BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara demokrasi, namun dalam perjalanan sejarah perwujudan demokrasi di Indonesia tidaklah berjalan dengan semestinya, sebagaimana sebuah negara demokrasi. Dari awal pemerintahan Indonesia, dimana Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan, menerapkan konsepsi “demokrasi terpimpin” yang dikatakannya sebagai demokrasi asli Indonesia tetapi dalam prakteknya di dalam demokrasi terpimpin itu tidak ada atau, dengan meminjam ungkapan M. Natsir, semua ada di dalam demokrasi terpimpin itu kecuali demokrasi itu sendiri yang tidak ada. Pemerintahan Soekarno yang sangat otoriter dengan demokrasi terpimpinnya akhirnya jatuh melalui proses yang tidak normal menyusul Gerakan 30 September 1965.1 Setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno muncullah pemerintahan orde baru dimana Presiden Soeharto sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Pada awalnya orde baru dapat menampilkan pemerintahan yang demokratis tetapi ternyata hal itu hanya berlangsung kira-kira selama 3 tahun yakni selama pemerintah baru ini menyiapkan format politik baru melalui penyusunan Undang-undang bidang politik. Setelah itu dan lebih-lebih setelah pemilu tahun 1971, pemerintah kembali otoriter. Otoriterisme negara ini 1 Moh.Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,Ctk. Pertama,UII Press,Yogyakarta, Agustus 1999,hlm. 5. berlangsung terus hingga dijatuhkannya rezim orde baru oleh gerakan reformasi pada Juli 1998.2 Turunnya pemerintahan Soeharto merupakan awal dimulainya tahapan baru bagi masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan era reformasi, yaitu suatu proses untuk membuka ruang-ruang politik, hukum, ekonomi, sosial yang selama hampir 32 tahun tertutup. Ketika gerakan reformasi bergelora banyak yang mengatakan bahwa “keberhasilan gerakan reformasi di Indonesia pada tahap permulaan dewasa ini merupakan dasar kebangkitan demokrasi di Indonesia” yang harus dimanfaatkan dan didorong oleh berbagai kelompok masyarakat agar peluang tersebut tidak terlepas dari tangan bangsa Indonesia.3 Pada saat itu proses reformasi berusaha mengubah ketentuan-ketentuan politik yang dihasilkan pemerintahan Soeharto. Habibie, yang ditunjuk oleh Soeharto menjadi Presiden, banyak mempunyai kelemahan-kelemahan politik akibat mempunyai kedekatan dengan pemerintahan masa lalu. Sehingga tidak ada jalan lain bagi Habibie untuk segera melakukan Pemilu, yang kemudian diadakan pada tahun 1999.4 Setelah proses pemilu ditetapkan, maka kemudian bermunculan partai-partai politik baru, dimana setiap partai politik membawa aspirasi dan kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu. Munculnya partai- partai politik baru yang jumlahnya cukup banyak dikarenakan selama pemerintahan Soeharto, hanya ada 3 partai politik yang diperbolehkan ikut dalam “pesta demokrasi”, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan 2 Ibid.hlm. 5-6. Ibid.hlm. 9. 4 Edward Aspinall, “Indonesia Setelah Soeharto” dalam Edward Aspinall, Herbert Feit dan Gerry Van Kliken (editor), Titik Tolak Reformasi, Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, Ctk. Pertama, LKIS, Yogyakarta, Juli 2002, hlm. 338. 3 (PPP), dan Partai Demokrat Indonesia (PDI). Ketiga partai ini, disahkan dalam Undang Undang Politik 1965, dimana Undang Undang tersebut adalah hasil dari pemerintahan Soeharto yang mengebiri sembilan partai politik lainnya yang terlibat dalam pemilu 1971.5 Pemilu tahun 1999 dapat disebut juga sebagai pemilu multipartai kedua setelah pemilu 1955. Dan pada pemilu-pemilu berikutnya setelah pemilu tahun 1999, yaitu pemilu tahun 2004 dan pemilu tahun 2009 kemarin, sistem kepartaian yang digunakan di Indonesia tetap menggunakan sistem multipartai. Hal ini membuktikan telah terjadinya reformasi dalam bidang politik, dimana merupakan sebuah perwujudan negara yang demokrasi yang memberikan kebebasan warga negaranya untuk berserikat, mengeluarkan pendapat dan aspirasinya. Penerapan sistem multipartai di Indonesia dianggap merupakan salah satu bentuk dari demokratisasi yang selalu berjalan mencari bentuk yang tepat sesuai dengan kondisi rakyat Indonesia. Namun dalam perjalanan penerapan sistem multipartai di Indonesia setelah reformasi ini, masih juga menimbulkan permasalahan, hal ini dikarenakan berdasarkan teori, sistem kepartaian yang diterapkan dalam suatu negara harus selaras dengan sistem pemerintahan yang dianut di negara tersebut. Dan juga karena adanya keterkaitan yang erat antara upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan terwujudnya sistem pemerintahan dengan baik dalam rangka penyelenggaraan negara. 5 David Bourchier, “Sistem Pemilu Pada Masyarakat Transisi” dalam Erward Aspinal, Herbert Feit dan Gerry Van Kliken (editor), Titik Tolak Reformasi, Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, Ctk. Pertama, LKIS, Yogyakarta, Juli 2000, hlm.343. Sistem pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu cermin dari jati diri suatu bangsa dan merupakan salah satu aspek yang menentukan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintahan menunjukkan pada pembagian kekuasaan dan hubungan antar lembaga negara, khususnya antara eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensiil yang terdapat dan diatur di dalam UUD 1945 baik sebelum dan sesudah amandemen. Sistem pemerintahan presidensiil telah dianut oleh Indonesia sejak masa orde lama sampai masa reformasi sekarang ini. Namun dalam perjalanannya sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia dapat dibagi kedalam dua periode, yaitu periode sebelum amandemen UUD 1945 dan periode sesudah amandemen UUD 1945. Pada periode sebelum amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan presidensiil yang terdapat dan diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen serta di dalam mempraktikkannya dianggap tidak sesuai dengan inti ajaran sistem pemerintahan presidensiil yang sesungguhnya karena UUD 1945 sebelum amandemen memuat prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidensiil dan prinsipprinsip sistem pemerintahan parlementer secara bersamaan. Dengan adanya dua sistem pemerintahan yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum amandemen , dimana UUD 1945 merupakan dasar dari sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia menunjukan terjadinya dualisme sistem pemerintahan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Padahal jika ditinjau sesuai dengan teori sistem, dalam UUD tidak boleh ada dualisme karena konstitusi merupakan suatu kesatuan yang tersusun secara sistematis, tidak boleh ada pertentangan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain, atau antara bagian-bagian itu dengan keseluruhannya.6 Dengan adanya penyatuan prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidensiil dengan prinsip-prinsip sistem parlementer di dalam UUD 1945 sebelum amandemen, minimal menimbulkan dua buah konsekuensi logis yaitu; (1), menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan para ahli ilmu politik dan ahli hukum tata negara. Konsekuensi lainnya dengan adanya dualisme sistem pemerintahan dalam UUD 1945 sebelum amandemen adalah (2), memeberikan peluang terjadinya konflik antar lembaga negara, seperti yang dulu pernah terjadi anatar DPR/MPR dengan Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid.7 Alasan-alasan tersebut menjadi dasar salah satu agenda dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR 1998, yaitu mempertegas atau memperkuat sistem pemerintahan presidensiil di dalam UUD 1945. Setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 maka sistem pemerintahan yang di anut oleh Indonesia dianggap banyak kalangan lebih jelas dan lebih tegas kepada sistem pemerintahan presidensiil. Dari uraian penjelasan di atas dapat diketahui sistem kepartaian dan sistem pemerintahan apa dan yang bagaimana yang diterapkan di Indonesia. Dan dengan melihat teori serta fakta sejarah, dimana sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara harus didukung dengan sistem kepartaian yang sesuai atau ideal dengan sistem pemerintahan tersebut sehingga terjadi keselarasan antara sistem pemerintahan dengan sistem kepartaian karena hal tersebut akan berdampak pada 6 Bintan R. Saragih& M. Kusnardi, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm.2. 7 Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 132. perwujudan sistem pemerintahan itu sendiri dalam rangka penyelenggraan negara yang baik. Di Indonesia sendiri seperti yang telah dijelaskan diatas, merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil dengan menerapkan sistem multi partai di dalamnya, sehingga akan memunculkan pertanyaan „mengapa sistem multi partai di adopsi dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945, serta apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945?‟. Oleh karena itu penulis mempunyai inisiatif, untuk melakukan penelitian dan berusaha menjawab pertanyaan mendasar diatas. Sehingga penulis memilih judul “ SISTEM MULTI PARTAI DALAM SISTEM PRESIDENSIIL PASCA AMANDEMEN UUD 1945”. B. Rumusan Masalah 1. Mengapa sistem multi partai diadopsi dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945? 2. Apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui mengapa sistem multi partai diadopsi dalam sistem pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945. 2. Mengetahui apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945. D. Tinjauan Pustaka 1. Sistem Kepartaian Dalam upaya mengklasifikasikan sistem kepartaian sampai saat ini belum ada metode yang bisa disepakati secara luas, sehingga hal ini menyebabkan banyak munculnya klasifikasi sistem kepartaian yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu Politik” mengemukakan beberapa cara pengklasifikasian sistem kepartaian. Pertama, dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaan partai politik. Dengan cara secara umum partai politik dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu partai massa biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan kabur. Kelemahan dari partai massa ialah bahwa masing-masing aliran atau kelompok yang bernaung di bawah partai massa cenderung untuk memaksakan kepentingan masing-masing, terutama pada saat-saat krisis, sehingga persatuan dalam partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali sehingga salah satu golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru. Sedangkan partai kader sangat mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggotaanggotanya. Dalam partai kader, pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. Klasifikasi kedua yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo adalah dengan cara melihat dari segi sifat dan orientasi, dalam hal mana partai-partai dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai lindungan (patronage party) dan partai ideologi atau partai azas (Weltanscauungs Partei atau programmatic party). Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun organisasinya di tingkat lokal sering cukup ketat), disiplin yang lemah dan biasanya tidak mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Tujuan utama partai lindungan adalah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya, oleh karena itu hanya giat menjelang masa-masa pemilihan. Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat merupakan contoh dari partai lindungan. Sedangkan partai ideologi atau partai azas (Sosialisme, fasisme, komunisem, kristen-demokrat) biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui tahap percobaan. Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi maka dipungut iuran secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.8 Sedangkan Gabriel A. Almond dalam memberikan serta mengemukakan gambaran tentang klasifikasi partai politik memiliki sudut pandang atau kriteria sendiri, dimana dalam salah satu risalahnya “Interest Articulation and the Function of Aggregation” mengemukakan fungsi agregasi sebagai salah satu alternatif dalam mengklasifikasikan sistem kepartaian. Dengan menggunakan 8 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Ctk. Ketujuh, PT. Gramedia, Jakarta, 1982, hlm.166-167. kriteria tersebut, Gabriel A. Almond mengajukan empat kategori sistem kepartaian, masing-masing adalah : a. Sistem kepartaian authoritarian, dengan salah satu subkategorinya yang disebut totalitarian. Dalam mengagregasikan berbagai kepentingan, partai-partai politik yang totaliter (totalitarian parties) berusaha masuk jauh ke dalam struktur masyarakat negara yang bersangkutan. Karena itu mereka pada umumnya beranggapan bahwa proses transmisi dan agregasi berbagai kebutuhan ataupun tuntutan-tuntutan yang da harus diwujudkan melalui struktur partai tunggal. Sedangkan jika dilihat dalam satu segi, sistem kepartaian otoritarian dipandang lebih luwes dibandingkan sistem totaliter, disamping mereka selalu mengajukan penyampaian berbagai tuntutan dan kebutuhan secara terbuka. Tetapi, ketiadaan kebebasan memilih beserta alternatif pilihan menyebabkan kebijaksanaan-kebijaksanaan cenderung dibuat melalui struktur otoritatif seperti partai politik, kekuasaan militer dan birokrasi. b. Sistem kepartaian dominant non-authoritarian. Sistem kepartaian ini berkembang pada saat kelompok-kelompok kepentingan yang ada mengikatkan diri secara bersama-sama dalam satu program untuk mencapai kemerdekaan nasional. Dalam sistem ini, peranan partai oposisi (loyal oppositon) kurang memadai, kohesi partai sulit untuk dicapai dan berbagai kepentingan tidak diagregasikan secara efektif. c. Sistem dua partai yang selalu bersaing satu sama lain. Sistem kepartaian ini dalam banyak hal bisa dilihat dalam pelaksanaan sistem kepartaian di Amerika Serikat dan Inggris. d. Sistem banyak partai yang senantiasa bersaing satu sama lain. Sistem kepartaian ini biasanya dibedakan antara working class dengan kelas-kelas lain yang disebut immobilist. Untuk working class dapat ditemukakan di negara-negara Skandinavia, dimana partai-partai politik yang ada bersifat homogen serta melaksanakan fungsi agregatif secara lebih luas, dan bertujuan mencapai mayoritas yang stabil serta memperkenankan penggabungan berbagai kelompok oposisi terhadap pemerintah. Sedang untuk immobilist dikembangkan di Italia dan Perancis yang tumbuh dalam satu kebudayaan politik isolatif dan fragmentaris, di mana koalisi politik sangat rapuh dan lemah.9 9 Gabriel A. Almond dalam Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Ctk. Pertama, Tiara Wacana & YP2LPM,Yogyakarta, 1986, hlm.225-226. Klasifikasi yang lain, dikemukakan oleh Maurice Duverger dengan menggunakan kekuatan partai sebagai salah satu alat ukurnya. Aspek kekuatan yang dimaksudkan Maurice Duverger tersebut bisa diukur dari segi pemilih dalam suatu proses pemilihan maupun dari segi jumlah kursi yang diperoleh partai politik dalam badan-badan perwakilan. Tetapi, pada prinsipnya Maurice Duverger lebih menekankan pada segi jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu partai politik dalam badan perwakilan dibanding besarnya pemilih pada pemilihan umum. Berdasarkan sudut pandang tersebut, Maurice Duverger mengelompokan partai politik ke dalam empat jenis. Masing-masing adalah: a. Partai-partai dengan kekuatan mayoritas yang ingin membawa kekuasaan mayoritasnya secara absolut dalam badan perwakilan rakyat. Partai-partai semacam ini biasa terdapat dalam negara yang menganut sistem dua partai dan dalam beberapa kasus terdapat pula dalam negara yang menganut sistem banyak partai. b. Partai-partai dengan kekuatan mayoritas yang tidak ingin membawakan kekuasaan mayoritasnya secara absolut dan bahkan tidak memaksakan kepentingannya. Kenyataan semacam ini adalah sebagai akibat koalisi beberapa partai politik sehingga bisa menguasai suara mayoritas dalam badan perwakilan rakyat. c. Partai-partai yang tergolong medium dan yang tidak mampu membentuk pemerintahan minoritas. d. Partai-partai minoritas yang tidak mampu memainkan peranan politik, baik dalam hubungannya dengan partai-partai pemerintah maupun partai-partai oposisi.10 Giovani Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan ideologi yang dianut masing-masing partai serta banyaknya partai yang diakui dan ikut dalam setiap pemilihan umum. Pengklasifikasian sistem kepartaian tersebut dibagi menjadi 4 macam, yaitu Sistem dua Partai, Pluralisme Moderat, Pluralisme Terpolarisasi dan Sistem Partai Berkuasa. Sistem dua partai ditandai oleh adanya 10 Maurice Duverger dalam Cheppy Haricahyono, Ibid.hlm.226-227. dua partai yang terus bersaing di dalam setiap pemilu serta paling memiliki pendukung luas. Kedua partai tersebut dapat saja memiliki ideologi yang berbeda ataupun isu-isu politik yang kontras. Contohnya di Amerika Serikat dimana Partai Republik dan Partai Demokrat yang bersaing. Partai Republik membawakan kepentingan pengusaha, kalangan militer, dan golongan konservatif. Partai Demokrat, kerap dicitrakan sebagai lebih dekat ke kalangan pekerja, gerakan sosial bernuansa hak asasi manusia, dan kesejahteraan sosial. Pluralisme Moderat adalah sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai politik yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Namun, perbedaan ideologi tersebut tidak begitu tajam sehingga dapat saja para pemilih suatu partai dapat berpindah dari partai yang satu ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen, partai-partai yang memiliki perbedaan ideologi tetap dapat menjalin koalisi jika memang diperlukan guna menggolkan suatu kebijakan. Pluralisme Terpolarisasi adalah sistem kepartaian suatu negara dimana partai-partai politik yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Perbedaan ideologi tersebut terkadang cukup fundamental sehingga sulit bagi pemilih partai yang satu untuk berpindah ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen, perbedaan ideologi tersebut membuat sulitnya tercipta koalisi akibat perbedaan ideologi yang cukup tajam tersebut. Sistem Partai Berkuasa adalah sistem kepartaian di mana di suatu negara terdapat sejumlah partai, tetapi ada sebuah partai yang selalu memenangkan pemilihan umum dari satu periode ke periode lain. Partai yang selalu menang tersebut menjadi dominan di antara partai-partai lainnya, dilihat dari sisi basis massa, dukungan pemerintah, maupun kemenangan kursi mereka di setiap pemilihan umum. Contoh dari satu Sistem Partai Berkuasa ini adalah Malaysia, Indonesia di era Orde Baru, ataupun India.11 Berbeda dengan yang lainnya, Roy C. Macridis yang cenderung tidak membedakan antara partai dan sistem kepartaian dalam mengungkapakan tipologi atau skema klasifikasinya. Dalam bukunya, yang berjudul “Political Parties: Comtemporary Trends and Ideas”, Roy C. Macridis mengemukakan tiga kriteria yang bisa digunakan. Yang pertama, adalah menyangkut sumber-sumber pendukung partai politik. Dari kriteria ini muncul dua tipe partai politik, yaitu comphrehensive parties yang berusaha menjangkau suara-suara keseluruhan pemilih dan sectarian parties yang mencoba mencari para pengikut dari kelaskelas, daerah-daerah atupun ideologi-ideologi tertentu. Kriteria kedua, berkaitan dengan masalah organisasi internal partai politik. Dengan menggunakan kriteria ini muncul dua bentuk partai politik, yaitu closed party, yang dalam prakteknya membatasi secara ketat kenggotaan partainya, dan open party yang memperkenankan semua orang masuk menjadi anggota partainya. Kriteria ketiga, kriteria ini menjangkau masalah bentuk-bentuk tindakan tertentu. Untuk itu dibedakan antara apa yang disebut specialized dan diffused. Yang pertama mengikuti prosedur konvensional untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pemerintah menurut tujuan dan waktu yang terbatas, sedangkan yang kedua lebih pragmatis dalam menggunakan beberapa cara untuk memperoleh kekuasaan dan lebih menekankan pada pengawasan menyeluruh dan permanen.12 11 Giovani Sartori, Sistem Kepartaian Di Indonesia, http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-kepartaian-di-indonesia.html. Agust. 30, 2010. 12 Roy C. Macridis dalam Cheppy Haricahyono, Ilmu...Op.Cit.hlm.227-228. at Di samping berbagai klasifikasi yang telah dikemukakan di atas terdapat metode yang paling konvensional dalam mengklasifikasikan partai politik, ialah menurut jumlah partai yang ada dalam suatu negara. Dengan cara konvensional tersebut, dikenal adanya tiga klasifikasi, masing-masing adalah sistem satu partai (one-party system, atau mono-partism), sistem dua partai atau sistem dwi partai, dan sistem banyak partai (multi party system, atau multipartism). Seperti yang telah dikemukakan di atas mengenai belum adanya metode yang bisa disepakati secara luas dalam upaya mengklasifikasikan sistem kepartaian, tetapi pengklasifikasian berdasar jumlah partai politik yang ada dalam suatu negara banyak menuai kritik dari para ahli dengan alasan pengklasifikasian tersebut sebenarnya memperkosa konsep dasar pola hubungan persaingan yang terjadi di dalam maupun antar partai. Para penganut aliran empirisme seringkali mempermasalahkan dilema teoritis sebagai akibat penggunaan pendekatan yang berdasarkan jumlah partai tersebut. Mereka pada umumnya beranggapan bahwa pada hakekatnya tidak mungkin ada persaingan intern maupun antar partai dalam negara yang menganut sistem partai tunggal. Di samping itu, satu fakta menunjukkan bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat ataupun negaranegara lain yang dikatakan menganut sistem dua partai, ternyata masih memungkinkan tumbuhnya gerakan partai ketiga yang meramaikan persaingan yang ada. Kenyataan lain, bahwa di negara-negara yang termasuk dalam kategori penganut sistem banyak partai, lebih sering menerapkan pola sistem partai tunggal, karena dominannya salah satu di antara berbagai partai yang ada. 13 Frank 13 Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Ctk. Pertama, Tiara Wacana & J. Sorauf berpendapat bahwa cara mengklasifikasikan dengan menggunakan jumlah partai cenderung memberikan pengukuran pada salah satu dimensi dan melupakan dimensi-dimensi lainnya, seperti persaingan ideologis antara partai mayoritas dengan partai-partai minoritas, kendatipun lebih banyak terjadi dalam organisasi politik dibanding dalam partai politik. Lebih lanjut dikatakan bahwa cara-cara tersebut juga cenderung melupakan perbedaan-perbedaan yang ada dalam organisasi partai, begitu pula hasil yang dicapai dari analisa semacam itu sangat tidak memuaskan dibandingkan dengan menggunakan analisa persaingan antara pemilih dan pendukung partai politik.14 Meskipun dalam perkembangannya metode pengklasifikasian sistem kepartaian dengan menggunakan jumlah partai politik mendapat berbagai kritik dari para ahli namun dalam kenyataannya metode ini yang paling banyak digunakan di berbagai negara dalam mengklasifikasikan sistem kepartaian. Begitu pula di Indonesia. 2. Sistem Pemerintahan Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu “systema” yang mempunyai arti sebagai berikut: Pertama, suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian. Kedua, hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur. Dengan perkataan lain “systema” itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan (a whole).15 Pengertian kata sistem juga banyak dikemukakan oleh para ahli, antara lain : Menurut Prof. Pamudji, sistem adalah : YP2LPM,Yogyakarta, 1986, hlm.224-225 14 Frank J. Souraf dalam Cheppy Haricahyono, Ibid.hlm.225. 15 Tatang Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Ctk. keenam, Rajawali Press, Jakarta, 1996, hlm. 1. 1. Suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuksuatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh.16 2. Suatau kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya terdapat komponen-kompenen yang pada gilirannya merupakan sistem tersendiri yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu sama lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai satu tujuan.17 Menurut W. J. S. Poerwadarminta, sistem adalah sekelompok bagianbagian (alat dan sebagainya), yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud.18 Sedangkan menurut Jarl J. Federich, sistem adalah: Sesuatu keseluruhan, yang terdiri dari berbagai macam bagian-bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antar bagian maupun keseluruhan antar bagian sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik maka akan mempengaruhi keseluruhan itu.19 Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengertian tentang sistem yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian sistem, sebagai berikut: Sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait mengkait satu sama lain. Bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya. Begitulah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil, rusaknya salah satu bagian akan mengganggu kestabilan sistem itu sendiri. Pemerintahan Indonesia adalah suatu contoh sistem pemerintahan, anak cabangnya adalah sistem 16 Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, Toeri Sistem dan Pengeterapannya dalam Management. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1981, hlm. 4-7. 17 Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 9-10. 18 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hlm. 955. 19 Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm. 160. pemerintahan daerah, kemudian seterusnya sistem pemerintahan desa/keseluruhan.20 A. Hamid S. Atamimi mengemukakan bahwa dalam kata sistem pemerintahan terdapat begian-bagian dari pemerintahan yang masing-masing mempunyai tugasa dan fungsinya namun secara keseluruhan bagian-bagian itu merupakan salah satu kesatuan yang padu dan bekerjasama secara rasional21. Sedangkan pengertian Pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pengertian pemerintahan dalam arti luas yakni segala bentuk aktifitas/kegiatan penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organorgan negara (lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif) yang mempunyai otoritas menjalankan kekuasaan. Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti sempit adalah suatu aktifitas/kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif yang dalam hal ini dilakukan oleh presiden maupun perdan menteri sampai dengan level birokrasi yang paling rendah tingkatannya.22 Dari pengertian pemerintahan di atas, dalam melakukan pembahasan mengenai pemerintahan negara, dasar yang dipergunakan yakni konteks pemerintahan dalam arti luas yaitu meliputi pembagian kekuasaan negara, hubungan antar alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan- kekuasaan tersebut baik hubungan horizontal (pemisahan/pembagian kekuasaan) 20 Drs. Inu Kencana Syariie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Ersco, Bandung, 1992, hlm. 101. 21 A. Hamid S. Atamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Negara Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang berfungsi Sebagai Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita II, (Disertasi), fakultas pasca sarjana UI, Jakarta, 1990, hlm.110-111. 22 Hestu Cipto Handoyo , Hukum Tata Negara Kewarganegaraan (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi), UAJY, Yogyakarta, 2003, hlm.84. maupun hubungan vertikal (pemencaran kekuasaan) antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal. Dengan demikian jika pengertian pemerintahan tersebut dikaitkan dengan pengertian sistem maka, pengertian sistem pemerintahan adalah suatu tatanan/susunan pemerintahan yang berupa struktur yang terdiri dari organ-organ pemegang kekuasaan di dalam negara yang saling melakukan hubungan fungsional di antara organ-organ negara tersebut baik secara vertikal maupun horizontal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Kebanyakan orang menganggap bahwa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan negara hanya berkisar pada mekanisme hubungan antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif anggapan semacam ini dapat dibenarkan, sepanjang sistem pemerintahan dimaksudkan adalah sistem pemerintahan negara dalam arti sempit. Oleh karena itu, agar lebih jelas dalam memahami sistem pemerintahan, menurut Hestu Cipto Handoyo dalam doktrin hukum tata negara yang biasa tertuang di dalam setiap konstitusi maka sistem pemerintahan negara dapat dibagi tiga pengertian, yaitu: 1. Sistem pemerintahan negara dalam arti paling luas, yakni tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan menitikberatkan pada hubungan antara negara dengan rakyat dalam mekanisme pengangkatan kepala negara dan mekanisme pengambilan keputusan negara. Kajian ini akan menimbulkan: a. Model/bentuk pemerintahan monarki. 1) Mekanisme pengangkatan kepala negara melalui pewarisan. 2) Mekanisme pengambilan keputusan negara ada pada satu orang. b. Model/bentuk pemerintahan republik. 1) Mekanisme pengangkatan kepala negara melalui pemilihan oleh rakyat. 2) Mekanisme pengambilan keputusan negara ada pada suatu majelis yang mencerminkan representasi rakyat. 2. Sistem pemerintahan negara dalam arti luas, yakni suatu tatanan atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak dari hubungan antar semua organ negara, termasuk hubungan antar pemerintah pusat (central government) dengan bagian-bagian yang terdapat dalam negara ditingkat lokal (local government). Kajian sistem pemerintahan negara dalam arti sempit seperti ini meliputi: a. Bangunan negara kesatuan: pemerintah pusat memegang otoritas penuh (berkedudukan lebih tinggi) daripada pemerintah lokal. b. Bangunan negara serikat (federal): pemerintah pusat dan negara bagian mempunyai kedudukan yang sama. c. Bangunan negara konfederasi: pemerintah lokal (kanton/wilayah) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pemerintah pusat. 3. Sistem pemerintahan negara dalam arti sempit, yakni suatu tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan sebagian organ negara ditingkat pusat khususnya hubungan antara eksekutif dan legislatif. Struktur atau tatanan pemerintahan negara seperti ini akan menimbulkan model: a. Sistem parlementer : parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan lebih tinggi ketimbang eksekutif. Contohnya di Jepang, India, Inggris. b. Sistem pemisahan kekuasaan (presidensiil) : parlemen (legislatif) pemerintahan mempunyai kedudukan yang sama dan saling melakukan kontrol (check and balances). Contohnya di Amerika Serikat. c. Sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat : pemerintahan (eksekutif) pada hakikatnya adalah badan pekerja dari parlemen (legislatif), dengan kata lain eksekutif merupakan bagian yang tidak terpisah dari legislatif (parlemen) oleh karena itu parlemen tidak diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada eksekutif, sehingga yang berhak mengawasi parlemen dan eksekutif adalah rakyat secara langsung. Contohnya di Swiss.23 Secara konseptual sistem pemerintahan yang pada umumnya digunakan oleh negara-negara demokrasi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni ; 23 Ibid, hlm.86. sistem pemerintahan Parlementer (the Parliamentary Cabinet Government), sistem pemerintahan Presidensiil (the Presidential Government), dan sistem pemerintahan yang mengandung ciri sistem Parlementer dan ciri sistem Presidensiil (Semi Presidential Government) atau dapat juga disebut sebagai sistem pemerintahan campuran.24 3. Sistem Pemerintahan Dan Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 a. Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Salah satu agenda dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR 1998, yaitu mempertegas dan memperkuat sistem pemerintahan presidensiil dalam UUD 1945. Setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 dengan melalui empat tahapan maka sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia dianggap banyak kalangan sudah lebih jelas dan lebih tegas kepada sistem presidensiil yang sesungguhnya. Hal ini mengindikasikan keberhasilan yang dilakukan oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam memperkuat sistem pemerintahan presidensiil dalam UUD 1945. Hal itu dapat terlihat dari; (1), dihapusnya beberapa ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen yang memuat prinsip-prinsip sistem pemerintahan parlementer.25(2), Dipertegasnya lima prinsip sistem 24 Ellydar Chaidir, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-undang Dasar 1945, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm 1. 25 Prinsip sistem parlementer yang dihapus dalam UUD 1945 adalah; (a), Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dan bertanggungjawab kepada MPR, diganti menjadi Presidendan Wakil Presiden dipilih lengsung oleh rakyat dan bertnggungjawab kepada rakyat. (b), Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melanggar pemerintahan presidensiil di antaranya;26 (a) walaupun pasal 4 ayat (1) UUD 1945 hanya menyebutkan kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Presiden,27 tetapi berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 dapat dilihat bahwa Presiden dan Wakil Presiden merupakan institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah UUD, karena apabila Presiden berhalangan, baik berhalangan tetap maupun berhalangan sementara, maka kekuasaan Presiden dijalankan oleh Wakil Presiden,28 (b), Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung.29 (c) Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Presiden hanya dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum dalam masa jabatannya apabila melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela dan mengalami perubahan sehingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.30 (d), Para Menteri merupakan pembantu Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan konstitusi dan GBHN dirubah menjadi Presiden dan/ Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melanggar hukum dan karena perubahan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terlebih dahulu harus dibuktikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 26 Mahmuzar, Sistem...Op.cit.hlm.133. 27 Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” 28 Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.” 29 Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan ketiga menyebutkan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” 30 Pasal 7A UUD 1945, “Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.” oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden.31 (e), Ditentukannya masa jabatan Presiden selama lima tahun, dan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.32 b. Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Sistem kepartaian di Indonesia Pasca amandemen UUD 1945 adalah sistem kepartaian yang multi partai, hal ini dijelaskan dalam penjelasan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan. Dalam penjelasan UU No.31 Tahun 2002 ini, dinyatakan bahwa sistem kepartaian kita menganut sistem multi partai sederhana yang dilakukan dengan menerapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai politik maupun penggabungan partai politik yang ada. Dalam perkembangannya upaya pengaturan partai politik terus dilakukan, yang berarti penataan legislasi pertai politik dengan membentuk undang-undang partai politik yang baru merupakan keharusan yang tidak mungkin dihindari. Sehingga pada tahun 2008 diberlakukan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menggantikan UU No. 31 Tahun 2002. 31 Pasal 17 ayat (1), “Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara.” Ayat (2) menyebutkan, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” 32 Pasal 7 UUD 1945, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Alasan penggantian UU No. 31 Tahun 2002 dengan UU 2 Tahun 2008 adalah belum optimalnya UU No.31 Tahun 2002 mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebenarnya sistem kepartaian yang multi partai ini sudah diterapkan di Indonesia sejak masa pemerintahan orde lama, yaitu pada masa presiden Soekarno. Namun dalam perjalanannya di masa pemerintahan orde baru setelah jatuhnya pemerintahan orde lama, yaitu pada masa presiden Soeharto terjadi perubahan sistem kepartaian di Indonesia, yang dianggap oleh beberapa pihak disebut sebagai sistem satu partai berkuasa atau sistem dominan satu partai. Hal ini dikarenakan adanya penggabungan partai-partai politik ke dalam kedekatan garis ideologi politik yang menghasilkan tiga partai dari sembilan partai yang ada sebelumnya. Setelah jatuhnya pemerintahan orde baru dan beralih ke masa reformasi pintu politik terbuka lebar, sehingga segala pembatas terhadap prinsip kebebasan berserikat ditiadakan. Sesuai dengan jaminan konstitusional mengenai prinsip kebebasan, semua orang diakui berhak mendirikan partai politik, sehingga berkembang menjadi sistem politik yang biasa dikenal dengan sistem multi partai. E. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif33 yang akan mengkaji penerapan sistem multi partai dalam sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia melihat implementasi sistem dengan mengkaji doktrin-doktrin yang berkembang dari para ahli dan akedemesi. Selain itu penelitian ini mengkaji asasasas yang ada dalam undang-undang guna menganalisis dengan teori, doktrin, Undang-Undang sebagai sumber formal. Obyek penelitian ini yaitu : UndangUndang, Doktrin, Asas-asas. Karena bersifat normatif, maka penelitian ini tidak menggunakan kasus hukum yang bersifat spesifik untuk dijadikan sebagai objek penelitian. Jika pun terdapat beberapa kasus yang diungkapkan dalam penelitian ini, hal tersebut merupakan sampel yang lebih bersifat data untuk melengkapi pembahasan. Aspek-aspek yang muncul dalam metode penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Objek penelitian ini adalah berbagai hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan konsepsi penerapan sistem multi partai dalam sistem presidensiil pasca amandemen UUD 1945. 2. Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang mencakup : a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat secara yuridis, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum maupun setelah amandemen, dan undang-undangan yang terkait dengan penelitian. 33 Menurut Wignjosoebroto, Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1) asa-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) adanya taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat, M. Syamsudin, Operasi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 21-26. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku literatur, jurnal yang relevan, tulisan-tulisan ilmiah, hasil-hasil seminar, penelitian terdahulu, situssitus internet yang relevan, artikel, dan lain-lain. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu yang memberikan petunjuk bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku kepustakaan yang berhubungan dengan mudah yang diteliti agar mendapat gambaran dan pengertian secara teoritis. 4. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis, yakni menganalisis permasalahan dari sudut pandang hukum, terutama hukum tata negara. 5. Analisis Data Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Hal ini dikarenakan data yang akan digunakan adalah data yang bersifat kualitatif, bukan data kuantitatif yang berupa angka, skala, dan ukuran. F. SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis dalam 5 BAB yang saling mendukung sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan metode penelitian. BAB II : SISTEM-SISTEM PEMERINTAHAN Membahas teori-teori tentang pemisahan dan pembagian kekuasaan, sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan campuran. BAB III: SISTEM-SISTEM KEPARTAIAN Membahas tentang hak politik rakyat dalam mendirikan partai politik, sistem partai tunggal, sistem dua partai dan sistem multi partai. BAB IV: SISTEM MULTI PARTAI DALAM SISTEM PRESIDENSIIL PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Membahas mengenai sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945, alasan sistem multi partai diadopsi dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945, tepat tidaknya sistem multi partai diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945 serta gagasan ideal penerapan sistem multi partai dalam sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia pasca amandemen UUD 1945. BAB V : PENUTUP Berupa : A. Kesimpulan Kesimpulan pada skripsi ini intinya berisi jawaban atas permasalahan yang menjadi objek penelitian setelah dilakukannya analisis oleh peneliti. B. Saran Saran adalah rekomendasi terhadap hasil simpulan dalam skripsi.