mengelola konflik perbedaan budaya profesi

advertisement
MENGELOLA KONFLIK PERBEDAAN BUDAYA PROFESI
WARTAWAN DAN HUMAS
Muhammad Badri, M.Si
[email protected]
(Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FDK UIN Suska Riau.)
ABSTRAK
Konflik dapat terjadi karena perbedaan profesi. Sebab semua profesi memiliki
budaya kerja, kode etik, dan standar operasional yang berbeda pula. Contoh kasus
konflik akibat budaya profesi adalah antara wartawan dengan humas. Sebab
keduanya meskipun selalu berhubungan tapi memiliki tugas dan peran yang
kontras. Wartawan menjalankan fungsi sebagai kontrol sosial sehingga kerap
mengkritisi perusahaan. Sementara humas berusaha menjaga reputasi perusahaan
melalui pembentukan citra positif di benak masyarakat, salah satunya
memanfaatkan media. Konflik kepentingan tersebut dapat dihindari bila masingmasing menghargai budaya profesi. Tapi bila tetap terjadi konflik, humas harus
memahami regulasi yang berlaku dalam rangka melindungi kebebasan pers yaitu
UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, bukan melalui KUHP yang berpotensi
mempertajam konflik. Sesuai UU Pers permaslahan dengan pers bisa diselesaikan
melalui hak jawab, yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan
nama baiknya.Namun bila hak jawab tidak ditanggapi bisa langsung mengadu ke
Dewan Pers yang dapat berperan sebagai mediator.Sebab fungsi Dewan Pers
antara lain adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan
pers, serta mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
Kata Kunci: Konflik Wartawan dan Humas
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perbedaan profesi dapat menyebabkan terjadinya konflik. Karena masingmasing profesi memiliki budaya yang berbeda. Biasanya budaya profesi dipengaruhi
oleh budaya organisasi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di suatu
organisasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh standar operating procedure (SOP) yang
menjadi kerangka acuan bagi suatu pekerjaan tertentu. Apalagi, kalau jenis pekerjaan
tersebut memiliki kode etik yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang bekerja di
bidang tersebut.
1
Salah satu koflik karena perbedaan jenis pekerjaan dalam bidang komunikasi
adalah antara wartawan dengan humas. Padahal para wartawan memerlukan orangorang humas, sama seperti orang-orang humas memerlukan wartawan. Keduanya
saling membutuhkan, untuk kepentingan pekerjaannya masing-masing. Namun kedua
profesi
tersebut
sering
terlibat
dalam
konflik,
ketika
mempertahankan,
pemperjuangkan, atau membela kepentingannya masing-masing.
Ruslan (1999) mengatakan bahwa secara umum pers berfungsi memberikan
informasi, penyebaran pengetahuan, unsur mendidik dan menghibur bagi pembacanya.
Selain itu fungsi khusus
pers adalah kemampuan untuk mempengaruhi opini
masyarakat, melaksanakan sistem kepengawasan sosial. Hal
tersebut memiliki
pertentangan dengan fungsi PR yang justru berkaitan dengan publikasi bersifat positif,
dengan penyebaran informasi atau pesan untuk meningkatkan pengenalan
(awareness), mendidik, menciptakan citra dan opini masyarakat kepada sesuatu yang
positif serta menghindarkan unsur-unsur pemberitaan atau publikasi yang bersifat
negatif, sensasional, polemik atau kontroversial di masayarakat. Secara lebih jelas
perbedaan antara fungsi PR dan wartawan dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
PERTENTANGAN DAN PERBEDAAN
ANTARA
FUNGSI DAN TUGAS
WARTAWAN
HUMAS
BERUPAYA MENCARI
BERUPAYA MEMPEROLEH
1. ISSUE (RUMOR)
2. NEWS VALUE
3. SENSASIONAL
4. BERITA SEGI NEGATIF
BERITA
1. PUBLISITAS POSITIF
2. SUPERLATIF/PUFF
3. PROMOSI PENGENALAN
4. BERITA SEGI POSITIF
CITRA
Gambar 1. Perbedaan Tugas Wartawan dan Humas (Ruslan, 1999)
2
Seringkali hubungan antara humas dan media menjadi inti dari konflik etis pada
profesi masing-masing. Karena baik humas maupun wartawan memiliki kode etik
profesi yang bisa saling bersinergi atau bertentangan. Dua isu besar yang kerap muncul
dalam hubungan humas dengan media adalah kejujuran dalam komunikasi dan akses
––baik akses humas ke media maupun sebaliknya. Kedua isu yang berpotensi menjadi
masalah ini dapat mempengaruhi hubungan antara humas dan media, serta hubungan
antara organisasi dan masyarakat yang menggunakan media sebagai saluran informasi.
Padahal menurut Parsons (2007), 40-50 persen atau lebih dari semua berita yang
dilaporkan setiap hari berasal dari departemen humas dari pemerintah, bisnis, dan
organisasi nirlaba. Maka hubungan media merupakan salah satu strategi yang penting
dan tentu saja memiliki profil paling tinggi yang digunakan oleh humas untuk
mengkomunikasikan dan mengembangkan hubungan dengan masyarakat. Ini berarti
bahwa hubungan antara humas dan media sebagai publik yang penting sangat
signifikan; akan tetapi, ada dilema etis yang tak terpisahkan dari hubungan ini.
Membangun hubungan dengan media juga dapat diibaratkan menyatukan dua
kepentingan yang berbeda. Karena kepentingan perusahaan dengan media bisa jadi
saling membutuhkan dan menguntungkan, tetapi dalam situasi tertentu bisa menjadi
dua hal yang saling bertentangan. Humas jelas membawa pesan dan kepentingan
perusahaan. Sedangkan media membawa kepentingan yang berbeda pula, kepentingan
perusahaan pers maupun kepentingan individu wartawan. Karena itulah loyalitas
keduanya secara konkret pasti berbeda.
Tabel 1. Peran Kontras antara Wartawan dengan Humas
Tanggung
jawab
Wartawan
Para wartawan terarah kepada pihak
perusahaan
penerbit
yang
segala
kebijakannya harus ditaati berdasarkan
pengarahan dari sang editor atau pimpinan
redaksi. Pada dasarnya, setiap kebijakan itu
dimaksudkan agar perusahaan penerbit
yang bersangkutan dapat mencetak laba,
baik dari hasil penjualan, pemasangan iklan
atau kedua-duanya. Namun, sebanyak
apapun penghasilan yang diperoleh dari
iklan,
setiap
perusahaan
media
berkeinginan agar medianya diminati
Humas
Praktisi humas tertuju
kepada
perusahaan
induk atau perusahaan
kliennya, selama hal itu
tidak
bertentangan
dengan kode etik humas
PR, segala peraturan
hukum yang berlaku,
serta
kepentingan
umum.
3
Tugas
khalayak. Oleh karena itu, para wartawan
tetap dituntut untuk menurunkan beritaberita atau liputan (feature) yang baik dan
menarik, dalam arti bisa menjadi daya tarik
bagi masyarakat.
Karena adanya tunturan untuk memuaskan
para pembaca, pendengar atau pemirsa,
maka para wartawan akan memuat hal-hal
yang akan menarik minat mereka, bukannya
apa yang diinginkan oleh praktisi humas.
Bertolak dari hal itu, maka ada kalanya para
jurnalis memilih suatu berita yang sama
sekali tidak diinginkan oleh para praktisi
humas. Musibah atau skandal yang melanda
suatu lembaga pemerintahan, misalnya,
merupakan santapan lezat bagi wartawan,
tapi merupakan pil pahit bagi pejabat humas
dari lembaga yang bersangkutan. Beritaberita tentang kecelakaan, penyelewengan,
atau persekongkolan, yang selalu mengisi
media massa jelas bukan merupakan
sesuatu yang menyenang-kan bagi humas
dari organisasi yang terkait. Namun tidak
perduli apakah para humas itu senang atau
tidak, para pembaca memang lebih
menyukai berita-berita semacam itu
ketimbang berita-berita yang serius. Oleh
sebab itu, para praktisi humas harus
menyadari
bahwa
wartawan
tidak
selamanya akan menjadi sekutu atau
sahabat yang menyenangkan. Ini bukanlah
pandangan sinis, melainkan praktis dan
realistis. Hal inilah yang dikenal sebagai
situasi pertentangan (adversarial situation)
yang alamiah
Sumber: Jefkins (2003)
Tugas pokok seorang
praktisi humas adalah
menjalankan programprogram humas yang
telah direncanakan serta
disetujui sebelumnya,
dengan
tujuan
memaksimalkan
pengetahuan
dan
pemahaman khalayak
atas produk, sosok
keseluruhan atau aspekaspek lainnya dari
organisasi/ perusahaan
atau klien.
Perbedaan tugas dan tanggungjawab antara wartawan dengan humas itulah yang
kemudian sering menimbulkan konflik. Dari perspektif wartawan, konflik bisa terjadi
karena humas tidak mau memberikan informasi yang dibutuhkan, menghindar ketika
dimintai konfirmasi, hingga melecehkan wartawan. Sedangkan dari perspektif humas
konflik biasanya terjadi karena wartawan terlalu memaksa untuk mendapatkan
informasi, tidak mengikuti prosedur yang diharapkan, pemaksaan kehendak, hingga
munculnya pemberitaan negatif.
4
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan artikel ini bertujuan untuk melakukan analisis pengelolaan konflik
budaya profesi antara wartawan dengan humas dari perspektif komunikasi. Secara
spesifik tujuan penulisan artikel ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui perbedaan budaya profesi wartawan dengan humas.
b. Mengetahui potensi konflik akibat perbedaan budaya profesi wartawan dengan
humas.
c. Menganalisis penyelesaian konflik antara wartawan dengan humas.
II. KAJIAN TEORITIS
2.1. Konflik dan Budaya Kerja
Fisher dkk (2001) menjelaskan bahwa konflik merupakan hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki
sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Menurut Littlejohn dan Domenici (2007) konflik
ada ketika orang merasa perbedaan-perbedaan yang mereka miliki menjadi masalah
yang memerlukan tindakan khusus. Dengan kata lain, perbedaan menciptakan
hambatan tertentu yang membutuhkan usaha tertentu untuk mengelolanya.
Pickering (2001) menjelaskan bahwa komunikasi yang buruk memperparah
persoalan karena setiap orang yang terlibat dalam konflik mulai secara tidak sadar
mereka-reka motivasi buruk pihak lain. Perbedaan antara pesan yang disampaikan dan
pesan yang diterima akan menimbulkan masalah komunikasi ketika konflik
berlangsung. Tidak mengherankan bila banyak konflik yang berakibat dari
kesalahpengertian. Satu faktor yang membuat komunikasi antarindividu menjadi lebih
rumit adalah penggunaan teknik yang tidak tepat untuk mengatasi konflik. Gaya
menghindar dapat ditafsirkan salah. Toleransi bisa dikira rasa kesal atau sikap tidak
peduli. Hal-hal sepele yang mengesalkan bisa menjadi konflik tahap pertam.
Suatu kasus konflik perlu dianalisis karena: (a) untuk memahami latar belakang
dan sejarah situasi dan kejadian kejadian saat sekarang (b) untuk mengidentifikasi
semua kelompok yang terlibat, tidak hanya kelompok yang menonjol saja (c) untuk
memahami pandangan semua kelompok dan lebih mengetahui bagaimana hubungan
satu sama lain (d) untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungankecenderungan yang mendasari konflik, dan (e) untuk belajar dari kegagalan dan juga
kesuksesan (Fisher, 2001).
5
Kilmann et.al dalam Sutrisno (2011) menjelaskan bahwa pengertian budaya
sebenarnya sangat luas, meliputi berbagai aspek dan bidang, salah satunya dalam
pekerjaan. Dimana budaya kerja berkaitan dengan budaya organisasi. Budaya
organisasi dapat didefinisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinankeyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama
berlaku, disepakati, dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman
perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya.
Liliweri (2007) mengemukakan bahwa komunikasi antarbudaya sendiri dapat
dipahami sebagai pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang
yang saling berbeda latar belakang budaya. Untuk membantu memahami cara-cara
mengelola konflik, Fisher (2001) memberikan ringkasan teori-teori utama penyebab
konflik:
a.
Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu
masyarakat.
b.
Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan
perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
c.
Teori Kebutuhan Manusia
Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar
manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti
pembicaraan.
d.
Teori Identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering
berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak
diselesaikan.
e.
Teori Kesalahpahaman Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara
komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
f.
Teori Transformasi Konflik
6
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan
ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
2.2. Budaya Kerja Wartawan
Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik,
yaitu kegiatan yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers).
Dalam menjalankan pekerjaaannya, wartawan memiliki standar kompentensi
yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Menurut Dewan Pers (2010)
Standar Kompetensi Wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan/ keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas kewartawanan. Standar kompetensi tersebut menjadi alat ukur
profesionalitas wartawan serta diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan
hak pribadi masyarakat.
Kompetensi wartawan pertama-pertama berkaitan dengan kemampuan
intelektual dan pengetahuan umum. Kompetensi ini meliputi kemampuan memahami
etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta
bahasa. Dalam hal yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya,
seperti juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu
mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, serta membuat dan
menyiarkan berita (Dewan Pers, 2010).
Wartawan juga terikat dengan kode etik jurnalistik, yaitu landasan moral dan
etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan
menegakkan integritas serta profesionalisme. Surat Keputusan Dewan Pers No:
03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik menyebutkan 11 Pasal Kode Etik
yang mengatur independensi wartawan, profesionalisme dalam melaksanakan tugas
jurnalistik, pengujian informasi, kejujuran, larangan penyalahangunaan profesi, hak
tolak, privasi narasumber, larangan diskriminasi, mekanisme ralat berita dan
pelayanan hak jawab.
7
2.3. Budaya Kerja Humas dalam Hubungan Media
Humas adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan
berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik dan saling
pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya. Jadi Humas
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa sebagai suatu
rangkaian kampanye atau program terpadu, dan semuanya itu berlangsung secara
berkesinambungan dan teratur (Anggoro, 2005).
Sedangkan orang yang bekerja sebagai profesional humas biasa disebut sebagai
praktisi humas atau Public Relation Officer (PRO). Salah satu kemampuan penting
yang harus dimiliki humas adalah menjadlin hubungan baik dengan kalangan media
massa. Dimana hubungan media (media relations), sering juga juga disebut hubungan
pers (press relations) merupakan salah satu bagian dari kegiatan PR.
Jefkins (2003) mendefinisikan hubungan pers adalah usaha untuk mencapai
publikasi atau penyiaran yang maksimum atas suatu pesan atau informasi PR dalam
rangka menciptakan pengetahuan dan pemahaman bagi khalayak dari organisasi atau
perusahaan yang bersangkutan. Dalam hubungan pers ini, arti penting dan
popularitasnya sangat bergantung pada sejauh mana peranan dan keberadaan media
massa itu sendiri serta tingkat penerimaannya oleh masyarakat.
Iriantara (2005) mendefinisikan pengertian media relations dalam dua hal.
Pertama, media relations itu berkenaan dengan media komunikasi. Media komunikasi
ini diperlukan karena menjadi sarana yang sangat penting dan efisien dalam
berkomunikasi dengan publik. Kedua, media relations itu pada dasarnya berkenaan
dengan pemberian informasi atau memberi tanggapan pada media pemberitaan atas
nama organisasi atau klien.
Berikut ini akan diuraikan beberapa prinsip umum yang perlu diperhatikan oleh
setiap praktisi PR dalam rangka menciptakan dan membina hubungan pers yang baik:
(a) Mamahami dan melayani media; (b) Membangun reputasi sebagai orang yang
dapat dipercaya, (c) Menyediakan materi yang berkualitas baik; (d) Bekerjasama
dalam penyediaan materi; (e) Menyediakan fasilitas verifikasi; (f) Membangun
hubungan personal yang kokoh (Jefkins, 2003).
Parsons (2007) menjelaskan bahwa untuk mensinergikan hubungan humas
8
dengan media tanpa melanggar kode etik masing-masing diperlukan empat pilar.
1.
Kejujuran dan ketepatan
Demi keuntungan masyarakat dan hubungan humas dengan media, humas harus
menggunakan kejujuran dan ketepatan dalam berhubungan dengan media. Ini
bukan berarti keterbukaan total, namun ketika diputuskan menahan informasi,
maka keputusan untuk menahan informasi ini tidak akan menyesatkan seseorang.
Informasi yang menyesatkan sama tidak jujurnya dengan informasi yang penuh
kebohongan.
2.
Kebijaksanaan
Bersikap bijaksana tentang kapan dan bagaimana menggunakan media berarti
bahwa seorang praktisi humas menghindari penyumbatan saluran komunikasi
masyarakat dengan tidak memberikan berita palsu. Menyumbat saluran
komunikasi masyarakat memiliki efek yang merusak masyarakat serta elemen
kepercayaan dalam hubungan antara humas dan media.
3.
Kepekaan
Kepekaan terhadap media adalah salah satu pelumas kepercayaan yang paling
penting dalam hubungan humas dengan media. Menerima telpon/e-mail dari
media dan membalasnya mungkin nampak seperti strategi pendekatan lainnya,
namun hal ini memiiiki pengaruh penting terhadap kepercayaan.
4.
Rasa hormat
Selalu berperilaku profesional dan terhormat, bahkan ketika menghadapi sikap
kasar, merupakan aspek mendasar dari hubungan yang etis––baik dengan media
ataupun dengan semua orang. Memperlakukan orang lain dengan penuh rasa
hormat merupakan langkah pertama menuju interaksi yang bermoral tinggi.
III. PEMBAHASAN
3.1. Penyebab Konflik Wartawan-Humas
Di
negara-negara
yang
wartawannya
memiliki
kebebasan
yang
bertanggungjawab, hubungan wartawan dan humas ditandai dengan adanya sejumlah
konflik kepentingan. Bagi wartawan, humas adalah orang yang selalu punya
kecenderungan memanfaatkan media massa dengan segala cara untuk memperoleh
9
peliputan terhadap lembaga tempat humas itu bekerja, sehingga mengganggu
mekanisme sistem kerja pers yang normal. Sebaliknya bagi humas, wartawan
dianggap sebagai pihak yang mencari-cari kesalahan atau sisi negatif sebuah
organisasi.
Di Indonesia setelah reformasi tahun 1998 kemerdekaan pers mendapat jaminan
undang-undang. Terbitnya Undang Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU
Pers) mempertegas pentingnya kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi.
Dalam UU Pers dijelaskan bahwa pers menjalankan fungsi dan peranannya tanpa takut
mengalami intimidasi dan pembredelan dari pihak manapun.
Sekalipun demikian, menurut Girsang (2007) sebagian masyatakat tetap menilai
bahwa makna kebebasan dan kemerdekaan pers yang dituangkan dalam karya
jurnalistik atau pemberitaan sering kelewat batas. Bahkan sampai muncul istilah
“kebablasan”. Berita yang disajikan oleh pers dianggap kerap menimbulkan efek
negatif yang harus ditanggung oleh warga masyatakat akibat arogansi pers yang
menafsirkan kemerdekaan dan kebebasan pers dengan terlampau longgar. Hal itu pada
akhirnya memunculkan berbagai kecaman terhadap pers. Bahkan dalam kasus-kasus
tertentu, masyarakat juga memperkarakan pers ke pengadilan dengan tujuan
memenjarakan (pidana penjara) insan pers.
Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa wartawan juga manusia, yang tidak
luput dari kesalahan dalam bekerja. Tapi kadang-kadang, wartawan mempunyai motif
tersembunyi, kepentingan yang tertanam atau “cepat tersinggung dan cepat marah”
terhadap narasumber yang kemudian memutarbalikkan pandangan mereka dan apa
yang mereka laporkan. Atau hanya karena malas memverifikasi informasi dan
melakukan konfirmasi terhadap objek pemberitaan. Semua hal di atas bisa menjadi
pemicu sengketa pers.
Tapi salah pemberitaan yang penuh kebencian dan disengaja relatif jarang.
Sebagian besar wartawan adalah individu yang jujur dan pekerja keras. Kecuali
wartawan gadungan, yang melakukan tindakan tercela seperti pemerasan dan
sebagainya. Wartawan profesional umumnya berusaha melakukan pekerjaan dengan
kemampuan terbaiknya. Sengketa pers yang terjadi di Indonesia umumnya karena
terjadi kesalahan dalam pemberitaan. Baik kesalahan karena tidak lengkap dalam
10
melakukan konfirmasi sehingga memenuhi kaidah cover both side, maupun kesalahan
dalam pengutipan wawancara dan pemuatan data.
Menurut Macnamara (1999) meskipun teori konspirasi dan motif politik sering
ditunjukkan sebagai alasan untuk salah pemberitaan di media, penyebab sebenarnya
seringkali jauh lebih mendasar. Salah pemberitaan kadang-kadang terjadi hanya
karena tekanan batas waktu pada wartawan yang membatasi waktu untuk memeriksa
dan memverifikasi informasi. Kesalahan juga terjadi karena kurangnya pengetahuan
wartawan terhadap suatu tema pemberitaan. Beberapa wartawan adalah spesialis
dalam bidang mereka, seperti wartawan ekonomi, wartawan politik, wartawan
kriminal, wartawan olahraga, dan sebagainya. Tetapi sebagian besar lainnya adalah
reporter umum yang meliput sederetan luas isu.
Namun Ketidaktahuan PR dalam penyelesaian sengketa pers juga seringkali
berbuntut panjang dan menimbulkan antipati pers terhadap suatu perusahaan/
organisasi. Kondisi demikian tentu merugikan perusahaan, apalagi kalau sampai
menjadi bulan-bulanan pemberitaan media massa. Karena itu pemahaman terhadap
keduanya diperlukan untuk penyelesaian sengketa wartawan dengan humas.
3.2. Penyelesaian Konflik Wartawan-Humas
Penyelesaian konflik Pers, umumnya dilakukan melalui proses mediasi Dewan
Pers. Hal tersebut juga diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dimana
dalam Pasal 15 Ayat (2) dijelaskan bahwa fungsi Dewan Pers antara lain adalah
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat
atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, serta mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
Apalagi menurut Girsang (2007) penyelesaian melalui jalur hukum yang diatur
dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan KUHPer (Kitab UndangUndang Hukum Perdata) mendapat kecaman dari banyak pihak terutama insan pers,
karena dinilai merupakan kriminalisasi terhadap pers. Sebab UU
Pers telah
menyediakan mekanisme penyelesaiannya, termasuk sanksi hukumnya. Kecuali kalau
kasus hukumnya diluar karya jurnalistik, misalnya wartawan melakukan pemerasan,
penipuan, pencurian, pembunuhan dan sebagainya, maka dapat melalui jalur hukum
menggunakan KUHP.
11
Konflik dengan wartawan bisa juga dimediasi oleh organisasi kewartawanan
tempat wartawan tersebut bernaung, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan
sebagainya. Dapat juga melalui organisasi profesi humas seperti Perhimpunan
Hubungan Masyarakat (Perhumas). Mediasi dalam penyelesaian sengketa wartawanhumas penting dilakukan dibanding melakukan penyelesaian di jalur pengadilan.
Karena kedua profesi tersebut meskipun berbeda tapi saling berhubungan dan
membutuhkan.
Apalagi menurut pendapat Littlejohn dan Domenici (2001) sistem manajemen
konflik harus memanfaatkan mediator dan fasilitator yang dapat membantu partisipan
konflik untuk “menyelamatkan muka” mereka dalam situasi yang mengancam.
Konflik yang terjadi berpeluang akan munculnya sikap ketidakhormatan, memalukan
dan pembelaan diri. Mediator dan fasilitator dengan kemampuan yang mereka miliki
mampu membingkai ulang masalah ini dengan tetap menjaga percakapan berlangsung.
Dalam penyelesaian konflik antara pers dan humas, apabila suatu perusahaan/
organisasi merasa dirugikan karena pemberitaan bisa melalui mekanisme Hak Jawab.
Namun apabila Hak Jawab tidak menyelesaikan masalah atau masalah tersebut tidak
bisa hanya diselesaikan melalui Hak Jawab, maka pihak yang bersengketa dengan pers
dapat mengirim pengaduan ke Dewan Pers.
3.2.1. Meminta Hak Jawab
Apabila humas/perusahaan menjadi korban kesalahan pemberitaan oleh media,
untuk tahap awal dapat mengajukan Hak Jawab dan Hak Koreksi kepada media
bersangkutan. Dimana dalam Pasal 1 UU No. 40/1999 tentang Pers disebutkan Hak
Jawab merupakan hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sedangkan Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau
membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya
maupun tentang orang lain. Media juga wajib memberikan hak koreksi, yaitu
keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini,
atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
12
Berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang
Pedoman Hak Jawab, dijelaskan bahwa fungsi Hak Jawab adalah: (a) Memenuhi hak
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat; (b) Menghargai martabat dan
kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers; (c) Mencegah atau
mengurangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers; (d)
Bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers.
Sedangkan tujuan Hak Jawab adalah untuk: (a) Memenuhi pemberitaaan atau
karya jurnalistik yang adil dan berimbang; (b) Melaksanakan tanggung jawab pers
kepada masyarakat; (c) Menyelesaikan sengketa pemberitaan pers; (d) Mewujudkan
iktikad baik pers.
3.2.2. Pengaduan ke Dewan Pers
Dalam lampiran Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013
Tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers, dijelaskan beberapa hal:
a. Pengaduan adalah kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi
yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada
Dewan Pers.
b. Pengadu adalah seseorang atau sekelompok orang, atau lembaga/instansi yang
menyampaikan keberatan atas hal-hal yang terkait dengan karya dan atau kegiatan
jurnalistik kepada Dewan Pers.
c. Teradu adalah wartawan, perusahaan pers, seseorang atau sekelompok orang, atau
lembaga/instansi yang diadukan.
d. Kuasa adalah seseorang atau sekelompok orang, atau lembaga/instansi yang
mendapat kuasa secara tertulis untuk mewakili pengadu atau teradu.
e. Karya jurnalistik adalah hasil kegiatan jurnalistik yang berupa tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, elektronik dengan menggunakan sarana yang
tersedia.
f. Kegiatan jurnalistik adalah kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
13
Secara administratif prosedur pengaduan ke Dewan Pers dapat digambarkan
melalui diagram berikut ini:
PENGADUAN
 Diajukan secara tertulis atau
dengan mengisi formulir
 Mencantumkan identitas diri.
 Menyebutkan nama media dan
deskripsi persoalan yang diadukan
PENANGANAN
 Dilakukan di Sekretariat Dewan
Pers atau di tempat lain
 Proses penanganan paling lambat
14 hari kerja
 Perkembangan
penanganan
diumumkan di website DPers.
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
 Dewan Pers melakukan pemeriksaan atas bukti dan keterangan dari pengadu dan teradu
untuk mengeluarkan keputusan.
 Dewan Pers dapat menyelesaikan pengaduan melalui mekanisme surat-menyurat,
mediasi dan atau ajudikasi.
 Hasil mediasi para pihak dituangkan dalam Hasil Penyelesaian Pengaduan dan
ditandatangani oleh para pihak.
 Hasil mediasi prinsipnya bersifat tertutup, kecuali para pihak sepakat untuk terbuka.
 Jika mediasi tidak mencapai sepakat, Dewan Pers akan mengeluarkan Pernyataan
Penilaian dan Rekomendasi.
 Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi ditetapkan melalui Rapat Pleno dan
disampaikan kepada pengadu dan teradu serta diumumkan secara terbuka.
Gambar 2. Skema Pengaduan ke Dewan Pers
Dalam konflik ini Dewan Pers pada dasarnya menjadi penengah yang membantu
wartawan dan humas menyelesaikan sengketa. Karena salah satu fungsinya adalah
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat
atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Menurut Nugroho
(2009) mediator juga membantu para pihak untuk membingkai persoalan yang ada
agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara bersama. Karena peran utama yang
mesti dijalankan mediator adalah mempertemukan kepentingan-kepentingan yang
saling berbeda, agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak
pemecahan masalahnya.
Dalam mediasi konflik wartawan dengan humas oleh Dewan Pers tersebut
tentunya mengutamakan dialog. Karena bila mengacu konsep Littlejohn dan
Domenici (2001), dengan dialog maka dapat:
a.
Menemukan inti masalah
14
Dalam sebuah dialog – apakah itu dilakukan secara mediasi; sebuah kelompok
kecil, privat atau sebuah forum publik, peserta diharapkan akan belajar tentang
nilai, prinsip-prinsip moral dan ketertarikan. Mereka diharapkan dapat
mengekspresikan dengan jelas dan mengakui orang lain. Dimana wartawan dan
humas harus saling mengakui perbedaan profesi masing-masing dan mencari
kesamaannya dalam konteks kerja sama yang saling menguntungkan.
b.
Membangun respek
Hasil positif dialog lainnya adalah membangun hubungan kerja di masa depan.
Sebab respek jarang dihasilkan dari resolusi konflik tradisional (tanpa dialog).
Karena tanpa mediasi justru menghasilkan sikap tidak respek, permusuhan dan
bahkan kebencian. Sikap respek harus dibangun oleh wartawan dan humas, agar
terjadi kesepahaman dan saling menghormati profesi masing-masing.
c.
Meredakan polarisasi/ pertentangan
Kecenderungan polarisasi sangat akut ketika konflik menjadi emosional. Tanpa
dialog dalam sebuah mediasi, pertentangan akan semakin tinggi. Tapi dengan
adanya mediasi yang dilakukan oleh Dewan Pers yang dijalankan sesuai dengan
UU Pers, maka pertentangan dapat diatasi.
d.
Membangun sebuah kontek untuk kolaborasi
Literatur tentang resolusi konflik penuh materi pada kolaborasi yang disebut
penyelesaian masalah integratif, berdasarkan tawar menawar, berprinsip
negosiasi. Dialog antara wartawan dengan humas menawarkan sebuah cara
untuk membangun dasar kolaborasi dalam hubungan kerja di masa mendatang.
IV. PENUTUP
Konflik perbedaan profesi dapat terjadi karena masing-masing profesi memiliki
budaya berbeda. Salah satu koflik karena perbedaan profesi dalam bidang komunikasi
adalah antara wartawan dengan humas. Meski kedua
profesi tersebut saling
membutuhkan, namun karena perbedaan kultur kerja maka dapat mengakibatkan
konflik. Apalagi kalau kedua pihak saling mempertahankan, pemperjuangkan, atau
membela kepentingannya masing-masing. Baik dalam konteks organisasi mau kode
etik profesi.
Perbedaan ruang lingkup dan tujuan pekerjaan wartawan dengan humas sering
15
menjadi akar permasalahan timbulnya konflik. Dari perspektif wartawan, konflik
dapat terjadi karena humas tidak mau memberikan informasi yang dibutuhkan,
menghindar ketika dimintai konfirmasi, hingga melecehkan profesi wartawan.
Sedangkan dari perspektif humas konflik timbul karena wartawan terlalu memaksa
untuk mendapatkan informasi, tidak mengikuti prosedur, pemaksaan kehendak, hingga
munculnya pemberitaan negatif.
Ketika konflik antara wartawan dan humas terjadi, mekanisme penyelesain
konfliknya menurut UU Pers yaitu melalui proses mediasi di Dewan Pers. Apalagi
penyelesaian melalui jalur hukum oleh publik dianggap sebagai bentuk kriminalisasi
terhadap pers. Sebab UU Pers sudah menyediakan mekanisme penyelesaiannya,
termasuk sanksi hukumnya. Namun sebelum melalui Dewan Pers, humas yang
mengalami permasalahan dengan wartawan dapat meminta hak jawab atau hak koreksi
ke media bersangkutan. Apabila mekanisme tersebut diabaikan oleh media tersebut
dapat mengadukannya ke Dewan Pers. Berikutnya Dewan Pers akan melakukan
mediasi dan menyeluarkan pernyataan atau rekomendasi atas permasalahan yang
diadukan.
Apalagi sesuai UU Pers, perusahaan pers yang tidak melayani hak jawab selain
melanggar kode etik jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda hingga
ratusan juta rupiah. Begitu juga dengan pihak-pihak yang menghalangi kemerdekaan
pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dapat
dikenai sanksi yang sama. Artinya, baik wartawan maupun humas sama-sama
dilindungi dalam menjalankan profesinya agar tidak saling merugikan. Kalau kedua
profesi tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya dengan saling menghargai dan
menghormati, maka konflik antara wartawan dengan humas mudah-mudahan tidak
sering terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, Linggar. 2005. Teori dan Profesi Kehumasan. Jakarta, Bumi Aksara.
Dewan Pers. 2010. Standar Kompetensi Wartawan. Jakarta, Dewan Pers.
Fisher, Simon, dkk. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi untuk
Bertindak. London, Zed Book Ltd.
Girsang, J. 2007. Menyelesaikan Sengketa Pers. Jakarta, Gramedia.
16
Iriantara, Y. 2005. Media Relations: Konsep, Pendekatan, dan Praktik. Bandung,
Simbiosa.
Jefkins, Frank. 2003. Public Relations. Jakarta, Erlangga.
Liliweri, Alo. 2007. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Littlejohn, Stephen dan Domenici, Kathy. 2001. Engaging Communication In
Conflict. London, Sage Publication Inc.
Littlejohn, Stephen dan Domenici, Kathy. 2007. Communication,Conflict, and The
Management of Difference. Illinois, Waveland Press Inc.
Macnamara, Jim. 1999. Strategi Jitu Menjinakkan Media. Jakarta, Mitra Media.
Nugroho, Susanti Adi. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jakarta, Telaga Ilmu Indonesia.
Parsons, Patricia J. 2007. Etika Public Relations. Panduan Praktik Terbaik. Jakarta,
Jakarta.
Pickering, Peg. 2001. How To Manage Conflict. Kiat Menangani Konflik. Edisi
Ketiga. Jakarta, Erlangga.
Ruslan, Rosady. 1999. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi. Jakarta, Raja
Grafindo Persada.
Sutrisno, Edy. 2011. Budaya Organisasi. Jakarta, Kencana.
Sumber lain:
Undang Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers
Peraturan Dewan Pers No. 3/Peraturan-DP/VII/2013 Tentang Prosedur Pengaduan ke
Dewan Pers
Peraturan Dewan Pers No. 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab
Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik
17
Download