26 BAB II MESIR PADA MASA PEMERINTAHAN RAJA FAROUK A

advertisement
BAB II
MESIR PADA MASA PEMERINTAHAN RAJA FAROUK
A. Sekilas Pemerintahan Monarki Mesir
Mesir memang diperebutkan oleh berbagai negara di Eropa,1 terkait
dengan letaknya yang strategis. Negara-negara Eropa memberikan pengaruh pada
Mesir, terutama pada masa penguasaan Inggris. Mesir secara resmi jatuh ke tangan
Inggris pada tahun 1882 dari pendudukan Turki Usmani. Pada tahun 1841-1914
wilayah Mesir memang merupakan bagian dari imperium Turki Usmani, namun
banyak terjadi konflik antara Turki dengan negara Eropa (terutama Inggris). Pasca
pendudukan Inggris, Mesir menjadi negara monarki konstitusional dengan
penentuan kebijakan yang didominasi oleh Inggris.
Pemerintahan
Monarki
Mesir
banyak
mengambil
contoh
dari
pemerintahan monarki konstitusional Inggris. Pemerintah Inggris memang sengaja
mewujudkan adanya kesamaan dalam rangka mempermudah penguasaan di
wilayah Mesir. Mesir pada masa pemerintahan Raja Fuad2 memang didominasi
oleh kepentingan Inggris yang sangat kentara. Meskipun sebagai negara monarki
1
John L Esposito dan John O Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim.
Bandung: Mizan, 1999, hlm. 234.
2
Raja Fuad adalah merupakan Raja Mesir yang memerintah pada tahun
1917-1936. Masa pemerintahan Raja Fuad, sektor kehidupan di Mesir didominasi
oleh pemerintahan Inggris. Meskipun Mesir diberi kemerdekaan pada tanggal 28
Februari 1922 dari Inggris, kondisi Mesir masih berada di bawah bayang-bayang
penguasaan Inggris. Lihat Mohamed Moustofa Ata, Judul asli tidak dicantumkan,
Alih bahasa oleh M. Yehia Eweis, Egypt Between Two Revolution. Cairo:
Imprimerie Misr S.A.E, 1955, hlm. 70-71.
26
27
yang dibatasi oleh konstitusi, raja memiliki kewenangan yang tidak dapat diganggu
gugat. Seringkali rakyat merasa bahwa sistem pemerintahan monarki inilah sumber
dari kesengsaraan dan penderitaan.
Sistem pemerintahan monarki Mesir hanya akan membuat kebencian
masyarakat semakin meningkat. Pemerintahan tersebut hanya memihak pada raja,
bangsawan, tuan tanah, dan kerabat-kerabat yang disenangi oleh raja. 3
Kepentingan rakyat diabaikan oleh pemerintah demi kesenangan raja. Selain
kesengsaraan rakyat, pada awal kemerdekaan Mesir dari Inggris 1922 masih terjadi
ketidakstabilan politik. Meskipun demikian, sebenarnya Revolusi 1919 cukup
membawa angin segar bagi Mesir.4
Pasca revolusi tersebut, mulai berkembang rasa nasionalisme bangsa
Mesir dan intelektual generasi muda meningkat. Namun, nampaknya hal tersebut
belum cukup untuk mengubah wajah Mesir dan menundukkan dominasi Inggris di
Mesir. Kuatnya dominasi Inggris dan lemahnya mental pemerintah Mesir membuat
situasi semakin memanas. Krisis terjadi dimana-mana dan kesenjangan antara
istana dan rakyat meningkat tajam. Keadaan tersebut berlangsung sampai dengan
tahun 1935.
Raja Fuad memiliki ambisi keinginan untuk pemerintahan otoriter. Dia
tidak pernah mengakui hak-hak rakyat, dia juga tidak ingin mewujudkan
3
4
Ibid., hlm. 95.
Gershoni Israel, dan Jankowski, James P, Egypt, Islam, and The Arabs:
The Search for Egyptian Nationhood, 1900-1930. Oxford: Oxford University
Press, 1986, hlm. 270.
28
kedaulatan bahwa dalam negara berasal dari kehendak rakyat, dan bahwa Raja
hak berdaulat atas nama rakyat. Absolutisme Raja Fuad yang ditandai oleh
antagonisme ke arah semua pemerintah yang populer, pelanggaran berulangulang konstitusi, dan upaya untuk menahan kehidupan konstitusional…
Ketidakstabilan dalam kehidupan politik, ketidakamanan, krisis berulang,
kesenjangan yang tumbuh antara istana dan rakyat, dan perjuangan melawan
dominasi asing meningkat, ditandai panggung politik di Mesir sampai 1935. 5
Raja Fuad merupakan seorang Raja yang otoriter dalam pemerintahan
sehingga tidak disenangi oleh rakyatnya. Sifat loyalnya terhadap pemerintahan
Inggris membuat kebencian rakyat terhadap dirinya semakin mendalam. Raja
Fuad dalam menjalankan pemerintahannya tidak didasarkan atas asas demokrasi
yang mementingkan kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, pasca meninggalnya Raja
Fuad dan digantikan oleh Raja Farouk seolah membawa angin segar bagi
masyarakat Mesir. namun, hal tersebut tidak merubah keadaan Mesir yang tetap
berada dalam lingkaran pemerintahan monarki.
B. Situasi Politik Mesir
Sekitar abad ke-20, di Mesir timbul usaha untuk mengakhiri kolonialisme
Inggris di wilayah Mesir. Pemerintahan Inggris menguasai Mesir sejak tahun
5
Terjemahan bebas dari “King Fuad had a craving ambition for
authoritarian rule. He had never recognized the rights of the people, nor did he wish
to realize that sovereignty within a state derives from the will of the people, and that
the King exercises sovereign rights on behalf of the people. King Fuad’s absolutism
was marked time and again by his antagonism towards all popular governments, his
repeated violation of the constitution, and his attempts to stifle constitutional life….
Instability in political life, intermittent waves of insecurity, recurring crises, the
growing gap between the palace and the people, and the intensifying struggle against
foreign domination, characterized the political scene in Egypt until 1935.” Lihat
Mohamed Moustofa Ata, op.cit., hlm. 70.
29
1882.6 Masyarakat Mesir memimpikan hidup bebas di negaranya tanpa ada
penguasaan asing yang mendominasi. Pemerintahan Inggris menguasai Mesir
dikarenakan ikut ambil bagian mengenai kepemilikan saham di Terusan Suez
yang memiliki peran penting di dunia internasional. Seperti halnya di negaranegara Afrika lainnya, penjajahan atas suatu wilayah oleh negara lain selalu
berdampak negatif. Masyarakat mulai jenuh dan berusaha meminta kebebasannya
dari Inggris.
Adapun keinginan untuk mewujudkan Mesir menjadi sebuah negara yang
merdeka dipelopori oleh Partai Wafd yang merupakan partai terbesar Mesir. 7 Partai
Wafd memiliki pengaruh paling kuat dalam pemerintahan Mesir. Pemerintah
Inggris merespon keinginan Partai Wafd dengan memberikan kemerdekaan bagi
Mesir yang diproklamirkan pada bulan Februari 1922. Keputusan yang diberikan
Inggris kepada masyarakat Mesir ibarat memberikan harapan yang palsu.
Meskipun Mesir diberi kemerdekaan, namun Inggris masih tetap mengurusi hal-hal
vital terkait dengan kenegaraan Mesir.
6
M. Hamdan Basyar, “Bagaimana Militer Menguasai Mesir”, Jurnal Ilmu
Politik 3. Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 85.
7
Partai Wafd atau Wafdist bermula dari suatu gerakan kebangsaan yang
dipimpin oleh Saad Zaglul Pasha. Nama Wafdist berasal dari kata Wafd yang
artinya perutusan. Partai perutusan inilah yang terus-menerus memegang kunci
gerakan politik di negara Mesir. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis
cenderung memakai sebutan Partai Wafd untuk menggantikan sebutan Partai
Wafdist. Lihat di Oemar Amin Hoesin, Gelora Politik Negara-negara Arab.
Jakarta: Tintamas, 1953, hlm. 32.
30
Bila dilihat dari sumber daya manusianya, Mesir bukan negara terbelakang
seperti halnya negara-negara di wilayah Afrika lainnya. Partai Wafd yang sejak
awal dibentuk memang selalu mengupayakan kemerdekaan bagi Mesir. Selain
Partai Wafd, ada pula kelompok-kelompok lain yang menginginkan kemerdekaan.
Golongan bangsawan kerajaan Mesir juga menyerukan
tentang kemerdekaan.
Banyak kalangan yang mendengungkan kebebasan, semua mempunyai misi yang
sama, yakni kemerdekaan bagi bangsa Mesir.
Berbagai perselisihan terjadi dalam tubuh pemerintahan Mesir ataupun
masyarakat pada umumnya. Di antara kaum elit Mesir sendiri terdapat perselisihan
yang tidak bisa dihindarkan. Partai Wafd sering berselisih paham dengan Raja
Farouk, sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan hajat orang banyak
sering terbengkalai. 8 Akan tetapi, apabila anggota Partai Wafd berselisih paham
dengan Raja Farouk, Inggris seolah berusaha menjadi penengah. Melihat hal itu,
maka dapat disimpulkan bahwa Inggris masih memiliki andil yang kuat dalam
pemerintahan Mesir.
Kemerdekaan Mesir tahun 1922 terwujud karena adanya kerjasama antara
para pemimpin Mesir yang terdiri dari kaum bangsawan, tuan tanah, dan para
pekerja. Pada tahun 1923 Undang-Undang Dasar Mesir sebagai negara baru
disahkan, namun Inggris masih mengawasi gerak dan perkembangan Mesir. Hal ini
dibuktikan dengan pemerintahan Inggris masih menetapkan gubernurnya di Mesir.
8
M. Hamdan Basyar, op.cit., hlm. 85.
31
Mesir diberikan kemerdekaan oleh Inggris sebagai negara monarki konstitusional
dengan beberapa ketentuan.
Ketentuan yang harus dijalani Mesir demi status kemerdekaannya masih
berkaitan erat dengan penguasaan Inggris di Mesir. Inggris menetapkan empat
masalah yang menjadi tanggung jawab Inggris di Mesir. Keempat masalah tersebut
adalah (1) masalah Sudan, (2) keamanan Mesir dari intervensi asing, (3)
pengawasan Terusan Suez, dan (4) penjaminan kepentingan asing dan minoritas. 9
Pemerintahan Inggris tetap memiliki dominasi di Mesir tentu dengan alasan, bahwa
Mesir dan Afrika Selatan merupakan pos terpenting untuk kerajaan Inggris. 10
Mesir sebagai wilayah yang strategis banyak diperebutkan oleh bangsa-bangsa
asing baik dari Eropa maupun Asia. Wilayah Mesir pernah pula menjadi jajahan
Turki.
Penguasaan Inggris atas wilayah Mesir dalam rangka menanamkan
pertahanan kedua negara tersebut. Terutama pada saat Perang Dunia I berlangsung,
Mesir dengan suka rela berkorban membantu Inggris. Kemudian pada tahun 1936
dibentuk pula aliansi Inggris Mesir dalam military occupation atas Terusan Suez
selama 20 tahun.11 Seiring berjalannya waktu, kedudukan Inggris semakin kuat di
Mesir. Jamahan kekuasaan Inggris semakin terasa di seluruh sektor pertahanan
9
Ibid.,
10
Aksan Andono, Krisis di Timur Tengah (Mesir): Kumpulan DiskusiDiskusi. Yogyakarta: UGM Press, 1956, hlm. 12.
11
Ibid.,
32
Mesir, antara lain pelabuhan, lapangan udara, dan instalasi penting. Pasukan
Inggris menguasai seluruh daerah strategis di sepanjang Sungai Nil. 12 Adanya
keterikatan Mesir dengan Inggris kian mengeras lantaran Mesir memutuskan
hubungan dengan Jerman. Mesir dengan bersikeras menyatakan perang terhadap
Jerman menyebabkan suasana semakin memanas pasca pecahnya Perang Dunia II.
Masyarakat Mesir hidup dalam sebuah tekanan yang menyebabkan
ketidaknyamanan, meskipun hidup di tanah sendiri. Tekanan yang pertama justru
berasal dari pemerintahan Mesir di bawah Raja Farouk, sedangkan yang kedua
berasal dari pengaruh Inggris yang telah mengakar di Mesir. Masyarakat Mesir,
terutama generasi muda mengalami keterbelakangan yang merupakan akibat dari
tekanan tersebut. Keterbelakangan yang dialami oleh generasi muda Mesir
menyebabkan
mereka
sulit
memahami
konsep-konsep
patriotisme
dan
nasionalisme dalam kehidupan Eropa modern. Bersamaan dengan solusi masalah
tersebut, rektor Universitas Al-Azhar13 melalu pidatonya mengungkapkan bahwa
mahasiswa-mahasiswa Mesir harus segera belajar mengenai batasan-batasan
geografi dan poros nasionalisme. Nasionalisme datang ke Mesir bersama-sama
12
Anshari Thayib dan Anas Sadaruwan, Anwar Sadat: Di Tengah Teror
dan Damai. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1981, hlm. 7.
13
Universitas Al Azhar merupakan pusat pengkajian Islam tertua di dunia,
masih memerankan peranan dalam mengembangkan kesarjanaan Islam dan
memelihara warisan Islam. Keberadaan Universitas Al Azhar cukup
diperhitungkan dalam dunia politik Mesir. Penguasa manapun yang hendak
bertahan di Mesir harus selalu memperhitungkan Universitas Al Azhar. Lihat
Rifyal Ka’bah, Islam dan Serangan Pemikiran: Sebuah Gejala al-Ghazwul Fikri.
Jakarta: Granada Nadia, 1994, hlm. 41.
33
dengan peradaban baru dan membentuk dasar-dasar hubungan internal dan
eksternal.
Di bawah Raja Fuad, Mesir mempunyai pemerintahan dan konstitusi yang
tetap, akan tetapi hanya sebagai lambang dan boneka dari Inggris saja. Sampai
ketika Raja Fuad meninggal dunia pada tanggal 28 April 1936, Mesir tampaknya
belum adanya tanda-tanda merasakan kemerdekaan sepenuhnya. 14 Sepeninggalan
Raja Fuad, pemerintahan Mesir jatuh ke tangan Farouk yang pada waktu itu masih
berumur 17 tahun. Raja Farouk dilahirkan pada tanggal 11 Februari 1920. Raja
Farouk menikah dengan seorang gadis cantik yang bernama Youssef Zufikar
Pasha.15
Raja Farouk sangat pandai untuk menarik simpati rakyat Mesir. Raja
Farouk selalu bersikap baik dan ramah kepada rakyatnya untuk memberikan kesan
bahwa Raja Farouk adalah pemimpin yang bijaksana.
Raja begitu popular di mata masyarakat Mesir. Ia sering melakukan
perjalanan ke daerah-daerah di sepanjang Sungai Nil. Ia mengunjungi desadesa dan masjid-masjid. Setiap hari Jum’at, Raja Farouk selalu mengerjakan
Shalat Juma’at bersama rakyatnya. Setiap saat ia berpidato di radio milik
pemerintahan dan seolah berbicara pada rakyatnya. Hal itu memberi kesan
kepada rakyat Mesir bahwa Raja Farouk adalah seorang pemimpin yang baik.
Juga seorang muslim yang baik. Apalagi tiap orang selalu melihat dimana14
15
Anshari Thayib dan Anas Sadaruwan, op.cit., hlm. 2.
Tidak banyak buku yang menjelaskan mengenai istri Raja Farouk yang
bernama Youssef Zufikar Pasha. Hanya dijelaskan bahwa ketika menikah, istri
Raja Farouk tersebut berumur 17 tahun dan pernikahan Raja Farouk digelar
dengan sangat megah, serta dihadiri oleh para negarawan besar. Raja Farouk
memberi nama istrinya yang cantik tersebut dengan sebutan Farida yang memiliki
arti “hanya satu”. Lihat Ibid., hlm. 6.
34
mana Raja Farouk tampil dengan tarbus (semacam topi gaya Turki)
merahnya. 16
Raja Farouk memerintah di Mesir dengan gelar Farouk I. Melihat sifat dan
perilakunya yang baik dan perduli terhadap rakyatnya, Raja Farouk menerima
banyak pujian dari masyarakat Mesir. Rakyat menyambut pemerintahan Raja
Farouk dengan sorak-sorai. Hal ini dikarenakan rakyat sudah lemas dengan
pemerintahan diktator Raja Fuad. Munculnya Raja Farouk di pemerintahan Mesir
awalnya dianggap sebagai rahmat yang turun dari langit untuk menolong Mesir. 17
Nama Raja Farouk kemudian menjadi sangat popular di masyarakat dan banyak
dibangga-banggakan oleh rakyatnya.
Kepemimpinan Raja Farouk dalam pemerintahan Mesir awalnya banyak
memperoleh dukungan dari generasi muda, yakni para mahasiswa yang bersekolah
di Universitas Al Azhar. Para mahasiswa memberikan dukungan dan simpatinya
kepada Raja Farouk. Hal tersebut terbukti dengan adanya demonstrasi besarbesaran yang berlangsung satu hari sebelum Raja Farouk menikah. Peristiwa
tersebut terjadi pada tanggal 21 Januari 1938, para mahasiswa melakukan
demonstrasi di Kairo dengan meneriakkan yel-yel yang memuja Raja Farouk.
Mereka mengungkapkan rasa kagum, simpati, dan dukungan sepenuhnya terhadap
pemerintahan Raja Farouk di Mesir.
16
Ibid.,
17
Oemar Amin Hoesin, op.cit., hlm. 39.
35
Memang,
ada
beberapa
kalangan
yang
mendukung
sepenuhnya
kepemimpinan Raja Farouk di Mesir. Kalangan tersebut berasal dari masyarakat
yang menginginkan perubahan pada pemerintahan Mesir, berbeda dengan masa
pemerintahan Raja Fuad. Kepemimpinan Raja Farouk pada sekitar tahun 1936
sebenarnya masih menimbulkan pro dan kontra oleh berbagai pihak. Partai Wafd
yang merupakan salah satu partai memiliki banyak pendukung di Mesir sedikit
menentang kepemimpinan Raja Farouk yang masih muda.
Partai Wafd pernah melakukan bentrok dengan istana dan Universitas AlAzhar di bawah pimpinan Mustafa Nahas Pasha, 18 bersikeras bahwa Raja Farouk
tidak dapat melaksanakan kekuasaan penuh sebelum berumur dua puluh satu (yang
baru akan dicapai tahun 1941), sedangkan raja mengklaim haknya ketika mencapai
delapan belas tahun.19 Rektor Universitas Al-Azhar yang bernama Mustapha Al
Maraghi, kemudian memberikan fatwa dan dukungan kepada Raja Farouk terkait
dengan kekuasaannya sebagai pemimpin Mesir. Mustapha Al Maraghi merupakan
musuh bebuyutan dari Partai Wafd.20
18
Nahas Pasha adalah pemimpin Partai Wafd dan telah beberapa kali
menjabat dalam kabinet pemerintahan di Mesir. Ia merupakan orang yang cukup
berpengaruh dalam dunia politik Mesir, meski terkadang pendapatnya berlawanan
dengan Raja Farouk, dan dianggap membahayakan posisi Raja Farouk di Mesir.
Lihat Mohamed Moustofa Ata, hlm. 102-103.
19
Mohamed Heikal, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan. Yogyakarta:
Grafity Press, 1984, hlm. 13.
20
Anshari Thayib dan Anas Sadaruwan, op.cit., hlm. 5.
36
Pada masa pemerintahan Raja Farouk, dikirimlah sebuah delegasi yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Nahas Pasha ke Inggris dalam rangka musyawarah
perjanjian keamanan bersama. Perjanjian tersebut dilaksanakan pada tanggal 22
Agustus 1936, empat bulan setelah Raja Farouk berkuasa di Mesir. 21 Dengan dalih
melaksanakan perjanjian tersebut, Inggris berhak menempatkan pasukanpasukannya di wilayah Mesir. Hal tersebut terutama di sekitar wilayah Terusan
Suez.
Penempatan kembali pasukan-pasukan Inggris di wilayah Mesir sama
halnya dengan kembalinya penguasaan Inggris atas wilayah dan pemerintahan di
Mesir. Ada berbagai kalangan yang menentang kebijakan yang diambil oleh Raja
Farouk tersebut. Berbagai protes dan demonstrasi dilancarkan melalui media surat
kabar, maupun televisi. Guna meredam demonstrasi tersebut, dilakukanlah
penangkapan oleh sejumlah oknum dalam rangka mengurangi perlawanan.
Meskipun demikian, Raja Farouk tetap bersikeras melanjutkan perjanjian
bilateralnya dengan pemerintahan Inggris dalam rangka menjaga keamanan Mesir.
Pada tanggal 11 Juni 1940, ancaman Italia terhadap Mesir semakin
meningkat. Pasukan-pasukan Italia sudah berjaga-jaga di berbagai sudut wilayah
Mesir. Pemerintahan Inggris tetap tidak bergeming untuk memberikan bantuan
dalam rangka menjaga stabilitas Mesir. Sejalan dengan semakin memanasnya
keadaan di Mesir, terjadi persoalan politik dalam pemerintahan. Kabinet Ali Maher
21
Ibid.,
37
Pasha22 jatuh, dan Partai Wafd tidak dapat membentuk pemerintahan yang baru.
Keadaan tersebut membuat Raja Farouk gelisah terkait dengan keberlangsungan
pemerintahan Mesir. Kemudian tokoh politik yang setia terhadap Raja Farouk,
Hussein Sirry Pasha23 membentuk pemerintahan baru dengan mengumbar visi dan
misinya untuk segera mengakhiri peperangan. Hussein Sirry Pasha berjanji akan
segera mengadakan perombakan di berbagai bidang untuk memperbaiki keadaan.
Di dalam situasi seperti itu, muncul beberapa perpecahan di dalam
masyarakat Mesir. Kelompok-kelompok tersebut muncul sesuai dengan idealisme
mereka. Adapun kelompok tersebut ada yang mendukung Inggris, ada yang pro
fasis (Italia dan Jerman), dan ada pula anti Inggris dan Italia. Gamal Abdul Nasser
beserta rekan-rekannya inilah yang kemudian meletakkan pilihannya pada
kelompok anti Inggris maupun Italia. Di bawah pemahaman yang sama, mereka
kemudian menyatukan kekuatan untuk melawan pemerintahan yang pro Inggris.
22
Aly Maher Pasha merupakan Perdana Menteri Mesir, dan memiliki
banyak peran dalam pemerintahan Mesir. Sekitar tahun 1952 ketika Revolusi
Mesir 23 Juli 1952 dilancarkan, ia memberikan nasehat kepada Raja Farouk
supaya melakukan perombakan Undang-Undang Dasar. Ia juga turut melakukan
pembersihan kabinet pasca Revolusi Mesir 23 Juli 1952. Lihat lampiran
“Pemberontakan Militer di Mesir”, Pewarta Soerabaia (Kamis 24 Juli 1952),
Surabaya: N.V. Pewarta-Soerabaia, hlm. 1.
23
Husein Sirry Pasha membentuk kabinet baru pada awal bulan Juli
1952. Pada saat itu dunia politik Mesir dalam kondisi yang kritis. Husein Sirry
Pasha ditunjuk oleh Raja Farouk untuk mengatasi kondisi tersebut dan
mengembalikan keadaan menjadi lebih stabil. Namun, kabinet ini hanya
berlangsung selama sekitar 3 minggu,setelah itu digantikan oleh Aly Maher
Pasha. Lihat lampiran “Krisis Politik Mesir”, Pewarta Soerabaia (Edisi Kamis 3
Juli 1952), Surabaya: N.V. Pewarta-Soerabaia, hlm. 1. (bagian 1)
38
Mesir
banyak
mengalami
pergolakan
politik
sebelum
revolusi.
Pemerintahan Mesir di bawah Raja Farouk mengalami kemerosotan dalam
berbagai bidang. Tidak adanya pembatasan kekuasaan raja, membuat raja
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Hal tersebut yang membuat
masyarakat Mesir tidak lagi memuji dan mengagumi sosok Raja Farouk. Banyak
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pemerintahan. Penyimpangan
tersebut salah satunya ditandai dengan maraknya korupsi yang dilakukan oleh
kalangan bangsawan, kriminaitas, dan ketidakadilan membuat kekecewaan
dikalangan kelompok-kelompok masyarakat.
Korupsi merupakan salah satu penyimpangan yang dilakukan oleh Raja
Farouk. Raja Farouk memiliki aset yang beragam, uang, dan lahan yang luas.
Perlu diketahui, sebenarnya perilaku korupsi di Mesir mulai ada sejak penguasaan
Muhammad Ali Pasha 1765. Sampai pada saat Revolusi Mesir 23 Juli 1952
dicetuskan, topik yang paling hangat dibicarakan adalah tentang korupsi.
C. Kondisi Sosial-Ekonomi
Secara historis, bangsa Mesir merupakan bangsa yang tidak suka dengan
kekerasan.24 Sejak abad ke 19, Bangsa Mesir lebih suka hidup dalam kedamaian
tanpa adanya perselisihan antar kelompok. Bangsa Mesir dikatakan sebagai
bangsa yang moderat, termasuk dalam menjalin hubungannya dengan Inggris.
Adanya anggapan tersebut cukup masuk akal, mengingat pemerintahan Mesir
24
Lillian Crag Harris, Egypt: Internal Challenges and Regional Stability.
New York: Royal Institute of International Affairs, 1988, hlm. 8.
39
yang mempunyai sifat loyal dan tunduk kepada Inggris yang mempunyai
kekuasaan atas semua yang ada di wilayah Mesir. Mulai dari sumber daya alam,
potensi wilayah, kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Mesir selama ini merupakan salah satu objek studi yang menarik, karena
Mesir adalah negara Arab pertama di Timur Tengah yang terkena pengaruh
langsung dari Eropa.25 Hal ini tentu tidak terlepas dari pengaruh budaya yang
ditularkan oleh penjajahan Inggris di tanah Mesir sejak abad ke-19. Di sisi lain,
dalam prestasi budaya dan intelektualnya, Mesir berada di barisan terdepan di
antara negara-negara Arab. Salah satu bukti maju dan berkembangnya intelektual
di Mesir adalah dengan berdirinya Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir dan
dianggap sebagai universitas tertua di dunia.
Masyarakat Mesir merupakan bangsa keturunan Arab yang masih
memiliki darah keturunan para nabi dan rasul. Secara historis, bangsa Mesir
merupakan bangsa yang religius dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan
ajaran dan tuntunan Islam. Adat istiadat Islam masih tertanam kuat dan
menginternalisasi di dalam jiwa masyarakat Mesir. Hukum dan peraturan Islam
juga masih banyak diterapkan dalam pemerintahan Mesir. Namun, setelah
kedatangan bangsa Eropa (terutama Inggris) terjadi berbagai perubahan di Mesir.
25
M. Yusron, “Orientalisme, Modernisasi, dan Ekonomi-Politik Tiga
Pendekatan di Dalam Studi Sejarah Islam Mesir sebagai Kasus”, Al-Jami’ah:
Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam No 38 Tahun 1989. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1989, hlm. 63.
40
Mesir sering dianggap sebagai garda depan perkembangan politik, sosial,
intelektual, dan keagamaan di dunia Arab dan di dunia muslim yang lebih luas. 26
Selama lebih dari dua dasawarsa, penguasa Mesir telah bertarung menghadapi
kebangkitan Islam yang menentang keras negara dan elit penguasa. Munculnya
gerakan-gerakan Islam pembaharu di dunia berpedoman pula dengan gerakangerakan yang terdapat di Mesir. Tidak keliru apabila Mesir dianggap sebagai
barometer gerakan pembaharu Islam di dunia.
Sejarah Mesir secara hakekat tidak terlepas dari sejarah perkembangan
Islam di dunia. Pengaruh Islam yang terdapat di Mesir dirasakan pula oleh negaranegara lain baik di wilayah Afrika maupun Asia. Ideologi Mesir berdasarkan atas
doktrin Islam yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Pada awal
pendudukan Turki/Ottoman, baik sistem kepercayaan maupun kondisi materialnya
telah mengkristal dan hanya sedikit mengalami perubahan pada tiga abad
berikutnya.27
Pada abad ke-19 ketika Mesir jatuh dalam penguasaan Inggris mulai terjadi
pergeseran-pergeseran baik dari segi kebudayaan dan menyangkut ritual
keagamaan. Jadi, dapat dikatakan bahwa pengaruh adanya modernisasi di negara
Mesir hampir seluruhnya berasal dari penjajahan Inggris. Modernisasi itu sendiri
26
John L Esposito dan John O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim.
Bandung: Mizan, 1999, hlm. 234.
27
Ibid., hlm. 64.
41
dicapai dengan pembangunan, atau pembangunan membawa modernisasi. 28
Masyarakat Mesir (terutama kelompok Ikhwanul Muslimin) merasa khawatir
terhadap perkembangan Mesir akibat dominasi Inggris.
Pengaruh Barat kepada negara-negara Timur merupakan peristiwa yang
terpenting dalam sejarah modern sejak permulaan abad ke-19. Bahkan pengaruh
Yunani dan Romawi sudah ada sejak Mesir kuno. Pertikaian-pertikaian yang sering
terjadi dalam lingkup sosial, ekonomi, agama, dan ilmu pengetahuan selalu tampak
apabila masyarakat tua sebagai yang didapati di sana bertukar menjadi masyarakat
modern.29 Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Mesir. Masyarakat Mesir yang
memiliki tingkat religius terhadap pemahaman Islam yang tinggi harus
menghadapi masuknya pengaruh asing.
Masalah yang sulit dan berbelit-belit timbul karena masyarakat hendak
menyesuaikan diri dengan cara hidup yang baru tersebut, tidak dapat diselesaikan
dalam waktu yang singkat. Masyarakat seolah dipaksa untuk menerima pengaruh
Inggris yang tidak sesuai dengan sya’riat Islam yang selama ini dijunjung tinggi.
Gaya hidup modern dan kebarat-baratan secara perlahan mempengaruhi generasi
muda Mesir. Akibatnya timbullah kelompok-kelompok oposisi dalam masyarakat,
terutama masyarakat Mesir yang menjunjung tinggi hukum dan nilai Islam. Salah
28
Sidi Gazalba, Modernisasi dalam Persoalan Bagaimana Sikap Islam?.
Jakarta: Bulan Bintang, 1971, hlm. 52.
29
Philip K Hitti, Sejarah Ringkas Dunia Arab. Yogyakarta: Iqra’ Pustaka,
2001, hlm. 240.
42
satu kelompok oposisi yang menentang masuknya pengaruh kebudayaan asing
tersebut adalah Ikhwanul Muslimin.
“Selama 150 tahun terakhir, Mesir telah sering berada di tepi kehancuran
ekonomi. Meskipun keinginan untuk reformasi ekonomi memainkan peran
utama dalam Revolusi Mesir 23 Juli 1952, sejak saat itu pemerintah tetap
tidak dapat menetapkan program ekonomi yang jelas…. Pemerintah mulai
dapat meningkatkan perekonomiannya dan memegang kendali pada sekitar
pertengahan 1960-an, meliputi komunikasi keuangan, dan infrastruktur
utilitas, serta sebagian besar industri manufaktur dan konstruksi, perdagangan
luar negeri dan sistem transportasi.”30
Adanya kemerosotan di berbagai bidang terkait dengan pemerintahan Raja
Farouk di Mesir, menimbulkan oposisi di kalangan masyarakat. Muncul kelompokkelompok yang menentang pemerintahan Raja Farouk, baik yang memiliki latar
belakang agama maupun nasionalis. Kubu-kubu masyarakat anti pemerintahan
Raja Farouk dan dominasi Inggris terus berkembang dan melaju untuk mencari
dukungan dari masyarakat secara lebih luas. Pada mulanya mereka bergerak secara
bebas tanpa mengenal misi dari masing-masing kelompok. Namun, pada akhirnya
mereka menyatukan kekuatan di bawah tujuan yang sama, yakni menggulingkan
kekuasaan Raja Farouk di Mesir.
Adanya pembaharuan di dalam masyarakat, dimana mulai ditinggalkannya
adat yang berkaitan dengan Islam, semakin menambah suasana memanas.
30
Terjemahan bebas dari “During the past 150 years, Egypt has frequently
been on the edge of economic ruin. Although a desire for economic reform played
a major role in the 1952 revolution, since then the government has remained
unable to set a clear economic course… The government became increasingly
involved in the economy, and by the mid-1960s had assumed control of the
financial, communications, and utilities infrastructures, as well as of a large part of
the manufacturing and construction industries, foreign trade and the transportation
system.” Lihat Lillian Crag Harris, op.cit., hlm. 8.
43
Muncullah kalangan-kalangan tertentu dengan tekad untuk melawan bentuk-bentuk
sekular
dalam
pemerintahan.
Perseteruan
di
antara
kelompok-kelompok
masyarakat dengan pemerintahan Raja Farouk semakin gencar. Ada beberapa
kelompok masyarakat yang menentang dan merasa tidak senang dengan
pemerintah. Kelompok-kelompok tersebut antara lain: Partai Wafd, Partai Sosialis
Mesir, Ikhwanul Muslimin, dan Gerakan Free Officers (Perwira Bebas).
Pembentukan kelompok-kelompok tersebut bermula dari kekecewaan masyarakat
terhadap pemerintahan Raja Farouk. Meskipun masing-masing kelompok dalam
masyarakat memiliki misi, namun tujuan utama mereka sama yaitu ingin
menggulingkan kekuasaan Raja Farouk yang sudah melampui batas.
Secara umum, masyarakat Mesir sudah merasa muak dengan pejabatpejabat pemerintahan yang pro dengan bangsa asing. Perang Dunia II juga
memberikan dampak yang cukup berarti bagi Mesir. Salah satu dampak dari
Perang Dunia II adalah mengibarkan nama Inggris di Mesir dan semakin
memperparah keadaan Mesir. Dalam bidang ekonomi, terjadi krisis yang
berkepanjangan terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Mesir.
Harga jual kapas menurun, pendapatan per kapita merosot, dan kriminalitas
merajalela.
….hampir separuh dari tanah pertanian di negara Mesir dikuasai oleh hanya
sekitar 12.400 tuan tanah. Selebihnya 2.282.000 petani, menguasai sekitar
sepertiganya saja. Kebanyakan menjadi buruh tani yang hidup ibarat budak.
Sementara hanya sebagian kecil orang Mesir asli (pribumi Mesir) yang
bergerak di bidang industri, perdagangan, dan menjadi kaum intelektual. Di
44
tahun 1936, pendapatan perkapita rata-rata hanya 50 dollar per tahun. Tingkat
buta huruf mencapai 90%. 31
Situasi kemerosotan sosial dan ekonomi di Mesir semakin diperparah
dengan banyaknya pengangguran tenaga kerja produktif Mesir. Lapangan kerja
yang terbatas, dan kaum imigram dari wilayah pedesaan yang berpindah ke Kairo
tidak mendapatkan pekerjaan. Terjadinya ketimpangan sosial di Mesir bukan
merupakan satu-satunya faktor kemerosotan bagi Mesir, namun keadaan tersebut
menjadi semakin kacau mengingat Inggris masih melakukan kolonisasi terhadap
Mesir.
Kondisi tersebut tentu mengundang perhatian masyarakat Mesir untuk
segera berbenah diri. Sebelum adanya perebutan kekuasaan yang kemudian dikenal
dengan sebutan Revolusi Mesir 23 Juli 1952, Mesir merupakan sebuah negara
yang bersifat semi feodal. Tuan tanah dan kerajaan merupakan pemilik lahan
pertanian yang dominan di Mesir. Terdapat kesenjangan sosial yang tajam dalam
masyarakat Mesir. Tuan tanah dan pengusaha kaya menikmati hidup dengan
bergelimang harta, sementara petani miskin hanya memperoleh upah sedikit dari
hasil jerih payah mereka.
Selama beberapa abad, kehidupan dan kesadaran politik para petani
sangatlah rendahnya, kelas pekerja kota hampir tidak ada, kedudukan politik
dan ekonomi kelas menengah yang kecil jumlahnya itu juga sangat
menyedihkan, sementara sektor ekonomi modern yang kecil berada dalam
tangan sekelompok kecil pengusaha kaya. Tuan tanah dan Raja Farouk
merupakan pemilik yang paling besar di antara mereka, mendominasi
ekonomi dan menguasai rezim. Sebanyak 11.000 tuan tanah memiliki 1/3 dari
semua tanah yang dikelola. Sebagian besra penduduk hidup dalam taraf
31
Anshari Thayib dan Anas Sadaruwan, op.cit., hlm. 12.
45
penderitaan, baik sebagai petani yang mempunyai lahan sempit atau petani
penggarap, karena ¾ dari pendapatan mereka digunakan untuk membayar
sewa.32
Dalam bidang pendidikan, juga terjadi pergeseran-pergeseran pada hakekat
dan tujuan pendidikannya. Mesir yang sejak awal terkenal dengan peradabannya
yang tinggi dan memiliki prestise yang mengagumkan di mata dunia, mulai
kehilangan arah. Universitas Al-Azhar yang cukup diperhitungkan di dunia
internasional (khususnya Islam) sedikit demi sedikit kehilangan pamornya. Para
pemuda Mesir berada dalam kebodohan dan ketertinggalan zaman, meski mereka
merupakan mahasiswa Al-Azhar.
Penyebab kemerosotan di dunia pendidikan Mesir justru merupakan akibat
dari modernisasi yang ditanamkan oleh Inggris. Universitas Al-Azhar dianggap
sangat kuno dan kolot, karena hanya menanamkan nilai-nilai Islam yang sudah
tidak relevan bagi kehidupan modern. Universitas Al-Azhar dipandang sebagai
benteng pertahanan paling konservatif Mesir dan cara berpikir kuno yang harus
segera dibenahi. Selain itu, muncul stigma bahwa mahasiswa yang dididik di AlAzhar akan menjadi orang terpencil dari dunia modern.33 Akibatnya, penyesuaian
diri setelah tamat terhadap kompleksitas kehidupan modern bagi mereka lebih sulit
daripada pemuda-pemuda lainnya.
32
Eric A Nordlinger, Militer dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan.
Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm. 266-267.
33
Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme. Surabaya: Usaha Nasional,
1965, hlm. 200.
46
Hampir di segala bidang kehidupan Mesir mengalami degradasi yang
cukup signifikan. Keadaan chaos tersebut menimbulkan banyaknya kerusuhan
dalam masyarakat Mesir yang berupa penjarahan, perampokan, dan perselisihan
antar kelompok. Banyaknya tuntutan perubahan yang harus dilakukan oleh Mesir,
membuat Gamal Abdul Nasser dan pengikutnya berpikir lebih dalam. Melalui
kemampuannya, Gamal Abdul Nasser berusaha melakukan koordinasi dan
menemukan jawaban atas kesulitan-kesulitan yang dialami oleh bangsa Mesir
secara hati-hati tanpa menyakiti pihak lain. 34
Sementara itu, gerakan anti Inggris terus berkembang pesat dan mengalami
kemajuan. Gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok anti Inggris tersebut mulai
tampak bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II tahun 1939. Pada saat yang
bersamaan, berkecamuk pula perang sebagai respon atas pendirian negara Israel di
Palestina. Perang ini adalah awal perang Arab-Israel yang kemudian berlangsung
selama beberapa tahun. Salah satu orang yang terjun dalam perang tersebut adalah
Gamal Abdul Nasser, yang menjadi komandan satu unit militer di Palestina.
Masalah Palestina yang merupakan inti dan dasar sengketa Arab-Israel
adalah sengketa atas Palestina antara penduduk Arab dan penduduk Yahudi-nya
yang keduanya merasa berhak atas negeri itu dan berusaha untuk menguasainya
34
Charles D Cremeans, The Arabs and The World: Nasser’s Arab
Nationalist Policy. New York: Council On Foreign Relations By Frederick A
Preager, 1963, hlm. 29.
47
dan mengembangkan kehidupan nasionalnya. 35 Penduduk Palestina berada di
bawah tekanan bangsa Yahudi yang mendirikan negara di atas wilayah Palestina.
Dalam upaya tersebut, para pemuda dari gerakan Free Officers (Perwira Bebas)
membantu memberikan dukungan dan menempatkan kekuatan militernya di
Palestina. Masalah yang terjadi di Palestina merupakan derita bagi bangsa Arab
lainnya, termasuk Mesir.
Pergolakan yang terjadi di Palestina memang menjadi sorotan dunia waktu
itu. Ada yang mendukung dominasi Timur Tengah di Palestina, ada pula yang
mendukung bangsa Palestina sendiri untuk melepaskan belenggu Timur Tengah di
wilayahnya. Pada tahun 1947, PBB memisahkan Palestina menjadi kawasan negara
Israel dan kawasan Arab. 36 Mesir dan negara-negara Arab lainnya marah dan
kemudian melancarkan serangan ke negara kecil tersebut. Disinilah peran Gamal
Abdul Nasser terlihat sebagai komandan dari Free Officers (Perwira Bebas).
Meski dengan senjata seadanya, pasukan Free Officers (Perwira Bebas) ikut andil
dalam serangan ke negara Palestina atas penguasaan Israel.
Dalam Perang Palestina 1948 tersebut, pasukan Mesir memperoleh
kegagalan. Tentara Israel berhasil memukul mundur pasukan Mesir yang terdiri
dari berbagai gabungan.
Dari pemerintah Mesir sendiri, hanya setengah hati
memberikan dukungan terhadap upaya penyerbuan ke negara Palestina. Hal itu
35
Kirdi Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan. Jakarta: Yayasan
Proklamasi, 1977, hlm. 82.
36
Jules Archer, Kisah Para Diktator: Biografi Politik Para Penguasa
Fasis, Komunis, Despotis, dan Tiran. Tanggerang: Narasi, 2007, hlm. 236.
48
dikarenakan kedudukan Inggris di Mesir masih dominan, dan penguasa Inggris
sendiri kurang merasa yakin perlu dilakukannya penyerbuan ke Palestina.
Kegagalan yang dialami oleh Mesir dalam Perang Palestina 1948 dilansir
oleh Free Officers (Perwira Bebas) karena raja dan pemerintah menghambat
kinerja pasukan Mesir. Dalam perang tersebut, anggota bersenjata Mesir yang
dikirim ke medan pertempuran merasa tidak puas. Transportasi dan pelayanan
pengobatan kurang maksimal. Makanan dan sarana logistik lainnya pun tidak
memadai. Dalam keadaan yang demikian, seharusnya Raja Farouk dan pemerintah
memberikan perhatian khusus pada pasukan perang Mesir.
Betapapun Gamal Abdul Nasser tetap mengandalkan tertanamnya
patriotisme yang kuat, namun ia juga amat berkeyakinan bahwa masalahmasalah yang dihadai Mesir tidak dapat dipisahkan dari masalah dunia Arab
secara keseluruhan. Pengalamannya sebagai perwira pejuang dalam Perang
Palestina, meyakinkannya bahwa terdapat suatu keterkaitan yang erat antara
konflik melawan Israel dengan perjuangan Arab untuk menyingkirkan segala
bentuk dominasi asing. Kalaulah imperialisme merupakan masalah bersama,
maka pembentukan negara Yahudi di tengah-tengah dunia Arab juga
merupakan ancaman bersama. 37
Seperti yang dijelaskan dalam ungkapan di atas, terbentuknya negara Israel
di Palestina seharusnya menjadi permasalahan yang serius bagi kesatuan negara
Arab. Namun, menghadapi hal tersebut sepertinya kurang ada persiapan dan
negara-negara Arab lainnya lebih suka memikirkan urusan negara masing-masing
daripada membantu Palestina. Minimnya persatuan di antara negara-negara Arab
37
Alan R Taylor, The Arab Balance of Power, Alih bahasa oleh Abubakar
Basyarahil, Pergeseran-pergeseran Aliansi dalam Sistem Perimbangan Kekuatan
Arab. Jakarta: Amar Press, 1990, hlm. 48.
49
membuat kemenangan bagi pasukan Israel. Kegagalan tersebut menumbuhkan
kekhawatiran yang semakin luas terhadap masa depan Mesir di kalangan korps
perwira. Keprihatinan yang ternyata mengawali terjadinya serangkaian perubahanperubahan besar dalam kehidupan politik Mesir. 38
Kekalahan dalam Perang Palestina secara tidak langsung membawa
dampak buruk bagi kehidupan Mesir. Setelah Perang Palestina 1948 selesai,
kehidupan politik, sosial, maupun ekonomi Mesir mengalami kesemrawutan. Di
bidang ekonomi, banyak perusahaan yang macet produksinya, dan harga barang
konsumsi mengalami kenaikan beberapa kali lipat. Inflasi meledak tanpa bisa
dihindari, sementara itu gaji pegawai tidak mengalami kenaikan yang berarti. 39
Keadaan ini menyebabkan kehidupan masyarakat Mesir semakin terpuruk.
Populasi orang miskin menjadi bertambah banyak.
38
Ibid., hlm. 45.
39
M. Hamdan Basyar, op.cit., hlm. 87.
Download