SAKRAMEN BAPTIS Problematika Baptis Bayi Oleh Yusuf. Siswantara. S.S., M. Hum Pene!itian Pustaka Pribadi dalam bidang Teologi Pastoral Untuk Fakultas Filsafat Falmltas Fisafat Universitas Katolik Parahyangan 2010 Diketahui Oleh Dr. Ign. Eddy Putranto, OSC., S.Ag., MA Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Filsafat 2 A. PENGANTAR Saat mendengar kata "Sakramcn", dalam bcnak kita -tnnat katolik-, yang muncul adalah tujuh sakramcn, cntah sebagai salah satu atau kcseluruhan sakramen (baptis, pengakuan dosa, ckaristi, penguatan, perminyakan suci, perkawinan, dan tahbisan). Sementara itu, umat Kristiani lainnya -Kristen Protestan, misalnya- hanya terbayang dua atau tiga sakramcn saja. Di sini, dapat dilihat bahwa sakramen dipandang dan dihayati secara berbeda oleh pengikut Kristus. Baptis, sabh satu dari kctujuh sakramcn, pun tidak luput dari perbedaan pandang dan penghayatan. Pcrbcdaan tersebut tampak, salah satunya, dalam praktik baptis bayi. Bagi umal Katulik, baptis bayl harus dilaksanakan. Dan memang, praktik ini dianjurkan bahkan diatur dengan serius oleh Gereja Katolik. Sementara -.., -.. ·----------"~--- ..... " .. --..- itu, di lain pihak, praktik ini dikritik oleh Gereja Kristen dengal1 beriJi!gai___ ~--·-~·~- .. "~------~---~-----------------·---·-----------·-"----------------·-----·---·-----------------·------------··---------------- ---- .. argumentasi penolakannya. lnilah problematika baptis bayi yang ingin kita bahas dalam makalah ini. Pemhahasan problematika baptis bayi ini tidak bisa tidak mengajak kita untuk melihat maksud dan makna sakramen-sakramen. Untuk itu, pertama-tama, arti dan pemahaman sakramen hendak ditelusuri dengan ujung benang mcrahnya: relasi kebersamaan dalam simbol antara yang ilahi dan yang manusiawi. Dari penelisikan sejarah tujuh sakramen, sifat kebersamaan dan kesatuan sakramen ditampakkkan. Sakramcn bukanlah sakramen 'sckali jadi', melainbn sesuatu yang terus berkembang, bergumul dan berproses bersama budaya dan lingkungan di luar Gereja. Sakramen lnisiasi terbentuk secara deflnitif setelah bergumul sekian lama. Dari refleksi teologisnya, ditemukan kcbersaman dan kesatuan sarkamen inisiasi dengan Allah Trinlter. Refleksi kesatuan itu menJIWaJ ketiga sakramen inisiasi. Pembahasan mengerucut pada sakramen baptis dan problematika baptis bayi. Dalam memandang dan menyikapinya, unsur kebersamaan dan keutuhan tetap menjadi cara memahami persoalan. Demikian pula dengan baptis bayi. Baptis bayi dilihat penting karena dengan baptis ia hidup dalam kebersamaan dalam keseluruhan, yaitu: Allah, sesama, dan a lam. 3 B. SAKRAMEN-SAKRAMEN l. Peristilahan Sakramcn 1 a. Sacramentum Kata sakramen (indo) berasal dari kata Sacramentum (Latin). Kata sacramentum ini berakar dari kata: sacr, sacer (kata benda) yang berarti: suci, lingkungan orang kudus. Dan saCI·are (kata kerja) berarti menyukcikan, mengkuduskan, atau mengkhususkan sesuatu bagi bicang suci. Sacramentum menunjuk tindakan pcnyucian atau hal pengkhususan kepada bidang suci. Sementara itu, dalam kebudayaan romawi, sacramentum digunakan untuk 2 pengertian: pertama, sump<1h pr<Jjurit yang mengabdikan diri kepada dewata dan negara, dan kedua, uang jaminan atau denda dari pihak berperkara -·-···--~- ------~ala!ll_k_uil _P~r~ ~ewa~_La~i,__~engan _jeias terli)J_~ ba~_\"<3_ sacramentum melingkupi dua bidang sekaligus, yakni: bidang rohani (kesucian dan kehudusan) serta bidang duniawi (uang jaminan dan sumpah prajurit). b. Mysterion Dalam penterjemahan Kitab Suci, sacramentum digunakan untuk engganti istilah mysterion (kata yunani yang mengganti istilah sod (ibrani) atau raz (AramjPersia). Apa arti mysterion itu? Mysterion berasal dari my, myein; artinya, menutup mata atau mulut sebagai reaksi atas pengalmaan yang mengatasi nalar dan tida terungkapkan. Makna dasar kata ini erhubungan dengan pengalaman akan Yang Ilahi. Begitu pulalah, kata mysteria bertautan dengan hal yang tak terungkap (misteri). Dalam I<SPL, mysterion mengacu pada dinamika Allah yang menyingkapkan atau menyatakan diriNya atau rencana penyelamantanNya dalamsejarahmanusla (bdk.Daii . 2,.28'30.47), yar1gmengungkapkan rahasia pada zaman yang akan dantang). Di sisi lain, KSPB menyatakan bahwa pernyataan diri Allah dan seluruh rencana keselamatan-Nya itu terwujud dan terpenuhi secara utuh dan penuh dalam diri Yesus Kristus. Untuk itu, dalam perjanjian haru, mysterion senantiasa bersifat kristologis: kristus menjadi pusatnya. Martasudjita, E.P.D., Sakramen·sakramen Gereja, Yogyakarto, J(anisius: 2003, him. 61, Bdk. O'Collins S}, (;era!J & Farrugia Sj, Edward D, f(amus Teologi, Yogyokarta, Kanisius: 1996, him. 283 4 c. Simpulan Kata 'sakramen', pertama-tama, tidak menujuk pada ketujuh sakramcn. lstilah sakramcn lchih mcnunjuk pada dua unsur pokok. Pertama, kata mysterion menyentuh pada rclasi Allah (yang tidak terlihat) dan manusia (yang terlihat), yang tak kelihatan dan yang kelihatan, rencana kcsclamatan Allah dan penyingkapannya dalam sejarah manusia. Kedua, kata mysterion berfokus pada keselamatan yang pnsatnya kristus. Artinya, pcwahyuan dan rcncana kcsclamat;m Allah berpusat pada Yesus. Sakramen mencakup apa saja yang memuat: unsur ilahi (pengalaman akan Allah) dan unsur manusiu yang berupa pengalaman konkret-historis yang menjadi simbolisasinya. z 2. Makna Sakramen -~------------~- - - - - - - - - ------ - - - - - - - - - ---------------- --·--------------~-------~------~---- Dalam mengungkap maknanya, sakramen dilihat dari beberapa cara pandang, yaitu: konsili Suci, Pandangan teologis dan Hukum Gercja. a. Konsi/i Vatikan IJ3 Pemahaman Konsili Suci tentang sakramen tertuang dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, art. 59, 1-!akekat Sakramen. Di sana, dinyatakan bahwa sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan mempersembahkan ibadat kepada Allah. Sclain itu, sakramen mampu memupuk, meneguhkan, dan mengungkapkan iman. Secara ringkas, sakramen dimaksudkan untuk: l. Pengudusan manusia 2. Pembangunan tubuh Tuhan 3. Persembahan ibadat kepada Allah 4. Pemupukan, peneguhan, dahfJer1gllhgkaJ1at1iriiaiikri.5tialli. b. Teologi Sakramcn4 Teologi sakramen mclihat sakramcn dengan beragam cara pandang atau model. Model-model tcologi sakramen terscbut mcnyumbang kekayaan pcmahaman tentang sakramcn. Di bawah ini, disampaikan bcbcrapa model pemahaman tentang sarkamen, yaitu: perjumpaan, relasi sirnbolik, dan persitiwa kornunikasi dalam kebersamaan. (Martasudjita, EPD, Sakramen-sakraman Gcreja, Yogyakarta, 1\anislus: 2003). Hardawiryana SJ, R (terj), Sacrosanctwn Conciliwn dalam Konsi/i Vatikan II, Jakarta, KWL 1993, art. 59 Martasudjita, ibid, hlm.126-13l 5 1. Mcclan Perjumaan dalam Simbol Sakramen dipahami sebagai suatu wilayah 'perjumaan' atau pertemuan personal-relasional antara manusia dengan Allah. Dalam sakramen itu, Allah menyatakan keselamatan dan manusia menanggapi tawaran dialog keselamatan Allah dalam Kristus. Perjumaan manusia (Gereja) dengan Allah bukanlah perjumpaan langsung, melainkan berlangsung dalam simbol. L. Realisasi Simbollman Manusia tidak hanya memahami dirinya dan dunianya secara diskursif (rasional-cmpiris). !a juga mekanai diri dan seluruh dunianya dalam unsur transformatif-simbolis. Makna dan nilai hidup dicari melalui ____ _ -~- ~--- __ _ :;1m bol._~<<l["I_Ra~n::'__tlln}':r<J~<<lll_~a~l W<l__l1lantJ_Si<J_~elaksat1akan_dan -~­ mengungkapkkan dirinya selalu hanya dan melalui simbol karena manusia itu tidak lain adalah simbol iduk dari seluruh simbol dan lam hang yang ada. Dalam wilayah simbol inilah, sakramen mendapat tempatnya. Sakramen dipandang sebagai simbol-simbol yang melaluinya terjacli pengungkapan dan pelaksanaan dari rclasi Allah dan man usia. Karena itu, sakramcn dihayati scbagai simbol-real sebab mengungkapkan dan mel<Jksanakan diri Gereja sebagai sakramen Kristus. 3. Medan Peristiwa Komunikasi dalam Kebersamaan Sakramen dihayati scbagai pcristiwa kornunkasi. Di dalamnya, terdapat tiga tokoh: pemberi, penerima, dan perantara (medium). Dalam komunikasi tersebut, kedua pelaku (Allah dan manusia) bertindak ganda, yaitu sehagai pemheri dan sekaligns penetilna. Semel1tai'illtu; sakiarrieri menjadi perantara. Dalam sakramen, Allah adalah sumber yang memberikan kcsalamatan. Ia aktif mcndckati manusia. Di sisi lain, manusia adalah pihak yang tidak tinggal diam (pasif). Dengan inisiatif-mandiri dalam dirinya sendiri, manusia menanggapi tawaran Allah tcrsebut. Maka, clalam pcrayaan sakramen, yang pertama dan terutama adalah komunkiasi dari pihak-pihak yang tcrlibat, yaitu Allah dan manusia; sakramen adalah perantara a tau medium keduanya.t komuniasi ini mendapat warn a dalam 6 kebersamaan. Sebabnya, komunkasi Allah-manusia bukanlah komunikasi fungsional mclainkan komunkiasi personal. Maka, kata kunci lain untuk mcmahami sakramen adalah kebersamaan atau hidup bersama. Di dalam sakramen, komunikasi Allah dan manusia itu mencapai relasinya yang personal dalam kebersamaan. 4. l<arya l<eselamatan Allah dalarn Yesus l<ristuss Sakramen dapat dipandang sebagai suatu perayaan kesclamatan karena absan dan isi sakramcn adalah peristiwa kcselamatan Allah dalam l<ristus. Karcna alasan ini, umat berkumpul, menggunakan simbol dan land;\; di sana Lenlapal pula persaudaraan dan dialog dari yang menghaclirinya. Pcrayaan sakramen merupakan pengenangan dan ··-··-···~····-··-·-·~·-·~~- ~- _ _ll?~~1ad~~l1_~mb~li_~arya~_:selam~.tan_.______ . __, ___ ._____ ._.---·-··-··- ~~ c. Kitab Hukum Kanonik 6 Dalam !<anon Doktriner tentang sakramen (l<HK Kan. 840), dinyatakan bahwa sakrarncn diadakan oleh Kristus Yesus dan dipcrcayakan kcpacb Gereja-Nya. Sakrarnen dilihat sebagai perbuatan Kristus dan Gereja. Scmentara itu, maksud adanya sakramen adalah sebagai sarana bagi pengudusan manusia, penghormatan kepada Allah, pengungkapan dan penguata.n irnan. d. Simpulan Makna sakramen berhubungan dengan relasi Allah clan manusia dalam simbol. Pusat dari relasi simbolis ini adalah nilai kebersamaan atau hiclup bersama. ·NiJal l!Yi rct~ganihili' dati. dua arah. Pertamo, dari pihak Allah. Dalam relasi itu, Allah menyatakan dirinya dalam kescluruhan rcncana keselamatan. Pewahyuan diri dan rencana kesclamatan Allah tcrlaksana dan tcrwujud dalam sejarah urnat manusia, yang secara pcnuh mernuncak clalam diri Yesus Kristus, sang Penyelamat. Gereja rnenghadirkan clan rnelaksanakan di clalam sakramen-sakramen. Martasudjita, ihid, him. 66 Hadiwikarta Pr, J (ed LeJjf J{iwb Nulwm Kononik, jakarta, Sekretariat KWJ: 1991, Kan. 840 7 Keduo, dari pihak manusia. Tindakan Allah itu mengundang manusia untuk menanggapinya, yakni dalam penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Di sini, terdapat komunikasi timbal-balik, yakni pengudusan manusia dan persembaban kepada Allah. Komunikasi timbal-balik ini, oleh Gereja dilaksanakan dalam sakramen-sakramen. Di dalam sakramen inilah, karya keselamatan dirayakan. Perayaan keselamatan umat beriman berada dalam kebersamaan. Di sanalah iman dipupuk dan dikembangkan. 3. Tujuh Sakraman Sebagai Sakramen Gereja Seluruh pewahyuan Allah dalam scjarah llllldl manusia adalah demi keselamatan umat manusia. Secara konkrit, keselamatan itu berada dalam kesatuan a tau kebersamaan man usia dengan Allah. Dengan kelahiran-Nya, Yesus hadir demi persatuan itu. Dalam diri Yesus, Allah turun dan menyapa manusia, hidup bersama, dan solider dengan manusia. Dengan karnatian dan kebangkitanNya, Yesus mengangkat dan rnenyatukan man usia dengan Allah, Bapa-Nya. Dalam Gercja-Nya, penyclamatan dalam kebersamaan itu terlaksana dalam sakramen-sakramen Gereja. Melalui sakramen-sakramen, misteri penyelamatan Allah dalam l<ristus itu dihadirkan dan berdaya guna. Dalam konteks inilah akan dibicarakan: jumlah sakramen, sejarahnya, dan malma teologis. a. jum!ah sakramen Gereja Dalam Gereja Katolik, kita mengenal tujuh sakramen. Mengenai jumlah sakramen ini, dipertanyakan: mengapa Gereja mempunyai tujuh sakramen? Pertanyaan ini mendasarkandiri pada beberapa alasan: 1. Dalam gercja perdana, tidak ditemukan (atau bakhakn belum mengenal) sakrarnan ,Yilng berjumlah tujun terscbut. Santo Petrus pun belum rnengcnal jumlah tujuh tersebut. 2. Sakramen dalam Kitab Suci pun tidak menunjuk pada tujuh sakraman. KS banya menunjuk pada unsur-unsur yang menonjol tentang sakramen, yakni: 1) relasi yang ilahi dan yang manusiawi, dan 2) perwujudan atau pelaksanaan rencana keselamatan Allah melalui Yesus dalam sejarah man usia. B Sejak abad XJ/jX/11, karcna pcngaruh skolastik yang mcndefinisikan segala sesuatu, sakramcn-sakramen diusahakan untuk didefinisikan secara tegas dan jelas. Begitulah, secara rcsmi Konsili Lyon II (1274-) menerima dan menetapkan tujuh sakramen. Hal yang sama dinyatakan oleh konsili Florenz {1439) bagi orang Armenia (yang kembali ke pangkuan Gereja). Lalu, Konsili Trente (154-7) menegaskan kembali ajaran Gereja mengenai tujuh sakramcn. Ternyata, keputusan konsili·konsili untuk mencrima tujuh sakramen disetujui dan diterima pula olch Gcrcja Timur yang sudah berpisah lama dengan Gereja Roma. c. Maim a Tcologis Sakramen Beberapa teologi mencoba menjclaskan jumlah sakramen yang tujuh itu. Alexander Hales (124-S)membawa tujuh sakramen dengan mendasarkan diri pada teks 2 Raja 5:10 tentang Naaman yang mandi tujuh kali bagi kesembuhannya. Bonaventura (1274-) mcmaknai tujuh sakramen dalam konteks pertempuran melawan dosa. Thomas Aquinas (1274-) membawa sakramen daam pcmikiran teologis tentang sakramen. Baginya, sakramcn cliadakan Allah untuk esembuhan jiwa. Sarana untuk itu adalah tujuh sakramen suci. Tcologi modern tidak lagi mendiskusikan mcngenai tujuh sakramen sebagai jumlah keramat; tidak herkutat untuk membela jumlah sakramen. Mereka menitik·beratkan refleksi tcologis tentang sakramen dengan kembali kepada makna sakramentalitas biblis dalam terang Yesus Kristus sebagai Sakraman induk atau pokok Dalam kerang ini, sakramen dilihat clan clirefleksikan dalam karya keselamatan Allah bagi man usia. Schillei.Jeeckx mereOeksikan ketujuh sakramen sebaga1 tujuh ·saat atau persitiwa' utama hidup manusia. Karl Raimer meletakkan sakramen dalam kerangka aktualisasi pelaksanaan tugas Gereja sebagai yang menghadirkan Kristus. Teologi modern meretleksikan bagaimcma tradisi dan ajaran Gereja mengenai tujuh sakramen tersehut memang sesuai dengan penga/aman man usia secara antropologis. C. SAKRAMEN INISIASI 1. Arti dan Malma lnisiasi 10 Proses inisiasi selalu tcrjadi dalam kehidupan kit:a sehari·harL Pada saat metnasuki suatu lingkungan tertentu, misalnya universitas, seorang siswaji akan melalui satu proses 'inisiasi', yakni OSPEI<. Contoh lainnya, seorang pcmuda yang masuk suatu kelompok, mungkin akan disambut dengan 'Well come Party" sebagai acara penerimaan anggota baru. lni juga merupakan bentuk inisiasi dalam hid up. I<ata 'inisiasi' berarkar dari kata inire, initiare, initiatio, initium. Artinya, proses memasuki, bcrgabung ke dalam suat:u kelompok; berarti pula proses memasukkan atau menerima seseorang ke dalam kelompoknya. Dalam proses initiatio ini terdapat gerak sekaligus: 1) proses masuknya seseorang ke dalam kelompok, dan 2) proses penerimaan kelompok atas masuknya anggota baru. 2. Sejarah Sakramen lnisiasi Gereja Perdana tidak mengenal istilah inisiasi sebagai suatu konsep pemikiran seperti dewasa ini; tetapi sudah mempraktikkan proses inisiasi ini bagi anggota jemaat yang banl. Artinya, terdapat suatu proses upacara supaya seseorang secara sungguh menjadi bagi;:.tn dari jemaat Gereja. Bentuk praktik inisiasi Gereja Perdana ini rupanya tidak sarna atau tidak seragam. Suatu jemaat melakukan proses inisiasi dengan membaptis; sementara itu jemaat yang lain melakukannya dengan pembaptisan dan penumpangan tangan (sakramen krisma). Pada abaci pertama, Gereja bersentuhan dengan kultur dan dunia YunaniRomawi. !<arena sentuhan itu, unsur-unsur budaya dan kultur Yunani·Romawi masuk ke dalam khazanah praktik kristiani. lstilhan inisiasi mulai dtet"ima dan digunakan dalam tahap-tahap inisiasi. Cyrillus dari Yerusalem rnulai membuat refleksi atas hubungan intern atas tabap inisiasi tersebut: baptisan, krimsa, dan ekaristi. Tapi dalam praktiknya, sakramen inisiasi ini rnasih diberikan bersamasama. Tetapi mulai abaci IV JV, muncul praktik bahwa sakramen krisma dipisahkan dari sakramen baptis. Sementara itu, pemberi sakramen krisma mulai menjadi hak ist:imewa uskup. Memasuki abaci Pertengahan, praktik inisiasi antara Gereja Barat dan Gereja Timur mulai mengalami perbedaan. Gereja Barat meneruskan tradisi pemisahan sakr;unen Krisma dan Baptis; Gereja Tirnur kembali kc praktik tradisi 11 Gereja Perc!ana yaitu pcnyatuan kctiga sakramcn inisiasi (sakramen baptis, krisma dan ckaristi dibcrikan bcrsama-sama). Dewasa ini, Gereja menyadari kqnbali kcsatuan sakramen ..inisiasL Untuk itu, Konsili Vat:ikan II meneguhkan dan mcngajarkan unsur kcsatuan sakramensakramen inisiasi itu. Para Bapa Konsili Vatikan II mengajarkan: "Uparacara Krisma hendaknya ditinjau kembali juga supaya tampak lebih jelas hubungan erat sakramen itu dcngan seluruh inisiasi Kristiani (SC. Art. 71). Maka, secara urnurn, Cereja rnenekankan untuk memperlihatkankesatuan ketiga sakramen inisiasi. Penekananini "Sakrarnen~sakramcn dirumuskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983: permandian, penguatan, dan ekaristiti suci terjalin satu sama lain sedcmikian rupa sehingga dibutuhkan untuk menghasilkan inisiasi ~~~~···········-···~·-···-~k~ri~str~·a~niyang utuh (Kan 842 §~:Q,_.~~~ 3. Teologi Sakramen Inisiasi Secara antropologis, orang melihat sakramen inisiasi, yakni baptis, krisma, dan ekaristi sehagai proses kehidupan: lahir, tumbuh, dan dewasa. Namun, sccara tcologis, sakramen··sakramen inisiasi ini berpusat pada kesatuan pcrutusan triniter, yaitu perutusan dalam Allah Tritunggal maha kudus. Pcrutusan ini terdapat dua gerak: 1.) Bapa mengutus Putra dalam Roh Kudus. Dalam perutusan Putra, Bapa melaksanakan dan mcwujudkan kesalam3t3n dalam sejarah manusia. I<arya keselamatan itu mcmuncak dalam diri Yesus Kristus. 2) Bapa dan Putra mengutus Roh Kuc!us bagi Gcreja. Dama perutusan Roh Kudus, Allah Bapa membuat dan mcnjamin karya keselamatan-Nya tctap hadir dan tinggal dalam Gcreja bagi seluruh dunia dan man usia. Yesus hadir dan bersatu dengan kita manusia. Maka, perutusaan inkarnatif Yesus cocok bertemu dalam baptisan. Dalam baptis, secara eksplisit, kita disatukan dengan Kristus dalam keutuhan. Tctapi, persatuan ini (baru) hanya mungkin terjadi karena penyertaan Roh kudus yang kita terima. Penerimaan Roh Kudus ini secara eksplisit terdapat dalilm sakramen Krisma. Dengan demikian, sakramen baptis dan l<risma tidak dapat dipisahkan. Kesatuan itu terscmpurnakan dalam sakramcn ckaristi sendiri. Dalam Ekaisti pulalah, kedua perutusan Putra dan Roh 1\udus mengalami puncaknya, yaitu 12 dalam kcmatian dan kebangkitan Kristus. Di situlah, karya keselamatan terlaksana secara pcnuh, utuh, dan dcfinitif. jadi, melalui sakramen Raptis, kita dipcrsatukan dengan seluruh hidup Yesus Kristus yang diutus oleh Bapa. Melalui sakrramen penguatan (I<risma], kita dipersatukan dengan Roh I<udus yang diutus oleh Bapa dan Putera. Akhirnya, melalui Ekaristi, kita mengalami seluruh karya penyelamatan Allah bapa melalui putra·Nya Yesus I<ristus dalam Roh I<udus ini secara sakramental a tau dalam bcntuk simbol istimcwa, yakni dalam rupa roti dan anggur. D. S/\.I<R/\.MEN BAPTIS 1. Peristilahan 'Sakrarnen Baptis' I<ata 'baptis' berasal dari kata baptizein, baptisma (Yunani]. 1\.rtinya, membenamkan, mcncemplungkan, menenggelamkan ke dalam air, entah seluruhnya atau sebagian saja. Kata ini biasanya digunakan dalam KSPB. Persoalannya adalah dari mana kcbiasaan ini muncul? Tradisi menggunakan Israel sudah rnengenal aneka upacara pentahiran dengan air, cnt:ah percikan atau mandi (menenggelamkan diri). Pent:ahiran atau pembersihan diri ini harus dilakukan oleh seorang yang menyentuh mayat, orang yang berpenyakit kusta, a tau lainnya. Dalam proses ini, orang menenggelamkan diri dalam aliran air. Tradisi ini telah dilakukan berabad-abad, turun-temurun. Selanjutnya, tradisi ini digunakan oleh kelornpok Eseni (seperti kelompok Qumran]. Dalam pembaptisan mereka memandang diri scbagai kelompok terpilih. Dalam ritusnya, mereka rnenenggelamkan diri sendiri ke dalam air (yangmengalir).··Ha!··ini·dilalmkan juga hagiorangnowYalmdiyangmarrmenjadi warga Yahudi. Yang menarik di sini adalah bahwa ritus 'inisiasi' dengan mencnggelarnkan diri ini dilakukan olch diri sendiri. Selain penenggelarnan diri, ritus inisiasi lain (yang jauh lebih penting] adalah sunat. Yohanes Pembaptis melakukan hal yang sama sekaligus berbeda. Dalam melaksanakan tugas profetisnya, Yohanes juga mengadakan penenggelaman (scperti adat dan tradisi). lnilah kesamaannya. Tetapi dalam pembaptisan, Yohanes Pembaptislah yang rnenenggelamkan orang ke dalam sungai Yordan. Artinya, orang lainlah yang melakukan proses inisiasi; bukan diri sendiri. lnilah 13 ·~·~·~···· perbedaannya. Baptisan Yohanes dilakukan olch orang Jain (Yohanes sendiri) dan sifat khasnya adalah pcmbaptisan pcrtobatan. Dalam hal inilah, Yesus pun mcnjalani pcmbaptisan Yohanes. Yesus memberikan diri dibaptis oleh Yohens di awal karya-Nya. Ada dua alasan mengapa Yesus (mau) dipabtis. Pertama, Yesus juga menempatkan diri sebagai pribadi yang ikut menantikan kedatangan I<erajaan Allah pac!a akhir zaman. Kedua, Yesus mau menunjukkan solic!aritas pac!a bangsa-Nya yang membutuhkan penyelamatan c!ari Allah. Bagi Gereja, pcristiwa pembaptisan Tuhan ini dijac!ikan c!asar bagi pcmbaptisan anggota Gereja (selain perintah Tuhan scndiri supaya scmua orang c!ipatis dalam nama Bapa, Puu·a, dan Roh I<uc!us). Dengan c!emikian, baptisan yang dilakukan oleh Gereja berakar pada seluruh pengalaman iman I<ristiani ---···~····~·--·-·-···~--·--~---~····~·-·····-~~-·-·~-··-·-··· akan Tuhan Yesus Kristus. 13aptisan Kristiani adapat dilangsungkan dengan bertolak dari apa yang dibuat Yesus: membiarkan diri dibaptis. 2. Makna Baptis Beberapa makna baptis dari refleksi teologis adalah sebagai berikut: a. Baptisan sebagai tanda iman. Maksudnya, dalam suatu pembaptisan, di satu sisi, diandaikan adanya iman dalam diri orang itu; di sisi lain, iman yang telah bersemi itu harus ditumbuhkan dan dikembangkan dalam seluruh hic!upnya. b. Baptisan sebagai penyerupaan pada Yesus Kristus Artinya, dengan dibaptis, kita bcrgerak masuk ke dalam misteri Tuhan Yesus. Kita turut berpartisipasi dan mengambil bagian c!alam seluruh hic!up dan nasib ··Kristus; Kita menjadi···serupa dengan Kristus dalann;cluruhhidup dan nasib-Nya. c. Baptisan sebagai pengampunan dosa Seperti kata St. Petrus: "Bertobatlah dan hendaklah kamu ... dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pcngampunan c!osamu" (Kis 2: 38) dan "Berilah dirimu diselarnatkan c!ari angkatan yang jahat ini (Kis 2: 39). Baptisan membawa orang pac!a pengampunan dosa. Dengan dibaptis, c!osa orang dihapuskan. d. Baptisan sebagai pengkanmiaan Roh Kudus. 14 Melalui baptis, kita akan mendapat pengampunan dosa dan anugerah Roh I<udus (Kis 2: 4.8-11). Dengan karunia Roh I<udus ini, kita mengalami Paskah, yakni pengalaman akan Yesus Kristus yang bangkit dan menyelamatkan kita, seperti dialami oleh para muriel. e. Baptisan sebagai pemersatuan diri kita kc dalaam satu tubuh mistik. Melalu baptis, Gereja membangun dan tumbuh. Hubungan dari orang-orang yang dibaptis itu tidak hanya berkatian dengan penambahan jumlah ktwntitatif saja, tetapi juga yang Iebih penting Iagi: memasukkan orang ke dalam relasi orang Kristiani yang memiliki martabat yang sama dan hidnp dalam satu tubuh. f. Baptisan sebagai karunia hidup baru. ~- _ _ ~-~ ~~-~Y~h~ane~'s~Ia~h _)'ang meng_e_m_b~a11g~k~ar~1~gaga_:san baptisan sebagai kelahiran baru~-~~~·---~·. Dan percakapan dengan Nikodemus, Yesus menyinggung soal tersebut: " ... jika seorang tidal< dilahirkan dari Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah" (Yoh 3: S-7). Baptis membuat orang dilahirkan kembali dalam Roh. Ia dikarumai hidup baru dan sepanjang hidupnya ia mewujudkannya dalam gaya hidup dan tindakannya sehari-hari. 3. Problcmatika Baptis Bayi. 7 a. Problem Baptis Bayi Problem baptis bayi muncul saat orang mempertanyakan praktik baptis bayi. Apakah baptis bayi tidak melanggar hak assasi manusia, walau itu adalah anak-anok kita sendiri? Secara teologis, dipersoalkan dan dipertanyakan relasi iman dan baptis bayi. Anak-anak belum bisa beriman secara pribadi; lalu, bagaimana anal< tersebut dibaptis; padahal belum bisa beriman? Bukanlmh··· baptisan itzr mengandaikoil··· ittlatl? Melihaf har TtLC cirang mengusulkan: apakah tidak lebih baik bahwa anak-anak dibiarkan tumbuh, dan setelah dewasa dipersilahkan memilih sendiri iman kepercayaannya. Bagaimana problematika ini dijawab oleh Gereja? b. Sejarah Gereja Perdana (KSPB) tidak memberi petunjuk baptisan bayi. Pada masa selanjutnya, Tertulianus (220) dan Origenes (253) baru menunjukkan secara Marlosudjita, E.P.D., ibid, hlm. 235-239. 1.5 cksplisil adanya praktik baptis bayi. Pada masa mercka, baptis bayi sudah lazim dan bahkan diakui scbagai warisan tradisi apostolik Pacla abad V, praktik baptis bayi suclah umum dan tersebar eli manamana. Hal ini tidal< terlepas clari pertikaian clengan kaum pelagianisme.B Dalam pertikaian itu, St. Agustinus membuktikan bahwa bayi clilahirkan clengan dosa Adam (dosa asal). Selanjutnya, ditegaskan St. Agustinus, bahwa dengan baptis, scorang bayi dilepaskan dari dosa asal tersebut. St. Agustin us juga membcdakan dosa asal (peccatum origenalc) dan dosa pribadi {peccatum morale). Apa yang diajarkan St. Agust:inus didukung oleh daH uileguhkan uleh Konsili Karthago (41B), Konsili Lateral IV (1215), dan Konsili Trente (16241627). Dengan demikian, secara eksplisit, Gereja telah menegaskan dan ~~~~ -~·~··~~-~· ··~·--·~~~~ ~~~~~-~~~--~- mendukung praktik dan makna baptis bayi. Dan, walaupun dari kaum reformator dan gereja Anabaptis sampai dengan teolog besar Karl Bart menolaknya, praktik baptis bayi masih dilaksanakan oleh Gereja Katolik. c. Argumcntasi-Argumentasi Gercja sudah tidak lagi mempersoalkan dan memperdebatkan soal apakah Gereja harus membaptis bayi. Gereja justru sudah yakin bahwa Gereja harus membaptis semua orang, tennasuk hayi. Tetapi, menghaclapi problem baptis bayi, Gereja tctap harus memberi jawab atau argumentasi tinclakannya. Untuk itu perlu kita Iihat argumentasi penolakan dan artumentasi penerimaan Gereja soal baptis bayi. 1. Penolakan Ala san penolakan baptis bayi adalah sebagai berikut: a. lmanadalah····tindakan pengakuanterhadap··· wahyu Allah setata pribadi. !man adalah urusan pribadi dan bukan urusan orang lain. Bayi bclum bisa melakukan hal-hal tersebut secara pribadi dan personal. Maka, baptis bayi ditolak. b. Baptisan mengandaikan pewartaan dan pemahaman terlebih dahulu. Dalam praktik baptis bayi, pewartaan dan pengakuan iman tidak ada. Bayi Iangsung dibaptis begitu saja. jadi, Baptis bayi tidak bisa dilaksanakan. n Pelagianisme adalah aliran yang menolak bahwa scorang bayi itu lahir dengan membawa dosa Adam. 16 ~~~·-··--··· c. !man adalah tindakan yang menuntut tanggung jawab dan mensyaratkan kebebasan pribadi. Dalam perkembangan kepribadian moral Lawence Kohl berg, scorang bayi bclum bisa bcrtanggung jawab dan belum bisa menentukan tindakannya sendiri. Dengan dcmikian, baptis bayi tidak mungkin terjadi. 2. Pcndukungan Para pendukung atau pencrima praktik baptis bayi mcmbcrikan alasan a tau dasar pencrimaannya sebagai berikut: a. lm:m tidak bi:;a diccmpitkan scbagai urusan pribadi semata. Struktur dasar manusia adalah eksistensi-bersama. Hal ini memungkinkan warisan generasi pendahulu ke generasi selanjutnya; misalnya: adat, pengelahuan, bahasa. !man ada dalam suatu komunitas manusia. Bukan urusan pribadi. b. Model iman tidak bisa disempitkan sebagai hasil pcwartaan semala. !man adalah suatu proses yang tidak bisa 'sekali jadi'. !man mcngandaikan suatu pcrtumbuhan dan perkembangan. Maka, bukan hanya iman yang membawa orang kcpada pembaptisan, melainkan juga baptisan mampu membawa orang kepada iman dengan segala proses pertumbuhannya. c. !man adalah suatu rahmat. !a bukan sekedar usaha manusia, sekcdar hasil keputusan bebas, mandiri, personal-pribadi dari sescorang. Schab, tinrhkan manusia tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Allah; tcnnasuk di dalamnya pcrsoalan iman. Tcntang iman, manusia hendaknya· mcmnhonrahmat itu supaya Allah····menambahkannya sendiri. Tepatnya, rahmat iman membutuhkan komunikasi dan kesatuan relasi manusia dengan Allah, bukan hanya keputusan man usia belaka. d. Pertimbangan kondrat manusiawi. Manusia bisa bertumbuh atau minimal bertahan hidup dan tidak mati dengan cara makan. Tanpa makan-minum, manusia mati. ltulah kodrat manusia. Andaikan kita menggunakiln prinsip kebebasan, mandiri, keputusan dan sebagainya, maka apakah kita akan membiarkan dan tidak akan memberi makan 17 kcpada bayi kit<1 sampai ia sendiri memutuskan dan mcngatakan bahwa ia ingin makaifl 13oyi pun horus diboptis seperti io horus diberi malwn supaya hidup, bail< secara jasmani ataupun rohani, bail< ia meminta CW!lUi!Wklwzminta. 4. KHK ten tang Sakramcn Baptis Bayi Bagaimana I<itab Hukum 1\anonik rnelih;It masalah ini7 Sccara cksplisit, Kitab Hukum I<anonik (I<HK) mcnunjukkan beberapa titik tentang baptis bayi. Dalam uraian berikut, kita akan melih;It pandangan Ccrcja dalam rumusan hukumnya. a. Pcmbaptisan bayi hendaknya dilaksanjakan sesegera mungkin. Kanan 867 § 1 menyatakan bahwa baptis bayi hendaknya dilal<ukan dalam minggu~~~~---~~-~~-----~·~- minggu pertama a tau scgcra scsudah kclahiran anaknya. b. Pembaptisan bayi dibutuhkan persiapan secukupnya bagi orang tua sang bayi. [{anon 867 § 1 juga menyatakan bahwa sehelum kelahiran pun, hendaknya orang tua lllengl1adap pastor paroki untuk meminta sal<ramen bagi anaknya. Dengan demikian diharapkan orang tua dipersiapkan selayaknya. Kanan 851 § 2 menegaskan bahwa orang tua dan wali baptis hendal<nya diberitahu tugas dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Dcngan demikian, ditegaskan bahwa bayi yang sudah dibaptis tidak dibiarkan sendirian. Ia berada dalam l<esatuan dankebersamaan dengan sesama (dalam hal ini adalah orang tua). Maka, ia mcmbutuhl<an bimbingan dalam langkah hid up bNimannya. c. Baptisan bukanlah tindakan sekali saja, melainkan suatu proses panjang yang semakin bertumbuhdan berkembang. Pandangan·ini· terlihatdalam Kanan 867 § 2. Dalam sisi, dikatakan bahwa pembaptisan bayi dapat dilai<sanal<an jika ada harapan bahwa anak itu akan dididik dalam agama I<atolik; jika harapan itu tidal< eida, baptis bayi ditunda. jelaslah bahwa baptis bayi merupakan suatu proses pertumbuhan iman. Dalam lingkungan dimana ia hidup-lah, yang akan menuntun dan mendukungnya untuk berkembang dan bertumbuh. Sebab, bcriman berarti beriman dalam proses, yaitu hidup bersama dengan orang lain 18 d. Kcsclamatan jiwa mcndapat perhatian pcrtama. Untuk itu, baptis bayi tctap dilaksanakan mengingat bahwa tindakan it:u sangat penting bagi kcsclamatan jiwa yang bcrsangkutan. Dalam kasus dimana anak akan mcninggal, pengguguran, atau bayi buangan, baptis bayi hendaknya diberikan. Hal itu tcrlihat dalam Kanon 867 § 3, yang mcnyatakan bahwa anak yang akan mati hcndaknya dibaptis meskipun orang tua tidak sctuju. Dipertegas oleh kanon 870, bahwa bayi yang dibuang hendaknya dibaptis, kecuali sudah dibaptis. Lalu, kanon 871 mengatakan bahwa bayi kcguguran, jika hidup, scdapat mungkin dibaptis. Sangat tcrasa bahwa KHK mcncgaskan bctapa pentingnya baptis sedemikian rupa schingga sedapat mungkin bayi kritis pun dibaptis. Baptis mcnyclamatkan ~~~~--~~~··iwB~)afl;!oenyelamatanjtwatit!ai(:'{,isa·dittmde~·i:nmla+agi·:· 5. Reksa Pastoral Dengan mclihat paparan di atas, kit8 mcngetahui bahwa baptis bayi mempunyai dasar historis dan teologis yang kuar. Untuk itu, para gembala umat hendaknya tetap mclcstarikan Tradisi Suci Gereja, yaitu Baptis Bayi. Dalam menghadapi berbagai pihak yang mempertanyakan praktik ini, kita mcmpunyai dasar yang culmp kuat untuk tetap melaksanakan baptis bayi. I<HK malah mendesak kita untuk membaptis 'bayi yang seperti apapun' dcmt penyelamatan jiwa. Kepada umat, hendaknya bisa diberi penerangan dan dasar baptis bayi tersebut sehingga umat sendiri tidak mcngalami kebingungan dalam melaksanakan baptis bayi. Dcngan pasti dan yakin, mantap dan berdasar, orang tua membaptis bayi mereka: dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. 1<J DAFTAR PUSTAKA 1. Martasudjita, EPD., 2003, Sakramen-sakramen Cereja, Yogyakarta, Kanisius. 2. O'Collins SJ, Ccr<J!d & Farrugia ~;J, Edward C, 199G, Kanws Teologi, Yogyaka1ta, Kanisius. 3. Hardawiryana SJ, R (Penterjemah), 1993, Sacrosanctum Concilium dalam f{onsili Vatikan II, jakarta, KWI. 4. Hadiwikarta Pr, j (Editor), 1991, Kitah Hukum Kanonik, jakarta, Sckrctariat KWI. 5. Bcbcrapa pendukung (website a tau buku]: a. hl1Jl;LJid.wikipedia.orgjwiki /Baptisan & http: //id.wikipeg_@m:g/wiki /lnisiasi b. llttpJjwww.imankatolik.()Lid/5"'1kranlcnbaptis.html -~-G,--:lld:cti:h';LL-katedr-almakassil1'>hteg;;:j?f!H:-em/-20±7{H+jsilkmmen·baptttrla+am·· gcreja-katolik.html d. http: //www.kaj.or. id I dokumenJ.sakramen -sakramcn /sakramen · ba ptis a. Kennedy, David J, 2008 Eucharistic Sacra mentality, in an Ecumenical Context, The Anglican Epic/esis, Ashgate Publishing Company, USA. 20