BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kedelai ( Glycine max (L.) Merr ) Kedelai merupakan salah satu komoditi pangan yang utama yang menyehatkan karena mengandung protein tinggi dan memiliki kadar kolesterol yang rendah. Kebutuhan akan komoditi kedelai terus meningkat dari tahun ketahun baik sebagai bahan pangan utama, pakan ternak, maupun sebagai bahan baku industri skala besar ( pabrikan ) hingga skala kecil ( rumah tangga ).Dalam buku rukmana (1996) dan gembong (2005) tanaman kedelai termasuk dalam: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub Kelas : Archihlahmydae Ordo : Rosales Sub Ordo : Leguminosneae Family : Leguminoseae Sub Familiy : Papiolionaceae Genus : Glycine Spesies : Glycine Max (L.) Meriil (Setiyawati, 2011) Universitas Sumatera Utara 2.1.1. Tahu Menurut SNI 01-3142-1998, tahu adalah produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycine sp.) dengan cara pengendapan protein, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan. Setiap tahu yang ada di pasaran memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan kualitasnya. 2.1.2. Limbah Cair Tahu Permasalahan yang kerap muncul dalam industri tahu tradisional adalah pengolahan limbah yang belum baik. Limbah cair dari pabrik tahu biasanya dibuang begitu saja di selokan atau sungai terdekat, tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini tentu saja mengganggu. Selain baunya yang tidak enak, air buangan limbah akan mencemari perairan disekitarnya yang dapat menyebabkan rusaknya habitat di lingkungan tersebut. Karakteristik limbah cair tahu adalah memiliki suhu melebihi suhu normal badan air ( 60-800 C), berwarna putih kekuningan dan keruh, nilai pH < 7, dan memiliki COD ( Chemical Oksigen Demand ) serta padatan tersuspensi atau padatan tak terlarut tinggi. Padatan tersebut sebagian berupa protein, lemak, dan karbohidrat. Limbah cair ini berpotensi menimbulkan bau busuk karena degradasi atau perombakan protein, lemak, dan karbohidrat oleh mikroorganisme secara anaerob sehingga menyebabkan pencemaran air. Karakteristik limbah cair pengolahan tahu menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiwiyoto (1993) ditunjukkan pada tabel 2.1. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Karakteristik Limbah Cair Tahu Parameter Nilai BOD (ml/l) 6.500 COD (ml/l) 8.900 Padatan total (ml/l) 11.000 Padatan terlarut (ml/l) 3.800 Kadar abu (%) 2 Kadar N (mg/l) 40 Kadar fenol (mg/l) 14 Kadar posfor ( mg/l) 103 Kadar NH3 (mg/l) 9 Kandungan bakteri (CFU/ml) 105-108 pH 4 ( Rahayu, 2012) Pengolahan tahu yang hingga kini merupakan limbah industri yang memberikan tingkat pencemaran yang tinggi terhadap lingkungan ternyata bisa dibuat menjadi produk baru yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia yaitu nata de soya. Jika ditinjau dari kompoisi kimianya, ternyata air limbah tahu mengandung nutrien – nutrien (protein, karbohidrat dan bahan – bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan pencemaran, tetapi jika dimanfaatkan akan menguntungkan pengrajin tahu atau masyarakat yang berminat mengolahnya. 2.2. Nata de Soya Nata berasal dari bahasa spanyol yaitu nadir yang berarti berenang, istlah tersebut juga berasal dari bahasa latin yaitu natare yang berarti terapung. Nata yaitu selulosa bakterial yang mengandung lebih kurang 98 % konsistensinya kokoh dan teksturnya agak kenyal. Makanan ini termasuk makanan rendah kalori sehingga cocok untuk penderita diabetes. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1990 ditemukan cara pemanfaatan limbah tahu untuk bahan baku industri yaitu digunakan sebagai nata de soya. Sama halnya dengan nata de coco atau sari kelapa yang sudah lama diusahakan orang untuk mengurangi limbah air kelapa, nata de soya merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah tahu menjadi bahan baku industri. Pengolahan limbah tahu menjadi nata ini melibatkan bakteri Acetobacter Xylinum yang memakai protein dan karbohidrat dalam limbah sebagai sumber energi untuk hidup dan berkembang biak. Dalam proses ini dihasilkan berupa lapisan padat seperti agar didekat permukaan cairan pemeliharaan. Nata de soya atau sari nata kedelai adalah sejenis makanan dalam bentuk nata, padat, putih dan transparan, merupakan makanan penyegar dan pencuci mulut. Nata de soya dibentuk oleh bakteri Acetobacter Xylinum yang merupakan bakteri asam asetat bersifat aerob, pada media cair dapat membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter, kenyal, putih dan lebih lembut dibanding dengan nata de coco. 2.2.1. Analisis Kandungan Gizi Nata de Soya Nata dari air rebusan kedelai (Nata de Soya) dan Nata de Coco ternyata memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda. Hasil uji proksimat menunjukkan kandungan utamanya adalah air (98%) dan serat kasar (10%) (dapat dilihat pada Tabel 2.2). Sebagai makanan, nata memiliki nilai gizi dan nilai kalori yang rendah. Meskipun demikian, sehubungan dengan kandungan seratnya maka nata dapat dijadikan sebagai makanan alternatif untuk penderita masalah gizi lebih, untuk rnencegah terjadinya sembelit atau menghindari konstipasi dan memperlancar pencernaan. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2. Hasil uji proksimat kandungan gizi nata de soya dan nata de coco. Analisis Nata de Soya Nata de Coco Kadar Air 97,25 % 98,27 % Kadar Abu 0,31 % 0,20 % Kadar Lemak 1,20 % 1,06 % Serat Kasar 10,60 % 8,51 % Kadar Protein 0,00 % 1,53 % Kadar Karbohidrat 0,09 % 0,00 % (Basrah Enie, 1993). 2.2.2. Fermentasi nata de soya Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan, sebagai akibat dari pemecahan kandungan – kandungan bahan pangan tersebut. Jika cara pengawetan pangan yang lain misalnya pemanasan, pendinginan dan lain – lain adalah ditujukan untuk mengurangi jumlah mikroba, maka proses fermentasi adalah sebaliknya, yaitu memperbanyak jumlah mikroba dan menggiatkan metabolismenya di dalam makanan. Tetapi jenis mikroba yang digunakan sangat terbatas yaitu disesuaikan dengan hasil akhir yang dikehendaki. Hasil –hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut (Winarno, 1992) Fermentasi dilakukan pada media cair yang telah diinokulasi dengan starter. Fermentasi berlangsung pada kondisi aerob ( membutuhkan oksigen ). Mikroba tumbuh pada permukaan media. Fermentasi dilakukan sampai nata yang terbentuk cukup tebal. Nata berupa lapisan putih seperti agar. Lapisan ini adalah massa mikroba berkapsul dari selulosa Universitas Sumatera Utara 2.2.3. Zat – zat nutrisi yang ditambahkan pada fermentasi nata de soya Komposisi media fermentasi nata terdiri dari karbohidrat (gula) sebagai sumber karbon dan urea sebagai sumber nitrogen. Oleh karena itu perlu ditambahkan zat – zat nutrisi sebagai berikut. a. Gula sebagai sumber karbon Sumber karbon merupakan faktor penting dalam proses fermentasi. Bakteri untuk menghasilkan nata membutuhkan sumber karbon bagi proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembangbiakannya. Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel nata. Kebutuhan karbon untuk media umumnya diberikan oleh glukosa, pati dan laktosa (Hidayat, 2006) b. Urea sebagai sumber nitrogen Selain gula, sumber nitrogen merupakan faktor penting. Nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan sel dan pembentukan enzim. Kekurangan nitrogen menyebabkan sel tumbuh dengan kurang baik dan menghambat pembentukan enzim yang diperlukan, sehingga proses fermentasi dapat mengalami kegagalan atau tidak sempurna (Hidayat, 2006) 2.2.4. Faktor – faktor yang mempengaruhi produksi nata Untuk menghasilkan produksi nata yang maksimal perlu diperhatikan faktorfaktor sebagai berikut 1. Jenis dan konsentrasi medium Medium fermentasi ini harus banyak mengandung karbohidrat (gula) disamping vitamin dan mineral, karena pada hakekatnya nata tersebut adalah slime (menyerupai kapsul) dari sel bakteri yang kaya selulosa yang diproduksi dari glukosa oleh bakteri Acetobacter Xylinum. Bakteri ini dalam kondisi yang optimum memiliki kemampuan yang luar biasa untuk memproduksi slime Universitas Sumatera Utara sehingga slime tersebut terlepas dari sel vegetatif bakteri dan terapung-apung di permukaan medium. Pembentukan nata terjadi karena proses penganmbilan glukosa dari larutan gula yang kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor (penciri nata) pada membran sel. Prekursor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa yang merupakan bahan dasar pembentukan slime.(palungkun 1993). Menurut Rahman (1992) nata itu merupakan hasil fermentasi dari bakteri Acetobacter Xylinum, bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang dalam medium gula dan akan mengubah gula menjadi selulosa. 2. Jenis dan konsentrasi starter Pada umumnya Acetobacter Xylinum merupakan starter yang lebih produktif dari jenis starter lainnya, sedang konsentrasi 5 – 10 % merupakan konsentrasi yang ideal (Rahman, 1992). 3. Lama fermentasi Lama fermentasi yang digunakan dalam pembuatan nata ini pada umumnya 2 – 4 minggu. Minggu ke empat dari waktu fermentasi nerupakan waktu maksimal produksi nata, yang berarti lebih dari 4 minggu produksi nata akan menurun (Awang, 1991) 4. Suhu fermentasi Pada umumnya suhu untuk pertumbuhan bakteri pembuat nata adalah suhu kamar (280C). suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mengganggu pertumbuhan bakteri pembuat nata yang akhirnya juga akan menghambat produksi nata. 5. pH fermentasi derajat keasaman yang dibutuhkan dalam pembuatan nata adalah suasana asam. Pada kedua sisi pH optimum, aktivitas enzim seringkali menurun dengan tajam, suatu perubahan kecil pada pH dapat menimbulkan perbedaan besar pada kecepatan beberapa reaksi enzimatis yang amat penting bagi organisme. Hasil Universitas Sumatera Utara penelitian Hubeis (1996) penambahan ammonium sulfat 0,8% dan sukrosa 10% dapat mempertahankan pH optimum (pH 4) bagi pertumbuhan bakteri, sehingga pertumbuhan bakteri dan pembentukan lapisan nata dapat berlangsung dengan baik. Penurunan pH bisa terjadi akibat fermentasi karbohidrat menjadi asam, sehingga semakin lama fermentasinya maka akan semakin cenderung terjadi penurunan pH medium. 6. Jenis dan konsentrasi suplemen Kandungan karbohidrat dalam bahan untuk membuat nata merupakan bahan yang terpenting. Limbah dengan kadar karbohidrat rendah jika ingin digunakan sebagai medium pembuatan nata perlu ditambah gula pasir. 7. Tempat fermentasi Tempat fermentasi sebaiknya tidak terbuat dari unsur logam karena mudah korosif yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroorganisme pembuatan nata yang akhirnya dapat mengganggu pembuatan nata, disamping itu tempat fermentasi diupayakan untuk tidak mudah terkontaminasi, tidak terkena cahaya matahari secara langsung, jauh dari sumber panas, dan jangan sampai langsung berhubungan dengan tanah. Hasil penelitian Hubeis (1996) tempat fermentasi yang mempunyai permukaan yang lebih luas akan menghasilkan nata lebih tebal dari pada tempat fermentasi yang mempunyai permukaan sempit.selain hal di atas, dalam pembuatan nata juga harus diperhatikan bahwa selama proses pembentukan nata berlangsung, harus dihindari gerakan atau goncangan di sekitar tempat fermentasi. Akibat adanya gerakan atau goncangan ini akan menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk yang menyebabkan terbentuknya lapisan baru, dimana lapisan pertama dan yang baru tidak dapat bersatu. Hal ini akan menyebabkan ketebalan produk nata menjadi tidak standar. Kriteria nata yang berkualitas dapat dilihat dari segi kandungan bahan gizi (protein, karbohidrat, lemak, air, abu dan kadar serat), segi organoleptik (bau, rasa, warna, dan tekstur), dan dari segi penampakan produk (berat basah dan ketebalan produk) (Budiyanto, 2002) Universitas Sumatera Utara 2.3. Selulosa Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan di dalam dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa merupakan rantairantai atau mikrofibril dari D-glukosa sampai sebanyak 14.000 satuan yang terdapat sebagai berkas-berkas terpuntir mirip tali yang terikat satu sama lain oleh ikatan hidrogen (Fessenden, 1986) Gambar 2.1 Struktur Selulosa Selulosa bakterial adalah selulosa yang diproduksi oleh mikroba terutama bakteri dari galur acetobacter. Selulosa bakteri mempunyai katakteristik yang lebih menguntungkan dibandingkan selulosa yang berasal dari tanaman. Karakteristik tersebut antara lain kemurniannya tinggi, dapat terurai, seratnya halus, kekuatan tarik mekaniknya bagus, kapasitas pengikatan airnya tinggi dan derajat kristalinitasnya tinggi Sistem pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan α-glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan untuk menghidrolisis ikatan β-glikosidik (Hart, 2003) Universitas Sumatera Utara 2.4. Acetobacter Ciri-ciri Acetobacter adalah selnya berbentuk bulat panjang sampai batang lurus atau agak bengkok, ukurannya 0,6-0,8 x 1,0-3,0 µm, terdapat dalam bentuk tunggal berpasangan atau dalam bentuk rantai. Acetobacter merupakan aerobik sejati, membentuk kapsul, dan tidak mempunyai spora, suhu optimumnya adalah 300C (Pelezar dan Chan, 1988). Acetobacter sp. Adalah bakteri yang digunakan untuk membuat cuka. Dalam membuat cuka, gel seperti membran selalu ditemukan pada permukaan larutan. Material ini berkembang menjadi selulosa. Selulosa ini berasal dari bakteri yang dinamakan selulosa bakteri Spesies Acetobacter yang terkenal adalah Acetobacter aceti, Acetobacter orlenensis, Acetobacter liquefasiensis, dan Acetobacter xylinum. Meskipun ciriciri yang dimiliki hampir sama dengan spesies lainnya Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan yang lain karena sifatnya yang unik. Bila Acetobacter xylinum ditumbuhkan pada medium yang mengandung gula, bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (Daulay, 2003) 2.4.1. Jenis-jenis Acetobacter Adapun jenis-jenis bakteri Acetobacter adalah sebagai berikut : a. Acetobacter acetii, ditemukan oleh beijerinck pada tahun 1898. Bakteri ini penting dalam produksi asam asetat, yang mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat. Banyak terdapat pada ragi tapai, yang menyebabkan tapai yang melewati 2 hari fermentasi akan menjadi berasa masam. b. Acetobacter xylinum, bakteri ini digunakan dalam pembuatan nata de coco. Acetobacter xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang dikonsumsi. Nata yang dihasilkan berupa pelikel yang mengambang Universitas Sumatera Utara dipermukaan substrat. Bakteri ini juga terdapat pada produk kombucha yaitu fermentasi dari teh (Hidayat, 2007). c. Acetobacter suboxydans, bakteri ini dapat mengubah glukosa menjadi asam askorbat (vitamin C) (Robinson, 1976). d. Acetobacter orleanensis, bakteri ini dapat mengubah etanol menjadi cuka (Mckane and July, 1976). e. Acetobacter indonesianensis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini merupakan bakteri asli Indonesia f. Acetobacter cibinongensis, bakteri ini berasal dari daerah cibinong. g. Acetobacter syzygii, ditemukan pada tahun 2002. Bakteri ini berasal dari buah sirsak. h. Acetobacter tropicallis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini berasal dari daerah tropis. i. Acetobacter bogoriensis, bakteri ini berasal dari daerah tropis. Jenis Acetobacter 5 – 9 adalah spesies baru yang merupakan bakteri asli Indonesia, yang ditemukan oleh Dr. Puspita Lisdayanti. 2.4.2. Acetobacter xylinum Bakteri pembentuk nata termasuk kedalam golongan Acetobacter xylinum, yang mempunyai ciri-ciri antara lain : “sel bulat panjang sampai batang (seperti kapsul), tidak mempunyai endospora, sel-selnya bersifat gram negatif, bernafas secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil(Pelezar dan Chan, 1988). Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lain karena sifatnya yang bila ditumbuhkan dalam medium yang kaya komponen gula, bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler. Universitas Sumatera Utara Acetobacter Xylinum mempunyai tiga enzim yang aktif, yaitu enzim kinase, enzim ekstraseluler selulosa polymerase, dan enzim protein sintetase. Enzim ekstraseluler selulosa polimerase aktif pada pH 4 yang berfungsi untuk membentuk benang-benang selulosa (nata). Enzim protein sintetase aktif pada pH 3-6 yang berfungsi untuk mengubah makanan yang mengandung C, H, O, dan N menjadi protein (Mandel, 2004). Dalam medium cair, Acetobacter Xylinum mampu membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap dalam benang-benang yang dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih, dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium. Gambar 2.2. Acetobacter Xylinum Klasifikasi ilmiah dari Acetobacter Xylinum : Kerajaan : Bakteria Filum : Proteobacteria Kelas : Alpha Proteobacteria Ordo : Rhodospirilia Famili : Pseudomonadaceae Universitas Sumatera Utara Genus : Acetobacter Spesies : Acetobacter Xylinum ( Moss M.O.,1995) Bakteri Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup.(Biamenta ,2011). Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel secara teratur, mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian, dan fase kematian. Adapun tahap-tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum dalam kondisi normal adalah sebagai berikut. a. Fase adaptasi Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter Xylinum tidak langsung tumbuh dan berkembang. Pada fase ini, bakteri akan terlebih dahulu menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya. Fase adaptasi bagi Acetobacter Xylinum dicapai antara 0-24 jam atau ± 1 hari sejak inokulasi. b. Fase pertumbuhan awal Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam. c. Fase pertumbuhan eksponensial Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter Xylinum, fase ini dicapai dalam waktu antara 1-5 hari, tergantung pada kondisi lingkungan. Pada fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyakbanyaknya, untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa. Universitas Sumatera Utara d. Fase pertumbuhan diperlambat Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi yang telah berkurang, terdapatnya metabolit yang bersifat toksik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan umur sel yang telah tua. e. Fase stasioner Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksik lebih besar, dan umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini. f. Fase menuju kematian Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan banyak energi cadangannya. g. Fase kematian Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari fase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepas komponen yang terdapat di dalamnya.(Biamenta, 2011) 2.4.3. Sifat-sifat Acetobacter Xylinum 1. Sifat morfologi Acetobacter Xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai panjang 2 mikron dan lebar 0,6 mikron, dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bisa membentuk rantai pendek dengan satuan 6-8 sel. Bakteri ini tidak membentuk endospora maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih muda, individu sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk lapisan menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan Universitas Sumatera Utara koloninya. Pertumbuhan koloni pada medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah diambil dengan jarum ose. 2. Sifat fisiologi Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil alkohol, dan propil alkohol, tidak membentuk indol dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O. sifat yang paling menonjol dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan mempolimerisasi glukosa hingga menjadi selulosa. Selanjutnya, selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisiologi dalam pembentukan nata adalah ketersediaan nutrisi, derajat keasaman, temperatur, dan ketersediaan oksigen. 2.4.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter Xylinum Adapun beberapa faktor yang berkaitan dengan kondisi nutrisi, adalah sebagai berikut: a. Sumber karbon Sumber karbon yang dapat digunakan dalam fermentasi nata adalah senyawa karbohidrat yang tergolong monosakarida dan disakarida. Pembentukan nata dapat terjadi pada media yang mengandung senyawa-senyawa glukosa, sukrosa, dan laktosa. Sementara yang paling banyak digunakan berdasarkan pertimbangan ekonomis, adalah sukrosa atau gula pasir. Penambahan sukrosa harus mengacu pada jumlah yang dibutuhkan. Penambahan yang berlebihan, disamping tidak ekonomis akan mempengaruhi tekstur nata, juga dapat menyebabkan terciptanya limbah baru berupa sisa dari sukrosa tersebut. Namun sebaliknya, penambahan yang terlalu sedikit, menyebabkan bibit nata menjadi tumbuh tidak normal dan nata tidak dapat dihasilkan secara maksimal. Universitas Sumatera Utara b. Sumber nitrogen Sumber nitrogen bisa digunakan dari senyawa organik maupun anorganik. Bahan yang baik bagi pertumbuhan Acetobacter Xylinum dan pembentukan nata adalah ekstrak yeast dan kasein. Namun, ammonium sulfat dan ammonium fosfat ( di pasar dikenal dengan ZA ) merupakan bahan yang lebih cocok digunakan dari sudut pandang ekonomi dan kualitas nata yang dihasilkan. Banyak sumber nitrogen lain yang dapat digunakan dan murah seperti urea. c. Tingkat keasaman (pH) Meskipun bisa tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5, bakteri Acetobacter Xylinum sangat cocok tumbuh pada suasana asam (pH 4,3). Jika kondisi lingkungan dalam suasana basa, bakteri ini akan mengalami gangguan metabolisme selnya. d. Temperatur Adapun suhu ideal(optimal) bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum adalah 280 C-310 C. kisaran suhu tersebut merupakan suhu kamar. Pada suhu di bawah 280 C, pertumbuhan bakteri terhambat. Demikian juga, pada suhu di atas 310 C, bibit nata akan mengalami kerusakan dan bahkan mati, meskipun enzim ekstraseluler yang telah dihasilkan tetap bekerja membentuk nata. e. Udara (oksigen) Bakteri Acetobacter Xylinum merupakan mikroba aerobik. Dalam pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitasnya, bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Bila kekurangan oksigen, bekteri ini akan mengalami gangguan dalam pertumbuhannya dan bahkan akan segera mengalami kematian. Oleh sebab itu, wadah yang digunakan untuk fermentasi nata tidak boleh ditutup rapat. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, pada ruang fermentasi nata harus tersedia cukup ventilasi. Universitas Sumatera Utara 2.5. Edible film Edible film didefinisikan sebagai suatu material berbentuk lapisan tipis yang dapat dikonsumsi dan dapat digunakan sebagai penghalang kelembaban, oksigen dan gerakan zat terlarut pada makanan. Edible film dapat digunakan untuk lapisan pembungkus makanan yang atau dapat ditempatkan sebagai lapisan antara komponen makanan(Giulbert, 1986). Edible film telah banyak menerima banyak perhatian pada beberapa tahun belakangan ini karena keuntungannya yang lebih besar dibandingkan dengan plastik sintetik. Keuntungannya yang paling utama adalah bahwa edible film dapat ikut dimakan bersama dengan produk makanan yang dikemas. Edible film dapat berfungsi sebagai agen pembawa antimikroba dan antioksidan. dalam aplikasi yang sama edible film juga dapat digunakan di permukaan makanan untuk mengontrol laju difusi zat pengawet dari permukaan ke bagian dalam makanan.( Bourtoom, 2008) Jika bahan baku dan racikannya adalah bahan yang bisa dimakan dan hanya perubahan struktur bahan baku yang terjadi selama proses pemasakan, perubahan pH, atau modifikasi enzimatis, maka kemasan tersebut digolongkan kepada kemasan yang dapat dimakan. (Bardant, dan Dewi, 2007) Edible film terbuat dari komponen polisakarida, lipid dan protein.. edible film yang terbuat dari hidrokoloid menjadi barrier yang baik terhadap transfer oksigen, karbohidrat dan lipid. Pada umumnya sifat dari hidrokoloid sangat baik sehingga potensial untuk dijadikan pengemas. Sifat film hidrokoloid umumnya mudah larut dalam air sehingga menguntungkan dalam pemakaiannya. Bahan hidrokoloid dan lemak atau campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah protein (gel, kasein, protein kedelai, protein jagung) dan Universitas Sumatera Utara karbohidrat (pati, alginat, pektin, dan modifikasi karbohidrat lainnya). Sedangkan lipid yang digunakan adalah lilin/wax, dan gliserol dan asam lemak. Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen. Karbondioksida dan lipid, memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air, sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. 2.5.1. Sifat-sifat edible film Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film.(Gontard, 1993) a. Ketebalan film (mm) Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatile (Mc Hugh, 1993) b. Tensile strength (Mpa) dan elongasi (%) Pemanjangan didefinisikan sebagai presentase perubahan panjang film pada saat film ditarik sampai putus. Menurut Krochta dan Muldar Johnston (1997), kekuatan regang putus merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekutaan regang putus Universitas Sumatera Utara berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk meregang atau memanjang. c. Kelarutan film Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam.(Gontard, 1993) d. Laju transmisi uap air Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin.(Gontard, 1993) Menurut Syarif (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan adalah : 1. Jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih kecil daripada polietilen artinya gas atau uap air lebih mudah menembus polipropilen daripada polietilen. 2. Suhu 3. Ada tidaknya plasticizer misalnya air 4. Jenis polimer film 5. Sifat dan besar molekul gas 6. Solubilitas atau kelarutan gas (Rachmawati,A.K, 2009) 2.5.2. Aplikasi Edible film pada bahan pangan Aplikasi dari edible film untuk kemasan bahan pangan saat ini sudah semakin meningkat, seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Edible film dan biodegradable film banyak digunakan untuk pengemasan produk buah-buahan segar yaitu untuk mengendalikan laju respirasi, akan tetapi produk-produk pangan lainnya juga sudah benyak menggunakan edible coating, seperti produk konfeksionari, daging, dan ayam beku, sosis, produk hasil laut, dan Universitas Sumatera Utara pangan semi basah. Apliksai dari edible film atau edible coating dapat dikelompokkan atas : 1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayur-sayuran dan buah-buahan segar, sosis, daging, dan produk hasil laut. 2. Sebagai barrier Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh berikut : a. Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang membentuk film, diperdagangkan dengan nama kelcoge, yang merupakan barrier yang baik untuk absorbsi minyak pada bahan pangan yang digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan minyak yang rendah. Di jepang bahan ini digunakan untuk menggoreng tempura. b. Edible coating yang terbuat dari zein (protein jagung), dengan nama dagang Z’coat TM (Cozean), dugunakan untuk produk-produk konfeksionari seperti permen dan cokelat. c. Fry shiled, terdiri dari pektin, remah-remahan roti dan kalsium, digunakan untuk mengurangi lemak pada saat penggorengan, seperti pada penggorengan French fries. d. Film zein dapat bersifat sebagai berrier untuk uap air dan gas pada kacangkacangan atau buah-buahan. Diaplikasikan pada kismis untuk sereal sarapan siap santap. 3. Sebagai pengikat (binding) Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu, yaitu sebagai pengikat atau adhesive dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih melekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan panambahan bumbu-bumbu. 4. Pelapis Edible film dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk. Pelapisan dengan edible film adalah dapat menghindari masuknya Universitas Sumatera Utara mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur (Julianti, E dan Nurminah, M, 2006) 2.6. Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film Pada pembuatan edible film dari bahan dasar yang terbuat dari nata de soya, digunakan bahan-bahan seperti gula, urea, kitosan, dan gliserin. Yang masingmasing dari bahan tersebut mempunyai fungsi sebagai sumber karbohidrat, sumber nitrogen, plasticizer, dan antimikroba. 2.6.1. Kitosan Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme. Gambar 2.3 Struktur kitosan Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -100 (pada konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5 yang juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat, seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. (Sugita,2009) Universitas Sumatera Utara 2.6.1.1. Aplikasi dan kegunaan kitosan Kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan berupa film khusus, industri metalurgi sebagai adsorban untuk ion-ion metal, industri kulit untuk perekat, photografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi, dan flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein tunggal (Suptijah, 1992). Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa = 6,5), hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Karena sifatnya yang basa ini, maka kitosan : a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan kental, sehingga dapat digunakan untuk pembuatan gel dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons. b. Membentuk kompleks yang tidak larut dalam air dengan polielektrolit anion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan membran. c. Dapat digunakan sebagai pengkelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan sistem proteksi terhadap efek destruksi dari ion (Kaban,2009). Universitas Sumatera Utara Tabel 2.3. Aplikasi dan fungsi kitosan di berbagai bidang Bidang aplikasi I. Pengolahan limbah Fungsi - Pertanian - III. Industri tekstil IV. V. • • • Bioteknologi Klarifikasi / Penjernihan Limbah industri pangan Industri sari buah Pengolahan minum beralkohol - Bahan koagulasi/flokulasi untuk limbah cair Penghilangan ion-ion metal dari limbah cair Dapat menurunkan kadar asam sayur, buah dan ekstrak kopi Sebagai pupuk Bahan antimikrobakterial Serat tekstil Meningkatkan ketahanan warna Bahan-bahan imobilisasi enzim • • • • VI. VII. Penjernihan air minum Penjernihan kolam renang Penjernihan zat warna Penjernihan tannin Kosmetik Biomedis - Koagulasi/flokulasi Flokulan pektin/protein Flokulan protein/mikroba Koagulasi Flokulan mikroba Pembentuk kompleks Pembentuk kompleks - VIII. Fotografi Bahan untuk rambut dan kulit Mempercepat penyembuhan luka Menurunkan kadar kolesterol Melindungi film dari kerusakan (Robert,1992). II. - 2.6.1.2. Zat aktif kitosan sebagai anti mikroba Kitosan yang diperoleh dari dinding sel jamur atau dinding crustacea mampu menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri yang bersifat patogen dan menyebabkan resistensi tumbuhan terhadap infeksi jamur dan virus. Namun kitosan dengan berat molekul rendah, kehilangan kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme tapi masih dapat melindungi tanaman dari bakteri patogen. Aktivitas anti mikroba kitosan dan turunannya tergantung pada berat molekul rata-rata. Mikrokristalin kitosan dan turunannya, khususnya garam-garam, menunjukkan anti virus yang tinggi. Universitas Sumatera Utara Aktivitas anti mikroba dari kitosan, disebabkan kitosan yang bermuatan positif dalam larutan asam encer berinteraksi secara elektrostatis dengan permukaan sel bakteri yang bermuatan negatif dan mengganggu sitosis normal pada permukaan. Tokura melaporkan bahwa aktifitas anti mikroba dari kitosan bergantung pada berat molekul dan interaksi yang ditunjukkan diantara sel bakteri dan kitosan. Adapun akitivitas kitosan sebagai anti mikroba telah diuji pada penelitian pengaruh kitosan terhadap bakteri pada popok bayi,. Kain popok bayi yang telah dilapisi kitosan dilakukan uji aktivitas bakteri menggunakan metode total plate count (TPC) untuk mengetahui jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada masingmasing media sampel. Metode ini tidak menentukan jenis bakteri, hanya menghitung total koloni bakteri yang tumbuh. Kain popok tanpa perlakuan kitosan digunakan sebagai kontrol. Hasil yang diperoleh seperti yang terlihat pada tabel berikut : Tabel 2.4. aktivitas kitosan sebagai anti bakteri Sampel Kain popok baru tanpa kitosan Jumlah koloni bakteri yang tumbuh CFU/g 210 Kain popok baru dengan kitosan 0,05% Tidak ditemukan Kain popok baru dengan kitosan 0,10% 900 Kain popok baru dengan kitosan 0,15% 2230 Kain popok baru dengan kitosan 0,20% 2460 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa konsentrasi optimum kitosan dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah 0,05% (b/v). semakin besar konsentrasi kitosan, jumlah koloni bakteri yang tumbuh semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan tidak hanya memiliki sifat menghambat tapi juga Universitas Sumatera Utara dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Adanya atom nitrogen menjadikan kitosan sebagai inhibitor dan sumber makanan bakteri sekaligus. Bakteri membutuhkan konsentrasi tertentu untuk bisa mengubah kitosan sebagai sumber makanannya. Semakin besar konsentrasi kitosan (diatas 0,05%), sifat kitosan sebagai makanan semakin besar sehingga sifat kitosan sebagai inhibitor semakin turun (Http//www.ac.id/files/aktivitas kitosan). 2.6.2. Gliserin Gliserin yang merupakan produk samping dari industri oleokimia yang memiliki sifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol, tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki rasa manis. Gliserin banyak digunakan untuk farmasi, bahan makanan, kosmetik, emulsifier dan minyak pelumas. Adapun kegunaan gliserin adalah sebagai berikut : a. Farmasi Gliserin banyak digunakan sebagai salep, obat batuk, pembuatan multi vitamin, vaksin, obat infeksi, stimulan jantung, antiseptik, pencuci mulut, pasta gigi. b. Bahan makanan Gliserin digunakan sebagai ekstrak buah seperti vanili, kopi, koumarin. Gliserin juga digunakan untuk minuman berkarbonat, pembuatan keju, permen jeli. c. Kosmetik Gliserin yang memiliki sifat tidak beracun tidak menyebabkan iritasi dan tidak berwarna digunakan untuk pelembut dan pelembab kulit, krem kulit, sabun, pembersih wajah. Gliserin juga digunakan sebagai pelarut parfum, pewarna dan pembersih kendaraan (Minner, 1953) Universitas Sumatera Utara 2.7. Bahan pangan Pada dasarnya bahan pangan terdiri dari empat komponen utama yaitu air, protein, karbohidrat dan lemak. Disamping itu bahan pangan juga mengandung zat anorganik dalam bentuk mineral dan komponen organik lainnya misalnya vitamin, enzim, asam, antioksidan, pigmen dan komponen cita rasa. Jumlah masingmasing komponen tersebut berbeda-beda pada bahan pangan tergantung dari sifat alamiah bahan misalnya kekerasan, cita rasa dan warna makanan. 2.7.1. Perubahan yang terjadi pada bahan pangan. Bahan pangan akan mengalami perubahan-perubahan selama penyimpanan, dan perubahan ini dapat terjadi baik pada bahan pangan segar maupun pada bahan pangan yang sudah mengalami pengolahan. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan biokimia, kimia atau migrasi unsur-unsur ke dalam bahan pangan. 1. Perubahan biokimiawi Bahan-bahan pangan segar (belum terolah) misalnya biji-bijian, sayuran, buahbuahan, daging dan susu akan mengalami perubahan biokimia setelah bahanbahan ini dipanen atau dipisahkan dari induknya. Bahan-bahan segar ini umumnya mengandung air yang cukup tinggi sehingga memungkinkan adanya aktivitas enzim dan menyebabkan terjadinya perubahan warna, tekstur, aroma dan nilai gizi bahan. Contoh perubahan biokimiawi yang terjadi pada bahan pangan adalah pencoklatan pada buah yang memar atau terkelupas kulitnya, atau daging segar yang berubah warna menjadi hijau dan berbau busuk. 2. Perubahan kimiawai dan migrasi unsur Perubahan kimiawi yang terjadi pada bahan pangan disebabkan oleh penggunaan antioksidan, fungisida, plastisizer, bahan pewarna dan pestisida yang dapat bermigrasi ke dalam bahan pangan. Pengemasan dapat memecah terjadinya migrasi bahan-bahan ini ke dalam bahan pangan.( Julianti, 2006) Universitas Sumatera Utara 2.8. Kadar nutrisi 2.8.1. Kadar air Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, dan hal ini merupakan salah satu sebab mengapa di dalam pengolahan pangan air tersebut sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengentalan dan pengeringan. Pengurangan air disamping bertujuan mengawetkan juga untuk mengurangi besar dan berat bahan pangan.(Winarno, 1980) 2.8.2. Kadar abu Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan yaitu antara lain: a. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan. Misalnya pada proses penggilingan gandum diharapkan dapat dipisahkan antara bagian endosperm dengan kulit/katul dan lembaganya. Apabila masih banyak kulit atau lembaga terikut dalam endosperm maka tepung gandum yang dihasilkan akan mempunyai kadar abu yang relatif tinggi. b. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan. Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan untuk membuat jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintetis. c. Penentuan abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain. Universitas Sumatera Utara Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-6000 C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Sampel yang akan diabukan ditimbang sejumlah tertentu tergantung macam bahannya. Bahan yang mempunyai kadar air yang tinggi sebelum pengabuan harus dikeringkan lebih dahulu. Temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguh-sungguh karena banyak elemen abu yang dapat menguap pada suhu yang tinggi. Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar anatar 2-8 jam. Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu pengabuan 30 menit.( Sudarmadji, 1992) 2.8.3. Kadar serat Serat kasar mengandung senyawa selulosa, lignin, dan zat lain yang belum dapat diidentifikasi dengan pasti. Yang disebut serat kasar disini adalah senyawaan yang tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia ataupun binatang. Didalam analisa penentuan serat kasar diperhitungkan banyaknya zat-zat yang tak larut dalam asam encer ataupun basa encer dengan kondisi tertentu. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisa adalah : 1. Defatting, yaitu menghilangkan lemak yang terkandung dalam sampel menggunakan pelarut lemak. 2. Digestion, terdiri dua tahap yaitu pelarutan dengan asam dan pelarutan dengan basa. Kedua macam proses digesti ini dilakukan dalam keadaan tertutup pada suhu terkontrol (mendidih) dan sedapat mungkin dihilangkan dari pengaruh luar. Serat sangat penting dalam penilaian kualitas bahan makanan karena angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan tersebut.( Sudarmadji, 1992). Universitas Sumatera Utara 2.8.4. kadar lemak Lemak adalah sekelompok ikatatan organik yang terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen, (H), dan oksigen (O), yang mempunyai sifat dapat larut dalam pelarut lemak, seperti petrolueum benzene, eter. Lemak di dalam bahan makanan yang memegang peranan penting ialah disebut lemak netral atau trigliserida yang molekulnya terdiri atas satu molekul gliserol dan tiga asam lemak. Lemak dalam bahan makanan ditentukan dengan metode ekstraksi beruntun di dalam alat soxhlet, mempergunakan ekstrans pelarut lemak, seperti petroleum benzene atau eter. Bahan makanan yang akan ditentukan kadar lemaknya, dipotong-potong setelah dipisahkan dari bagian yang tidak dimakan seperti kulit dan lainnya. Bahan makanan kemudian dihaluskan atau dipotong kecil-kecil dan dimasukkan kedalam alat soxhlet untuk diekstraksi. Ekstraksi dilakukan berturut-turut beberapa jam dengan dipanaskan. Setelah diperkirakan selesai, cairan ekstrans diuapkan dan residu yang tertinggal ditimbang dengan teliti. Persentase lemak (residu) terhadap berat jumlah asal bahan makanan yang diolah dapat dihitung dan kadar lemak bahan makanan tersebut dinyatakan dalam gram persen (Sediaoetama, 1985). 2.8.5. Kadar protein Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan makronutrien lain (lemak dan karbohidrat). Protein ini berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Penentuan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan penerpaan empiris, yaitu melalui penentuan kandungan N yang ada dalam bahan makanan. penentuan protein berdasarkan jumlah N menunjukkan protein kasar karena selain protein juga terikut senyawaan N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, pirimidin. Penentuan cara ini yang paling terkenal adalah cara Kjeldhal. Analisa Universitas Sumatera Utara protein metode Kjeldhal pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi. 1. Tahap destruksi Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O. sedangkan nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. 2. Tahap destilasi Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dapat dipakai adalah asam klorida atau asam borat 4 % dalam jumlah yang berlebihan. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebih, diberi indikator tashiro. Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi basa. 3. Tahap titrasi Apabila penampung destilat digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1 N dengan indikator tashiro. Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi ungu.(Sudarmadji, 1992). 2.8.6. kadar karbohidrat. karbohidrat adalah polihidroksi aldehi atau polihidroksi keton dan meliputi kondensasi polimer-polimernya yang tebentuk.(Sudarmadji, 1992). Dalam bahanbahan pangan nabati, karbohidrat merupakan komponen yang relatif tinggi kadarnya. Beberapa zat yang termasuk golongan karbohidrat adalah gula, dekstrin, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin, dan beberapa karbohidrat yang lain. Universitas Sumatera Utara Unsur-unsur yang membentuk karbohidrat hanya terdiri dari karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O), kadang-kadang juga nitrogen (N).(Winarno, 1980) Ada beberapa cara analisis yang dapat digunakan untuk memeperkirakan kandungan karbohidrat dalam bahan makana. Yang paling mudah adalah dengan cara perhitungan kasar (proximate analysis) atau juga disebut Carbohydrate by Difference. Yang dimaksud dengan proximate analysis adalah suatu analisis dimana kandungan karbohidrat termasuk serat kasar diketahui bukan melalui analisis tetapi melalui perhitungan, sebagai berikut: % karbohidrat = 100 % - % ( protein + lemak + abu + air ) Perhitungan Carbohydrate by Difference adalah penentuan dalam bahan makanan secara kasar, dan hasilnya ini biasanya dicantumkan dalam daftar komposisi bahan makanan.(Winarno, 1992). 2.9. Karakterisasi Edible Film 2.9.1. Fourier Transform Infrared (FTIR) Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrometer infra merah. Pancaran infra merah umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Pancaran infra merah yang kerapatannya kurang dari pada 100 cm-1 (panjang gelombang lebih dari 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran molekul. Penyerapan itu tercatu dan demikian spektrum rotasi molekul terdiri dari garisgaris yang tersendiri.(Hartomo, 1986). FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitian-penelitian struktur polimer. Karena spektrum-spektrum bisa di-scan, Universitas Sumatera Utara disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Persyaratanpersyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah kopling instrument FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi. Dan kemampuan untuk substraksi digital memungkinkan seseorang untuk melahirkan spektrum-spektrum lainnya yang tersembunyi. FTIR teristimewa bermanfaat dalam meneliti paduaan-paduan polimer. Sementara paduan yang tidak dapat campur memperlihatkan suatu spekturm IR yang merupakan superposisi dari spektrum homopolimer spektrum paduan yang dapat campur adalah superposisi dari tiga komponen., dua spektrum homopolimer dan satu spektrum interaksi yang timbul dari interaksi kimia atau fisika antara homopolimer-homopolimer.(Steven, 2001). 2.9.2. Scanning Elektron Microcopy (SEM). SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder, absorbs elektron. Adanya material lain dalam suatu matriks seperti dispersi material tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat parubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan suatu analisa permukaan, dimana alat yang biasa digunakan adalah SEM. Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan yang diperoleh merupakan gambar tofografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang permukaan. Universitas Sumatera Utara Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam kedalam suatu disket. (wirjosentono, 1996) SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM) dalam hal bahwa suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilang permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi. Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakainannya, tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 Å. Aplikasi-aplikasi yang khas mencakup penelitian disperse-dispersi pigmen dalam sel, pelepuhan atau peretakan koting, batas-batas fasa dalam polipaduan yang tak dapat campur, struktur sel busa-busa polimer, dan kerusakan pada bahan perekat. SEM teristimewa berharga dalam mengevaluasi beberapa penanaman (implant) bedah polimerik bereaksi baik dengan lingkungan bagian tubuhnya. (Stevens, 2001) 2.9.3. Uji Tarik. Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik suatu bahan didefinisikan sebagai besarnya beban maksimum (Emaks) yang digunakan untuk memutuskan spesimen bahan dibagi dengan luas penampang awal (Ao). Universitas Sumatera Utara Bila suatu bahan dikenakan beban tarik yang disebut tegangan (gaya per satuan luas), maka bahan akan mengalami perpanjangan (regangan). Kurva tegangan terhadap regangan merupakan gambar karakteristik dari sifat mekanik suatu bahan..(Wirjosentono, 1996) Universitas Sumatera Utara