Publication - Kebijakan Kesehatan Indonesia

advertisement
Publication: Suarapembaruan.com
Date: Thursday, August 28, 2008
Page : -
Circulation : -
Jamkesmas Tak Sesuai UU SJSN
[JAKARTA] Pakar asuransi kesehatan yang juga pengajar di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Profesor dr Hasbullah Thabrany MPH Dr PH
mengatakan, Jamkesmas yang diselenggarakan pemerintah saat ini dengan sasaran orang
miskin di Indonesia tidak sesuai dengan Undang-undang No 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Meski Jamkesmas merupakan kelanjutan dari program
asuransi kesehatan rakyat miskin (Askeskin, ada perbedaan antara Askeskin dan
Jamkesmas.
Hasbullah kepada SP di Sanur, Bali, Selasa (26/8) mengatakan, bila pada Askeskin, PT
Askes melaksanakan sepenuhnya program ini, pada Jamkesmas PT Askes hanya bertugas
di bidang manajemen kepesertaan, yakni menerbitkan dan mendistribusikan kartu
peserta dengan bantuan pemerintah daerah. Menurut Hasbullah, Jamkesmas lebih
berisiko dibanding Askeskin dalam hal ketidakpastian.
Khususnya dalam hal verifikasi tagihan penyelenggara pelayanan kesehatan (provider).
Pasalnya, tugas ini sekarang dilaksanakan Departemen Kesehatan dengan melatih
sejumlah tenaga di daerah-daerah untuk menjadi verifikator. Mantan Dekan FKM UI ini
mempertanyakan kualifikasi tenaga yang dilatih oleh Departemen Kesehatan.
Senada dengan itu, Direktur Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia, dr
Marius Widjayarta di Jakarta, Rabu (27/8) mengatakan, dari nama mata anggaran yang
dibuat oleh Departemen Kesehatan, sesungguhnya Jamkesmas itu bentuknya bantuan
sosial.
"Jadi, Jamkesmas itu bukan asuransi sesuai dengan UU SJSN. Saya juga bingung kenapa
namanya di proyek pemerintah bantuan sosial kemudian bentuknya menjadi Jamkesmas
yang jelas perspektifnya asuransi kesehatan. Saya baru tahu hal ini belum lama," ujar
Marius.
Dikatakan, program bantuan sosial ini pada tahun 2007 sudah dilakukan pemerintah
dengan mengucurkan dana sebesar Rp 1 triliun ke 8.000 puskesmas di seluruh Indonesia.
"Saya tidak tahu bagaimana pertanggungjawaban keuangannya. Tahun 2008 ini yang
akan disalurkan lebih besar lagi lebih dari Rp 2 triliun," ujarnya.
Diungkapkan, perbedaan mendasar Askeskin dengan Jamkesmas, adalah jika Askeskin
masyarakat miskin mendapat pelayanan kesehatan terlebih dahulu baru kemudian oleh
rumah sakit akan dihitung dan di klaim ke perusahaan asuransi. Sedangkan, pada
program Jamkesmas, pemerintah langsung menggelontorkan dana ke rumah sakit dan
puskesmas lalu dipakai, jika ada pasien miskin yang datang berobat.
"Ini yang kami sesalkan, karena dana itu bisa masuk kantong kanan keluar kantong kiri.
Sekarang ini kami sedang melakukan monitoring ke 20 provinsi untuk mendapat data
dan informasi soal Jamkesmas, targetnya bulan Desember nanti selesai," ujarnya.
Jangan Lanjutkan
Terkait dengan itu, Hasbullah merekomendasikan, Jamkesmas tidak dilanjutkan
pemerintah. Karena, pemerintah harus menjadi regulator, penyandang dana bagi
masyarakat yang tidak mampu. Bukan sebagai pelaksana dan pengawas. Untuk itu,
Departemen Kesehatan harusnya mendelegasikan pelaksanaan program semacam ini ke
badan penyelenggara (delegasi fungsional) yang tugasnya memang melaksanakan
jaminan kesehatan.
Publication: Suarapembaruan.com
Date: Thursday, August 28, 2008
Page : -
Circulation : -
Model pendelegasian ini merupakan tren di berbagai negara yang memiliki program
jaminan kesehatan untuk masyarakat. Ini berarti pemerintah hanya sebagai regulator, dan
mengawasi penyelenggaraan jaminan kesehatan oleh badan penyelenggara yang
dibentuk secara profesional.
Hasbullah menegaskan, UU No 40/2004 harus dilaksanakan pemerintah. Bila pemerintah
tidak melaksanakan, maka pemerintah melecehkan undang-undang yang dibuat tahun
2004 itu. UU itu seharusnya sudah diterapkan pada tahun 2009, namun sampai sekarang
belum ada pertanda undang-undang itu diberlakukan.
Banyak faktor yang menjadi kendala pelaksanaan UU No 40/2004. Di antaranya, tidak
banyak orang di Indonesia yang memahami SJSN, termasuk para pejabat. Para pejabat,
cenderung mengikuti pola atau tren seperti yang sudah ada sebelumnya. [N-4/E-5]
Publication: MediaIndonesia.com
Date: Wednesday, August 27, 2008
Page : -
Circulation : -
Gelandangan Masuk Jamkesmas
SANUR (MI): Sedikitnya 2,6 juta gelandangan, anak jalanan, dan orang sakit jiwa akan
dimasukkan ke skema kepesertaan program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas)
tahun 2008.
Direktur Operasional PT Askes Umbu Marambadjaya Marisi menyampaikan hal tersebut
di sela- sela acara seminar nasional bertajuk Building a Trusted and Credible Hospital, di
Sanur, Bali, kemarin. “Ini adalah hal paling baru dari kepesertaan jamkesmas. Nantinya,
anak jalanan dan gelandangan juga akan dibuatkan kartu peserta kendati secara
administratif mereka tidak terdaftar dalam catatan administrasi kependudukan,”
jelasnya. Jumlah gelandangan dan anak jalanan yang akan menjadi peserta jamkesmas
diperkirakan mencapai kisaran 2,6 juta jiwa. Dengan demikian, diperkirakan jumlah
peserta jamkesmas yang akan mendapat kartu pada tahun ini bisa mencapai 74 juta jiwa
lebih. Pada kesempatan yang sama, menjawab pers, Direktur Utama PT Askes I Gede
Subawa menuturkan secara teknis hanya gelandangan dan anak telantar yang dipelihara
panti atau terpantau oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) saja yang bisa dibuatkan
kartu. Pasalnya, kejelasan status telantar mereka harus mendapat rekomendasi dari
pengurus panti, dinas sosial, atau LSM yang mengurus mereka. Menanggapi kebijakan
baru jamkesmas tersebut, pakar hokum kesehatan dan staf ahli Komisi IX DPR RI Amir
Hamzah Pane menyambut baik program tersebut. Namun pihaknya mengecam hanya
gelandangan yang mendapat rekomendasi dari panti yang berhak mendapat kartu.
“Sekali lagi, ini contoh bentuk diskriminasi terhadap warga oleh negara.” Menurut Amir,
sepatutnya pemerintah mampu mencari mekanisme yang jitu bagi warga negara yang
tidak memiliki akses administrasi kependudukan seperti gelandangan atau anak jalanan
untuk mendapatkan pelayanan gratis. Akan lebih baik, lanjutnya, jika setiap rumah sakit
memberikan kuota pelayanan kesehatan kepada mereka yang tidak memiliki data
identitas.
Amburadul
Pelaksanaan jaminan kesehatan bagi warga miskin sejauh ini masih menyisakan masalah
seperti tunggakan pembayaran premi bahkan administrasi pendataan. Kemarin, PT Askes
menyatakan terdapat selisih data jumlah orang miskin calon peserta jamkesmas hingga
lebih satu juta jiwa. Berpatokan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2005, Depkes
memperkirakan terdapat 76,4 juta jiwa peserta jamkesmas pada 2008. Namun setelah
diverifikasi oleh pemda masing-masing, orang miskin yang berhak ikut jamkesmas hanya
71,6 juta jiwa. Selisih data tersebut terdapat pada 102 kabupaten/kota. Dengan fakta
demikian, PT Askes selaku pihak yang ditunjuk membuat kartu peserta Jamkesmas hanya
akan mencetak kartu kepesertaan sebanyak 71,6 juta, sesuai dengan kontrak kesepakatan
dengan Depkes. (Tlc/H-1)
Publication: Tempointeraktif.com
Date: Wednesday, August 27, 2008
Page : -
Circulation : -
http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2008/08/26/brk,20080826-132400,id.html
Menristek Minta Jamu Ditanggung Asuransi
Selasa, 26 Agustus 2008 | 17:05 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman
meminta perusahaan jasa asuransi mau memasukkan jamu ke dalam daftar obat - obatan
yang ditanggung asuransi. Sebab selama ini dalam klausul terakhir perjanjian asuransi
ada catatan bahwa jamu bukan obat sehingga tidak ditanggung biayanya. "Pernyataan ini
tidak mengakomodir perkembangan jamu di Indonesia," kata dia usai menjadi
pembicara pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi IX di Hotel Bidakara, Jakarta,
Selasa (26/8).
Deputi Bidang Pengembangan Sistem Ilmu Pengetahuan Teknologi Nasional
Kementerian Riset dan Teknologi Amin Soebandrio kepada Tempo mengungkapkan jasa
asuransi hanya mau menjamin obat-obatan yang sudah pasti saja. Meski memiliki efek
obat, jamu dalam asuransi memang tidak digolongkan dalam obat-obatan melainkan
suplemen makanan. Obat dalam jasa asuransi harus dibuktikan secara ilmiah sesuai
prosedur yang ditentukan dalam dunia kedokteran.
Amin menambahkan, obat-obat tradisional apapun, termasuk jamu, dianggap kalangan
penyedia jasa asuransi sebagai pengobatan alternatif. Hingga saat ini baru satu
perusahaan jasa asuransi yang mengganti biaya pemakaian jamu kepada pasien (Asuransi
Bumiputera). "Perusahaan itu menganggap kalau jamu membantu pasien lebih cepat
sembuh dengan efek menyegarkan badan dan menambah vitalitas," kata dia. Jika pasien
lebih cepat sembuh, besaran biaya yang harus dibayarkan oleh asuransi bisa lebih
kecil. Reh Atemalem Susanti
Publication: MediaIndonesia.com
Date: Saturday, August 23, 2008
Page : -
Circulation : -
Tunggakan 2007 belum Dibayar
JAKARTA (MI): Keluhan rumah sakit daerah yang menuntut pembayaran tunggakan
klaim biaya pelayanan kesehatan untuk program asuransi kesehatan bagi masyarakat
miskin (askeskin) 2007 hingga kini belum dipenuhi.
“Katanya sih minggu-minggu ini, tapi sampai sekarang belum diterima,” kata Ketua
Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (Arsada) Hanna Permana ketika
dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/8).
Ia mengatakan keterlambatan pembayaran tunggakan klaim askeskin 2007 sangat
mengganggu aliran dana rumah sakit daerah.
“Kami sudah menyampaikan keluhan mengenai itu ke Departemen Kesehatan (Depkes).
Responsnya bagus. Depkes menyatakan akan segera membayar tunggakan,” ujarnya.
Berkenaan dengan hal itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Depkes Lily S Sulistyowati
menjelaskan pihaknya sudah mengeluarkan surat perintah bayar (SPM) tunggakan klaim
askeskin 2007 pada Selasa (19/8).
“Jadi dalam dua hingga tiga hari ini akan disalurkan ke rumah-rumah sakit.”
Hingga pertengahan 2008, pemerintah belum membayar tunggakan klaim biaya
pelayanan kesehatan gratis program askeskin di rumah sakit. Laporan PT Asuransi
Kesehatan (Askes), perusahaanb yang menjadi mitra pemerintah dalam penyelenggaraan
askeskin 2007, menyatakan bahwa per 31Januari 2008 jumlah tunggakan itu mencapai
Rp1,145 triliun.
Pemerintah menyatakan baru akan membayar tunggakan klaim tersebut setelah
mengaudit hasil verifikasi klaim askeskin di rumah sakit yang dilakukan PT Askes. Hal
itu dilakukan karena ada indikasi penyimpangan dalam pengajuan klaim pelayanan
kesehatan gratis bagi masyarakat miskin dalam program askeskin.
Pada akhir Juli 2008, pemerintah menyatakan telah selesai mengaudit hasil verifikasi
tunggakan klaim askeskin 2007. Pemerintah juga menyatakan akan segera membayar
tunggakan klaim yang menurut hasil audit senilai Rp1,131 triliun.
Program askeskin telah berubah
menjadi program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). Namun, pelaksanaan
program jamskesmas menuai protes dari warga miskin karena banyak di antara mereka
yang tidak masuk kuota pelayanan jamkesmas.
Sebelumnya dilaporkan bahwaRSUD Dr Soetomo Surabaya telah menghentikan program
jamkesmas. Padahal program itu baru
Publication: MediaIndonesia.com
Date: Saturday, August 23, 2008
Page : -
Circulation : -
dilaksanakan serentak 1 Juli lalu. RSUD Dr Soetomo menghentikan
program jamkesmas sampai 1 September 2008. Penghentian program jamkesmas itu
sambil menunggu adanya dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk membiayai
warga miskin yang tidak masuk kuota.
Menanggapi kekisruhan di berbagai daerah dalam pelayanan jamkesmas, Kepala Pusat
Pembiayaan Jaminan Kesehatan Departemen
Kesehatan A Chalik Masulili menjelaskan ada dua penyebab yang menjadi sumber tidak
lancarnya jamkesmas di daerah.
“Pertama, hingga saat ini PT Askes belum bias menyelesaikan pembaruan data orang
miskin peserta jamkesmas yang telah dilengkapi dengan nama dan alamat,” kata Chalik,
beberapa hari lalu. (Ant/Tlc/H-2)
Publication: Sinarharapan.co.id
Date: Thursday, August 21, 2008
Page : -
Circulation : -
Depkes Bayar Rp 832 Miliar Tunggakan PT Askes
Kamis, 21 Agustus 2008
Jakarta–Akhirnya Departemen Kesehatan memutuskan membayar tunggakan PT Askes
pada rumah-rumah sakit. Departemen Kesehatan membayar Rp 832.409.981.550 pada 751
rumah sakit Jumat (15/8) lalu.
Hal ini berkaitan dengan utang PT Askes sewaktu ditugaskan Departemen Kesehatan
untuk menjalankan program pelayanan asuransi kesehatan rakyat miskin (Askeskin)
tahun 2007.
“Yang penting kita bayar dulu utang pada rumah-rumah itu sakit agar tidak kesulitan
melayani kesehatan rakyat miskin. Jangan sampai rumah sakit mengeluh tidak dibayar
tunggakannya dalam program ini,” demikian kepala pusat Jaminan Pelayanan Kesehatan
Masyarakat (JPKM), Dr. Chalik Masulili, Kamis (21/8) di Jakarta.
Utang pada rumah-rumah sakit yang sebenarnya menjadi tanggung jawab PT Askes
adalah sebesar Rp 1.131.429.223.000, dibayar oleh negara, menurut Masulili, karena
rumah-rumah sakit harus segera menjalankan program Jamkesmas sebagai ganti program
Askeskin.
“Jangan lagi ada penolakan pasien dengan alasan pemerintah belum bayar utang. Jangan
lagi ada alasan ramah sakit yang bilang piutang mereka tidak dibayar dalam program
Jamkesmas. Kalau masih melakukan itu, berarti rumah-rumah sakit itu menghalangi
program pemerintah dan itu ada sangsi hukumnya,” katanya tegas.
Tagihan utang PT Askes pada beberapa apotik, distributor obat, dan PMI akan diperiksa
ulang lagi. Ia juga menjelaskan bahwa masih ada juga tagihan dari puskesmas pada PT
Askes, padahal puskesmas seharusnya sudah menerima kapitasi. ”Kebutuhan Askeskin
pada puskesmas sudah dialokasikan lebih dahulu lewat Dirjen Binkesmas, Depkes,
sebesar Rp 1 triliun. Kok ada tunggakan, ini aneh. Kita lagi periksa,” katanya.
Masulili sepakat bahwa secara hukum kasus hutang PT Askes harus ditindaklanjuti
untuk memisahkan antara penyelewengan dan kesalahan administratif. ”Hingga saat ini,
kasus ini masih terus diperiksa oleh Irjen dan BPKP. Setelah jelas, semua penyelewengan
akan diperkarakan.
Sementara itu, sebagian orang tetap menuntut agar PT Askes diperiksa secara hukum atas
dugaan penyelewengan dana Askeskin. ”Enak banget PT Askes tunggakannya pada
rumah sakti dibayar pemerintah. Mungkin karena PT Askes perusahaan negara, maka
kebal hukum,” kata Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia, Marlo Sitompul.
Di lain pihak, jajaran Dewan Kesehatan Rayat (DKR) menyatakan bahwa PT Askes tetap
harus diperiksa secara hukum. ”Sebagai BUMN, PT Askes tidak kebal hukum, apalagi
menyangkut dana kesehatan rakyat miskin. Namun, tindakan Depkes untuk membayar
rumah sakit dapat dibenarkan untuk kepentingan orang yang lebih banyak program
strategis seperti Jamkesmas. Jangan gara-gara tungakan PT Askes program gagal,” kata
anggota DKR Jawa Tengah, Aan Rusdianto (web warouw)
Publication: Kompas.com
Date: Wednesday, August 27, 2008
Page : -
Circulation : -
Pemerintah Lunasi Tunggakan Askeskin 2007
Rabu, 27/8/2008 | 15:28 WIB
JAKARTA, RABU - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan pemerintah telah
membayar tunggakan klaim biaya pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin di
rumah sakit dalam program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) Tahun
2007.
"Itu sudah dibayar, Rp1 triliun," katanya usai membuka seminar tentang globalisasi
praktik kedokteran di Jakarta, Rabu (27/8).
Namun Menteri tidak menjelaskan apakah dana tersebut sudah sampai ke semua
rekening pengelola rumah sakit rujukan program Askeskin, yang sejak awal 2008
namanya diganti menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Akhir pekan lalu Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA)
Hanna Permana mengatakan bahwa pengelola rumah sakit daerah belum menerima
pembayaran tunggakan klaim Askeskin Tahun 2007 dan hal itu mengganggu aliran dana
rumah sakit daerah.
Berkenaan dengan hal itu Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan Lily S
Sulistyowati menjelaskan bahwa Departemen Kesehatan sudah mengeluarkan surat
perintah membayar (SPM) tunggakan klaim Askeskin tahun 2007 pada Selasa (19/8) dan
dana tersebut diharapkan bisa tersalur ke rekening pengelola rumah sakit dua hingga tiga
hari sesudahnya.
Sebelumnya pemerintah menunda pembayaran tunggakan klaim biaya pelayanan
kesehatan gratis dalam program Askeskin di rumah sakit yang menurut PT Asuransi
Kesehatan (Askes)--perusahaan yang menjadi mitra pemerintah dalam penyelenggaraan
Askeskin 2007-- per 31 Januari 2008 jumlahnya Rp1,145 triliun.
Pemerintah menyatakan baru akan membayar tunggakan klaim tersebut setelah selesai
mengaudit hasil verifikasi klaim Askeskin di rumah sakit yang dilakukan PT Askes. Hal
itu dilakukan karena ada indikasi penyimpangan dalam pengajuan klaim pelayanan
kesehatan gratis bagi masyarakat miskin dalam program Askeskin.
Pada akhir Juli 2008, pemerintah menyatakan telah selesai mengaudit hasil verifikasi
tunggakan klaim Askeskin tahun 2007 dan akan segera membayar tunggakan klaim yang
menurut hasil audit senilai Rp1,131 triliun. AC Sumber : Antara
Publication: Sinarharapan.co.id
Date: Wednesday, August 20, 2008
Page : -
Circulation : -
Jamkesmas Rakyat Miskin Menunggu di Luar Kuota
Oleh: Web Warouw
Jakarta–Pemerintah daerah kabupaten dan kota diharapkan mendata seluruh rakyat
miskin dan hampir miskin di daerahnya agar pelayanan kesehatannya ditanggung oleh
pemerintah lewat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada 1
September 2008 nanti, seluruh rakyat miskin dan hampir miskin diseluruh Indonesia
sebanyak 76,4 juta orang mendapatkan kartu Jamkesmas dan dapat berobat gratis di
puskesmas dan rumah-rumah sakit.
Persoalannya adalah pemerintah-pemerintah daerah menentukan kuota penerima kartu
Jamkesmas berdasarkan data BPS tahun 2005 yang dianggap sudah kadaluarsa. Data BPS
menunjukkan pada tahun 2005 ada sebanyak 19,1 rumah tangga sasaran (RTS), yang
terdiri atas 9,3 juta rumah tangga sangat miskin dan sekitar 9,8 juta rumah tangga hampir
miskin. Pada tahun 2005 hanya 36,12 juta rakyat miskin yang ditanggung oleh pemerintah
dalam program Askeskin.
Untuk mengatasi bertambahnya orang miskin yang ada tahun 2008 ini, pemerintah
daerah diharapkan juga ikut membebaskan biaya pelayanan kesehatan orang miskin dan
hampir miskin yang tidak termasuk dalam kuota yang ditetapkan oleh bupati dan wali
kota sehingga tidak mendapatkan kartu Jamkesmas. Hal ini agar tidak ada lagi keluhan
rakyat miskin ditolak dirumah sakit karena tidak memiliki kartu Jamkesmas.
Sudah saatnya pemerintah daerah maupun pusat bekerjasama melayani kesehatan rakyat
miskin dan hampir miskin. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
sudah menggariskan kewajiban pemerintah pusat maupun daerah seperti yang
dijalankan oleh Jamkesmas sebagai program nasional.
Namun, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan bahwa pihaknya akan
mempertahankan program pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin (Gakin). "Kita
minta jaminan kalau memang sistem yang baru itu lebih baik dari Gakin, tapi kalau
banyak pertanyaan kita akan tetap pakai Gakin," kata Gubernur di Jakarta, Jumat lalu.
Justru program Jamkesmas, ditegaskan lagi oleh Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari,
karena banyak kasus pasien miskin yang ditolak pihak rumah sakit yang disebabkan
Pemprov DKI Jakarta masih menunggak pembayaran klaim terhadap rumah sakit.
“Di RSCM saja, pasien ber-KTP DKI Jakarta yang ditanggung dalam program Gakin tetap
harus membayar 50%, sedangkan dengan Jamkesmas pasti ditanggung 100%,” demikian
Siti Fadilah kepada pers beberapa waktu lalu.
Sementara itu, secara terpisah sebelumnya Kepala Pusat Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Abdul Cholik Masulili menjelaskan bahwa
pemerintah DKI Jakarta sudah merencanakan bergabung dengan Jamkesmas. “Secara
prinsip mereka sepakat bergabung. Tinggal dibicarakan dengan DPRD setempat,”
katanya.
Selama ini, menurut Masulili, pemerintah DKI memiliki dana Rp 250 Milyar untuk
menjalankan jaminan kesehatan rakyat miskin di DKI Jakarta sebanyak 670.000 jiwa
dalam kuota. “Kalau DKI bergabung maka maka ada 1.340.000 jiwa yang akan bisa
ditanggung oleh pemerintah pusat and DKI,” tegasnya.
Di Kota Tegal, Wali Kota sudah meminta agar para lurah tidak lagi mengeluarkan Surat
Keterangan Tanda Miskin (SKTM), padahal selama ini pasien miskin yang tidak memiliki
Publication: Sinarharapan.co.id
Date: Wednesday, August 20, 2008
Page : -
Circulation : -
kartu Askeskin ataupun Jamkesmas, mengandalkan SKTM agar dapat mendapat
pelayanan kesehatan cuma-cuma di puskesmas dan rumah sakit.
Mengenai hal ini, Masulili menegaskan bahwa daerah-daerah yang belum siap
menanggung pasien miskin diluar kuota itu diberi waktu hingga 1 September 2008, untuk
segera menyelesaikan pendaftaran ulang agar semua rakyat rakyat miskin tercakup
dalam kuota yang ditanggung Jamkesmas. “Selama kartu baru Jamkesmas belum
diterima oleh orang miskin, maka kartu sehat, kartu askeskin dan SKTM (surat
keterangan tanda miskin-red) tetap berlaku,”jelasnya lagi.
Rakyat miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan namun belum masuk masuk
dalam kuota bupati dan walikota diharapkan lebih mudah untuk mendapatkan SKTM
dari RT dan RW. “Mereka perlu mengurus sampai ke kepala dinas agar nama mereka
segera didaftarkan untuk masuk dalam kuota Jamkesmas yang dibuat kepala daerah,”
jelas Masulili.
Sementara itu, orang miskin di Kota Malang, Jawa Timur, banyak yang tidak
mendapatkan kartu Jamkesmas. Kepala Bidang Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan
Kota Malang, Rohana, kepada pers mengakui, pendataan ulang dan verifikasi untuk
orang miskin penerima Jamkesmas susulan sebanyak 31.975 jiwa diserahkan sepenuhnya
ditingkat kelurahan.
"Kalau ternyata masih banyak yang belum mendapatkan Jamkesmas itu adalah
tanggungjawab dan kewenangan masing-masing kelurahan, karena data yang diperoleh
Dinkes berdasarkan usulan dari kelurahan," katanya menegaskan.
Kuota Jamkesmas Kota Malang dari pusat hanya 94.655 jiwa dan Jamkesmas susulan
yang didanai APBD 2008 daerah itu sebesar Rp 1 miliar untuk 31.975 jiwa padahal orang
miskin yang belum mendapatkan Jamkesmas masih ribuan.
Publication: Media Indonesia
Date: Saturday, August 16, 2008
Page : -
Circulation : -
Anggaran Kesehatan Rp16 Triliun
JAKARTA (MI): Pemerintah menetapkan anggaran di bidang kesehatan pada 2008
sebesar Rp16 triliun. Jumlah itu meningkat hampir tiga kali lipat dari anggaran
bidang yang sama pada 2005 yakni sebesar Rp5,8 triliun.
‘’Sebagian besar anggaran digunakan untuk menggulirkan pelayanan kesehatan di
puskesmas, posyandu, atau melalui program jaminan kesehatan masyarakat
(jamkesmas),’’ kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan RAPBN
2009 beserta nota keuangan pada Rapat Paripurna DPR RI di Gedung MPR/DPR RI,
Jakarta, kemarin.
Menurut Presiden, hingga kini program jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi masyarakat kurang mampu telah melayani 76,4 juta jiwa.
Sementara itu, untuk lebih meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap obat,
pemerintah telah menurunkan harga obat generik secara substansial dari tahun ke tahun.
‘’Pemerintah juga merevitalisasi program keluarga berencana (KB) yang sempat
terbengkalai setelah krisis yang lalu.’’
Presiden meminta agar program KB digiatkan dan ditingkatkan supaya laju pertumbuhan
pendudukan semakin rendah.
‘’Untuk itu, kerja sama dan keterpaduan upaya dengan pemerintah daerah mutlak
diperlukan.’’
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah berada di garis depan dalam sosialisasi
dan implementasi program KB.
Sementara itu, untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, pemerintah
meningkatkan akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan.
Saat menanggapi hal itu, Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menyambut
baik rencana pemerintah menaikkan anggaran kesehatan.
‘’Itu positif, tapi seyogianya besarnya anggaran itu harus diselaraskan dengan programprogram kesehatan yang tengah digulirkan. Dengan demikian, system pemberdayaan
kesehatan bisa berjalan baik.’’
(Faw/Tlc/H-3)
Publication: The Jakarta Post
Date: Saturday, August 16, 2008
Page : -
Circulation : -
Fauzi seeks to maintain old health service plan
Tifa Asrianti , The Jakarta Post , Jakarta | Sat, 08/16/2008 11:21 AM | City
Though the city administration has yet to finally choose which health service scheme to
adopt, as between Poor Family Cards (Gakin) and Regional Health Insurance (Jamkesda),
the governor has meanwhile established a modus operandi.
Governor Fauzi Bowo said Friday that while his officials were still discussing the
possibility of replacing Gakin with Jamkesda, the city administration would apply Gakin
for the time being because it found it effective, despite some shortcomings.
"There is no guarantee that Jamkesda will not be slower (with reimbursements) than
Gakin. We want guarantees from Jamkesda. If it is better than Gakin, we'll use it. If not,
we'll stick with Gakin," Fauzi told reporters at the City Hall.
The idea to use Jamkesda was brought up in 2007 after many Gakin patients were rejected
by hospitals. Rejections happened because of late payments on hospital claims by the
Health Agency, caused in turn by late city budget disbursements to the agency.
The Jamkesda scheme is expected to avoid such problems because payment claims would
administered by a private insurance company, which would be appointed by the city
administration.
Mansur Syaerozi, a member of the City Council, said that to ensure the appointed
insurance company performed well, the city administration should evaluate it every year.
"If the performance was poor, we should switch to another insurance company. This will
ensure the insurance companies improve performance," Mansur said.
Jamkesda was planned to be adopted in 2008. Due to the late discussion of the 2008
revised city budget, implementation will have to wait until 2009 when the city
administration can allocate the budget and implement procurement procedures to pick an
insurance company.
Besides having a different management, Jamkesda will serve more insurance holders than
Gakin, as Jamkesda is projected to be available for use by all Jakarta residents, both rich
and poor.
In the 2008 revised budget, the designated health insurance budget for poor families was
increased by Rp 30 billion (US$3.25 million), from Rp 250 billion to Rp 280 billion, Mansur
said.
"With the Jamkesda scheme, based on insurance premiums, the budget can serve around
450,000 patients as the premium per person is Rp 500,000. Under the Gakin scheme, which
is not based on insurance premiums, the same budget can only serve around 100,000
patients (through direct support) and the scheme rejects patients that do not meet the
requirements," Mansur said.
In the 2007 city budget, the Gakin budget was Rp 250 billion. According to data from the
Health Agency, the budget was used for the medication fees of 150,000 poor families,
meaning that one Gakin patient cost an average of about Rp 1.66 million per year.
Fauzi emphasized that the public health service should not be undermined by the
bureaucracy of the city administration or of the insurance companies.
"The health service should put the poor as first priority," he said.
Publication: Kompas
Date: Thursday, August 14, 2008
Page : -
Circulation : -
RSUD Utang Bayar Obat
Tuntaskan Sebelum Masalah Menjadi Berlarut-larut
Kamis, 14 Agustus 2008 | 00:52 WIB
jakarta, kompas – Seretnya pencairan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
DKI Jakarta berdampak luas, terutama bagi sektor pelayanan kesehatan bagi keluarga
miskin. Tagihan rumah sakit umum daerah kepada Pemprov DKI untuk pengobatan
warga miskin belum dibayar. Buntutnya, pihak rumah sakit menunggak pembayaran
obat kepada pemasok.
Wakil Direktur Pelayanan RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, Sutirto Basuki, Rabu (13/8),
mengatakan, obat merupakan komponen terbesar dari total biaya pengobatan. Hampir 50
persen dari total biaya pengobatan adalah biaya untuk membeli obat.
”Kami akhirnya mencoba memberikan pengertian kepada pemasok obat tentang kondisi
yang ada. Tagihan obat bukannya tidak dibayar, tetapi pembayarannya perlu waktu,”
kata Basuki.
Menurut dia, sebagian besar pemasok obat dapat memahami posisi rumah sakit karena
mereka juga membutuhkan rumah sakit sebagai pasar obatnya.
Di RSUD Tarakan rata-rata jumlah pasien rawat inap per bulan mencapai 1.200 orang dan
pasien rawat jalan sekitar 14.000 orang. Artinya, dalam setahun total pasien yang berobat
ke RSUD Tarakan sekitar 182.000 orang.
Dari jumlah itu hampir separuhnya merupakan pasien dari keluarga miskin. Menurut
Basuki, subsidi silang dari pendapatan pasien non-gakin untuk menalangi biaya
pengobatan pasien gakin tidak mungkin dilakukan karena sekitar 80 persen pasien yang
berobat masuk fasilitas kelas III.
Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Igo Ilham mengakui bahwa pencairan dana untuk
program kesehatan gakin masih bermasalah. Masalah itu masih berkisar pada belum
diputuskannya APBD Perubahan 2008.
Dalam APBD Perubahan 2008, alokasi dana untuk gakin dinaikkan dari Rp 250 miliar
menjadi Rp 280 miliar. Sebabnya, penggunaan dana gakin sampai pertengahan tahun
2008 saja sudah mencapai Rp 175 miliar.
Diselesaikan cepat
Sementara itu, Ketua Eksekutif Kelompok Rakyat Pengawas Rumah Sakit (KRPRS)
Kusumadjaya berpendapat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya cepat bertindak
sebelum persoalan klaim pasien gakin berlarut-larut.
”Mungkin perlu ada mekanisme khusus seperti dana cadangan darurat yang bisa
dicairkan untuk pembiayaan pengobatan gakin. Mengingat terlambatnya pencairan dana
APBD terbukti terus berulang,” katanya.
Igo meminta semua rumah sakit tetap mau menerima pasien dengan kartu gakin. DPRD
menjamin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pasti akan membayar semua tagihan rumah
sakit yang terkait dengan dana gakin.
Warga Tanah Abang, Yos Arifin (50), hampir seminggu menunggui suaminya, Arifin (60),
dirawat di RSUD Budhi Asih, Jakarta Timur, karena menderita hernia. Suaminya berobat
di rumah sakit menggunakan kartu gakin.
Menurut dia, sejak dirawat di Budhi Asih pihak rumah sakit melayaninya dengan baik.
Tidak ada pembedaan perlakuan antara pasien gakin dan non-gakin.
Publication: Kompas
Date: Thursday, August 14, 2008
Page : -
Circulation : -
”Awalnya suami saya tidak mau berobat ke rumah sakit karena takut diperlakukan
berbeda oleh rumah sakit gara-gara kami pasien dari keluarga miskin. Takut dijadikan
percobaan,” kata Yos
Publication: Depkes.go.id
Date: Wednesday, August 13, 2008
Page : -
Circulation : -
Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) Tetap Berlaku
13-08-2008
Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), Kartu Sehat atau Kartu Askeskin masih tetap
berlaku sampai dengan 31 Agustus 2008 yaitu selesainya pendistribusian kartu peserta
Jamkesmas berjumlah 76,4 juta kartu yang menjadi tugas dan tanggung jawab PT Askes
(Persero). Terhitung mulai 1 September 2008, pelayanan kesehatan menggunakan Kartu
Jamkesmas.
Demikian penjelasan Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Dr. H. A. Chalik
Masulili, MSc pada Jumpa Pers Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), 4 Juli 2008,
di Gedung Depkes Jakarta, didampingi Kepala Pusat Komunikasi Publik dr. Lily S
Sulistyowati, MM, menanggapi pemberitaan Media Indonesia.
Faktanya, untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak
masuk kuota BPS, Pemda Jawa Timur mengupayakan melalui program Jamkesda yang
pelaksanaannya harus didasarkan atas Peraturan Daerah (Perda).
Menurut Dr Chalik Masulili Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, kartu
Askeskin yang telah diterbitkan oleh PT Askes pada tahun 2007 baru selesai sekitar 60%.
Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam program Askeskin 2007, maka
Departemen Kesehatan melakukan penyempurnaan antara lain:
1. Dana pelayanan, disalurkan langsung dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN) ke pemberi pelayanan kesehatan (PPK) melalui rekening Bank Rumah Sakit, tidak
lagi melalui PT Askes. Sementara itu, pelayanan di Puskesmas disalurkan melalui PT Pos
Indonesia.
2. Verifikasi klaim akan dilakukan oleh Verifikator Independen di setiap rumah sakit
penyelenggara program Jamkesmas. Verifikator Independen juga akan diaudit oleh
auditor internal (Irjen Depkes dan BPKP) maupun auditor eksternal (BPK). Anggota Tim
Verifikasi diusulkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, diangkat oleh Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi atas nama Menteri Kesehatan.
3. Sambil menunggu Tim Verifikator Independen, rumah sakit dapat memanfaatkan Tim
Verifikator rumah sakit yang sudah ada.
4. Program Jamkesmas tahun 2008 dilaksanakan sejak 1 Januari – 31 Desember 2008
dengan biaya yang bersumber dari Dana Bantuan Sosial Pemerintah melalui DIPA
Depkes.
5. PT Askes menyelenggarakan manajemen kepesertaan, meliputi:
a) Melakukan penatalaksanaan kepesertaan (advokasi ke Bupati/Walikota untuk
menetapkan sasaran, pencetakan blanko kartu, entry data, penerbitan dan
pendistribusian kartu, dll),
b) Melakukan penatalaksanaan pelayanan (menetapkan keabsahan identitas
peserta untuk memperoleh pelayanan RJTL, IGD dan RITL dan melakukan telaah
utilisasi kepesertaan),
Publication: Depkes.go.id
Date: Wednesday, August 13, 2008
Page : -
Circulation : -
c) Melakukan penatalaksanaan organisasi dan manajemen kepesertaan
(penanganan keluhan, pengolahan dan analisa, dan pelaporan).
Dalam program Jamkesmas, Bupati dan Walikota yang menetapkan masuk atau tidaknya
seseorang ke dalam kriteria masyarakat miskin. Kriteria awal masyarakat miskin
memakai data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi penetapannya diserahkan kepada
Bupati dan Walikota.
Dr Chalik Masulili menjelaskan, dalam petunjuk pelaksanaan yang berlaku sejak Juli
2008, apabila terdapat jumlah masyarakat miskin diluar kuota, maka pembiayaan
dilakukan pemerintah daerah. Tetapi, apabila pemerintah daerah merasa belum siap
dalam pendanaan, maka sampai tanggal 1 September 2008 pembiayaannya dilakukan
oleh Jamkesmas pusat melalui anggaran Departemen Kesehatan RI. Jadi, peserta
Jamkesmas yang menggunakan kartu Askeskin maupun SKTM, baik yang masuk dalam
kuota maupun yang tidak, biayanya masih menjadi tanggung jawab oleh Jamkesmas
pusat.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen
Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks:
021-5292 1669, 021-522 3002 atau alamat e-mail
Publication: Suara Karya Online
Date: Tuesday, August 5, 2008
Page : -
Circulation : -
KUALITAS SDM
600.000 PNS Medical Check Up Gratis
Selasa, 5 Agustus 2008
JAKARTA (Suara Karya): Dalam waktu dekat, PT Askes akan me-medical check up gratis
600 ribu pegawai negeri sipil (PNS). Upaya yang dilakukan pada PNS yang belum pernah
sakit ini, selain sebagai tindak pencegahan penyakit, juga untuk menyosialisasikan
program Sistem Jamiman Kesehatan Nasional (SJSN) yang mulai diterapkan pada 2009
nanti.
"Medical check up gratis ini akan dilakukan di seluruh provinsi," kata Direktur
Operasional PT Askes (Persero) dr Umbu Marambadjaya Marisi di sela acara "Senam
Sehat Bersama PT Askes", di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Minggu (3/8).
Tentang kriteria PNS yang akan melakukan medical check up, Umbu mengatakan,
mekanismenya diserahkan kepada masing-masing instansi.
"Entah eselon satu dulu atau pegawai rendah, ditentukan masing-masing instansi," ucap
Umbu, seraya menyarankan sebaiknya diutamakan PNS dengan kategori menengah atau
level rendah yang telah mengabdi cukup lama dan berusia di atas 40 tahun.
PT Askes juga segera melakukan pemeriksaan papsmear dengan target 300 ribu PNS
wanita secara gratis. Tujuannya adalah mencegah terjadinya kanker leher rahim pada
PNS wanita.
"Dari total PNS mencapai 3,5 juta orang, pemeriksaan gratis ini cukup besar, yaitu 30
persen. PNS yang pernah sakit tak ikut program ini karena biasanya mereka sudah dimedical check up," katanya.
Tak hanya PNS, lanjut Umbu, pihak PT Askes juga akan melakukan vaksinasi hepatitis
secara gratis pada 150 ribu perawat di rumah sakit. Mereka yang dipilih umumnya
perawat yang bertugas pada bangsal yang rentan tertular penyakit tersebut dari pasien.
Soal rencana TNI/Polri aktif masuk dalam pengelolaan kesehatannya kepada PT Askes,
sebagaimana telah dilakukan terhadap para pensiunan TNI/Polri, Umbu menjelaskan,
hal itu masih dalam tahap pembicaraan dengan Departemen Pertahanan.
"Belum ada rencana. Namun, jalan tengahnya adalah TNI/Polri yang masih aktif akan
diikutkan dalam sistem asuransi yang diatur dalam SJSN pada 2009 nanti," tuturnya.
Dengan demikian, lanjut Umbu, pengelolaan kesehatan TNI/Polri aktif tak lagi mengacu
pada PP No 28 Tahun 2003, yakni pemerintah pusat atau daerah yang dikategorikan
sebagai pemberi kerja diwajibkan membayarkan iuran premi pegawainya, melainkan UU
SJSN.
Tahun ini pemerintah pusat dan daerah telah menyanggupi amanat PP, yakni membayar
2 persen dari premi asuransi. Sayangnya kebijakan ini hanya berlaku bagi PNS. Kebijakan
itu belum berlaku untuk TNI/Polri yang masih aktif.
"Kendati pemerintah telah menyanggupi untuk membayar premi PNS, potongan 2 persen
dari gaji PNS tetap akan diberlakukan. Dampak positifnya, cakupan tingkat layanan,
obat, dan penyakit yang di-cover bertambah. Terhitung Agustus 2008, pihak PT Askes
meningkatkan pelayanan cakupan layanan medis bagi PNS sebanyak 20 persen. Ini
lantaran jumlah iuran premi juga telah bertambah," katanya menandaskan. (Tri Wahyuni)
Publication: Sinarharapan.co.id
Date: Monday, August 4, 2008
Page : -
Circulation : -
Menkes: DKR Harus Segera Aktifkan Desa-desa Siaga
Palembang - Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) harus memastikan rakyat terlibat aktif
menjalankan desa-desa siaga. Desa siaga yang aktif akan membangun kekompakkan dan
solidaritas sebagai modal untuk menghadapi berbagai tantangan dari penyakit, bencana,
maupun ancaman lainnya.
”Forum-forum kesehatan desa penting diadakan untuk membahas berbagai persoalan
kesehatan sampai persoalan kebangsaan, dari menghidupkan posyandu sampai
memastikan kedaulatan rakyat desa,” demikian Menteri Kesehatan, Siti Fadilah dalam
Studium General, Workshop dan Konferensi Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sumatra
Selatan, Sabtu (2/8) di Palembang.
Dalam bertugas menurut Menkes, DKR harus memegang lima nilai prinsipil Departemen
Kesehatan yaitu, pro-rakyat, cepat dan tepat, kerja tim, integritas, akuntabel dan
transparan. ”DKR harus berada di depan membangun desa-desa siaga dan membela
orang miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dalam program Jamkesmas.
Jangan biarkan ada penolakan pasien miskin oleh rumah sakit,” demikian Siti Fadilah.
Jamkesmas
Dalam kesempatan yang sama, Dr Atika dari Pusat Jaminan Pelayanan Kesehatan
Masyarakat (JPKM) Departemen Kesehatan menegaskan bahwa lewat pembangunan
desa-desa siaga, DKR harus segera mengumpulkan data orang miskin yang belum masuk
dalam daftar kuota pemerintah daerah.
”Laporkan ke dinas setempat agar segera dimasukkan dalam kuota pemerintah daerah
sebelum 31 Agustus. Lewat dari 31 Agustus, orang miskin yang tidak masuk kuota
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pemerintah daerah juga harus
meningkatkan pendanaannya untuk melayani kesehatan rakyat,” tegasnya.
Dalam mengadvokasi pasien miskin Atika menegaskan agar mengikuti jenjang rujukan
dari petugas kesehatan desa siaga, puskesmas, rumah sakit kabupaten, dan rumah sakit
propinsi, dan rujukan terakhir di RSCM. ”DKR harus tuntas mendampingi pasien dari
tingkatan desa sampai rumah sakit dan tidak memungut bayaran dari pasien yang
dibantu,” tegasnya.
Ketua DKR Sumatra Selatan, Anwar Sadat menjelaskan bahwa selama ini data orang
miskin yang dipakai adalah data dari Biro Pusat Statistik (BPS). Setiap kabupaten
diperiksa oleh bupati-walikota setempat dengan mengambil data dari camat, kepala
desa/lurah, RT/RW.
”Sering kali orang miskin tidak masuk dalam kuota karena jatahnya sudah diambil oleh
keluarga RT/RW, kepala desa, lurah, camat, bahkan keluarga bupati. Kami akan
melaporkan penyelewengan seperti ini kepada yang berwajib. Ini pasal manipulasi data
dan pencurian jatah orang miskin,” tegasnya.
Tentang pungutan pada pasien, Sadat menjelaskan bahwa birokrasilah yang paling sering
menarik pungutan biaya pada pasien miskin. ”Bikin SKTM saja ditarik biaya, di rumah
sakit walaupun sudah pakai SKTM, masih juga harus bayar kalau mau dilayani. Semua
ini akan kami laporkan pada yang berwajib, agar pungutan semacam ini berhenti,” tegas
Anwar Sadat. (web warouw)
Publication: Kompas
Date: Monday, September 1, 2008
Page : -
Circulation : -
Depkes Tidak Menanggung Biaya Pasien di Luar Kuota
Senin, 1 September 2008 | 00:35 WIB
Jakarta, Kompas - Mulai 1 September 2008 Departemen Kesehatan tidak lagi menjamin
biaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak masuk dalam kuota
program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan
menanggung seluruh biaya pengobatan mereka. Menurut Kepala Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat Depkes Chalik Masalili, Minggu (31/8), di Jakarta, hal ini
diharapkan tidak mengganggu aktivitas pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin. ”Meski
terjadi perubahan kebijakan, prinsipnya rumah sakit tidak boleh menolak pasien yang
berobat,” ujarnya. Untuk tahun 2008, jumlah kuota peserta Jaminan Kesehatan
Masyarakat di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 76,4 juta jiwa. Sejauh ini, hampir
semua pemda telah mengirim data peserta Jamkesmas di daerahnya. ”PT Askes telah
mendistribusikan 71 juta kartu Jamkesmas ke seluruh daerah. Jadi, masih ada 5,4 juta
kartu yang belum dibagikan,” kata Chalik. Selanjutnya Depkes hanya bersedia
menanggung biaya pelayanan kesehatan para pemegang kartu Jamkesmas, dari biaya
rawat inap, obat-obatan, sampai tindakan medis lain sesuai aturan. Biaya pelayanan
kesehatan masyarakat yang tak masuk dalam kuota Jamkesmas diharapkan ditanggung
pemda setempat. Belum ajukan keberatan Sejauh ini, jajaran pemda belum mengajukan
keberatan atas keputusan tersebut. Padahal sebagian pemda belum mengalokasikan dana
di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk menjamin pengobatan pasien di luar
kuota Jamkesmas. Rencananya, pemda akan ajukan penambahan anggaran kesehatan
pada perubahan APBD nanti. Dengan pelimpahan ke pemda, ada kemungkinan pemda
membayar secara langsung tagihan klaim ke RS umum daerah setempat atau dengan
klaim dan verifikasi oleh pihak ketiga. Kondisi seperti ini diakui memperumit urusan
Jamkesmas. Karena itu, para penyedia pelayanan kesehatan, termasuk RS, harus
mengajukan tagihan klaim pelayanan kesehatan bagi pasien ke dua pihak, yaitu
pemerintah pusat dan pemda. ”Ini memang agak membingungkan para penyedia
layanan kesehatan,” kata Chalik. Pihaknya kesulitan menentukan kriteria
ketidakmampuan seorang pasien. Dalam banyak kasus, ada pasien yang tidak termasuk
kelompok miskin, tetapi tidak sanggup membayar biaya pengobatan di atas Rp 10 juta.
”Yang paling tepat adalah pemerintah membebaskan biaya pelayanan kesehatan di kelas
III rumah sakit,” ujarnya. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, beberapa waktu lalu,
menyatakan, pihaknya telah mengusulkan penambahan dana program Jamkesmas Rp 10
triliun, tetapi belum disetujui Presiden. Asumsi, dari penduduk 220 juta jiwa, tingkat
kesakitan 15 persen, dan kebutuhan rawat inap 2 persen. Dengan premi Rp 5.000 per
bulan, program Jamkesmas bisa mencakup semua penduduk untuk pelayanan kelas III.
(EVY)
Publication: Suara Pembaruan Online
Date: Saturday, August 31, 2008
Page : -
Circulation : -
Harga Pangan Bergerak Naik
SP/Ruht Semiono
Buyung (27) mengemasi gula ukuran satu kilogram di Pasar Palmerah, Jakarta, Sabtu
(30/8). Hingga menjelang bulan Ramadan, harga-harga sembako dan komoditas pangan
cenderung stabil. hanya beberapa komoditas seperti telur mengalami kenaikan dari Rp
14.000 menjadi Rp 16.000 per kilogram.
[JAKARTA] Kurang dua hari memasuki bulan Ramadan, harga bahan pangan di tingkat
pedagang naik signifikan. Meski gejala serupa pasti terjadi di sepanjang tahun, kondisi ini
sekarang diperparah dengan naiknya harga elpiji dan minimnya pasokan minyak tanah.
Selain itu, menurut para pedagang, harga bahan pangan dan kebutuhan pokok akan terus
merambat naik hingga minggu ketiga. Demikian pantauan SP di Jakarta dan sejumlah
kota besar di Indonesia, Sabtu (30/8) pagi.
Karena itu, pemerintah perlu mengantisipasi kenaikan harga yang sifatnya struktural ini
sehingga tak menyengsarakan rakyat. Anggota Komisi IV DPR, Bomer Pasaribu,
menyoroti sikap pemerintah yang menaikkan harga elpiji menjelang Ramadan.
"Pemerintah harus mengantisipasi dampak berkelanjutan dari kenaikan harga elpiji.
Kenaikan harga elpiji menimbulkan harga-harga barang ikut melonjak naik," katanya.
Kenaikan harga bahan pangan tersebut bervariasi namun lebih banyak terjadi pada
komoditas telur dan daging. Cabai keriting yang di sejumlah daerah tengah panen pun
tak luput dari kenaikan meski tidak terlalu besar. "Naiknya harga karena permintaan
barang mendekati puasa dan lebaran," ujar Winingsih (48), pedagang di Pasar Besar
Malang (PBM), Jatim.
Harga telur ayam di Malang Raya naik dari Rp 12.000 menjadi Rp 15.000/kg. Harga
Daging sapi dari Rp 46.000 naik menjadi Rp 55.000/kg. Winingsih memperkirakan harga
daging sapi akan mencapai Rp 75.000/kg menjelang Lebaran.
Yuliana (40), pedagang di Pasar Kembang Surabaya mengatakan, pasokan barang dari
berbagai daerah lancar, tetapi harganya sudah naik dari tempat asal. Hal senada
diungkapkan Rulida Sihotang (48), seorang pedagang di Pusat Pasar Medan, Sumatera
Utara.
Sementara itu, Kasi Pengawasan
Disperindagkop Kota Yogya, Imam
Nurwahid mengatakan, hasil pantauan
akhir Agustus terjadi kenaikan harga
cukup signifikan namun fluktuatif.
Kepala Disperindagkop DIY, F Kusdarto
Pramono menyatakan kenaikan harga
menjelang puasa tak bisa dihindari dan
pemerintah tidak bisa mencegah
mekanisme pasar. "Minyak tanah justru mengkhawatirkan sebab ketersediaannya sudah
sangat minim, sementara harga elpiji naik. Ini problem sulit," ujarnya.
Harga cabai mendapatkan perhatian serius di Sumatera Barat (Sumbar) sebab tahun lalu
cabai menyumbang angka dua persen inflasi di Kota Padang. Menurut Asisten II Setprov
Sumbar Pemprov Sumbar, Surya Dharma Sabirin, kebutuhan cabai selama Ramadan dan
Publication: Suara Pembaruan Online
Date: Saturday, August 31, 2008
Page : -
Circulation : -
10 hari pasca-Idul Fitri mencapai 1.563 ton. Sedangkan stok panen September hanya 1.452
ton. Karena itu Surya meminta Dinas Pertanian untuk mencari pasokan dari daerah lain.
Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi mengungkapkan, pihaknya berusaha agar harga cabai
tak lebih dari Rp 20.000.
Sementara itu, pemerintah menjamin kenaikan harga menjelang bulan Ramadan kali ini
tak lebih dari lima persen karena pasokan atau persediaan sejumlah kebutuhan melimpah
di dalam negeri.
"Kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok menjelang puasa dan lebaran terjadi secara
alami karena ada lonjakan permintaan hingga 20 persen," kata Direktur Bina Pasar
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Depdag, Gunaryo kepada SP, Jumat
(29/8). [BO/AHS/080/ 070/152/ CNV/ D-10]
Publication: Kompas
Date: Saturday, August 31, 2008
Page : -
Circulation : -
Jaminan Kesehatan Masyarakat Bisa Memperburuk Ketidakadilan Geografis
Sabtu, 30 Agustus 2008 | 01:04 WIB
Depok, Kompas - Jaminan Kesehatan Masyarakat justru bisa memperburuk ketidakadilan
geografis karena penduduk miskin di daerah yang jauh dari kota akan lebih sulit
mengakses pelayanan kesehatan.
Demikian, antara lain, diungkapkan Laksono Trisnantoro dari Pusat Manajemen
Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dalam diskusi di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jumat (29/8).
Secara umum, masyarakat miskin gagal mendapat pelayanan kesehatan karena tidak
punya dana atau jaminan kesehatan, tempat tinggal penduduk secara geografis jauh dari
tempat layanan kesehatan, ketidaksamaan akses karena pengetahuan, budaya, dan jender.
”Adanya program Jaminan Kesehatan Masyarakat justru bisa memperburuk
ketidakadilan geografis,” ujarnya.
”Masyarakat miskin atau menengah di kota-kota besar yang dekat dengan rumah sakit
dan dokter atau tenaga kesehatan akan mendapat akses lebih baik untuk mendapat
pelayanan kesehatan,” kata Laksono.
Menurut Laksono, ketimpangan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih
terjadi di berbagai daerah di Tanah Air akibat belum efektifnya sistem kesehatan nasional.
Kondisi ini menyebabkan rendahnya status kesehatan, terutama masyarakat miskin di
daerah terpencil.
Untuk mengatasi kesenjangan geografis, Laksono menyatakan, standar pelayanan
minimal perlu digunakan dengan menambah dokter dan fasilitas kesehatan di daerah
terpencil serta memakai formula membagi anggaran di pusat.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas Arum Atmaikarta menambahkan,
desentralisasi bidang kesehatan perlu dikelola agar tidak terjadi kesenjangan akses
masyarakat antardaerah terhadap layanan kesehatan. Diakui, Indonesia belum
sepenuhnya siap saat diberlakukan desentralisasi kesehatan.
Menurut survei Departemen Kesehatan di 78 kabupaten pada 17 provinsi tahun 2007, 30
persen dari 7.500 puskesmas di daerah terpencil tak ada tenaga dokter.
Kepala Bidang Kajian Pembangunan Kesehatan Jangka Pendek Pusat Kajian
Pembangunan Kesehatan Depkes Iswandi Mourbas mengakui, pemerataan,
keterjangkauan, kualitas pelayanan kesehatan, dan status kesehatan masyarakat masih
rendah. ”Dalam pembiayaan kesehatan, kontribusi pemerintah baru 30 persen dan
alokasinya belum efektif,” ujarnya. (EVY)
Publication: Kompas.com
Date: Thursday, June 12, 2008
Page : -
Circulation : -
Laporan Bank Dunia: Belanja Kesehatan Publik Meningkat
Jakarta, Kompas - Pengeluaran publik Indonesia untuk sektor kesehatan telah meningkat
pesat. Berdasarkan perhitungan, jumlah pengeluaran publik untuk kesehatan telah
meningkat empat kali lipat dari sekitar 1 miliar dollar AS (Rp 9,3 triliun) pada tahun 2001
menjadi lebih dari 4 miliar dollar AS (Rp 39 triliun) pada tahun 2007, yang untuk pertama
kalinya melebihi 1 persen dari produk domestik bruto.
Demikian salah satu butir laporan Bank Dunia yang berjudul Berinvestasi dalam Sektor
Kesehatan Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk Pengeluaran Publik di Masa Depan,
yang diluncurkan di Jakarta, Rabu (11/6). Laporan ini hasil kerja sama Bank Dunia
dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
”Masih banyak tantangan kesehatan di komunitas miskin, seperti malaria, angka
kematian ibu dan anak. Ini tantangan yang harus dihadapi Indonesia,” kata Direktur
Tingkat Negara Indonesia Bank Dunia Joachim von Amsberg.
Claudia Rokx, Lead Health Specialist Bank Dunia, memaparkan, peningkatan belanja
publik di sektor kesehatan ini terdorong oleh keberadaan program Asuransi Kesehatan
untuk Masyarakat Miskin (Askeskin).
Pada waktu bersamaan, pengeluaran publik yang kurang efisien kadang menekan
kualitas layanan kesehatan. Upaya reformasi semakin dipersulit dengan kenyataan
bahwa Indonesia, seperti halnya banyak negara lain, memikul beban penyakit ganda,
karena selain harus memerangi penyakit menular, seperti tuberkulosis dan campak, juga
harus memerangi penyakit tidak menular seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker.
Indonesia juga masih menunjukkan kinerja buruk di sejumlah bidang penting, dan
sebagai akibatnya, kemungkinan tidak dapat mencapai beberapa Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs) yang berkaitan dengan kesehatan.
Kematian ibu hamil di Indonesia, misalnya, lebih dari empat ibu meninggal untuk setiap
1.000 anak yang lahir hidup. Juga gizi yang buruk pada anak, tingkat melek huruf pada
perempuan, dan akses terhadap air bersih serta sanitasi.
Saat ini penduduk Indonesia berusia lebih panjang sehingga pada tahun 2025 jumlah
penduduk yang berumur 30-60 tahun akan melebihi jumlah penduduk yang berumur 030 tahun. (LOK)
Sumber: Kompas Cetak, cetak.kompas.com
Publication: Beritasore.com
Date: Wednesday, June 11, 2008
Page : -
Circulation : -
Belanja Publik Untuk Kesehatan Tidak Efisien
Posted by Redaksi on Juni 11, 2008
Jakarta ( Berita ) : Belanja pemerintah Indonesia pada sektor kesehatan selama ini tidak
efisien, sehingga perlu reformasi di proses penganggaran dan implementasi anggaran
yang ada, kata Spesialis Kesehatan Utama Bank Dunia Claudia Roukx, di Jakarta, Rabu
[11/06] .
“Berdasarkan analisa kami dari data rumah tangga, ada beberapa inefisiensi yang ada
pada sistem belanja publik,” kata Claudia Roukx pada peluncuran Kajian atas Belanja
Publik di sektor Kesehatan (PER) 2008.
Menurut dia, hal itu misalnya terlihat pada kenyataan bahwa hanya 30 persen penduduk
yang memanfaatkan program pengobatan gratis, absennya tenaga medis saat dibutuhkan,
dan rendahnya pemanfaatan tempat tidur di rumah sakit.
Menurut dia, masalah lain yang menciptakan inefisiensi dalam belanja publik itu ialah
masih rendahnya jumlah masyarakat yang tercakup pada pelayanan asuransi kesehatan
Namun diakuinya, program Asuransi Kesehatan bagi penduduk miskin (Askeskin) dan
Jaminan Kesehatan penduduk miskin (Jamkeskin) berhasil meningkatkan pemanfaatan
serta memperluas cakupan masyarakat yang bisa menikmati biaya kesehatan gratis
hingga ke masyarakat miskin.
Ekonom senior Bank Dunia Wolfgang Fengler mengatakan, pemerintah tidak perlu
menetapkan besaran tertentu dalam APBN untuk sektor kesehatan, seperti pada
pendidikan, karena keterbatasan anggaran. “Kalau pendidikan ada target, kesehatan juga
dibuat target, maka tidak akan ada yang tersisa dalam APBN untuk infrastruktur,
misalnya,” kata Fengler.
Selain itu, kata Fengler, kebutuhan pembiayaan sektor kesehatan bisa ditutupi oleh
partisipasi dari pihak swasta, asalkan mereka mendapat insentif yang cukup menarik.
“Terus menambah alokasi anggaran pada sektor yang inefisien, jelas sangat tidak efektif,”
katanya.
Deputi Kemeneg PPN/Bappenas bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Nina
Sardjunani mengatakan, pemerintah menyambut baik hasil kajian tersebut, bahkan
dirinya sependapat dengan Bank Dunia mengenai pentingnya efiensi belanja. “Kualitas
belanja harus diperbaiki,” katanya.
Dengan demikian, ia menjelaskan, pemerintah tidak perlu menetapkan besaran tertentu
dari APBN untuk kesehatan, seperti pada sektor pendidikan, asalkan anggaran yang ada
dipastikan efektifitasnya.
Sembilan rekomendasi
Bank Dunia juga memberikan sembilan rekomendasi kepada pemerintah untuk menjamin
ketersediaan layanan kesehatan yang lebih memenuhi standar dan merata bagi seluruh
penduduk.
Rekomendasi-rekomendasi tersebut yaitu, meningkatkan penggunaan sumber daya yang
tersedia untuk kesehatan dan pada saat bersamaan menambah sumber daya dalam
jangka menengah, menambah sumber daya untuk kesehatan reproduksi dan alokasi
sumber daya rujukan dan kelahiran di lembaga kesehatan.
Publication: Beritasore.com
Date: Wednesday, June 11, 2008
Page : -
Circulation : -
Memperbaiki alokasi yang cukup untuk operasional dan perawatan terutama untuk
pelayanan dasar, serta menyediakan sumber daya tambahan terhadap barang-barang
publik utama yang menentukan hasil kebijakan kesehatan.
“Pemerintah juga dapat menyesuaikan Dana Alokasi Umum untuk memberikan insentif
pada reformasi kepegawaian daerah dan mengubah PP No 55 yang memungkinkan
penggunaan operasional dana dekonsentrasi,” kata Roukx, yang menjadi salah satu tim
pembuat laporan tersebut.
Rekomendasi lainya seperti memperluas cakupan askeskin, adanya keberlanjutan
finansial askeskin, melibatkan swasta dalam askeskin, serta memperbaiki sistem
pelaporan dan ketersediaan data.
“Sektor swasta harus diberi insentif untuk lebih aktif terlibat dalam sektor kesehatan
melalui kerangka kebijakan, seperti dalam hal pemberian lisensi medis, dan akreditas
tenaga medis yang dilakukan secara reguler,” katanya.
Menurut dia, pelibatan sektor swasta membutuhkan adanya identifikasi dini atas sektor
swasta yang kini sudah terlibat, baik dari sisi jenis pelayanan yang diberikan maupun
lokasi.
“Masih ada distorsi, yaitu subsidi pasokan obat untuk rumah sakit dan puskesmas
sehingga sektor swasta tidak memiliki ‘level of playing field’ yang sama,” katanya Jika hal
itu disamakan, katanya, pemberian pelayanan kesehatan diyakini akan lebih efektif dan
efisien, serta optimal. ( ant )
Download