STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI DALAM HINDU Oleh: Ni Wayan Budiasih Dosen Fak. Dharma Acharya, IHDN Denpasar Abstract Early childhood education is one of the components in the education system for children in Indonesia. This is in line with the concept of Hindu Education since the days of the Upanishads. "Educational activities in the Hindu religion called" aguron-guron "or asewakadharma" with the conception of the teachings of "Catur Asrama". Hinduism has introduced an educational concept that makes human beings capable of eliminating the bad traits, which can be achieved by devotion to four teachers, following the dormitory of Catur Ashrama and other Hindu ethical teachings through strong self-discipline as well as on the basic understanding of child psychology. In an effort to guide the child's mental and spiritual, traditional ways of learning, such as the Balinese tradition, can we turn it on again. For example, melajah sambil megending (learn while singing), melajah sambil mesatwa (learn while you tell it), melajah sambil mecanda (learning while play), melajah sambil megae (learning by doing), and now appear again melajah sambil melali (learning while visiting ). Keywords: early childhood, learning, strategy, Hindu Abstrak 134 Pendidikan anak usia dini adalah salah satu komponen dalam sistem pendidikan pada anak di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan Konsep Pendidikan Hindu sejak jaman upanisad. “Kegiatan pendidikan dalam agama Hindu disebut “aguron-guron” atau asewakadharma” dengan konsepsi ajaran “Catur Asrama”. Agama Hindu telah memperkenalkan sebuah konsep pendidikan yang menjadikan manusia mampu menghilangkan sifat-sifat buruk, yang bisa dicapai dengan bhakti terhadap catur guru, mengikuti jenjang pendidikan catur asrama serta ajaran etika Hindu lainnya melalui disiplin diri yang kuat serta atas dasar memahami psikologi anak. Dalam upaya untuk membimbing mental spiritual anak, cara-cara belajar tradisional, misalnya tradisi orang Bali, dapat kita hidupkan kembali. Sebagai contoh, melajah sambil megending (belajar sambil bernyanyi), melajah sambil mesatwa (belajar sambil berceritera), melajah sambil mecanda (belajar sambil bermain), melajah sambil megae (belajar sambil bekerja), dan sekarang muncul lagi melajah sambil melali (belajar sambil berkunjung). Kata Kunci: anak usia dini, pembelajaran, strategi, Hindu SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016 I. Pendahuluan Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 14). Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). Makanan yang bergizi yang seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut (Kuntjojo, https://ebekunt.wordpress .com). Kegiatan pembelajaran pada anak usia dini pada dasarnya adalah pengembangan kurikulum secara konkret berupa seperangkat rencana yang berisi sejumlah pengalaman belajar melalui bermain yang diberikan pada anak usia dini berdasarkan potensi dan tugas perkembangan yang harus dikuasainya dalam rangka pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh anak. Atas dasar pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa pembelajaran untuk anak usia dini memiliki karakteristik (Kuntjojo, https://ebekunt.wordpress.com), sebagai berikut: 1. Belajar, bermain, dan bernyanyi Pembelajaran untuk anak usia dini menggunakan prinsip belajar, bermain, dan bernyanyi (Slamet Suyanto, 2005: 133). Pembelajaran untuk anak usia dini diwujudkan sedemikian rupa sehingga dapat membuat anak aktif, senang, bebas memilih. Anak-anak belajar melalui interaksi dengan alat-alat permainan dan perlengkapan serta manusia. Anak belajar dengan bermain dalam suasana yang menyenangkan. Hasil belajar anak menjadi lebih baik jika kegiatan belajar dilakukan dengan teman sebayanya. Dalam belajar, anak menggunakan seluruh alat inderanya. 2. Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan mengacu pada tiga hal penting, yaitu : (1) berorientasi pada usia yang tepat, (2) berorientasi pada individu yang tepat, dan (3) berorientasi pada konteks social budaya. Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan harus sesuai dengan tingkat usia anak, artinya pembelajaran harus diminati, kemampuan yang diharapkan dapat dicapai, serta kegiatan belajar tersebut menantang untuk dilakukan anak di usia tersebut. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016 135 Manusia merupakan makhluk individu. Perbedaan individual juga harus manjadi pertimbangan guru dalam merancang, menerapkan, mengevaluasi kegiatan, berinteraksi, dan memenuhi harapan anak. Selain berorientasi pada usia dan individu yang tepat, pembelajaran berorientasi perkembangan harus mempertimbangkan konteks sosial budaya anak. Untuk dapat mengembangkan program pembelajaran yang bermakna, guru hendaknya melihat anak dalam konteks keluarga, masyarakat, faktor budaya yang melingkupinya. II. Pembahasan 2.1 Pendekatan Pembelajaran AUD Pembelajaran anak usia dini menurut Rini Andriani (2015, http://www.membumikan pendidikan.com) dapat dikelompokkan menjadi tiga pendekatan, yaitu: pembelajaran bebas, pembelajaran terpimpin, dan pembelajaran kondusif. Gambar 2.1 Pendekatan Pembelajaran AUD A. 136 Pembelajaran Bebas Pembelajaran bebas merupakan suatu strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna kepada anak. Strategi ini sangat menguntungkan anak yang memiliki kekuatan untuk mandiri. Anak yang mandiri menunjukkan kepemimpinannya, tidak terlalu tergantung guru. Bila perlu anak datang kepada guru. Kreativitasnya dapat berkembang. Iapun tidak canggung, kebutuhan bermain anak dicukupi, kegiatan SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016 bermain dihargai dan dianggap sebagai cerminan kehidupan yang sebenarnya. Sebaliknya bagi anak yang kurang mandiri, model pembelajaran ini dapat menimbulkan frustasi, tidak tahu apa yang harus dilakukan, putus asa, cemas, bosan, bingung, dan tidak terkendalikan. Pembelajaran bebas memiliki ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Kegiatan pembelajaran berpusat pada anak Memberikan pengalaman langsung pada anak Strategi pembelajaran kurang terstruktur, bersifat fleksibel Kebebasan bermain tidak dibatasi Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak B. Pembelajaran Terpimpin Berbeda dengan pembelajaran bebas, pembelajaran terpimpin merupakan strategi yang sepenuhnya dikendalikan guru. Guru lebih banyak berbicara dan anak mendengarkan, mengikuti contoh dan perintah guru, melakukan drill dan latihan sesuai rencana guru. Anak yang tidak dapat menangkap contoh, dipisahkan dan dibetulkan guru. Anak merasa berhasil kalau ia dapat menjalankan apa kehendak guru. Suasana pembelajaran diwarnai oleh banyaknya perilaku yang tidak dibenarkan guru sehingga banyak anak membutuhkan peringatan guru terusmenerus untuk menyelesaikan tugasnya. Beberapa karakteristik pembelajaran terpimpin yaitu: 1. Berpusat pada perilaku mengajar guru 2. Kreativitas anak kurang berkembang 3. Menyajikan konsep dan berbagai materi dalam suatu proses pembelajaran untuk dikuasai anak 4. Menekankan disiplin, keteraturan prosedur, dan menghargai senioritas 5. Hasil belajar ditentukan oleh kegiatan-kegiatan guru dalam mengajar C. Pembelajaran Kondusif (Supportive climate) Pembelajaran kondusif ini merupakan kombinasi antara suasana pembelajaran bebas dengan suasana pembelajaran terpimpin. Guru dan anak berbagi proses pembelajaran dan pengalaman. Guru berusaha menyeimbangkan secara efektif antara kebebasan aktif bereksplorasi dan membatasi agar merasa aman ketika belajar. Guru mencipta lingkungan pembelajaran dengan penuh pilihan minat. Keteraturan dalam rutinitas. Anak diberi penguatan untuk mengekspresikan diri dan menjalankan keinginannya. Meskipun tugas telah direncanakan oleh guru, anak tetap berkesempatan untuk mengambil keputusan pilihan materi dan bahan. Sepanjang hari guru bertindak sebagai partner yang menaruh minat pada apa yang dilakukan anak. Guru mengamati, mendengarkan, berinteraksi, membesarkan hati anak, membantu SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016 137 memecahkan masalah. Guru memberi model perilaku yang benar dan mengkaitkannya dengan pengalaman anak. Keterlibatan anak untuk bertanggung jawab atas solusi atau hasil pemecahan masalahnya sendiri. Mencipta suasana yang supportive mendukung kebutuhan anak. Anak belajar aktif, mereka fokus pada minat, dan inisatifnya, mencoba ide, bicara tentang apa yang dilakukan, memecahkan masalah sendiri. Karakteristik utama pembelajaran kondusif antara lain: 1. Pengalaman dan kegiatan belajar re1evan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak. 2. Menyenangkan karena bertolak dan minat dan kebutuhan anak. 3. Hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih berkesan dan bermakna. 4. Mengembangkan keterampilan berpikir anak dengan permasalahan yang dihadapi. 5. Menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerja sama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain. 138 2.2 Pengasuhan Anak Usia Dini dalam Hindu Kedudukan Weda sebagai sumber pendidikan dalam agama Hindu dikarenakan Weda dan susastra Hindu lainnya merupakan pedoman yang menuntun hidup manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Proses pendidikan di dalam agama Hindu, berdasarkan atas konsepsi ajaran “Catur Asrama”. Catur Asrama adalah empat lapangan hidup berdasarkan petunjuk kerohanian yaitu (Suarta, 2015: https://plus.google.com): 1. Proses pendidikan atau lapangan hidup yang pertama adalah Brahmacari Asrama, ialah masa menuntut ilmu atau masa menuntut dharma sebagai tujuan hidup, realisaasinya kini ialah pendidikan di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah formal maupun informal. 2. Proses pedidikan atau tahapan hidup yang kedua adalah Grhasta Asrama, yaitu masa hidup berumah tangga. 3. Proses pendidikan atau tahapan kehidupan yang ketiga adalah Vanaprastha Asrama, yaitu suatu masa, sewaktu orang mulai meninggalkan kegiatan keduniawian dengan mengasingkan diri. Realitasnya kini adalah masa purnabhakti atau purna tugas (pensiun) dari tugas sehari-hari untuk memasuki kehidupan rohani (spiritual). 4. Proses/ tahap atau lapangan kehidupan yang terakhir adalah Sanyasin atau Bhiksuka, yaitu suatu lapangan hidup saat seseorang benar-benar telah dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi, dan sepenuhnya hidup untuk mengamalkan dan menyebarkan ajaran dharma utamanya membulatkan diri untuk terjun sepenuhnya ke dalam kehidupan rohani (Titib, 2003: 15-16). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016 Dalam proses pendidikan, para tokoh pendidikan Hindu kuno juga telah memperhatikan psikologi pendidikan, misalnya pemberian pendidikan hendaknya memperhatikan perkembangan usia anak didik. “Psikologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan prosesproses mental yang berpengaruh pada perilaku” (Muda, 2006:431). Pendidikan berdasarkan perkembangan usia menurut Hindu yang dirumuskan oleh Maharsi Canakya dalam bukunya Nitisastra II.18 sebagai berikut: “Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikan hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman”(Titib, 2003: 32). Anak Usia Dini dimulai pada waktu bayi baru lahir. Setelah dimandikan, orang tuanya membisikkan "sesuatu" pada lubang telinga si jabang bayi yang baru lahir. Itulah pelajaran pertama yang diterima anak. Pustaka Susruta Samhita memberikan petunjuk agar orang tuanya menuliskan aksara Omkara (OM) dengan madu pada lidah si bayi, dan mengucapkan Om Veda asi pada telinga kiri dan kanannya, dengan maksud memberikan nama Veda kepada bayi itu. Dewasa ini, umat Hindu umumnya membisikkan Gayatri Mantram pada lubang telinga kiri dan kanan bayi yang baru lahir dengan harapan agar si bayi mendapatkan perlindungan dari pengaruh-pengaruh negatif, termasuk sifat-sifat keduniawian (Suja, 2004: http://phdi.or.id). Penyambutan bayi yang baru lahir dengan aktivitas spiritual seperti itu sangat sejalan dengan keadaan di bayi. Pada awalnya, kekuatan spirit atma memegang peran utama terhadap perkembangan fisik dan mentalnya. Lingkungan spiritual sangat berpengaruh terhadap kehidupannya karena ia ada dalam keadaan trance (kesurupan) oleh atma. Sebagai bukti, kita sering memperhatikan bayi tersenyum, tertawa, atau bermain sendiri pada waktu malam atau siang. Terkadang, ekspresi wajahnya datar dengan pandangan jauh tanpa batas. Dia menikmati dunianya dengan bimbingan spirit yang bersemayam di dalam dirinya. Kondisi kesurupan oleh atma semestinya dimanfaatkan untuk memupuk potensi mental dan spiritual anak. Mengingat pada awalnya, anak cendrung meniru apa yang dia amati, maka orang tua dan keluarga, bahkan lingkungan, harus mampu menjadi panutan yang baik bagi si anak yang sedang tumbuh. Anak harus dibimbing berkata-kata manis, bersifat sopan, dan berbagi upaya untuk menumbuhkembangkan cinta kasih dalam hati dan prilakunya. Sebaliknya, anak harus dicegah jika bermain-main dengan menyakiti makhluk lain, misalnya memotong ekor capung, kemudian menggantikannya dengan bulu ayam. Anak jangan dibiarkan merasakan kesenangan di atas penderitaan makhluk lain. Jika kebiasaan itu tidak dicegah, maka bisa jadi kelak dia akan tumbuh menjadi bobotoh tajen, yang sangat menikmati semburan darah dari badan ayam yang tertusuk taji lawannya. Yang lebih bengis lagi, bisa jadi dia memperlakukan orang lain seperti memperlakukan hewanhewan kurban. Pendidikan mental spiritual harus dimulai sejak dini, dimulai dari rumah, dan itu tanggung jawab kedua orang tuanya. Dalam bahasa Rsi Canakya, orang tua harus mengajarkan kebenaran dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Jika melalaikan hal itu, sesungguhnya dia adalah musuh bagi anak bersangkutan. Orang tua tidak boleh mempercayakan pendidikan mental dan spiritual anak-anaknya, selain SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016 139 pada dirinya sendiri. Sekolah formal tidak akan mampu membimbing anak-anak dalam urusan mental spiritual, karena dalam kedua urusan ini anak lebih memerlukan panutan dari pada ceramah. Jika orang tua tidak melakukan bimbingan, maka dia akan dibentuk oleh lingkungan pergaulannya. Beruntung, jika dia tidak tumbuh menjadi anak-anak salah pergaulan (Suja, 2004: http://phdi.or.id). Namun apa yang terjadi sekarang, sungguh sangat jauh dari harapan. Anak kecil dilatih untuk mengucapkan kebohongan. Sebagai misal, orang tua yang tidak mau diganggu oleh kehadiran tamu menyuruh anaknya agar bilang bahwa Bapak dan Ibu tidak di rumah. Anak juga diperkenalkan dengan kekerasan, baik lewat tayangan di layar kaca, maupun adegan langsung dari orang-orang disekitarnya! Orang-orang dewasa tidak segan-segan mengeluarkan kata-kata pedas, cemohan, makian, dan sejenisnya dihadapan anak-anak kecil, yang selalu siap merekam dan meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa. Anak juga diajak menonton film-film mistik yang membuat dia mejadi takut, dsb. Sejalan dengan ini, puisi yang ditulis oleh Dorotty Nolte sangat baik untuk direnungkan. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar bertindak adil. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia belajar menemukan cinta kasih dalam kehidupan. Lalu, kita ingin anak kita belajar apa, semuanya sangat tergantung pada kondisi aksi yang kita berikan kepadanya (Suja, 2004: http://phdi.or.id). Pendidikan mental spiritual dalam keluarga sesungguhnya tidak perlu media khusus. Hanya satu yang diperlukan, yaitu panutan yang baik dari orang-orang yang ada di sekitar anak. Seekor anak singa yang disusui oleh induk sapi dan dibesarkan dalam lingkungan sapi, dia akan tumbuh sebagai hewan yang jinak. Apalagi manusia yang pada dasarnya lebih bermental positif dan spiritual dibandingkan hewan. Dalam upaya untuk membimbing mental spiritual anak, cara-cara belajar tradisional, misalnya tradisi orang Bali, dapat kita hidupkan kembali. Sebagai contoh, melajah sambil megending (belajar sambil bernyanyi), melajah sambil mesatwa (belajar sambil berceritera), melajah sambil mecanda (belajar sambil bermain), melajah sambil megae (belajar sambil bekerja), dan sekarang muncul lagi melajah sambil melali (belajar sambil berkunjung) (Suja, 2004: http://phdi.or.id). III. Penutup 140 Dari uraian di atas telah diuraikan betapa pentingnya pendidikan anak usia dini. Hal tersebut sejalan dengan Konsep Pendidika Hindu yang diberikan kepada semua lapisan umat Hindu dimanapun ia berada. Sesungguhnya konsep tentang pendidikan dalam agama Hindu telah dikenal sejak dahulu kala, yang lebih diperjelas keberadaannya ketika jaman upanisad. “Kegiatan pendidikan dalam agama Hindu disebut “aguron-guron” atau asewakadharma” (Titib,2003: 15). Sumber pendidikan Hindu secara lengkap dan fleksibel dituangkan dalam kitab Manu Smerti SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016 Manawa Dharmasastra. Kefleksibelan dalam menjalankan ajaran itu secara tegas dituangkan dalam kitab Manawa Dharmasastra Buku II Sloka 6 yang menyatakan: “Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama dari pada dharma, kemudian adat istiadat dan tingkah laku orang yang terpuji dari orang yang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Weda, juga tata cara peri kehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi”. Daftar Pustaka Kuntjojo, 2010. Strategi Pembelajaran untuk Anak Usia Dini. Dalam: https://ebekunt. wordpress.com. Diunduh: 26-072016. Muda, Ahmad A.K. (2006). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Reality Publisher. Rini Andriani. 2015. Pendekatan Pembelajaran pada Anak Usia Dini. Dalam: http://www.membumikanpendidikan.com. Diunduh: 26-07-2016. Sija, I Wayan. Desember 2004. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga. Warta Hindu Dharma No. 455. Dalam: http://phdi.or.id. Diunduh: 26-07-2016. Suarta, I Komang. 2015. Memahami Psikologi Anak sebagai Kunci Pemahaman Pendidikan Hindu. Dalam: https://plus.google.com. Diunduh: 26-07-2016. Titib, I Made. (2003). Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak (Perspektif Agama Hindu). Jakarta: Ganeca Exact. 141 SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016