesnya seawal mungkin melalui prosedur dan birokrasi terkait masing-masing. Wayang telah diperkenalkan sekitar lebih dari 3500 tahun, yang pada awalnya sebagai salah satu cara pemujaan arwah nenek wayang sejalan dengan budaya animisme kala itu telah berkembang dari zaman ke zaman yang secara luwes dapat mengamokomodasi budaya-budaya lain baik dari dalam negeri maupun dari luar yang masuk ke Nusantara. Panitia Kongres Wayang ke II telah mengarahkan agar pengaruh wayang dapat diulas dengan judul: “Pengaruh Wayang Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat, Masa Lalu, Masa Kini dan Yang Akan Datang”. Pengaruh Wayang yang akan penulis kemukakan pada kesempatan ini adalah adalah dalam artian pengaruh wayang terhadap individu (perorangan), pada masyarakat dan dan bangsa Indonesia serta dunia internasional. Di samping itu, pengaruh yang dimaksud adalah dalam kesatuan aspek: politis-ekonomis dan sosial budaya. 1 . Suparmin Sunjoyo, Ketua Umum Dewan Pengurus SENA WANGI, menyampaikan makalah ini sebagai Nara Sumber pada Seminar dalam rangka Kongres Pewayangan ke II yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardja Soemantri-Universitas Gadjah Mada, pada tanggal 22-24 Agustus 2013. Mengamati perkembangan yang terjadi sejak awal hingga saat ini serta menerawang ke masa yang akan datang, kami percaya bahwa wayang dalam gelombang pasang-surutnya akan tetap langgeng eksistensinya di bumi nusantara ini. 11. PENGARUH WAYANG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI MASA LALU Yang dimaksud dengan masa lalu di sini, kami mengambil dari buku yang ditulis oleh Ir. Sri Mulyono: WAYANG-Asal Usul dan Masa Depannya, tahun 1978. Antara lain disebutkan bahwa apabila dihitung dari bentuk aslinya wayang sudah berumur lebih kurang 3.478 tahun yaitu sekitar 1500 tahun Sebelum Masehi sampai tahun 19782 Jadi pada tahun 2013 wayang sudah berumur sekitar 3.478 + 35 tahun = 3.513 tahun. Sejak diperkenalkan ke publik pengaruh wayang telah melintasi sejumlah periode-periode yang menonjol yaitu: 1. Zaman Prasejarah Dalam zaman prasejarah di Indonesia atau sekitar 4000-2000 tahun Sebelum Masehi sampai dengan abad ke V Masehi3, alam pikiran nenek moyang kita masih sederhana. Mereka mempunyai anggapan bahwa semua benda yang ada di sekeliling kita mempunyai nyawa, mempunyai roh baik yang bersifat baik maupun jahat. Pemujaan kepada nenek-moyang, kercayaan pada roh-roh yang disebut hyang adalah merupakan kebudayaan Indonesia asli yang telah ada sebelum kedatangan Hindu di Indonesia. Pengetahuan mereka mengenai alam sekitarnya masih sederhana, sehingga mereka bebas untuk menggambarkan fantasi mereka. Misalnya tentang roh-roh yang mereka sebut sebagai Hyang, ada yang baik dan yang jahat. Roh yang jahat digambarkan sebagai orang hitam berwarna jelek dan berambut terurai. Roh ini tak kelihatan dan dianggap lebih berkuasa daripada manusia sehingga mereka berupaya agar tidak mengganggunya. Antara dunia roh dan dunia manusia ada suatu jembatan yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang dianggap sakti. Perbuatan untuk mengadakan hubungan gaib ini disebut upacara. Untuk melakukan upacara ada 3 syarat yaitu tempat khusus, waktu khusus dan orang sakti. Tempat khusus untuk mengadakan upacara yaitu: tempat pusat kekuatan gaib keluarga yaitu di bilik atau pendapa, saka guru, pringgitan. Waktu khusus: malam hari karena pada waktu itulah dianggap bahwa para roh sedang mengembara; waktu sehabis panen, waktu sebelum dan sesudah melaksanakan tugas berat, waktu perkawinan, kematian dsb. Orang sakti: pimpinan upacara untuk berhubungan dengan dunia gaib harus dilakukan oleh orang sakti misal pendeta, pimpinan desa atau keluarga, syaman atau perewangan, pawang dan akhirnya pada dalang. Demikianlah saat mula adanya pertunjukan wayang dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial masyarakat saat itu yang kemudian secara bertahap dalam waktu yang cukup lama namun tetap 2 3 Ir. Sri Moelyono, WAYANG-Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, halaman 3. S.d.a, halaman 53, 55, 56. mempertahankan fungsi intinya sebagai suatu kegiatan gaib yang berhubungan dengan kepercayaan. Sehingga kini mudah dipahami perubahan yang terjadi yaitu: Yang semula berupa bayang-bayang, gambar atau wujud roh telah berubah menjadi wayang kulit purwa. Layar menjadi kelir; medium seperti syaman menjadi dalang; sajian menjadi sajen; nyanyian dan himne menjadi seni-suara: suluk, gerong sindenan; bunyi-bunyian menjadi gamelan; tempat pemujaan/tahta-tahta batu menjadi panggung atau debog/batang pisang; blencong menjadi lampu penerangan dll. 2. Zaman Kedatangan Hindu dan Budha Kedatangan pengaruh Hindu di Indonesia mengakhiri zaman prasejarah. Pada zaman ini mulai terdapat keterangan-keterangan tertulis berupa prasasti yaitu batu bersurat atau bertulisan berisi keterangan adanya upacara-upacara atau peringatan berkorban. Tulisan yang digunakan biasanya dalam huruf Pallawa yang berasal dari India Selatan dan dalam bahasa Sansekerta bahasa resmi India serta berbentuk syair. Penduduk asli sedikit demi sedikit menerima pengaruh Hindu. Kitab Mahabharata dan Ramayana mulai dikenal dan meluas di Indonesia. Pertunjukan bayangan atau upacara agama yaitu upacara pemujaan Hyang pun tidak luput dari pengaruh Hindu. Pengaruh kebudayaan Hindu sangat cepat meresap pada penduduk asli terutama terkait agama dan bahasa. Hasil-hasil kebudayaan dan kesusastraan Hindu atara lain: di Kutai/Kalimantan Timur pada tahun 400an Masehi, terdapat prasasti dalam bahasa Sansekerta huruf Pallawa tentang raja Kutai waktu itu Mulawarman beragama Hindu anak Aswawarman cucu dari Kudunga (seorang Kepala Suku penduduk asli yang belum banyak dipengaruhi Hindu). Prasasti-prasasti sejenis juga ditemukan di Bogor tahun 400-500 Masehi tentang raja Kerajaan Tarumanegara bernama Purnawarman beragama Hindu; di daerah gunung Merbabu tahun 650 tentang raja yang memerintah bernama Putri Simo; tahun 671-690 di Sumatra Selatan tentang Kerajaan Sriwijaya yang banyak mengadakan hubungan dengan negara lain seperti Tiongkok. Banyak pendeta agama Budha yang akan pergi ke India singgah terlebih dahulu di Sriwijaya untuk beberapa tahun guna belajar bahasa Sansekerta. Waktu itu Sriwijaya mempunyai Perguruan Tinggi Bahasa Sansekerta. Menyangkut zaman Kedatangan Hindu dan Budha ini juga penting dikemukakan adanya kerajaan-kerajaan Mataram ke 1. Tahun 732 di desa Canggal daerah Magelang terdapat prasasti yang menyebutkan raja yang memerintah bernama Sanjaya. Raja ini mendirikan lambang Siwa (Batara Guru). Pada tahun 750-850 Jawa Tengah diperintah oleh dua kerajaan yaitu Kerajaan Sanjaya (Jawa Tengah bagian Selatan) dan Syailendra. Setelah terjadi perkawinan antara keluarga raja Sanjaya bernama Rakai Pikatan dengan keluarga raja Syailendra bernama Pramodda Wardhani seorang raja putri Syailendra, Jawa Tengah hidup secara damai dan menjadi satu. Pada pemerintahan raja ini banyak karya budaya dihasilkan antara lain: Candi Kalasan tahun 778 sebagai tempat suci pemujaan Dewi Tara, candi Budha Borobudur untuk pemujaan Budha Gautama. Terkait pewayangan: Candi Prambanan atau Lara Conggrang memuat ceritera Ramayana. Selanjutnya, Kitab Ramayana ditulis dalam bahasa Jawa Kuna tahun 903 semasa Raja Dyah Balitung tahun 898-910 bertahta di Mataram 3. Zaman Kedatangan Islam Kerajaan Demak Pada tahun 1478 Majapahit jatuh, pada saat itu bupati-bupati di pesisir sudah banyak yang memeluk agama Islam dan memisahkan diri dari Majapahit menjadi negara-negara pesisir Di antara negara pesisir yang menjadi kuat dan besar adalah kerajaan/kesultanan Demak di bawah pemerintahan Raden Patah, putra Prabu Kertabumi/Brawijaya V dari Majapahit. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, sebagian besar perlengkapan upacara kerajaan Majapahit dipindahkan/diboyong ke Demak termasuk wayang. Raden Patah (1478-1518), Pangeran Sabrang Lor (1520-1521) dan para Wali Sanga khusunya Sunan Kalijaga di pulau Jawa gemar juga pada kesenian daerah termasuk wayang sehingga mereka aktif melakukan penyempurnaan dan perubahan bentuk wayang, wujud, cara pertunjukan dan alat perlengkapan atau sarana pertunjukan wayang kulit purwa yang berasal dari Majapahit, agar tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam; antara lain: wayang dibuat pipih menjadi dua dimensi dan digambar miring sehingga tidak menyerupai relief candi, tetapi lebih diperindah dan diperbagus guna menghilangkan kesan meniru wayang candi. Sedangkan wayang yang berbentuk seperti relief candi dilanjutkan di Bali sampai sekarang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa bentuk wayang mengalami perubahan, bahkan cara pakelirannya pun mengalami perubahan. Perkembangan tersebut disebabkan perubahan pengaruh sosio-religius yang sedang berlangsun dalam masyarakat. Kerajaan Pajang Wayang Kidang Kencanan. Pada masa Raden Trenggana (1521-1546) memegang pemerintahan Demak,tidak banyak perbaikan terhadap wayang. Beliau hanya menyempurnakan dan memberi warna pakaian wayang dengan prada. Pada tahun 1546 setelah Raden Trenggana gugur Kerajaan Demak menjadi kacau, pecah belah dan perang saudara. Akhirnya jaka Tingkir yang waktu itu menjadi Adipati di Pajang dapat mnguasai keadaan dan memindahkan kesultanan Demak beserta alat upacara kerajaan ke Pajang. Jaka Tingkir mengangkat dirinya sebagai Sultan Pajang (1546-1586). Pada waktu itu Sultan bersama para ahli kesenian membuat wayang yang lebih kecil ukurannya daripada wayang umum, setelah selesai dalam satu kotak diberi nama Wayang Kidang Kencanan. Wayang Gedog. Pada tahun 1563, Sunan Giri membuat Wayang Gedog dengan ceritera Panji dan mempergunakan gamelan Pelog. Tahun 1564 Sunan Bonang menciptakan Wayang Beber untuk ceritera-ceritera Panji, juga mempergunakan gamelan Pelog. Wayang Krucil/Wayang Golek Purwa. Sunan Kudus pada tahun 1584 dibuat wayang purwa dari kayu berbentuk pipih persis seperti wayang kulit, hanya tangannya tetap dibuat dari kulit. Pertunjukkannya tidak memakai kelir hanya gawang saja. Wayang ini kemudian disebut Wayang Krucil atau Wayang Golek Purwa. Kerajaan Mataram II Pada tahun 1582-1586 terjadi peperangan antara Adipati Sutawijaya Mataram dengan Sultan Pajang. Dengan kemenangan Mataram, Adipati Sutawijaya mengangkut semua perlengkapan upacara kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya yang kemudian bernama Panembahan Senapati Ing Ngalaga menamakan diri Sunan Mataram. Dalam periode ini dilakukan penambahan beberapa wayang antara lain binatang-binatang hutan, tatahan disempurnakan, rambut wayang ditatah gempuran, Wayang Gedog ditambah memakai keris. Pada masa pemerintahan Mas Jolang atau Pangeran Seda Krapyak dibuat wayang baru dengan babon Wayang Kidang Kencana dan membuat wanda Arjuna yang disebut wanda Jimat. Juga membuat wayang-wayang dagelan; wayang diberi gapit yang baik; membuat senjatasenjata: panah, keris, dan lain-lain senjata tajam. Mulai saat ini Murwakala mulai mempergunakan wayang kulit purwa. Hal ini merupakan salah datu pengaruh wayang yang menonjol pada kehidupan sosial masyarakat di mana ritual Ruwatan sampai sekarang tetap marak. Pada tahun 1613-1645 Sultan Agung Anyakrakusuma dilakukan pembuatan karya filsafat yang terkenal disebut: Sastragending. Pada masa kekuasaan Amangkurat I (Tegalarum) 1645-1677 dilaksanakan pembuatan wayang satu kotak dengan Arjuna wanda Kanyut dan setelah selesai dinamakan Kyai Kanyut. Menetapkan Kyai Anjang Mas sebagai satu-satunya dalang pangruwat dan pimpinan/sesepuh dalang. Selanjutnya, Pangeran Pekik dari Surabaya pada tahun 1648 menciptakan ayang untuk ceritera Damarwulan dan pertunjukan pada siang hari, wayang itu disebut Wayang Klitik. 4. Zaman Penjajahan Bangsa Belanda menjajah Indonesia pada tahun 1596-1942. Pemerintah Belanda tidak berkepentingan pada pertunjukan wayang kulit. Melalui sarjana-sarjananya Belanda lebih banyak mencurahkan perhatian pada bidang ilmiah. Para sarjana Belanda yang khusus dating di Indonesia untuk melakukan penelitian tentang wayang, adat istiadat, sastra dan kebudayaan Indonesia antara lain: Ponsen, Dr. Rassers, Dr. Brandes, Prof Dr. Kern, J. Kats, Prof. Dr. Hazeu, Prof. Dr. Gonda, Dr. Yuynboll dll. Teknik cara pertunjukan dan peralatannya maupun wayangnya telah mengalami kemajuan yaitu telah ditambah dan diatur sehingga menjadi pertunjukan wayang purwa kulit dengan diiringi gamelan slendro dan pelog, dengan swarawati/waranggana dan wira swara. Pada masa penjajahan ini telah banyak tercipta bentuk atau ujud wayang dan pakeliran baru seperti Wayang Madya, Wayang Wong, Wayang Golek, Wayang Tengul, Wayang Dupara, Wayang Menak, Wayang Kuluk, Wayang Kancil dll. Kerajaan Surakarta Pada tahun 1745 Paku Buwana II memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram dari Kartasura ke Surakarta. Paku Buwana II diganti Paku Buwana III yang kemudian secara mutlak mengakui kekuasaan VOC dan mulai saat itu menjadi jajahan Belanda. Pada masa ini perkembangan yang terjadi antara lain: pembuatan wayang dua kotak dengan nama Kyai Mangu, Kyai Kanyut dan Kyai Pramukanya Kadipaten. Paku Buwana III juga membuat penulisan Arjuna Wiwaha Jarwa (macapat). Pada tahun 1755 Kerajaan Mataram pecah menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta. Tidak lama kemudian Surakarta pecah menjadi dua: Kasunanan dan Mangkunegaran (yang dikepalai raden Mas Said) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangkunegara ke I tahun 1757. Pada tahun 1714-1747 Surakarta diperintah oleh Paku Buwana IV Wayang-wayang yang dibuat diberi nama: Kyai Jimat, Kyai Kyai Kaung, Kyai Dewa Katong. Juga dibuat Pakem Lakon di mana PB IV membuat kumpulan lakon wayang gedog dan wayang purwa, menghimpun kumpulan suluk-suluk, ada-ada greget saut dengan mengambil kata-kata dari Kitab Baratayuda dan Ramayana setelah selesai buku ini dijadikan pakem. PB IV juga membuat wayang Rama yaitu wayang yang khusus untuk ceritera Ramayana.. Juga dihimpun ceritera-ceritera Lokapala, Arjunasasra pada tahun 1810 Masehi. Sekolah/kursus dalang. Pada tahun 1923 oleh Pemerintah Keraton Surakarta didirikan sekolah dalang benama Pasinaon Dalang Surakarta (PADASUKA). Pertunjukan wayang kulit purwa sudah tidak lagi hanya berfungsi sebagai ritual keagamaan tetapi telah menjadi bentuk kesenian klasik tradisional adiluhung. Meski masih tetap ada pertunjukan yang dipakai sebagai ritual: Murwakala, Suran dan Bersih Desa. Kerajaan Yogyakarta Tahun 1755 Pangeran Mangkubumi menjadi raja di Yogyakarta tahun 1755-1792 dengan gelr Sri Sultan Hamengku Buwana I. Dalang yang selalu mengikuti dan mengabdi beliau bernama Cerma Ganda alias Dalang Kandangwesi dan putranya bernama dalang Paku Waja. Kedua dalang ini dapat dikatakan sebagai yang membangun pedalangan gaya Yogyakarta. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana V menulis kitab lakon wayang gaya Yogyakarta yang disebut Purwakanda. Kitab ini kemudian menjadi pakem/babon lakon wayang gaya Yogyakarta. Sekolah dalang. Pada tanggal 27 Juli 1925 Sri Sultan Hamengku Buwana VIII (19211939) mendirikan kursus dalang dengan nama HABIRANDA singkatan dari (Hanganakake Biwara Rancangan Dalang) di bawah pimpinan BPH Suryadiningrat dan KRT Jayadipama. Habiranda tetap berdiri sampai sekarang. 5. Zaman Merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Pada zaman ini pertunjukan wayang mempunyai pengaruh sosial dan berkedudukan dalam kekayaan budaya bangsa Indonesia sebagai kesenian tradisional yang adiluhung. Perbedaan seni pertunjukan wayang pada zaman penjajahan dan zaman kemerdekaan antara lain adalah: Pada zaman merdeka, seni pedalangan wayang purwa tidak lagi dibina oleh pemerintah kerajaan tetapi tumbuh dan hidup dalam masyarakat kesenian daerah dan diurus serta dibina oleh masyarakat itu sendiri dengan bantuan pemerintah RI dengan instansi terkait antara lain: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kuantitas tertentu oleh Departemen lain seperti Penerangan. Sedangkan pada zaman penjajahan seni pedalangan pada dasarnya dibina oleh pemerintah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Pada periode-periode berikutnya makin bertambahnya lembaga pendidikan pedalangan, karawitan dan tarian yaitu dengan didirikannyua ASKI, kemudian menjadi STSI, ISI di Sala, Yogyakarta, Bandung, Denpasar serta muncul dan berkembangnya puluhan mungkin saat ini sudah ratusan sanggar-sanggar wayang di seluruh Indonesia. Pengaruh wayang dalam kehidupan sosial budaya sangat tampak baik pada individu maupun pada lembaga/instansi. Upaya-upaya untuk meresapkan jiwa-mental ksatria sering diungkap dalam pidato, pengarahan, training dan di sekolah-sekolah. Misal dengan meresapkan sifat dan jiwa-karakter ksatria seperti Bima yang berani dan tegas, bijaksana seperti Puntadewa. Namanama perorangan maupun lembaga seperti Pandawa, Larasati, Bharata, Ayodya, Dewa Ruci, Nanggala, Jabang Tutuka, Srikandi, Kawah Candradimuka dll. Perkumpulan masyarakat, perkantoran, departemen, lembaga sering menanggap wayang purwa kulit dengan lakon-lakon sesuai keinginan individu, maupun instansi yang menanggapnya. Peranan Presiden RI terkait kesukaannya terhadap wayang dalam masyarakat juga sangat besar pengaruhnya. Sebagai contoh: Presiden Soekarno yang menyukai tokoh Gatutkaca sering kali dalam pidato beliau menyitir sikap ksatria itu ditrapkan dalam perjuangan bangsa Indonesia. Istana Negara secara cukup routine pun menanggap wayang semalam suntuk. Demikian pula Presiden-presiden berikutnya: Presiden Soeharto sangat menyukai dan mendukung gerakan nasional melestarikan wayang. Atas jasa beliau kini dunia pewayangan Indonesia memiliki gedung yang didirikan dengan biaya penjualan tanah milik SENA WANGi di atas tanah milik Yayasan Harapan Kita di mana peranan Presiden Soeharto kala itu sangat memberikan dorongan dan menentukan agar komunitas pewayangan memiliki gedung sendiri yang diperuntukakan bagi pemeliharaan dan pelestarian wayang. Sesuai dengan maksud tersebut gedung yang didirikan dan diresmikan beliau pada tahun 1999 itupun dinamai Gedung Pewayangan Kautaman, terletak di kawasan Jakarta Timur di mana organisasi pewayangan SENA WANGI dan PEPADI Pusat berkantor. Demikian pula Presiden Gus Dur, Megawati Soekarno Putri cukup fanatik menggemari wayang. III. MASA KINI Periode Masa Kini sengaja kami batasi sejak awal reformasi pada tahun 1998 hingga saat ini, 2013. Ciri-ciri utama zaman reformasi, sesuai dengan slogan dan upaya-upaya yang dilakukan yaitu pemberantasan KKN: Kolusi, korupsi dan nepotisme. Slogan itu sebagai ungkapan kekecewaan dan kemarahan atas terjadinya berbagai hal negatif semasa Orde Baru yaitu kolusi antara pejabat-pejabat pemerintah dengan para pengusaha yang berakibat kerugian sangat besar atas keuangan negara, misal skandal BLBI, recruitments berbagai jabatan, terjadinya korupsi dalam banyak instansi dan jabatan serta nepotisme jabatan-jabatan strategis di negara ini. Namun demikian, pada kenyataannya zaman reformasi belum dapat membuktikan seperti apa yang dislogankan pada awalnya. Bahkan saat ini korupsi makin merajalela, bukan hanya oleh pejabat-pejabat di Pusat tetapi juga di daerah di semua lini: eksekutif, legislative, judikatif. Uang dikorup pada saat implementasi melalui pelaksanaan pncairan anggaran dari APBN tetapi sudah digarap sejak dari hulu, contohnya sejumlah anggota DPR terkait penyusunan APBN dengan pejabat-pejabat/instansi pemerintah terkait. Dalam hal ini peran dan posisi KPK (Komisi Pemberantasan Kosupsi) memang perlu diperkuat dan dilembagakan secara permanen sampai korupsi benar-benar terberantas sampai ke akar-akarnya. Bisa mengatasi masalah terkait pemberatasan, pencegahan korupsi sejak dini. Saat ini nepotisme terjadi dalam kepartaian misal susunan jabatan-jabatan teras partai berasal dari keluarga terdekat., Hasil reformasi yang sudah dapat dirasakan adalah adanya kebebasan dan keterbukaan dalam berbagai bidang, namun banyak terjadi kebebasan yang malah kebablasan. Dalam berbagai pergelaran wayang sudah sering menyampaikan kritik-kritik sosial atas peristiwa maupun perkembangan aktual yang terjadi di negara ini. Capaian-capaian signifikan yang dalam dunia pewayangan Indonesia dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh: Revitalisasi sanggar-sanggar wayang. Pada tahun 20052007 SENA WANGI bekerjasama dengan Kantor UNESCO di Jakarta telah merevitalisasi sejumlah 15 sanggar wayang di Indonesia dan dalam pelaksanaannya sanggar-sanggar tsb bekerjasama dengan PEPADI. Selanjutnya, munculnya dan dilaksakannya pergelaran-pergelaran wayang orang yang dilakukan oleh sejumlah pejabat dan pengusaha. Tentu saja lebih baik kegiatan-kegiatan ini dilihat aspek positifnya yaitu kelompok sosial masyarakat yang telah mapan ikut serta “nguri-uri” wayang secara nyata, dengan demikian kegiatan ini akan berdampak menjalar pada lebih memasyarakatkan wayang ke publik. SENA WANGI bekerjasama dengan fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada telah menyusun Filsafat Wayang dan kini telah menjadi bahan ajar pada Fakultas Filsafat UGM pada jenjang S1, S2 dan S3. Diharapkan Filsafat Wayang akan diajarkan pula pada fakultas-fakultas filsafat dari universitas-universitas maupun lembaga pendidikan yang lain di Indonesia. Diharapkan Filsafat Wayang akan ikut mengubah mind-set masyarakat khususnya generasi muda ke arah yang lebih baik. Terkait dengan hubungan luar negeri, SENA WANGI bersama PEPADI Pusat telah membentuk ASEAN Puppetry Association (APA) atau Asosiasi Wayang ASEAN/AWA. Sejak pembentukan dan peresmiannya yang disaksikan oleh Wakil Presiden RI waktu itu Bapak Jusuf Kalla bertempat di Istana Wapres pada tgl 1 Desember 2006, meskipun dengan segala keterbatasan dan kekurangannya khususnya pendanaan, APA terus secara routine melakukan kerjasama dan pertemuan serta pergelaran tahunannya. Berturut-turut Sidang dan Festival APA I dilaksanakan di Palembang pada bulan September 2007, ke II di Yogyakarta tgl 12-13 Desember 2008, ke 3 di Manila-Philippina tgl 23-25 Februari 2010, ke 4 di Kuala LumpurMalaysia, tgl 1-3 November 2011 dan ke 5 di Singapore tgl 23-25 Januari 2013. Untuk diketahui bahwa di dunia ini ada organisasi pewayangan internasional bernama Union Internationale de la Marionnette (UNIMA). Untuk menjadi anggota UNIMA, Indonesia harus membentuk organisasi di tingkat nasional terlebih dahulu. Sehubungan dengan itu SENA WANGI dan PEPADI Pusat telah membentuk UNIMA Indonesia dan diresmikan pada tgl 16 Desember 2009 bertempat di Istana Wapres dan disaksikanj oleh Wakil Presiden RI DR. Boediono. Pada tgl 20-24 Juni 2010 untuk pertama kali Indonesia menghadiri pertemuan UNIMA Internasional di kota Dordrecht-Belanda. DELRI yang menghadiri pertemuan itu adalah DR AS Hikam mantan Menristek yang menjabat sebagai salah seorang Councillor UNIMA Indonesia dan Suparmin Sunjoyo yang kala itu menjabat sebagai Ketua Bidang Hubungan Internasional SENA WANGI. Hal-hal yang kami sebutkan di atas sedikit banyak membawa pengaruh pada kehidupan masyarakat melalui aktivitas pewayangan. Terkait penanggulangan masalah peredaran uang palsu, telah dilakukan serentetan pergelaran wayang di berbagai daerah di Indonesia yang dikoordinasikan oleh PEPADI bekerjasama dengan Bank Indonesia. SENA-WANGI-PEPADI bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah menyusun buku ptunjuk bagi para dalang untuk menyosialisasikan sehingga masyarakat akan makin mengetahui apa hakhak dan kewajiban untuk menjadi saksi dan melindungi korban. Kegiatan-kegiatan penyuluhan serupa telah dilakukan bagi masyarakat agar lebih mengetahui persoalan dan bersikap yang tepat dalam menghadapai masalah, meliputi juga soal Keluarga Berencana, pemberantasan penyakit AIDS dll lagi. Dengan demikian nyata sekali peranan wayang dan pengaruhnya dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Namun demikian pada masa kini kita juga mengamati makin derasnya arus globalisasi informasi dan masuknya seni-budaya dari manca negara yang hampir tidak bisa dibendung lagi. Petrkembangan ini membawa dampak negatif pada kehidupan sosial masyarakat khususnya mengganggu minat mereka pada seni-budaya wayang. Berbagai langkah penangulanganpun telah dan akan terus dilakukan baik oleh SENA WANGI, PEPADI serta instansi-instansi lain yang peduli pada pemeliharaan dan pelestarian wayang. IV. PENGARUH WAYANG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI MASA YANG AKAN DATANG Untuk periode ini kami dapat merujuk pada rumusan yang telah disahkan oleh Kongres Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI) ke VIII pada tgl 20-22 Oktober 2011 di Jakarta, yang dimuat dalam dokumen: Rumusan Strategi Jangka Panjang Pengembangan Pewayangan Indonesia tahun 2010-20304. Antara lain menyebutkan tentang Dasar Pelestarian dan Pengembangan Pewayangan dengan Visi dan Misi SENA WANGI sebagai berikut. Visi: 4 SENA WANGI, Rencana Strategi Jangka Panjang Pengembangan Pewayangan Indonesia Tahun 2010-2030, Suroso Printing, Tahun 2011 Halaman 22. Seni pewayangan menjadi salah satu khasanah unggulan kebudayaan nasional. Seni pewayangan berperan sebagai wacana dan wahana budaya guna mempertinggi harkat dan martabat manusia. Misi: 1).Memantapkan peranannya sebagai lembaga konservasi, preservasi dan inovasi seni pewayangan; 2).Mengembangkan seni pewayangan sesuai dengan tantangan zaman; 3).Meningkatkan apresiasi masyarakat khususnya generasi muda terhadap seni pewayangan; 4).Memasyarakatkan nilai filosofi dan pesan moral seni pewayangan dalam kehidupan bermasyarakat; 5).Dalam mengembangkan seni pewayangan menerapkan prinsip-prinsip manajemen serta melakukan komunikasi dan kerjasama dengan lembaga maupun perorangan baik di dalam maupun di luar negeri. Visi dan Misi tersebut di atas tentu saja dengan mengantisipasi perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya akibat derasnya arus informasi dari bebagai penjuru dunia yang sangat berdampak pada apresiasi masyarakat utamanya generasi muda terhadap seni pewayangan. Perkembangan yang sudah dapat kita amati antara lain adanya derasnya masuk jenis-jenis hiburan dari manca Negara berupa musik, film, fashion, gaya hidup dll mengakibatkan generasi muda dengan mudah larut mengikuti seni-budaya manca negara tersebut, sehingga minat terhadap seni pewayanganpun sangat terpengaruh. Selanjutnya dapat mengganggu dalam menerima nilai-nilai dan budi pekerti luhur yang disebarkan melalui pergelaran-pergelaran wayang. V. SEJUMLAH KRITIK TERHADAP PEWAYANGAN INDONESIA DAN BAGAIMANA SEBAIKNYA KITA MENYIKAPINYA Kritikan-kritikan merupakan wahana yang bagus untuk saling mengoreksi diri ataupun introspeksi, dari manapun kritikan itu berasal. Justru dengan kritikan-kritikan itu khususnya kritik yang membangun akan lebih memudahkan kita untuk mengoreksi diri kita, untuk introspeksi guna melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas pewayangan dalam segala aspeknya. Berikut ini sejumlah kritikan dan solusinya: Wayang Pakeman versus kontemporer. Di satu pihak ada yang ingin agar setiap pergelaran wayang itu harus selalu pada pakem untuk memelihara sifat edipeni dan adiluhung pergelaran wayang itu sendiri, dengan demikian pergelaran versi Sujiwo Tejo itu dikatakan sebagai tidak bagus. Sejauh pergelaran itu tidak mengubah kandungan nilai-nilai luhur atau ajaran budi pekerti yang baik, hal itu masih bisa ditolerir. Soal durasi yang lebih singkat, bahasa bukan hanya bahasa daerah, semua itu masih dapat dimengerti karena untuk menarik masyarakat khususnya generasi muda. Setelah tertarik diharapkan akan mendalami versi yang pakeman. Dengan demikian pergelaran versi Sujiwo Tejo akan berfungsi menjembatani khususnya generasi untuk mendalami lagi soal pewayangan. Sementara itu forum-forum, pergelaran-pergelaran yang menjaga pakem juga tetap dipelihara dan dikembangkan. Karena sering tidaknya pergelaran wayang diadakan iu sangat bergantung pada pasar atau keingina publik. SENA WANGI - PEPADI di masa Orde Baru , pada masa kini dan mendatang Ada yang mengatakan bahwa kedua organisasi besar pewayangan Indonesia ini pada masa Orde Baru hanyalah merupakan corong pemerintah dan sekarang masih suka mengaturatur. Sebenarnya, kedua organisasi pewayangan ini (SENA WANGI dan PEPADI) telah dan sedang berupaya keras agar seni-budaya wayang itu terus terpelihara dengan baik dan lestari. Yang namanya berorganisasi tentulah ada peraturan, ketentuan dan kebijakan-kebijakan yang kesemuanya itu harus dilakukan dengan baik dan tertib. Untuk mencapai sasarannya tentu saja perlu dilakukan pengaturan. Kalau segala hal diharapkan berjalan bebas dengan sebebasbebasnya mungkin mereka mengharapkan tidak perlu adanya pengaturan dan organisasi. Di samping mengikuti alur yang dikehendaki sesuai zamannya. SENA WANGI dan PEPADI terus berupaya agar Pemerintah memberikan perhatian yang memadai terhadap seni-budaya wayang dengan mengajukan usul-usul yang konkret. Sebagian sudah mulai dilaksanakan, sebagai contoh: 1. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan telah menyetujui dan mulai melaksanakan usulan SENA WANGI – PEPADI untuk diselenggarakannya Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan. Pada tanggal 23-29 Juli 2013 PEPADI Pusat bersama Badan Pengembngan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemdikbud telah menyelenggarakan Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan yang diikuti oleh 60 orang dalang (Dwijoworo) dari sanggar-sanggar wayang seluruh Indonesia , terdiri dari 55 orang dalang dari Pulau Jawa dan 5 orang dari luar Pulau Jawa. Tujuan peningkatan kompetensi teknis ini adalah untuk meningkatkan kompetsni pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku para dalang sehingga menghasilkan dalang yang dapat diandalkan dan berperan sebagai plestari budaya serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 2. PEPADI Pusat telah mengajukan usul kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar pengenalan wayang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Usul ini diajukan dengan pertimbangan bahwa salah satu masalah kurangnya animo penonton wayang adalah tidak atau belum diperhatikannya SDM penonton wayang. Untuk itu PEPADI Pusat telah merekomendasikan agar pendidikan pengenalan wayang diberikan pada sejumlah sekolah di Indonesia dan usulan inipun telah disetujui Kemdikbud untuk mana pelaksanaannya masih menunggu rencana teknis yang sedang dipersiapkan oleh PEPADI. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa kedua organisasi besar pewayangan itu hanya bekerja di atas angin atau hanya berangan-angan kiranya perlu dipertanyakan. Contoh lain: Dengan segala keterbatasan dana, SENA WANGI dan PEPADI terus berupaya agar kegiatan festival, pergelaran wayang terus berjalan secara teratur. Hal ini dapat direalisasikan dengan penyelenggaraan Festival Dalang Bocah setiap tahun dan Festival Dalang Remaja setiap dua tahun. Mengingat partisipasi pemerintah masih sangat minim maka kedua organisasi terus menggalang kerjasama dengan instansi lain missal dari sektor perbankan, dan perusahaan swasta baik nasional maupun asing. Bahwa dalam penyelenggaraan events itu ada kekurangan atau kekeliruan, kedua organisasi besar pewayangan ini tentu sangat memperhatikan koreksi/kritik dari pihak manapunguna penyelenggaraan yang lebih baik di masa-masa mendatang. Ibarat pepatah: Tiada gading yang tidak retak. Selanjutnya, kebiasan pewarisan tradisi lisan yang sudah sekian lama berlangsung, dan telah melahirkan sejumlah karya seni-budaya pewayangan yang adiluhung dan tokoh-tokoh terkait pewayangan sampai tingkat maestro, kini makin diperkaya lagi dengan pewarisan tradisi tertulis berupa bahan-bahan atau dokumen tertulis tentang pewayangan yang dilakukan oleh SENA WANGI. Di antara sejumlah penulis yang ada, dalam kaitan ini khusus kami dapat mengemukakan aktivitas Drs. H. Solichin (Ketua Dewan Kebijakan SENA WANGI dan Mantan Ketua Umum Dewan Pengurus SENA WANGI selama dua periode) yang dengan sangat produktif telah menulis hampir 10 buku tentang atau terkait pewayangan. Buku-buku tersebut di samping diedarkan di Indonesia juga telah dikirim ke Kantor Puat UNESCO di Paris. Kiranya perlu juga untuk diketahui khalayak ramai bahwa pengusulan Wayang Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO itu dapat besarnya ada di Kantor SENA WANGI – PEPADI Pusat di samping di instansi Pemerintah yaitu Departemen Kebudayaan dan Pariwisata kala itu. Kritikan dan koreksi dari berbagai pihak akan diterima dengan baik dan dilaksanakan demi kemajuan dan sukses kita bersama sejauh kritik itu bersifat membangun. VI. KESIMPULAN / SARAN Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan: 1.Asal wayang itu asli dari Indonesia bukan dari negara lain seperti disangka banyak orang bahwa wayang dari India. Yang benar adalah ceritera Ramayana dan Mahabharata itu yang berasal dari India. 2.Sekitar tahun 1521-1945 dunia pewayangan di Nusantara (kemudin Indonesia) mengalami kemajuan pesat baik dalam bentuk wayangnya maupun bentuk pakeliran, nilai-nilai isinya serta penggarapan bidang ilmiahnya. Pada periode ini fungsi wayang telah mengalami banyak perubahan yaitu dari untuk upacara agama/kepercayaan menjadi suatu bentuk seni klasik tradisional yang mempunyai unsurunsur: seni, kejiwaan, magis religious, pendidikan, informasi, ilmu pengetahuan dan sebagai hiburan/entertainment. 3.Pada masa kini meskipun wayang tetap populer namun ancaman terus membuntuti eksistensi wayang. Hal ini merupakan akibat derasnya arus globalisasi informasi dan jenis-jenis entertainment baru yang muncul baik dari dalam negeri dan terutama dari manca negara. 4.Kiat-kiat dan strategi khusus perlu terus diupayakan dan diperbaharui guna memelihara, mengembangkan serta melestarikan wayang, baik eksisitensinya di bumi Indonesia maupun pengaruhnya di manca negara. Partisipasi semua pihak baik Pemerintah maupun Swasta perlu dimobilisasi dan disinergikan untuk tercapainya tujuan dimaksud. 5. Pengaruh wayang dalam kehidupan sosial masyarakat pada masa lalu, masa kini dan mendatang tetap signifikan. VII. PENUTUP Demikian makalah singkat ini kami sampaikan, dengan harapan semoga dapat menjadi tambahan masukan bagi upaya-upaya pemeliharaan, pengembangan dan pelestarian wayang sebagai salah satu pilar dan kekayaan kebudayaan nasional Indonesia. Jakarta, 14 Agustus 2013 Ttd Drs. Suparmin Sunjoyo Ketua Umum SENA WANGI BAHAN BACAAN Indra Tranggono, WAYANG, GENERASI MUDA DAN NEGARA, PKKH, Yogyakarta, 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PANDUAN PENINGKATAN KOMPETENSI TEKNIS PEDALANGAN, Jakarta 23 – 29, Kemdikbud, Juli 2013 SENA WANGI, Rencana Strategi Jangka Panjang Pengembangan Pewayangan Indonesia Tahun 2010-2030, Suroso Printing, Tahun 2011 SENA WANGI, KONGRES SENA WANGI VIII, 2011 - LAPORAN SENA WANGI MASA BHAKTI 2006-201, Suroso Printing, Tahun 2011 Solichin, Drs., H., WAYANG - Masterpiece Seni Budaya Dunia, Sinergi Persadatama Foundation, Tahun 2010 Solichin, Drs., H., FILSAFAT WAYANG, Suroso Printing, Tahun 2011 Sri Mulyono, Ir., WAYANG – Asal-usul, Filsafat dan Masa depannya, TN, 1978 Sutaryo, WAYANG SEBAGAI TONTONAN DAN TUNTUNAN, PKKH, Yogyakarta, 2013 RIWAYAT HIDUP SECARA RINGKAS Nama Tempat & tgl lahir Agama Alamat Keluarga Kegiatan saat ini : : : : Suparmin Sunjoyo Banyumas, 28 Maret Islam Jl. Persada II/37, Menteng Dalam RT 11-RW 15 Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Telp. +021-8307686; HP +62 813 820 617 88; E-mail: [email protected] : Istri: Sri Budiarti, anak 3, cucu baru 2 : Ketua Umum Dewan Pengurus SENA WANGI dan Sekjen ASEAN Puppetry Association, keduanya sejak tahun 2011. Pendidikan terakhir : Fakultas Sospol - HI, UGM, 1967 ; Graduate Study pada Oxford University Foreign Service Programme, Oxford-England-UK tahun 1978 Kursus : *Berbagai kursus a.l. Bahasa Inggris di Oxford-England tahun 1977// Gamelan Jawa diasuh Bp Sri Hastanto thn 1980-1982 di KBRI London// Kursus “Pegang Wayang Kulit” diasuh Bp. Bambang Suwarno (Dosen ISI Surakarta) thn 2003 di KBRI ParamariboSuriname; Kursus “Pegang Wayang Kulit” di Sanggar Redi Waluyo Jakarta tahun 2007, Sanggar Nirmala Sari, Jakarta tahun 2012, dll kursus ketrampilan. Pengalaman Kerja : *1968-1974 Dinas Wajib Militer pada Kepolisian RI, dengan pangkat terakhir sebagai Ajun Komisaris Polisi/ Kapten Polisi; *1973-1974 Anggota Kontingen Garuda V tugas di Vietnam; *1975 pindah ke Departemen Luar Negeri RI, 1975 (melalui testing masuk umum); dengan penugasan sekitar 10 tahun di dalam negeri dan 20 tahun di luar negeri yaitu di: Inggris, Bangladesh, Brunei Darussalam, Vietnam, Suriname. Karier tertinggi di dalam negeri sebagai eselon II di DEPLU, Di luar negeri sebagai Konsul Jenderal RI untuk Ho Chi Minh City, Vietnam 1999-2002 dan Dubes RI untuk Suriname tahun 2002-2006. *2006-2013 menjadi ketua dan anggota rombongan berbagai misi pewayangan ke 10 negara-negara ASEAN, India, Hungaria, RRC. Menjadi pembicara pada berbagai seminar nasional dan internasional di Jakarta, Yogyakarta, SurathaniThailand, Manila-Philippina, Kuala Lumpur-Malaysia. Hobbies : Membaca, olah raga, mendengarkan musik berbagai aliran, nonton wayang. Jakarta, 14 Agustus 2013 Ttd. Suparmin Sunjoyo