Tidak berjudul - e-Journal UIN Alauddin Makassar

advertisement
Muhaemin
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
PEMIKIRAN MUHAMMAD NATSIR TENTANG PERTAUTAN AGAMA
DENGAN NEGARA
Muhaemin
Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik
UIN Alauddin Makassar
Jln Sultan Alauddin No 36 Samata Gowa
Email: [email protected]
Abstract;
This article examines the thinking of Muhammad Natsir of religion and state.
The aim of this study is to describe descriptively about Muhammad Natsir view
the relation between religion and state in the context of Indonesia. The research
method used in this research is the study of literature by searching texts relating
to Muhammad Natsir and religion and the state. The sources referenced text not
only from the writings directly from Muhammad Natsir are referred to as
primary sources but also refers to the intellectual outlook of Muhammad Natsir
which is also known as a secondary source. This study came to the conclusion
that Muhammad Natsir is the figure of the intellectual and activist Indonesia in
the 19th century which has been struggling for unification between religion and
state in the context of Indonesia. Religion and state are two entities that should
not be separated. Religion has taught widely to the public how good state.
Religion loading concepts clear rule that can be used as a reference in managing
government. For him the unification of religion and state is a fixed price, but do
not have to do with violent means. He did not agree with the ways DI fighting
Islam by means of rebellion against authority. For him, Islam is shown in the
concept of the ideal state to bring peace, love not the face of violence.
Keywords;
Muhammad Natsir – Religion – State - Unification
Abstrak:
Artikel ini mengkaji pemikiran Muhammad Natsir tentang agama dan negara.
Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan secara deskriptif tentang
pandangan Muhammad Natsir relasi agama dan negara dalam konteks
Indonesia. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan dengan menelusuri teks-teks yang berkaitan dengan
Muhammad Natsir serta agama dan negara. Sumber-sumber teks yang
dijadikan rujukan tidak hanya berasal dari tulisan-tulisan langsung dari
Muhammad Natsir yang disebut sebagai sumber primer tetapi juga merujuk
kepada pandangan intelektual tentang Muhammad Natsir yang juga dikenal
sebagai sumber sekunder. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa
Muhammad Natsir adalah sosok intelektual serta aktivis Indonesia pada abad
19 yang telah memperjuangkan penyatuan antara agama dan negara dalam
180
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
Muhaemin
konteks Indonesia. Agama dan negara adalah dua entitas yang tidak boleh
dipisahkan. Agama telah mengajarkan secara luas kepada masyarakat
bagaimana cara bernegara yang baik. Agama memuat konsep-konsep
pemerintahan yang jelas yang bisa dijadikan rujukan dalam mengelola
pemerintahan. Baginya penyatuan agama dan negara adalah harga mati, tetapi
tidak harus dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ia tidak setuju dengan caracara DI yang memperjuangkan Islam dengan cara makar terhadap penguasa.
Baginya, Islam yang ditampilkan dalam konsep kenegaraan idealnya yang
membawa kedamaian, cinta kasih bukan wajah kekerasannya.
Kata Kunci;
Muhammad Natsir – Agama – Negara - Kesatuan
I. PENDAHULUAN
acana tentang pertautan agama (al-din) dengan negara (al-daulah)
telah menjadi diskursus pemikiran politik Islam sejak akhir abad ke
18 dan awal abad ke 19. Adalah tokoh-tokoh pemikir kenamaan
Mesir yang telah mengulas habis tema tersebut. Jika ditilik dari sejarah
pembaharuan Islam, dimana dimotori oleh Mesir, paling tidak, ada tiga arus
besar dalam persoalan ini. Arus pertama berkeyakinan bahwa Islam adalah
agama yang lengkap dan telah mengcover segala sendi kehidupan manusia
termasuk dalam hal ketatanegaraan. Islam, menurut aliran ini, tidak perlu lagi
mengadopsi sitem Barat dalam pemerintahan karena apa yang telah di
contohkan oleh nabi dan khulafa rasyidin telah menjadi referensi paripurna.
Dengan kata lain, tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan Negara
karena Islam adalah seperangkat norma atau aturan yang mesti dijabarkan
dalam penyelenggaraan negara dan hanya bisa ditegakkan dengan memakai
perangkat negara. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini adalah Syekh Hasan alBanna, Sayyid Qutub, Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling getol adalah
Abu A’la al-Maududi.
Selanjutnya, alur kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama yang
sama sekali tidak berkaitan dengan urusan kenegaraan. Nabi menurut aliran ini
adalah hanya rasul biasa sebagaimana rasul-rasul sebelumnya dengan tugas
utama adalah mengajak manusia kepada jalan yang benar dan menjunjung
tinggi budi pekerti luhur. Pemerintahan nabi baik di Mekkah maupun di
Medinah tidak dimaksudkan untuk pembangunan negara. Ali Abd Raziq dan
Taha Husain adalah dua aktor utama dalam aliran ini.
Mazhab ketiga adalah kelompok yang berkeyakinan bahwa Islam tidak
membawa sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika
bagi kehidupan bernegara. Muhammad Husain Haikal adalah tokoh sentral
dalam mazhab ini.1
Polemik tiga mainstream diatas ternyata tidak hanya terjadi di Mesir,
Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, juga
W
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
181
Muhaemin
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
mengalami perdebatan tentang hubungan negara dan agama. Diantara mereka,
ada yang berposisi bahwa Islam harus menjadi ideologi negara. Islam sebagai
agama idealnya mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dan tidak
merujuk kepada konsep lain selain Islam. Islam pada titik ini, telah memiliki
seperangkat aturan atau tatanilai yang bisa dipakai dalam hal pengelolaan
negara. Disinilah kemudian, tokoh sekaliber Muhammad Natsir tidak boleh
dinafikan dalam pentas awal perpolitikan bangsa. Dalam beberapa literature, ia
disebut pejuang penegak ajaran Islam yang telah memberikan kontribusi besar
dalam perjuangan bangsa. Namanya tidak hanya dikenal vocal pada level
nasional, tetapi ia bahkan disegani oleh bangsa luar, tidak terkecuali Jepang,
Malaysia, Filipina, bahkan Arab Saudi.
Sementara di pihak lain, kelompok yang tidak menginginkan Islam
sebagai ideology juga eksis di pentas pemikiran politik awal Indonesia.
Soekarno dalam hal ini adalah tokoh yang paling getol memperjuangkannya.
Islam sebagai agama menurut Soekarno, idealnya dipisahkan dengan persoalan
negara. Dengan kata lain al-din dan al-daulah adalah dua hal yang berbeda.
Agama tempatnya lain, sementara negara juga di pihak lain. Islam dalam hal
ini tidak boleh ikut hadir dalam pengelolaan negara. Keyakinan ini melahirkan
konsep nasionalis yang melekat dalam diri Soekarno. Perbedaan konsep ini
pada gilirannya menjadi sejarah tersendiri bagi kedua tokoh ini. Soekarno
disatu sisi, sementara Muhammad Natsir di sisi lain. Singkatnya, Soekarno
mengatakan bahwa “tak ada ijma ulama tentang agama dan negara harus
bersatu”. Pernyataan ini dijawab oleh Muhammad Natsir “mana pulakah ijmaijma ulama yang mengatakan agama dan negara tidak harus bersatu?”.2
Begitulah sekelumit polemik antara Soekarno versus Muhammad Natsir.
Uraian lebih lanjut tentang persoalan ini akan dibahas lebih lanjut. Hanya saja
makalah ini berfokus kepada pemikiran Muhammad Natsir tentang agama dan
negara. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, pikiran-pikiran
Soekarno tetap akan disinggung. Sebelum mengurai lebih lanjut, ada baiknya
menyimak sekilas tentang Muhammad Natsir.
A. Muhammad Natsir: Selayang Pandang
Muhammad Natsir lahir di ranah Minang, tepatnya Alahanpanjang,
Solok, 17 Juli 1908. Perlu diketahui bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, ranah Minang dikenal dengan daerah pergulatan pemikiran antara adat
dan agama, antara kelompok tradisional (kaum tua) dan kelompok modernis
(kaum muda). Deliar Noer, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Iqbal,
mencatat bahwa daerah ini memegang peranan penting dalam penyebaran citacita pembaruan pemikiran Islam ke daerah lain. Di daerah ini pula terlihat awal
tanda pembaruan tersebut, pada saat daerah lain merasa puas dengan praktekpraktek tradisional.3 Salah seorang tokoh pembaru yang dengan gigih
melakukan reformasi di Minangkabau adalah Dr. H Karim Amrulla (ayahanda
Buya Hamka). Demi reformasi Islam, Amrullah rela mengorbankan segala
182
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
Muhaemin
hartanya termasuk dirinya. Tulisan-tulisannya banyak memberi pengaruh yang
besar terhadap purifikasi ajaran Islam.4
Di tempat inilah Natsir berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam
modern ketika ia mulai pendidikan formalnya. Ia sekolah di HIS Adabiyah,
Padang, sebuah sekolah yang didirikan Dr. H. Abdullah Ahmad (1878-1933),
salah seorang pembaru yang banyak menyebarkan gagasan-gagasan
Muhammad Abduh (1849-1905). Pada sore harinya ia belajar al-Qur’an, sesuatu
yang lazim dipraktekkan ol eh anak-anak Minang. Setelah menyelesaikan
sekolah formal di Minangkabau, dia melanjutkan studi AMS ke Bandung. Di
sini ia berkenalan dengan Ahmad Hassan (1887-1957) di Bandung, tokoh Persis
yang terkenal berani, tegas dalam pendirian. Lewat Hassan, Natsir semakin
mendalami ide-ide modern Muhammad Abduh. Bahkan Natsir mengakui
bahwa Muhammad Abduh memberi pengaruh yang besar terhadap
perkembangan intelektualnya. Natsir sangat terkesan dengan tafsiran
Muhammad Abduh bahwa Islam adalah sistem sosial. Selain pengaruh dari
Abduh, Haji Agus Salim juga memberi pengaruh kepada Natsir terutama
tentang konsep Islam dalam hubungannya dengan modernitas.5
Untuk mengembangkan bakat politik dan wawasan keislamannya, di
Bandung, Natsir bergabung dengan kelompok diskusi yang kemudian dikenal
Jong Islamiten Bond (JIB) yang didirikan pemuda Sjamsurijal. Bahkan ia
menjabat sebagai ketua cabang JIB Bandung. Lewati JIB inilah, Natsir dengan
beberapa temannya seperti Muhammad Roem, Yusuf Wibisono dan Prawoto,
mendapatkan siraman modernitas dari Haji Agus Salim. Tokoh lain yang juga
memberi pengaruh terhadap perkembangan pemikirannya adalah Syekh
Ahmad Soorkati (1870-1940), tokoh pendiri al-Irsyad yang sangat menentang
diskriminasi dan ekslusivisme kaum sayyid. Soorkati juga memiliki pandangan
modern sebagaimana Ahmad Hassan.6
Selain di JIB, Natsir ikut terlibat dalam politik praktis lewat PERSIS. Ia
bergabung pada sayap media Persis yang dikenal dengan Pembela Islam. Perlu
diketahui bahwa Persis sebagai organisasi sosial dan pendidikan bertujuan
untuk , sebagaimana disebut dalam anggaran dasarnya, “memperjuangkan
berlakunya hukum-hukum Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan sunnah
dalam masyarakat”. Paling tidak ada dua bidang penting dalam kegiatan Persis
yaitu kegiatan jurnalistik atau media dan kegiatan dakwah.7 Media ini menjadi
alat untuk mensosialisasikn ide-ide Islam yang anti kepada kolonialisme.
Sebagai anggota dewan redaksi media Pembela Islam, Natsir mencoba
membangkitkan kesadaran kaum pribumi bahwa Pemerintahan Kolonial
Belanda memiliki agenda sendiri yaitu Kristenisasi. Menurutnya, sangat sulit
membedakan antara kolonialisme dan kristenisasi. Dukungan moral dan
financial terhadap proses Kristenisasi adalah tantangan sendiri bagi Inlander
(pribumi) untuk menangkis gerakan tersebut.8
Selain gerakan kristenisasi, peristiwa lain yang memperkuat cita-cita
politik keislaman Natsir adalah kehadiran PNI (Partai Nasional Indonesia)
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
183
Muhaemin
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
yang dimotori oleh Ir Soekarno dan Cipto Mangunkusumo. PNI ini seringkali
melakukan propaganda-propaganda politiknya akan arti pentingnya
nasionalisme ketimbang memperjuangkan agama sebagai ideology bangsa.
Bahkan seringkali tokoh-tokoh PNI melecehkan tokoh-tokoh Islam. Bahkan
tokoh-tokoh Islam yang terlibat di partai Islam juga dianggap sebagai “partai
para Imam” yang menyembunyikan isu-isu sosial ekonomi dan masyarakat
dibalik isu-isu keagamaan.9 Kondisi inilah yang membuat Natsir semakin
antipati terhadap PNI.10 Kondisi ini nantinya tercermin bagaimana polemic
berkepanjangan yang terjadi antara Soekarno dan Natsir terutama tentang
konsep negara.
Untuk melanjutkan perjuangannya, Natsir kemudian aktif di partai
Politik Masyumi pada tahun 1946, dan dalam Kabinet Syahrir, ia diangkat
sebagai menteri penerangan. Natsir dapat bertahan dalam jabatannya ini
selama tiga cabinet hingga 1949. Prestasi Natsir yang tercatat dalam sejarah
Islam yaitu pada tahun 1950. Natsit berjasa menyelamatkan republic ini dengan
mosi integralnya. Mosi ini berhasil menyatukan kembali Indonesia yang
tadinya dipecah-pecah menjadi 17 negara bagian kedalam republic. Agresi
militer yang dilakukan oleh Belanda pada 1947 dan 1948 untuk menguasai
kembali Indonesia ternyata tidak berhasil. Sebagai jalan keluarnya, maka
dibuatlah KMB (Konferensi Meja Bundar) yang intinya untuk menjadikan
Indonesia terpecah-pecah kepada beberapa bagian sehingga memudahkan
untuk diadu domba. Nampaknya, agenda Belanda ini tercium oleh Natsir,
sehingga ia mengeluarkan mosi integralnya. Keberhasilan ini semakin
mengangkat popularitas Natsir sehingga ia kemudian dipercaya sebagai
Perdana Menteri.11
Disini kemudian, bisa dilihat bagaimana semangat nasionalisme Natsir
sangat tinggi. Pembelaanya kepada bangsa supaya tidak terjadi kolonialisasi
kembali membuktikan bahwa dia adalah seorang nasionalis sejati selain label
yang selama ini lebih banyak dialamatkan kepada dia sebagai tokoh pembela
Islam.
Konsistensinya dalam memperjuangkan bendera-bendera Islam, Natsir,
setelah keluar dari penjara atas tuduhan subversif, ia tetap melakukan dakwah
islamiyah dengan membangun Dewan Dakwah Islamiah Indonesia
(DDII)sebagai wadah perjuangannya dalam menegakkan panji-panji Islam.
B. Natsir dan Negara Islam
Sejak awal Natsir berpandangan bahwa Islam bukan hanya sekedar agama
pribadi yang mengurus soal-soal hubungan manusia kepada Tuhan (hablun
minallahi). Islam adalah agama yang lengkap mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, termasuk politik ketata negaraan. Islam tidak mengenal
pemisahan antara agama dan politik. Memang kalau diteliti ayat-ayat al-Qur’an
maupun hadis nabi,12 tidak ada satupun yang memerintahkan untuk
184
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
Muhaemin
menegakkan negara, namun bagi Natsir, negara diperlukan baik itu ada
perintah atau tidak dalam ajaran Islam. Menurutnya, tidak perlu ada perintah
untuk mendirikan negara. Yang penting adalah adanya patokan-patokan untuk
mengatur negara supaya negara mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara
menurutnya bukan tujuan. Ia adalah alat untuk membangun kesejahteraan buat
rakyat.13 Natsir mengatakan
“suatu negeri yang pemerintahannya tidak memperdulikan
kepentingan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan dungu, tidak
mencukupkan sarana yang perlu untuk kemajuan agar tidak tercecer
dengan negara-negara lain, dan yang kepala-kepalanya menindas rakyat
dengan memakai Islam sebagai kedok, atau memakai ibadah sebagai kedok,
sementara kepala-kepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan
maksiat…….maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintahan
Islam”14
Kutipan diatas memberi isyarat bagaimana Natsir itu memandang bahwa
bentuk negara itu tidak penting. Yang penting bagaimana negara itu dapat
mensejahterakan rakyatnya dan tidak menjadikan rakyatnya menjadi bodoh.
Kelihatannya Natsir ingin menempatkan negara sebagai alat untuk
mewujudkan kemakmuran supaya bisa bersaing dengan negara-negara maju.
Meskipun pemerintahnya adalah orang Islam tetapi tidak menjadikan
kesejahteraan sebagai tujuan utama, maka bukanlah pemerintahan Islam.
Bagi Natsir, oleh karena negara adalah alat untuk merealisasikan hukumhukum Allah, maka hal itu dapat diartikan bahwa negara itu bisa saja sifatnya
sementara. Sebab manakala tujuan Islam itu telah tercapai, dengan sendirinya
ada kemungkinan negara itu tidak dibutuhkan lagi. Dari sini kemudian, Natsir
berpendapat bahwa konsep penyatuan agama dan negara tidak perlu lewat
ijma ulama. Karena menurutnya, negara memang suatu keharusan untuk
menjabarkan hukum-hukum Allah. Pendapat ini sekaligus jawaban terhadap
Soekarno yang mengatakan bahwa tidak ada ijma ulama yang mengatakan
bahwa negara dan agama harus bersatu.
Tentang pemimpin negara, menurut Natsir, namanya bisa saja berbedabeda dan tidak harus bergelar khalifah. Yang penting adalah bahwa kepala
negara haruslah ulil amri kaum muslimin dan sanggup menjalankan peraturanperaturan Islam dalam ketatanegaraan. Karenanya, Natsir mensyaratkan kepala
negara adalah harus berwibawa, amanah, cinta agama dan cinta tanah air.
Kepala negara adalah representasi dari negara, oleh karena itu, syarat wibawa
dibutuhkan agar apa yang diperintahkan kepala negara berjalan dengan baik
dan dipatuhi oleh rakyatnya, dan amanah dibutuhkan supaya ia tidak
menyimpang dari ajaran Islam. Karenanya, Natsir juga mensyaratkan cinta
kepada agama bagi seorang kepala negara.15
Pandangan Natsir diatas tentu saja sangat modern, karena ia tidak
berangan-angan tentang negara khilafah sebagaimana Rasyid Ridha, Sayyid
Qutub. Dalam pandangan Natsir, perkembangan kenegaraan masa nabi dan
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
185
Muhaemin
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
khulafa rasyidin adalah cermin bagaimana misi kemaslahatan dan
kesejahteraan rakyat menjadi penting ketimbang dari bentuk pemerintahan itu
sendiri.16 Menurut Natsir, Islam sangat hati-hati dalam pemilihan pemimpin.
Fit dan proper test itu sangat penting dalam rangka mencari pemimpin yang
ahli di bidangnya. Dengan kata lain, Natsir menginginkan sikap
profesionalisme dalam memilih pemimpin. Ia merujuk kepada hadis nabi yang
artinya, “apabila satu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka
tunggulah saat kerusakannya” (HR Bukhari).17
Meskipun demikian, Natsir tetap membayangkan hadirnya pemerintahan
Islam. Pemerintahan yang tidak seperti yang dibayangkan oleh Soekarno dan
Kemal al-Taturk. Negara islam yang tidak hanya menampilkan wajah halal
haram suatu persoalan, atau hukum potong tangan dan seterusnya, tetapi
pemerintahan yang menegakkan ajaran Islam. Menurutnya, Islam
memerintahkan untuk menuntut ilmu, membayar zakat, mengatur
perkawinan, melarang perjudian, zina. Bagaimana yang demikian ini dapat
terwujud kalau pemerintahannya tidak peduli karena Negara netral agama?
Begitu kurang lebih pertanyaan singkat dari Natsir atas realitas bangsa yang
dilihat pada masanya.
Sekali lagi, agama dan negara tidak mungkin dipisahkan. Kalau ada
tokoh pembaru yang mencoba memisahkannya, itu adalah akibat
ketidaktahuannya dalam memotret sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw.
Menurutnya, Islam tidak hanya mengatur persoalan ibadah, shalat, puasa,
zakat, haji dan seterusnya. Tetapi Islam mencakup berbagai macam persoalan
keduniaan, termasuk dalam hal bernegara.18 Hanya saja, konsep pemerintahan
Islam yang dicita-citakan oleh Natsir juga belum terinci dalam pikirannya.
Realitas membuktikan bagaimana Natsir awalnya menjadi sahabat baik dari
Soekarno, teman polemiknya. Artinya bahwa konsep nasionalisme yang
dibawa oleh Soekarno, ini setidaknya menurut penulis, secara tidak langsung
juga disetujui oleh M Natsir.
Berdasarkan pandangan ini, Natsir tidak menolak kemungkinan
diterapkannya sistem Pemerintahan Barat, sejauh tidak bertentangan dengan
nilai-nilai dasar Islam tersebut, sepanjang hal itu baik dan sesuai dengan ajaran
Islam, maka tidak ada salahnya menirunya. Misalnya konsep demokrasi, Natsir
mengatakan bahwa konsep-konsep Islam tentang syurah lebih dekat kepada
demokrasi. Hal ini juga diakui oleh Soekarno. Hanya saja, Natsir menolak
pandangan demokrasi ala Barat yang sekuler terutama dalam pengambilan
keputusan. Ia berpendapat bahwa putusan harus diambil dengan landasan etik
keagamaan. Artinya, Natsir ingin mendamaikan teori kedaulatan Tuhan dan
teori kedaulatan rakyat. Menurut Natsir, Islam menganut paham theistic
democracy yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.19
Konsep diatas telah dibuktikan oleh Natsir ketika menjadi juru bicara
Masyumi (representasi partai Islam) yang berhadapan dengan dua partai besar
yang berhaluan berbeda, PNI (representasi Nasionalis) dan PKI (representasi
186
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
Muhaemin
Marxis/sosialisme). Partai-partai ini adalah hasil dari Pemilu 1955. Dalam
pidatonya di depan Majlis Konstituante 1957, Natsir menegaskan bahwa
Indonesia hanya memilih dua pilihan, sekuler (la diniya) dan agama (diniya).
Pancasila adalah sekuler, tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila
merupakan penggalian dari masyarakat yang netral agama, termasuk gagasan
ketuhanannya. Dalam pancasila, lanjut Natsir, konsep ketuhanan yang maha
esa adalah konsep rasa adanya Tuhan tanpa wahyu. Rasa ketuhanan tersebut
menurut Natsir itu relative. Karena itu, negara yang berdasarkan pancasila
adalah negara yang tidak sepenuhnya mengakar dalam sanubari bangsa
Indonesia. Padahal Islam telah lama mengakar dalam diri bangsa Indonesia.
Karena itu bagi Natsir, adalah wajar kalau Islam kemudian menjadi dasar
negara.20
Natsir mengatakan bahwa ajaran Islam memiliki kesempurnaan bagi
kehidupan bangsa dan negara serta menjamin keragaman hidup berbagai
golongan. Islam memiliki toleransi yang besar dalam kelompok minoritas,
tidak perlu takut pada Islam, karena mereka akan dilindungi dan
kebebasannya akan terjamin.
Kalau melihat tipologi pemikiran politik Natsir, maka ia bisa
dimasukkan dalam tipologi formalistic. Sebuah tipologi yang membayangkan
bentuk-bentuk masyarakat Islam (imagined Islamic Politics) seperti
terbentuknya partai Islam, budaya Islam serta eksperimentasi sistem negara
Islam. Karena itu tipologi ini sangat menekankan formalisasi ataupun
ideologisasi yang mengarah kepada simbolisme keagamaan secara formal.
Selain Natsir, kecenderungan berfikir formalistik lain adalah sejumlah
kelompok Islam dan para politisi Muslim yang duduk di MPRS pada masa
awal orde baru. Dalam siding MPRS, tahun 1968, mereka menghendaki
legalisasi yang dilembagakan pada Piagam Jakarta.21
C. Penutup
Demikianlah perjuangan Natsir dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia
tercatat sebagai tokoh penting Islam yang tidak hanya memperjuangkan
bendera Islam dalam konsep ketatanegaraannya, tetapi juga berusaha
memadukannya dalam konsep nasionalismenya. Baginya penyatuan agama
dan negara adalah harga mati, tetapi tidak harus dilakukan dengan cara-cara
kekerasan. Ia tidak setuju dengan cara-cara DI yang memperjuangkan Islam
dengan cara makar terhadap penguasa. Baginya, Islam yang ditampilkan dalam
konsep kenegaraan idealnya yang membawa kedamaian, cinta kasih bukan
wajah kekerasannya.
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
187
Muhaemin
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
Endnotes
1
Munawir Djazali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press,
2008), h. 1-2
2
M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (Jakarta: Media Dakwah, 2001), h. 78.
3
Muhammad Iqbal, Amin Husain Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), h.219.
4
Ahmad Suhelmi, Politik Negara Islam: Soekarno versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002), h. 30.
Lihat Muhammad Iqbal…, op. cit., h. 219.
5
6
Ibid.,
7
Munawir Kamaluddin, Muhammad Natsir: Rekonstruksi terhadap Pemikirannya terhadap
Pendidikan (Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 45.
8
Ahmad Suhelmi, op. cit., h. 37.
9
Andi Faisal Bakti, Nation Building: Kontribusi Komunikasi Lintas Agama dan Budaya
terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia (Jakarta: Churia Press, 2006), h. 192
10
Ibid.,
11
Muhammad Iqbal, op. cit., h. 220
Ide Natsir ini seirama dengan pendapat Muhammad Asad bahwa al-Qur’an dan sunnah tidak
memberikan landasan bentuk negara secara spesifik. Uraian lebih lanjut lihat Abdullah Ahmed al-Naim,
Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil; Hak asasi manusia dan hubungan Internasional dalam
Islam, terj.Ahmad Suaedi dan Amiruddin al-Raniry, (Yogyakarta: LKiS, 1990), h. 157.
12
13
Ibid.,
14
M, Natsir, op. cit., h.80.
15
Ibid.,
Olaf Schumann, “ Agama Negara dan Civil Society” dalam Kamaruddin Hidayat, Ahmad Gaus
AF (ed.), Islam Negara dan Civil Society (Jakarta: Paramadina, 2005), h.106
16
17
Ibid.,h. 80.
18
Ibid.,
19
Lihat Muhammad Iqbal, op. cit., 223
20
Ibid, h.224
21
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h.146.
188
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Pemikiran Muhammad Natsir tentang Pertautan Agama dan Negara
Muhaemin
DAFTAR PUSTAKA
Djazali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta:
UI Press, 2008.
Natsir, M. Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah,
2001.
Iqbal, Muhammad Amin. Husain Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer.Jakarta: Kencana, 2010.
Suhelmi, Ahmad. Politik Negara Islam: Soekarno versus Natsir . Jakarta: Teraju,
2002.
Kamaluddin, Munawir. Muhammad Natsir: Rekonstruksi terhadap Pemikirannya
terhadap Pendidikan. Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Bakti, Andi Faisal. Nation Building: Kontribusi Komunikasi Lintas Agama dan
Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia . Jakarta: Churia Press,
2006.
Naim, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil; Hak asasi
manusia dan hubungan Internasional dalam Islam, terj.Ahmad Suaedi dan
Amiruddin al-Raniry. Yogyakarta: LKiS, 1990.
Schumann, Olaf. “ Agama Negara dan Civil Society” dalam Kamaruddin
Hidayat, Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara dan Civil Society. Jakarta:
Paramadina, 2005.
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h.146.
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
189
Download