Publication: Suarapembaruan.com Date: Thursday, August 28, 2008 Page : - Circulation : - Jamkesmas Tak Sesuai UU SJSN [JAKARTA] Pakar asuransi kesehatan yang juga pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Profesor dr Hasbullah Thabrany MPH Dr PH mengatakan, Jamkesmas yang diselenggarakan pemerintah saat ini dengan sasaran orang miskin di Indonesia tidak sesuai dengan Undang-undang No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Meski Jamkesmas merupakan kelanjutan dari program asuransi kesehatan rakyat miskin (Askeskin, ada perbedaan antara Askeskin dan Jamkesmas. Hasbullah kepada SP di Sanur, Bali, Selasa (26/8) mengatakan, bila pada Askeskin, PT Askes melaksanakan sepenuhnya program ini, pada Jamkesmas PT Askes hanya bertugas di bidang manajemen kepesertaan, yakni menerbitkan dan mendistribusikan kartu peserta dengan bantuan pemerintah daerah. Menurut Hasbullah, Jamkesmas lebih berisiko dibanding Askeskin dalam hal ketidakpastian. Khususnya dalam hal verifikasi tagihan penyelenggara pelayanan kesehatan (provider). Pasalnya, tugas ini sekarang dilaksanakan Departemen Kesehatan dengan melatih sejumlah tenaga di daerah-daerah untuk menjadi verifikator. Mantan Dekan FKM UI ini mempertanyakan kualifikasi tenaga yang dilatih oleh Departemen Kesehatan. Senada dengan itu, Direktur Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia, dr Marius Widjayarta di Jakarta, Rabu (27/8) mengatakan, dari nama mata anggaran yang dibuat oleh Departemen Kesehatan, sesungguhnya Jamkesmas itu bentuknya bantuan sosial. "Jadi, Jamkesmas itu bukan asuransi sesuai dengan UU SJSN. Saya juga bingung kenapa namanya di proyek pemerintah bantuan sosial kemudian bentuknya menjadi Jamkesmas yang jelas perspektifnya asuransi kesehatan. Saya baru tahu hal ini belum lama," ujar Marius. Dikatakan, program bantuan sosial ini pada tahun 2007 sudah dilakukan pemerintah dengan mengucurkan dana sebesar Rp 1 triliun ke 8.000 puskesmas di seluruh Indonesia. "Saya tidak tahu bagaimana pertanggungjawaban keuangannya. Tahun 2008 ini yang akan disalurkan lebih besar lagi lebih dari Rp 2 triliun," ujarnya. Diungkapkan, perbedaan mendasar Askeskin dengan Jamkesmas, adalah jika Askeskin masyarakat miskin mendapat pelayanan kesehatan terlebih dahulu baru kemudian oleh rumah sakit akan dihitung dan di klaim ke perusahaan asuransi. Sedangkan, pada program Jamkesmas, pemerintah langsung menggelontorkan dana ke rumah sakit dan puskesmas lalu dipakai, jika ada pasien miskin yang datang berobat. "Ini yang kami sesalkan, karena dana itu bisa masuk kantong kanan keluar kantong kiri. Sekarang ini kami sedang melakukan monitoring ke 20 provinsi untuk mendapat data dan informasi soal Jamkesmas, targetnya bulan Desember nanti selesai," ujarnya. Jangan Lanjutkan Terkait dengan itu, Hasbullah merekomendasikan, Jamkesmas tidak dilanjutkan pemerintah. Karena, pemerintah harus menjadi regulator, penyandang dana bagi masyarakat yang tidak mampu. Bukan sebagai pelaksana dan pengawas. Untuk itu, Departemen Kesehatan harusnya mendelegasikan pelaksanaan program semacam ini ke badan penyelenggara (delegasi fungsional) yang tugasnya memang melaksanakan jaminan kesehatan. Publication: Suarapembaruan.com Date: Thursday, August 28, 2008 Page : - Circulation : - Model pendelegasian ini merupakan tren di berbagai negara yang memiliki program jaminan kesehatan untuk masyarakat. Ini berarti pemerintah hanya sebagai regulator, dan mengawasi penyelenggaraan jaminan kesehatan oleh badan penyelenggara yang dibentuk secara profesional. Hasbullah menegaskan, UU No 40/2004 harus dilaksanakan pemerintah. Bila pemerintah tidak melaksanakan, maka pemerintah melecehkan undang-undang yang dibuat tahun 2004 itu. UU itu seharusnya sudah diterapkan pada tahun 2009, namun sampai sekarang belum ada pertanda undang-undang itu diberlakukan. Banyak faktor yang menjadi kendala pelaksanaan UU No 40/2004. Di antaranya, tidak banyak orang di Indonesia yang memahami SJSN, termasuk para pejabat. Para pejabat, cenderung mengikuti pola atau tren seperti yang sudah ada sebelumnya. [N-4/E-5] Publication: MediaIndonesia.com Date: Wednesday, August 27, 2008 Page : - Circulation : - Gelandangan Masuk Jamkesmas SANUR (MI): Sedikitnya 2,6 juta gelandangan, anak jalanan, dan orang sakit jiwa akan dimasukkan ke skema kepesertaan program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) tahun 2008. Direktur Operasional PT Askes Umbu Marambadjaya Marisi menyampaikan hal tersebut di sela- sela acara seminar nasional bertajuk Building a Trusted and Credible Hospital, di Sanur, Bali, kemarin. “Ini adalah hal paling baru dari kepesertaan jamkesmas. Nantinya, anak jalanan dan gelandangan juga akan dibuatkan kartu peserta kendati secara administratif mereka tidak terdaftar dalam catatan administrasi kependudukan,” jelasnya. Jumlah gelandangan dan anak jalanan yang akan menjadi peserta jamkesmas diperkirakan mencapai kisaran 2,6 juta jiwa. Dengan demikian, diperkirakan jumlah peserta jamkesmas yang akan mendapat kartu pada tahun ini bisa mencapai 74 juta jiwa lebih. Pada kesempatan yang sama, menjawab pers, Direktur Utama PT Askes I Gede Subawa menuturkan secara teknis hanya gelandangan dan anak telantar yang dipelihara panti atau terpantau oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) saja yang bisa dibuatkan kartu. Pasalnya, kejelasan status telantar mereka harus mendapat rekomendasi dari pengurus panti, dinas sosial, atau LSM yang mengurus mereka. Menanggapi kebijakan baru jamkesmas tersebut, pakar hokum kesehatan dan staf ahli Komisi IX DPR RI Amir Hamzah Pane menyambut baik program tersebut. Namun pihaknya mengecam hanya gelandangan yang mendapat rekomendasi dari panti yang berhak mendapat kartu. “Sekali lagi, ini contoh bentuk diskriminasi terhadap warga oleh negara.” Menurut Amir, sepatutnya pemerintah mampu mencari mekanisme yang jitu bagi warga negara yang tidak memiliki akses administrasi kependudukan seperti gelandangan atau anak jalanan untuk mendapatkan pelayanan gratis. Akan lebih baik, lanjutnya, jika setiap rumah sakit memberikan kuota pelayanan kesehatan kepada mereka yang tidak memiliki data identitas. Amburadul Pelaksanaan jaminan kesehatan bagi warga miskin sejauh ini masih menyisakan masalah seperti tunggakan pembayaran premi bahkan administrasi pendataan. Kemarin, PT Askes menyatakan terdapat selisih data jumlah orang miskin calon peserta jamkesmas hingga lebih satu juta jiwa. Berpatokan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2005, Depkes memperkirakan terdapat 76,4 juta jiwa peserta jamkesmas pada 2008. Namun setelah diverifikasi oleh pemda masing-masing, orang miskin yang berhak ikut jamkesmas hanya 71,6 juta jiwa. Selisih data tersebut terdapat pada 102 kabupaten/kota. Dengan fakta demikian, PT Askes selaku pihak yang ditunjuk membuat kartu peserta Jamkesmas hanya akan mencetak kartu kepesertaan sebanyak 71,6 juta, sesuai dengan kontrak kesepakatan dengan Depkes. (Tlc/H-1) Publication: Tempointeraktif.com Date: Wednesday, August 27, 2008 Page : - Circulation : - http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2008/08/26/brk,20080826-132400,id.html Menristek Minta Jamu Ditanggung Asuransi Selasa, 26 Agustus 2008 | 17:05 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman meminta perusahaan jasa asuransi mau memasukkan jamu ke dalam daftar obat - obatan yang ditanggung asuransi. Sebab selama ini dalam klausul terakhir perjanjian asuransi ada catatan bahwa jamu bukan obat sehingga tidak ditanggung biayanya. "Pernyataan ini tidak mengakomodir perkembangan jamu di Indonesia," kata dia usai menjadi pembicara pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi IX di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (26/8). Deputi Bidang Pengembangan Sistem Ilmu Pengetahuan Teknologi Nasional Kementerian Riset dan Teknologi Amin Soebandrio kepada Tempo mengungkapkan jasa asuransi hanya mau menjamin obat-obatan yang sudah pasti saja. Meski memiliki efek obat, jamu dalam asuransi memang tidak digolongkan dalam obat-obatan melainkan suplemen makanan. Obat dalam jasa asuransi harus dibuktikan secara ilmiah sesuai prosedur yang ditentukan dalam dunia kedokteran. Amin menambahkan, obat-obat tradisional apapun, termasuk jamu, dianggap kalangan penyedia jasa asuransi sebagai pengobatan alternatif. Hingga saat ini baru satu perusahaan jasa asuransi yang mengganti biaya pemakaian jamu kepada pasien (Asuransi Bumiputera). "Perusahaan itu menganggap kalau jamu membantu pasien lebih cepat sembuh dengan efek menyegarkan badan dan menambah vitalitas," kata dia. Jika pasien lebih cepat sembuh, besaran biaya yang harus dibayarkan oleh asuransi bisa lebih kecil. Reh Atemalem Susanti Publication: MediaIndonesia.com Date: Saturday, August 23, 2008 Page : - Circulation : - Tunggakan 2007 belum Dibayar JAKARTA (MI): Keluhan rumah sakit daerah yang menuntut pembayaran tunggakan klaim biaya pelayanan kesehatan untuk program asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin (askeskin) 2007 hingga kini belum dipenuhi. “Katanya sih minggu-minggu ini, tapi sampai sekarang belum diterima,” kata Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (Arsada) Hanna Permana ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/8). Ia mengatakan keterlambatan pembayaran tunggakan klaim askeskin 2007 sangat mengganggu aliran dana rumah sakit daerah. “Kami sudah menyampaikan keluhan mengenai itu ke Departemen Kesehatan (Depkes). Responsnya bagus. Depkes menyatakan akan segera membayar tunggakan,” ujarnya. Berkenaan dengan hal itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Depkes Lily S Sulistyowati menjelaskan pihaknya sudah mengeluarkan surat perintah bayar (SPM) tunggakan klaim askeskin 2007 pada Selasa (19/8). “Jadi dalam dua hingga tiga hari ini akan disalurkan ke rumah-rumah sakit.” Hingga pertengahan 2008, pemerintah belum membayar tunggakan klaim biaya pelayanan kesehatan gratis program askeskin di rumah sakit. Laporan PT Asuransi Kesehatan (Askes), perusahaanb yang menjadi mitra pemerintah dalam penyelenggaraan askeskin 2007, menyatakan bahwa per 31Januari 2008 jumlah tunggakan itu mencapai Rp1,145 triliun. Pemerintah menyatakan baru akan membayar tunggakan klaim tersebut setelah mengaudit hasil verifikasi klaim askeskin di rumah sakit yang dilakukan PT Askes. Hal itu dilakukan karena ada indikasi penyimpangan dalam pengajuan klaim pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin dalam program askeskin. Pada akhir Juli 2008, pemerintah menyatakan telah selesai mengaudit hasil verifikasi tunggakan klaim askeskin 2007. Pemerintah juga menyatakan akan segera membayar tunggakan klaim yang menurut hasil audit senilai Rp1,131 triliun. Program askeskin telah berubah menjadi program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). Namun, pelaksanaan program jamskesmas menuai protes dari warga miskin karena banyak di antara mereka yang tidak masuk kuota pelayanan jamkesmas. Sebelumnya dilaporkan bahwaRSUD Dr Soetomo Surabaya telah menghentikan program jamkesmas. Padahal program itu baru Publication: MediaIndonesia.com Date: Saturday, August 23, 2008 Page : - Circulation : - dilaksanakan serentak 1 Juli lalu. RSUD Dr Soetomo menghentikan program jamkesmas sampai 1 September 2008. Penghentian program jamkesmas itu sambil menunggu adanya dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk membiayai warga miskin yang tidak masuk kuota. Menanggapi kekisruhan di berbagai daerah dalam pelayanan jamkesmas, Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Departemen Kesehatan A Chalik Masulili menjelaskan ada dua penyebab yang menjadi sumber tidak lancarnya jamkesmas di daerah. “Pertama, hingga saat ini PT Askes belum bias menyelesaikan pembaruan data orang miskin peserta jamkesmas yang telah dilengkapi dengan nama dan alamat,” kata Chalik, beberapa hari lalu. (Ant/Tlc/H-2) Publication: Sinarharapan.co.id Date: Thursday, August 21, 2008 Page : - Circulation : - Depkes Bayar Rp 832 Miliar Tunggakan PT Askes Kamis, 21 Agustus 2008 Jakarta–Akhirnya Departemen Kesehatan memutuskan membayar tunggakan PT Askes pada rumah-rumah sakit. Departemen Kesehatan membayar Rp 832.409.981.550 pada 751 rumah sakit Jumat (15/8) lalu. Hal ini berkaitan dengan utang PT Askes sewaktu ditugaskan Departemen Kesehatan untuk menjalankan program pelayanan asuransi kesehatan rakyat miskin (Askeskin) tahun 2007. “Yang penting kita bayar dulu utang pada rumah-rumah itu sakit agar tidak kesulitan melayani kesehatan rakyat miskin. Jangan sampai rumah sakit mengeluh tidak dibayar tunggakannya dalam program ini,” demikian kepala pusat Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Dr. Chalik Masulili, Kamis (21/8) di Jakarta. Utang pada rumah-rumah sakit yang sebenarnya menjadi tanggung jawab PT Askes adalah sebesar Rp 1.131.429.223.000, dibayar oleh negara, menurut Masulili, karena rumah-rumah sakit harus segera menjalankan program Jamkesmas sebagai ganti program Askeskin. “Jangan lagi ada penolakan pasien dengan alasan pemerintah belum bayar utang. Jangan lagi ada alasan ramah sakit yang bilang piutang mereka tidak dibayar dalam program Jamkesmas. Kalau masih melakukan itu, berarti rumah-rumah sakit itu menghalangi program pemerintah dan itu ada sangsi hukumnya,” katanya tegas. Tagihan utang PT Askes pada beberapa apotik, distributor obat, dan PMI akan diperiksa ulang lagi. Ia juga menjelaskan bahwa masih ada juga tagihan dari puskesmas pada PT Askes, padahal puskesmas seharusnya sudah menerima kapitasi. ”Kebutuhan Askeskin pada puskesmas sudah dialokasikan lebih dahulu lewat Dirjen Binkesmas, Depkes, sebesar Rp 1 triliun. Kok ada tunggakan, ini aneh. Kita lagi periksa,” katanya. Masulili sepakat bahwa secara hukum kasus hutang PT Askes harus ditindaklanjuti untuk memisahkan antara penyelewengan dan kesalahan administratif. ”Hingga saat ini, kasus ini masih terus diperiksa oleh Irjen dan BPKP. Setelah jelas, semua penyelewengan akan diperkarakan. Sementara itu, sebagian orang tetap menuntut agar PT Askes diperiksa secara hukum atas dugaan penyelewengan dana Askeskin. ”Enak banget PT Askes tunggakannya pada rumah sakti dibayar pemerintah. Mungkin karena PT Askes perusahaan negara, maka kebal hukum,” kata Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia, Marlo Sitompul. Di lain pihak, jajaran Dewan Kesehatan Rayat (DKR) menyatakan bahwa PT Askes tetap harus diperiksa secara hukum. ”Sebagai BUMN, PT Askes tidak kebal hukum, apalagi menyangkut dana kesehatan rakyat miskin. Namun, tindakan Depkes untuk membayar rumah sakit dapat dibenarkan untuk kepentingan orang yang lebih banyak program strategis seperti Jamkesmas. Jangan gara-gara tungakan PT Askes program gagal,” kata anggota DKR Jawa Tengah, Aan Rusdianto (web warouw) Publication: Kompas.com Date: Wednesday, August 27, 2008 Page : - Circulation : - Pemerintah Lunasi Tunggakan Askeskin 2007 Rabu, 27/8/2008 | 15:28 WIB JAKARTA, RABU - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan pemerintah telah membayar tunggakan klaim biaya pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin di rumah sakit dalam program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) Tahun 2007. "Itu sudah dibayar, Rp1 triliun," katanya usai membuka seminar tentang globalisasi praktik kedokteran di Jakarta, Rabu (27/8). Namun Menteri tidak menjelaskan apakah dana tersebut sudah sampai ke semua rekening pengelola rumah sakit rujukan program Askeskin, yang sejak awal 2008 namanya diganti menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Akhir pekan lalu Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA) Hanna Permana mengatakan bahwa pengelola rumah sakit daerah belum menerima pembayaran tunggakan klaim Askeskin Tahun 2007 dan hal itu mengganggu aliran dana rumah sakit daerah. Berkenaan dengan hal itu Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan Lily S Sulistyowati menjelaskan bahwa Departemen Kesehatan sudah mengeluarkan surat perintah membayar (SPM) tunggakan klaim Askeskin tahun 2007 pada Selasa (19/8) dan dana tersebut diharapkan bisa tersalur ke rekening pengelola rumah sakit dua hingga tiga hari sesudahnya. Sebelumnya pemerintah menunda pembayaran tunggakan klaim biaya pelayanan kesehatan gratis dalam program Askeskin di rumah sakit yang menurut PT Asuransi Kesehatan (Askes)--perusahaan yang menjadi mitra pemerintah dalam penyelenggaraan Askeskin 2007-- per 31 Januari 2008 jumlahnya Rp1,145 triliun. Pemerintah menyatakan baru akan membayar tunggakan klaim tersebut setelah selesai mengaudit hasil verifikasi klaim Askeskin di rumah sakit yang dilakukan PT Askes. Hal itu dilakukan karena ada indikasi penyimpangan dalam pengajuan klaim pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin dalam program Askeskin. Pada akhir Juli 2008, pemerintah menyatakan telah selesai mengaudit hasil verifikasi tunggakan klaim Askeskin tahun 2007 dan akan segera membayar tunggakan klaim yang menurut hasil audit senilai Rp1,131 triliun. AC Sumber : Antara Publication: Sinarharapan.co.id Date: Wednesday, August 20, 2008 Page : - Circulation : - Jamkesmas Rakyat Miskin Menunggu di Luar Kuota Oleh: Web Warouw Jakarta–Pemerintah daerah kabupaten dan kota diharapkan mendata seluruh rakyat miskin dan hampir miskin di daerahnya agar pelayanan kesehatannya ditanggung oleh pemerintah lewat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada 1 September 2008 nanti, seluruh rakyat miskin dan hampir miskin diseluruh Indonesia sebanyak 76,4 juta orang mendapatkan kartu Jamkesmas dan dapat berobat gratis di puskesmas dan rumah-rumah sakit. Persoalannya adalah pemerintah-pemerintah daerah menentukan kuota penerima kartu Jamkesmas berdasarkan data BPS tahun 2005 yang dianggap sudah kadaluarsa. Data BPS menunjukkan pada tahun 2005 ada sebanyak 19,1 rumah tangga sasaran (RTS), yang terdiri atas 9,3 juta rumah tangga sangat miskin dan sekitar 9,8 juta rumah tangga hampir miskin. Pada tahun 2005 hanya 36,12 juta rakyat miskin yang ditanggung oleh pemerintah dalam program Askeskin. Untuk mengatasi bertambahnya orang miskin yang ada tahun 2008 ini, pemerintah daerah diharapkan juga ikut membebaskan biaya pelayanan kesehatan orang miskin dan hampir miskin yang tidak termasuk dalam kuota yang ditetapkan oleh bupati dan wali kota sehingga tidak mendapatkan kartu Jamkesmas. Hal ini agar tidak ada lagi keluhan rakyat miskin ditolak dirumah sakit karena tidak memiliki kartu Jamkesmas. Sudah saatnya pemerintah daerah maupun pusat bekerjasama melayani kesehatan rakyat miskin dan hampir miskin. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sudah menggariskan kewajiban pemerintah pusat maupun daerah seperti yang dijalankan oleh Jamkesmas sebagai program nasional. Namun, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan bahwa pihaknya akan mempertahankan program pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin (Gakin). "Kita minta jaminan kalau memang sistem yang baru itu lebih baik dari Gakin, tapi kalau banyak pertanyaan kita akan tetap pakai Gakin," kata Gubernur di Jakarta, Jumat lalu. Justru program Jamkesmas, ditegaskan lagi oleh Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, karena banyak kasus pasien miskin yang ditolak pihak rumah sakit yang disebabkan Pemprov DKI Jakarta masih menunggak pembayaran klaim terhadap rumah sakit. “Di RSCM saja, pasien ber-KTP DKI Jakarta yang ditanggung dalam program Gakin tetap harus membayar 50%, sedangkan dengan Jamkesmas pasti ditanggung 100%,” demikian Siti Fadilah kepada pers beberapa waktu lalu. Sementara itu, secara terpisah sebelumnya Kepala Pusat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Abdul Cholik Masulili menjelaskan bahwa pemerintah DKI Jakarta sudah merencanakan bergabung dengan Jamkesmas. “Secara prinsip mereka sepakat bergabung. Tinggal dibicarakan dengan DPRD setempat,” katanya. Selama ini, menurut Masulili, pemerintah DKI memiliki dana Rp 250 Milyar untuk menjalankan jaminan kesehatan rakyat miskin di DKI Jakarta sebanyak 670.000 jiwa dalam kuota. “Kalau DKI bergabung maka maka ada 1.340.000 jiwa yang akan bisa ditanggung oleh pemerintah pusat and DKI,” tegasnya. Di Kota Tegal, Wali Kota sudah meminta agar para lurah tidak lagi mengeluarkan Surat Keterangan Tanda Miskin (SKTM), padahal selama ini pasien miskin yang tidak memiliki Publication: Sinarharapan.co.id Date: Wednesday, August 20, 2008 Page : - Circulation : - kartu Askeskin ataupun Jamkesmas, mengandalkan SKTM agar dapat mendapat pelayanan kesehatan cuma-cuma di puskesmas dan rumah sakit. Mengenai hal ini, Masulili menegaskan bahwa daerah-daerah yang belum siap menanggung pasien miskin diluar kuota itu diberi waktu hingga 1 September 2008, untuk segera menyelesaikan pendaftaran ulang agar semua rakyat rakyat miskin tercakup dalam kuota yang ditanggung Jamkesmas. “Selama kartu baru Jamkesmas belum diterima oleh orang miskin, maka kartu sehat, kartu askeskin dan SKTM (surat keterangan tanda miskin-red) tetap berlaku,”jelasnya lagi. Rakyat miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan namun belum masuk masuk dalam kuota bupati dan walikota diharapkan lebih mudah untuk mendapatkan SKTM dari RT dan RW. “Mereka perlu mengurus sampai ke kepala dinas agar nama mereka segera didaftarkan untuk masuk dalam kuota Jamkesmas yang dibuat kepala daerah,” jelas Masulili. Sementara itu, orang miskin di Kota Malang, Jawa Timur, banyak yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas. Kepala Bidang Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Malang, Rohana, kepada pers mengakui, pendataan ulang dan verifikasi untuk orang miskin penerima Jamkesmas susulan sebanyak 31.975 jiwa diserahkan sepenuhnya ditingkat kelurahan. "Kalau ternyata masih banyak yang belum mendapatkan Jamkesmas itu adalah tanggungjawab dan kewenangan masing-masing kelurahan, karena data yang diperoleh Dinkes berdasarkan usulan dari kelurahan," katanya menegaskan. Kuota Jamkesmas Kota Malang dari pusat hanya 94.655 jiwa dan Jamkesmas susulan yang didanai APBD 2008 daerah itu sebesar Rp 1 miliar untuk 31.975 jiwa padahal orang miskin yang belum mendapatkan Jamkesmas masih ribuan. Publication: Media Indonesia Date: Saturday, August 16, 2008 Page : - Circulation : - Anggaran Kesehatan Rp16 Triliun JAKARTA (MI): Pemerintah menetapkan anggaran di bidang kesehatan pada 2008 sebesar Rp16 triliun. Jumlah itu meningkat hampir tiga kali lipat dari anggaran bidang yang sama pada 2005 yakni sebesar Rp5,8 triliun. ‘’Sebagian besar anggaran digunakan untuk menggulirkan pelayanan kesehatan di puskesmas, posyandu, atau melalui program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas),’’ kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan RAPBN 2009 beserta nota keuangan pada Rapat Paripurna DPR RI di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, kemarin. Menurut Presiden, hingga kini program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu telah melayani 76,4 juta jiwa. Sementara itu, untuk lebih meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap obat, pemerintah telah menurunkan harga obat generik secara substansial dari tahun ke tahun. ‘’Pemerintah juga merevitalisasi program keluarga berencana (KB) yang sempat terbengkalai setelah krisis yang lalu.’’ Presiden meminta agar program KB digiatkan dan ditingkatkan supaya laju pertumbuhan pendudukan semakin rendah. ‘’Untuk itu, kerja sama dan keterpaduan upaya dengan pemerintah daerah mutlak diperlukan.’’ Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah berada di garis depan dalam sosialisasi dan implementasi program KB. Sementara itu, untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, pemerintah meningkatkan akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan. Saat menanggapi hal itu, Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menyambut baik rencana pemerintah menaikkan anggaran kesehatan. ‘’Itu positif, tapi seyogianya besarnya anggaran itu harus diselaraskan dengan programprogram kesehatan yang tengah digulirkan. Dengan demikian, system pemberdayaan kesehatan bisa berjalan baik.’’ (Faw/Tlc/H-3) Publication: The Jakarta Post Date: Saturday, August 16, 2008 Page : - Circulation : - Fauzi seeks to maintain old health service plan Tifa Asrianti , The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 08/16/2008 11:21 AM | City Though the city administration has yet to finally choose which health service scheme to adopt, as between Poor Family Cards (Gakin) and Regional Health Insurance (Jamkesda), the governor has meanwhile established a modus operandi. Governor Fauzi Bowo said Friday that while his officials were still discussing the possibility of replacing Gakin with Jamkesda, the city administration would apply Gakin for the time being because it found it effective, despite some shortcomings. "There is no guarantee that Jamkesda will not be slower (with reimbursements) than Gakin. We want guarantees from Jamkesda. If it is better than Gakin, we'll use it. If not, we'll stick with Gakin," Fauzi told reporters at the City Hall. The idea to use Jamkesda was brought up in 2007 after many Gakin patients were rejected by hospitals. Rejections happened because of late payments on hospital claims by the Health Agency, caused in turn by late city budget disbursements to the agency. The Jamkesda scheme is expected to avoid such problems because payment claims would administered by a private insurance company, which would be appointed by the city administration. Mansur Syaerozi, a member of the City Council, said that to ensure the appointed insurance company performed well, the city administration should evaluate it every year. "If the performance was poor, we should switch to another insurance company. This will ensure the insurance companies improve performance," Mansur said. Jamkesda was planned to be adopted in 2008. Due to the late discussion of the 2008 revised city budget, implementation will have to wait until 2009 when the city administration can allocate the budget and implement procurement procedures to pick an insurance company. Besides having a different management, Jamkesda will serve more insurance holders than Gakin, as Jamkesda is projected to be available for use by all Jakarta residents, both rich and poor. In the 2008 revised budget, the designated health insurance budget for poor families was increased by Rp 30 billion (US$3.25 million), from Rp 250 billion to Rp 280 billion, Mansur said. "With the Jamkesda scheme, based on insurance premiums, the budget can serve around 450,000 patients as the premium per person is Rp 500,000. Under the Gakin scheme, which is not based on insurance premiums, the same budget can only serve around 100,000 patients (through direct support) and the scheme rejects patients that do not meet the requirements," Mansur said. In the 2007 city budget, the Gakin budget was Rp 250 billion. According to data from the Health Agency, the budget was used for the medication fees of 150,000 poor families, meaning that one Gakin patient cost an average of about Rp 1.66 million per year. Fauzi emphasized that the public health service should not be undermined by the bureaucracy of the city administration or of the insurance companies. "The health service should put the poor as first priority," he said. Publication: Kompas Date: Thursday, August 14, 2008 Page : - Circulation : - RSUD Utang Bayar Obat Tuntaskan Sebelum Masalah Menjadi Berlarut-larut Kamis, 14 Agustus 2008 | 00:52 WIB jakarta, kompas – Seretnya pencairan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta berdampak luas, terutama bagi sektor pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin. Tagihan rumah sakit umum daerah kepada Pemprov DKI untuk pengobatan warga miskin belum dibayar. Buntutnya, pihak rumah sakit menunggak pembayaran obat kepada pemasok. Wakil Direktur Pelayanan RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, Sutirto Basuki, Rabu (13/8), mengatakan, obat merupakan komponen terbesar dari total biaya pengobatan. Hampir 50 persen dari total biaya pengobatan adalah biaya untuk membeli obat. ”Kami akhirnya mencoba memberikan pengertian kepada pemasok obat tentang kondisi yang ada. Tagihan obat bukannya tidak dibayar, tetapi pembayarannya perlu waktu,” kata Basuki. Menurut dia, sebagian besar pemasok obat dapat memahami posisi rumah sakit karena mereka juga membutuhkan rumah sakit sebagai pasar obatnya. Di RSUD Tarakan rata-rata jumlah pasien rawat inap per bulan mencapai 1.200 orang dan pasien rawat jalan sekitar 14.000 orang. Artinya, dalam setahun total pasien yang berobat ke RSUD Tarakan sekitar 182.000 orang. Dari jumlah itu hampir separuhnya merupakan pasien dari keluarga miskin. Menurut Basuki, subsidi silang dari pendapatan pasien non-gakin untuk menalangi biaya pengobatan pasien gakin tidak mungkin dilakukan karena sekitar 80 persen pasien yang berobat masuk fasilitas kelas III. Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Igo Ilham mengakui bahwa pencairan dana untuk program kesehatan gakin masih bermasalah. Masalah itu masih berkisar pada belum diputuskannya APBD Perubahan 2008. Dalam APBD Perubahan 2008, alokasi dana untuk gakin dinaikkan dari Rp 250 miliar menjadi Rp 280 miliar. Sebabnya, penggunaan dana gakin sampai pertengahan tahun 2008 saja sudah mencapai Rp 175 miliar. Diselesaikan cepat Sementara itu, Ketua Eksekutif Kelompok Rakyat Pengawas Rumah Sakit (KRPRS) Kusumadjaya berpendapat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya cepat bertindak sebelum persoalan klaim pasien gakin berlarut-larut. ”Mungkin perlu ada mekanisme khusus seperti dana cadangan darurat yang bisa dicairkan untuk pembiayaan pengobatan gakin. Mengingat terlambatnya pencairan dana APBD terbukti terus berulang,” katanya. Igo meminta semua rumah sakit tetap mau menerima pasien dengan kartu gakin. DPRD menjamin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pasti akan membayar semua tagihan rumah sakit yang terkait dengan dana gakin. Warga Tanah Abang, Yos Arifin (50), hampir seminggu menunggui suaminya, Arifin (60), dirawat di RSUD Budhi Asih, Jakarta Timur, karena menderita hernia. Suaminya berobat di rumah sakit menggunakan kartu gakin. Menurut dia, sejak dirawat di Budhi Asih pihak rumah sakit melayaninya dengan baik. Tidak ada pembedaan perlakuan antara pasien gakin dan non-gakin. Publication: Kompas Date: Thursday, August 14, 2008 Page : - Circulation : - ”Awalnya suami saya tidak mau berobat ke rumah sakit karena takut diperlakukan berbeda oleh rumah sakit gara-gara kami pasien dari keluarga miskin. Takut dijadikan percobaan,” kata Yos Publication: Depkes.go.id Date: Wednesday, August 13, 2008 Page : - Circulation : - Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) Tetap Berlaku 13-08-2008 Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), Kartu Sehat atau Kartu Askeskin masih tetap berlaku sampai dengan 31 Agustus 2008 yaitu selesainya pendistribusian kartu peserta Jamkesmas berjumlah 76,4 juta kartu yang menjadi tugas dan tanggung jawab PT Askes (Persero). Terhitung mulai 1 September 2008, pelayanan kesehatan menggunakan Kartu Jamkesmas. Demikian penjelasan Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Dr. H. A. Chalik Masulili, MSc pada Jumpa Pers Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), 4 Juli 2008, di Gedung Depkes Jakarta, didampingi Kepala Pusat Komunikasi Publik dr. Lily S Sulistyowati, MM, menanggapi pemberitaan Media Indonesia. Faktanya, untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak masuk kuota BPS, Pemda Jawa Timur mengupayakan melalui program Jamkesda yang pelaksanaannya harus didasarkan atas Peraturan Daerah (Perda). Menurut Dr Chalik Masulili Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, kartu Askeskin yang telah diterbitkan oleh PT Askes pada tahun 2007 baru selesai sekitar 60%. Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam program Askeskin 2007, maka Departemen Kesehatan melakukan penyempurnaan antara lain: 1. Dana pelayanan, disalurkan langsung dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) ke pemberi pelayanan kesehatan (PPK) melalui rekening Bank Rumah Sakit, tidak lagi melalui PT Askes. Sementara itu, pelayanan di Puskesmas disalurkan melalui PT Pos Indonesia. 2. Verifikasi klaim akan dilakukan oleh Verifikator Independen di setiap rumah sakit penyelenggara program Jamkesmas. Verifikator Independen juga akan diaudit oleh auditor internal (Irjen Depkes dan BPKP) maupun auditor eksternal (BPK). Anggota Tim Verifikasi diusulkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, diangkat oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atas nama Menteri Kesehatan. 3. Sambil menunggu Tim Verifikator Independen, rumah sakit dapat memanfaatkan Tim Verifikator rumah sakit yang sudah ada. 4. Program Jamkesmas tahun 2008 dilaksanakan sejak 1 Januari – 31 Desember 2008 dengan biaya yang bersumber dari Dana Bantuan Sosial Pemerintah melalui DIPA Depkes. 5. PT Askes menyelenggarakan manajemen kepesertaan, meliputi: a) Melakukan penatalaksanaan kepesertaan (advokasi ke Bupati/Walikota untuk menetapkan sasaran, pencetakan blanko kartu, entry data, penerbitan dan pendistribusian kartu, dll), b) Melakukan penatalaksanaan pelayanan (menetapkan keabsahan identitas peserta untuk memperoleh pelayanan RJTL, IGD dan RITL dan melakukan telaah utilisasi kepesertaan), Publication: Depkes.go.id Date: Wednesday, August 13, 2008 Page : - Circulation : - c) Melakukan penatalaksanaan organisasi dan manajemen kepesertaan (penanganan keluhan, pengolahan dan analisa, dan pelaporan). Dalam program Jamkesmas, Bupati dan Walikota yang menetapkan masuk atau tidaknya seseorang ke dalam kriteria masyarakat miskin. Kriteria awal masyarakat miskin memakai data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi penetapannya diserahkan kepada Bupati dan Walikota. Dr Chalik Masulili menjelaskan, dalam petunjuk pelaksanaan yang berlaku sejak Juli 2008, apabila terdapat jumlah masyarakat miskin diluar kuota, maka pembiayaan dilakukan pemerintah daerah. Tetapi, apabila pemerintah daerah merasa belum siap dalam pendanaan, maka sampai tanggal 1 September 2008 pembiayaannya dilakukan oleh Jamkesmas pusat melalui anggaran Departemen Kesehatan RI. Jadi, peserta Jamkesmas yang menggunakan kartu Askeskin maupun SKTM, baik yang masuk dalam kuota maupun yang tidak, biayanya masih menjadi tanggung jawab oleh Jamkesmas pusat. Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-5292 1669, 021-522 3002 atau alamat e-mail Publication: Suara Karya Online Date: Tuesday, August 5, 2008 Page : - Circulation : - KUALITAS SDM 600.000 PNS Medical Check Up Gratis Selasa, 5 Agustus 2008 JAKARTA (Suara Karya): Dalam waktu dekat, PT Askes akan me-medical check up gratis 600 ribu pegawai negeri sipil (PNS). Upaya yang dilakukan pada PNS yang belum pernah sakit ini, selain sebagai tindak pencegahan penyakit, juga untuk menyosialisasikan program Sistem Jamiman Kesehatan Nasional (SJSN) yang mulai diterapkan pada 2009 nanti. "Medical check up gratis ini akan dilakukan di seluruh provinsi," kata Direktur Operasional PT Askes (Persero) dr Umbu Marambadjaya Marisi di sela acara "Senam Sehat Bersama PT Askes", di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Minggu (3/8). Tentang kriteria PNS yang akan melakukan medical check up, Umbu mengatakan, mekanismenya diserahkan kepada masing-masing instansi. "Entah eselon satu dulu atau pegawai rendah, ditentukan masing-masing instansi," ucap Umbu, seraya menyarankan sebaiknya diutamakan PNS dengan kategori menengah atau level rendah yang telah mengabdi cukup lama dan berusia di atas 40 tahun. PT Askes juga segera melakukan pemeriksaan papsmear dengan target 300 ribu PNS wanita secara gratis. Tujuannya adalah mencegah terjadinya kanker leher rahim pada PNS wanita. "Dari total PNS mencapai 3,5 juta orang, pemeriksaan gratis ini cukup besar, yaitu 30 persen. PNS yang pernah sakit tak ikut program ini karena biasanya mereka sudah dimedical check up," katanya. Tak hanya PNS, lanjut Umbu, pihak PT Askes juga akan melakukan vaksinasi hepatitis secara gratis pada 150 ribu perawat di rumah sakit. Mereka yang dipilih umumnya perawat yang bertugas pada bangsal yang rentan tertular penyakit tersebut dari pasien. Soal rencana TNI/Polri aktif masuk dalam pengelolaan kesehatannya kepada PT Askes, sebagaimana telah dilakukan terhadap para pensiunan TNI/Polri, Umbu menjelaskan, hal itu masih dalam tahap pembicaraan dengan Departemen Pertahanan. "Belum ada rencana. Namun, jalan tengahnya adalah TNI/Polri yang masih aktif akan diikutkan dalam sistem asuransi yang diatur dalam SJSN pada 2009 nanti," tuturnya. Dengan demikian, lanjut Umbu, pengelolaan kesehatan TNI/Polri aktif tak lagi mengacu pada PP No 28 Tahun 2003, yakni pemerintah pusat atau daerah yang dikategorikan sebagai pemberi kerja diwajibkan membayarkan iuran premi pegawainya, melainkan UU SJSN. Tahun ini pemerintah pusat dan daerah telah menyanggupi amanat PP, yakni membayar 2 persen dari premi asuransi. Sayangnya kebijakan ini hanya berlaku bagi PNS. Kebijakan itu belum berlaku untuk TNI/Polri yang masih aktif. "Kendati pemerintah telah menyanggupi untuk membayar premi PNS, potongan 2 persen dari gaji PNS tetap akan diberlakukan. Dampak positifnya, cakupan tingkat layanan, obat, dan penyakit yang di-cover bertambah. Terhitung Agustus 2008, pihak PT Askes meningkatkan pelayanan cakupan layanan medis bagi PNS sebanyak 20 persen. Ini lantaran jumlah iuran premi juga telah bertambah," katanya menandaskan. (Tri Wahyuni) Publication: Sinarharapan.co.id Date: Monday, August 4, 2008 Page : - Circulation : - Menkes: DKR Harus Segera Aktifkan Desa-desa Siaga Palembang - Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) harus memastikan rakyat terlibat aktif menjalankan desa-desa siaga. Desa siaga yang aktif akan membangun kekompakkan dan solidaritas sebagai modal untuk menghadapi berbagai tantangan dari penyakit, bencana, maupun ancaman lainnya. ”Forum-forum kesehatan desa penting diadakan untuk membahas berbagai persoalan kesehatan sampai persoalan kebangsaan, dari menghidupkan posyandu sampai memastikan kedaulatan rakyat desa,” demikian Menteri Kesehatan, Siti Fadilah dalam Studium General, Workshop dan Konferensi Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sumatra Selatan, Sabtu (2/8) di Palembang. Dalam bertugas menurut Menkes, DKR harus memegang lima nilai prinsipil Departemen Kesehatan yaitu, pro-rakyat, cepat dan tepat, kerja tim, integritas, akuntabel dan transparan. ”DKR harus berada di depan membangun desa-desa siaga dan membela orang miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dalam program Jamkesmas. Jangan biarkan ada penolakan pasien miskin oleh rumah sakit,” demikian Siti Fadilah. Jamkesmas Dalam kesempatan yang sama, Dr Atika dari Pusat Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Departemen Kesehatan menegaskan bahwa lewat pembangunan desa-desa siaga, DKR harus segera mengumpulkan data orang miskin yang belum masuk dalam daftar kuota pemerintah daerah. ”Laporkan ke dinas setempat agar segera dimasukkan dalam kuota pemerintah daerah sebelum 31 Agustus. Lewat dari 31 Agustus, orang miskin yang tidak masuk kuota menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pemerintah daerah juga harus meningkatkan pendanaannya untuk melayani kesehatan rakyat,” tegasnya. Dalam mengadvokasi pasien miskin Atika menegaskan agar mengikuti jenjang rujukan dari petugas kesehatan desa siaga, puskesmas, rumah sakit kabupaten, dan rumah sakit propinsi, dan rujukan terakhir di RSCM. ”DKR harus tuntas mendampingi pasien dari tingkatan desa sampai rumah sakit dan tidak memungut bayaran dari pasien yang dibantu,” tegasnya. Ketua DKR Sumatra Selatan, Anwar Sadat menjelaskan bahwa selama ini data orang miskin yang dipakai adalah data dari Biro Pusat Statistik (BPS). Setiap kabupaten diperiksa oleh bupati-walikota setempat dengan mengambil data dari camat, kepala desa/lurah, RT/RW. ”Sering kali orang miskin tidak masuk dalam kuota karena jatahnya sudah diambil oleh keluarga RT/RW, kepala desa, lurah, camat, bahkan keluarga bupati. Kami akan melaporkan penyelewengan seperti ini kepada yang berwajib. Ini pasal manipulasi data dan pencurian jatah orang miskin,” tegasnya. Tentang pungutan pada pasien, Sadat menjelaskan bahwa birokrasilah yang paling sering menarik pungutan biaya pada pasien miskin. ”Bikin SKTM saja ditarik biaya, di rumah sakit walaupun sudah pakai SKTM, masih juga harus bayar kalau mau dilayani. Semua ini akan kami laporkan pada yang berwajib, agar pungutan semacam ini berhenti,” tegas Anwar Sadat. (web warouw) Publication: Kompas Date: Monday, September 1, 2008 Page : - Circulation : - Depkes Tidak Menanggung Biaya Pasien di Luar Kuota Senin, 1 September 2008 | 00:35 WIB Jakarta, Kompas - Mulai 1 September 2008 Departemen Kesehatan tidak lagi menjamin biaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak masuk dalam kuota program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan menanggung seluruh biaya pengobatan mereka. Menurut Kepala Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Depkes Chalik Masalili, Minggu (31/8), di Jakarta, hal ini diharapkan tidak mengganggu aktivitas pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin. ”Meski terjadi perubahan kebijakan, prinsipnya rumah sakit tidak boleh menolak pasien yang berobat,” ujarnya. Untuk tahun 2008, jumlah kuota peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 76,4 juta jiwa. Sejauh ini, hampir semua pemda telah mengirim data peserta Jamkesmas di daerahnya. ”PT Askes telah mendistribusikan 71 juta kartu Jamkesmas ke seluruh daerah. Jadi, masih ada 5,4 juta kartu yang belum dibagikan,” kata Chalik. Selanjutnya Depkes hanya bersedia menanggung biaya pelayanan kesehatan para pemegang kartu Jamkesmas, dari biaya rawat inap, obat-obatan, sampai tindakan medis lain sesuai aturan. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat yang tak masuk dalam kuota Jamkesmas diharapkan ditanggung pemda setempat. Belum ajukan keberatan Sejauh ini, jajaran pemda belum mengajukan keberatan atas keputusan tersebut. Padahal sebagian pemda belum mengalokasikan dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk menjamin pengobatan pasien di luar kuota Jamkesmas. Rencananya, pemda akan ajukan penambahan anggaran kesehatan pada perubahan APBD nanti. Dengan pelimpahan ke pemda, ada kemungkinan pemda membayar secara langsung tagihan klaim ke RS umum daerah setempat atau dengan klaim dan verifikasi oleh pihak ketiga. Kondisi seperti ini diakui memperumit urusan Jamkesmas. Karena itu, para penyedia pelayanan kesehatan, termasuk RS, harus mengajukan tagihan klaim pelayanan kesehatan bagi pasien ke dua pihak, yaitu pemerintah pusat dan pemda. ”Ini memang agak membingungkan para penyedia layanan kesehatan,” kata Chalik. Pihaknya kesulitan menentukan kriteria ketidakmampuan seorang pasien. Dalam banyak kasus, ada pasien yang tidak termasuk kelompok miskin, tetapi tidak sanggup membayar biaya pengobatan di atas Rp 10 juta. ”Yang paling tepat adalah pemerintah membebaskan biaya pelayanan kesehatan di kelas III rumah sakit,” ujarnya. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, beberapa waktu lalu, menyatakan, pihaknya telah mengusulkan penambahan dana program Jamkesmas Rp 10 triliun, tetapi belum disetujui Presiden. Asumsi, dari penduduk 220 juta jiwa, tingkat kesakitan 15 persen, dan kebutuhan rawat inap 2 persen. Dengan premi Rp 5.000 per bulan, program Jamkesmas bisa mencakup semua penduduk untuk pelayanan kelas III. (EVY) Publication: Suara Pembaruan Online Date: Saturday, August 31, 2008 Page : - Circulation : - Harga Pangan Bergerak Naik SP/Ruht Semiono Buyung (27) mengemasi gula ukuran satu kilogram di Pasar Palmerah, Jakarta, Sabtu (30/8). Hingga menjelang bulan Ramadan, harga-harga sembako dan komoditas pangan cenderung stabil. hanya beberapa komoditas seperti telur mengalami kenaikan dari Rp 14.000 menjadi Rp 16.000 per kilogram. [JAKARTA] Kurang dua hari memasuki bulan Ramadan, harga bahan pangan di tingkat pedagang naik signifikan. Meski gejala serupa pasti terjadi di sepanjang tahun, kondisi ini sekarang diperparah dengan naiknya harga elpiji dan minimnya pasokan minyak tanah. Selain itu, menurut para pedagang, harga bahan pangan dan kebutuhan pokok akan terus merambat naik hingga minggu ketiga. Demikian pantauan SP di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia, Sabtu (30/8) pagi. Karena itu, pemerintah perlu mengantisipasi kenaikan harga yang sifatnya struktural ini sehingga tak menyengsarakan rakyat. Anggota Komisi IV DPR, Bomer Pasaribu, menyoroti sikap pemerintah yang menaikkan harga elpiji menjelang Ramadan. "Pemerintah harus mengantisipasi dampak berkelanjutan dari kenaikan harga elpiji. Kenaikan harga elpiji menimbulkan harga-harga barang ikut melonjak naik," katanya. Kenaikan harga bahan pangan tersebut bervariasi namun lebih banyak terjadi pada komoditas telur dan daging. Cabai keriting yang di sejumlah daerah tengah panen pun tak luput dari kenaikan meski tidak terlalu besar. "Naiknya harga karena permintaan barang mendekati puasa dan lebaran," ujar Winingsih (48), pedagang di Pasar Besar Malang (PBM), Jatim. Harga telur ayam di Malang Raya naik dari Rp 12.000 menjadi Rp 15.000/kg. Harga Daging sapi dari Rp 46.000 naik menjadi Rp 55.000/kg. Winingsih memperkirakan harga daging sapi akan mencapai Rp 75.000/kg menjelang Lebaran. Yuliana (40), pedagang di Pasar Kembang Surabaya mengatakan, pasokan barang dari berbagai daerah lancar, tetapi harganya sudah naik dari tempat asal. Hal senada diungkapkan Rulida Sihotang (48), seorang pedagang di Pusat Pasar Medan, Sumatera Utara. Sementara itu, Kasi Pengawasan Disperindagkop Kota Yogya, Imam Nurwahid mengatakan, hasil pantauan akhir Agustus terjadi kenaikan harga cukup signifikan namun fluktuatif. Kepala Disperindagkop DIY, F Kusdarto Pramono menyatakan kenaikan harga menjelang puasa tak bisa dihindari dan pemerintah tidak bisa mencegah mekanisme pasar. "Minyak tanah justru mengkhawatirkan sebab ketersediaannya sudah sangat minim, sementara harga elpiji naik. Ini problem sulit," ujarnya. Harga cabai mendapatkan perhatian serius di Sumatera Barat (Sumbar) sebab tahun lalu cabai menyumbang angka dua persen inflasi di Kota Padang. Menurut Asisten II Setprov Sumbar Pemprov Sumbar, Surya Dharma Sabirin, kebutuhan cabai selama Ramadan dan Publication: Suara Pembaruan Online Date: Saturday, August 31, 2008 Page : - Circulation : - 10 hari pasca-Idul Fitri mencapai 1.563 ton. Sedangkan stok panen September hanya 1.452 ton. Karena itu Surya meminta Dinas Pertanian untuk mencari pasokan dari daerah lain. Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi mengungkapkan, pihaknya berusaha agar harga cabai tak lebih dari Rp 20.000. Sementara itu, pemerintah menjamin kenaikan harga menjelang bulan Ramadan kali ini tak lebih dari lima persen karena pasokan atau persediaan sejumlah kebutuhan melimpah di dalam negeri. "Kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok menjelang puasa dan lebaran terjadi secara alami karena ada lonjakan permintaan hingga 20 persen," kata Direktur Bina Pasar Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Depdag, Gunaryo kepada SP, Jumat (29/8). [BO/AHS/080/ 070/152/ CNV/ D-10] Publication: Kompas Date: Saturday, August 31, 2008 Page : - Circulation : - Jaminan Kesehatan Masyarakat Bisa Memperburuk Ketidakadilan Geografis Sabtu, 30 Agustus 2008 | 01:04 WIB Depok, Kompas - Jaminan Kesehatan Masyarakat justru bisa memperburuk ketidakadilan geografis karena penduduk miskin di daerah yang jauh dari kota akan lebih sulit mengakses pelayanan kesehatan. Demikian, antara lain, diungkapkan Laksono Trisnantoro dari Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dalam diskusi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jumat (29/8). Secara umum, masyarakat miskin gagal mendapat pelayanan kesehatan karena tidak punya dana atau jaminan kesehatan, tempat tinggal penduduk secara geografis jauh dari tempat layanan kesehatan, ketidaksamaan akses karena pengetahuan, budaya, dan jender. ”Adanya program Jaminan Kesehatan Masyarakat justru bisa memperburuk ketidakadilan geografis,” ujarnya. ”Masyarakat miskin atau menengah di kota-kota besar yang dekat dengan rumah sakit dan dokter atau tenaga kesehatan akan mendapat akses lebih baik untuk mendapat pelayanan kesehatan,” kata Laksono. Menurut Laksono, ketimpangan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih terjadi di berbagai daerah di Tanah Air akibat belum efektifnya sistem kesehatan nasional. Kondisi ini menyebabkan rendahnya status kesehatan, terutama masyarakat miskin di daerah terpencil. Untuk mengatasi kesenjangan geografis, Laksono menyatakan, standar pelayanan minimal perlu digunakan dengan menambah dokter dan fasilitas kesehatan di daerah terpencil serta memakai formula membagi anggaran di pusat. Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas Arum Atmaikarta menambahkan, desentralisasi bidang kesehatan perlu dikelola agar tidak terjadi kesenjangan akses masyarakat antardaerah terhadap layanan kesehatan. Diakui, Indonesia belum sepenuhnya siap saat diberlakukan desentralisasi kesehatan. Menurut survei Departemen Kesehatan di 78 kabupaten pada 17 provinsi tahun 2007, 30 persen dari 7.500 puskesmas di daerah terpencil tak ada tenaga dokter. Kepala Bidang Kajian Pembangunan Kesehatan Jangka Pendek Pusat Kajian Pembangunan Kesehatan Depkes Iswandi Mourbas mengakui, pemerataan, keterjangkauan, kualitas pelayanan kesehatan, dan status kesehatan masyarakat masih rendah. ”Dalam pembiayaan kesehatan, kontribusi pemerintah baru 30 persen dan alokasinya belum efektif,” ujarnya. (EVY) Publication: Kompas.com Date: Thursday, June 12, 2008 Page : - Circulation : - Laporan Bank Dunia: Belanja Kesehatan Publik Meningkat Jakarta, Kompas - Pengeluaran publik Indonesia untuk sektor kesehatan telah meningkat pesat. Berdasarkan perhitungan, jumlah pengeluaran publik untuk kesehatan telah meningkat empat kali lipat dari sekitar 1 miliar dollar AS (Rp 9,3 triliun) pada tahun 2001 menjadi lebih dari 4 miliar dollar AS (Rp 39 triliun) pada tahun 2007, yang untuk pertama kalinya melebihi 1 persen dari produk domestik bruto. Demikian salah satu butir laporan Bank Dunia yang berjudul Berinvestasi dalam Sektor Kesehatan Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk Pengeluaran Publik di Masa Depan, yang diluncurkan di Jakarta, Rabu (11/6). Laporan ini hasil kerja sama Bank Dunia dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ”Masih banyak tantangan kesehatan di komunitas miskin, seperti malaria, angka kematian ibu dan anak. Ini tantangan yang harus dihadapi Indonesia,” kata Direktur Tingkat Negara Indonesia Bank Dunia Joachim von Amsberg. Claudia Rokx, Lead Health Specialist Bank Dunia, memaparkan, peningkatan belanja publik di sektor kesehatan ini terdorong oleh keberadaan program Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin). Pada waktu bersamaan, pengeluaran publik yang kurang efisien kadang menekan kualitas layanan kesehatan. Upaya reformasi semakin dipersulit dengan kenyataan bahwa Indonesia, seperti halnya banyak negara lain, memikul beban penyakit ganda, karena selain harus memerangi penyakit menular, seperti tuberkulosis dan campak, juga harus memerangi penyakit tidak menular seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker. Indonesia juga masih menunjukkan kinerja buruk di sejumlah bidang penting, dan sebagai akibatnya, kemungkinan tidak dapat mencapai beberapa Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang berkaitan dengan kesehatan. Kematian ibu hamil di Indonesia, misalnya, lebih dari empat ibu meninggal untuk setiap 1.000 anak yang lahir hidup. Juga gizi yang buruk pada anak, tingkat melek huruf pada perempuan, dan akses terhadap air bersih serta sanitasi. Saat ini penduduk Indonesia berusia lebih panjang sehingga pada tahun 2025 jumlah penduduk yang berumur 30-60 tahun akan melebihi jumlah penduduk yang berumur 030 tahun. (LOK) Sumber: Kompas Cetak, cetak.kompas.com Publication: Beritasore.com Date: Wednesday, June 11, 2008 Page : - Circulation : - Belanja Publik Untuk Kesehatan Tidak Efisien Posted by Redaksi on Juni 11, 2008 Jakarta ( Berita ) : Belanja pemerintah Indonesia pada sektor kesehatan selama ini tidak efisien, sehingga perlu reformasi di proses penganggaran dan implementasi anggaran yang ada, kata Spesialis Kesehatan Utama Bank Dunia Claudia Roukx, di Jakarta, Rabu [11/06] . “Berdasarkan analisa kami dari data rumah tangga, ada beberapa inefisiensi yang ada pada sistem belanja publik,” kata Claudia Roukx pada peluncuran Kajian atas Belanja Publik di sektor Kesehatan (PER) 2008. Menurut dia, hal itu misalnya terlihat pada kenyataan bahwa hanya 30 persen penduduk yang memanfaatkan program pengobatan gratis, absennya tenaga medis saat dibutuhkan, dan rendahnya pemanfaatan tempat tidur di rumah sakit. Menurut dia, masalah lain yang menciptakan inefisiensi dalam belanja publik itu ialah masih rendahnya jumlah masyarakat yang tercakup pada pelayanan asuransi kesehatan Namun diakuinya, program Asuransi Kesehatan bagi penduduk miskin (Askeskin) dan Jaminan Kesehatan penduduk miskin (Jamkeskin) berhasil meningkatkan pemanfaatan serta memperluas cakupan masyarakat yang bisa menikmati biaya kesehatan gratis hingga ke masyarakat miskin. Ekonom senior Bank Dunia Wolfgang Fengler mengatakan, pemerintah tidak perlu menetapkan besaran tertentu dalam APBN untuk sektor kesehatan, seperti pada pendidikan, karena keterbatasan anggaran. “Kalau pendidikan ada target, kesehatan juga dibuat target, maka tidak akan ada yang tersisa dalam APBN untuk infrastruktur, misalnya,” kata Fengler. Selain itu, kata Fengler, kebutuhan pembiayaan sektor kesehatan bisa ditutupi oleh partisipasi dari pihak swasta, asalkan mereka mendapat insentif yang cukup menarik. “Terus menambah alokasi anggaran pada sektor yang inefisien, jelas sangat tidak efektif,” katanya. Deputi Kemeneg PPN/Bappenas bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Nina Sardjunani mengatakan, pemerintah menyambut baik hasil kajian tersebut, bahkan dirinya sependapat dengan Bank Dunia mengenai pentingnya efiensi belanja. “Kualitas belanja harus diperbaiki,” katanya. Dengan demikian, ia menjelaskan, pemerintah tidak perlu menetapkan besaran tertentu dari APBN untuk kesehatan, seperti pada sektor pendidikan, asalkan anggaran yang ada dipastikan efektifitasnya. Sembilan rekomendasi Bank Dunia juga memberikan sembilan rekomendasi kepada pemerintah untuk menjamin ketersediaan layanan kesehatan yang lebih memenuhi standar dan merata bagi seluruh penduduk. Rekomendasi-rekomendasi tersebut yaitu, meningkatkan penggunaan sumber daya yang tersedia untuk kesehatan dan pada saat bersamaan menambah sumber daya dalam jangka menengah, menambah sumber daya untuk kesehatan reproduksi dan alokasi sumber daya rujukan dan kelahiran di lembaga kesehatan. Publication: Beritasore.com Date: Wednesday, June 11, 2008 Page : - Circulation : - Memperbaiki alokasi yang cukup untuk operasional dan perawatan terutama untuk pelayanan dasar, serta menyediakan sumber daya tambahan terhadap barang-barang publik utama yang menentukan hasil kebijakan kesehatan. “Pemerintah juga dapat menyesuaikan Dana Alokasi Umum untuk memberikan insentif pada reformasi kepegawaian daerah dan mengubah PP No 55 yang memungkinkan penggunaan operasional dana dekonsentrasi,” kata Roukx, yang menjadi salah satu tim pembuat laporan tersebut. Rekomendasi lainya seperti memperluas cakupan askeskin, adanya keberlanjutan finansial askeskin, melibatkan swasta dalam askeskin, serta memperbaiki sistem pelaporan dan ketersediaan data. “Sektor swasta harus diberi insentif untuk lebih aktif terlibat dalam sektor kesehatan melalui kerangka kebijakan, seperti dalam hal pemberian lisensi medis, dan akreditas tenaga medis yang dilakukan secara reguler,” katanya. Menurut dia, pelibatan sektor swasta membutuhkan adanya identifikasi dini atas sektor swasta yang kini sudah terlibat, baik dari sisi jenis pelayanan yang diberikan maupun lokasi. “Masih ada distorsi, yaitu subsidi pasokan obat untuk rumah sakit dan puskesmas sehingga sektor swasta tidak memiliki ‘level of playing field’ yang sama,” katanya Jika hal itu disamakan, katanya, pemberian pelayanan kesehatan diyakini akan lebih efektif dan efisien, serta optimal. ( ant )