pengaruh suplementasi mineral kromium organik murni dalam

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENGARUH SUPLEMENTASI MINERAL KROMIUM
ORGANIK MURNI DALAM RANSUM TERHADAP HORMON
TRIIODOTIRONIN (T3) TETRAIODOTIRONIN (T4) DAN
KONDISI FISIOLOGIS SAPI PERAH DARA DI
LINGKUNGAN PANAS
(Effect of Organic Chromium Supplementation to A Concentrate on Blood
T3 And T4 Concentration and Physiological Condition of Diary Heifer in
Warm Environment)
JOHN BESTARI 1, KUSWANDI 1 dan T. TOHARMAT 2
1
Balai Penelitian Ternak, PO Box. 221, Bogor 16002
2
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor
ABSTRACT
Low reproductive performance of Fries Holland cows in warm environment is influenced by some factor,
mainly feed and temperature. Twelve yearly FH heifer, weighing average of 2.13 ± 3.05 kg (208 – 217 kg)
were randonaly allocated to 4 dietary treatment and 3 replicates in a completely randomized design. The
treatments were 0; 1.5; 3.0 and 4.5 ppm of pure organic chromium in a Balitnak concentrate (14.5% protein
and 69.2% TDN). Physiologic parameters (rectal temperature, heart rate and respiration rate) were meastured
every morning and afternoon. Blood samples taken from jugular rein were analyzed for T3 and T4 using RIA
technic. The results showed that organic chromium reduced rectal temperature by 1.7°C in the morning and
1.04°C in the afternoon. and by 1.36°C in the morning and by 0.99°C in the afternoon when incluted at 3.0
and 4.5 ppm, respectively. Corresponding values for heart rates were decreates by 1.15 perminute in the
morning and 2.39 perminute in the afternoon, and by 1.7 perminute in the morning and 2.3 perminute in the
afternoon. Respiration rate decreated by 2.2 and 2.8 perminute in the morning and afternoon respectively
when 4.5 ppm of organic chromium was included in the concentrate. Significant increates in T3 concentration
were observed at 3.0 and 4.5 ppm treatments in by 0.1 ng/ml and 0.06 ng/ml in the morning and by 0.13 and
0.07 ng/ml in the afternoon respictvely whereas T4 increated in the morning by 3.7 and 3.41 ng/ml, and in the
afternoon by 4.42 and 1.80 ng/ml, respectively. If can concluded that organic chromium supplemented to
dairy cattle concentrate cow stabilize physiological activities and T3 and T4 concentrations in warm
condition.
Key Word: Supplementation, Pure Organic, Virgin Cows, Hot Environments
ABSTRAK
Rendahnya performans reproduksi sapi perah peranakan Fries Holland di daerah lingkungan panas diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain makanan dan temperatur lingkungan. Untuk mempelajari
pengaruh kedua hal tersebut telah dilakukan suatu penelitian dengan menggunakan 12 ekor sapi perah dara
umur 12 bulan dengan variasi bobot badan 208 – 217 kg (rataan 213 + 3,05 kg). Semua sapi secara acak
dibagi dalam 4 perlakuan suplementasi mineral kromium organik murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam
pakan konsentrat Balitnak. Ransum perlakuan yang terdiri dari rumput gajah dan konsentrat Balitnak dibuat
iso-protein (14,5%) dan iso-TDN (69,2%) diamati selama 16 minggu. Rancangan acak lengkap dengan 4
perlakuan dan 3 ulangan digunakan dalam penelitian ini. Kondisi fisiologis (suhu tubuh, denyut jantung dan
frekuensi pernafasan) diukur pada pagi dan siang hari. Sampel darah diambil melalui vena jugularis sebanyak
10 ml dan dianalisis dengan metode RIA untuk menentukan konsentrasi hormon Triiodotironine (T3) dan
Tetraiodorironine (T4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi mineral Kromium organik nyata
menurunkan suhu tubuh sebesar 1,7°C di pagi hari dan 1,04°C di siang hari pada suplementasi 3,0 ppm dan
suplementasi 4,5 ppm juga nyata menurun sebesar 1,36°C di pagi hari dan 0,99°C disiang hari. Denyut
jantung juga menurun dengan nyata pada suplementasi 3,0 ppm sebanyak 1,15 kali/menit di pagi hari dan
2,39 kali/menit di siang hari, sedangkan suplementasi 4,5 ppm nyata menurunkan denyut jantung sebanyak
168
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
1,7 kali/menit di pagi hari dan 2,3 kali/menit di siang hari. Begitu juga dengan frekuensi pernafasan nyata
berkurang 2,2 kali/menit di pagi hari dan 2,8 kali di siang hari untuk suplementasi 4,5 ppm. Konsentrasi
hormon T3 mengalami peningkatan secara nyata pada suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm di waktu pagi sebesar
0,1 ng/ml dan 0,06 ng/ml, dan siang hari meningkat sebesar 0,13 ng/ml dan 0,07 ng/ml. Konsentrasi hormon
T4 juga meningkat secara nyata di pagi hari 3,7 dan 4,42 ng/ml pada suplementasi 3,0 ppm, dan 4,42 dan 1,8
ng/ml pada suplementasi 4,5 ppm. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suplementasi mineral
kromium organik pada sapi perah yang dipelihara pada lingkungan panas menunjukkan peningkatan aktivitas
fisiologis dan konsentrasi hormon T3 dan T4 secara nyata
Kata Kunci: Suplementasi, Kromium Organik Murni, Sapi Perah Dara, Lingkungan Panas
PENDAHULUAN
Sapi perah di Indonesia cendrung
dipelihara di dalam dua wilayah ekstrim, yang
pertama wilayah dengan ekosistem baik namun
kondisi sosial ekonominya rendah yaitu di
daerah pedesaan di lereng pergunungan yang
memiliki suhu sejuk dan yang kedua wilayah
dengan keadaan ekosistem buruk namun
memiliki sosial ekonomi yang cukup tinggi
yaitu daerah dataran rendah di sekitar kota
besar yang bersuhu lingkungan tinggi
(SUTARDI 1999). Kondisi lingkungan Indonesia
merupakan daerah tropis dimana suhu dan
kelembaban udaranya cukup tinggi akan
memberikan pengaruh yang merugikan seperti
terjadinya cekaman panas pada ternak sapi
perah
yang
berakibat
terhambatnya
pertumbuhan dan kemampuan berproduksi.
Selain faktor lingkungan, faktor makanan dan
genetik merupakan faktor yang tidak dapat
diabaikan dalam mempengaruhi pertumbuhan
dan kemampuan berproduksi sapi perah. Suhu
lingkungan secara langsung mempengaruhi
pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi
perah, oleh karena itu antara suhu udara
dengan gizi pakan terjalin suatu interaksi yang
erat.
Mineral kromium (Cr) telah lama diketahui
perannya dalam metabolisme karbohidrat,
khususnya dalam meningkatkan entri glukosa
ke dalam sel melalui peningkatan potensi
aktivitas insulin (SCHWARZ dan MERTZ, 2001),
tetapi kebutuhan mineral kromium pada ternak
belum banyak diketahui dengan pasti. Pada
kondisi stres kebutuhan kromium akan
meningkat. Selama kebuntingan dan laktasi
kebutuhan kromium juga meningkat, hal ini
karena pada saat tersebut mengalami stres
akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik
(YANG et al., 2002). BURTON (1999)
melaporkan bahwa kromium berperan dalam
sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin
(T4) menjadi triiodotironin (T3), yaitu hormon
yang berperan dalam meningkatkan laju
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta
meningkatkan sintesa protein. Hasil penelitian
YANG et al. (2002) pada sapi perah laktasi
bahwa suplementasi chromium chelate sebesar
5 mg kromium per hari menghasilkan
peningkatan produksi susu sebesar 13,2% (27,5
vs 24,3 kg/hari). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
suplementasi kromium juga meningkatkan
konsumsi bahan kering sebesar 15% (13,76 vs
11,93 kg/hari). SUBIYATNO et al. (2005)
mendapatkan hasil bahwa, suplementasi
kromium pada sapi perah laktasi sebesar 7,25
mg/hari mampu meningkatkan produksi susu
sebesar 24% (22,9 vs 18,5 kg) pada 2 minggu
pertama laktasi.
Kenaikan suhu udara akan mengakibatkan
peningkatan frekuensi denyut nadi dan
pernafasan setiap menitnya. Meningkatnya
frekuensi pernafasan adalah reaksi tubuh sapi
perah itu sendiri untuk mengatasi kenaikan
suhu tubuhnya. Meningkatnya frekuensi
denyut nadi adalah untuk mempercepat
penyaluran darah sebagai transportasi O2 dan
panas. Antara suhu lingkungan dan suhu tubuh
terdapat
suatu
keseimbangan
yang
memungkinkan setiap proses biokimiawi dan
faali dapat berlangsung dengan semestinya,
bila
terjadi
ketidakseimbangan
akan
menyebabkan ketidaknormalan mekanisme
dalam tubuh (MCDOWELL, 1998; MOUNT,
2003; ESMAY, 1988). Suhu nyaman sapi perah
berkisar antara 4,4 – 21,1°C (SCHMIDT, 2002);
antara 13 – 18°C (MCDOWELL, 1998); antara 4
– 25°C (YOUSEF, 2006a). Suhu kritis sapi FH
adalah 27°C (KIBLER, 1992; MCDOWELL,
1998), sedangkan menurut YOUSEF (2006a)
adalah 25°C. Apabila suhu udara meningkat di
atas suhu kritis, sapi akan mulai menderita
169
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
cekaman
panas,
sehingga
mekanisme
termoregulasi mulai bekerja terutama dengan
cara meningkatkan pernafasan, denyut jantung
dan penguapan air melalui kulit (HAFEZ, 1968;
ARMSTRONG, 1977; LINVILL dan PARDUE,
2002).
PURWANTO et al. (2005) melaporkan
bahwa kandungan tiroksin (T3) menurun dari
2,51 menjadi 1,79 ng/ml pada saat suhu
lingkungan meningkat dari 10 menjadi 30°C.
Selain itu dijelaskan bahwa suhu lingkungan
dan konsumsi ransum sangat berpengaruh
terhadap fisiologis ternak. Gambaran suhu
lingkungan terhadap konsentrasi hormon T3
dan T4 dilaporkan juga oleh MAGDUB et al.
(1992) dan NIXON et al. (2001) bahwa suhu
lingkungan yang tinggi akan menurunkan
sintesis hormon-hormon tiroksin. Hal ini
berhubungan dengan penghambatan sekresi
tiroksin releasing hormon (TRH) dari
hipotalamus dan akhirnya keluarnya tiroksin
stimulating hormon (TCH) karena ada
cekaman panas (JOHNSON, 1985; NIXON et al.,
2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
pengaruh suplementasi mineral kromium
organik terhadap kondisi fisiologis (suhu
tubuh, denyut jantung dan pernafasan), hormon
triiodotironine (T3) dan tetraiodotironine (T4)
ternak sapi perah peranakan Friesh Holland
yang dipelihara di daerah lingkungan panas,
dengan suatu harapan bahwa hasil penelitian
ini dapat dipakai sebagai pedoman di dalam
program peningkatan produksi sapi perah
terutama di daerah lingkungan panas di
Indonesia.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini telah dilaksanakan selama 4
bulan di kandang percobaan Ruminansia Besar
Balai Penelitian Ternak lokasi Cicadas
Kecamatan Gunung Putri, Bogor. Sejumlah 16
ekor sapi perah PFH betina dengan variasi
bobot badan 208 – 217 kg (rataan 213 + 3 kg)
serta sejumlah gigi permanen antara 5 – 7
dipergunakan pada penelitian ini.
Semua sapi secara acak dipisahkan menjadi
4 kelompok, masing-masing kelompok 4 ekor
untuk diberi perlakuan pakan yang berbeda.
Perlakuan makanan yang diberikan pada
170
masing-masing kelompok dengan penambahan
konsentrat sebesar 2,5 kg/ekor/hari disamping
makanan dasar rumput gajah sebanyak 30
kg/ekor/hari, sehingga kelompok ternak
tersebut dipisahkan secara acak lengkap,
dengan pola rancangan acak lengkap 4 × 3
dengan faktor perbedaan suplementasi
kromium pikolinat murni yang berbeda yaitu:
A. Cr-Pic 0= Rumput Gajah + Konsentrat
Balitnak Ciawi (Kontrol).
B. Cr-Pic 1,5= Ransum Cr-Pic 0 + 1,5 ppm
Cr-pikolinat murni.
C. Cr-Pic 3,0= Ransum Cr-Pic 0 + 3,0 ppm
Cr-pikolinat murni.
D. Cr-Pic 4,5= Ransum Cr-Pic 0 + 4,5 ppm
Cr-pikolinat murni.
Kromium pikolinat murni sebagai faktor
perlakuan merupakan substansi yang mampu
meningkatkan pengambilan glukosa dan
meningkatkan potensi aktivitas insulin.
Substansi ini kemudian diketahui sebagai
faktor toleransi glukosa (glucosa tolerance
factor, GTF). Struktur GTF tersusun dari
komplek Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat
dan 3 asam amino yang terkandung dalam
glutamin yaitu glutamat, glisin dan sistein
(LINDER, 2003). Konsentrat komersil Balitnak
yang dipergunakan dengan komposisi: 14,4%
protein kasar, 4,2% lemak, 16,6% serat kasar,
11,8% abu dan 69,2% TDN. Sedangkan
suplementasi kromium pikolinat murni
dicampurkan kedalam konsentrat komersil
Balinak. Pengambilan sampel darah dari vena
jugularis sebanyak 10 ml dilakukan 2 kali yaitu
pagi dan siang. Pengambilan darah pagi
dilakukan dimana sapi sebelumnya dipuasakan
selama 12 jam (mulai jam 7 malam sampai jam
9 pagi) dan pengambilan darah siang dilakukan
jam 13.00 yaitu pada saat suhu lingkungan
tertinggi. Pengambilan darah yang ke dua ini
sapi sudah diberi makan selama 3 – 4 jam.
Sampel darah tersebut di-centrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm dan plasma darahnya
disimpan pada temperatur -20°C untuk analisa
hormon
triiodotironine
(T3)
dan
Tetraiodotironine (T4). Sampel darah yang
dianalisa pada penelitian ini adalah sampel
darah yang diambil pada 4 hari terakhir masa
penelitian
dan
dianalisis
dengan
mempergunakan KIT khusus untuk analisa T3
dan T4 berlabel 125J, Diagnostic Products
Coorporation, Los Angeles, CA. Produksi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Altech, Inc. Biotechnology Center, Kentucky
USA.
Pencatatan data fisiologis (suhu rektal,
denyut jantung dan pernafasan) dilakukan 2
kali sehari yaitu pagi jam 06.00 dan siang pada
puncak suhu tertinggi yaitu jam 13.30.
Pencatatan data lingkungan dilakukan setiap
hari selama penelitian berlangsung.
Analisa proksimat pakan konsentrat dan
rumput gajah dilakukan di Laboratorium Kimia
Pakan Balitnak, Ciawi, begitu juga dengan
analisis hormon triiodotironine (T3) dan
tetraiodotironine (T4) di Laboratorium
Fisiologi Ternak Balitnak, Ciawi.
Untuk melihat pengaruh suplementasi
mineral kromium organik murni dalam ransum
terhadap nilai rata-rata kondisi fisiologis ternak
(suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan)
dan kadar hormon Triiodotironine (T3),
Tetraiodotironine (T4) dipergunakan statistik
Rancangan Acak Lengkap menurut STEEL dan
TORRIE (1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan lingkungan penelitian
Lokasi penelitian terletak di Desa Cicadas
Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor,
kurang lebih 60 km ke arah utara kota Bogor.
Keadaan topografi dataran rendah dengan
ketinggian 45 m dari permukaan laut, curah
hujan setiap tahun bervariasi antara 1500 dan
2500 mm (Biografi Desa Cicadas Kecamatan
Gunung Putri, 2006).
Keadaan suhu lingkungan, kelembaban
udara dan indeks suhu kelembaban (ISK)
selama penelitian disajikan pada Tabel 1
Rataan suhu lingkungan pada pukul 05,00
adalah 24,33°C (25,8 – 23,6°C) dan
kelembaban 85,82% (89,1 – 78,0%). Hasil
perhitungan ISK pada waktu tersebut adalah
70,12 (70,8 – 67,3). Pada pagi hari kondisi
lingkungan masih nyaman. Semakin siang
Tabel 1. Rataan suhu lingkungan, kelembaban udara dan indeks suhu kelembaban (ISK) di lokasi penelitian
Waktu
pengamatan
(pukul)
Suhu lingkungan (°C)
Kelembaban udara (% RH)
ISK
(Max – Min)
Rataan
(Max – Min)
Rataan
(Max – Min)
Rataan
05:00
(25,8 – 23,6)
24,33
(89,1 – 78,0)
85,82
(70,8 – 67,3)
70,12
06:00
(26,3 – 24,1)
25,29
(87,4 – 76,2)
80,57
(75,3 – 68,9)
72,45
07:00
(27,4 – 24,8)
25,54
(85,2 – 72,5)
81,90
(77,9 – 70,2)
73,38
08:00
(28,9 – 25,0)
26,52
(82,3 – 71,8)
77,44
(78,4 – 70,0)
75,63
09:00
(29,1 – 25,7)
26,76
(82,5 – 65,3)
76,63
(81,7 – 72,1)
76,73
10:00
(30,0 – 26,1)
28,15
(79,7 – 63,7)
72,85
(83,1 – 72,4)
79,25
11:00
(31,2 – 27,5)
28,78
(78,8 – 60,9)
72,58
(83,8 – 75,8)
80,14
12:00
(32,6 – 28,3)
30,43
(75,5 – 59,1)
67,02
(86,2 – 76,7)
82,47
13:00
(33,5 – 28,7)
30,97
(75,2 – 56,4)
65,26
(86,9 – 80,6)
83,02
14:00
(34,2 – 29,5)
32,21
(72,6 – 50,2)
57,57
(88,3 – 79,9)
84,50
15:00
(32,9 – 28,9)
31,79
(74,0 – 54,8)
61,30
(87,7 – 77,3)
82,73
16:00
(32,1 – 27,5)
29,47
(72,9 – 55,5)
66,94
(85,1 – 76,8)
79,34
17:00
(29,5 – 27,1)
28,51
(73,8 – 57,9)
65,53
(84,2 – 74,2)
78,81
18:00
(27,8 – 25,9)
26,65
(78,0 – 58,6)
70,41
(80,9 – 75,7)
76,24
19:00
(29,5 – 26,1)
27,80
(79,3 – 62,5)
72,07
(79,8 – 72,2)
75,13
20:00
(29,2 – 25,7)
27,37
(81,5 – 63,3)
71,23
(78,2 – 71,6)
73,67
21:00
(28,0 – 25,4)
26,50
(82,0 – 67,4)
74,82
(77,6 – 70,3)
73,15
22:00
(27,2 – 24,5)
26,17
(85,2 – 70,2)
74,56
(75,4 – 70,2)
71,23
171
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
terjadi kenaikan suhu dan penurunan
kelembaban, yang mengakibatkan nilai ISK
semakin tinggi sehingga keadaan lingkungan
menjadi tidak nyaman bagi ternak.
Keadaan tidak nyaman yaitu pada ISK di
atas 76 – 77 (ESMAY, 1988) mulai tercapai
antara pukul 09,00-10,00 pada saat tersebut
suhu lingkungan 26,76°C dengan kelembaban
76,73% dan ISK antara 81,7 – 72,1. Pada
keadaan ini sapi telah mulai menunjukkan
keadaan tidak nyaman. HAFEZ (1998)
mengemukakan bahwa respon awal pada sapi
dalam keadaan cekaman panas adalah
perubahan
frekuensi
pernafasan,
kardiovaskuler dan tingkah laku, respon kedua
adalah perubahan proses metabolik, endokrin
dan enzimatik.
Rataan nilai ISK tertinggi (84,50) dicapai
pada pukul 14,00. Pada sore hari suhu
lingkungan mulai menurun
sedangkan
kelembaban mulai naik sehingga ISK mulai
menurun. Keadaan nyaman yaitu pada ISK di
bawah 76 dicapai pada pukul 19,00 (75,13
dengan variasi antara 79,8 – 72,2). Pengamatan
ini menunjukkan bahwa sapi perah di daerah
penelitian berada dalam keadaan tidak nyaman
mulai pukul 10.00 sampai pukul 18.00.
Pengaruh suplementasi mineral kromium
terhadap fisiologis
Suhu tubuh merupakan perwujudan dari
suhu organ-organ di dalam serta di luar tubuh.
Rataan suhu tubuh pada pagi hari (pukul 06.00)
berkisar antara 38,05 dan 39,76°C (Tabel 2)
masih berada dalam kisaran suhu tubuh normal
yaitu antara 38,00 – 39,80°C (WILLIAMSON
dan PAYNE, 2000). Namun lebih tinggi dari
suhu tubuh normal sapi FH hasil perhitungan
PURWANTO et al. (2005) yaitu berkisar antara
38,32 dan 38,63°C (suhu udara berkisar 12 dan
24°C) dan juga lebih tinggi dari hasil
pengukuran KIBLER (1993) yaitu 38,75 dan
38,97°C (suhu ruang berkisar 10 – 26,67°C)
maupun SASTRY (2004) dan THOMAS (2005)
yaitu sekitar 38,9°C, sedangkan suhu tubuh
waktu siang hari cendrung diatas suhu tubuh
normal, yaitu berkisar 40,01 dan 41,37°C.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa sapisapi penelitian mendapat cekaman panas waktu
siang hari nyata lebih besar dibandingkan
dengan waktu pagi hari yang ditunjukkan
dengan keadaan suhu lingkungan yang lebih
besar (Tabel 2), sehingga suhu tubuh siang hari
nyata lebih panas.
Besarnya cekaman panas yang dicerminkan
oleh nilai suhu tubuh sebagian dipengaruhi
oleh suhu kulit. Namun demikian, kulit
berperan penting dalam menerima ransangan
panas atau ransangan dingin untuk dihantarkan
ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke
hipotalamus anterior bagian pre optic.
Rangsangan suhu tersebut diteruskan ke pusat
pengatur panas yang juga di hipotalamus untuk
melakukan usaha-usaha penurunan perolehan
atau pembuangan panas (GANONG, 2001).
Panas yang diterima kulit berbeda pada waktu
pagi dan siang hari, maka berpengaruh pula
terhadap banyaknya perolehan panas, sehingga
akan menyebabkan perbedaan pada suhu
tubuh. Keadaan tersebut terlihat bahwa suhu
tubuh pada waktu pagi hari lebih rendah
dibandingkan dengan pada waktu siang hari.
Tabel 2. Rataan suhu tubuh sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari
Perlakuan
Waktu pengamatan
Pagi
Siang
Rataan
........................................... (OC) .......................................
Cr-Pic 0
39,76a + 0,29
a
41,37a + 0,17
ab
40,57
Cr-Pic 1,5
39,19 + 0,18
41,12 + 0,21
40,16
Cr-Pic 3,0
38,05b + 0,23
40,01b + 0,28
39,03
b
c
Cr-Pic 4,5
38,72 + 0,25
40,44 + 0,26
39,58
Rataan
38,93 + 0,63
40,74b + 0,54
39,84
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
172
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
rataan suhu tubuh pada pagi hari adalah
38,93°C lebih rendah 1,81°C dibandingkan
dengan suhu tubuh pada siang hari. Pada pagi
hari keadaan masih nyaman dengan nilai ISK
72,45 pada pukul 06,00 sedangkan pada siang
hari rataan suhu tubuh meningkat 1,81°C
dibandingkan dengan suhu tubuh pada pagi
hari. Hasil ini sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh WILLIAMSON dan PAYNE, 2000
pada kamar iklim diperoleh bahwa suhu panas
yang terus menerus mengakibatkan suhu tubuh
naik sebesar 1,1 – 1,7°C dan akan mematikan
embryo. Hasil perhitungan suhu tubuh sapisapi penelitian pada waktu pagi dan siang hari
menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan
suplementasi kromium pikolinat murni
menyebabkan terjadinya perbedaan suhu
tubuh. Hal tersebut terlihat bahwa suhu tubuh
sapi-sapi yang diberi suplementasi kromium
pikolinat murni level 4,5 ppm menghasilkan
pengurangan cekaman panas dengan cara
menurunkan suhu tubuh pada siangnya
menjadi 40,01 – 40,44°C, yang semula
41,37°C. Dalam level rendah (1,5 ppm)
kromium
tidak
seberapa
memperbaiki
kenyaman suhu tubuh dari cekaman panas
(Tabel 2). Pada pukul 14.00 siang hari rataan
suhu lingkungan adalah 40,24°C, nilai ISK
mencapai 84,50 sehingga keadan ini sudah
tidak nyaman lagi bagi ternak.
Rataan frekuensi denyut jantung sapi
penelitian bervariasi antara 78,41 – 80,11 kali
per menit untuk pagi hari dan 89,03 – 91,33
kali per menit untuk siang hari. Denyut jantung
sapi penelitian pada pagi hari masih dalam
kisaran denyut jantung normal. Menurut
WORSTELL dan BRODY (2003) bahwa kisaran
normal denyut jantung sapi yaitu antara 66 –
90 kali per menit dan lebih besar dibandingkan
dengan denyut jantung sapi dara FH yang
dipelihara ruangan bersuhu netral sesuai
laporan KIBLER (1992), yaitu antara 73 dan 74
kali per menit (suhu ruangan 26,67°C) maupun
PURWANTO et al. (2003) yaitu antara 61 dan 67
kali per menit (suhu ruangan 24°C). Keadaan
tersebut menunjukkan bahwa sapi-sapi
percobaan menderita cekaman panas.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa rataan
frekuensi denyut jantung tertinggi (91,33 kali
per menit) terdapat pada kelompok tanpa
suplementasi kromium pikolinat murni
(Kontrol) waktu siang hari, sedangkan rataan
terkecil pada kelompok perlakuan suplementasi
kromium pikolinat murni 4,5 ppm waktu pagi
hari (78,41 kali per menit). Perbedaan ini
diakibatkan karena perbedaan suhu lingkungan
yang berbeda pula antara pagi dan siang.
Frekuensi denyut jantung sapi-sapi
penelitian pada siang hari menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) akibat
suplementasi kromium pikolinat murni sebesar
3,0 dan 4,5 ppm. Keadaan tersebut
menyebabkan respon termoregulasi (suhu
permukaan kulit), suhu tubuh dan frekuensi
pernafasan berbeda, sehingga denyut jantung
juga berbeda. Sapi yang ada di dalam kandang
dengan cekaman panas yang tinggi, frekuensi
denyut jantung akan lebih tinggi apabila
mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang
banyak (konsumsi energi) (PURWANTO et al.
2004a). Peningkatan denyut jantung tersebut
merupakan upaya peningkatan fungsi jantung
untuk mendistribusikan hasil metabolisme
pakan yang dikonsumsi maupun karena
aktivitas makan itu sendiri (GANONG, 2001).
Tabel 3. Rataan denyut jantung sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari
Perlakuan
Waktu pengamatan
Pagi
Siang
Rataan
........................................... ( kali per menit ) .................................
Cr-Pic 0
80,11a ± 0,42
ab
91,33a ± 0,54
a
85,72
Cr-Pic 1,5
79,82 ± 0,37
90,87 ± 0,36
85,35
Cr-Pic 3,0
78,98bc ± 0,48
88,94b ± 0,43
83,96
c
b
Cr-Pic 4,5
78,41 ± 0,39
89,03 ± 0,44
83,72
Rataan
79,33 ± 0,67
90,04 ± 1,07
84,69 ± 0,86
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
173
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tetapi antara suplementasi 1,5 ppm dengan 3,0
ppm tidak menunjukkan perbedaan.
Rataan frekuensi pernafasan sapi penelitian
terlihat pada Tabel 4. Hasil pengamatan pagi
hari berkisar antara 46,31 – 49,67 kali per
menit masih dalam kisaran frekuensi
pernafasan normal sapi FH sesuai laporan
KIBLER (1992) yaitu berkisar antara 37 – 59
kali per menit (suhu ruang 20 – 26,67°C).
Namun hasil pengukuran frekuensi pernafasan
siang hari berkisar 62,99 – 65,82 kali per menit
cenderung lebih tinggi dari keadaan normal.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa sapisapi penelitian berusaha membuang panas
melalui pernafasan pada waktu siang hari lebih
besar dibandingkan pagi hari.
Hal ini menunjukkan bahwa beban panas
yang diterima sapi-sapi di dalam kandang
perlakuan pada waktu siang hari lebih tinggi
dibandingkan pagi hari. Akibatnya sapi-sapi
yang ada di dalam kandang melakukan usaha
pelepasan
panas
melalui
mekanisme
evaporative heat loss waktu siang hari lebih
tinggi dibandingkan dengan waktu pagi hari.
Rataan frekuensi pernafasan sapi-sapi pada
waktu siang hari dicatat (63,33 + 1,22 kali
permenit) lebih tinggi dibandingkan hasil
pengukuran di pagi hari (47,91 + 1,22 kali
permenit). Keadaan tersebut memberikan
gambaran bahwa semakin tinggi suhu udara
akan semakin meningkatkan pula tambahan
panas yang diterima sapi-sapi di dalamnya
(KIBLER dan BROODY, 1993; PURWANTO, et al.
2005),
sehingga
sapi-sapi
berusaha
meningkatkan pembuangan panas tubuh
dengan melakukan penurunan volume tidal
(volume inspirasi dan ekspirasi). Akibat dari
keadaan tersebut terjadi peningkatan frekuensi
pernafasan (KIBLER dan BROODY, 1993;
BROODY,
1996;
ROBERTSHAW,
1995;
PURWANTO et al., 2005).
Rataan frekuensi pernafasan pada pagi hari
nyata menurun sebesar 2,2 kali/menit akibat
suplementasi mineral kromium sebesar 4,5
ppm dibandingkan dengan perlakuan kontrol,
sedangkan dengan suplementasi 1,5 ppm dan
3,0 ppm tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata. Pada siang hari, frekuensi pernafasan
terlihat menurun dengan nyata (P < 0,05)
antara suplementasi mineral kromium 4,5 ppm
dibandingkan dengan kontrol, begitu juga
dengan suplementasi 1,5 ppm dan 3,0 ppm
mineral kromium. Frekuensi pernafasan
terendah justru terdapat pada suplementasi 3,0
ppm mineral kromium yaitu sebesar 60,03
kali/menit.
Proses utama untuk membuang panas pada
sapi-sapi yang ada di dalam cekaman panas
adalah dengan mekanisme evaporative heat
lost yaitu melalui kelenjer keringat di kulit
(sweating) dan pernafasan (panting) (MCLEAN
dan CALVERT, 2002). Apabila sapi-sapi
menerima panas lebih besar dari usaha
pelepasannya, maka sapi berusaha membuang
tambahan panas (heat gain) ke luar tubuh
dengan cara memindahkan panas dari organorgan di dalam tubuh ke bagian terluar dari
organ tubuh terutama adalah kelenjer keringat
di kulit dan kelenjer mukosa di sepanjang
saluran
pernafasan
(GANONG,
2001;
PURWANTO et al., 2003).
Tabel 4. Rataan frekuensi pernafasan sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari
Waktu pengamatan
Perlakuan
Pagi
Rataan
Siang
.......................................... ( kali per menit ) .........................................
Cr-Pic 0
Cr-Pic 1,5
49,67a + 0,33
ab
48,21 + 1,01
ab
65,82a + 0,33
57,75
a
56,35
b
64,4 + 0,59
Cr-Pic 3,0
46,31 + 1,00
60,03 + 0,63
53,17
Cr-Pic 4,5
47,45b + 0,57
62,99c + 0,76
55,22
Rataan
47,91 + 1,22
63,33 + 1,15
55,62 + 1,68
Superskrip yangberbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) dan sangat nyata
(P < 0,01)
174
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Suhu udara sekeliling yang tinggi akan
berakibat pada peningkatan reaksi fisiologis
tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap suhu
udara sekeliling yang tinggi. Dalam hal ini
antara lain terjadi peningkatan frekuensi
pernafasan dan denyut jantung. Meningkatnya
frekuensi pernafasan adalah reaksi fisiologis
tubuh untuk mengatasi kenaikan suhu tubuh.
Sedangkan meningkatnya frekuensi denyut
jantung adalah untuk mempercepat pengaliran
darah yang berfungsi sebagai transportasi
oksigen dan panas (MULLICK et al, 2002).
APPLEMAN dan DELOUCHE (1988) menyatakan
bahwa, suhu udara dalam kandang yang lebih
dari 30°C, disamping akan berakibat pada
penurunan
konsumsi
energi,
juga
mengakibatkan penggunaan energi yang tidak
efisien lagi, karena sejumlah energi yang
seyogyanya digunakan untuk kebutuhan
pertumbuhan dan produksi susu terpaksa
digunakan untuk reaksi-reaksi fisiologik tubuh.
WHYTE (1997) mengutarakan bahwa, energi
yang tersedia terlebih dahulu digunakan untuk
kebutuhan pokok dan selebihnya baru
digunakan untuk kebutuhan pertumbuhan dan
produksi susu.
Pengaruh suplementasi mineral kromium
terhadap kadar hormon Triiodotironine (t3)
dan Tetraiodotironine (T4)
Hormon
Triiodotironine
(T3)
dan
Tetraiodotironine (T4) adalah bentuk aktif dari
hormon tiroksin memegang peranan penting
dalam fungsi fisiologis tubuh dan pengaturan
metabolisme tubuh secara keseluruhan.
Meningkatnya
kadar
tiroksin
akan
menyebabkan peningkatan laju metabolisme.
Dalam keadaan kadar tiroksin meningkat,
seekor ternak berada dalam kondisi tidak
nyaman bila keadaan lingkungan panas dan
sebaliknya, akan lebih tahan pada keadaan
lingkungan yang dingin (DJOJOSOEBAGIO,
2002).
Rataan konsentrasi hormon T3 dan T4
dalam serum darah sapi penelitian disajikan
pada Tabel 5. Rataan konsentrasi hormon T3
dalam serum darah sapi penelitian yang sudah
dipuasakan selama 12 jam (pengambilan darah
pagi hari jam 09.00) berkisar antara 0,77 – 0,87
ng/ml dan 0,89 – 1,02 ng/ml untuk sapi-sapi
penelitian yang darahnya diambil 3 jam
sesudah makan (pengambilan darah siang hari
jam 13.00).
Perbedaan suplementasi kromium organik
murni dalam pakan perlakuan menyebabkan
perbedaan konsentrasi hormon T3, tetapi
terjadi peningkatan konsentrasi hormon T3
sebesar 0,02 ppm (2,59%) pada perlakuan
suplementasi 1,5 ppm dan 0,10 ppm (12,99%)
pada perlakuan suplementasi 3,0 ppm (0,06%)
serta 7,79% pada perlakuan suplementasi 4,5
ppm. Perbedaan konsentrasi hormon T3 waktu
pagi
hari
diduga
karena
perbedaan
suplementasi kromium organik murni pada
kondisi lingkungan dengan ISK 72,45
disamping itu perbedaan cekaman panas relatif
kecil dan dapat dihilangkan dengan
evaporative heat loss, sehingga tidak berakibat
terhadap perubahan sintesis T3 waktu pagi
hari.
Tabel 5. Rataan konsentrasi hormon T3 dan T4 dalam serum darah sapi perlakuan waktu pagi dan siang hari
Hormon T3
Perlakuan
Pagi
Cr-Pic 0
Cr-Pic 1,5
Siang
Hormon T4
Rataan
Pagi
Siang
Rataan
.................. ( ng / ml ) ..................
.................. ( ng / ml ) .................
0,77a
0,89a
0,83
52,56a
58,41a
55,49
ab
b
0,87
ab
bc
58,16
c
59,55
0,79
c
0,94
54,68
b
61,64
Cr-Pic 3,0
0,87
0,95
56,26
Cr-Pic 4,5
0,83bc
0,97b
0,90
55,97b
60,21b
58,09
0,82
0,96
0,89
54,87
60,77
57,82
Rataan
1,02
c
62,83
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) dan sangat nyata
(P < 0,01)
175
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Pada siang hari rataan suhu lingkungan
40,24°C dengan nilai ISK 84,50 keadaan ini
sudah tidak nyaman lagi bagi sapi-sapi
penelitian, sehingga suplementasi kromium
pikolinat murni menjadi berperan. Hasil
pencacahan konsentrasi hormon T3 waktu
siang hari (pengambilan serum darah 3 jam
sesudah diberi makan) antara perlakuan
kontrol/Cr-Pic 0 (0,89 ng/ml) meningkat
dengan nyata (P < 0,05) dengan perlakuan
suplementasi kromium pikolinat murni sebesar
1,5 ppm yaitu sebesar 0,05 ng/ml (5,62%) dan
nyata juga meningkat (P < 0,05) dengan
perlakuan suplementasi kromium pikolinat
sebesar 3,0 ppm yaitu sebesar 0,13 ng/ml
(14,61%) serta nyata juga meningkat dengan
perlakuan suplementasi 4,5 ppm yaitu sebesar
0,08 ng/ml (8,99%). Begitu juga antara Cr-Pic
1,5 (0,94 ng/ml) dengan Cr-Pic 3,0 (1,02
ng/ml) dan Cr-Pic 3,0 dengan Cr-Pic 4,5 (0.97
ng/ml) terjadi peningkatan yang nyata masingmasing sebesar 0,08 ng/ml (8,51%) dan 0,05
ng/ml (5,15%).
Rataan konsentrasi hormon T3 tanpa
suplementasi kromium murni (kontrol) dalam
pakan
tidak
menunjukkan
perbedaan
konsentrasi hormon T3 dengan perlakuan
suplementasi 1,5 ppm dan 4,5 ppm (0,77 vs
0,79 dan 0,83 ng/dl). Tetapi antara Cr-Pic 0
(0,77 ng/dl) dengan Cr-Pic 3,0 (0,87 ng/dl)
terjadi peningkatan yang nyata (P < 0,05) yaitu
sebesar 0,10 ng/dl (12,99%). Begitu juga
antara perlakuan Cr-Pic 1,5 (0,79 ng/dl)
dengan Cr-Pic 3,0 (0,87 ng/dl) juga terjadi
peningkatan (P < 0,05) konsentrasi hormon T3
sebesar 0,08 ng/dl (10,13%).
Pada siang hari rataan suhu lingkungan
40,24°C dengan nilai ISK 84,50 keadaan ini
sudah tidak nyaman bagi sapi-sapi penelitian
sehingga suplementasi kromium pikolinat
murni menjadi berperanan. Hasil pencacahan
T3 waktu pagi dan siang hari pada penelitian
ini cendrung lebih rendah dibandingkan
dengan laporan MANALU (2004) yaitu sebesar
1,24 + 0,06 ng/ml (sapi FH laktasi yang
dipelihara di dalam ruangan bersuhu 22 –
35°C), namun lebih tinggi dari laporan
MAGDUB et al. (1992) yaitu 0,62 ± 0,01 ng/ml
(sapi FH laktasi yang dipelihara di dalam
ruangan bersuhu 31,2°C) maupun JOHNSON
(1985) yaitu 0,64 ng/ml (sapi FH laktasi yang
dipelihara di dalam ruangan bersuhu 31°C).
Menurut TURNER dan BAGNARA (1998) kadar
176
tiroksin plasma darah merupakan salah satu
indikator yang baik menentukan kondisi stress
ternak. Pada kondisi stress kadar tiroksin
plasma darah akan meningkat untuk
mempertahankan kondisi tubuh yang normal.
Konsentrasi hormon T4 dalam plasma
darah sapi-sapi penelitian yang diambil pada
jam 09.00 pagi hari (sapi penelitian sudah
dipuasakan selama 12 jam) dan jam 13.00
siang (sapi peneltian sudah diberi makan
selama 3 jam) pada masing-masing perlakuan
terlihat pada Tabel 5. Konsentrasi hormon T4
sapi
penelitian
kelompok
perlakuan
suplementasi 3,0 ppm (56,26 ng/ml) dan 4,5
ppm (55,97 ng/ml) berbeda dengan kelompok
Cr-Pic 0 (52,56 ng/ml), yang terlihat nyata
meningkatkan konsentrasi hormon T4 waktu
pagi hari masing-masing sebesar 3,7 ng/ml
(7,04%) dan 3,41 ng/ml (6,49%). Hal ini
menunjukkan
bahwa
hormon
tiroksin
merangsang
penggunaan
oksigen
dan
meningkatkan
penggunaan
karbohidrat,
peningkatan katabolisme protein ditandai
dengan ekskresi nitrogen dan peningkatan
oksidasi.
Hal
ini
menggambarkan
bahwa
suplementasi kromium pikolinat murni ternyata
dapat meningkatkan konsentrasi hormon T4
dari plasma darah sapi penelitian yang diambil
waktu pagi hari dan kandungan konsentrasi
hormon T4 tebesar terdapat pada perlakuan
suplementasi 3,0 ppm. Hal ini menunjukkan
bahwa suplementasi kromium pikolinat murni
sebesar 3,0 ppm nyata meningkatkan
ransangan metabolisme tingkat sel ke seluruh
tubuh sehingga kandungan hormon T4 dalam
darah akan meningkatkan metabolisme di
dalam sel tubuh.
Hasil pencacahan konsentrasi hormon T4
waktu siang hari jam 13,00 menghasilkan
konsentrasi hormon T4 yang nyata meningkat
(P < 0,05) akibat suplementasi kromium
pikolinat murni dalam pakan. Konsentrasi
hormon T4 pada perlakuan suplementasi
kromium pikolinat sebesar 1,5 ppm; 3,0 ppm
dan 4,5 ppm nyata meningkatkan konsentrasi
hormon T4 sebesar 3,23 ng/ml (5,53%); 4,42
ng/ml (7,57%) dan 1,8 ng/ml (3,08%)
dibandingkan dengan tanpa suplementasi
kromium pikolinat murni (kontrol/Cr-Pic 0).
Antara perlakuan Cr-Pic 1,5 (61,64 ng/ml)
dengan Cr-Pic 3,0 (62,83 ng/ml) dan Cr-Pic 4,5
(60,21 ng/ml) terjadi peningkatan yang tidak
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
nyata yaitu sebesar 1,19 ng/ml (1,93%) dan
1,43 ng/ml (2,38%). Sedangkan antara
perlakuan Cr-Pic 3,0 (62,83 ng/ml) dengan CrPic 4,5 (60,21 ng/ml) terjadi penurunan yang
nyata (P < 0,05) sebesar 2,62 ng/ml (4,35%).
Konsentrasi hormon T4 plasma darah sapi-sapi
penelitian yang diambil siang hari jam 13.00
yang terbesar terdapat pada perlakuan
suplementasi kromium pikolinat sebesar 3,0
ppm.
mengucapkan terima kasih kepada Sdr. I Ketut
Pustaka yang telah membantu dalam
pengambilan sampel darah untuk analisa
hormon
triiodotironine
(T3)
dan
tetraiodotironine (T4). Sdr Drs. Y. Saefuddin
dan Andi yang membantu pelaksanaan analisa
hormon
triiodotironine
(T3)
dan
tetraiodotironine (T4) mempergunakan metode
Radioimmuno Assay (RIA) di Balai Penelitian
Ternak Ciawi-Bogor.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dari penelitian ini dapat diambil beberapa
kesimpulan bahwa suplementasi mineral
kromium organik sampai 4,5 ppm dapat
mengakibatkan perbedaan dalam performans
fisiologis sapi perah PFH yang dipelihara pada
lingkungan panas yaitu suhu tubuh yang lebih
rendah baik pada pagi hari maupun siang hari,
denyut jantung yang lebih stabil untuk
mengimbangi keperluan oksigen didalam darah
dan frekuensi pernafasan yang lebih baik pada
pagi dan siang hari.
Sebagai suatu saran yang dapat diberikan
dari penelitian ini terutama untuk daerah yang
mempunyai temperatur lingkungan tinggi serta
musim kemarau panjang adalah dengan
memberikan suplementasi mineral kromium
organik untuk mempertahankan pertumbuhan.
Suplementasi mineral kromium organik dapat
meningkatkan
konsentrasi
hormon
triiodotironine (T3) sehingga dapat membuat
keadaan sapi perah lebih nyaman terutama
pada temperatur tinggi disiang hari, begitu juga
dengan konsentrasi hormon tetraiodotironine
(T4) dapat meningkat dengan meningkatnya
suplementasi mineral kromium organik
sehingga dapat meningkatkan penggunaan
karbohidrat,
katabolisme
protein
dan
peningkatan oksidasi sehingga mampu
meningkatkan performans reproduksi dan
peningkatan populasi ternak.
APPLEMAN, R.D., J.C. DELOUCHE. 1988. Behavioral,
physiological and biochemical responses of
goat to temperature 0°C to 40°C. J. Anim. Sci.
17: 326 – 335.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis tujukan
kepada Sdr. Bambang Eka beserta team teknisi
kandang percobaan Balai Penelitian Ternak
lokasi Cicadas yang telah membantu dalam
pemeliharaan sehari-hari, penimbangan dan
pencatatan data fisiologis. Penulis juga
ARMSTRONG, D.V. 1977. Heat stress interaction with
shade and cooling. J. Dairy Sci. 77:
2044 – 2050.
BURTON, J.L., B.A. MALLARD and D.N. MOWAT.
1999. Effect of supplemental chromium on
immune responses of periparturient and early
lactation dairy cows. J. Anim Sci. 71:
1532 – 1539.
BROODY, S. 1996. Climate physiology of cattle. J.
Dairy Sci. 39(6): 715 – 725.
DJOJOSOEBAGIO, S. 2002. Fisiologi kelenjar
endokrin Volume II. Depdikbud Dirjen Dikti,
PUA. Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
ESMAY, M.L. 1998. Principles of Animal
Envinronmental. Text Book Ed. AVI
Publishing Company Inc. Wesport, CT. pp.
1 – 15.
GANONG, W.J. 2001. Review of Medical Physiology
11th Ed. Maruzen Asia Ed. Lange Medical
Publication. Maruzen Asia. p. 599.
HAFEZ, E.S.E. 1998. Adaptation of Domestic
Animals. Lea Febiger, Philadelphia. pp.
74 – 116.
JOHNSON, H.D. 1985. Physiological Responses and
Productivity of Cattle. In: Stress Physiology of
Livestock. Vol. II. M.K. Yousef (Ed). CRC
Press Inc. Boca Raton, Florida. pp. 3 – 34.
KIBLER, H.H. and BROODY, S. 1993. Influence of
humidity on heat exchange and body
temperature regulation in Jersey, Holstein,
Brahman and Brown Swiss Cattle. Res. Bull.
552. University of Missouri, Columbia. pp.
1 – 31.
177
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
KIBLER, H.H. 1992. Energy metabolism and related
thermoregulatory reactions to thermal stress in
10°C and 27°C acclimated heifers. Res. Bull.
739. University of Missouri, Columbia. pp.
1 – 32.
LINVILL, D.E. and PARDUE F.E. 2002. Heat stress
and milk production in the south coastal
plains. J Dairy Sci. 75: 2598 – 2604.
LINDER, M.C. 2003. Nutrisi dan Metabolisme
Mikromineral dalam: Biokimia Nutrisi dan
Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis.
Cetakan Pertama. Penerbit Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
MANALU, W. 2004. Naturally simulated heat stress
inlactating dairy cows ; Plasma concentrations
of tetraiodotironine (T4), triiodotironine (T3),
cortisol and prolactin. Indon. J. Trop. Agric.
6(2): 1 – 5.
MAGDUB, A., H.D. JOHNSON and R.L. BELYEA 1992.
Effect of environmental heat and diatary fiber
on thyroid physiology of lactating cows. J.
Dairy Sci. 65: 2323 – 2331.
MCLEAN, J.A. and D.T. CALVERT. 2002. Influence
of air humidity on the partition of heat
exchange of cattle. J. Agric. Sci. 78: 303 – 307.
PURWANTO, B.P., F. NAKASAMU, S. YAMAMOTO.
2005. Estimasi kebutuhan energi untuk
termoregulasi pada sapi perah. Forum Ilmu
Peternakan 1: 1 – 8.
ROBERTSHAW, D. 1995. Heat Lost of Cattle. In:
Stress Physiology of Livestock Vol II. MK.
YOUSEF (Ed). CRC Press Inc. Boca Raton.
Florida. pp. 55 – 65.
SASTRY, N.S.R. dan C.K. THOMAS. 2004. Farm
Animal Management. Vikas Publishing House
PVT. Ltd. New Delhi. pp. 77 – 115.
STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan
Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik Edisi II. Terjemahan SUMANTRI B.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
SUBIYATNO, A., D.N. MOWAT and W.Z. YANG. 2005.
Metabolite and hormonal responses to glucose
or propionate infusions in periparturient dairy
cows supplemented with chromium. J. Dairy
Sci. 79: 1436 – 1445.
SUTARDI, T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I.
Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
MERTZ, W. and E.E. ROGINSKI. 1999. Effect of
chromium (III) supplementation on growth
and survival under stress in rats fed low
protein diets. J. Nutr. 97: 531 – 536.
SUTARDI, T. 1999. Peningkatan Produktivitas
Ruminansia melalui Amoniasi Pakan Serat
Bermutu Rendah. Defaunasi dan Suplementasi
Sumber Protein Tahan Degradasi dalam
Rumen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing
1993/1994. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
MULLICK, D.N., V.N. MURTY and N.D. KEHAR.
2002. Seasonal variation in the feed and water
intake of cattle. J. Anim Sci. 11: 43.
SCHWARZ, K., W. MERTZ. 2001. Chromium (III) and
the glocose tolerance factor. Arch. Biochem.
Biophys. 85: 292 – 295.
MCDOWELL, R.E. 1998. Improvement of Livestock
Production in Warm Climates. Freeman and
Co., San Francisco.
SCHMID,T H.G. 2002. Biology of Lactation. W.H.
Freeman and Company, San Francisco. p. 42.
MOUNT, L.E. 2003. Adaptation to Thermal
Environment: Man and His Productive
Animal. Tilmset and Printed by Thompson
Litho Ltd., Scotland. pp. 1 – 128.
NIXON, D.A., M.A. AKASHA and R.A. ANDERSON.
2001. Free and Total thyroid hormones in
serum of Holstein cows. J. Sci. 71: 1152 – 1160.
PURWANTO, B.P., M. FUJITA, NISHIBORI, S.
YAMAMOTO. 2003. Effect and environmental
temperature and feed intake on plasma
concentration of thyroid hormones in dairy
heifers. Asia-Australasian J. Anim Sci. 4:
293 – 298.
PURWANTO, B.P. 2004a. Heat and Energy Balance in
Dairy Cattle Under High Environmental
Temperature. Desertasi. Hiroshima University.
178
TURNER, C.D. and J.T. BAGNARA. 1998.
Endokrinologi
Umum.
Edisi
keenam.
Airlangga University Press, New York.
THOMAS, V.M. and W.M. BEESON. 2005. Feather
meal and hair meal as protein souces for steer
calves. J. Anim. Sci. 46: 819.
WHYTE, R.O. 1997. Milk production in developing
countries. Faber and Fabiger Ltd., London.
WILLIAMSON, G., W.J.A. PAYNE. 2000. An
Introduction of Animal Husbandry in the
Tropic. Longman, London and New York.
WORSTELL, D.M. and S. BROODY. 2003.
Comparative physiology reaction of european
and indian cattle of changing temperature. Mo.
Agric. Exp. Sta. Res. Bul. 515: 3 – 15.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
YANG, W.Z., D.N. MOWAT, A. SUBIYATNO and R.
LIPTRAP. 2002. Effect of Chromium
supplementation
on
early
lactation
performance of Holstain cows. Can. J. Anim.
Sci. 76 : 221.
YOUSEF, M.K. 2006a. Heat Production Mechanism
and Regulation. In: Stress Physiology of
Livestock Vol. II. M.K. YOUSEF (Ed). CRC
Press Inc. Boca Raton, Florida. pp. 48 – 52.
YOUSEF, M.K. 2005. Thermoneutral Zone in Stress
Physiology in Livestock 1stEd. CRC Press
Inc., Boca Raton, Florida.
179
Download