Document

advertisement
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNya laporan hasil penelitian
“Permohonan dalam Pemeriksaan di Pengadilan Agama“ dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Terima kasih yang sebesar–besarnya bagi semua saja yang terlibat
atas bantuan, saran dan dorongan yang diberikan, sehingga saya mampu
memahami materi dengan lebih baik dan pada akhirnya mapu merampungkan
penelitian ini.
Penelitian ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang
membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya penelitian ini. Akhir kata,
semoga penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya
dan secara khusus bagi hukum acara perdata dan lebih khusus lagi bagi hukum
acara peradilan agama.
Denpasar, 2015
Peneliti
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
i
Lembar Pengesahan
..............................................................................
ii
Kata Pengantar .......................................................................................
iii
Daftar Isi
iv
Abstrak
..................................................................................................
v
I. PENDAHULUAN
1
II. RUMUSAN MASALAH
2
III. TUJUAN PENELITIAN
.................................................................
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. SIMPULAN
......................................................
................................................................................
2
3
12
iv
ABSTRAK
Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan dibawah
Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang dalam tingkat pertama dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama. Peradilan agama mempunyai kekhususan dalam subyek,
yaitu peradilan yang diperuntukkan bagi penduduk yang beragama islam.
Kompetensi absolutnya adalah sengketa keperdataan tertentu yang ditentukan
dalam undang – undang peradilan agama. Lex generalis untuk hukum acaranya
adalah hukum acara perdata, yang mengenal adanya prosedure gugatan dan
prosedure permohonan, dan lex specialisnya diatur menurut ketentuan dalam
undang–undang peradilan agama. Dalam hukum acara perdata kedua prosedur ini
sangat berbeda. Dalam lex spesialisnya juga ditentukan adanya permohonan.
Kalau dicermati lebih mendalam dalam lex specialisnya yang diatur dalam
undang – undang peradilan agama dikenal adanya dua macam permohonan.
Pertama, permohonan sebagaimana yang lazim dalam hukum acara perdata,
dengan beracara secara sepihak tanpa adanya sengketa. Pembuktiannya juga
sepihak tanpa memperhatikan asas kesempatan yang sama dan asas audi et
alteram partem. Peradilan hanya satu tingkat, sehingga tidak ada upaya hukum
banding terhadap Penetapan Pengadilan Agama. Kedua, permohonan dengan
prosedure sebagaimana layaknya suatu gugatan.
berhadapan
karena
adanya
sengketa.
Ada dua pihak yang saling
Sehingga
pemeriksaannya
harus
memperhatikan asas-asas sebagaimana layaknya pemeriksaan gugatan, yang
dimulai dengan jawab menjawab, pembuktian, kesimpulan para pihak (kalau
dikehendaki), dan diakhiri dengan Penetapan Pengadilan Agama.
v
I. PENDAHULUAN
Peradilan agama adalah salah satu lingkungan peradilan dari empat
lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat (2) UUD NKRI
1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakimam dilakukan oleh sebuah
Mahkamah , lingkungan peradilangung dan badan peradilan yang ada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama dalam lingkungan
peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan perdata
dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
UU peradilan agama. Dengan demikian, hukum acara perdata merupakan lex
generalis berhadapan dengan lex spesialis sebagaimana yang diatur dalam UU
peradilan
agama.
Kompetensi
absolutnya
menyangkut
masalah-masalah
keperdataan, bagi subyek hukum yang terkait dengan agama Islam. Secara rinci
Ps 49 UU No. 3/2006 telah menentukan apa saja yang dapat diajukan dan
diperiksa di Pengadilam Agama.
Sebagaimana halnya dalam peradilan perdata (Sudikno Mertokusumo,
1982 : 3), demikian pula dalam peradilan agama dikenal adanya dua macam
tuntutan hak yakni: permohonan dan gugatan (Rassyid H. Roihan A., 2005 : 59).
Dalam hukum acara perdata, secara tegas dibedakan kedua macam tuntutan hak
ini. Titik tolak perbedaannya terletak pada ada atau tidak adanya sengketa yang
mendasari tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak. Tuntutan hak
1
ini dalam pasal 142 ayat (1) RBg / pasal 118 ayat 1 HIR disebut sebagai tuntutan
perdata (burgerlijke vordering). Dalam hukum acara perdata perbedaan antara
permohonan dan gugatan
berakibat
lebih lanjut pada perbedaan tata cara /
prosedur dalam proses pemeriksaan di hadapan hakim. Bahkan hasil akhir dari
proses, yang berupa keputusan hakim pun berbeda. Hasil akhir dari proses melalui
gugatan adalah putusan pengadilan, dan hasil akhir dari proses melelui
permohonan adalan penetapan pengadilan.
Oleh karena ketentuan-ketentuan yang diatur secara khusus dalam UU
peradilan agama merupakan lex spesialis dari hukum acara perdata yang
merupakan lex generalis, maka perli dicermati dan diteliti pengertian tuntutan hak
tersebut khususnya penegertian permohonan dan bagaimana prosesnya .
II. RUMUSAN MASALAH.
1. Bagaimana pengertian permohonan dalam peradilan agama?
2. Bagaimana prosedur beracara di pengadilan agama dalam tuntutan
yang berupa permohonan?
III. TUJUAN PENELITIAN.
Penelitian “Permohonan dalam pemeriksaan di pengadilan agama” ini
mengandung beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui secara mendalan tentang pengertian permohonan di
pengadilan agama.
2
2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur beracara pemeriksaan permohonan
di pengadilan agama.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Peradilan agama pada dasarnya adalah peradilan perdata yang bersifat
spesifik karena faktor agama dan obyek tuntutan hak keperdataan tertentu yang
diserahkan kepadanya untuk diperiksa dan diputus, sedangkan peradilan umum
adalah juga peradilan perdata secara umum disamping peradilan pidana. Peradilan
agama dikhususkan bagi penduduk beragama Islam. Obyek tuntutan hak yang
menjadi kompetensi absolut pengadilan agama adalah ( pasal 49 UU No. 3 /
2006 ) di bidang:
a. perkawinan ;
b. waris;
c. wasiat ;
d. hibah ;
e. wakaf ;
f. zakat ;
g. infaq ;
h. shadaqah ; dan
i. ekonomi syaria’ah .
Bidang perkawinan mencakup hal yang sangat luas, sebagaimana yang dimaksud
dan diatur dalam undang-undang perkawinan ( UU No. 1 / 1974 ), yaitu :
( 1 ).
Izin beristri lebih dari satu orang ;
3
( 2 ).
Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun,
dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat ;
( 3 ).
Dispensasi kawin ;
( 4 ).
Pencegahan perkawinan ;
( 5 ).
Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah ;
( 6 ).
Pembatalan perkawinan ;
( 7 ).
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri ;
( 8 ).
Perceraian karena talak ;
( 9 ).
Gugatan perceraian ;
( 10 ). Penyelesaian harta bersama ;
( 11 ). Mengenai penguasaan anak-anak ;
( 12 ). Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya;
( 13 ). Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
( 14 ). Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak ;
( 15 ). Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua ;
( 16 ). Pencabutan kekuasaan wali ;
(17 ). Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut ;
( 18 ). Menunjuk seorang wali dalam hal seorang yang belum cukup umur 18
( delapan belas ) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak
4
ada penunjukan wali oleh orang tuanya ;
( 19 ). Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah
kekuasaannya ;
( 20 ). Menetapkan asal usul seorang anak ;
( 21 ). Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran ;
( 22 ). Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 /
1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Permasalahan perkawinan memang menjadi permasalahan paling banyak
dan paling populer yang diajukan ke pengadilan agama. Sebagian dari
permasalahan perkawianan tersebut diajukan dalam bentuk permohonan dan
sebagian dalam bentuk gugatan. Hukum acara perdata yang menjadi lex generalis
dalam proses beracara di pengadilan agama telah memberikan batas yang pasti
dan tegas antara gugatan dan permohonan. Sudikno Mertokusumo menguraikan
perbedaan gugatan dan permohonan dengan bertitik tolak dari mengandung atau
tidak mengandung sengketa (Sudikno Mertokusomo, 1977 : 3 – 4). Tuntutan hak
yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya
dua pihak dan tuntutan yang tidak mengandung sengketa yang disebut
permohonan, dimana hanya terdapat satu pihak saja. Sejalan dengan itu, peradilan
lazim dibagi pula menjadi dua yaitu peradilan sukarela atau peradilan volunter
( voluntaire jurisdictie / jurisdictio voluntaria ) atau sering pula disebut peradilan
5
“tidak sesungguhnya”, dan peradilan contentieus ( contentieuse jurisdictie /
jurdictio dictio contentiosa ) atau sering pula disebut peradilan “sesungguhnya”.
Perbedaan yang jelas antara juridictio contentiosa dengan juridictio voluntaria
dapat digambarkan dari beberapa segi ( Abdulkadir Muhamah, 2008 :12 -13 ),
yaitu :
a. Pihak yang berperkara.
Pada juridictio contentiosa ada dua pihak yang berperkara, sedangkan pada
juridictio voluntaria hanya ada satu pihak yang berkepentingan.
b. Aktivitas pengadilan yang memeriksa perkara.
Pada juridictio contentiosa aktivitas pengadilan terbatas pada yang
dikemukkan dan diminta oleh pihak-pihak, sedangkan pada juridictio
voluntaria aktivitas pengadilan dapat
melebihi
apa
yang
dimohonkan
karena tugas pengadilan bercorak administratif yang bersifat mengatur
( administrative regulation ).
c. Kebebasan pengadilan.
Pada juridictio contentiosa, pengadilan hanya memerhatikan dan menerapkan
apa yang telah ditentukan oleh undang-undang dan tidak berada di bawah
pengaruh atau tekanan pihak manapun. Pengadilan hanya menerapkan
ketentuan hukum positif. Sedangkan pada juridictio voluntaria, pengadilan
selalu memiliki kebebasan menggunakan kebijaksanaan yang dipandang perlu
untuk mengatur suatu hal.
6
d. Kekuatan mengikat keputusan pengadilan.
Pada juridictio contentiosa, putusan pengadilan hanya mempunyai kekuatan
mengikat pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan pada juridictio voluntaria,
putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang.
Berkaitan dengan permohonan, pengadilan negeri Jakarta Selatan dalam
Penetepan Pengadilan Negeri Selatan No. 1193 / Pdt.P /2012 / PN.Jak.Sel. tanggal
16 Juli 2013 telah menyimpulkan dalam pertimbangannya bahwa unsur-unsur
yang harus dipenuhi suatu perkara yang diajukan melalui permohonan adalah :
a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata ( for the benefit of
one party only);
b. Permasalahan yang dimohonkan penyelesaian kepada Pengadilan Negeri, pada
prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or differences
with another party);
c. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi
bersifat ex parte artinya benar-benar murni dan mutlak satu pihak tanpa
menarik pihak lain sebagai lawan ;
d. Kewenangan itu hanya terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh
peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan;
e. Tidak menimbulkan akibat hukum baru.
Sudikno Mertokusumo (1982: 4) menambahkan: perbuatan hakim dalam
peradilan yang “tidak sesungguhnya” lebih merupakan perbuatan di bidang
administratif, sehingga putusannya merupakan suatu penetapan ( ps. 272 RBg , ps.
236 HIR ). Bagi peradilan volunter pad umumnya tidak berlaku peraturan tentang
7
pembuktian dari BW buku IV. Demikian pula, RBg dan HIR pada umumnya
hanya disediakan untuk peradilan contentieus. Penyelesaian perkara dalam
peradilan contentieus disebut putusan, sedangkan penyesaian perkara peradilan
volunter disebut penetapan. Demikian juga yang dikemukakan oleh Asep Iwan
Iriawan ( 2010 : 6 ), permohonan ( Juridictio voluntaria ) adalah tuntutan hak yang
tidak mengandung sengketa
diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
penetapan. Penetapan atas permohonan merupakan keputusan pengadilan tingkat
pertama dan terakhir, yang tidak dapat dimohonkan banding (Yahya Harahap,
2008 : 42 – 43).
Keputusan Pengadilan Agama yang berbentuk penetapan yang berawal
dari adanya permohonan yang sesuai dengan pengertian permohonan dan
penetapan sebagai diuraikan di muka, sangat jelas pada penetapan-penetapan
Pengadilan Agama, sebagai contoh berikut:
a. Penetapan Pengangkatan Anak .
1). Penetapan Pengadilan Agama Slawi Nomor 0070 / Pdt.P / 2010 /
PA.Slw tertanggal 29 Desember 2010.
2). Penetapan Pengadilan Agama Pasuruan Nomor 08 / Pdt.P /2011 /PA.
Pasuruan tertanggal 15 Maret 2013.
3). Penetapan Pengadilan Agama Baturaja Nomor 15 /Pdt.P /2011 /
PA.BTA tertanggal 27 Juni 2011.
4). Penetapan Pengadilan Agama Kotamobagu Nomor 01 / Pdt. P / 2012 /
PA.Ktg tertanggal 20 Pebruari 2012.
5). Penetapan Pengadilan Agama Denpasar Nomor 08 / Pdt.P /2011 /
8
PAD tertanggal 30 Maret 2011.
b. Penetapan dispensasi nikah / perkawinan.
1). Penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 234 /Pdt.P / 2011 /
PA Wns tertanggal 15 Maret 2011.
2). Penetapan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor 01 /Pdt.P /
2012 / PA.Pkc tertanggal 2 Februari 2012.
3). Penetapan Pengadilan Agama Bandung Nomor. 14 / Pdt,P /2014 /
PA.Badg tertanggal 6 Februari 2014.
c. Penetapan ahli waris.
1). Penetapan Pengadilan Agama Sekayu Nomor 03 / Pdt.P / 2011 /
PA.Sky tertanggal 9 Mei 2011.
2). Penetapan Pengadilan Agama Denpasar Nomor. 0006 / Pdt.P / 2014 /
PA.Dps tertanggal 30 Januari 2014.
3). Penetapan Pengadilan Agama Badung Nomor. 0010 / Pdt.P / 2014 /
PA.Bdg tertanggal 2 Juni 2014.
d. Penetapan wali.
1). Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor. 11 / Pdt.P /2010 /
PA.JP tertanggal 1 Maret 2010.
2). Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor. 54 /Pdt.P / 2010
/PA.JP tertanggal 28 Juli 2010.
3). Penetapan Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun Nomor. 002 /
Pdt.P / 2012 / PA.TBK tertanggal 29 Februari 2012.
4). Penetapan Pengadilan Agama Denpasar Nomor. 0002 / Pdt.P /2013 /
9
PA.Dps tertanggal 28 Maret 20113.
5). Penetapan Pengadilan Agama Banyuwangi Nomor. 0130 / Pdt.P /
2015 / PA.Bwi tertanggal 17 Juni 2015.
Namun demikian, terdapat keputusan – keputusan pengadilan agama
dalam bentuk penetapan, sebagai hasil akhir dari suatu proses beracara di
pengadilan agama yang diawali dengan permohonan, yang tidak memenuhi
kriteria sebagaimana terurai di atas.
Pengadilan Agama mengenal dua macam penyelesaian perceraian, yaitu
cerai gugatan cerai dan cerai talak. Gugatan cerai diajukan oleh pihak perempuan /
istri, sedangkan cerai talak diajukn oleh laki-laki / suami. Kalau dicermati secara
mendalam, baik gugatan cerai maupun cerai talak yang diterima, diperiksa dan
diputus oleh pengadilan agama sama-sama mengandung sengketa. Dalam
prosesnya gugatan cerai diajukan melalui gugatan, sedangkan cerai talak diajukan
melalui permohonan.
Dalam proses beracara, dalam cerai talak yang diajukan melalui
permohonan tersebut terdapat dua pihak, yaitu pihak pemohon dan termohon yang
saling berhadapan. Padahal, secara teori proses pemeriksaan permohonan adalah
secara ex parte, yaitu hanya ada satu pihak saja. Dalam pembuktian yang
membuktikan hanya pemohon saja, namun dalam cerai talak kedua pihak dapat
mengajukan pembuktian. Dalam pemohonan, tidak seluruh asas beracara perdata
perlu ditegakkan, seperti asas memberi kesempatan yang sama (to give the same
opportunity) dan asas audi et alteram partem (to hear other side), karena hanya
ada satu pihak saja. Namun dalam cerai talak asas-asas tersebut tetap harus
10
ditegakkan. Dalam penetapan pengadilan sebagai hasil akhir proses persidangan
tidak tersedia upaya hukum banding. Namun bagi penetapan sebagai hasil akhir
proses persidangan, tetap tersedia upaya hukum banding.
Contoh-contoh permohonan dalam cerai talak :
1).
Penetapan Mahkamah Syari’ah Bireun Nomor. 314 /Pdt.G / 2010 /MS –
Bir tertanggal 2 November 2010.
2).
Penetapan Pengadilan Agama Bontang Nomor. 59 /Pdt.G / 2012 / PA. Btg
tertanggal 28 Februari 2012.
3).
Penetapan Pengadilan Agama Slawi Nomor. 1769 / Pdt. G / 2012 /
PA.Slw tertanggal 31 Agustus 2012.
4).
Penetapan Pengadilan Agama Kuala Kapuas Nomor. 287 / Pdt.G / 2012 /
PA. K Kps tertanggan 15 APRIL 2012.
5).
Penetapan Pengadilan Agama Banjar Baru Nomor. 0030 / Pdt.G / 2015 /
PA. Bjb tertanggal 18 Maret 2015.
11
V. SIMPULAN
Dari penetapan – penetapan Pengadilan Agama dapat disimpulkan bahwa
ada dua macam permohonan di Pengadilan
yang bermuara pada Penetapan
Pengadilan Agama, dengan prosedur yang berbeda yaitu:
1).
Permohonan yang tidak mengandung sengketa, jalannya pemeriksaan
secara ex parte, tanpa perlu memperhatikan asas memberi kesempatan
yang sama dan asas audi et alteram partem, serta pembuktian secara
sepihak. Proses berlangsung searah, dengan tidak ada proses jawabmenjawab antar pihak, yang dilanjutkan dengan pembuktian sepihak yang
diakhiri dengan penetapan Pengadilan Agama.
Terhadap
penetapan
pengadilan sebagai hasil akhir dari proses pemeriksaan di Pengadilan
Agama tidak tersedia upaya hukum banding.
2).
Permohonan yang mengandung sengketa, jalannya pemeriksaan dengan
dua pihak yang saling berhadapan, dengan menerapkan semua asas-asas
yang dituntut dalam suatu peradilan yang baik. Proses berlangsung dengan
dua pihak, yang dimulai dengan jawab menjawab, dilanjutkan dengan
pembuktian dengan memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
mengajukan pembuktian yang diakhiri dengan penetapan Pengadilan
Agama. Terhadap penetapan pengadilan sebagai hasil akhir dari proses
pemeriksaan di Pengadilan Agama tersedia upaya hukum banding.
Penetapan ini dapat diuji kembali di Pengadilan Tinggi Agama.
12
Download