BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara demokrasi, namun dalam perjalanan sejarah
perwujudan demokrasi di Indonesia tidaklah berjalan dengan semestinya,
sebagaimana sebuah negara demokrasi. Dari awal pemerintahan Indonesia,
dimana Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan sebagai kepala
pemerintahan, menerapkan konsepsi “demokrasi terpimpin” yang dikatakannya
sebagai demokrasi asli Indonesia tetapi dalam prakteknya di dalam demokrasi
terpimpin itu tidak ada atau, dengan meminjam ungkapan M. Natsir, semua ada di
dalam demokrasi terpimpin itu kecuali demokrasi itu sendiri yang tidak ada.
Pemerintahan Soekarno yang sangat otoriter dengan demokrasi terpimpinnya
akhirnya jatuh melalui proses yang tidak normal menyusul Gerakan 30 September
1965.1 Setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno muncullah pemerintahan orde
baru dimana Presiden Soeharto sebagai kepala negara dan sebagai kepala
pemerintahan. Pada awalnya orde baru dapat menampilkan pemerintahan yang
demokratis tetapi ternyata hal itu hanya berlangsung kira-kira selama 3 tahun
yakni selama pemerintah baru ini menyiapkan format politik baru melalui
penyusunan Undang-undang bidang politik. Setelah itu dan lebih-lebih setelah
pemilu tahun 1971, pemerintah kembali otoriter. Otoriterisme negara ini
1
Moh.Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,Ctk.
Pertama,UII Press,Yogyakarta, Agustus 1999,hlm. 5.
berlangsung terus hingga dijatuhkannya rezim orde baru oleh gerakan reformasi
pada Juli 1998.2
Turunnya pemerintahan Soeharto merupakan awal dimulainya tahapan
baru bagi masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan era reformasi,
yaitu suatu proses untuk membuka ruang-ruang politik, hukum, ekonomi, sosial
yang selama hampir 32 tahun tertutup. Ketika gerakan reformasi bergelora banyak
yang mengatakan bahwa “keberhasilan gerakan reformasi di Indonesia pada
tahap permulaan dewasa ini merupakan dasar kebangkitan demokrasi di
Indonesia” yang harus dimanfaatkan dan didorong oleh berbagai kelompok
masyarakat agar peluang tersebut tidak terlepas dari tangan bangsa Indonesia.3
Pada saat itu proses reformasi berusaha mengubah ketentuan-ketentuan politik
yang dihasilkan pemerintahan Soeharto. Habibie, yang ditunjuk oleh Soeharto
menjadi Presiden, banyak mempunyai kelemahan-kelemahan politik akibat
mempunyai kedekatan dengan pemerintahan masa lalu. Sehingga tidak ada jalan
lain bagi Habibie untuk segera melakukan Pemilu, yang kemudian diadakan pada
tahun 1999.4 Setelah proses pemilu ditetapkan, maka kemudian bermunculan
partai-partai politik baru, dimana setiap partai politik membawa aspirasi dan
kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu. Munculnya partai- partai
politik baru yang jumlahnya cukup banyak dikarenakan selama pemerintahan
Soeharto, hanya ada 3 partai
politik yang diperbolehkan ikut dalam “pesta
demokrasi”, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan
2
Ibid.hlm. 5-6.
Ibid.hlm. 9.
4
Edward Aspinall, “Indonesia Setelah Soeharto” dalam Edward Aspinall, Herbert Feit
dan Gerry Van Kliken (editor), Titik Tolak Reformasi, Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, Ctk.
Pertama, LKIS, Yogyakarta, Juli 2002, hlm. 338.
3
(PPP), dan Partai Demokrat Indonesia (PDI). Ketiga partai ini, disahkan dalam
Undang Undang Politik 1965, dimana Undang Undang tersebut adalah hasil dari
pemerintahan Soeharto yang mengebiri sembilan partai politik lainnya yang
terlibat dalam pemilu 1971.5 Pemilu tahun 1999 dapat disebut juga sebagai pemilu
multipartai kedua setelah pemilu 1955. Dan pada pemilu-pemilu berikutnya
setelah pemilu tahun 1999, yaitu pemilu tahun 2004 dan pemilu tahun 2009
kemarin, sistem kepartaian yang digunakan di Indonesia tetap menggunakan
sistem multipartai. Hal ini membuktikan telah terjadinya reformasi dalam bidang
politik, dimana merupakan sebuah perwujudan negara yang demokrasi yang
memberikan kebebasan warga negaranya untuk berserikat, mengeluarkan
pendapat dan aspirasinya.
Penerapan sistem multipartai di Indonesia dianggap merupakan salah satu
bentuk dari demokratisasi yang selalu berjalan mencari bentuk yang tepat sesuai
dengan kondisi rakyat Indonesia. Namun dalam perjalanan penerapan sistem
multipartai di Indonesia setelah reformasi ini, masih juga menimbulkan
permasalahan, hal ini dikarenakan berdasarkan teori, sistem kepartaian yang
diterapkan dalam suatu negara harus selaras dengan sistem pemerintahan yang
dianut di negara tersebut. Dan juga karena adanya keterkaitan yang erat antara
upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan terwujudnya sistem
pemerintahan dengan baik dalam rangka penyelenggaraan negara.
5
David Bourchier, “Sistem Pemilu Pada Masyarakat Transisi” dalam Erward Aspinal,
Herbert Feit dan Gerry Van Kliken (editor), Titik Tolak Reformasi, Hari-hari Terakhir Presiden
Soeharto, Ctk. Pertama, LKIS, Yogyakarta, Juli 2000, hlm.343.
Sistem pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu cermin dari jati diri
suatu bangsa dan merupakan salah satu aspek yang menentukan penyelenggaraan
negara. Sistem pemerintahan menunjukkan pada pembagian kekuasaan dan
hubungan antar lembaga negara, khususnya antara eksekutif dan legislatif. Sistem
pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensiil yang
terdapat dan diatur di dalam UUD 1945 baik sebelum dan sesudah amandemen.
Sistem pemerintahan presidensiil telah dianut oleh Indonesia sejak masa orde
lama sampai masa reformasi sekarang ini. Namun dalam perjalanannya sistem
pemerintahan presidensiil di Indonesia dapat dibagi kedalam dua periode, yaitu
periode sebelum amandemen UUD 1945 dan periode sesudah amandemen UUD
1945. Pada periode sebelum amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan
presidensiil yang terdapat dan diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen serta
di dalam mempraktikkannya dianggap tidak sesuai dengan inti ajaran sistem
pemerintahan presidensiil yang sesungguhnya karena UUD 1945 sebelum
amandemen memuat prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidensiil dan prinsipprinsip sistem pemerintahan parlementer secara bersamaan. Dengan adanya dua
sistem pemerintahan yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum amandemen ,
dimana UUD 1945 merupakan dasar dari sistem pemerintahan yang berlaku di
Indonesia menunjukan terjadinya dualisme sistem pemerintahan dalam UUD 1945
sebelum amandemen. Padahal jika ditinjau sesuai dengan teori sistem, dalam
UUD tidak boleh ada dualisme karena konstitusi merupakan suatu kesatuan yang
tersusun secara sistematis, tidak boleh ada pertentangan antara bagian yang satu
dengan bagian yang lain, atau antara bagian-bagian itu dengan keseluruhannya.6
Dengan adanya penyatuan prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidensiil
dengan prinsip-prinsip sistem parlementer di dalam UUD 1945 sebelum
amandemen, minimal menimbulkan dua buah konsekuensi logis yaitu; (1),
menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan para ahli
ilmu politik dan ahli hukum tata negara. Konsekuensi lainnya dengan adanya
dualisme sistem pemerintahan dalam UUD 1945 sebelum amandemen adalah (2),
memeberikan peluang terjadinya konflik antar lembaga negara, seperti yang dulu
pernah terjadi anatar DPR/MPR dengan Presiden Soekarno dan Presiden
Abdurrahman Wahid.7 Alasan-alasan tersebut menjadi dasar salah satu agenda
dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada Sidang Istimewa
MPR 1998, yaitu mempertegas atau memperkuat sistem pemerintahan presidensiil
di dalam UUD 1945. Setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945
maka sistem pemerintahan yang di anut oleh Indonesia dianggap banyak kalangan
lebih jelas dan lebih tegas kepada sistem pemerintahan presidensiil.
Dari uraian penjelasan di atas dapat diketahui sistem kepartaian dan sistem
pemerintahan apa dan yang bagaimana yang diterapkan di Indonesia. Dan dengan
melihat teori serta fakta sejarah, dimana sistem pemerintahan yang dianut oleh
suatu negara harus didukung dengan sistem kepartaian yang sesuai atau ideal
dengan sistem pemerintahan tersebut sehingga terjadi keselarasan antara sistem
pemerintahan dengan sistem kepartaian karena hal tersebut akan berdampak pada
6
Bintan R. Saragih& M. Kusnardi, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD
1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm.2.
7
Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah
Amandemen, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 132.
perwujudan sistem pemerintahan itu sendiri dalam rangka penyelenggraan negara
yang baik. Di Indonesia sendiri seperti yang telah dijelaskan diatas, merupakan
negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil dengan menerapkan
sistem multi partai di dalamnya, sehingga akan memunculkan pertanyaan
„mengapa sistem multi partai di adopsi dalam sistem pemerintahan presidensiil
Indonesia pasca amandemen UUD 1945, serta apakah tepat sistem multi partai
diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca amandemen
UUD 1945?‟. Oleh karena itu penulis mempunyai inisiatif, untuk melakukan
penelitian dan berusaha menjawab pertanyaan mendasar diatas. Sehingga penulis
memilih judul “ SISTEM MULTI PARTAI DALAM SISTEM PRESIDENSIIL
PASCA AMANDEMEN UUD 1945”.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa sistem multi partai diadopsi dalam sistem pemerintahan
presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945?
2. Apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam sistem pemerintahan
presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui mengapa sistem multi partai diadopsi dalam sistem
pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945.
2. Mengetahui apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam sistem
pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945.
D. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Kepartaian
Dalam upaya mengklasifikasikan sistem kepartaian sampai saat ini belum
ada metode yang bisa disepakati secara luas, sehingga hal ini menyebabkan
banyak munculnya klasifikasi sistem kepartaian yang dikemukakan oleh para ahli.
Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar
Ilmu Politik” mengemukakan beberapa cara pengklasifikasian sistem kepartaian.
Pertama, dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaan partai politik.
Dengan cara secara umum partai politik dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai
massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan
keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu partai massa biasanya terdiri dari
pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat
bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas
dan kabur. Kelemahan dari partai massa ialah bahwa masing-masing aliran atau
kelompok yang bernaung di bawah partai massa cenderung untuk memaksakan
kepentingan masing-masing, terutama pada saat-saat krisis, sehingga persatuan
dalam partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali sehingga salah satu
golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru. Sedangkan partai kader
sangat mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggotaanggotanya. Dalam partai kader, pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian
doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon
anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah
ditetapkan. Klasifikasi kedua yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo adalah
dengan cara melihat dari segi sifat dan orientasi, dalam hal mana partai-partai
dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai lindungan (patronage party) dan partai
ideologi atau partai azas (Weltanscauungs Partei atau programmatic party).
Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun
organisasinya di tingkat lokal sering cukup ketat), disiplin yang lemah dan
biasanya tidak mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Tujuan utama
partai lindungan adalah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota
yang dicalonkannya, oleh karena itu hanya giat menjelang masa-masa pemilihan.
Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat merupakan contoh dari
partai lindungan. Sedangkan partai ideologi atau partai azas (Sosialisme, fasisme,
komunisem, kristen-demokrat) biasanya mempunyai pandangan hidup yang
digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai
yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan
untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui tahap percobaan.
Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi maka dipungut iuran
secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta
keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.8
Sedangkan Gabriel A. Almond dalam memberikan serta mengemukakan
gambaran tentang klasifikasi partai politik memiliki sudut pandang atau kriteria
sendiri, dimana dalam salah satu risalahnya “Interest Articulation and the
Function of Aggregation” mengemukakan fungsi agregasi sebagai salah satu
alternatif dalam mengklasifikasikan sistem kepartaian. Dengan menggunakan
8
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Ctk. Ketujuh, PT. Gramedia, Jakarta,
1982, hlm.166-167.
kriteria tersebut, Gabriel A. Almond mengajukan empat kategori sistem
kepartaian, masing-masing adalah :
a. Sistem kepartaian authoritarian, dengan salah satu subkategorinya yang disebut totalitarian. Dalam mengagregasikan
berbagai kepentingan, partai-partai politik yang totaliter
(totalitarian parties) berusaha masuk jauh ke dalam struktur
masyarakat negara yang bersangkutan. Karena itu mereka pada
umumnya beranggapan bahwa proses transmisi dan agregasi
berbagai kebutuhan ataupun tuntutan-tuntutan yang da harus
diwujudkan melalui struktur partai tunggal. Sedangkan jika dilihat
dalam satu segi, sistem kepartaian otoritarian dipandang lebih
luwes dibandingkan sistem totaliter, disamping mereka selalu
mengajukan penyampaian berbagai tuntutan dan kebutuhan secara
terbuka. Tetapi, ketiadaan kebebasan memilih beserta alternatif
pilihan menyebabkan kebijaksanaan-kebijaksanaan cenderung
dibuat melalui struktur otoritatif seperti partai politik, kekuasaan
militer dan birokrasi.
b. Sistem kepartaian dominant non-authoritarian. Sistem kepartaian
ini berkembang pada saat kelompok-kelompok kepentingan yang
ada mengikatkan diri secara bersama-sama dalam satu program
untuk mencapai kemerdekaan nasional. Dalam sistem ini, peranan
partai oposisi (loyal oppositon) kurang memadai, kohesi partai
sulit untuk dicapai dan berbagai kepentingan tidak diagregasikan
secara efektif.
c. Sistem dua partai yang selalu bersaing satu sama lain. Sistem
kepartaian ini dalam banyak hal bisa dilihat dalam pelaksanaan
sistem kepartaian di Amerika Serikat dan Inggris.
d. Sistem banyak partai yang senantiasa bersaing satu sama lain.
Sistem kepartaian ini biasanya dibedakan antara working class
dengan kelas-kelas lain yang disebut immobilist. Untuk working
class dapat ditemukakan di negara-negara Skandinavia, dimana
partai-partai politik yang ada bersifat homogen serta
melaksanakan fungsi agregatif secara lebih luas, dan bertujuan
mencapai mayoritas yang stabil serta memperkenankan
penggabungan berbagai kelompok oposisi terhadap pemerintah.
Sedang untuk immobilist dikembangkan di Italia dan Perancis
yang tumbuh dalam satu kebudayaan politik isolatif dan
fragmentaris, di mana koalisi politik sangat rapuh dan lemah.9
9
Gabriel A. Almond dalam Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Ctk.
Pertama, Tiara Wacana & YP2LPM,Yogyakarta, 1986, hlm.225-226.
Klasifikasi yang lain, dikemukakan oleh Maurice Duverger dengan
menggunakan kekuatan partai sebagai salah satu alat ukurnya. Aspek kekuatan
yang dimaksudkan Maurice Duverger tersebut bisa diukur dari segi pemilih dalam
suatu proses pemilihan maupun dari segi jumlah kursi yang diperoleh partai
politik dalam badan-badan perwakilan. Tetapi, pada prinsipnya Maurice Duverger
lebih menekankan pada segi jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu partai politik
dalam badan perwakilan dibanding besarnya pemilih pada pemilihan umum.
Berdasarkan sudut pandang tersebut, Maurice Duverger mengelompokan partai
politik ke dalam empat jenis. Masing-masing adalah:
a. Partai-partai dengan kekuatan mayoritas yang ingin membawa
kekuasaan mayoritasnya secara absolut dalam badan perwakilan
rakyat. Partai-partai semacam ini biasa terdapat dalam negara yang
menganut sistem dua partai dan dalam beberapa kasus terdapat
pula dalam negara yang menganut sistem banyak partai.
b. Partai-partai dengan kekuatan mayoritas yang tidak ingin
membawakan kekuasaan mayoritasnya secara absolut dan bahkan
tidak memaksakan kepentingannya. Kenyataan semacam ini
adalah sebagai akibat koalisi beberapa partai politik sehingga bisa
menguasai suara mayoritas dalam badan perwakilan rakyat.
c. Partai-partai yang tergolong medium dan yang tidak mampu
membentuk pemerintahan minoritas.
d. Partai-partai minoritas yang tidak mampu memainkan peranan
politik, baik dalam hubungannya dengan partai-partai pemerintah
maupun partai-partai oposisi.10
Giovani Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan ideologi
yang dianut masing-masing partai serta banyaknya partai yang diakui dan ikut
dalam setiap pemilihan umum. Pengklasifikasian sistem kepartaian tersebut dibagi
menjadi 4 macam, yaitu Sistem dua Partai, Pluralisme Moderat, Pluralisme
Terpolarisasi dan Sistem Partai Berkuasa. Sistem dua partai ditandai oleh adanya
10
Maurice Duverger dalam Cheppy Haricahyono, Ibid.hlm.226-227.
dua partai yang terus bersaing di dalam setiap pemilu serta paling memiliki
pendukung luas. Kedua partai tersebut dapat saja memiliki ideologi yang berbeda
ataupun isu-isu politik yang kontras. Contohnya di Amerika Serikat dimana Partai
Republik dan Partai Demokrat yang bersaing. Partai Republik membawakan
kepentingan pengusaha, kalangan militer, dan golongan konservatif. Partai
Demokrat, kerap dicitrakan sebagai lebih dekat ke kalangan pekerja, gerakan
sosial bernuansa hak asasi manusia, dan kesejahteraan sosial. Pluralisme Moderat
adalah sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai politik yang ada di
dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Namun, perbedaan ideologi
tersebut tidak begitu tajam sehingga dapat saja para pemilih suatu partai dapat
berpindah dari partai yang satu ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan
parlemen, partai-partai yang memiliki perbedaan ideologi tetap dapat menjalin
koalisi jika memang diperlukan guna menggolkan suatu kebijakan. Pluralisme
Terpolarisasi adalah sistem kepartaian suatu negara dimana partai-partai politik
yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Perbedaan ideologi
tersebut terkadang cukup fundamental sehingga sulit bagi pemilih partai yang satu
untuk berpindah ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen,
perbedaan ideologi tersebut membuat sulitnya tercipta koalisi akibat perbedaan
ideologi yang cukup tajam tersebut. Sistem Partai Berkuasa adalah sistem
kepartaian di mana di suatu negara terdapat sejumlah partai, tetapi ada sebuah
partai yang selalu memenangkan pemilihan umum dari satu periode ke periode
lain. Partai yang selalu menang tersebut menjadi dominan di antara partai-partai
lainnya, dilihat dari sisi basis massa, dukungan pemerintah, maupun kemenangan
kursi mereka di setiap pemilihan umum. Contoh dari satu Sistem Partai Berkuasa
ini adalah Malaysia, Indonesia di era Orde Baru, ataupun India.11
Berbeda dengan yang lainnya, Roy C. Macridis yang cenderung tidak
membedakan antara partai dan sistem kepartaian dalam mengungkapakan tipologi
atau skema klasifikasinya. Dalam bukunya, yang berjudul “Political Parties:
Comtemporary Trends and Ideas”, Roy C. Macridis mengemukakan tiga kriteria
yang bisa digunakan. Yang pertama, adalah menyangkut sumber-sumber
pendukung partai politik. Dari kriteria ini muncul dua tipe partai politik, yaitu
comphrehensive parties yang berusaha
menjangkau suara-suara keseluruhan
pemilih dan sectarian parties yang mencoba mencari para pengikut dari kelaskelas, daerah-daerah atupun ideologi-ideologi tertentu. Kriteria kedua, berkaitan
dengan masalah organisasi internal partai politik. Dengan menggunakan kriteria
ini muncul dua bentuk partai politik, yaitu closed party, yang dalam prakteknya
membatasi
secara
ketat
kenggotaan
partainya,
dan
open
party
yang
memperkenankan semua orang masuk menjadi anggota partainya. Kriteria ketiga,
kriteria ini menjangkau masalah bentuk-bentuk tindakan tertentu. Untuk itu
dibedakan antara apa yang disebut specialized dan diffused. Yang pertama
mengikuti prosedur konvensional untuk melaksanakan fungsi pengawasan
terhadap pemerintah menurut tujuan dan waktu yang terbatas, sedangkan yang
kedua lebih pragmatis dalam menggunakan beberapa cara untuk memperoleh
kekuasaan dan lebih menekankan pada pengawasan menyeluruh dan permanen.12
11
Giovani
Sartori,
Sistem
Kepartaian
Di
Indonesia,
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-kepartaian-di-indonesia.html. Agust. 30, 2010.
12
Roy C. Macridis dalam Cheppy Haricahyono, Ilmu...Op.Cit.hlm.227-228.
at
Di samping berbagai klasifikasi yang telah dikemukakan di atas terdapat
metode yang paling konvensional dalam mengklasifikasikan partai politik, ialah
menurut jumlah partai yang ada dalam suatu negara. Dengan cara konvensional
tersebut, dikenal adanya tiga klasifikasi, masing-masing adalah sistem satu partai
(one-party system, atau mono-partism), sistem dua partai atau sistem dwi partai,
dan sistem banyak partai (multi party system, atau multipartism). Seperti yang
telah dikemukakan di atas mengenai belum adanya metode yang bisa disepakati
secara
luas
dalam
upaya
mengklasifikasikan
sistem
kepartaian,
tetapi
pengklasifikasian berdasar jumlah partai politik yang ada dalam suatu negara
banyak menuai kritik dari para ahli dengan alasan pengklasifikasian tersebut
sebenarnya memperkosa konsep dasar pola hubungan persaingan yang terjadi di
dalam maupun antar partai. Para penganut aliran empirisme seringkali
mempermasalahkan dilema teoritis sebagai akibat penggunaan pendekatan yang
berdasarkan jumlah partai tersebut. Mereka pada umumnya beranggapan bahwa
pada hakekatnya tidak mungkin ada persaingan intern maupun antar partai dalam
negara yang menganut sistem partai tunggal. Di samping itu, satu fakta
menunjukkan bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat ataupun negaranegara lain yang dikatakan menganut sistem dua partai, ternyata masih
memungkinkan tumbuhnya gerakan partai ketiga yang meramaikan persaingan
yang ada. Kenyataan lain, bahwa di negara-negara yang termasuk dalam kategori
penganut sistem banyak partai, lebih sering menerapkan pola sistem partai
tunggal, karena dominannya salah satu di antara berbagai partai yang ada. 13 Frank
13
Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Ctk. Pertama, Tiara Wacana &
J. Sorauf berpendapat bahwa cara mengklasifikasikan dengan menggunakan
jumlah partai cenderung memberikan pengukuran pada salah satu dimensi dan
melupakan dimensi-dimensi lainnya, seperti persaingan ideologis antara partai
mayoritas dengan partai-partai minoritas, kendatipun lebih banyak terjadi dalam
organisasi politik dibanding dalam partai politik. Lebih lanjut dikatakan bahwa
cara-cara tersebut juga cenderung melupakan perbedaan-perbedaan yang ada
dalam organisasi partai, begitu pula hasil yang dicapai dari analisa semacam itu
sangat tidak memuaskan dibandingkan dengan menggunakan analisa persaingan
antara pemilih dan pendukung partai politik.14
Meskipun dalam perkembangannya metode pengklasifikasian sistem
kepartaian dengan menggunakan jumlah partai politik mendapat berbagai kritik
dari para ahli namun dalam kenyataannya metode ini yang paling banyak
digunakan di berbagai negara dalam mengklasifikasikan sistem kepartaian. Begitu
pula di Indonesia.
2. Sistem Pemerintahan
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu “systema” yang mempunyai
arti sebagai berikut: Pertama, suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak
bagian. Kedua, hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau
komponen secara teratur. Dengan perkataan lain “systema” itu mengandung arti
sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan
merupakan satu keseluruhan (a whole).15 Pengertian kata sistem juga banyak
dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
Menurut Prof. Pamudji, sistem adalah :
YP2LPM,Yogyakarta, 1986, hlm.224-225
14
Frank J. Souraf dalam Cheppy Haricahyono, Ibid.hlm.225.
15
Tatang Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Ctk. keenam, Rajawali Press, Jakarta, 1996,
hlm. 1.
1. Suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir,
suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang
membentuksuatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau
utuh.16
2. Suatau kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya
terdapat komponen-kompenen yang pada gilirannya merupakan
sistem tersendiri yang mempunyai fungsi masing-masing, saling
berhubungan satu sama lain menurut pola, tata atau norma tertentu
dalam rangka mencapai satu tujuan.17
Menurut W. J. S. Poerwadarminta, sistem adalah sekelompok bagianbagian (alat dan sebagainya), yang bekerja bersama-sama untuk melakukan
sesuatu maksud.18 Sedangkan menurut Jarl J. Federich, sistem adalah:
Sesuatu keseluruhan, yang terdiri dari berbagai macam bagian-bagian yang
mempunyai hubungan fungsional baik antar bagian maupun keseluruhan
antar bagian sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan
antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja
dengan baik maka akan mempengaruhi keseluruhan itu.19
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengertian tentang sistem yang
dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian
sistem, sebagai berikut:
Sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait
mengkait satu sama lain. Bagian atau anak cabang dari suatu sistem,
menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya. Begitulah seterusnya
sampai pada bagian yang terkecil, rusaknya salah satu bagian akan
mengganggu kestabilan sistem itu sendiri. Pemerintahan Indonesia adalah
suatu contoh sistem pemerintahan, anak cabangnya adalah sistem
16
Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, Toeri Sistem dan Pengeterapannya dalam Management.
Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1981, hlm. 4-7.
17
Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985,
hlm. 9-10.
18
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1987, hlm. 955.
19
Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm. 160.
pemerintahan daerah, kemudian seterusnya sistem pemerintahan
desa/keseluruhan.20
A. Hamid S. Atamimi mengemukakan bahwa dalam kata sistem
pemerintahan terdapat begian-bagian dari pemerintahan yang masing-masing
mempunyai tugasa dan fungsinya namun secara keseluruhan bagian-bagian itu
merupakan salah satu kesatuan yang padu dan bekerjasama secara rasional21.
Sedangkan pengertian Pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam arti
luas dan dalam arti sempit.
Pengertian pemerintahan dalam arti luas yakni segala bentuk
aktifitas/kegiatan penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organorgan negara (lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif) yang
mempunyai otoritas menjalankan kekuasaan. Sedangkan pengertian
pemerintahan dalam arti sempit adalah suatu aktifitas/kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga eksekutif yang dalam hal ini dilakukan oleh
presiden maupun perdan menteri sampai dengan level birokrasi yang
paling rendah tingkatannya.22
Dari pengertian pemerintahan di atas, dalam melakukan pembahasan
mengenai pemerintahan negara, dasar yang dipergunakan yakni konteks
pemerintahan dalam arti luas yaitu meliputi pembagian kekuasaan negara,
hubungan
antar alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan-
kekuasaan tersebut baik hubungan horizontal (pemisahan/pembagian kekuasaan)
20
Drs. Inu Kencana Syariie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Ersco, Bandung, 1992, hlm.
101.
21
A. Hamid S. Atamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Negara Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang berfungsi Sebagai
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita II, (Disertasi), fakultas pasca sarjana UI, Jakarta,
1990, hlm.110-111.
22
Hestu Cipto Handoyo , Hukum Tata Negara Kewarganegaraan (Memahami Proses
Konsolidasi Sistem Demokrasi), UAJY, Yogyakarta, 2003, hlm.84.
maupun hubungan vertikal (pemencaran kekuasaan) antara pemerintah pusat dan
pemerintah lokal.
Dengan demikian jika pengertian pemerintahan tersebut dikaitkan dengan
pengertian sistem maka, pengertian sistem pemerintahan adalah suatu
tatanan/susunan pemerintahan yang berupa struktur yang terdiri dari organ-organ
pemegang kekuasaan di dalam negara
yang saling melakukan hubungan
fungsional di antara organ-organ negara tersebut baik secara vertikal maupun
horizontal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Kebanyakan orang menganggap bahwa yang dimaksud dengan sistem
pemerintahan negara hanya berkisar pada mekanisme hubungan antara pemegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif anggapan semacam ini dapat dibenarkan,
sepanjang sistem pemerintahan dimaksudkan adalah sistem pemerintahan negara
dalam arti sempit. Oleh karena itu, agar lebih jelas dalam memahami sistem
pemerintahan, menurut Hestu Cipto Handoyo dalam doktrin hukum tata negara
yang biasa tertuang di dalam setiap konstitusi maka sistem pemerintahan negara
dapat dibagi tiga pengertian, yaitu:
1. Sistem pemerintahan negara dalam arti paling luas, yakni tatanan
yang berupa struktur dari suatu negara dengan menitikberatkan
pada hubungan antara negara dengan rakyat dalam mekanisme
pengangkatan kepala negara dan mekanisme pengambilan
keputusan negara. Kajian ini akan menimbulkan:
a. Model/bentuk pemerintahan monarki.
1) Mekanisme pengangkatan kepala negara melalui
pewarisan.
2) Mekanisme pengambilan keputusan negara ada pada
satu orang.
b. Model/bentuk pemerintahan republik.
1) Mekanisme pengangkatan kepala negara melalui
pemilihan oleh rakyat.
2) Mekanisme pengambilan keputusan negara ada
pada suatu majelis yang mencerminkan representasi
rakyat.
2. Sistem pemerintahan negara dalam arti luas, yakni suatu tatanan
atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak dari
hubungan antar semua organ negara, termasuk hubungan antar
pemerintah pusat (central government) dengan bagian-bagian yang
terdapat dalam negara ditingkat lokal (local government). Kajian
sistem pemerintahan negara dalam arti sempit seperti ini meliputi:
a. Bangunan negara kesatuan: pemerintah pusat memegang
otoritas penuh (berkedudukan lebih tinggi) daripada
pemerintah lokal.
b. Bangunan negara serikat (federal): pemerintah pusat dan
negara bagian mempunyai kedudukan yang sama.
c. Bangunan
negara
konfederasi:
pemerintah
lokal
(kanton/wilayah) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dari pemerintah pusat.
3. Sistem pemerintahan negara dalam arti sempit, yakni suatu tatanan
atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan
sebagian organ negara ditingkat pusat khususnya hubungan antara
eksekutif dan legislatif. Struktur atau tatanan pemerintahan negara
seperti ini akan menimbulkan model:
a. Sistem parlementer : parlemen (legislatif) mempunyai
kedudukan lebih tinggi ketimbang eksekutif. Contohnya di
Jepang, India, Inggris.
b. Sistem pemisahan kekuasaan (presidensiil) : parlemen
(legislatif) pemerintahan mempunyai kedudukan yang sama
dan saling melakukan kontrol (check and balances).
Contohnya di Amerika Serikat.
c. Sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh
rakyat : pemerintahan (eksekutif) pada hakikatnya adalah
badan pekerja dari parlemen (legislatif), dengan kata lain
eksekutif merupakan bagian yang tidak terpisah dari
legislatif (parlemen) oleh karena itu parlemen tidak diberi
kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada
eksekutif, sehingga yang berhak mengawasi parlemen dan
eksekutif adalah rakyat secara langsung. Contohnya di
Swiss.23
Secara konseptual sistem pemerintahan yang pada umumnya digunakan
oleh negara-negara demokrasi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni ;
23
Ibid, hlm.86.
sistem pemerintahan Parlementer (the Parliamentary Cabinet Government),
sistem pemerintahan Presidensiil (the Presidential Government), dan sistem
pemerintahan yang mengandung ciri sistem Parlementer dan ciri sistem
Presidensiil (Semi Presidential Government) atau dapat juga disebut sebagai
sistem pemerintahan campuran.24
3. Sistem Pemerintahan Dan Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945
a. Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
Salah satu agenda dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan
oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR 1998, yaitu mempertegas dan
memperkuat sistem pemerintahan presidensiil dalam UUD 1945.
Setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 dengan melalui empat
tahapan maka sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia
dianggap banyak kalangan sudah lebih jelas dan lebih tegas kepada
sistem presidensiil yang sesungguhnya. Hal ini mengindikasikan
keberhasilan yang dilakukan oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam
memperkuat sistem pemerintahan presidensiil dalam UUD 1945. Hal
itu dapat terlihat dari; (1), dihapusnya beberapa ketentuan-ketentuan
UUD 1945 sebelum amandemen yang memuat prinsip-prinsip sistem
pemerintahan parlementer.25(2), Dipertegasnya lima prinsip sistem
24
Ellydar Chaidir, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca Perubahan
Undang-undang Dasar 1945, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm 1.
25
Prinsip sistem parlementer yang dihapus dalam UUD 1945 adalah; (a), Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh MPR dan bertanggungjawab kepada MPR, diganti menjadi
Presidendan Wakil Presiden dipilih lengsung oleh rakyat dan bertnggungjawab kepada rakyat. (b),
Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melanggar
pemerintahan presidensiil di antaranya;26 (a) walaupun pasal 4 ayat
(1) UUD 1945 hanya menyebutkan kekuasaan pemerintahan
dipegang oleh Presiden,27 tetapi berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UUD
1945 dapat dilihat bahwa Presiden dan Wakil Presiden merupakan
institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di
bawah UUD, karena apabila Presiden berhalangan, baik berhalangan
tetap maupun berhalangan sementara, maka kekuasaan Presiden
dijalankan oleh Wakil Presiden,28 (b), Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh rakyat secara langsung.29 (c) Presiden dan/ atau Wakil
Presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Presiden
hanya dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum dalam masa
jabatannya apabila melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan
tercela dan mengalami perubahan sehingga tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.30 (d), Para Menteri
merupakan pembantu Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan
konstitusi dan GBHN dirubah menjadi Presiden dan/ Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya karena melanggar hukum dan karena perubahan tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terlebih dahulu harus dibuktikan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK).
26
Mahmuzar, Sistem...Op.cit.hlm.133.
27
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
28
Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Dalam melakukan kewajibannya Presiden
dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.”
29
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan ketiga menyebutkan, “Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
30
Pasal 7A UUD 1945, “Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.”
oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden.31
(e), Ditentukannya masa jabatan Presiden selama lima tahun, dan
tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa
jabatan.32
b. Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
Sistem kepartaian di Indonesia Pasca amandemen UUD 1945 adalah
sistem kepartaian yang multi partai, hal ini dijelaskan dalam
penjelasan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang
menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 yang dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan.
Dalam penjelasan UU No.31 Tahun 2002 ini, dinyatakan bahwa
sistem kepartaian kita menganut sistem multi partai sederhana yang
dilakukan dengan menerapkan persyaratan kualitatif ataupun
kuantitatif, baik dalam pembentukan partai politik maupun
penggabungan partai politik yang ada. Dalam perkembangannya
upaya pengaturan partai politik terus dilakukan, yang berarti
penataan legislasi pertai politik dengan membentuk undang-undang
partai politik yang baru merupakan keharusan yang tidak mungkin
dihindari. Sehingga pada tahun 2008 diberlakukan UU No. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, menggantikan UU No. 31 Tahun 2002.
31
Pasal 17 ayat (1), “Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara.” Ayat (2)
menyebutkan, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.”
32
Pasal 7 UUD 1945, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan.”
Alasan penggantian UU No. 31 Tahun 2002 dengan UU 2 Tahun
2008
adalah
belum
optimalnya
UU
No.31
Tahun
2002
mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang
menuntut peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sebenarnya sistem kepartaian yang multi partai ini sudah diterapkan
di Indonesia sejak masa pemerintahan orde lama, yaitu pada masa
presiden
Soekarno.
Namun
dalam
perjalanannya
di
masa
pemerintahan orde baru setelah jatuhnya pemerintahan orde lama,
yaitu pada masa presiden Soeharto terjadi perubahan sistem
kepartaian di Indonesia, yang dianggap oleh beberapa pihak disebut
sebagai sistem satu partai berkuasa atau sistem dominan satu partai.
Hal ini dikarenakan adanya penggabungan partai-partai politik ke
dalam kedekatan garis ideologi politik yang menghasilkan tiga partai
dari sembilan partai yang ada sebelumnya. Setelah jatuhnya
pemerintahan orde baru dan beralih ke masa reformasi pintu politik
terbuka lebar, sehingga segala pembatas terhadap prinsip kebebasan
berserikat
ditiadakan.
Sesuai
dengan
jaminan
konstitusional
mengenai prinsip kebebasan, semua orang diakui berhak mendirikan
partai politik, sehingga berkembang menjadi sistem politik yang
biasa dikenal dengan sistem multi partai.
E. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif33 yang akan
mengkaji penerapan sistem multi partai dalam sistem pemerintahan presidensiil di
Indonesia melihat implementasi sistem dengan mengkaji doktrin-doktrin yang
berkembang dari para ahli dan akedemesi. Selain itu penelitian ini mengkaji asasasas yang ada dalam undang-undang guna menganalisis dengan teori, doktrin,
Undang-Undang sebagai sumber formal. Obyek penelitian ini yaitu : UndangUndang, Doktrin, Asas-asas. Karena bersifat normatif, maka penelitian ini tidak
menggunakan kasus hukum yang bersifat spesifik untuk dijadikan sebagai objek
penelitian. Jika pun terdapat beberapa kasus yang diungkapkan dalam penelitian
ini, hal tersebut merupakan sampel yang lebih bersifat data untuk melengkapi
pembahasan.
Aspek-aspek yang muncul dalam metode penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Objek penelitian ini adalah berbagai hukum positif di Indonesia yang
berkaitan dengan konsepsi penerapan sistem multi partai dalam sistem
presidensiil pasca amandemen UUD 1945.
2. Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
mencakup :
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat
secara yuridis, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum
maupun setelah amandemen, dan undang-undangan yang terkait dengan
penelitian.
33
Menurut Wignjosoebroto, Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada
penelitian yang mencakup (1) asa-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) adanya taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat,
M. Syamsudin, Operasi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 21-26.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer berupa buku-buku literatur, jurnal yang relevan,
tulisan-tulisan ilmiah, hasil-hasil seminar, penelitian terdahulu, situssitus internet yang relevan, artikel, dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu yang memberikan petunjuk bahan hukum
primer dan sekunder berupa kamus hukum, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
pustaka, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang
berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku kepustakaan yang
berhubungan dengan mudah yang diteliti agar mendapat gambaran dan
pengertian secara teoritis.
4. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis,
yakni menganalisis permasalahan dari sudut pandang hukum, terutama
hukum tata negara.
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.
Hal ini dikarenakan data yang akan digunakan adalah data yang bersifat
kualitatif, bukan data kuantitatif yang berupa angka, skala, dan ukuran.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis dalam 5 BAB yang saling
mendukung sebagai berikut:
BAB I :
PENDAHULUAN
Menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan metode penelitian.
BAB II :
SISTEM-SISTEM PEMERINTAHAN
Membahas
teori-teori
tentang
pemisahan
dan
pembagian
kekuasaan, sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan campuran.
BAB III:
SISTEM-SISTEM KEPARTAIAN
Membahas tentang hak politik rakyat dalam mendirikan partai
politik, sistem partai tunggal, sistem dua partai dan sistem multi
partai.
BAB IV:
SISTEM MULTI PARTAI DALAM SISTEM PRESIDENSIIL
PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Membahas mengenai sistem pemerintahan presidensiil Indonesia
pasca amandemen UUD 1945, alasan sistem multi partai diadopsi
dalam
sistem
pemerintahan
presidensiil
Indonesia
pasca
amandemen UUD 1945, tepat tidaknya sistem multi partai
diterapkan
dalam
sistem
pemerintahan
presidensiil
pasca
amandemen UUD 1945 serta gagasan ideal penerapan sistem multi
partai dalam sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia pasca
amandemen UUD 1945.
BAB V :
PENUTUP
Berupa :
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada skripsi ini intinya berisi jawaban atas
permasalahan
yang
menjadi
objek
penelitian
setelah
dilakukannya analisis oleh peneliti.
B. Saran
Saran adalah rekomendasi terhadap hasil simpulan dalam
skripsi.
Download