Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan Vol. 5 No. 2 - Agustus 2014 ISSN 2086-5589 Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan Vol. 5 No. 2 – Agustus 2014 Diterbitkan Oleh : Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika SUSUNAN REDAKSI MEGASAINS MEGASAINS merupakan buletin yang diterbitkan oleh Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit kototabang sebagai media penuangan karya ilmiah yang bersumber dari kegiatan penelitian berbasis ilmu-ilmu meteorologi, klimatologi, kualitas udara, dan geofisika (MKKuG), serta lingkungan. PENANGGUNG JAWAB Edison Kurniawan, S.Si, M.Si REDAKTUR KEPALA Ahmad Zakaria, S.ST REDAKTUR PELAKSANA Budi Satria, S.Si Rudi Anuar Yudha Trisaputra, S.P. Dewan redaksi membuka kesempatan bagi para pakar ataupun praktisi untuk dapat mengirimkan karya ilmiah, terutama yang berkaitan dengan tema MKKuG dan lingkungan. MITRA BESTARI Dra. Nurhayati, M.Sc Dr. Edvin Aldrian, B.Eng, M.Sc Dr. Ir Dodo Gunawan, DEA Dr. Wandono Dr. Hamdi Rivai Naskah karya tulis yang dikirimkan hendaknya asli dan belum pernah dipublikasikan. Naskah diketik menggunakan aplikasi MS Word dengan ketentuan panjang naskah antara 5 sampai 15 halaman ukuran A4; batas kiri 4 cm, kanan 3,17 cm, atas dan bawah 2,54 cm; satu kolom; font Arial; judul ditulis menggunakan font 12 pts, rata tengah, spasi tunggal, huruf kapital, dan cetak tebal; isi ditulis menggunakan font 10 pts, rata kirikanan, dan spasi tunggal; tulisan disertai dengan abstrak 1 alinea, ditulis dengan font 10 pts, cetak miring, spasi tunggal, dan disertai 2-5 kata kunci. EDITOR Alberth Christian Nahas, S.Si Agusta Kurniawan, M.Si DESAIN GRAFIS DAN FOTOGRAGER Darmadi, A.Md Yosfi Andri, ST Harika Utri, S.Kom Reza Mahdi, ST Rinaldi, A.Md Aulia Rinadi, S.Si SEKRETARIAT Yosi Juita, SE Diko Revano Umbara, A.Md Yasri Dwi Lestari Sanur Abibagus Indrawan Ikhsan Buyung Arifin Ibrahim Redaksi berhak mengubah isi naskah sepanjang tidak mengubah substansinya. Isi naskah adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. Pemilihan naskah yang laik cetak adalah sepenuhnya hak redaksi. Softcopy naskah dikirimkan ke: Redaksi MEGASAINS PO BOX 11 Bukittinggi 26100 e-mail: [email protected] iii MEGASAINS Vol.5 No. 2 - Agustus 2014 ISSN 2086-5589 Dari Redaksi Pembaca yang kami banggakan, Puji dan Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang dapat kembali menerbitkan Buletin MEGASAINS. Memasuki tahun ketiga penerbitannya, MEGASAINS terus melakukan berbenah diri. Pembenahan itu tidak saja dari segi tampilan, tapi juga dari isi yang diharapkan semakin memperkaya khasanah pembaca di bidang Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan. Pada edisi kali ini, MEGASAINS kembali menerbitkan enam karya tulis yang mewakili bidang yang menjadi kajian buletin ini. Dengan ditunjang oleh semangat dari seluruh staf Stasiun GAW Bukit Kototabang di dalam dukungannya terhadap kesinambungan penerbitan MEGASAINS, Redaksi tentu sangat berharap hasil-hasil penelitian ini dapat mendorong terciptanya peningkatan pelayanan MKKuG di masa yang akan datang. Disamping itu, munculnya kesadaran di dalam melakukan kaidah penelitian, diharapkan akan menunjang bagi peningkatan pengetahuan serta kinerja di dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Tak ada gading yang tak retak, demikian pula kiranya terbitan MEGASAINS ini yang masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Redaksi sangat berharap saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan MEGASAINS di kemudian hari. Akhirnya, Redaksi mengucapkan selamat membaca dan semoga bermanfaat. Bukit Kototabang, Agustus 2014 iv MEGASAINS Vol.5 No. 2 - Agustus 2014 ISSN 2086-5589 Daftar Isi halaman Susunan Redaksi iii Dari Redaksi iv Daftar Isi v VARIABILITAS IKLIM UNTUK IDENTIFIKASI PERUBAHAN IKLIM BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DI STASIUN GEOFISIKA KLAS I BANDUNG Neneng Sugianti VARIABILITAS INDEKS KETIDAKSTABILAN ATMOSFER DI JUANDA SURABAYA TAHUN 2012-2013 Firda Amalia Maslakah ANALISIS SIRKULASI HUJAN TAHUNAN DI SULAWESI SELATAN Made Dwi Jendra Putra, Tri Wahyu Hadi, dan M. Rido Syahputra ANALISIS KONDISI ATMOSFER DAN KARAKTERISTIK DEBU VULKANIK BERDASARKAN DATA RADAR DUACA SAAT TERJADINYA LETUSAN GUNUNG SINABUNG TANGGAL 11 JANUARI 2014 Christin Afrin Matondang PENENTUAN MODEL KECEPATAN SATU DIMENSI GELOMBANG P BERDASARKAN DATA ARRIVAL TIME GEMPABUMI DI WILAYAH ACEH BARAT Abdi Jihad, Nazli Ismail, dan Fadhli PEMANFAATAN CITRA SATELIT DAN RADAR CUACA DALAM ANALISIS AWAL POTENSI CUACA EKSTRIM HUJAN TANGGAL 22 FEBRUARI 2014 DI JAYAPURA Rully Affandi v 68 - 75 76 - 86 87 - 104 105 - 110 111 - 118 119 - 126 VARIABILITAS IKLIM UNTUK IDENTIFIKASI PERUBAHAN IKLIM BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DI STASIUN GEOFISIKA KLAS I BANDUNG Neneng Sugianti tanggal terima: 8 Mei 2014, tanggal cetak: 10 Oktober 2014 ABSTRACT Variability related to climate change is very important to know as supporting information on other sectors, especially the agricultural sector. This paper will examine the variability of climate elements maximum temperature, humidity, and rainfall. The study was conducted from observational data Geophysics Station Class I Bandung , from 1971 to 2013. Processing data using spectral analysis methods to determine the periodicity and elements of climate change. From this study indicate that the maximum temperature experienced variability or 6 monthly cycles and the annual variability of air humidity showed that the dominant cycle variability or only at 6 monthly cycles, while the highest rainfall variability over the last decade. The verification results using regression relationships showed the increasing trend of temperature versus time, moisture decreased with time while experiencing an increasing trend of rainfall from year to year. Based on the spectral changes of climate indicate that the three elements identified climate change. Climate change is a confirmed trend or tendency of verification of the three elements of climate change is the maximum temperature, humidity, and rainfall. Keywords: climate variability, spectral, Bandung, climate elements PENDAHULUAN Perubahan iklim adalah perubahan secara statistik distribusi pola cuaca dalam jangka waktu yang panjang. Istilah ini bisa juga berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata. Secara ringkas perubahan iklim dapat didefinisikan sebagai perubahan yang signifikan pada iklim, seperti suhu udara atau curah hujan, selama kurun waktu 30 tahun atau lebih. Jika iklim berubah, maka rata-rata selama 30 tahun suhu udara, atau curah hujan, atau jumlah hari matahari bersinar, pun akan berubah. Perubahan Iklim langsung atau tidak langsung menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yg teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan, misalnya dalam waktu 10 atau 20 tahun terakhir. Dampak perubahan iklim sangat mempengaruhi sektor kehidupan yang lain, terutama pertanian. Beberapa komoditas perkebunan penting tumbuh dengan baik di kota Bandung seperti teh dan sayuran. Iklim di kota bandung terkenal sejuk sehingga sangat menarik bagi sektor pariwisata. Perubahan iklim yang menyebabkan hawa yang sejuk menjadi cenderung lebih panas tentu akan mempengaruhi aktivitas sektor pariwisata. Beberapa sektor lain seperti perikanan juga dipengaruhi oleh kondisi iklim. Oleh karena itu menjadi sangat penting mengetahui variabilitas iklim di wilayah Bandung, sehingga dapat membuat kebijakan dan tindakan yang tepat apabila di rancang memanfaatkan informasi iklim. Informasi perubahan iklim menjadi kebutuhan utama pada berbagai bidang kehidupan, terutama sektor pertanian. Selain curah hujan unsur iklim yang lain juga sangat penting, seperti temperatur dan kelembaban udara. Temperatur atau suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Sedangkan menurut WMO Temperatur adalah kondisi yang menentukan besaran dari total perpindahan panas antara dua buah benda. Suhu udara tertinggi di muka bumi adalah di daerah tropis (sekitar ekuator) dan makin ke kutub makin dingin. Stasiun Geofisika Klas I Bandung e-mail: [email protected] Megasains 5(2): 68 – 75 N. Sugianti Curah hujan adalah endapan atau deposit air dalam bentuk cair maupun padat yang berasal dari atmosfer. Curah hujan mencakup tetes hujan, salju, batu es, embun, dan embun kristal. Pengertian curah hujan 1 mm adalah air hujan yang jatuh pada permukaan datar seluas 1 meter persegi (m²) setinggi 1 mm dengan tidak meresap, mengalir ataupun menguap. Gambar 1. Peta topografi Bandung dan posisi stasiun Geofisika Bandung. Sipayung S.D. dkk. (2003) melakukan analisis spektral data curah hujan 22 stasiun di Indonesia, dengan panjang data 20 tahun yaitu dari tahun 1970-1989 hasilnya menyatakan bahwa siklus memiliki pola Semi-Annual Oscillation (SAO), Annual Oscillation (AO), QuasiBiennual Oscillation (QBO) dan El-Nino/Southern Oscillation (ENSO). Syaifullah ( 2010) melakukan analisis spektral untuk melihat secara jelas pola curah hujannya, data yang digunakan adalah data curah hujan DAS Citarum yang dipakai adalah data bulanan selama 19 tahun. Dari hasil analisis spektral terlihat bahwa curah hujan DAS Citarum dan suhu muka laut sama- sama memiliki periodisitas tahunan (annual) yang kuat, pada curah hujan terlihat periodistias kurang kuat 32 bulan (sekitar tiga tahunan) sedangkan pada suhu muka laut selain perulangan tahunan, juga mengalami perulangan musiman dan perulangan beberapa tahunan meskipun tidak tampak jelas. Data harian curah hujan observasi di tujuh stasiun pengamatan dilakukan analisis spektrum daya wavelet untuk mengetahui pola curah hujan di wilayah Padang, selanjutnya dilihat hubungannya dengan MJO Sudiar dan Plato (2013) Hasil ini menunjukkan bahwa kejadian MJO kuat pada fasa 3 dan 4 tidak secara langsung mempengaruhi peningkatan curah hujan, karena adanya beda fasa dan keterlambatan pada tujuh stasiun pengamatan di sekitar kota Padang. Penelitian yang dilakukan oleh Sagita N. dkk., (2013), menggunakan data 12 stasiun atau pos pengamatan curah hujan di Sulawesi Utara dengan menggunakan teknik Fast Fourier Transform (FFT). Tujuan penelitian ini adalah membuat peta distribusi spasial periodisitas spektral curah hujan di wilayah Sulawesi Utara sehingga dapat dianalisis fenomena cuaca yang mempengaruhi curah hujan di beberapa wilayah di Sulawesi Utara. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 69 Megasains 5(2): 68 – 75 N. Sugianti METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis spektral. Metode ini merubah data domain waktu menjadi domain frekuensi. Dasar dari metode spektral adalah transformasi fourier. Analisis menggunakan metode ini mampu mengidentifikasi siklus periodik yang terkandung dalam data runtun waktu. Densitas Spektral Daya (Power Spectral Density) Spectral density merupakan konsep yang diaplikan terhadap signal yang dapat memiliki suatu dimensi fisika tertentu maupun tidak memiliki dimensi. Signal biasanya berupa gelombang, misalnya gelombang elektromagnetik, atau gelombang akustik. Spektral density dari gelombang bila dikalikan dengan suatu faktor akan menghasilkan power yang dibawa oleh gelombang per satuan frekuensi. Hal ini disebut power spectral density (PSD) atau spectral power distribution (SPD) dari signal. Satuan dari spcktral power density yang biasanya dinyatakan dalam watt per herzt (W/Hz). Meskipun tidak begitu penting untuk menyatakan dimensi fisika untuk signal atau argumennya istilah yang digunakan mengasumsikan bahwa signal bervariasi terhadap waktu. Pada definisi diatas mengenai energy spektral density memerlukan syarat bahwa harus terdapat transformasi Fourier dari signal yang bersangkutan, yang berarti bahwa signal dapat diintegralkan kuadratnya atau dapat dijumlahkan kuadratnya (signals are square-integrable atau square-summable). Metode yang biasanya lebih penting adalah power spektral density (PSD), yang menjelaskan bagaimana power dari signal atau deret waktu (time series) terdistribusi terhadap frekuensi. Spektral suatu signal memberikan gambaran yang penting terhadap suatu signal, karena spektral dari suatu signal melambangkan kandungan energi dari tiap panjang gelombang tersebut. Salah satu metoda estimasi yang cukup praktis dan memberikan hasil cukup baik adalah dengan memanfaatkan periodogram dari blok signal tersebut. Energy spektral density menjelaskan bagaimana energi (atau variance) dari suatu signal atau suatu deret waktu terdistribusi terhadap frekuensi. Jika f(t) adalah suatu signal, spektral density Φ(ω) dari signal adalah kuadrat magnitude dari transformasi fourier kontinyu dari signal, maka : Φ (ω ) = 1 2π ∫ ∞ −∞ 2 f (t )e −iωt dt = F (ω )F * (ω ) 2π (1) dengan ω adalah frekuensi angular (2πf) dan F(ω) adalah transformasi Fourier kontinyu dari f(t). Tahapan Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan setelah dilakukan pengkondisian terhadap data sehingga data dapat dianalisis menggunakan metode spektral. Untuk mengetahhui spektral dari data runtun waktu dibutuhkan data yang kontinyu atau tidak boleh ada data yang kosong. Faktanya katalog data seringkali mengalami diskontinyuitas karena kekososngan data akibat gangguan alat atau data yang salah. Tahapan pengolahan analisis spektral dari data temperatur maksimum, kelembaban udara dan curah hujan adalah sebagi berikut : 1. Pengkondisian data, yang dimaksud pengkondisian data adalah mengisi data yang kosong menggunakan interpolasi data sebelum dan sesudahnya. 2. Melakukan analisis spektral dari seluruh panjang data dari tahun 1971 hingga tahun 2013. 3. Melakukan analisis spektral dari setiap dekade. 4. Membandingkan hasil spektral tiap dekade. 5. Menghitung kecenderungan atau tren menggunakan regresi linear. Analisis hasil yang diperoleh dan membandingkan dengan hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 70 Megasains 5(2): 68 – 75 N. Sugianti HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasrkan hasil komputasi spektral dari masing-masing unsur diperoleh vaiabilitas iklim di Bandung yang ditunjukkan dari variabilitas temperatur maksimum , kelembaban, dan curah hujan. Hasil Analisis Spektral Pada Gambar 2 ditunjukkan spekral data dari ketiga unsur, dari gambar ditunjukkan bahwa temperatur maksumum memiliki variabilias atau siklus yang kuat dengan periode 6 bulan. Berikutnya ketiga unsur juga memiliki periodisitas satu tahunan yang kuat. Gambar 2 (kiri adalah dalam fugsi frekuensi, sedangkan Gambar 2 (kanan dalam fungsi periode). Pada Gambar 2a ditunjukkan adanya periodisitas yang pendek yang lebih kecil dari 6 bulan, periodisitas ini memiliki power yang sangat kuat. Hal ini kemungkinan adanya peningkatan temperatur yang cukup signifikan yang disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan di Bandung. Pada Gambar 2e terlihat adanya periodisitas yang lebih dari satu tahun cukup signifikan, tetapi periodisitas ini tidak muncul pada temperatur dan kelembaban udara. Pada Gambar 3.Ditunjukkan Spektral dari (a) Temperatur Maksimum, (b) Kelembaban dan (c) Curah hujan. (i) dekade awal (1984-1993), (ii) dekade pertengahan (1994-2003) dan (iii) dekade akhir (2004-2013). Spektral dari temperatur mengindikasikan adanya perbedaan yang mencolok dari ketiga decade, pada decade pertama power lebih rendah daripada power pada dua dekade berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa temperatur di Bandung bersifat stabil selama satu dekade pertama. Namun demikian tetap terlihat siklus 6 bulanan dan satu tahunan yang menonjol. Pada dekade kedua spektral menunjukkan power yang tingi baik untuk siklus 6 bulanan maupun satu tahunan. Berdasarkani spektral temperatur maksimum mengindikasikan bahwa temperatur maksimum di Bandung mengalami peningkatan signifikan pada dua dekade terakhir. Penyebab kenaikan temperature maksimum ini kemungkinan adalah peningkatan temperatur global, selain pengaruh perubahan lingkungan wilayah Bandung sebagai akibat masifnya pembangunan wilayah. Penyebab siklus yang berubah-ubah dari beberapa parameter iklim yang diteliti kemungkinan Karena pada skala besar, suhu lautan Samudera Indonesia dan suhu lautan Samudera Pasifik mempunyai kaitan yang dekat dalam rangkaian proses lautan, yang sampai saat ini kaitan tersebut banyak dihubungkan dengan fenomena El Nino maupun La Nina; sedangkan secara global kenaikan suhu muka laut dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim secara tidak langsung. Tekanan udara, kelembaban berpengaruh terhadap perubahan tekanan maupun perpindahan massa uap air. Hasil Penelitian Syaifullah ( 2010) pada wilayah DAS Citarum yang dipakai adalah data bulanan selama 19 tahun. Penelitian ini menggunakan metode spektral, dari hasil analisis spektral terlihat bahwa curah hujan DAS Citarum, curah hujan mempunyai periodistias kurang kuat 32 bulan (sekitar tiga tahunan) sedangkan pada suhu muka laut selain perulangan tahunan, juga mengalami perulangan musiman dan perulangan beberapa tahunan meskipun tidak tampak jelas. Hasil penelitian dari Sagita N. dkk., 2013 di wilayah yang berbeda yaitu Sulawesi Utara menunjukkan bahwa diklasifikasikan menjadi 2 tipe periodisitas curah hujan yang memiliki kekuatan kerapatan spektral tertinggi dengan periode 36 dasarian dan periode 18 dasarian. Sulawesi Utara juga diklasifikasikan menjadi 5 tipe periodisitas curah hujan yang memiliki kekuatan kerapatan spektral tertinggi ke dua dengan periode 3-11 dasarian, periode 18 dasarian, periode 36 dasarian, periode 60-110 dasarian dan periode 359 dasarian. Pada dekade ketiga power spektral menunjukkan nilai yang dominan baik untuk siklus 6 bulanan maupun satu tahunan, seperti pada dekade sebelumnya. Namun pada dekade ketiga nilai power siklus satu tahunan sangat tinggi, nilainya lebih besar dari pada nilai spektral pada dua dekade sebelumnya. Dari spektral pada dekade ketiga mengindikasikan bahwa pada dekade terakhir ini terjadi kenaikan temperatur yang signifikan, sehingga wilayah Bandung kemungkinan mengalami perubahan lingkungan yang mempengaruhi penyerapan pemanasan akibat radiasi matahari. Kemungkinan lain adalah terjadinya pemanasan global yang menaikkan temperatur maksimum di wilayah Bandung. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 71 Megasains 5(2): 68 – 75 N. Sugianti Spektral tiga dekade dari kelembaban udara ditunjukkan pada Gambar 3b, pada dekade awal hanya siklus 6 bulanan yang menonjol. Pada dekade kedua dan ketiga selain siklus 6 bulanan teridentifikasi siklus satu tahunan. Spektral kelembaban udara untuk siklus satu tahunan tidak begitu tinggi, hal ini kemungkinan karena variasi atau interval kelembaban udara memang tidak terlalu besar, berbeda dengan temperatur atau curah hujan. Perubahan power siklus 6 bulanan pada ketiga dekade juga tidak mencolok. Gambar 2. (a) dan (b) adalah spektral Temperatur Maksimum, masing-masing adalah (a) dalam frekuensi dan (b) periode. (c) dan (d) adalah spektral Kelembaban udara, masing-masing adalah (c) dalam frekuensi dan (d) periode. (e) dan (f) adalah spektral Curah hujan, masing-masing adalah (e) dalam frekuensi dan (f) periode. Panjang data dari tahun 1971 hingga 2013 yang dicatat di Stasiun Geofisika Klas I Bandung. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 72 Megasains 5(2): 68 – 75 N. Sugianti Gambar 3. Spektral dari (a) Temperatur Maksimum, (b) Kelembaban dan (c) Curah hujan. (i) dekade awal (1984-1993), (ii) dekade pertengahan (1994-2003) dan (iii) dekade akhir (2004-2013). Kotak warna pink menunjukan tingginya nilai spektral pada dua dekade terakhir. Spektral curah hujan ditunjukkan pada Gambar 3c, yang menunjukkan siklus 6 bulanan yang dominan, sedangkan siklus satu tahunan tidak signifikan. Siklus 6 bulanan mengindikasikan bahwa wilayah Bandung lebih besar dipengaruhi oleh monsoon. Power pada dekade terakhir menunjukkan nilai yang lebih besar dari pada power spektral pada dua dekade sebelumnya. Fenomena ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan intensitas curah hujan pada dekade terakhir. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya perubahan iklim di wilayah Bandung. Peningkatan intensitas curah hujan perlu diwaspadai, terutama di wilayah rawan Banjir di Bandung. Informasi ini dapat menjadi masukan pada perencanaan tata kota terutama pengembangan wilayah pemukiman di Bandung. Hasil penelitian menggunakan metode spektral oleh Azteria, V. dkk., 2008 diperoleh hasil bahwa berdasarkan pola curah hujan di Kototabang, Padangpanjang dan Sicincin. Maka dari ketiga wilayah tersebut Sicincin memiliki pola yang sama dengan pola Monsun yaitu berosilasi sekitar 12 bulanan. Hal ini menunjukkan perbedaan dengan pola di kota Bandung dimana disamping siklus 12 bulanan juga terdapat siklus 6 bulanan yang kuat. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 73 Megasains 5(2): 68 – 75 N. Sugianti Gambar 4. Tren atau kecenderungan data dari tahun 1971 hingga 2013, masing-masing adalah (a) kecenderungan dari temperatur maksimum, (b) kelembaban udara dan (c) Curah hujan. Analisis Tren Pada Gambar 4 menunjukkan kecenderungan atau tren dari (a) temperatur maksimum, (b) kelembaban udara dan (c) curah hujan. Gambar 4a menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan temperatur maksimum dari waktu ke waktu. Pada Gambar 4b menunjukkan adanya kecenderungan penurunan kelembaban udara, sedangkan pada Gambar 4c mengindikasikan adanya kecenderungan kenaikan intensitas curah hujan sejak tahun 1971. Tren ketiga unsur iklim mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan iklim di wilayah Bandung. Analisis tren ini mendukung analisis spektral yang mengindikasikan perubahan iklim sebagaimana ditunjukkan dari perubahan power spektral ketiga unsur iklim tersebut. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 74 Megasains 5(2): 68 – 75 N. Sugianti Pada Tabel 1 ditunjukkan nilai maksimum power spektral dari tempertur maksimum, kelembaban dan curah hujan. Nilai maksimum spektral temperatur terjadi pada dekade kedua, nilai maksimum spektral kelembaban udara terjadi pada dekade kedua, sedangkan nilai maksimum spektral curah hujan terjadi pada dekade ketiga. Dari nilai maksimum ketiga unsur tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara tingkat kelembaban dan temperatur maksimum di Bandung, meskipun hubungan ini belum terukur dengan baik. Tabel 1. Tabel nilai maksimum spektral pada tiga dekade Parameter Dekade 2 30.901 Temperatur 1 9.131 3 29.723 Kelembaban 1043.390 1414.358 1023.638 Curah Hujan 520000 460000 780000 KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengolahan data tiga unsur iklim yaitu temperatur maksimum, kelembaban udara dan curah hujan di wilayah Bandung dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Spektral dari temperatur maksimum tahun 1971-2013 mengindikasikan bahwa adanya temperatur maksimum mengalami variabilitas atau siklus 6 bulanan dan satu tahunan, Variabilitas kelembaban udara menunjukkan bahwa variabilitas atau siklus yang dominan hanya pada siklus 6 bulanan, sedangkan variabilitas curah hujan tertinggi pada dekade terakhir. 2. Temperatur maksimum di Bandung mengalami peningkatan signifikan pada dua dekade terakhir, kemungkinan sebagai akibat dari peningkatan temperature global dan pengaruh perubahan lingkungan wilayah Bandung sebagai akibat masifnya pembangunan wilayah. 3. Hasil verifikasi menggunakan hubungan regresi menunjukan adanya kecenderungan kenaikan temperatur terhadap waktu, kelembaban mengalami penurunan terhadap waktu sedangkan curah hujan mengalami kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan perubahan spektral dari tiga unsur iklim mengindikasikan bahwa teridentifikasi perubahan iklim. Perubahan iklim yang terkonfirmasi dari verifikasi tren atau kecenderungan perubahan ketiga unsur iklim yaitu temperatur maksimum, kelembaban udara dan curah hujan. DAFTAR PUSTAKA Syaifullah, D. Analisis Suhu Muka Laut Selatan Jawa dan Pengaruhnya Terhadap Curah Hujan DAS Citarum, Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 11, No. 2, 11-19, 2010. Azteria V., Effendy S. dan Hermawan, E., Pemmanfaatan Data Equatorial Atmosefer Radar (EAR) Dalam Mengkaji Terjadinya Monsun di Kawasan Barat Indonesia , J.Agromet 22 (2):160-173,2008. Sinta Berliana Sipayung, Hariadi T.E, Nurzaman A dan Eddy Hermawan, The Spectrum Analysis of Rainfall in Indonesia Indonesian, Journal of Physics Kontribusi Fisika Indonesia Vol. 14 No.3, Juli 2003. Sudiar, N.Y., Siregar, P.M., Analisis Curah Hujan Kota Padang Pada Saat Peristiwa Madden Julian Oscillation Periode 1980-2010, Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013. Sagita, N., As’ari, Wandayantolis, Analisis Spektral Data Curah Hujan di Sulawesi Utara, Jurnal Mipa UNSRAT ONLINE 2 (2) 133-139, 2013. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 75 VARIABILITAS INDEKS KETIDAKSTABILAN ATMOSFER DI JUANDA SURABAYA TAHUN 2012-2013 Firda Amalia Maslakah tanggal terima: 9 Juni 2014, tanggal cetak: 10 Oktober 2014 ABSTRACT The upper air sounding data of Juanda Meteorology Station for period of 2012 and 2013 was analyzed to study the variability of atmospheric instability indices related to rain event. Each sounding data obtained from radiosonde launched at 00 UTC and 12 UTC was converted into sounding diagram using RAOBs version 5.7. Some indices of atmospheric instability consist of Convective Available Potential Energy (CAPE), Lifted Index (LI), Bulk Richardson Number (BRN), and height difference between Level of Free Convection (LFC) and Lifting Condensation Level (LCL) were analyzed and compared with rain event. It is found that CAPE and BRN monthly average value follow the pattern of monthly rainfall amount average and give high correlation when compared with monthly average of rainfall amount, while LCL-LFC height difference and LI show the opposite pattern in which low LCL-LFC height difference and negative LI result in high rainfall amount average. High CAPE, high BRN value, small LFC-LCL height difference and negative LI represent unstable atmospheric condition potential for severe weather event. Keywords: climate variability, spectral, Bandung, climate elements PENDAHULUAN Sebagai negara maritim yang berada di wilayah ekuator serta diapit oleh dua samudera dan dua benua, Indonesia memiliki dinamika atmosfer yang kompleks dan unik. Indonesia merupakan daerah monsun ekuatorial lembab yang memiliki kadar uap air lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain (Tjasyono, 2006). Karena posisinya yang berada di wilayah ekuator, Indonesia juga menerima surplus energi radiasi dan menunjukkan kelabilan konvektif di segala musim. Di lapisan troposfer bawah sampai ketinggian 700 mb pada umumnya udara berada pada kondisi tidak stabil atau labil secara konvektif. Stabilitas konvektif di Indonesia bervariasi terhadap musim (Laing and Evans, 2011). Suatu parsel udara bergerak ke atas dan ke bawah di atmosfer. Perubahan-perubahan karakteristik yang terjadi ditentukan dan dibandingkan dengan kondisi lingkungan di sekitarnya yang tidak berubah. Kondisi atmosfer dikatakan stabil apabila udara yang bergerak naik memiliki temperatur lebih rendah daripada udara di sekitarnya sehingga molekul-molekulnya lebih rapat dan akan cenderung turun kembali ke posisinya semula. Apabila udara yang bergerak naik memiliki temperatur lebih hangat dan susunan molekul lebih renggang, sehingga parsel udara akan bergerak terus ke atas hingga mencapai titik di mana temperaturnya sama dengan temperatur lingkungan di sekitarnya, maka dikatakan bahwa atmosfer berada dalam keadaan tidak stabil (Tjasyono, 2006). Lingkungan atmosfer yang tidak stabil memicu terbentuknya awan cumulonimbus (Tsonis, 2007). Awan cumulonimbus merupakan parsel udara yang setelah mencapai titik embun akan bergerak ke atas dengan sendirinya karena suhunya yang lebih hangat dari lingkungan sekitar. Setelah mencapai lapisan atmosfer yang stabil, udara akan berhenti bergerak ke atas dan awan cumulonimbus mencapai puncak ketinggiannya. Cumulonimbus berpotensi menimbulkan hujan lebat, kilat, petir dan cuaca buruk yang berbahaya lainnya seperti gust, hujan es dan angin puting beliung. Karena kondisi atmosfer di wilayah tropis yang sering berada pada kondisi tidak stabil, maka awan cumulonimbus banyak dijumpai di daerah tropis (Laing and Evans, 2011). Stasiun Meteorologi Klas I Juanda Surabaya e-mail: [email protected] Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah Analisa kondisi udara atas terkait dengan kestabilan atmosfer dapat dilakukan dengan memanfaatkan data hasil peluncuran balon radiosonde (Queralt et al, 2007). Data profil vertikal atmosfer dari peluncuran balon radiosonde telah banyak dimanfaatkan untuk analisa dan prediksi cuaca. Data tersebut diplot dalam bentuk diagram sounding yang menggambarkan profil temperatur di lapisan troposfer dan stratosfer bagian bawah. Ketidakstabilan atmosfer digambarkan dengan beberapa indeks di antaranya Convective Available Potential Energy (CAPE), Bulk Richardson Number (BRN), Lifted Index (LI), K Index (KI), Showalter Index (SI) dan Vertical totals. Indeks-indeks tersebut mellibatkan perubahan temperatur terhadap ketinggian di troposfer atau lapse rate (Anonymous, 2011). Nilai CAPE yang tinggi, yaitu di atas 1000 J/Kg menunjukkan bahwa energi yang tersedia untuk proses konveksi besar dan mewakili kondisi atmosfer yang tidak stabil. Kondisi ini sangat potensial dalam memicu terjadinya cuaca buruk. Ketidakstabilan juga dapat diwakili dengan nilai LI yang mewakili perbedaan temperatur parsel udara dengan lingkungan. Apabila nilainya negatif, maka atmosfer berada pada kondisi tidak stabil. Besarnya nilai CAPE terkait dengan perubahan arah dan kecepatan angin atau wind shear. Bulk Richardson Number (BRN) menyatakan kesetimbangan antara CAPE dengan wind shear dan berkaitan dengan jenis awan. Nilai BRN yang tinggi mewakili kondisi wind shear yang rendah dan gangguan terhadap proses konveksi kecil. Faktor yang tidak kalah penting dalam menentukan awal proses konveksi adalah beda ketinggian Lifting Condensation Level (LCL) dan Level of Free Convection (LFC). Kondisi yang mendukung pembentukan badai guruh terpenuhi jika selisih antara LCL dan LFC tidak terlalu besar (Kim and Lee, 2006). Studi yang dilakukan oleh Buque (2013) pada kejadian hujan lebat pada musim panas di Afrika Selatan pada tahun 2006/2007 menunjukkan bahwa hujan yang signifikan terkait dengan beberapa parameter, di antaranya adalah kelembaban relatif, CAPE, K-Index dan ketebalan lapisan di bawah 500 mb. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Lee (2006) mengenai kejadian hujan lebat di Semenanjung Korea tanggal 25 hingga 27 Juli 1996, kondisi atmosfer mengindikasikan ketidakstabilan yang ditandai dengan nilai LCL rendah dan nilai CAPE tinggi. Selain itu juga tercatat nilai Bulk Richardson Number (BRN) pada kategori rendah hingga menengah yang mendukung terbentuknya awan konvektif multisel. Penelitian yang dilakukan oleh Campe et al (2009) tentang klimatologi CAPE dan CIN global menggunakan data ERA-40 analysis menunjukkan bahwa CAPE memiliki nilai dan variabilitas yang tinggi di daerah tropis, dan perubahan musiman CAPE dipengaruhi secara dominan oleh kelembaban spesifik. Pada penelitian ini, beberapa indeks ketidakstabilan atmosfer dari data hasil pengamatan udara atas dengan radiosonde di Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya periode 2012-2013 dianalisa variabilitasnya terkait dengan kejadian hujan. Indeks-indeks yang digunakan meliputi Convective Available Potential Energy (CAPE), Lifted Index (LI), Bulk Richardson Number (BRN), dan selisih ketinggian antara Lifting Condensation Level (LCL) dan Level of Free Convection (LFC). Hasil analisa dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam kegiatan peramalan cuaca. METODE PENELITIAN Pengamatan dilakukan di Stasiun Meteorologi juanda Surabaya yang berada di sekitar wilayah Bandara Juanda Surabaya dengan koordinat 07°23'03"70 LS ; 112°47'02"68 BT dan ketinggian ± 2.8 m di atas permukaan laut. Temperatur harian rata-rata di wilayah ini o o berkisar antara 23,8 C hingga 32,3 C. Pada umumnya, musim hujan berlangsung pada bulan November hingga April, sedangkan musim kemarau berlangsung pada bulan Mei hingga Oktober. Data parameter udara atas di Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya didapatkan dari peluncuran balon radiosonde yang menggunakan receiver merk Meisei. Radiosonde terdiri dari kotak yang dilengkapi dengan pemancar radio dan alat pengindera atau sensor untuk tekanan, temperatur dan kelembaban relatif. Radiosonde dinaikkan dengan sebuah balon yang diisi dengan gas hidrogen. Hasil pengamatan dikirim ke permukaan dalam bentuk sinyal radio. Selain data tekanan, temperature dan kelembaban, diperoleh informasi tambahan data laju dan arah angin dengan memakai alat rawinsonde. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 77 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data radiosonde harian pukul 00.00 UTC (07.00 WIB) dan pukul 12.00 UTC (19.00 WIB). Data diplot menggunakan software RAOBs versi 5.7 menjadi grafik emagram atau skew T log P. Hasil olahan RAOBs juga meliputi indeks-indeks yang berhubungan dengan kondisi atmosfer udara atas. Indeks-indeks yang dianalisa meliputi: 1. Convective Available Potential Energy (CAPE) Convective Available Potential Energy (CAPE) adalah jumlah energi potensial yang didapatkan oleh sebuah parsel udara dari kondisi lingkungan di sekitarnya. Pada diagram sounding, CAPE adalah area positif di atas Level of Free Convection (LFC). 2. Lifted Index (LI) Lifted Index (LI) adalah perbedaan temperatur antara suatu parsel udara yang terangkat secara adiabatis dan temperatur lingkungan pada lapisan dengan ketinggian tertentu di troposfer, biasanya pada lapisan 500 mb. Nilai LI yang positif menunjukkan bahwa atmosfer berada dalam keadaan stabil, dan nilai negatif dari LI mengindikasikan kondisi atmosfer yang tidak stabil. 3. Selisih ketinggian Lifting Condensation Level (LCL) dan Level of Free Convection (LFC) Lifting Condensation Level (LCL) adalah suatu level ketinggian di mana suatu parsel udara menjadi jenuh dengan uap air apabila terangkat dengan mekanisme adiabatis kering. Level of Free Convection (LFC) adalah ketinggian di mana sebuah parsel udara yang terangkat secara adiabatis hingga jenuh dan kemudian menjadi lembab secara adiabatis, untuk pertama kalinya menjadi lebih hangat (susunan molekulnya lebih renggang) daripada udara di lingkungan sekitarnya. 4. Bulk-Richardson Number (BRN) Bulk Richardson Number (BRN) adalah indeks yang menentukan keseimbangan antara ketidakstabilan (CAPE) dan wind shear. Nilai BRN yang tinggi mengindikasikan kondisi lingkungan yang tidak stabil, sedangkan nilai BRN yang rendah menunjukkan ketidakstabilan rendah atau vertical shear kuat. Data masing-masing indeks di atas selanjutnya diolah menjadi data rata-rata bulanan dan dianalisa variabilitasnya terkait dengan kejadian hujan. HASIL DAN PEMBAHASAN Convective Available Potential Energy (CAPE) dan Lifted Index (LI) Pada Gambar 1 ditampilkan grafik rata-rata bulanan curah hujan dan indeks yang berkaitan dengan kondisi kestabilan atmosfer meliputi CAPE dan LI pukul 00 UTC pada periode tahun 2012-2013. Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa rata-rata curah hujan tertinggi tahun 2012-2013 terjadi pada bulan Januari dengan jumlah curah hujan harian tertinggi 90,4 mm. Pada bulan Agustus dan September tidak tercatat adanya hujan dan pada bulan April besarnya curah hujan bervariasi dari ringan hingga sangat lebat yaitu mencapai 107,5 mm pada tanggal 6 April 2013. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 78 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah Gambar 1. Grafik rata-rata bulanan Curah Hujan (a), CAPE pukul 00.00 UTC (b) dan LI pukul 00.00 UTC (c) tahun 2012-2013. Nilai harian CAPE sangat bervariasi dari 0 hingga 3249 J/kg pada pukul 00 UTC. Nilai ratarata bulanan CAPE pukul 00 UTC memiliki pola yang sesuai dengan pola rata-rata bulanan curah hujan. Nilai CAPE rendah dan bahkan mencapai 0 terjadi pada bulan Agustus dan September di mana tidak tercatat adanya hujan. Pada bulan Agustus, nilai CAPE rata-rata pukul 00 UTC bernilai 50,68 J/kg dan berkisar antara 0 hingga 1372 J/kg. Sedangkan pada bulan September, nilai rata-rata bulanan CAPE 56,91 J/kg dan berkisar antara 0 hingga 1752 J/kg. Nilai CAPE 0 menunjukkan bahwa atmosfer berada pada kondisi stabil dan tidak terjadi pembentukan awan cumulonimbus. Rata-rata nilai CAPE yang tertinggi pada pukul 00 UTC tercatat pada bulan April yaitu sebesar 1303,52 J/kg pada kisaran 0 hingga 2865 J/kg. Lifted Index (LI) yang merupakan selisih temperatur parsel udara dengan temperatur lingkungan adalah indikasi ketidakstabilan atmosfer. Nilai LI negatif menandakan atmosfer berada dalam kondisi yang tidak stabil dan memungkinkan terjadinya badai guruh (thunderstorm), dan sebaliknya, nilai LI positif menandakan kondisi atmosfer yang stabil. Berdasarkan grafik pada gambar 1 dapat diketahui bahwa rata-rata nilai Index LI cenderung negatif kecuali pada bulan Juli, Agustus dan September pukul 00 UTC di mana rata-rata MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 79 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah nilai LI bernilai positif. Hal ini menunjukkan pada bulan-bulan tersebut secara umum atmosfer berada pada kondisi stabil sehingga potensi terjadinya badai guruh (thunderstorm) kecil. Grafik rata-rata bulanan curah hujan, CAPE, dan LI hasil peluncuran balon radiosonde pukul 12 UTC ditampilkan pada Gambar 2 berikut ini. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pola indeks kestabilan atmosfer yang diamati pukul 12 UTC memiliki pola yang sesuai dengan pola rata-rata curah hujan bulanan seperti yang terjadi pada data pukul 00 UTC. CAPE tertinggi juga terjadi pada bulan April pada kisaran 1 hingga 4573 dengan rata-rata 2071,32 J/kg. Sedangkan rata-rata CAPE terendah tercatat pada bulan September sebesar 228,63 J/Kg berkisar antara 0 hingga 2034 J/kg, sedangkan pada bulan Agustus CAPE memiliki rata-rata 263,61 J/Kg dan berkisar antara 0 hingga 2961 J/kg. Gambar 2. Grafik rata-rata bulanan Curah Hujan (a), CAPE pukul 12.00 UTC (b) dan LI pukul 12.00 UTC (c) tahun 2012-2013. CAPE adalah energi yang dimiliki suatu parsel udara untuk terjadinya proses konveksi. Semakin tinggi temperatur parsel udara, maka semakin tinggi pula energi yang tersedia yang mengakibatkan aliran udara naik (updraft) yang lebih kuat dan lebih berpotensi menyebabkan cuaca buruk seperti hujan lebat. Kecepatan aliran updraft yang tinggi meningkatkan tumbukan antara partikel-partikel uap air sehingga membentuk partikel yang MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 80 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah lebih besar dan memungkinkan untuk jatuh sebagai hujan. CAPE yang tinggi disebabkan oleh udara yang lembab di lapisan bawah dan terjadi penurunan temperatur lingkungan dari lapisan 850 hPa dan lapisan di atasnya. Rata-rata CAPE yang besar pada bulan April berarti bahwa pada bulan April atmosfer memiliki ketidakstabilan tinggi dan berpotensi besar dalam mendukung pembentukan awan-awan konvektif. Bulk Richardson Number (BRN) Parameter lain yang berpengaruh pada pembentukan awan-awan konvektif adalah Bulk Richardson Number (BRN) yang merupakan indeks yang menentukan pengaruh Wind Shear terhadap pembentukan awan cumulonimbus. Pada Gambar 3 di bawah ini ditampilkan grafik curah hujan dan BRN pukul 00 dan 12 UTC. Gambar 3. Grafik rata-rata bulanan curah hujan (a) dan Bulk Richardson Number pukul 00 UTC (b) dan Bulk Richardson Number pukul 12 UTC (c) tahun 2012-2013. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai BRN yang maksimum baik pukul 00 UTC maupun 12 UTC terjadi pada bulan April yaitu sebesar 304,89 pada 00 UTC dan 696,06 pada 12 UTC. Sedangkan rata-rata minimum pukul 00 UTC tercatat pada bulan Agustus MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 81 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah sebesar 37,83 dan rata-rata minimum pukul 12 UTC tercatat pada bulan September dengan nilai 38,73. Nilai BRN yang rendah menandakan bahwa perubahan arah dan kecepatan angin vertikal sangat kuat dan tidak mendukung pertumbuhan awan konvektif (Arnold, 2007). Sedangkan nilai BRN yang lebih tinggi dapat memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada pembentukan awan cumulonimbus. Nilai BRN yang tinggi menandakan windshear rendah atau proses konveksi tidak terhalang. Menurut beberapa literatur, nilai BRN 10-45 merupakan kondisi yang mendukung terbentuknya awan supercell. Nilai harian BRN sangat bervariasi dan kejadian nilai BRN yang tinggi banyak terjadi pada masa transisi yaitu pada bulan April dan Oktober atau November. Pada musim kemarau nilai BRN yang kecil menandakan wind shear yang tinggi, sehingga kondisi atmosfer tidak mendukung proses konveksi. Selisih ketinggian Lifting Condensation Level (LCL) dan Level of Free Convection (LFC) Gambar 4 yang menampilkan grafik ketinggian Lifting Condensation Level (LCL), Level of free Convection (LFC), dan selisih LFC dan LCL pukul 00 dan 12 UTC menunjukkan bahwa ketinggian LFC dan LCL pada pukul 00 UTC memiliki pola yang sama dengan ketinggian LFC dan LCL pukul 12 UTC, namun ketinggian LCL pada pukul 12 UTC lebih besar dibandingkan dengan yang terukur pada 00 UTC. Rata-rata ketinggian LCL pukul 00 UTC adalah 262,55 m dengan rata-rata ketinggian minimum pada bulan Februari sebesar 189,54 m dan rata-rata ketinggian maksimum 393,89 m pada bulan Oktober. Pada pukul 12 UTC rata-rata ketinggian LCL 674,23 m dengan nilai rata-rata terendah pada bulan Januari sebesar 394,82 m dan tertinggi 992,23 m pada bulan Oktober. Berbeda dengan LCL, rata-rata ketinggian LFC pukul 12 UTC lebih rendah daripada ratarata LFC pukul 00 UTC. Rata-rata ketinggian LFC pada pukul 00 UTC adalah 2166,29 m dengan rata-rata ketinggian minimum 1525,62 m pada bulan Februari dan maksimum 3992,96 m pada bulan Agustus. Sedangkan pada pukul 12 UTC rata-rata ketinggian LFC 1610,67m dengan nilai rata-rata minimum 1220,28 m pada bulan April dan maksimum 2135,48 m pada bulan Agustus. Dikarenakan kondisi yang disebut di atas, maka nilai selisih ketinggian LCL dan LFC pada pukul 00 UTC lebih tinggi daripada pukul 12 UTC. Pada pukul 00 UTC, selisih ketinggian LCL dan LFC berada pada kisaran 1314,36 m dan 3717,00 m dengan rata-rata 1893,32 m. Sedangkan pada pukul 12 UTC, selisih ketinggian LCL dan LFC berkisar antara 647,65 m dan 1225,63 m dengan rata-rata 945,49 m. Baik pada pukul 00 UTC maupun 12 UTC, selisih LFC dan LCL minimum terjadi pada bulan April dan maksimum terjadi pada bulan Agustus. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 82 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah Gambar 4.Grafik rata-rata bulanan curah hujan (a); ketinggian LCL, ketinggian LFC , selisih ketinggian LCL dan LFC pukul 00 (b); dan ketinggian LCL, ketinggian LFC , selisih ketinggian LCL dan LFC pukul 12 UTC (c) tahun 2012-2013. Keterkaitan kondisi atmosfer, CAPE, LI, BRN dan selisih LCL-LFC Indeks CAPE, LI, BRN, LCL dan LFC terkait dengan kondisi cuaca buruk karena mewakili kondisi kestabilan udara atas. Proses konveksi yang terkait dengan pembentukan awanawan cumulus mengacu pada proses di mana parsel udara menerima panas, mengembang dan menjadi lebih renggang dibandingkan udara di sekitarnya, bergerak ke atas hingga mencapai titik jenuhnya, dan membentuk sel awan atau konvektif. Percepatan gerakan ke atas menghasilkan updraft. Tenaga yang menyebabkan percepatan gerakan parsel ke atas disebut buoyancy dan sebanding dengan perbedaan densitas antara parsel yang bergerak ke atas dan lingkungannya. Parsel udara yang bergerak ke atas secara adiabatis akan mengalami perubahan titik embun sebagai respon terhadap perubahan tekanan. Titik embun mewakili temperatur di mana suatu persel udara akan jenuh dengan uap air dan kondensasi akan terjadi. Suatu level ketinggian di mana parsel terangkat secara adiabatis dan temperaturnya mencapai titik embun disebut dengan Lifting Condensation Level (LCL). Apabila energi pengangkatan MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 83 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah cukup tersedia, parsel udara akan mencapai suatu level ketinggian di mana suatu parsel yang terangkat menjadi lebih hangat (lebih renggang) daripada udara di sekitarnya yang disebut dengan level of Free convection (LFC). Apabila parsel mencapai LFC, parsel udara akan terus bergerak naik secara bebas sampai memiliki temperatur yang sama dengan lingkungan di sekitarnya). Level ini disebut dengan Level Kesetimbangan atau Equilibrium Level. Energi yang digunakan dalam proses konveksi disebut dengan Convective Available Potential Energy (CAPE). CAPE merupakan area positif antara profil temperature ambien dan adiabatis lembab yang menghubungkan LFC dan EL pada diagram Skew-T-log P. CAPE mengindikasikan ketidakstabilan atmosfer berdasarkan besarnya energi potensial yang mendorong pembentukan awan-awan konvektif. CAPE untuk thunderstorm biasanya berkisar antara 1000-2000 J/kg, bahkan dapat juga mencapai 4000 J/kg pada cuaca buruk. LFC Nov-­‐13 Sep-­‐13 Jul-­‐13 May-­‐13 Mar-­‐13 Jan-­‐13 Nov-­‐12 Sep-­‐12 Jul-­‐12 May-­‐12 Mar-­‐12 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 Jan-­‐12 Ke#nggian (m) Ketinggian LCL merupakan parameter penting terkait dengan LFC. Selisih ketinggian LCL dan LFC yang lebih kecil merupakan kondisi yang mendukung pembentukan thunderstorm. Dengan jarak antara LCL dan LFC yang kecil, parsel udara memerlukan energi dan waktu yang lebih sedikit untuk mencapai Level of Free Convection. Selanjutnya konveksi dalam dan lembab terjadi sehingga parsel udara akan bergerak ke atas secara bebas hingga mencapai tingkat kesetimbangan (Equilibrium Level). Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa selisih LCL dan LFC bernilai paling rendah pada bulan April dan paling tinggi pada bulan Agustus. Pada musim kemarau yaitu Agustus dan September, Level of Free Convection bahkan tidak tercapai (gambar 5). Tidak tercapainya LFC adalah indikasi bahwa awan cumulonimbus tidak akan terbentuk. LCL Gambar 5. Grafik selisih ketinggian LCL dan LFC harian pukul 00.00 UTC tahun 2012-2013. Secara umum, kejadian hujan dengan jumlah curah hujan tinggi yang terjadi pada bulan April terkait dengan kondisi atmosfer yang tidak stabil yang ditandai dengan CAPE tinggi, LI negatif, BRN tinggi dan selisih LCL-LFC yang rendah. Sementara itu, minimnya jumlah curah hujan yang terjadi pada bulan Agustus dan September dipengaruhi oleh kondisi atmosfer yang relatif stabil di mana nilai CAPE sangat kecil dan bahkan tidak terdapat CAPE; rata-rata nilai LI yang positif; nilai BRN yang rendah (<100) dan selisih ketinggian LCL dan LFC yang tinggi. Baik pada pukul 00 UTC maupun 12 UTC, parameter-parameter tersebut memiliki variabilitas bulanan yang sama. Tabel 1 di bawah ini menyatakan keterkaitan antara indeks ketidakstabilan atmosfer dengan curah hujan dan CAPE pukul 00 UTC dan 12 UTC. Ditemukan bahwa pada pukul 00 UTC, MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 84 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah keempat indeks yang dianalisa memiliki nilai korelasi yang kuat dengan curah hujan di mana BRN memiliki korelasi terbesar yaitu 0,79 diikuti oleh selisih ketinggian LFC dan LCL sebesar -0,71, LI sebesar -0,69 dan CAPE sebesar 0,69. Nilai korelasi negatif pada LI dan selisih ketinggian LFC-LCL menunjukkan hubungan yang berlawanan di mana curah hujan tinggi saat nilai LI negatif dan selisih ketinggian LFC dan LCL rendah dan sebaliknya. Korelasi BRN, LI dan selisih LFC dan LCL terhadap CAPE menunjukkan bahwa ketiga indeks tersebut berkaitan sangat kuat dengan energi yang dibutuhkan untuk proses konveksi. Korelasi antara indeks ketidakstabilan atmosfer dan curah hujan pada pukul 12 UTC memberikan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan pukul 00 UTC kecuali untuk LI dengan nilai korelasi -0,77. Ketinggian LFC-LCL memiliki korelasi yang kecil terhadap curah hujan yaitu -0,35. Sedangkan korelasi antara BRN dan LI terhadap CAPE bernilai lebih tinggi dari pukul 00 UTC berturut-turut 0,93 dan -0,97. Selisih ketinggian LFC dan LCL memiliki koefisien korelasi terhadap CAPE yang lebih kecil daripada pukul 00 UTC yaitu -0,71. Tabel 1 a. Koefisien korelasi indeks ketidakstabilan atmosfer pukul 00.00 UTC CAPE BRN LI LFC-LCL Curah Hujan 0.69 0.79 -0.69 -0.71 CAPE 1 0.92 -0.95 -0.88 Tabel 1 b. Koefisien korelasi indeks ketidakstabilan atmosfer pukul 12.00 UTC CAPE BRN LI LFC-LCL Curah Hujan 0.66 0.43 -0.77 -0.35 CAPE 1 0.93 -0.97 -0.71 Berdasarkan data-data seperti yang dibahas di atas, variasi bulanan dari indeks ketidakstabilan atmosfer yang mempengaruhi proses konveksi memiliki pola yang sesuai dan nilai korelasi yang besar dengan rata-rata bulanan curah hujan. Ini berarti bahwa indeks-indeks tersebut mempengaruhi proses konveksi dan cuaca di Juanda Surabaya, terutama pada kejadian hujan yang diakibatkan oleh awan-awan konvektif. Data juga menunjukkan bahwa CAPE memainkan peran yang dominan dalam proses konveksi. Hasil lain yang didapatkan dari analisa ini adalah bahwa terjadinya hujan lebat di Juanda Surabaya lebih banyak disebabkan oleh awan-awan konvektif hasil ketidakstabilan atmosfer. Oleh karenanya, data hasil pengamatan kondisi udara atas dengan radiosonde perlu digunakan sebagai salah satu acuan untuk prediksi cuaca. Namun hasil pengamatan radiosonde harian terkadang kurang sesuai dengan kondisi cuaca yang selanjutnya terjadi pada hari yang sama. Salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi cuaca dapat berubah sewaktu-waktu, sementara peluncuran balon radiosonde hanya dilakukan pada pukul 00.00 UTC dan 12.00 UTC. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 85 Megasains 5(2): 76 – 86 F.A. Maslakah KESIMPULAN 1. 2. 3. Indeks ketidakstabilan atmosfer yang meliputi CAPE, BRN, LI dan selisih ketinggian antara LFC dan LCL memilikin pola variasi bulanan yang sesuai dengan rata-rata curah hujan bulanan di Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya, di mana CAPE dan BRN tinggi saat curah hujan tinggi, sementara LI dan selisih LCL-LFC memberikan pengaruh yang sebaliknya. Adanya keterkaitan yang besar antara CAPE, BRN, LI serta selisih ketinggian LCL dan LFC terhadap curah hujan menunjukkan bahwa terjadinya hujan lebat banyak disebabkan oleh ketidakstabilan atmosfer. Dengan adanya keterkaitan yang cukup besar dengan jumlah curah hujan, maka CAPE, BRN, LI dan selisih ketinggian LFC-LCL dapat dimanfaatkan sebagai salah satu acuan dalam prediksi cuaca. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2011, The skew T diagram, and atmospheric stability, ATSC 3032. Arnold D.L., 2007, Severe Deep Moist Convective Storms: Forecasting and Mitigation, Geography Compass, 2/1 (2008): 30–66. Buque, S.L.M., 2013, A Study of Heavy rainfall Events During The 2006/2007 Southern Africa Summer, Climate Prediction Center NCEP-NOAA. Campe, K.R., Fraedrich,K., and Lunkeit, F., 2009, Global Climatology of Convective Available Potential Energy (CAPE) and Convective Inhibition (CIN) in ERA-40 reanalysis, Atmospheric Research 93: 534-545. Gneiting, T. and Raftery, A. E. (2005).Weather forecasting with ensemble methods.Science, 310, 248-249. Kim, H.W. and Lee, D.K., 2006, An Observational Study of Mesoscale Convective Systems with Heavy Rainfall over the Korean Peninsula, Weather and Forecasting, Volume 21. nd Laing, A. and Evans, J.L., 2011, Introduction to Tropical Meteorology, 2 edition, University Corporation for Atmospheric Research. Queralt, S., Hernandez, E., Gallego, D. and Iturrioz, I., 2007, Atmospheric instability analysis and its relationship to precipitation patterns over the western Iberian Peninsula, Adv. Geosci,10,39-44. Tjasyono, B., 2009, Meteorologi Indonesia 1, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Tsonis, A.A, 2007, An Introduction to Atmospheric Thermodynamics, 2 University Press. nd edition, Cambridge MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 86 ANALISIS SIKLUS HUJAN TAHUNAN DI SULAWESI SELATAN Made Dwi Jendra Putra , Tri Wahyu Hadi , M. RidoSyahputra 1 2 2 tanggal terima: 18 Maret 2014, tanggal cetak: 10 Oktober 2014 ABSTRACT This research was conducted in order to explain the mechanisms that affect the rain cycle that occurs in the western and eastern part of South Sulawesi. FFT analysis is used to determine the rain cycle in South Sulawesi. SVD analysis is used to see how the monthly rainfall in South Sulawesi with monsoon Asia and Australia. Analysis of convective activity in the region of South Sulawesi is done by using a composite convective index is calculated using data from the cloud infrared image (IR1) GMS, GOES and MTSAT. This study used data from 1996 to 2010 year period. It is known the rainfall cycle western areas of South Sulawesi has a rain cycle with annual oscillation, while the eastern region of South Sulawesi has a rain cycle with combined oscillation between the annual and semi-annual oscillation. The increase and decrease in monthly rainfall area of the western South Sulawesi has been linked with increased and decreased activity of the Australian Summer Monsoon. In DJF period when the Australian Summer Monsoon active, convective activity occurs in Makassar Strait to the western part of South Sulawesi mainland delineation by topography factors of the Bawakaraeng mountain that separates western and eastern part of The South Sulawesi mainland, so that convective activity that occurs in west part does not fully reach to eastern part of South Sulawesi mainland. In MJJ period when the Asian Summer Monsoon active, convective activity occurs only in the eastern part of South Sulawesi. Based on the analysis results of the composite indexes suggests that convective activity that occurs in the Makassar Strait and the Tolo Bay has been linked to the development of convective clouds, which occur on the mainland of South Sulawesi, by cold pool mechanism. Keywords: convective activity, rain cycle, Australian Summer Monsoon, cold pool. PENDAHULUAN Indonesia adalah wilayah yang dipengaruhi dua sistem monsun besar yang berpasangan (Webster & Fasullo, 2003) yaitu monsun Asia di Belahan Bumi Utara (BBU) dan monsun Australia di Belahan Bumi Selatan (BBS). Metode klasik untuk mengidentifikasi wilayah monsun adalah dengan menganalisis perbedaan arah angin dominan antara bulan Januari dan Juli [10]. Namun demikian, karakteristik monsun di Indonesia lebih banyak ditinjau dari rata-rata variasi curah hujan bulanan dalam satu tahun (untuk mempersingkat, selanjutnya disebut “pola hujan”) (Aldrian & Susanto, 2003; Chang et al., 2004). Dari berbagai kajian terdahulu, ada sedikitnya dua metode analisis lanjut untuk memetakan pola hujan di Indonesia. Metode Pertama adalah dengan mencari pola spasial yang dominan berdasarkan Analisis Komponen Utama (Principal Componen Analysis, PCA) dan melakukan pengelompokkan berdasarkan variasi musiman dari nilai koefisiennya (Aldrian & Susanto, 2003). Metode kedua adalah dengan melakukan analisis harmonik terhadap data rata-rata curah hujan bulanan sehingga didapatkan komponen siklus tahunan dan setengah tahunannya (Chang et al., 2004). Berdasarkan kajian tersebut diketahui bahwa di Pulau Jawa dan sebagian besar wilayah Indonesia, interaksi monsun Asia-Australia menyebabkan adanya musim hujan pada periode Desember-Januari-Februari (DJF) dan musim kering pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA) yang dapat dibedakan dengan jelas. Namun demikian, variasi musiman curah hujan tidak sama di setiap tempat. Di beberapa wilayah yang dekat dengan ekuator di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi, komponen siklus hujan setengah tahunan cukup kuat dan dicirikan oleh adanya dua nilai maxima di sekitar 1. Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah III Denpasar e-mail: [email protected] 2. Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Bandung Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra periode equinox (Chang et al., 2004), yakni Maret-April dan Oktober-November. Selain itu, di Kepulauan Maluku terdapat wilayah dimana curah hujan maksimum terjadi di sekitar bulan Juni. Dibandingkan dengan sebagian besar wilayah seperti di Pulau Jawa, secara umum kedua kelompok wilayah tersebut mempunyai iklim yang relatif basah sepanjang tahun. Secara umum telah dipahami bahwa ketidakseragaman pola hujan di Indonesia terkait dengan kompleksitas distribusi daratan-lautan (Wyrkti, 1956). Namun demikian, beberapa peneliti mengajukan penjelasan yang berbeda mengenai proses yang menentukan perbedaan variasi musiman curah hujan di berbagai tempat. Terkait dengan pola hujan di Maluku bagian selatan, misalnya Arus lintas Indonesia (Arlindo) diduga mempunyai peran penting karena membawa masa air dari kolam hangat di Pasifik Barat yang mempengaruhi proses konveksi lokal (Aldrian & Susanto, 2003). Sementara pendapat lain lebih menekankan kepada pentingnya pengaruh topografi dan transport uap air (Chang et al., 2004) dalam menjelaskan terjadinya curah hujan maksimum di sekitar bulan Juni-Juli di wilayah tersebut. Ditinjau dari karakteristik curah hujan, wilayah lain yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah Sulawesi bagian selatan. Berdasarkan data curah hujan yang dilaporkan oleh stasiun klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang ada di Sulawesi bagian selatan, diketahui bahwa daerah di sisi sebelah barat pegunungan Bawakaraeng yang menghadap Selat Makassar seperti Kota/Kabupaten Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Pare-pare, Gowa, Takalar dan Jeneponto, umumnya mempunyai siklus tahunan yang dominan dengan perbedaan yang jelas antara musim hujan di periode DJF dengan musim kering di periode JJA. Sebaliknya, di sebelah timur pegunungan Bawakaraeng terdapat daerah yang mengalami curah hujan maksimum di periode sekitar Mei-Juni yang lebih cocok dikelompokkan dengan wilayah Maluku bagian selatan. Karen dalam hal ini, pengaruh Arlindo terhadap variasi musiman selama periode Juni-Juli seharusnya tidak cukup signifikan. Aliran Arlindo diketahui lebih banyak melalui Selat Makassar (Gordon et al., 1999) daripada perairan lainnya di Indonesia, sedangkan wilayah Sulawesi Selatan bagian barat mengalami musim kering di periode JJA. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan mengenai proses dan faktor yang menyebabkan kontras pola hujan di antara dua daerah yang terpisah dengan jarak geografis yang relatif kecil di wilayah Sulawesi bagian selatan. Berdasarkan pembahasan diatas, kami cenderung memilih penjelasan yang berhubungan dengan transport uap air dan efek topografi (Webster & Fasullo, 2003) sebagai hipotesis kerja. Seperti dijelaskan dalam bab selanjutnya, analisis data dilakukan untuk mendapatkan bukti-bukti yang lebih rinci mengenai keterkaitan antara aktifitas monsun Asia-Australia, pola angin permukaan, pola konveksi dan pola transport uap air dengan pola hujan di sebelah barat dan timur yang dipisahkan oleh Pegunungan Bawakaraeng. Kesimpulan yang didapatkan dalam kajian ini sangat penting untuk memahami perbedaan pola hujan di wilayah lainnya di Indonesia. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data curah hujan observasi yang diambil dari 24 pos hujan yang tersebar merata di seluruh Sulawesi selatan (Gambar 1). Untuk melihat keterkaitan antara curah hujan bulanan dengan monsun Asia dalam hal ini maka dipergunakan data indeks monsun bulanan yang didapat dengan melakukan perhitungan sendiri menggunakan pedoman dalam penelitian Wang et al. (2001) dan Kajikawa et al. (2009). Perhitungan dengan menggunakan komponen angin zonal pada ketinggian 850 mb menggunakan data reanalisis diambil dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/ dengan resolusi 2,5⁰ x 2,5⁰. Data yang digunakan periode tahun 1996 – 2010. Aktifitas konvektif sangat berkaitan dengan kontribusi uap air, oleh karena itu digunakan data bulanan kelembaban spesifik, komponen angin zonal dan meridional pada level ketinggian 1000 mb sampai dengan 850 mb untuk menghitung distribusi rata-rata transport uap air yang melintasi wilayah penelitian Webster dan Fasullo (2003), data yang digunakan dalam penghitungan transport uap air diambil dari http ://data-portal.ecmwf.int. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 88 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Data awan menggunakan citra infrared (IR) Geostationary Meteorological Satellite (GMS), Geostationary Operational Environmental Satellite (GOES) dan Multi-functional Transport SATellite (MTSAT), citra suhu IR dengan kanal IR1 dengan panjang gelombang 10,5-11,5 𝜇𝑚 yang menunjukkan temperatur permukaan tanah, permukaan laut atau puncak awan di atasnya. Data IR1 dapat diunduh dari http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME. Data ini berukuran 1800 x 1800 pixel yang mempunyai resolusi sangat tinggi yaitu 0,05 derajat (sekitar 5 km lebih). Data yang digunakan periode tahun 1996 – 2010. Gambar 1. Sebaran pos pengamatan curah hujan di Provinsi Sulawesi Selatan. Data angin permukaan digunakan untuk melihat pengaruh angin terhadap aktifitas konvektif. Data kecepatan angin yang digunakan dan angin permukaan laut jangka panjang yaitu Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) dengan resolusi 25 km setiap 6 jam-an [2]. Data angin ini dilaporkan sebagai setara angin pada ketinggian 10 m. Data angin yang digunakan dari tahun 1996 2010 dan dapat diunduh melalui http://dss.ucar.edu/datasets/ds744.9. Dalam penelitian ini Fast Fourier Transform (FFT) digunakan untuk melakukan analisis spektral terhadap times series curah hujan bulanan untuk mengetahui periodisitas curah hujan tahunan yang terjadi dari setiap pos pengamatan di Sulawesi Selatan. Contoh hasil analisis spektral dengan menggunakan FFT dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Gambar 2 menunjukkan hasil analisis spektral daerah Makassar yang memiliki siklus hujan dengan periodisitas tahunan (12 bulanan) yang dominan, sedangkan Gambar 3 menunjukkan hasil analisis spektral daerah Palopo yang menunjukkan adanya kemunculan siklus hujan dengan periodisitas setengah tahunan (6 bulanan). Gambar 2. Analisis spektral curah hujan bulanan Makassar dengan kemunculan periodisitas tahunan atau periodisitas 12 bulanan. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 89 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Gambar 3. Analisis spektral curah hujan bulanan Palopo dengan kemunculan periodisitas setengah tahunan atau periodisitas 6 bulanan. Untuk menegaskan kembali dari siklus hujan yang diperoleh dari analisis spektral sebelumnya, dilakukan kembali analisis osilasi tahunan dan setengah tahunan dari komposit curah hujan bulanan dari masing-masing pos pengamatan. Hal ini dilakukan dengan cara menggunakan koefesien dari FFT yang terdiri dari 𝑎! yang merupakan ratarata dari data time series, 𝑎! , 𝑎! , 𝑎! … , 𝑎! yang merupakan koefisien dari fungsi cosinus dan 𝑏! , 𝑏! , 𝑏! … , 𝑏! koefisien dari fungsi sinus. Untuk mendapatkan nilai amplitudo dan fase osilasi tahunan dan setengah tahunan digunakan persamaan di bawah ini. 𝑎! ! + 𝑏! ! 𝐴𝑇 = 𝜃𝑇 = arctan (1) !! !"# !! ! (2) Dengan 𝐴𝑇 merupakan amplitude yang digunakan untuk osilasi gelombang tahunan dan 𝜃𝑇 merupakan fase untuk osilasi gelombang tahunan. 𝐴𝑆𝑇 = 𝑎! ! + 𝑏! ! 𝜃𝑆𝑇 = arctan (3) !! !"# !! ! (4) Dengan 𝐴𝑆𝑇 merupakan amplitudo yang digunakan untuk osilasi gelombang setengah tahunan dan 𝜃𝑆𝑇 merupakan fase untuk osilasi gelombang setengah tahunan (Chang et al., 2004). Selanjutnya, dengan menggunakan analisis metode Singular Value Decomposition (SVD) untuk melihat keterkaitan antara curah hujan bulanan dengan monsun Asia dengan WNPMI dan monsun Australia dengan AUSMI. Penyajian pola spasial berbagai mode SVD dalam penelitian ini menggunakan heterogeneous correlation map (Bjornsson & Venegas, 1997). Heterogeneous correlation map didefinisikan sebagai korelasi antara nilai koefisien ekspansi suatu parameter dengan nilai parameter lain yang ingin kita ketahui hubungannya pada setiap titik grid. Perhitungan transport uap air menggunakan persamaan sebagai berikut : 𝐵! = ! 𝑞𝑉 ! 𝑑𝑧 (5) (Wang et al., 2001) Dengan 𝐵! merupakan transport uap air, dimana 𝑞(𝑧) adalah kelembaban spesifik dan 𝑉(𝑧) adalah kecepatan vektor angin horizontal (komponen angin zonal dan meridional). Dengan menggunakan data awan dilakukan perhitungan indeks konvektif di wilayah Sulawesi Selatan. Berdasarkan penelitian Trismidianto (2012) untuk mengetahui derajat aktifitas konvektif di tiap titik grid pengamatan, digunakan parameter indek konvektif (IK) berdasarkan temperature black body (tbb) sebagai berikut : MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 90 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Ik = 255 – tbb; untuk tbb < 255 K Ik = 0; untuk tbb ≥ 255 K (6) Dengan 255 K secara umum dapat disamakan temperatur atmosfer pada level ketinggian sekitar 400 mb, sehingga nilai Ik ini menunjukkan suatu indeks awan-awan konvektif yang puncak awannya mencapai level ketinggian di atas 400 mb. Dalam penelitian ini, untuk menghitung Ik digunakan persamaan (2.6) tersebut, dengan pertimbangan bahwa penggunaan nilai batas 255 K sudah dapat mencirikan aktifitas konvektif yang kuat, dan sudah dapat mereduksi pengaruh variasi temperatur permukaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis spektral dilakukan terhadap data curah hujan bulanan dari 23 pos pengamatan yang tersebar di Sulawesi Selatan, contoh analisis spektral dari dua pos pengamatan dapat dilihat dalam Gambar 2 dan 3. Untuk memudahkan interpretasi dari siklus hujan seluruh daerah Sulawesi Selatan yang dihasilkan dari proses analisis spektral, maka dilakukan penggambaran hasil analisis spektral curah hujan bulanan dari 23 pos pengamatan di Sulawesi Selatan dengan menggunakan Pseudo-vektor, seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Berdasarkan Gambar 1 siklus hujan dengan periodisitas tahunan terjadi di bagian barat Sulawesi Selatan antara lain Pinrang, Enrekang, Pare-pare, Barru, Pangkep, Maros, Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto dan Selayar dengan rata-rata puncak hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari. Siklus hujan dengan periodisitas setengah tahunan terjadi pada bagian timur dan utara Sulawesi Selatan dengan puncak hujan tertinggi sekitar bulan April-Juni. Pola sebaran curah hujan bulanan tertinggi selama setahun terlihat dalam Gambar 4. Daerah bagian barat Sulawesi Selatan yang menunjukkan siklus hujan dengan periodisitas tahunan, curah hujan bulanan tertinggi 750 mm. Daerah dengan siklus hujan periodisitas setengah tahunan yang terletak di bagian utara Sulawesi Selatan memiliki curah hujan bulanan tertinggi 533 mm, sedangkan daerah siklus hujan setengah tahunan yang terletak di bagian timur Sulawesi Selatan memiliki curah hujan bulanan tertinggi 448 mm. Gambar 4. Pseudo-vektor siklus curah hujan Sulawesi Selatan, periodisitas tahunan (panah warna biru), periodisitas setengah tahunan (panah warna merah), arah panah utara menunjukkan puncak hujan Desember, arah timur puncak hujan Maret begitu selanjutnya hingga Nopember searah putaran jarum jam. Nilai dalam kurung adalah nilai curah hujan bulanan tertinggi (dalam millimeter). MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 91 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Analisis Osilasi Gelombang Tahunan dan Setengah Tahunan Komposit Curah Hujan Bulanan Untuk mendapatkan jawaban yang lebih rinci mengenai siklus tahunan dan setengah tahunan dari hujan bulanan di Sulawesi Selatan, selain telah dilakukan analisis spektral dilakukan juga analisis osilasi gelombang tahunan dan setengah tahunan. Analisis ini juga menggunakan FFT untuk mendapatkan besar nilai amplitudo dan fase dari masing-masing komposit curah hujan bulanan dari beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Dengan besaran amplitudo dan fase yang telah didapatkan kemudian dilakukan analisis osilasi gelombang tahunan dan setengah tahunan untuk mengetahui siklus hujan yang terjadi dibeberapa daerah di Sulawesi Selatan. Gambar 5 menunjukkan osilasi gelombang tahunan dan setengah tahunan dari daerah yang berada di bagian barat Sulawesi Selatan, dengan jelas terlihat osilasi komposit hujan bulanan (garis warna biru) di daerah Gowa (Gambar 5a) dan Pangkep (Gambar 5b) lebih mendekati dengan osilasi gelombang tahunan (titik-titik warna hitam). Hal ini semakin diperjelas dengan korelasi antara osilasi komposit hujan bulanan dengan osilasi tahunan yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain, untuk Gowa korelasinya 0,91 dan Maros 0,93. Kondisi ini terjadi juga dibeberapa daerah pada bagian barat Sulawesi Selatan (Pinrang, Enrekang, Pare-pare, Barru, Maros, Makassar, Takalar dan Jeneponto). Gambar 5. Osilasi komposit curah hujan bulanan (garis warna biru), osilasi gelombang tahunan (titiktitik warna hitam), osilasi setengah tahunan (garis putus-putus warna hitam) dan penjumlahan osilasi setengah tahunan dengan osilasi tahunan (garis warna hitam) (a) Gowa (b) Pangkep. Osilasi komposit hujan bulanan Luwu Timur (Gambar 6a) dan Toraja (Gambar 6b) sangat identik dengan osilasi setengah tahunan (garis putus-putus warna hitam). Hal ini juga semakin ditegaskan dengan nilai korelasi yang lebih tinggi antara osilasi hujan bulanan dengan osilasi setengah tahunan jika dibandingkan dengan osilasi yang lainnya, untuk Luwu Timur korelasinya 0,501 dan Toraja 0,577. Daerah tersebut terletak di bagian utara Sulawesi Selatan, osilasi setengah tahunan tersebut memiliki puncak pada bulan April dan Oktober, Dengan demikian osilasi setengah tahunan yang terjadi di bagian utara Sulawesi Selatan sejalan dengan siklus setengah tahunan yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Chang et al. (2004). Kondisi ini terjadi juga dibeberapa daerah pada bagian utara Sulawesi Selatan (Luwu Utara, Luwu dan Palopo). Osilasi setengah tahunan identik dengan osilasi komposit hujan bulanannya ditemukan juga di daerah Wajo (Gambar 7a) dan Soppeng (Gambar 7b), daerah ini terletak di bagian tengah Sulawesi Selatan, Hal ini juga semakin ditegaskan dengan nilai korelasi yang lebih tinggi antara osilasi hujan bulanan dengan osilasi setengah tahunan jika dibandingkan dengan osilasi yang lainnya, untuk Wajo korelasinya 0,65 dan Soppeng 0,510. Puncak dari osilasi gelombang setengah tahunan yang terjadi di daerah tersebut memiliki keterlambatan (lag) sekitar satu bulan jika di bandingkan dengan siklus setengah tahunan yang terjadi di bagian utara Sulawesi Selatan. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 92 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Gambar 6. Osilasi komposit curah hujan bulanan (garis warna biru), osilasi gelombang tahunan (titiktitik warna hitam), osilasi setengah tahunan (garis putus-putus warna hitam) dan penjumlahan osilasi setengah tahunan dengan osilasi tahunan (garis warna hitam) (a) Luwu Timur (b) Toraja. Gambar 7. Osilasi komposit curah hujan bulanan (garis warna biru), osilasi gelombang tahunan (titiktitik warna hitam), osilasi setengah tahunan (garis putus-putus warna hitam) dan penjumlahan osilasi setengah tahunan dengan osilasi tahunan (garis warna hitam) (a) Wajo (b) Soppeng. Osilasi gelombang tahunan dan setengah tahunan dari daerah yang berada di bagian timur Sulawesi Selatan kondisinya sangat bervariasi. Berdasarkan nilai korelasi beberapa daerah menunjukkan hubungan yang kuat antara osilasi komposit hujan bulanan dengan osilasi setengah tahunan dan beberapa daerah yang lainnya menunjukkan hubungan yang terjadi lebih kuat dengan siklus gabungan dari osilasi tahunan dengan osilasi setengah tahunan. Untuk daerah Bone (Gambar 8a) osilasi komposit hujan bulanan (garis warna biru) lebih identik dengan osilasi gabungan antara osilasi tahunan dengan setengah tahunan (garis warna hitam) dengan korelasi 0,581. Sedangkan daerah Bulukumba (Gambar 8b) osilasi komposit hujan bulanan lebih identik dengan osilasi setengah tahunan (garis putus-putus warna hitam) dengan korelasi 0,56. Secara keseluruhan daerah bagian timur Sulawesi Selatan sebagian besar menunjukkan siklus hujan dengan osilasi gabungan antara osilasi tahunan dengan setengah tahunan. Untuk osilasi hujan bulanan beberapa daerah lainnya di bagian timur Sulawesi Selatan (Bantaeng, Sinjai dan Selayar). MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 93 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Gambar 8. Osilasi komposit curah hujan bulanan (garis warna biru), osilasi gelombang tahunan (titiktitik warna hitam), osilasi setengah tahunan (garis putus-putus warna hitam) dan penjumlahan osilasi setengah tahunan dengan osilasi tahunan (garis warna hitam) (a) Bone (b) Bulukumba. Analisis Keterkaitan Monsun Asia-Australia dengan Curah Hujan Bulanan dan Aktifitas Konvektif Musiman Untuk mendapatkan gambaran keterkaitan antara siklus curah hujan tahunan di Sulawesi Selatan dengan sirkulasi monsun, dalam kajian ini monsun Asia diwakili dengan WNPMI, sedangkan monsun Australia dengan menggunakan AUSMI. Dalam mencari keterkaitannya menggunakan hasil analisis SVD. Kelebihan yang kita dapatkan menggunakan hasil pengolahan SVD, kita dapat mengetahui hubungan yang terjadi dengan beberapa mode yang tersedia. Dalam penelitian ini akan dibahas hasil pengolahan SVD dari mode pertama hingga ketiga. Gambar 9 menunjukkan nilai korelasi yang dihasilkan dari koefisien ekpsansi mode pertama SVD antara curah hujan bulanan dengan indeks monsun. Gambar 9a dapat diuraikan sebagai berikut, beberapa daerah bagian barat Sulawesi Selatan (Pare, Barru, Pangkep, Maros, Makassar, Gowa, Takalar dan Jeneponto) menghasilkan nilai korelasi positif yang paling tinggi yaitu ≥ 0,5, sedangkan daerah yang lain menghasilkan nilai korelasi yang berada dalam kisaran -0,2 – 0,49. Dengan demikian dapat diartikan bahwa curah hujan pada bagian barat Sulawesi Selatan memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan Australian Summer Monsoon, hubungannya bersifat berbanding lurus yang artinya ketika AUSMI kuat akan disertai dengan peningkatan curah hujan bulanan yang terjadi didaerah tersebut dan ketika AUSMI melemah maka disertai dengan penurunan curah hujan di daerah tersebut. Gambar 9. Heterogeneous correlation map mode pertama dari hasil SVD antara curah hujan bulanan Sulawesi Selatan dengan (a) AUSMI (b) WNPMI. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 94 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Gambar 9b dapat diuraikan sebagai berikut : beberapa daerah bagian barat Sulawesi Selatan (Pinrang, Pare, Barru, Pangkep, Maros, Makassar, Gowa, Takalar dan Jeneponto) menghasilkan nilai korelasi negatif yang paling rendah yaitu ≤ -0,5, sedangkan daerah yang lain menghasilkan nilai korelasi yang berada dalam kisaran -0,49 – 0,2. Dengan demikian dapat diartikan bahwa curah hujan pada bagian barat Sulawesi Selatan memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan Asian Summer Monsoon, hubungannya bersifat berbanding terbalik yang artinya ketika WNPMI kuat akan disertai dengan penurunan curah hujan bulanan yang terjadi didaerah tersebut dan ketika WNPMI melemah maka disertai dengan peningkatan curah hujan bulanan didaerah tersebut. Gambar 10. Heterogeneous correlation map mode kedua dari hasil SVD antara curah hujan bulanan Sulawesi Selatan dengan (a) AUSMI (b) WNPMI. Gambar 10 menunjukkan nilai korelasi yang dihasilkan dari koefisien ekpsansi mode kedua SVD antara curah hujan bulanan dengan indeks monsun. Berdasarkan Gambar 10a nilai korelasi antara AUSMI dengan curah hujan bulanan sebagian besar berada dalam kisaran 0,2 – 0,2, kondisi serupa dengan nilai korelasi yang ditunjukkan antara hubungan WNPMI dengan curah hujan bulanan Sulawesi Selatan (Gambar 10b), hal ini berarti dalam mode kedua SVD tidak mencerminkan keterkaitan yang kuat antara hujan bulanan dengan masing-masing indeks monsun. Selanjutnya, nilai korelasi yang dihasilkan dari koefisien ekspansi mode ketiga SVD antara hujan bulanan dengan indeks monsun (Gambar 11) secara umum berada dalam kisaran berada dalam kisaran 0,2 – 0,49 dengan demikian dapat diartikan dalam mode ketiga ini keterkaitan antara indeks monsun dengan curah hujan bulanan di Sulawesi Selatan tidak menunjukkan hubungan yang kuat. Gambar 11. Heterogeneous correlation map mode ketiga dari hasil SVD antara curah hujan bulanan Sulawesi Selatan dengan (a) AUSMI (b) WNPMI. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 95 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Gambar 12. Distribusi rata-rata transport uap air pada periode DJF. Walaupun demikian, nilai korelasi yang tinggi sekitar ≥ 0.5 terjadi di beberapa wilayah bagian timur Sulawesi Selatan. Nilai korelasi yang dapat dijelaskan dengan baik sesuai kondisi curah hujan bulanan yang terjadi adalah yang terlihat dalam Gambar 11b, keterkaitannya ketika WNPMI menguat curah hujan bulanan yang terjadi di daerah tersebut mengalami peningkatan dan ketika WNPMI melemah curah hujan bulanan yang terjadi di daerah tersebut mengalami penurunan. Berdasarkan ketiga mode yang dihasilkan metode SVD, mode pertama yang menunjukkan hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan di Sulawesi Selatan dengan Monsun Asia dan Australia. Gambar 9 menunjukkan bahwa daerah bagian barat Sulawesi Selatan yang sebagian besar memiliki siklus hujan dengan osilasi tahunan dipengaruhi oleh aktifitas monsun Asia dan Australia, hubungan yang terjadi antara curah hujan bulanan dengan Australian Summer Monsoon Index bernilai positif. Hal ini berarti ketika Australian Summer Monsoon aktif pada periode DJF, angin dari arah baratan yang membawa transport uap air dari sekitar perairan Filipina yang melalui Selat Karimata dan Laut Jawa melewati Selat Makassar dan wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan (Gambar 12). Dengan demikian, selanjutnya dilakukan analisis konvektif pada periode DJF untuk wilayah Sulawesi Selatan, untuk mengetahui kontribusi uap air yang melintasi wilayah tersebut terhadap aktifitas konvektif, karena uap air merupakan salah satu komponen utama dalam proses konveksi. Gambar 13. Komposit indeks konvektif dan vektor angin periode DJF. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 96 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Ketika Australian Summer Monsoon aktif pada periode DJF, aktifitas konvektif terjadi di perairan Selat Makassar hingga daratan bagian barat Sulawesi Selatan, aktifitas konvektif tersebut terlihat ter-deliniasi oleh faktor topografi berupa pegunungan Bawakaraeng yang memisahkan bagian barat dengan timur wilayah tersebut, sehingga aktifitas konvektif yang terjadi selama periode DJF tidak sampai bagian timur daratan Sulawesi Selatan (Gambar 13). Konveksi yang terjadi di perairan Selat Makasar bagian barat Sulawesi Selatan sangat berkaitan dengan distribusi transport uap air yang terbawa dari sekitar perairan Filipina melalui Selat Karimata dan Laut Jawa ketika Australian Summer Monsoon aktif pada periode DJF. Pada periode DJF aktifitas konvektif di wilayah Sulawesi Selatan ditemukan juga terjadi di bagian utara Sulawesi Selatan (Gambar 13). Aktifitas konvektif di wilayah tersebut masih terkait dengan mekanisme cold pool yang terjadi akibat sisa aktifitas konvektif yang terjadi di perairan bagian timur Sulawesi Tenggara atau sisa aktifitas konvektif yang terjadi di perairan Selat Makassar hingga daratan bagian barat Sulawesi Selatan. Untuk lebih jelasnya mengenai aktifitas konvektif yang terjadi di bagian utara Sulawesi Selatan dapat dilihat dalam pembahasan berikutnya. Gambar 14. Distribusi rata-rata transport uap air pada periode DJF. Puncak hujan pada periode DJF yang terjadi di daratan bagian barat Sulawesi Selatan, sejalan dengan aktifitas konvektif pada periode DJF yang terjadi di bagian barat Sulawesi Selatan ter-deliniasi oleh faktor topografi berupa pegunungan Bawakaraeng, sehingga aktifitas konvektif yang terjadi di bagian barat tidak sepenuhnya sampai pada pagian timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan mode pertama yang dihasilkan metode SVD (Gambar 9b), WNPMI yang mewakili Asian Summer Monsoon menghasilkan hubungan yang negatif dengan curah hujan di bagian barat Sulawesi Selatan dan berdasarkan mode ketiga (Gambar 11b) WNPMI menghasilkan hubungan yang positif dengan curah hujan beberapa wilayah di bagian timur Sulawesi Selatan. Dengan demikian dapat dijelaskan ketika Asian Summer Monsoon aktif angin timuran yang membawa transport uap air dari perairan sebelah utara Australia melintasi wilayah Sulawesi Selatan dan perairan sebelah timur Sulawesi Tenggara (Gambar 14). Untuk mengetahui kontribusi uap air yang melintasi wilayah tersebut terhadap aktifitas konvektif, karena uap air merupakan salah satu komponen utama dalam proses konveksi. Maka, selanjutnya dilakukan analisis periode MJJ. Analisis aktifitas konvektif pada periode MJJ berkaitan dengan puncak hujan yang terjadi pada periode Mei-Juni di wilayah daratan bagian timur Sulawesi Selatan. Kondisi yang berbeda terjadi pada periode MJJ, Aktifitas konvektif pada periode MJJ terjadi dibagian utara dan timur Sulawesi Selatan, untuk daerah bagian barat aktifitas konvektif tidak terdeteksi pada periode ini (Gambar 15). Periode MJJ vektor angin yang melintasi wilayah Sulawesi Selatan mulai di dominasi oleh angin dari arah timuran, hal ini sebagai indikasi Asian Summer Monsoon mulai aktif. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 97 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Gambar 15. Komposit indeks konvektif dan vektor angin periode MJJ. Jika diperhatikan intensitas konveksi yang terjadi pada bagian timur Sulawesi Selatan pada periode MJJ lebih rendah daripada bagian barat Sulawesi Selatan pada periode DJF, aktifitas konvektif yang kuat pada periode MJJ terpusat disekitar perairan sebelah timur Sulawesi Tenggara (Teluk Tolo). Selain di wilayah tersebut aktifitas konvektif pada periode MJJ terjadi juga di daratan bagian timur Sulawesi Selatan, tetapi tidak mencapai daratan bagian barat Sulawesi Selatan. Dengan demikian, puncak hujan pada periode Mei-Juni yang terjadi di daratan bagian timur Sulawesi Selatan, sejalan dengan aktifitas konvektif pada periode MJJ yang terjadi di bagian timur Sulawesi Selatan ter-deliniasi oleh faktor topografi berupa pegungungan Bawakaraeng, sehingga aktifitas konvektif yang terjadi di bagian timur tidak sampai pada daratan bagian barat Sulawesi Selatan. Hubungan Aktifitas Konvektif Wilayah Bagian Barat, Timur dan Utara Sulawesi Selatan Berdasarkan Komposit Aktifitas Konvektif Harian. Untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci berkaitan dengan aktifitas konvektif di sekitar Sulawesi Selatan, maka dilakukan analisis konvektif dan anomali vektor angin harian pada periode DJF, dan MJJ. Komposit aktifitas konvektif dilakukan setiap jam dan anomali vektor angin setiap enam jam pada setiap periode musimnya. Pada periode DJF aktifitas awan-awan konvektif terdeteksi di bagian barat dan utara Sulawesi Selatan. Konveksi di kedua bagian wilayah tersebut terjadi dalam waktu atau fase yang berbeda. Aktifitas konvektif di bagian barat mulai aktif sekitar pagi dini hari, seiring dengan meningkatnya aktifitas konvergensi di sekitar Selat Makassar. Kondisi ini terlihat dari anomali vektor angin pukul 02.00 WITA (Gambar 16a). Aktifitas konvektif di Selat Makassar berlangsung hingga pagi menjelang siang hari, konveksi yang terjadi pada periode DJF di wilayah ini dalam skala yang besar karena adanya transport uap air dari perairan sekitar Filipina yang dibawa oleh angin baratan. Jika diperhatikan dengan baik, pada siang hari pukul 14.00 WITA konveksi yang terjadi di Selat Makassar mulai melemah dan disertai dengan aktifitas divergensi angin permukaan yang terlihat dari anomali vektor angin yang keluar dari awan-awan konvektif tersebut. Pergerakan awan-awan konvektif di Selat Makassar bergerak menuju daratan bagian barat Sulawesi Selatan, secara perlahan-lahan membentuk awan-awan konvektif baru dengan intensitas yang semakin meningkat hingga pukul 16.00 WITA (Gambar 16c). Proses terbentuknya awan konvektif baru yang terjadi di daratan bagian barat Sulawesi Selatan terjadi akibat adanya mekanisme cold pool. Hal ini konsisten dengan apa yang MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 98 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra dinyatakan oleh Wilson dan Schreiber (1986) yang menyatakan bahwa sebagian massa udara yang mendekati cold pool akan terangkat, sehingga cold pool menjadi penting dalam pembentukan sel-sel konvektif baru. Mekanisme cold pool turut berperan dalam pembentukan awan-awan konvektif baru ditemukan juga dalam penelitian Nuryanto [9] yang menyatakan masih terdapatnya pola tutupan awan di sekitar laut Jawa pada pukul 13.00 WIB, meskipun konvergensi sudah berada di darat. Penelitian yang dilakukan Trismidianto [10] kembali menegaskan setelah peluruhan Kompleks Konvektif Skala Meso (KKSM) di Samudera Hindia bagian barat, ditemukan kembali adanya aktifitas konvektif baru yang menuju arah daratan Sumatera yang diakibatkan oleh peranan mekanisme cold pool. Gambar 16. Komposit indeks konvektif dan anomali vektor angin pada pukul (a) 00.00 – 07.00 WITA (b) 08.00 – 15.00 WITA (c) 16.00 – 23.00 WITA periode DJF tahun 1996 – 2010. Bersamaan dengan munculnya awan konvektif baru akibat mekanisme cold pool yang terjadi di daratan bagian barat Sulawesi Selatan, terjadi aktifitas konvergensi di daratan bagian utara Sulawesi Selatan, hal ini terlihat dari pola anomali vektor angin pukul 14.00 WITA (Gambar 10b). Sumber angin yang membentuk pola konvergensi di daratan bagian utara berasal dari divergensi angin sisa aktifitas konvektif di Selat Makassar dan Perairan MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 99 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Teluk Tolo yang berada di bagian timur wilayah tersebut. Meningkatnya aktifitas konvergensi di daratan bagian utara Sulawesi Selatan disertai dengan meningkatnya aktifitas konvektif di wilayah tersebut. Pada saat aktifitas konvektif di daratan bagian utara mulai menguat, awanawan konvektif baru akibat mekanisme cold pool yang terjadi di daratan bagian barat Sulawesi Selatan mulai melemah. Pada malam hari pukul 20.00 WITA ketika mulai terjadi pola divergensi di daratan bagian utara tidak sepenuhnya terjadi pola angin dari darat ke laut, anomali vektor angin bahkan menunjukkan adanya pola angin dari Teluk Bone dan Teluk Tolo menuju daratan bagian utara Sulawesi Selatan. Kemudian pola konveksi masih terlihat pada jam-jam berikutnya dan mulai melemah pada pagi dini hari (Gambar 10c). Aktifitas konvektif yang masih terlihat setelah pukul 20.00 WITA di daratan bagian utara Sulawesi Selatan dapat dikatakan akibat mekanisme cold pool yang membentuk kembali awan-awan konvektif baru. Pada periode DJF selain ditemukan adanya mekanisme cold pool yang terjadi pada aktifitas konvektif harian di sekitar Sulawesi Selatan, sangat jelas terlihat adanya perbedaan pola konveksi dan konvergensi yang terjadi antara darat dengan laut. Aktifitas konvektif yang terjadi di lautan berkisar antara pagi dini hari hingga menjelang siang hari, sedangkan aktifitas konvektif yang terjadi di daratan berlangsung sore hingga malam hari. Pola yang kontras antara darat dan laut ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Yang [16]. Perbedaan pola konveksi antara darat dengan laut inilah yang menjadi ciri khas pola umum dari BMI. Untuk periode MJJ aktifitas konvektif yang terjadi di Sulawesi Selatan dominan pola daratan. Pagi hari hingga siang hari 08.00 – 15.00 WITA (Gambar 11a) pola divergensi angin permukaan terjadi di daratan Sulawesi Selatan. Angin permukaan bergerak menuju pusatpusat konveksi yang berada di perairan sebelah timur Sulawesi Tenggara (Teluk Tolo). Pada sore hingga menjelang malam hari pola divergensi angin permukanaan mulai terlihat keluar dari sisa-sisa aktifitas konvektif di perairan sebelah timur Sulawesi Tenggara (Teluk Tolo). Divergensi angin permukaan ini bergerak menuju daratan bagian utara dan timur Sulawesi Selatan. Ketika aktifitas konvergensi sudah sangat aktif terjadi di daratan yang terlihat dari anomali vektor angin pada pukul 20.00 WITA (Gambar 11b) aktifitas konventif sudah mulai terlihat di daratan bagian utara, aktifitas konvektif di daerah ini terus berkembang hingga pada dini hari pukul 00 – 03.00 WITA aktifitas konvektif terjadi hingga daratan bagian timur Sulawesi Selatan (Gambar 11c). Proses terjadinya aktifitas konvektif di daratan bagian utara dan timur Sulawesi Selatan yang terjadi dalam uraian diatas akibat propagasi mekanisme cold pool yang terjadi dari pergerakan divergensi angin permukaan yang keluar dari sisa-sisa akitivitas konvektif yang terjadi sebelumnya di sekitar perairan Teluk Tolo. Pada pagi hari pukul 05.00 WITA aktifitas konvektif pada daratan bagian utara dan timur Sulawesi Selatan sudah mulai melemah. Aktifitas konvektif yang terjadi pada daratan bagian timur Sulawesi selatan pada periode MJJ berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 100 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Gambar 17. Komposit indeks konvektif dan anomali vektor angin pada pukul (a) 08.00 – 15.00 WITA (b) 16.00 – 23.00 WITA (c) 00.00 – 07.00 WITA periode DJF tahun 1996 – 2010. Hasil Tambahan Sebagai Rekomendasi Dari berbagai analisis siklus curah hujan bulanan yang telah diuraikan secara luas dalam pembahasan sebelumnya, maka dilakukan pewilayahan curah hujan Sulawesi Selatan dengan metode interpolasi dari nilai pembobotan masing-masing daerah berdasarkan analisis siklus hujan yang telah diolah menggunakan FFT dalam pembahasan sebelumnya. Pewilayahan ini dapat digunakan sebagai masukan dalam membuat zona musim wilayah Sulawesi Selatan. Berdasarkan Gambar 12 wilayah Sulawesi Selatan memiliki 4 wilayah dengan siklus hujan bulanan yang berbeda. Wilayah 1 memiliki siklus hujan tahunan, wilayah 1 meliputi beberapa daerah bagian barat Sulawesi Selatan antara lain : Pinrang, Enrekang, Pare-pare, Barru, Pangkep, Maros, Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto (lihat Tabel 1). Wilayah 2 memiliki siklus hujan setengah tahunan dengan osilasi maksimum terjadi pada bulan April, wilayah 2 ini terletak di bagian utara Sulawesi selatan yang terdiri dari beberapa daerah antara antara lain: Tanatoraja, Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu dan Palopo (Tabel 1) . MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 101 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Wilayah 3 memiliki siklus hujan setengah tahunan dengan osilasi maksimum terjadi pada bulan Mei, osilasi maksimum pada wilayah 3 mengalami keterlambatan (lag) satu bulan jika dibandingkan dengan osilasi setengah tahunan yang terjadi di wilayah 2. Siklus hujan wilayah 3 terjadi di bagian tengah Sulawesi Selatan, yaitu : Sidrap, Soppeng dan Wajo (Tabel 1). Wilayah 4 merupakan daerah bagian timur Sulawesi Selatan yang meliputi beberapa daerah antara lain ; Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone dan Selayar (Tabel 1). Sebagian besar siklus hujan yang terjadi di wilayah ini dengan osilasi gabungan antara osilasi tahunan dengan setengah tahunan. Puncak curah hujan bulanan bagian timur Sulawesi Selatan terjadi pada bulan Juni. Untuk diketahui daratan bagian barat dengan timur Sulawesi Selatan dipisahkan oleh deretan pegunungan Bawakaraeng dan Lompobatang yang berderet dengan arah utara-selatan. Gambar 18. Pewilayahan siklus hujan Sulawesi Selatan berdasarkan osilasi gelombang komposit curah hujan bulanan, wilayah 1 (warna merah), wilayah 2 (warna kuning), wilayah 3 (warna coklat), wilayah 4 (warna hijau). Tabel 2. Pewilayahan Siklus hujan berdasarkan osilasi gelombang komposit curah hujan bulanan. Wilayah 1 2 3 4 Pos Pengamatan Pinrang, Enrekang, Pare, Barru, Pangkep, Maros, Makassar, Gowa, Takalar, dan Wajo Tanatoraja, Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu, dan Palopo Sidrap, Soppeng, dan Wajo Bantaeng, Bone, Sinjai, Bulukumba, dan Selayar Siklus Hujan Puncak Hujan Tahunan Januari Setengah Tahunan April Setengah Tahunan Mei Tahunan dan Setengah Tahunan Juni MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 102 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra KESIMPULAN Diketahui bahwa siklus hujan daerah bagian barat Sulawesi Selatan (Pinrang, Pare-pare, Barru, Pangkep, Maros, Makassar, Gowa, Jeneponto dan Takalar) merupakan siklus hujan dengan osilasi tahunan dengan curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari, sedangkan daerah bagian timur Sulawesi Selatan (Bone, Sinjai, Bulukumba dan Bantaeng) memiliki siklus hujan dengan osilasi gabungan antara osilasi tahunan dengan setengah tahunan dengan curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Peningkatan dan penurunan curah hujan bulanan daerah bagian barat Sulawesi Selatan memiliki keterkaitan dengan peningkatan dan penurunan aktifitas Australian Summer Monsoon. Pada periode DJF ketika Australian Summer Monsoon aktif, aktifitas konvektif terjadi diperairan Selat Makassar hingga daratan bagian barat Sulawesi Selatan dan ter-deliniasi oleh faktor topografi berupa deretan pegunungan Bawakaraeng yang memisahkan daratan bagian barat dengan timur Sulawesi selatan, sehingga aktifitas konvektif yang terjadi dibagian barat tidak sepenuhnya mencapai daratan bagian timur Sulawesi Selatan. Pada periode MJJ ketika Asian Summer Monsoon mulai aktif, aktifitas konvektif hanya terjadi di daratan bagian timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis komposit indeks konvektif menunjukkan bahwa aktifitas konvektif yang terjadi di perairan Selat Makassar dan Teluk Tolo memiliki keterkaitan terhadap perkembangan awan konvektif yang terjadi di daratan Sulawesi Selatan, melalui mekanisme Cold Pool. DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., & Susanto, R.D. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, Int. J. Climatol, 23, 1435-1452. Atlas, R., Hoffman, R. N., Ardizzone, J., Leidner, S. M., Jusem, J.C., Sminth, D. K., dan Gombos, D. 2010. A Cross-Calibrated, Multi-Paltform Ocean Surface Wind Velocity Product for Meteorological and Oceanographic Application, Bulletin of the American Meteorological Society (preliminary accepted version), doi: 10.1175/2010BAMS2946.1 Bjornsson, H. & Venegas, S. A. 1997. A Manual For EOF and SVD Analyses of Climate Data, McGill University, CCGCR Report No. 97-1, Montreal Quebec, 52. Chang, C. P., Wang, Z., McBride, J., Liu, C. H. 2004. Tahunan Cycle of Southeast Asia— Maritime Continent Rainfall and the Asymmetric Monsoon Transition, Journal of Climate 18:2, 287-301. Godfrey, J., S. 1996. The Effect of The Indonesian Throughflow on Circulation and Heat Exchange With The Atmosphere: a review, Journal of Geophysical Research Research, 101, 12217-12337. Gordon, A., L., Susanto, R., D., & Field, A. 1999. Throughflow within Makassar Strait, Geophysical Research Letters, 26, 3325-3328. Kajikawa, Y., Wang, B., dan Yang, J. 2009. A Multi-time Scale Australian Monsun Index, International Journal of Climatology, 30, 1114-1120. Morey, S., L., Shriver, J., F., O’Brien, J., J. 1999. The Effects of Halmahera on The Indonesian Throughflow, Journal of Geophysical Research Research, 104, 23281-23296. Nuryanto, E.D. 2011. Aktivis Konvektif di atas Benua Maritim Indonesia dan Keterkaitannya dengan Variabilitas Iklim Regional dan Global, Tesis Magister, FITB, ITB. Ramage, C.S. 1971. Monsoon Meteorology, Academic Press, New York. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 103 Megasains 5(2): 87 – 104 M.D.J. Putra, T.W. Hadi & M.R. Syahputra Trismidianto, 2012. Kajian Aktifitas Kompleks Konvektif Skala Meso di Samudera Hindia Bagian Barat dan Pengaruhnya Pada konveksi di Atas Pulau Sumatera, Tesis Magister, FITB, ITB. Wang, B., Wu, R., & Lau, K. –M. 2001. Intertahunan Variability of the Asian Summer Monsoon : Contrast between the Indian and the Western NorthEast Asian Monsoon, Journal of Climate, 14, 4073-4090. Webster, P., J., Fasullo, J. 2003. Dynamical Theory. Encyclopedia of Atmospheric Sciences, University of Colorado-Boulder, Boulder, CO, USA. Wilson, J. W. dan Schreiber, W. E. 1986. Initiation of Convective Storms at Radar-Observed Boundary-Layer Convergence Lines. Monthly Weather Review, 114, 2516 – 2536. Wyrkti, K. 1956. The Rainfall Over The Indonesian Water. Verhandelingen, 49. Kementrian Perhubungan Lembaga Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Yang, G-Y. dan Slingo, J. 2001. The Diurnal Cycle in the Tropics, Monthly Weather Review, 129, 784 - 801. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 104 ANALISIS KONDISI ATMOSFER DAN KARAKTERISTIK DEBU VULKANIK BERDASARKAN DATA RADAR CUACA SAAT TERJADINYA LETUSAN GUNUNG SINABUNG TANGGAL 11 JANUARI 2014 Christin Afrin Matondang tanggal terima: 21 April 2014, tanggal cetak: 10 Oktober 2014 ABSTRACT Januari 11, 2014 Sinabung Mountain erupted. Volcanic ash is felt in several places in North Sumatra and Medan city within ± 80 km from Sinabung, Karo to feel the rain of volcanic ash. The data used for this study case are CMAX radar image data, radiosonde data from Polonia in Kualanamu Station, and streamline data analysis on January 11, 2014. From the analysis of radar images CMAX, activity of Sinabung eruption was active since at 19'39'52 UTC until 23'56'22 UTC. Based on echo of volcanic ash moving toward Southwest Northeast with varying reflectivity about 7-48 dBz, and is supported by a vertical wind patterns from the analysis of the radiosonde in the surface layer - 650 mb winds from the Southwest, 650-100 mb wind of the Northeast - Southeast, and from the analysis of wind patterns generally streamlined from the Southwest - Northeast. Keywords: volcanic ash, radiosonde, streamline, radar. PENDAHULUAN Gunung Sinabung merupakan gunung api yang terdapat di Kabupaten Karo dengan titik kordinat tercatat di kordinat 3° 10' 12" N, 98° 23' 31.2" E 3.17, 98.392 dengan ketinggian sekitar 2.460 m. Selain Gunung Sinabung juga terdapat gunung api yang masih aktif di dekatnya yaitu Gunung Sibayak. Kedua gunung tersebut merupakan gunung berapi yang aktif di Sumatera Utara dan menjadi puncak gunung yang tertinggi di wilaya provinsi Sumatera Utara. Gunung Sinabung kembali meletus sejak September 2013 dan masih cukup aktif hingga Februari 2014. Dampak dari letusan Gunung Sinabung bukan saja dirasakan di wilayah Kabupaten Karo dimana gunung tersebut berada. Sejak awal melestus pada bulan September 2013, tercatat telah terjadi hujan abu vulkanik di beberapa wilayah Sumatera Utara di luar kabupaten Karo. Di wilayah Medan secara khususnya diketahui 2 kali terjadi hujan abu vulkanik akibat aktivitas Gunung Sinabung yaitu akibat letusan pada tanggal 23 November 2013 dan 11 Januari 2014. Kota Medan sendiri terletak kurang lebih 80 km dari Gunung Sinabung, Kabupaten Karo. Gambar 1. Lokasi Gunung Sinabung Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah I Medan e-mail: [email protected] Megasains 5(2): 105 – 110 C. Matondang Pada tanggal 11 Januari 2014 hujan abu vulkanik dirasakan dibeberapa wilayah seperti Binjai, Langkat, dan juga Kota Medan. Hujan abu vulkanik dilaporkan terjadi akibat erupsi dari Gunung Sinabung pada dini hari sekitar pukul 04.00 wib. Efek dari hujan abu vulkanik yang dirasakan hingga ke kota Medan cukup mengganggu aktivitas masyarakat khususnya jarak pandang bagi para pengendara bermotor dan juga bagi pernafasan dari masyarakat yang beraktivitas diluar ruangan secara khususnya. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis kondisi atmosfer khususnya arah sebaran angin baik dari analisa radiosonde dan analisa streamline serta karakteristik dari letusan Sinabung berdasarkan data citra radar yang terdapat di BBMKG Wilayah I khususnya yang terjadi pada tanggal 11 Januari 2014. METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam penulisan ini yaitu data citra radar CMAX yang diperoleh dari Balai BMKG Wilayah 1 Medan pada tanggal 11 Januari 2014, data analisa streamline pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 12 UTC dan tanggal 11 Januari 2014 pukul 00 UTC, serta data radiosonde dari Stasiun Polonia di Kualananmu tanggal 11 Januari 2014 pukul 00 UTC. Mengumpulkan data-data yang telah disebutkan baik data radar, data radiosonde,dan streamline. Selanjutnya menganaliasa serta mendeskripsikan kondisi atmosfer serta karakteristik abu vulkanik berdasarkan citra radar pada saat terjadinya letusan Gunung Sinabung pada tanggal 11 Januari 2014. Dalam pengolahan data Radar yang digunakan adalah produk radar CMAX, hal ini berkaitan dengan produk radar CMAX yang merupakan produk radar yang menampilkan nilai maksimum yang didapatkan oleh pengamatan radar dalam setiap kolom dalam atmosfer, sehingga diharapkan produk tersebut mampu menampilkan nilai reflektifitas yang dihasilkan oleh Volchanic Ash yang umumnya sangat kecil. Dalam pembuatan produk CMAX pada radar nilai lower limit yang di pakai adalah sebesar 2.5 km hal ini berkaitan dengan tinggi puncak Gunung Sinabung. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Citra Radar Citra Radar Gambar 2. Citra Radar CMAX 10 Jan 2014 jam 19:39:52 UTC. Pada citra radar CMAX tanggal 10 Januari 2014 jam 19’39’52 UTC (tanggal 11 Januari jam 02:39:52 WIB), terpantau untuk pertama kali pada hari tersebut adanya echo yang muncul secara tiba-tiba dan bernilai cukup signifikan di sekitar wilayah Gunung Sinabung. Berdasarkan data Produk Citra Radar CMAX(z) terpantau adanya reflektivitas dengan nilai sekitar 7-13 dBz. Berdasarkan data cross section dari produk CMAX(z) & CMAX(v) terpantau echo tersebut berada pada ketinggian antara 1.6-4.3 km dengan nilai reflektivitas maksimum sebesar 32 dbz yang berada pada ketinggian 2.4-3.1 km. Untuk nilai velocity terpantau maksimum mencapai 30 knots bergerak mendekati radar. Pada daerah yang memiliki reflektivitas MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 106 Megasains 5(2): 105 – 110 C. Matondang maksimum pada produk citra CMAX(z) nilai velocity bernilai minimum yaitu berkisar antara 0 m/s – 5.6 ms dan bergerak menjauhi radar. Citra Radar CMAX Citra Radar CMAX (z) Jam 19:39 UTC (v) Jam 19:39 UTC Gambar 3. Crossection CMAX 19:39 UTC. Aktivitas echo yang merupakan letusan dari Gunung Sinabung masih terlihat hingga pukul 20:08:02 UTC pada citra radar Medan dengan nilai reflektivitas dan velocity yang semakin kecil dibandingkan pada pukul 19:39:52 UTC. Pada pukul 20:08:02 UTC nilai reflektivitas berkisar antara 7-11.5 dBz dengan ketinggian echo terpantau antara 3.2-4.4 km dan nilai velocity berada 5–12 knots bergerak mendekati radar. Aktivitas dari echo yang pertama kali muncul di sekitar Gunung Sinabung hilang pada pukul 20:17:52. Citra Radar CMAX Citra Radar CMAX (z) Jam 20:08 UTC (v) Jam 20:08 UTC Gambar 4. Crossection CMAX 20:08 UTC. Pada pukul 20:27:22 UTC Gunung Sinabung kembali erupsi hal ini terlihat dari adanya aktivitas echo kembali muncul di sekitar wilayah Gunung Sinabung. Pada citra CMAX kembali terdeteksi adanya reflektivitas echo yang signifikan yaitu berkisar antara 10-30 dBz dengan ketinggian sekitar 1.5-4.1 km dengan nilai reflektivitas maksimum sebesar 30 dbz berada pada ketinggian 2.4-4.1 km. Gambar 5. Citra Radar CMAX tanggal 10 Januari 2014 jam 20:27:22 UTC. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 107 Megasains 5(2): 105 – 110 C. Matondang Setelah kembali muncul dan terdeteksi pada citra radar CMAX pukul 20:27:22 UTC, aktivitas echo di sekitar wilayah Gunung Sinabung terpantau cukup fluktuatif dan semakin meningkat. Terlihat pada citra radar CMAX aktivitas letusan Gunung Sinabung cukup berkesinabungan dengan intensitas yang lebih besar di bandingakan dengan letusan yang terjadi sebelumnya yaitu pada jam 19:39:52 UTC. Citra Radar CMAX Jam Citra Radar CMAX 20.36 UTC Jam 20.46 UTC Citra Radar CMAX Jam Citra Radar CMAX 21.05 UTC Jam 21.24 UTC Citra Radar CMAX Jam Citra Radar CMAX 22.02 UTC Jam 22.21 UTC Gambar 6. Produk Citra Radar CMAX 20:36 s.d 22:21 UTC Hal ini terlihat dari semakin tingginya nilai reflektivitas yang terdeteksi pada citra radar CMAX dan diikuti dengan luasan echo yang lebih besar dibandingkan dengan echo yang terlihat sebelumnya. Luasan dan nilai reflektivitas maksimum terlihat pada pukul 22.02 UTC dan 22.21 UTC yaitu dengan nilai reflektivitas maksimum mencapai 48 dBz yang berada pada ketinggian 2-3km dan nilai kecepatan berkisar antara 5-12 knots bergerak mendekati radar. Aktivitas letusan Gunung Sinabung teramati mulai menurun sekitar pukul 22.30 dengan nilai reflektivitas yang semakin menurun dan luasan dari echo yang semakin meluas dan tersebar dan kemudian berangsur-angsur hilang yaitu tepatnya pada pukul 23.56. Berdasarkan data looping citra CMAX terlihat pergerakan sebaran dari letusan dari Gunung Sinabung bergerak ke arah Barat Daya hingga Timur Laut. Analisa Radiosonde Stasiun Polonia di Kualanamu berada sekitar ± 25 km dari site radar di Medan dan sekitar ± 65 km dari Gunung Sinabung. Berdasarkan data sounding pada tanggal 11 Januari 2014 pukul 00.00 UTC pada lapisan permukaan - 650 mb (sekitar 4000 m) angin umumnya bertiup dari arah Barat Daya dengan kecepatan bervariasi antara 2-17 knots. Antara lapisan pemukaan - 650 mb kecepatan angin maksimum berada pada ketinggian 795-700 mb (sekitar 2100- 3000 m). Untuk lapisan menengah hingga atas yaitu sekitar lapisan 650-100 MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 108 Megasains 5(2): 105 – 110 C. Matondang mb angin umumnya bertiup dari arah Timur Laut - Tenggara dengan kecepatan bervariasi antara 4–51 knots dimana angin kecepatan maksimum berada di ketinggian 152 mb-148 mb. Berdasarkan analisa sounding juga terlihat kecenderungan kondisi atmosfer berada dalam kondisi cenderung stabil. Gambar 7. Hasil radiosonde di Polonia 00 UTC Analisa Streamline Dari analisa streamline pada tanggal 10 Januari 2014 pada jam 12 UTC terlihat adanya sirkulasi Eddy di Pantai Barat Sumbagut dan di Barat Kalimantan. Adanya kedua sirkulasi Eddy tersebut menyebabkan adanya pertemuan angin dari arah Barat Daya dan Timur Laut di sekitar wilayah pegunungan Sumbagut Bagian Utara. Gambar 8. Streamline 10 Januari 2014 jam 12 UTC MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 109 Megasains 5(2): 105 – 110 C. Matondang Gambar 9. Streamline 11 Januari 2014 jam 00 UTC Dari analisa streamline pada tanggal 11 Januari 2014 pada jam 00 utc terlihat sirkulasi Eddy di pantai barat Sumatera bagian Utara masih bertahan dan masih menyebabkan pertemuan angin dari arah Barat Daya dan Timur Laut masih bertahan di sekitar wilayah pegunungan Sumatera bagian Utara. KESIMPULAN Berdasarkan data citra radar CMAX aktivitas letusan Gunung Sinabung dapat terdeteksi di Radar EEC yang terdapat di Balai Wilayah Medan dimana terpantau sejak pukul 19’39’52 UTC - 23’56’22 UTC dengan nilai reflektivitas bervariasi antara 7-48 dbz. Nilai reflektivitas maksimum umumnya berada pada ketinggian 2-4 km dengan kecepatan berkisar antara 012 knots. arah sebaran dari letusan Gunung Sinabung terpantau dari radar bergerak ke arah Barat Daya – Timur Laut. Berdasarkan data angin baik dari data analisa sounding dan data analisa streamline terlihat bahwa terdapat pola angin dari barat laut yang cukup dominan pada tanggal 10 Januari 2014 jam 12 UTC sampai 11 Januari 2014 jam 00 UTC. Kondisi tersebut memungkinkan faktor angin cukup berperan dalam penyebaran debu vulkanik dari Gunung Sinabung yang erupsi pada tanggal 11 Januari 2014 dini hari terbawa sampai ke wilayah Medan dan sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA C.Lacasse et all. 2004.”Weather Radar observation of the hekla 2000 eruption cloud, Iceland”. Bull Volcano. Springer Verlag. Lillesand, Thomas M. 1979. “Remote Sensing and Image Interpretation”. John Sons Inc. New York. Wiley & http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42-geologi/6665-letusan-g-sinabung-kini-mirip-letusan1200-tahun-lalu.html http://www.eumetrain.org/data/2/253/navmenu.php?tab=4&page=2.0.0 MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 110 PENENTUAN MODEL KECEPATAN SATU DIMENSI GELOMBANG BERDASARKAN DATA ARRIVAL TIME GEMPABUMI DI WILAYAH BARAT ACEH Abdi Jihad , Nazli Ismail , dan Fadhli 1 2 2 tanggal terima: 28 Januari 2014, tanggal cetak: 10 Oktober 2014 ABSTRACT Determination epicenter of the earthquake is using global velocity model. However this way is not completely valid because each area have a rock structures that different. In this research, we determined the 1D P-wave velocity model for the region of Aceh. Velocity model is a improvement of the IASP91 velocity model. IASP91 model is the velocity model created by IASPEI (International Association of Seismology and Physics of Earth’s Interior). Earthquake arrival time data were process using inversion method. The data obtained from the seismometer in Aceh, such as; Mata Ie (BSI), Tapaktuan (TPTI), Meulaboh (MLSI), Kutacane (KCSI), Langsa (LASI), and Lhoksemawe (LHMI). The velocity model was predicted using \software Velest 3.1 (Kissling, 1995). Result show the velocity model result faster than the reference velocity model. With the velocity model, we get the hypocenter relocation to be better because difference the observational data and the calculation data is 0.4 seconds. Besides that also obtained the station correction values for each seismometer that used. Positive or negative correction values means P-wave arrival time at that seismometer is the origin time of earthquake plus or minus a correction station value. The correction station value in this research is -0.39 up to +0.7 second. Positive value for BSI, TPTI and negative for MLSI, LHMI, LASI, KCSI. Largest correction value found on seismometer of LASI. The value is +0.7 seconds. Its possible because layers of rock in area are slow the P-wave velocity. Keywords: P wave 1D velocity model, Inversion, Earthquake. PENDAHULUAN Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah yang memiliki struktur atau susunan tektonik yang cukup unik sehingga banyak peneliti yang memberi perhatian khusus terhadap pulau ini. Hal ini dikarenakan adanya sesar di sepanjang Pulau Sumatera dan pada bagian barat pulau ini terdapat pertemuan dua lempeng tektonik yaitu lempeng India-Australia dan lempeng Eurasia yang mempengaruhi aktifitas seismik dan kondisi tektonik Pulau Sumatera. Hal ini terlihat jelas dengan tingginya frekuensi gempabumi dan kenampakan gejala-gejala kondisi tektonik yang terlihat pada permukaan. Propinsi Aceh adalah satu dari beberapa wilayah Pulau Sumatera yang menerima dampak dari kondisi tektonik ini. Katalog data gempabumi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat beberapa gempabumi besar terjadi di wilayah ini. Pengetahuan tentang kondisi tektonik ini sangat diperlukan oleh masyarakat di wilayah tersebut sehingga mereka lebih peduli terhadap bahaya gempabumi dan tsunami yang mengancam setiap waktu. Untuk memahami kondisi tersebut analisis gempabumi yang tepat dan akurat menjadi sangat penting. Seiring berkembangnya teknologi, penentuan gempabumi saat ini sudah semakin cepat. Namun, parameter gempabumi yang dihasilkan dan dipublikasikan cenderung sebagai informasi awal sehingga masih perlu diakuratkan karena dalam penentuanya, tergantung pada sinyal dari jaringan seismik dan model kecepatan yang digunakan adalah model kecepatan satu dimensi (1D) yang global. Penentuan model kecepatan yang digunakan dalam penentuan gempabumi sangat penting. Hal ini berkaitan dengan penentuan fase-fase seismik dari gelombang seismik, penentuan 1. Stasiun Geofisika Mata Ie,Banda Aceh BMKG e-mail: [email protected] 2. Universitas Syah Kuala Banda Aceh Megasains 5(2): 111 – 118 A. Jihad, N. Ismail & Fadhli fase yang tepat akan menghasilkan lokasi gempa yang akurat. Model kecepatan 1D biasa digunakan dalam prosedur penentuan lokasi gempa dan sebagai inisial model untuk seismik tomografi (Kissling, 1988, Kissling et al, 1994). Salah satu metode penentuan model kecepatan 1D adalah metode Couple Velocity-Hypocenter menggunakan program VELEST Versi 3.1 (Kissling, 1995). Berdasarkan uraian di atas, dilakukan dalam penelitian ini dilakukan penentuan model kecepatan 1D untuk wilayah Barat Aceh. METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data waktu tempuh gelombang P dari o o o o gempa-gempa yang terjadi wilayah barat Aceh (2 LU – 6 LU dan 94 BT – 97 BT). Waktu tempuh gelombang P diperoleh dengan cara mengurangi origin time dengan waktu tiba gelombang P di seismogram. Kejadian gempabumi yang digunakan adalah gempa yang berada di bagian Barat Wilayah Aceh, berasosiasi dengan zona subduksi dan direkam 6 atau lebih sensor gempabumi. Lokasi sensor gempabumi di wilayah Aceh dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Lokasi sensor gempabumi di Provinsi NAD. Data posisi stasiun yang digunakan adalah dari jaringan stasiun geofisika milik BMKG yang berjumlah 150 dan jaringan international yang didapatkan Pusat Gempa Nasional (PGN) Jakarta. Pada penelitian ini stasiun yang digunakan adalah stasiun yang merekam gempagempa di wilayah studi yang berjumlah 42 stasiun pengamat. Proses penentuan model kecepatan 1D gelombang P pada penelitian ini didasari oleh model kecepatan 1D referensi yang dalam hal ini adalah model kecepatan 1D IASP91 (Kennet dan Engdahl, 1991). Model kecepatan IASP91 adalah model kecepatan bumi 1D yang dihasilkan oleh International Association of Seismology and Physics of Earth’s Interior (IASPEI). Model kecepatan IASP91 memperhitungkan dua lapisan diskontinuitas pada lapisan kerak bumi yaitu pada kedalaman 20 dan 35 kilometer. Sedangkan lapisan diskontinuitas pada mantel terletak pada kedalaman 410 dan 660 kilometer (Bormann, 2002). Model ini hanya berisi parameter kecepatan gelombang P dan gelombang S. Pada penelitian ini model kecepatan IASP91 yang digunakan sebagai referensi hanya model kecepatan gelombang P. Asumsi model bumi yang digunakan bahwa bumi berlapis hingga kedalaman 140 kilometer. Jumlah lapisan adalah 4 lapisan dengan kedalaman masing–masing lapisan ditunjukan pada Tabel 1. Untuk memperjelas model kecepatan 1D referensi maka data pada Tabel 1 diplot dengan Software Microsoft Excel 2007 menjadi grafik hubungan kecepatan terhadap kedalaman (Gambar 2). Data dalam penelitian ini diolah dalam beberapa langkah pengerjaannya. Langkah-langkah tersebut dimulai dari pengambilan data dari katalog BMKG, mengubah data format BMKG menjadi format data Velest, penentuan model kecepatan dan relokasi secara simultan dengan software Velest 3.1, model kecepatan baru dan hasil relokasi selanjutnya diplot MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 112 Megasains 5(2): 111 – 118 A. Jihad, N. Ismail & Fadhli dengan Generic Mapping Tool (GMT). Sebagai validasinya, RMS dari masing–masing iterasi diplotkan, sehingga terlihat sampai pada iterasi keberapa RMS mulai konvergen. Tabel 1. Model kecepatan IASP91. Gambar 2. Model kecepatan gelombang P satu dimensi IASP91 yang digunakan sebagai referensi penentuan model kecepatan penelitian. Langkah- langkah pengolahan data tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Metode penentuan model kecepatan 1D, adalah metode coupled velocity-hypocenter menggunakan program VELEST versi 3.1 (10.4.95) (E.Kissling, 1995). Dimana metode coupled velocity-hypocenter merupakan metode relokasi gempa, penentuan model kecepatan bawah permukaan 1D, dan koreksi stasiun secara bersamaan menggunakan algoritma pemodelan inversi non-linier dengan pendekatan linier. Sebagai tahap pertama, didefinisikan 𝒎! yaitu parameter hiposenter (x, y, z, 𝒕! ), model kecepatan (1D). Selanjutnya VELEST melakukan forward modeling dengan melakukan ray tracing dari gempa ke stasiun sehingga memperoleh Tcalc (Waktu tempuh perhitungan). Inverse modeling dilakukan dengan menyelesaikan Matriks Damped Least Square [At A + L] (A = Matriks Jacobi, At = TranposMatriks Jacobi; L = Matriks damping). Penggunaan nilai damping akan mempengaruhi nilai perturbasi parameter model (∆m), dan hubungan antara besarnya damping dengan nilai ∆m adalah berkebalikan. Hasil dari inverse modeling adalah vektor perbaikan parameter model (∆m) yang selanjutnya diperoleh nilai parameter hiposenter, model kecepatan 1D, dan koreksi stasiun. Dalam tahapan berikutnya nilai-nilai tersebut di forward modeling untuk memperoleh nilai Tcalc baru yang akan dibandingkan misfitnya dengan Tcalc sebelumnya dan demikianlah tahapan dalam VELEST untuk satu iterasi. Dalam setiap iterasinya, tercantum nilai RMS antara data waktu tempuh observasi dan waktu tempuh perhitungan, sehingga jumlah iterasi dapat diatur hingga memenuhi kriteria RMS yang diharapkan. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 113 Megasains 5(2): 111 – 118 A. Jihad, N. Ismail & Fadhli Gambar 3. Diagram alir pengolahan data. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan model kecepatan 1D gelombang P diproses berdasarkan data waktu tiba gelombang P dari 242 data gempabumi. Untuk 1 kejadian gempabumi minimal direkam oleh 6 sensor gempabumi, jadi terdapat sekitar 1.500 data waktu tempuh gelombang P yang diproses dengan metode inversi non linier pendekatan linier pada perangkat lunak Velest 3.1 (Kissling,1995). Pada proses Velest ini dilakukan beberapa perulangan (iterasi). Iterasi dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan model kecepatan 1D Gelombang P dengan kualitas baik. Model yang dihasilkan memiliki kualitas baik jika nilai selisih waktu tempuh data pengamatan dan data perhitungan (𝛥𝑡) pada tiap iterasi menuju minimum atau konvergen. Pada penelitian ini proses inversi dilakukan dengan 20 iterasi. Proses mencapai hasil yang konvergen pada iterasi ke -15 yaitu 0.41 detik (Gambar 4). Gambar 4. Kurva penurunan rata rata sisa waktu tempuh. Solusi dianggap konvergen setelah iterasi ke -15. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 114 Megasains 5(2): 111 – 118 A. Jihad, N. Ismail & Fadhli Hasil proses adalah model kecepatan 1D gelombang P baru. Model gelombang P baru ini adalah perbaikan model referensi. Dari proses tersebut diketahui bahwa model referensi dan model hasil memiliki perbedaan kecepatan pada tiap lapisannya. Model hasil lebih cepat dibandingkan model kecepatan referensi. Hanya pada kedalaman 35 kilometer kecepatan gelombang P antara model referensi dan hasil memiliki nilai kecepatan yang sama berkisar antara 8.01 – 8.04 kilometer/detik. Pada penelitian ini model referensi yang digunakan adalah model global yang dihasilkan dari sebaran data secara luas, sedangkan pada model kecepatan hasil diperoleh dari data yang terfokus pada wilayah Barat Aceh. Sehingga sangat mungkin perbedaan terjadi pada model referensi dan model hasil. Berikut nilai perbandingan kecepatan model referensi dan model kecepatan hasil.(Tabel 2). Untuk lebih memperjelas perbedaan antara model kecepatan referensi dan model kecepatan hasil maka data tabel 2 diplot menjadi grafik hubungan kecepatan terhadap kedalaman tiap lapisan untuk model referensi dan model hasil. (Gambar 5). Tabel 2. Perbandingan nilai kecepatan referensi dan hasil. Referensi (km/s) Hasil (km/s) Kedalaman (km) 5.8 5.45 0 5.85 5.85 20 6.5 7.39 20 6.55 7.39 35 8.04 8.01 35 8.04 8.14 71 8.05 8.31 120 8.1 8.31 121 8.19 8.31 171 Kecepatan Gelombang P (km/s) -5 5.3 6.3 7.3 8.3 15 Kedalaman (km) 35 55 75 IASP91 HASIL 95 115 135 155 175 Gambar 5. Perbandingan model kecepatan referensi (garis biru) dan model kecepatan hasil (garis merah putus-putus). Relokasi data dilakukan dengan metode inversi non linier dengan pendekatan linier. Relokasi data gempabumi berdasarkan model kecepatan 1D gelombang P hasil. Sebanyak 242 data gempabumi yang berhasil direlokasi. Hasil dari relokasi diperoleh data episenter dan hiposenter baru. Perubahan hiposenter gempabumi dapat dilihat pada Gambar 6. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kedalaman fixed depth terelokasi menjadi kedalaman baru. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 115 Megasains 5(2): 111 – 118 A. Jihad, N. Ismail & Fadhli Gambar 6. Sebaran episenter gempabumi (titik biru) sebelum relokasi dan cross section (garis hitam) data kejadian gempabumi dengan orientasi terhadap zona subduksi (garis putus-putus). Gambar 7. Sebaran hiposenter gempabumi sebelum relokasi (titik biru) terhadap kedalaman pada daerah Cross Section dan sebaran hiposenter gempabumi (titik kuning) pada bidang cross section (AB) setelah direlokasi menggunakan model kecepatan gelombang P 1D hasil. Selain model kecepatan 1D hasil, relokasi hiposenter, hasil proses dengan Velest 3.1 adalah koreksi stasiun. Koreksi stasiun ini berarti koreksi data waktu tempuh gelombang P yang tiba pada sensor pencatat berdasarkan data origin time kejadian gempabumi. Berdasarkan pertimbangan jumlah waktu tiba gelombang P ke stasiun tersebut dan jangkauan dari wilayah penelitian, pada penelitian ini dari 42 jaringan seismik yang digunakan hanya 6 sensor pencatat yang ditentukan nilai koreksinya. 6 sensor tersebut dipilih karena posisi sensor tersebut berada pada wilayah penelitian. Gambar 8 adalah distribusi harga faktor koreksi ke – 6 stasiun pencatat gempabumi. Stasiun dengan nilai koreksi positif waktu tiba gelombang P pada seismogram, origin time ditambah dengan nilai koreksi tersebut. Untuk stasiun dengan nilai koreksi negatif waktu tiba gelombang P, origin time dikurangi nilai koreksi. Pada penentuan koreksi stasiun, stasiun SNSI dipilih sebahai stasiun referensi. SNSI dipilih karena banyak kejadian gempa terjadi disekitar wilayah sensor tersebut.. Dari hasil diperoleh bahwa nilai koreksi terkecil terdapat pada stasiun TPTI. Nilai koreksi berkisar negatif 0.12 detik. Nilai negative 0.12 detik berarti waktu tiba gelombang P sampai pada sensor pencatat TPTI dikurang 0.12 detik dari origin time. Nilai koreksi terbesar terdapat pada stasiun pencatat LASI. Nilai pada stasiun LASI berkisar 0.7 detik. Koreksi positif bernilai besar yang dimiliki oleh stasiun dimungkinkan lapisan batuan daerah stasiun bersifat memperlambat cepat rambat gelombang P. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 116 Megasains 5(2): 111 – 118 A. Jihad, N. Ismail & Fadhli Gambar 8. Koreksi Stasiun Geofisika Stasiun dengan lambang bintang merupakan stasiun referensi. Tabel 3. Daftar Koreksi Stasiun Kode Lokasi Lintang Bujur Koreksi Stasiun BSI Banda Aceh 5.50 95.30 -0.39 TPTI Tapaktuan 3.26 97.18 -0.12 SNSI Sinabang 2.41 96.33 0 MLSI Meulaboh 4.27 96.40 0.15 KCSI Kuta Cane 3.55 97.77 0.52 LHMI Lhokseumawe 5.23 96.95 0.53 LASI Langsa 4.46 97.97 0.7 KESIMPULAN Model kecepatan 1D gelombang P yang dihasilkan berdasarkan proses inversi dengan perangkat lunak Velest 3.1 menghasilkan model kecepatan yang lebih cepat dari model kecepatan referensi untuk tiap lapisan. Perubahan kecepatan terlihat signifikan pada kedalaman 20 – 35 kilometer. Relokasi gempa dengan metoda inversi non linier pendekatan linier terbukti mampu menentukan posisi gempa yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan selisih Tobs dan Tcal setelah relokasi dilakukan dengan menggunakan model kecepatan 1D hasil. Harga koreksi stasiun yang di dapatkan dalam penelitian ini berkisar antara - 0.3 detik sampai dengan + 0.7 detik. Koreksi positif bernilai besar yang dimiliki oleh stasiun dimungkinkan lapisan batuan daerah stasiun tersebut bersifat memperlambat cepat rambat gelombang P. DAFTAR PUSTAKA Afnimar, 2009, Seismologi, Penerbit ITB, Bandung Bormann, P., 2002. Global 1-D Earth Models. http://ebooks.gfzpotsdam.de/pubman/item/escidoc:4031:3/component/escidoc:4032/DS_2.1_rev1.pdf. Tanggal akses 15 Maret 2013 Grandis, H., 2009, Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, Bandung. Hesham, M. & Miyashita, K, 2001. One-dimensional P-wave Velocity Structure in the Northen Red Sea Area, Deduced from Travel Time Data. Earth Planet Space. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 117 Megasains 5(2): 111 – 118 A. Jihad, N. Ismail & Fadhli Kissling, E., 1995, Program VELEST USER’S GUIDE – Short Introduction, Institute of Geophysics, ETH Zurich. Natawidjaja, D. & Triyoso, W,.2007. The Sumatran Fault Zone – from Source to Hazard. Journal of Earthquake and Tsunami, Vol. 1, 21 -47 Pramatadie, A. M,. 2011 Relokasi Hiposenter Gempa dengan Menggunakan Data MERAMEX dan Metoda Double Difference, Tugas Akhir Program Studi Teknik Geofisika, ITB, Bandung. Putri, Y.T., 2012, Relokasi Gempabumi Utama dan Gempabumi Susulan Menggunakan Metode MJHD (Studi Kasus Gempabumi Mentawai 25 Oktober 2010), Tugas Akhir Program Studi Fisika, Universitas Indonesia, Depok Rachman, T.D., 2011, Relokasi Hiposenter dan Penentuan Struktur Kecepatan 1-D Gelombang P Secara Simultan untuk Data Gempabumi yang Berasosiasi Dengan Sesar Dangkal di Wilayah Aceh dan Sekitarnya (2ºLU – 6ºLU dan 95ºBT- 98.5ºBT), Tugas Akhir Program Studi Meteorologi, ITB, Bandung. Sieh, K. and Natawidjaja, D, 2000. Neotectonics of the Sumatran fault, Indonesia, Journal of Geophysics Research, VOL. 105. Sieh, K. 2006. Sumatran Megathrust Earthquakes, from Science to Saving Live : Philosophical Transactions of The Royal Society. V.364 P.1947-1963. Stein, S. and Wyssession, M. 2003 . An Introduction to Seismology, Earthquakes, and Earth Structure. Blackwell Publishing : Oxford, UK, 498pp. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 118 PEMANFAATAN CITRA SATELIT DAN RADAR CUACA DALAM ANALISIS AWAL POTENSI CUACA EKSTRIM HUJAN TANGGAL 22 FEBRUARI 2014 DI JAYAPURA Rully Affandi tanggal terima: 26 April 2014, tanggal cetak: 10 Oktober 2014 ABSTRACT The use of image interpretations for both RADAR and satellite imagery to detect potential weather extreme weather has become the choice for analyzing weather. A method for interpreting, analyzing and forecasting weather phenomena through analysis of satellite images is from the temperature of the cloud tops, one of is through contour analysis and time series analysis. In the image interpretation of a weather RADAR, one analysis that can be used is CMM products that show the cloud growth potential direction, which can be actively develop. Keywords: extreme weather, MTSAT, rainfall, RADAR. PENDAHULUAN Dalam usaha pencegahan terhadap bencana alam yang disebabkan oleh aspek-aspek meteorologi, seperti tropical cyclone (badai tropis), hujan lebat dan lain-lain, peran pengindraan jauh (Remote Sensing) dalam pengamatan dan analisis hingga memprakirakan kondisi cuaca kedepan tidak dapat diragukan lagi. Salah satu satelit yang mengamati fenomena meteorologi adalah satelit MTSAT dengan produk kanal IR1 (Infra Red-1 10.311.3 µm), IR2 (Infra Red-2 11.5-12.5 µm), Water Vapour (WV) (IR3 6.5-7.0 µm), Visibel, dan IR4 (Infra Red-4 3.8 µm). Selain satelit cuaca, juga digunakan RADAR (Radio Detection and Ranging) cuaca yang memiliki kemampuan yang lebih baik itu spasial maupun temporal. Kota Jayapura, pada malam hari tanggal 22 Februari 2014 diguyur hujan, dengan membawa dampak yang sangat signifikan berupa banjir dan longsor. Dari petikan informasi yang dihimpun BMKG Balai Besar wilayah V Jayapura, dari berbagai sumber media informasi online, yang dilansir oleh Sindonews.com - hujan lebat yang mengguyur wilayah Kota Jayapura, Papua selama satu jam menyebabkan beberapa kawasan pemukiman warga terendam banjir.---- Peringatan dini dikeluarkan sebanyak dua kali oleh BMKG. Berdasarkan data yang dilansir BMKG wilayah V Jayapura, wilayah Kota Jayapura, Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura akan diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga lebat pada pukul 20.30 WIT hingga pukul 02.00 WIT. Media online lainnya juga melansir berita tersebut, diantaranya media rakyatsulsel.com – hujan deras yang melanda kota Jayapura dan sekitarnya sejak pukul 20.00 WITA menyebabkan banjir di sejumlah kawasan ibu kota Provinsi Papua itu, sehingga ada satu rumah di kawasan Kloofkamp hanyut. Media online antaranews menyebutkan - Hujan deras yang menguyur kota Jayapura, sejak Sabtu (22/2) sekitar pukul 18.30 WIT menyebabkan banjir dan longsor di sejumlah kawasan dan 12 orang diduga tertimbun longsor. Kapolres Kota Jayapura AKBP Alfred Papare ketika dihubungi melalui telepon selularnya kepada Antara mengaku, dikawasan Dok V Atas, Distrik Jayapura Utara, ada empat rumah yang tertimpa longsor yang menyebabkan sekitar 12 orang tertimbun.Malam pergantian tahun baru 2014 di Jayapura Papua diwarnai hujan sejak sore. Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah V Jayapura e-mail: [email protected] Megasains 5(2): 119 – 126 R. Affandi METODE PENELITIAN Gambar 1. Peta wilayah Jayapura. Wilayah kajian dalam penelitian ini yaitu wilayah Jayapura dan sekitarnya. Data kajian yang dipergunakan terdiri dari data citra satelit MTSAT jam 09.00-14.00UTC tanggal 22 Februari 2014 kanal IR1. Selanjutnya data RADAR cuaca C-Band dari pukul 09.24UTC, pukul 11.34UTC, pukul 12.09UTC, dan pukul 12.52UTC. Dan terakhir yaitu data curah hujan dari beberapa stasiun pengamatan meteorologi BMKG yang berada di sekitar Jayapura dan Sentani khususnya data hujan tiap jam. Data-data satelit tersebut di analisa dengan menampilkan kanal IR1, dengan menganalisis suhu puncak awan yang dapat menggambarkan jenis awan yang perpotensi terbentuk. Gambar 2. Diagram klasifikasi awan berdasarkan berbedaan suhu kanal 3.7µm dengan IR1. Analisis kontur suhu puncak awan dipergunakan untuk mengetahui sebaran kumpulan awan berdasarkan suhunya. Analisis time series dipergunakan untuk mengetahui kondisi penurunan suhu puncak awan dari satu waktu ke waktu berikutnya[8]. Pada analisa RADAR cuaca, data dianalisa dengan membuat produk CMM (Combined Moment Maps), dimana salah satunya dapat menggambarkan sinyal intensitas refektifitas, velositas dan luasan spektral objek awan yang tertangkap oleh RADAR [2]. Pengolahan data hujan tiap jam melalui pias hujan otomatis (PH. Tipe Helmann) untuk mengetahui besarnya intensitas hujan yang terjadi saat kejadian cuaca ekstrim tiap jamnya. Analisis dilakukan dengan mengambil data pengamatan beberapa titik di wilayah Jayapura hingga Sentani untuk mengetahui wilayah dengan curah hujan terbesar. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 120 Megasains 5(2): 119 – 126 R. Affandi HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Citra Satelit IR1 dan IR4 dan Split Windows IR1-IR4 Dari data satelit kanal IR1 pukul 11.00UTC memperlihatkan adanya konsentrasi awan akan tetapi kalau hanya menggunakan analisis visual, maka interpretasinya akan berbeda-beda dan bersifat subjektif. Untuk mengetahui kondisi perawanan secara fisis maka dilakukan analisa kontur dari dua buah kanal yang tersedia dalam hal ini dipergunakan kanal IR1 dan IR4. Analisis time series SATAID suhu puncak awan di titik pengamatan dalam hal ini Jayapura Kota, memperlihatkan penurunan suhu yang signifikan dibawah freezing level. Analisis series antara pukul 11.00-12.00 UTC pada kanal IR1 MTSAT, terutama setelah selang 30 menit (Gambar 3.b), terlihat adanya penurunan suhu puncak awan yang cukup signifikan di 0 bawah freezing level hingga -20 s/d -30 C, yang menandakan adanya potensi pembentukan awan konvektif yang terbentuk, seperti Cumulus congestus (Cu congestus) hingga Cumulusnimbus (Cb), dan pernurunan suhu seperti ini merupakan tanda-tanda /inisialisasi awal adanya potensi cuaca yang berpotensi hujan signifikan. Kontur suhu puncak awan pada kanal IR1 pukul 11.00UTC memperlihatkan suhu puncak 0 0 awan sudah berada di bawah freezing level (tititk beku 0 C) yaitu -35 C (di bawah suhu 0 30 C) yang menjadi inisialisasi berikutnya, yaitu pembentukan awan-awan konvektif Cb.(Gambar. 3 c,d) Pada jam-jam selanjutnya citra satelit menunjukkan pertumbuhan sel-sel awan konvektif yang memiliki potensi hujan yang dihasilkan cukup besar. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 121 Megasains 5(2): 119 – 126 R. Affandi Gambar 3. (a) analisis Citra Satelit MTSAT tanggal 22 Februari 2014 kanal IR1, (b) analisis timeseries, (c) analisis kontur suhu puncak awan pukul 11.00 UTC, dan (d) analisis kontur suhu puncak awan pukul 12.00 UTC. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 122 Megasains 5(2): 119 – 126 R. Affandi Gambar 4. (e) citra satelit pukul 13.00 UTC, (f) analisis kontur suhu puncak awan pukul 22.00 WIT, (g) citra satelit pukul 14.00 UTC, dan (h) analisis kontur suhu puncak awan pukul 23.00 WIT. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 123 Megasains 5(2): 119 – 126 R. Affandi Gambar 5. (a) analisis Citra RADAR produk CMM pada pukul 09.24 UTC, (b) pukul 11.34 UTC, (c) pukul 12.09 UTC, dan (d) pukul 12.52 UTC. Dari hasil pembuatan produk CMM pada data RADAR cuaca, menunjukkan adanya potensi arah pertumbuhan awan (Gambar 4a) yang berpotensi aktif tumbuh dan berkembang. Karena masih potensi awal, perlu dilihat hasil penyapuan-sweeping RADAR waktu selanjutnya. Pada hasil produk Gambar b, terlihat adanya konsentrasi pertumbuhan awan walaupun belum terlihat adanya awan konvektif, akan tetapi hal ini menjadi satu catatan bahwa potensi pembentukan awan di wilayah timur Sentani cukup signifikan. Pada waktu berikutnya, yaitu hasil produk CMM pukul 12.09UTC, terlihat pertumbuhan awan-awan konvektif sudah mulai terbentuk di bagian selatan-barat daya Jayapura dan terus tumbuh kembang semakin besar di wilayah Jayapura (Gambar 4c dan d). Dari hasil analisis di atas, potensi arah pertumbuhan awan yang diperlihatkan oleh parameter produk CMM RADAR Cband, dapat dijadikan inisialisasi berikutnya dalam menentukan ada tidaknya potensi pembentukan awan-awan hujan. MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 124 Megasains 5(2): 119 – 126 R. Affandi Analisis Curah Hujan Tabel 1. Jumlah pencatatan curah hujan Stasiun Meteorologi Dok II. 20 Februari 2014 Jumlahcurah hujan (mm/jam) 22.1 21 Februari 2014 TTU Tanggal Waktu (WIT) 19.30 22 Februari 2014 Sifat Mulai hujan - 19.00-20.00 8.5 Ringan 20.00-21.00 49.2 Sangat Lebat 21.00-22.00 79.7 Sangat Lebat 22.00-23.00 91.9 Sangat Lebat 23.00-00.00 10.7 Lebat Tabel 2. Jumlah pencatatan curah hujan Pos Pengamatan Hujan Stasiun Geofisika Angkasapura Tanggal Waktu (WIT) 22 Februari 2014 15.45 Jumlahcurah hujan (mm/jam) Mulai hujan 15.00-16.00 1.1 Ringan 16.00-17.00 5.9 Sedang 17.00-18.00 0.7 Ringan 18.00-19.00 1.1 Ringan 19.00-20.00 11.4 Lebat 20.00-21.00 29.0 Sangat Lebat 21.00-22.00 80.2 Sangat Lebat 22.00-23.00 30.0 Sangat Lebat 23.00-00.00 58.1 Sangat Lebat Sifat - Tabel 3. Jumlah pencatatan curah hujan Pos Pengamatan Hujan BBMKG Wilayah V Tanggal Waktu (WIT) 22 Februari 2014 18.00-19.00 Jumlahcurah hujan (mm/jam) - 19.00-20.00 - Sifat 20.00-21.00 5.3 Sedang 21.00-22.00 22.1 Sangat Lebat 22.00-23.00 - 23.00-00.00 - Tabel 4. Jumlah pencatatan curah hujan Pos Pengamatan Hujan BBMKG Wilayah V No Wilayah Jumlahcurah hujan (mm/ 24jam) 216.4 Sangat Lebat Sifat 1. Angkasa Pura 2. Jayapura-Dok II 240.0 Sangat Lebat 3. Jayapura Selatan –Entrop 31.8 Sedang 4. Sentani Kabupaten Jayapura 23 Ringan MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 125 Megasains 5(2): 119 – 126 R. Affandi Dari data hujan yang di dapat di beberapa wilayah memperlihatkan hujan tersebar merata dengan intensitas bervariasi. Hujan sangat lebat terjadi di wilayah Jayapura khususnya di kota dan sekitarnya. KESIMPULAN Analisis citra satelit dengan hanya menggunakan visual, maka interpretasinya akan berbeda-beda dan bersifat subjektif. Metoda dalam mengintrepetasikan, menganalisa dan memprakirakan fenomena cuaca melalui citra satelit melalui analisa suhu puncak awan salah satunya yaitu melalui analisis kontur, dan analisis time series pada kejadian hujan 22 Februari di Jayapura, dapat menunjukkan potensi awal pembentukan awan-awan hujan. Pada interpretasi citra RADAR cuaca, salah satu analisa dapat dipergunakan yaitu melalui analisis produk keluaran CMM, dan dapat memperlihatkan adanya potensi arah pertumbuhan awan yang dapat aktif tumbuh dan berkembang. Antara analisa satelit dan perhitungan alat pengukur curah hujan tiap jam, memperlihatkan keseuaian dalam penentuan waktu kejadian hujan dengan intensitas lebat. Selanjutnya, hujan yang terjadi di Jayapura terkonsentrasi di Jayapura kota dengan intensitas sangat lebat. DAFTAR PUSTAKA Affandi, Rully, Identifikasi Cuaca Ekstrim Melalui Pemanfaatan Citra Satelit MTSAT (Studi Hujan Sangat Lebat Jayapura 18-19 Juli 2012), Prosiding Workshop Cuaca Ekstrim 2012, Vol 1-2012. EDGE User Manual, EEC, Published September 2, 2009. http://www.antaranews.com/berita/420484/12-orang-tertimbun-longsor-di-jayapura. Diakses tanggal 23 Februari 2014. http://rakyatsulsel.com/jayapura-banjir-satu-rumah-dikabarkanhanyut.html#sthash.DIiNla78.dpuf . Diakses tanggal 23 Februari 2014. http://www.sindonews.com. Diakses tanggal 23 Februari 2014. Lilijas, E. (1989); Experience of an operational cloud classification method, 4 DATA USERS’ MEETING, 73-78. th AVHRR MEGASAINS • Buletin Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara, Geofisika, dan Lingkungan 126