( Glycine max (L.) Merr ) - USU-IR

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kedelai ( Glycine max (L.) Merr )
Kedelai merupakan salah satu komoditi pangan yang utama yang menyehatkan
karena mengandung protein tinggi dan memiliki kadar kolesterol yang rendah.
Kebutuhan akan komoditi kedelai terus meningkat dari tahun ketahun baik
sebagai bahan pangan utama, pakan ternak, maupun sebagai bahan baku industri
skala besar ( pabrikan ) hingga skala kecil ( rumah tangga ).Dalam buku rukmana
(1996) dan gembong (2005) tanaman kedelai termasuk dalam:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub Kelas
: Archihlahmydae
Ordo
: Rosales
Sub Ordo
: Leguminosneae
Family
: Leguminoseae
Sub Familiy
: Papiolionaceae
Genus
: Glycine
Spesies
: Glycine Max (L.) Meriil
(Setiyawati, 2011)
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Tahu
Menurut SNI 01-3142-1998, tahu adalah produk makanan berupa padatan lunak
yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycine sp.) dengan cara
pengendapan protein, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan.
Setiap tahu yang ada di pasaran memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan
kualitasnya.
2.1.2. Limbah Cair Tahu
Permasalahan yang kerap muncul dalam industri tahu tradisional adalah
pengolahan limbah yang belum baik. Limbah cair dari pabrik tahu biasanya
dibuang begitu saja di selokan atau sungai terdekat, tanpa diolah terlebih dahulu.
Hal ini tentu saja mengganggu. Selain baunya yang tidak enak, air buangan
limbah akan mencemari perairan disekitarnya yang dapat menyebabkan rusaknya
habitat di lingkungan tersebut.
Karakteristik limbah cair tahu adalah memiliki suhu melebihi suhu normal
badan air ( 60-800 C), berwarna putih kekuningan dan keruh, nilai pH < 7, dan
memiliki COD ( Chemical Oksigen Demand ) serta padatan tersuspensi atau
padatan tak terlarut tinggi. Padatan tersebut sebagian berupa protein, lemak, dan
karbohidrat. Limbah cair ini berpotensi menimbulkan bau busuk karena degradasi
atau perombakan protein, lemak, dan karbohidrat oleh mikroorganisme secara
anaerob sehingga menyebabkan pencemaran air. Karakteristik limbah cair
pengolahan tahu menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiwiyoto (1993)
ditunjukkan pada tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Karakteristik Limbah Cair Tahu
Parameter
Nilai
BOD (ml/l)
6.500
COD (ml/l)
8.900
Padatan total (ml/l)
11.000
Padatan terlarut (ml/l)
3.800
Kadar abu (%)
2
Kadar N (mg/l)
40
Kadar fenol (mg/l)
14
Kadar posfor ( mg/l)
103
Kadar NH3 (mg/l)
9
Kandungan bakteri (CFU/ml)
105-108
pH
4
( Rahayu, 2012)
Pengolahan tahu yang hingga kini merupakan limbah industri yang
memberikan tingkat pencemaran yang tinggi terhadap lingkungan ternyata bisa
dibuat menjadi produk baru yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia yaitu
nata de soya. Jika ditinjau dari kompoisi kimianya, ternyata air limbah tahu
mengandung nutrien – nutrien (protein, karbohidrat dan bahan – bahan lainnya)
yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan
pencemaran, tetapi jika dimanfaatkan akan menguntungkan pengrajin tahu atau
masyarakat yang berminat mengolahnya.
2.2. Nata de Soya
Nata berasal dari bahasa spanyol yaitu nadir yang berarti berenang, istlah tersebut
juga berasal dari bahasa latin yaitu natare yang berarti terapung. Nata yaitu
selulosa bakterial yang mengandung lebih kurang 98 % konsistensinya kokoh dan
teksturnya agak kenyal. Makanan ini termasuk makanan rendah kalori sehingga
cocok untuk penderita diabetes.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1990 ditemukan cara pemanfaatan limbah tahu untuk bahan
baku industri yaitu digunakan sebagai nata de soya. Sama halnya dengan nata de
coco atau sari kelapa yang sudah lama diusahakan orang untuk mengurangi
limbah air kelapa, nata de soya merupakan salah satu alternatif pemanfaatan
limbah tahu menjadi bahan baku industri. Pengolahan limbah tahu menjadi nata
ini melibatkan bakteri Acetobacter Xylinum yang memakai protein dan
karbohidrat dalam limbah sebagai sumber energi untuk hidup dan berkembang
biak. Dalam proses ini dihasilkan berupa lapisan padat seperti agar didekat
permukaan cairan pemeliharaan.
Nata de soya atau sari nata kedelai adalah sejenis makanan dalam bentuk
nata, padat, putih dan transparan, merupakan makanan penyegar dan pencuci
mulut. Nata de soya dibentuk oleh bakteri Acetobacter Xylinum yang merupakan
bakteri asam asetat bersifat aerob, pada media cair dapat membentuk suatu lapisan
yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter, kenyal, putih dan lebih
lembut dibanding dengan nata de coco.
2.2.1. Analisis Kandungan Gizi Nata de Soya
Nata dari air rebusan kedelai (Nata de Soya) dan Nata de Coco ternyata memiliki
kandungan gizi yang tidak jauh berbeda. Hasil uji proksimat menunjukkan
kandungan utamanya adalah air (98%) dan serat kasar (10%) (dapat dilihat pada
Tabel 2.2). Sebagai makanan, nata memiliki nilai gizi dan nilai kalori yang
rendah. Meskipun demikian, sehubungan dengan kandungan seratnya maka nata
dapat dijadikan sebagai makanan alternatif untuk penderita masalah gizi lebih,
untuk
rnencegah
terjadinya
sembelit
atau
menghindari
konstipasi
dan
memperlancar pencernaan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Hasil uji proksimat kandungan gizi nata de soya dan nata de coco.
Analisis
Nata de Soya
Nata de Coco
Kadar Air
97,25 %
98,27 %
Kadar Abu
0,31 %
0,20 %
Kadar Lemak
1,20 %
1,06 %
Serat Kasar
10,60 %
8,51 %
Kadar Protein
0,00 %
1,53 %
Kadar Karbohidrat
0,09 %
0,00 %
(Basrah Enie, 1993).
2.2.2. Fermentasi nata de soya
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi
pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan
perubahan sifat bahan pangan, sebagai akibat dari pemecahan kandungan –
kandungan bahan pangan tersebut. Jika cara pengawetan pangan yang lain
misalnya pemanasan, pendinginan dan lain – lain adalah ditujukan untuk
mengurangi jumlah mikroba, maka proses fermentasi adalah sebaliknya, yaitu
memperbanyak jumlah mikroba dan menggiatkan metabolismenya di dalam
makanan. Tetapi jenis mikroba yang digunakan sangat terbatas yaitu disesuaikan
dengan hasil akhir yang dikehendaki.
Hasil –hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan pangan
(substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi
pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut (Winarno, 1992)
Fermentasi dilakukan pada media cair yang telah diinokulasi dengan
starter. Fermentasi berlangsung pada kondisi aerob ( membutuhkan oksigen ).
Mikroba tumbuh pada permukaan media. Fermentasi dilakukan sampai nata yang
terbentuk cukup tebal. Nata berupa lapisan putih seperti agar. Lapisan ini adalah
massa mikroba berkapsul dari selulosa
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Zat – zat nutrisi yang ditambahkan pada fermentasi nata de soya
Komposisi media fermentasi nata terdiri dari karbohidrat (gula) sebagai sumber
karbon dan urea sebagai sumber nitrogen. Oleh karena itu perlu ditambahkan zat –
zat nutrisi sebagai berikut.
a. Gula sebagai sumber karbon
Sumber karbon merupakan faktor penting dalam proses fermentasi. Bakteri untuk
menghasilkan nata membutuhkan sumber karbon bagi proses metabolismenya.
Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang
dibutuhkan dalam perkembangbiakannya. Jumlah gula yang ditambahkan harus
diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel
nata. Kebutuhan karbon untuk media umumnya diberikan oleh glukosa, pati dan
laktosa (Hidayat, 2006)
b. Urea sebagai sumber nitrogen
Selain gula, sumber nitrogen merupakan faktor penting. Nitrogen diperlukan
untuk pertumbuhan sel dan pembentukan enzim. Kekurangan nitrogen
menyebabkan sel tumbuh dengan kurang baik dan menghambat pembentukan
enzim yang diperlukan, sehingga proses fermentasi dapat mengalami kegagalan
atau tidak sempurna (Hidayat, 2006)
2.2.4. Faktor – faktor yang mempengaruhi produksi nata
Untuk menghasilkan produksi nata yang maksimal perlu diperhatikan faktorfaktor sebagai berikut
1. Jenis dan konsentrasi medium
Medium fermentasi ini harus banyak mengandung karbohidrat (gula) disamping
vitamin dan mineral, karena pada hakekatnya nata tersebut adalah slime
(menyerupai kapsul) dari sel bakteri yang kaya selulosa yang diproduksi dari
glukosa oleh bakteri Acetobacter Xylinum. Bakteri ini dalam kondisi yang
optimum memiliki kemampuan yang luar biasa untuk memproduksi slime
Universitas Sumatera Utara
sehingga slime tersebut terlepas dari sel vegetatif bakteri dan terapung-apung di
permukaan medium. Pembentukan nata terjadi karena proses penganmbilan
glukosa dari larutan gula yang kemudian digabungkan dengan asam lemak
membentuk prekursor (penciri nata) pada membran sel. Prekursor ini selanjutnya
dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasi glukosa
menjadi selulosa yang merupakan bahan dasar pembentukan slime.(palungkun
1993). Menurut Rahman (1992) nata itu merupakan hasil fermentasi dari bakteri
Acetobacter Xylinum, bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang dalam medium
gula dan akan mengubah gula menjadi selulosa.
2. Jenis dan konsentrasi starter
Pada umumnya Acetobacter Xylinum merupakan starter yang lebih produktif dari
jenis starter lainnya, sedang konsentrasi 5 – 10 % merupakan konsentrasi yang
ideal (Rahman, 1992).
3. Lama fermentasi
Lama fermentasi yang digunakan dalam pembuatan nata ini pada umumnya 2 – 4
minggu. Minggu ke empat dari waktu fermentasi nerupakan waktu maksimal
produksi nata, yang berarti lebih dari 4 minggu produksi nata akan menurun
(Awang, 1991)
4. Suhu fermentasi
Pada umumnya suhu untuk pertumbuhan bakteri pembuat nata adalah suhu kamar
(280C). suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mengganggu
pertumbuhan bakteri pembuat nata yang akhirnya juga akan menghambat
produksi nata.
5. pH fermentasi
derajat keasaman yang dibutuhkan dalam pembuatan nata adalah suasana asam.
Pada kedua sisi pH optimum, aktivitas enzim seringkali menurun dengan tajam,
suatu perubahan kecil pada pH dapat menimbulkan perbedaan besar pada
kecepatan beberapa reaksi enzimatis yang amat penting bagi organisme. Hasil
Universitas Sumatera Utara
penelitian Hubeis (1996) penambahan ammonium sulfat 0,8% dan sukrosa 10%
dapat mempertahankan pH optimum (pH 4) bagi pertumbuhan bakteri, sehingga
pertumbuhan bakteri dan pembentukan lapisan nata dapat berlangsung dengan
baik. Penurunan pH bisa terjadi akibat fermentasi karbohidrat menjadi asam,
sehingga semakin lama fermentasinya maka akan semakin cenderung terjadi
penurunan pH medium.
6. Jenis dan konsentrasi suplemen
Kandungan karbohidrat dalam bahan untuk membuat nata merupakan bahan yang
terpenting. Limbah dengan kadar karbohidrat rendah jika ingin digunakan sebagai
medium pembuatan nata perlu ditambah gula pasir.
7. Tempat fermentasi
Tempat fermentasi sebaiknya tidak terbuat dari unsur logam karena mudah korosif
yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroorganisme pembuatan nata yang
akhirnya dapat mengganggu pembuatan nata, disamping itu tempat fermentasi
diupayakan untuk tidak mudah terkontaminasi, tidak terkena cahaya matahari
secara langsung, jauh dari sumber panas, dan jangan sampai langsung
berhubungan dengan tanah. Hasil penelitian Hubeis (1996) tempat fermentasi
yang mempunyai permukaan yang lebih luas akan menghasilkan nata lebih tebal
dari pada tempat fermentasi yang mempunyai permukaan sempit.selain hal di atas,
dalam pembuatan nata juga harus diperhatikan bahwa selama proses pembentukan
nata berlangsung, harus dihindari gerakan atau goncangan di sekitar tempat
fermentasi. Akibat adanya gerakan atau goncangan ini akan menenggelamkan
lapisan nata yang telah terbentuk yang menyebabkan terbentuknya lapisan baru,
dimana lapisan pertama dan yang baru tidak dapat bersatu. Hal ini akan
menyebabkan ketebalan produk nata menjadi tidak standar. Kriteria nata yang
berkualitas dapat dilihat dari segi kandungan bahan gizi (protein, karbohidrat,
lemak, air, abu dan kadar serat), segi organoleptik (bau, rasa, warna, dan tekstur),
dan dari segi penampakan produk (berat basah dan ketebalan produk) (Budiyanto,
2002)
Universitas Sumatera Utara
2.3. Selulosa
Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan
di dalam dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan,
dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa membentuk
komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa merupakan rantairantai atau mikrofibril dari D-glukosa sampai sebanyak 14.000 satuan yang
terdapat sebagai berkas-berkas terpuntir mirip tali yang terikat satu sama lain oleh
ikatan hidrogen (Fessenden, 1986)
Gambar 2.1 Struktur Selulosa
Selulosa bakterial adalah selulosa yang diproduksi oleh mikroba terutama
bakteri dari galur acetobacter. Selulosa bakteri mempunyai katakteristik yang
lebih menguntungkan dibandingkan selulosa yang berasal dari tanaman.
Karakteristik tersebut antara lain kemurniannya tinggi, dapat terurai, seratnya
halus, kekuatan tarik mekaniknya bagus, kapasitas pengikatan airnya tinggi dan
derajat kristalinitasnya tinggi
Sistem pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis
hidrolisis ikatan α-glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan
untuk menghidrolisis ikatan β-glikosidik (Hart, 2003)
Universitas Sumatera Utara
2.4. Acetobacter
Ciri-ciri Acetobacter adalah selnya berbentuk bulat panjang sampai batang lurus
atau agak bengkok, ukurannya 0,6-0,8 x 1,0-3,0 µm, terdapat dalam bentuk
tunggal berpasangan atau dalam bentuk rantai. Acetobacter merupakan aerobik
sejati, membentuk kapsul, dan tidak mempunyai spora, suhu optimumnya adalah
300C (Pelezar dan Chan, 1988).
Acetobacter sp. Adalah bakteri yang digunakan untuk membuat cuka.
Dalam membuat cuka, gel seperti membran selalu ditemukan pada permukaan
larutan. Material ini berkembang menjadi selulosa. Selulosa ini berasal dari
bakteri yang dinamakan selulosa bakteri
Spesies Acetobacter yang terkenal adalah Acetobacter aceti, Acetobacter
orlenensis, Acetobacter liquefasiensis, dan Acetobacter xylinum. Meskipun ciriciri yang dimiliki hampir sama dengan spesies lainnya Acetobacter xylinum dapat
dibedakan dengan yang lain karena sifatnya yang unik. Bila Acetobacter xylinum
ditumbuhkan pada medium yang mengandung gula, bakteri ini dapat memecah
komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan
selulosa ekstraseluler (Daulay, 2003)
2.4.1. Jenis-jenis Acetobacter
Adapun jenis-jenis bakteri Acetobacter adalah sebagai berikut :
a. Acetobacter acetii, ditemukan oleh beijerinck pada tahun 1898. Bakteri ini
penting dalam produksi asam asetat, yang mengoksidasi alkohol menjadi
asam asetat. Banyak terdapat pada ragi tapai, yang menyebabkan tapai
yang melewati 2 hari fermentasi akan menjadi berasa masam.
b. Acetobacter xylinum, bakteri ini digunakan dalam pembuatan nata de coco.
Acetobacter xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang
dikonsumsi. Nata yang dihasilkan berupa pelikel yang mengambang
Universitas Sumatera Utara
dipermukaan substrat. Bakteri ini juga terdapat pada produk kombucha
yaitu fermentasi dari teh (Hidayat, 2007).
c. Acetobacter suboxydans, bakteri ini dapat mengubah glukosa menjadi
asam askorbat (vitamin C) (Robinson, 1976).
d. Acetobacter orleanensis, bakteri ini dapat mengubah etanol menjadi cuka
(Mckane and July, 1976).
e. Acetobacter indonesianensis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini
merupakan bakteri asli Indonesia
f. Acetobacter cibinongensis, bakteri ini berasal dari daerah cibinong.
g. Acetobacter syzygii, ditemukan pada tahun 2002. Bakteri ini berasal dari
buah sirsak.
h. Acetobacter tropicallis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini berasal
dari daerah tropis.
i. Acetobacter bogoriensis, bakteri ini berasal dari daerah tropis.
Jenis Acetobacter 5 – 9 adalah spesies baru yang merupakan bakteri asli
Indonesia, yang ditemukan oleh Dr. Puspita Lisdayanti.
2.4.2. Acetobacter xylinum
Bakteri pembentuk nata termasuk kedalam golongan Acetobacter xylinum, yang
mempunyai ciri-ciri antara lain : “sel
bulat panjang sampai batang (seperti
kapsul), tidak mempunyai endospora, sel-selnya bersifat gram negatif, bernafas
secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil(Pelezar dan Chan, 1988).
Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lain karena
sifatnya yang bila ditumbuhkan dalam medium yang kaya komponen gula, bakteri
ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida
yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler.
Universitas Sumatera Utara
Acetobacter Xylinum mempunyai tiga enzim yang aktif, yaitu enzim
kinase, enzim ekstraseluler selulosa polymerase, dan enzim protein sintetase.
Enzim ekstraseluler selulosa polimerase aktif pada pH 4 yang berfungsi untuk
membentuk benang-benang selulosa (nata). Enzim protein sintetase aktif pada pH
3-6 yang berfungsi untuk mengubah makanan yang mengandung C, H, O, dan N
menjadi protein (Mandel, 2004).
Dalam
medium cair, Acetobacter Xylinum mampu membentuk suatu
lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap
dalam benang-benang yang dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh,
kenyal, tebal, putih, dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi
(inkubasi), komposisi medium dan pH medium.
Gambar 2.2. Acetobacter Xylinum
Klasifikasi ilmiah dari Acetobacter Xylinum :
Kerajaan
: Bakteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Alpha Proteobacteria
Ordo
: Rhodospirilia
Famili
: Pseudomonadaceae
Universitas Sumatera Utara
Genus
: Acetobacter
Spesies
: Acetobacter Xylinum ( Moss M.O.,1995)
Bakteri Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan
sel didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam
sel hidup.(Biamenta ,2011).
Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel secara teratur,
mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan
awal,
fase
pertumbuhan
eksponensial,
fase
pertumbuhan
lambat,
fase
pertumbuhan tetap, fase menuju kematian, dan fase kematian.
Adapun tahap-tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum dalam kondisi
normal adalah sebagai berikut.
a. Fase adaptasi
Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter Xylinum tidak langsung
tumbuh dan berkembang. Pada fase ini, bakteri akan terlebih dahulu
menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya. Fase adaptasi
bagi Acetobacter Xylinum dicapai antara 0-24 jam atau ± 1 hari sejak inokulasi.
b. Fase pertumbuhan awal
Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai
diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam.
c. Fase pertumbuhan eksponensial
Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan
pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter Xylinum, fase ini
dicapai dalam waktu antara 1-5 hari, tergantung pada kondisi lingkungan. Pada
fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyakbanyaknya, untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa.
Universitas Sumatera Utara
d. Fase pertumbuhan diperlambat
Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi
yang telah berkurang, terdapatnya metabolit yang bersifat toksik yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri, dan umur sel yang telah tua.
e. Fase stasioner
Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati.
Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh
metabolit toksik lebih besar, dan umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel
akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan
dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada
fase ini.
f. Fase menuju kematian
Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel
kehilangan banyak energi cadangannya.
g. Fase kematian
Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan
kebalikan dari fase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepas komponen yang
terdapat di dalamnya.(Biamenta, 2011)
2.4.3. Sifat-sifat Acetobacter Xylinum
1. Sifat morfologi
Acetobacter Xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang
mempunyai panjang 2 mikron dan lebar 0,6 mikron, dengan permukaan dinding
yang berlendir. Bakteri ini bisa membentuk rantai pendek dengan satuan 6-8 sel.
Bakteri ini tidak membentuk endospora maupun pigmen. Pada kultur sel
yang masih muda, individu sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang
sudah tua membentuk lapisan menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan
Universitas Sumatera Utara
koloninya. Pertumbuhan koloni pada medium cair setelah 48 jam inokulasi akan
membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah diambil dengan jarum ose.
2. Sifat fisiologi
Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil alkohol, dan propil
alkohol, tidak membentuk indol dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam
asetat menjadi CO2 dan H2O. sifat yang paling menonjol dari bakteri ini adalah
memiliki kemampuan mempolimerisasi glukosa hingga menjadi selulosa.
Selanjutnya, selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata.
Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisiologi dalam pembentukan
nata adalah ketersediaan nutrisi, derajat keasaman, temperatur, dan ketersediaan
oksigen.
2.4.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter Xylinum
Adapun beberapa faktor yang berkaitan dengan kondisi nutrisi, adalah sebagai
berikut:
a. Sumber karbon
Sumber karbon yang dapat digunakan dalam fermentasi nata adalah senyawa
karbohidrat yang tergolong monosakarida dan disakarida. Pembentukan nata dapat
terjadi pada media yang mengandung senyawa-senyawa glukosa, sukrosa, dan
laktosa. Sementara yang paling banyak digunakan berdasarkan pertimbangan
ekonomis, adalah sukrosa atau gula pasir.
Penambahan sukrosa harus mengacu pada jumlah yang dibutuhkan.
Penambahan yang berlebihan, disamping tidak ekonomis akan mempengaruhi
tekstur nata, juga dapat menyebabkan terciptanya limbah baru berupa sisa dari
sukrosa tersebut. Namun sebaliknya, penambahan yang terlalu sedikit,
menyebabkan bibit nata menjadi tumbuh tidak normal dan nata tidak dapat
dihasilkan secara maksimal.
Universitas Sumatera Utara
b. Sumber nitrogen
Sumber nitrogen bisa digunakan dari senyawa organik maupun anorganik. Bahan
yang baik bagi pertumbuhan Acetobacter Xylinum dan pembentukan nata adalah
ekstrak yeast dan kasein. Namun, ammonium sulfat dan ammonium fosfat ( di
pasar dikenal dengan ZA ) merupakan bahan yang lebih cocok digunakan dari
sudut pandang ekonomi dan kualitas nata yang dihasilkan. Banyak sumber
nitrogen lain yang dapat digunakan dan murah seperti urea.
c. Tingkat keasaman (pH)
Meskipun bisa tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5, bakteri Acetobacter Xylinum
sangat cocok tumbuh pada suasana asam (pH 4,3). Jika kondisi lingkungan dalam
suasana basa, bakteri ini akan mengalami gangguan metabolisme selnya.
d. Temperatur
Adapun suhu ideal(optimal) bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum
adalah 280 C-310 C. kisaran suhu tersebut merupakan suhu kamar. Pada suhu di
bawah 280 C, pertumbuhan bakteri terhambat. Demikian juga, pada suhu di atas
310 C, bibit nata akan mengalami kerusakan dan bahkan mati, meskipun enzim
ekstraseluler yang telah dihasilkan tetap bekerja membentuk nata.
e. Udara (oksigen)
Bakteri Acetobacter Xylinum merupakan mikroba aerobik. Dalam pertumbuhan,
perkembangan, dan aktivitasnya, bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Bila
kekurangan
oksigen,
bekteri
ini
akan
mengalami
gangguan
dalam
pertumbuhannya dan bahkan akan segera mengalami kematian. Oleh sebab itu,
wadah yang digunakan untuk fermentasi nata tidak boleh ditutup rapat. Untuk
mencukupi kebutuhan oksigen, pada ruang fermentasi nata harus tersedia cukup
ventilasi.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Edible film
Edible film didefinisikan sebagai suatu material berbentuk lapisan tipis yang
dapat dikonsumsi dan dapat digunakan sebagai penghalang kelembaban, oksigen
dan gerakan zat terlarut pada makanan. Edible film dapat digunakan untuk lapisan
pembungkus makanan yang atau dapat ditempatkan sebagai lapisan antara
komponen makanan(Giulbert, 1986). Edible film telah banyak menerima banyak
perhatian pada beberapa tahun belakangan ini karena keuntungannya yang lebih
besar dibandingkan dengan plastik sintetik. Keuntungannya yang paling utama
adalah bahwa edible film dapat ikut dimakan bersama dengan produk makanan
yang dikemas.
Edible film dapat berfungsi sebagai agen pembawa antimikroba dan
antioksidan. dalam aplikasi yang sama edible film juga dapat digunakan di
permukaan makanan untuk mengontrol laju difusi zat pengawet dari permukaan
ke bagian dalam makanan.( Bourtoom, 2008)
Jika bahan baku dan racikannya adalah bahan yang bisa dimakan dan
hanya perubahan struktur bahan baku yang terjadi selama proses pemasakan,
perubahan pH, atau modifikasi enzimatis, maka kemasan tersebut digolongkan
kepada kemasan yang dapat dimakan. (Bardant, dan Dewi, 2007)
Edible film terbuat dari komponen polisakarida, lipid dan protein.. edible
film yang terbuat dari hidrokoloid menjadi barrier yang baik terhadap transfer
oksigen, karbohidrat dan lipid. Pada umumnya sifat dari hidrokoloid sangat baik
sehingga potensial untuk dijadikan pengemas. Sifat film hidrokoloid umumnya
mudah larut dalam air sehingga menguntungkan dalam pemakaiannya.
Bahan hidrokoloid dan lemak atau campuran keduanya dapat digunakan
untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat
edible film adalah protein (gel, kasein, protein kedelai, protein jagung) dan
Universitas Sumatera Utara
karbohidrat (pati, alginat, pektin, dan modifikasi karbohidrat lainnya). Sedangkan
lipid yang digunakan adalah lilin/wax, dan gliserol dan asam lemak.
Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki
kemampuan
yang
baik
untuk
melindungi
produk
terhadap
oksigen.
Karbondioksida dan lipid, memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan
meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya film dari karbohidrat
kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air, sementara film dari
protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.
2.5.1. Sifat-sifat edible film
Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik
menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama
pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film
melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut.
Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan,
pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film.(Gontard, 1993)
a. Ketebalan film (mm)
Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan
terlarut dalam larutan film. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap
air, gas dan senyawa volatile (Mc Hugh, 1993)
b. Tensile strength (Mpa) dan elongasi (%)
Pemanjangan didefinisikan sebagai presentase perubahan panjang film pada saat
film ditarik sampai putus.
Menurut Krochta dan Muldar Johnston (1997), kekuatan regang putus
merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap
bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekutaan regang putus
Universitas Sumatera Utara
berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan
maksimum pada setiap satuan luas area film untuk meregang atau memanjang.
c. Kelarutan film
Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut
setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam.(Gontard, 1993)
d. Laju transmisi uap air
Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu
dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah
untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus
serendah mungkin.(Gontard, 1993)
Menurut Syarif (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta
permeabilitas kemasan adalah :
1. Jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih kecil daripada polietilen
artinya gas atau uap air lebih mudah menembus polipropilen daripada
polietilen.
2. Suhu
3. Ada tidaknya plasticizer misalnya air
4. Jenis polimer film
5. Sifat dan besar molekul gas
6. Solubilitas atau kelarutan gas
(Rachmawati,A.K, 2009)
2.5.2. Aplikasi Edible film pada bahan pangan
Aplikasi dari edible film untuk kemasan bahan pangan saat ini sudah semakin
meningkat, seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan
hidup. Edible film dan biodegradable film banyak digunakan untuk pengemasan
produk buah-buahan segar yaitu untuk mengendalikan laju respirasi, akan tetapi
produk-produk pangan lainnya juga sudah benyak menggunakan edible coating,
seperti produk konfeksionari, daging, dan ayam beku, sosis, produk hasil laut, dan
Universitas Sumatera Utara
pangan semi basah. Apliksai dari edible film atau edible coating dapat
dikelompokkan atas :
1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan
Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada permen,
sayur-sayuran dan buah-buahan segar, sosis, daging, dan produk hasil laut.
2. Sebagai barrier
Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh berikut :
a. Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang
membentuk film, diperdagangkan dengan nama kelcoge, yang merupakan
barrier yang baik untuk absorbsi minyak pada bahan pangan yang
digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan minyak yang
rendah. Di jepang bahan ini digunakan untuk menggoreng tempura.
b. Edible coating yang terbuat dari zein (protein jagung), dengan nama
dagang
Z’coat
TM
(Cozean),
dugunakan
untuk
produk-produk
konfeksionari seperti permen dan cokelat.
c. Fry shiled, terdiri dari pektin, remah-remahan roti dan kalsium, digunakan
untuk mengurangi lemak pada saat penggorengan, seperti pada
penggorengan French fries.
d. Film zein dapat bersifat sebagai berrier untuk uap air dan gas pada kacangkacangan atau buah-buahan. Diaplikasikan pada kismis untuk sereal
sarapan siap santap.
3. Sebagai pengikat (binding)
Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu,
yaitu sebagai pengikat atau adhesive dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih
melekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan
yang digoreng dengan panambahan bumbu-bumbu.
4. Pelapis
Edible film dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan penampilan dari
produk. Pelapisan dengan edible film adalah dapat menghindari masuknya
Universitas Sumatera Utara
mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur (Julianti, E dan Nurminah,
M, 2006)
2.6. Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film
Pada pembuatan edible film dari bahan dasar yang terbuat dari nata de soya,
digunakan bahan-bahan seperti gula, urea, kitosan, dan gliserin. Yang masingmasing dari bahan tersebut mempunyai fungsi sebagai sumber karbohidrat,
sumber nitrogen, plasticizer, dan antimikroba.
2.6.1. Kitosan
Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus
molekul (C6H11NO4)n yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai
secara alamiah di beberapa organisme.
Gambar 2.3 Struktur kitosan
Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan
dengan rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -100 (pada konsentrasi asam asetat 2%).
Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4,0, tetapi
tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5 yang juga tidak larut dalam pelarut air,
alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat, seperti HCl dan HNO3, kitosan
larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan
tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4
tidak larut pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. (Sugita,2009)
Universitas Sumatera Utara
2.6.1.1. Aplikasi dan kegunaan kitosan
Kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti industri
kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan berupa film
khusus, industri metalurgi sebagai adsorban untuk ion-ion metal, industri kulit
untuk perekat, photografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi, dan
flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein tunggal
(Suptijah, 1992).
Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik
(pKa = 6,5), hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Karena sifatnya yang
basa ini, maka kitosan :
a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan kental, sehingga
dapat digunakan untuk pembuatan gel dalam beberapa variasi konfigurasi
seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons.
b. Membentuk kompleks yang tidak larut dalam air dengan polielektrolit
anion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan
membran.
c. Dapat digunakan sebagai pengkelat ion logam berat dimana gelnya
menyediakan
sistem
proteksi
terhadap
efek
destruksi
dari
ion
(Kaban,2009).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Aplikasi dan fungsi kitosan di berbagai bidang
Bidang aplikasi
I.
Pengolahan limbah
Fungsi
-
Pertanian
-
III.
Industri tekstil
IV.
V.
•
•
•
Bioteknologi
Klarifikasi / Penjernihan
Limbah industri pangan
Industri sari buah
Pengolahan
minum
beralkohol
-
Bahan koagulasi/flokulasi untuk
limbah cair
Penghilangan ion-ion metal dari
limbah cair
Dapat menurunkan kadar asam
sayur, buah dan ekstrak kopi
Sebagai pupuk
Bahan antimikrobakterial
Serat tekstil
Meningkatkan ketahanan warna
Bahan-bahan imobilisasi enzim
•
•
•
•
VI.
VII.
Penjernihan air minum
Penjernihan kolam renang
Penjernihan zat warna
Penjernihan tannin
Kosmetik
Biomedis
-
Koagulasi/flokulasi
Flokulan pektin/protein
Flokulan protein/mikroba
Koagulasi
Flokulan mikroba
Pembentuk kompleks
Pembentuk kompleks
-
VIII.
Fotografi
Bahan untuk rambut dan kulit
Mempercepat
penyembuhan
luka
Menurunkan kadar kolesterol
Melindungi film dari kerusakan
(Robert,1992).
II.
-
2.6.1.2. Zat aktif kitosan sebagai anti mikroba
Kitosan yang diperoleh dari dinding sel jamur atau dinding crustacea mampu
menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri yang bersifat patogen dan
menyebabkan resistensi tumbuhan terhadap infeksi jamur dan virus. Namun
kitosan dengan berat molekul rendah, kehilangan kemampuannya untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme tapi masih dapat melindungi tanaman
dari bakteri patogen. Aktivitas anti mikroba kitosan dan turunannya tergantung
pada berat molekul rata-rata. Mikrokristalin kitosan dan turunannya, khususnya
garam-garam, menunjukkan anti virus yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas anti mikroba dari kitosan, disebabkan kitosan yang bermuatan
positif dalam larutan asam encer berinteraksi secara elektrostatis dengan
permukaan sel bakteri yang bermuatan negatif dan mengganggu sitosis normal
pada permukaan. Tokura melaporkan bahwa aktifitas anti mikroba dari kitosan
bergantung pada berat molekul dan interaksi yang ditunjukkan diantara sel bakteri
dan kitosan.
Adapun akitivitas kitosan sebagai anti mikroba telah diuji pada penelitian
pengaruh kitosan terhadap bakteri pada popok bayi,. Kain popok bayi yang telah
dilapisi kitosan dilakukan uji aktivitas bakteri menggunakan metode total plate
count (TPC) untuk mengetahui jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada masingmasing media sampel. Metode ini tidak menentukan jenis bakteri, hanya
menghitung total koloni bakteri yang tumbuh. Kain popok tanpa perlakuan
kitosan digunakan sebagai kontrol. Hasil yang diperoleh seperti yang terlihat pada
tabel berikut :
Tabel 2.4. aktivitas kitosan sebagai anti bakteri
Sampel
Kain popok baru tanpa kitosan
Jumlah koloni bakteri yang tumbuh
CFU/g
210
Kain popok baru dengan kitosan 0,05%
Tidak ditemukan
Kain popok baru dengan kitosan 0,10%
900
Kain popok baru dengan kitosan 0,15%
2230
Kain popok baru dengan kitosan 0,20%
2460
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa konsentrasi optimum
kitosan dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah 0,05% (b/v). semakin
besar konsentrasi kitosan, jumlah koloni bakteri yang tumbuh semakin besar. Hal
ini menunjukkan bahwa kitosan tidak hanya memiliki sifat menghambat tapi juga
Universitas Sumatera Utara
dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Adanya atom nitrogen menjadikan
kitosan sebagai inhibitor dan sumber makanan bakteri sekaligus. Bakteri
membutuhkan konsentrasi tertentu untuk bisa mengubah kitosan sebagai sumber
makanannya. Semakin besar konsentrasi kitosan (diatas 0,05%), sifat kitosan
sebagai makanan semakin besar sehingga sifat kitosan sebagai inhibitor semakin
turun (Http//www.ac.id/files/aktivitas kitosan).
2.6.2. Gliserin
Gliserin yang merupakan produk samping dari industri oleokimia yang memiliki
sifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol, tidak berwarna, tidak berbau dan
memiliki rasa manis. Gliserin banyak digunakan untuk farmasi, bahan makanan,
kosmetik, emulsifier dan minyak pelumas. Adapun kegunaan gliserin adalah
sebagai berikut :
a. Farmasi
Gliserin banyak digunakan sebagai salep, obat batuk, pembuatan multi vitamin,
vaksin, obat infeksi, stimulan jantung, antiseptik, pencuci mulut, pasta gigi.
b. Bahan makanan
Gliserin digunakan sebagai ekstrak buah seperti vanili, kopi, koumarin. Gliserin
juga digunakan untuk minuman berkarbonat, pembuatan keju, permen jeli.
c. Kosmetik
Gliserin yang memiliki sifat tidak beracun tidak menyebabkan iritasi dan tidak
berwarna digunakan untuk pelembut dan pelembab kulit, krem kulit, sabun,
pembersih wajah. Gliserin juga digunakan sebagai pelarut parfum, pewarna dan
pembersih kendaraan (Minner, 1953)
Universitas Sumatera Utara
2.7. Bahan pangan
Pada dasarnya bahan pangan terdiri dari empat komponen utama yaitu air, protein,
karbohidrat dan lemak. Disamping itu bahan pangan juga mengandung zat
anorganik dalam bentuk mineral dan komponen organik lainnya misalnya vitamin,
enzim, asam, antioksidan, pigmen dan komponen cita rasa. Jumlah masingmasing komponen tersebut berbeda-beda pada bahan pangan tergantung dari sifat
alamiah bahan misalnya kekerasan, cita rasa dan warna makanan.
2.7.1. Perubahan yang terjadi pada bahan pangan.
Bahan pangan akan mengalami perubahan-perubahan selama penyimpanan, dan
perubahan ini dapat terjadi baik pada bahan pangan segar maupun pada bahan
pangan yang sudah mengalami pengolahan. Perubahan-perubahan yang terjadi
dapat berupa perubahan biokimia, kimia atau migrasi unsur-unsur ke dalam bahan
pangan.
1. Perubahan biokimiawi
Bahan-bahan pangan segar (belum terolah) misalnya biji-bijian, sayuran, buahbuahan, daging dan susu akan mengalami perubahan biokimia setelah bahanbahan ini dipanen atau dipisahkan dari induknya. Bahan-bahan segar ini umumnya
mengandung air yang cukup tinggi sehingga memungkinkan adanya aktivitas
enzim dan menyebabkan terjadinya perubahan warna, tekstur, aroma dan nilai gizi
bahan. Contoh perubahan biokimiawi yang terjadi pada bahan pangan adalah
pencoklatan pada buah yang memar atau terkelupas kulitnya, atau daging segar
yang berubah warna menjadi hijau dan berbau busuk.
2. Perubahan kimiawai dan migrasi unsur
Perubahan kimiawi yang terjadi pada bahan pangan disebabkan oleh penggunaan
antioksidan, fungisida, plastisizer, bahan pewarna dan pestisida yang dapat
bermigrasi ke dalam bahan pangan. Pengemasan dapat memecah terjadinya
migrasi bahan-bahan ini ke dalam bahan pangan.( Julianti, 2006)
Universitas Sumatera Utara
2.8. Kadar nutrisi
2.8.1. Kadar air
Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, dan hal ini merupakan
salah satu sebab mengapa di dalam pengolahan pangan air tersebut sering
dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengentalan dan
pengeringan. Pengurangan air disamping bertujuan mengawetkan juga untuk
mengurangi besar dan berat bahan pangan.(Winarno, 1980)
2.8.2. Kadar abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan
abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya.
Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan yaitu antara
lain:
a. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan.
Misalnya pada proses penggilingan gandum diharapkan dapat dipisahkan
antara bagian endosperm dengan kulit/katul dan lembaganya. Apabila
masih banyak kulit atau lembaga terikut dalam endosperm maka tepung
gandum yang dihasilkan akan mempunyai kadar abu yang relatif tinggi.
b. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan.
Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan
buah yang digunakan untuk membuat jelly. Kandungan abu juga dapat
dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau
sintetis.
c. Penentuan abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi bahan
makanan. adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup
tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasi semua zat organik pada
suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-6000 C dan kemudian melakukan
penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut.
Sampel yang akan diabukan ditimbang sejumlah tertentu tergantung
macam bahannya. Bahan yang mempunyai kadar air yang tinggi sebelum
pengabuan harus dikeringkan lebih dahulu. Temperatur pengabuan harus
diperhatikan sungguh-sungguh karena banyak elemen abu yang dapat menguap
pada suhu yang tinggi. Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar
anatar 2-8 jam. Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pengabuan
yang umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang
waktu pengabuan 30 menit.( Sudarmadji, 1992)
2.8.3. Kadar serat
Serat kasar mengandung senyawa selulosa, lignin, dan zat lain yang belum dapat
diidentifikasi dengan pasti. Yang disebut serat kasar disini adalah senyawaan yang
tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia ataupun binatang. Didalam
analisa penentuan serat kasar diperhitungkan banyaknya zat-zat yang tak larut
dalam asam encer ataupun basa encer dengan kondisi tertentu. Langkah-langkah
yang dilakukan dalam analisa adalah :
1. Defatting, yaitu menghilangkan lemak yang terkandung dalam sampel
menggunakan pelarut lemak.
2. Digestion, terdiri dua tahap yaitu pelarutan dengan asam dan pelarutan
dengan basa. Kedua macam proses digesti ini dilakukan dalam keadaan
tertutup pada suhu terkontrol (mendidih) dan sedapat mungkin dihilangkan
dari pengaruh luar.
Serat sangat penting dalam penilaian kualitas bahan makanan karena
angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan tersebut.(
Sudarmadji, 1992).
Universitas Sumatera Utara
2.8.4. kadar lemak
Lemak adalah sekelompok ikatatan organik yang terdiri atas unsur-unsur karbon
(C), hidrogen, (H), dan oksigen (O), yang mempunyai sifat dapat larut dalam
pelarut lemak, seperti petrolueum benzene, eter. Lemak di dalam bahan makanan
yang memegang peranan penting ialah disebut lemak netral atau trigliserida yang
molekulnya terdiri atas satu molekul gliserol dan tiga asam lemak.
Lemak dalam bahan makanan ditentukan dengan metode ekstraksi
beruntun di dalam alat soxhlet, mempergunakan ekstrans pelarut lemak, seperti
petroleum benzene atau eter. Bahan makanan yang akan ditentukan kadar
lemaknya, dipotong-potong setelah dipisahkan dari bagian yang tidak dimakan
seperti kulit dan lainnya. Bahan makanan kemudian dihaluskan atau dipotong
kecil-kecil dan dimasukkan kedalam alat soxhlet untuk diekstraksi. Ekstraksi
dilakukan berturut-turut beberapa jam dengan dipanaskan. Setelah diperkirakan
selesai, cairan ekstrans diuapkan dan residu yang tertinggal ditimbang dengan
teliti. Persentase lemak (residu) terhadap berat jumlah asal bahan makanan yang
diolah dapat dihitung dan kadar lemak bahan makanan tersebut dinyatakan dalam
gram persen (Sediaoetama, 1985).
2.8.5. Kadar protein
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan
makronutrien lain (lemak dan karbohidrat). Protein ini berperan lebih penting
dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi.
Penentuan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan
berdasarkan penerpaan empiris, yaitu melalui penentuan kandungan N yang ada
dalam bahan makanan. penentuan protein berdasarkan jumlah N menunjukkan
protein kasar karena selain protein juga terikut senyawaan N bukan protein
misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin,
pirimidin. Penentuan cara ini yang paling terkenal adalah cara Kjeldhal. Analisa
Universitas Sumatera Utara
protein metode Kjeldhal pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu
proses destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi.
1. Tahap destruksi
Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi
destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi
CO, CO2 dan H2O. sedangkan nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4.
2. Tahap destilasi
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan
penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan
selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dapat
dipakai adalah asam klorida atau asam borat 4 % dalam jumlah yang berlebihan.
Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebih, diberi indikator tashiro.
Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi sempurna dengan
ditandai destilat tidak bereaksi basa.
3. Tahap titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam borat maka banyaknya asam borat
yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam
klorida 0,1 N dengan indikator tashiro. Akhir titrasi ditandai dengan perubahan
warna larutan dari hijau menjadi ungu.(Sudarmadji, 1992).
2.8.6. kadar karbohidrat.
karbohidrat adalah polihidroksi aldehi atau polihidroksi keton dan meliputi
kondensasi polimer-polimernya yang tebentuk.(Sudarmadji, 1992). Dalam bahanbahan pangan nabati, karbohidrat merupakan komponen yang relatif tinggi
kadarnya. Beberapa zat yang termasuk golongan karbohidrat adalah gula,
dekstrin, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin, dan beberapa karbohidrat yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur yang membentuk karbohidrat hanya terdiri dari karbon (C), hidrogen
(H) dan oksigen (O), kadang-kadang juga nitrogen (N).(Winarno, 1980)
Ada beberapa cara analisis yang dapat digunakan untuk memeperkirakan
kandungan karbohidrat dalam bahan makana. Yang paling mudah adalah dengan
cara perhitungan kasar (proximate analysis) atau juga disebut Carbohydrate by
Difference.
Yang dimaksud dengan proximate analysis adalah suatu analisis dimana
kandungan karbohidrat termasuk serat kasar diketahui bukan melalui analisis
tetapi melalui perhitungan, sebagai berikut:
% karbohidrat = 100 % - % ( protein + lemak + abu + air )
Perhitungan Carbohydrate by Difference adalah penentuan dalam bahan makanan
secara kasar, dan hasilnya ini biasanya dicantumkan dalam daftar komposisi
bahan makanan.(Winarno, 1992).
2.9. Karakterisasi Edible Film
2.9.1. Fourier Transform Infrared (FTIR)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada
berbagai panjang gelombang disebut spektrometer infra merah. Pancaran infra
merah umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak di
antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Pancaran infra merah yang
kerapatannya kurang dari pada 100 cm-1 (panjang gelombang lebih dari 100 µm)
diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran molekul.
Penyerapan itu tercatu dan demikian spektrum rotasi molekul terdiri dari garisgaris yang tersendiri.(Hartomo, 1986).
FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke
penelitian-penelitian struktur polimer. Karena spektrum-spektrum bisa di-scan,
Universitas Sumatera Utara
disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan
penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Persyaratanpersyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah kopling instrument
FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang
sangat terlokalisasi. Dan kemampuan untuk substraksi digital memungkinkan
seseorang untuk melahirkan spektrum-spektrum lainnya yang tersembunyi.
FTIR teristimewa bermanfaat dalam meneliti paduaan-paduan polimer.
Sementara paduan yang tidak dapat campur memperlihatkan suatu spekturm IR
yang merupakan superposisi dari spektrum homopolimer spektrum paduan yang
dapat campur adalah superposisi dari tiga komponen., dua spektrum homopolimer
dan satu spektrum interaksi yang timbul dari interaksi kimia atau fisika antara
homopolimer-homopolimer.(Steven, 2001).
2.9.2. Scanning Elektron Microcopy (SEM).
SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara
makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen
interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu
hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder, absorbs elektron.
Adanya material lain dalam suatu matriks seperti dispersi material tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat
parubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan suatu analisa permukaan, dimana
alat yang biasa digunakan adalah SEM.
Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa
permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau
dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan yang diperoleh
merupakan gambar tofografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang
permukaan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang
dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap
oleh detektor dan diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar
yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya
gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau
dapat pula direkam kedalam suatu disket. (wirjosentono, 1996)
SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM) dalam hal
bahwa suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilang
permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar
katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal
yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu
citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga
dimensi. Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakainannya,
tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan
dengan resolusi sekitar 100 Å. Aplikasi-aplikasi yang khas mencakup penelitian
disperse-dispersi pigmen dalam sel, pelepuhan atau peretakan koting, batas-batas
fasa dalam polipaduan yang tak dapat campur, struktur sel busa-busa polimer, dan
kerusakan pada bahan perekat. SEM teristimewa berharga dalam mengevaluasi
beberapa penanaman (implant) bedah polimerik bereaksi baik dengan lingkungan
bagian tubuhnya. (Stevens, 2001)
2.9.3. Uji Tarik.
Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang terpenting
dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik
suatu bahan didefinisikan sebagai besarnya beban maksimum (Emaks) yang
digunakan untuk memutuskan spesimen bahan dibagi dengan luas penampang
awal (Ao).
Universitas Sumatera Utara
Bila suatu bahan dikenakan beban tarik yang disebut tegangan (gaya per
satuan luas), maka bahan akan mengalami perpanjangan (regangan). Kurva
tegangan terhadap regangan merupakan gambar karakteristik dari sifat mekanik
suatu bahan..(Wirjosentono, 1996)
Universitas Sumatera Utara
Download