ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN TANAH YANG DIPUTUS LEPAS (Studi Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk) (Jurnal Skripsi) Oleh FITRA SUANADIA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 ABSTRAK ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN TANAH YANG DIPUTUS LEPAS (Studi Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk) Oleh Fitra Suanadia. Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Email: [email protected]. Erna Dewi, Budi Rizki Husin. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145. Pelaku tindak pidana penyerobotan tanah seharusnya mendapatkan hukuman paling lama empat tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 385 Ayat (4) KUHP, tetapi pada kenyataannya dalam Putusan Nomor 451/Pid.B/2014/PN.Tjk, Majelis Hakim memutus lepas terdakwa dari segala tuntutan hukum. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus lepas pelaku tindak pidana penyerobotan tanah dalam Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk? (2) Apakah putusan lepas yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung, hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan akademisi hukum pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam memutus lepas pelaku tindak pidana penyerobotan tanah dalam Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk adalah pertimbangan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana penyerobotan tanah sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Perbuatan terdakwa terbukti dilakukan, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Hakim mempertimbangkan tiga aspek yaitu yuridis, filosofis dan sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu hakim membuktikan unsur-unsur Pasal 385 ke – 4 KUHP, pertimbangan filosofis yaitu hukum berfungsi sebagai alat untuk menciptakan keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum dan secara sosiologis yaitu tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. (2) Putusan lepas oleh majelis terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah belum memenuhi rasa keadilan karena, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana tidak mempertimbangkan besarnya kerugian materil yang dialami korban, tidak memberikan efek jera dan tidak menjadi pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan kesalahan serupa. Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penyerobotan Tanah, Putusan Lepas ABSTRACT ANALYSIS OF JUDGES BASIS CONSIDERATION IN DECIDING OFF THE PERPETRATORS OF CRIMINAL ACTS OF LAND GRABBING (Study of Decision Number: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk) By FITRA SUANADIA The perpetrator of the criminal act of land grabbing should get a maximum of four years in accordance with the provisions of Article 385 Paragraph (4) of the Criminal Code, but in fact in Decision Number 451/Pid.B/2014/PN.Tjk, the Panel of Judges dismissed the defendant from all lawsuits . The problems of this research are: (1) What is the basis of judges' consideration in breaking off the perpetrators of criminal acts of land grabs in Decision Number: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk? (2) What is the freelance judge handed down by the judge to the perpetrator of the crime of land grabbing in accordance with the sense of community justice? This research uses juridical normative and juridical empirical approach. The resource persons consisted of prosecutors at the Lampung High Court, the judge at the Tanjung Karang District Court and the criminal law academician of the Law Faculty of Unila. Data collection was done by literature study and field study. Data analysis is done qualitatively. Based on the result of the research and discussion, it can be concluded: (1) The basis of judges' consideration in deciding off the perpetrators of criminal acts of land grabbing in Decision Number: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk is the consideration that the defendant is not proven to commit the crime of land grabbing as Charged by the Public Prosecutor. The defendant's actions are proven, but the act is not a crime. The judge considers three aspects of juridical, philosophical and sociological. Judicial consideration of the judges to prove the elements of Article 385 to - 4 of the Criminal Code, philosophical considerations that the law serves as a tool to create justice, order, and legal certainty and sociologically the goal of rehabilitation is as a means and efforts to restore the good name, And one's dignity. Based on these considerations, the defendant is released from all lawsuits. (2) The acquittal by the assembly of the perpetrators of criminal acts of land grabs has not fulfilled the sense of justice because, because the judge in the imposition of a criminal does not consider the amount of material loss suffered by the victim, does not provide a deterrent effect and does not become a learning for the other party in order to avoid similar mistakes. Keywords: Judge's Consideration, Land Acquisition, Decision Off I. Pendahuluan Manusia dituntut untuk dapat Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 1 Penyerobotan tanah merupakan salah satu jenis tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pengaturan mengenai tindak pidana penyerobotan tanah menurut Pasal 385 Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas tanah itu. Pelaku tindak pidana penyerobotan tanah seharusnya mendapatkan hukuman paling lama empat tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 385 Ayat (4) KUHP, tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim memutus lepas Idham Basa Majid Bin Abdul Majid dari segala tuntutan hukum atas dakwaan tindak pidana penyerobotan tanah dalam Putusan Nomor 451/Pid.B/2014/PN.Tjk. Putusan hakim ini sangat jauh berbeda dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa 1 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 17. Penuntut Umum (JPU), yaitu menuntut pidana penjara selama 1 tahun terhadap terdakwa Idham Basa Majid Bin Abdul Majid didakwa melakukan tindak pidana penyerobotan tanah sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Pasal 385 Ayat (4) KUHP. Sesuai dengan tuntutan dan dakwaaan tersebut maka terlihat adanya ketidaksamaan pandangan antara JPU dan Majelis Hakim dalam menentukan unsur-unsur tindak pidana penyerobotan tanah, sehingga majelis hakim justru memutus lepas terdakwa. Putusan hakim ini dapat berdampak pada timbulnya pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dan pengadilan. Rendahnya Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. Ketentuan mengenai putusan lepas diatur dalam Pasal 191 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP mengatur putusan bebas dan putusan lepas, sebagai berikut: (1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya, terdakwa tidak dipidana. Berbeda halnya jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak dipidana. Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas. Penilaian bebas sebuah putusan tersebut tergantung pada dua hal, yaitu: a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim. b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Permasalahan penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus lepas pelaku tindak pidana penyerobotan tanah dalam Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk? b. Apakah putusan lepas yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. II. Pembahasan A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Lepas Pelaku Tindak Pidana Penyerobotan Tanah dalam Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbanganpertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum karena kurang pertimbangan hukum. Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbanganpertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana, sehingga dapat dinyatakan bahwa putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilainilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. Terdakwa Idham Basa Majid Bin Abdul Majid dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 451/Pid.B/2014/PN.Tjk, tidak terbukti melakukan tindak pidana penyerobotan tanah tanah sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Pasal 385 Ayat (4) KUHP oleh Penuntut Umum. Pelaku tindak pidana penyerobotan tanah seharusnya mendapatkan hukuman paling lama empat tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 385 Ayat (4) KUHP, tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim memutus lepas Idham Basa Majid Bin Abdul Majid dari segala tuntutan hukum atas dakwaan tindak pidana penyerobotan tanah dalam Putusan Nomor 451/Pid.B/2014/PN.Tjk. Secara yuridis hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tindak pidana tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 KUHAP). Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3), maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertanggungjawaban hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya sebagai berikut: a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 Ayat (1) KUHAP). Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 Ayat (2) KUHAP). b. Keterangan saksi. Merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. c. Keterangan terdakwa. Menurut Pasal 184 KUHAP butir E keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangn terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri. d. Barang-barang Bukti Benda tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. e. Pasal-pasal yang didakwakan. Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum tindak pidana yang dilanggar oleh terdakwa. Majelis hakim menimbang dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa tindak pidana dengan Pasal 385 Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas tanah itu. Ancaman hukumannya adalah paling lama empat tahun penjara. Pertimbangan majelis hakim dari aspek yuridis adalah unsur-unsur Pasal 385 ke – 4 KUHP adalah sebagai berikut: 1. Unsur “ Barang siapa”; Menimbang, bahwa yang dimaksud “Barang siapa” adalah siapa saja selaku subyek hukum yang mampu bertanggung jawab; bahwa berdasarkan fakta yang diperoleh dipersidangan berdasarkan keterangan saksi Paring, Ir.H.Muhammad Hatta, Ahkmad Hasan dan saksi-saksi lainnya serta keterangan terdakwa, terdakwa adalah orang yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum, terdakwa adalah seorang yang sehat jasmani dan rohani dan mampu bertanggung jawab, sehingga dengan demikian unsur “Barang siapa” telah terpenuhi. 2. Unsur “Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain” Berdasarkan fakta yang diperoleh dipersidangan berdasarkan keterangan saksi Bambang Slamet Sugito yang pada pokoknya menyatakan bahwa saksi menyewa tanah tersebut dari terdakwa selama 3 (tiga) tahun dengan harga Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), namun baru dibayar Rp.7.500.000,(tujuh juta lima ratus ribu rupiah); dan terdakwa mengakui telah menerima uang dari Bambang Slamet Sigito sebesar Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah), yang berarti terdakwa mendapat keuntungan dari menyewakan tanah tersebut, sehingga dengan demikian unsur “Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain” telah terpenuhi. 3. Unsur “Secara melawan hukum menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu”; Menurut keterangan saksi Muhammad Hatta Bin Muhammad Hasan dan saksi Drs.Syarif Husin menyatakan bahwa tanah yang dikuasai terdakwa tersebut adalah tanah milik saksi Muhammad Hatta bin Muhammad Hasan yang diperoleh dari Karim dengan cara membeli pada tanggal 19 Februari 1998 seharga Rp.35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), Karim mendapatkan tanah tersebut membeli dengan harga Rp.25.000.000,(dua puluh lima juta rupiah) dari saksi Drs.Syarif Husin pada tahun 1994/1995; sedangkan Drs.Syarif Husin mendapatkan tanah tersebut membeli dari Rozhan Husin seharga Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah pada tahun 1991/1992, sedangkan Rozhan Husin memperoleh tanah tersebut dari Pembagian Pemda Tk-I Prop. Lampung; Pada tahun 2003 saat saksi Muhammad Hatta Bin Muhammad Hasan mau mendirikan bangunan, dilarang oleh saksi Ahmad Hasan, katanya tanah tersebut miliknya; Bahwa saksi Ahmad Hasan pernah menerima titipan bukti garapan dari Suradi, karena pada saat itu banyak orang yang menghendaki tanah milik Suradi tersebut, dan penitipan bukti garapan oleh Suradi dimaksudkan agar aman; Awalnya luas tanah milik Suradi adalah sekitar kurang lebih 3 Ha Bahwa bukti garapan milik Suradi yang dititipkan pada saksi Achmad Hasan telah diambil oleh terdakwa. Tanah milik Suradi telah dibagikan ke beberapa orang yaitu : dibagikan kepada terdakwa seluas 1 Ha; Dibagikan kepada Zulkifli Majid seluas 0,5 Ha; dan dikuasai oleh saksi Achmad Hasan seluas 1,5 Ha; Bahwa tanah tersebut dibagi-bagi karena tanah tersebut telah dibeli saksi Achmad Hasan. Menurut keterangan saksi Paring terdakwa telah merampas tanah yang sekarang dikuasainya serta Surat Garapan yang dititipkan pada saksi Achmad Hasan adalah atas nama suami saksi yang bernama Suradi. Bahwa foto copy Kwitansi yang menanda tangani adalah suami saksi, tetapi sampai saat ini uang sejumlah Rp. 200.000.- ( Dua ratus ribu rupiah ) tersebut oleh terdakwa belum dibayar; jadi itu masih tanah milik pak Suradi. Orang yang meminta tanda tangan pak Suradi pada kwitansi tanda terima tersebut adalah saksi Akhmad Hasan dengan janji jika uang dari terdakwa sebanyak Rp.200.000.- telah diberikan maka uang tersebut akan diberikan kepada saksi / Pak Suradi; Menurut keterangan terdakwa; pada tahun 1985 sebagian dari tanah milik Pak Suradi tersebut seluas 1 Ha terdakwa beli dengan harga Rp. 200.000.- ( Dua ratus ribu rupiah ) sebagaimana tercantum dalam kwitansi tanda terima tertanggal 05 Oktober 1985 yang ditanda tangani oleh Pak Suradi;dan diberikan kepada Zulkifli seluas 0,5 Ha dan dijual kepada Pak Hasan seluas 1,5 Ha; dengan diberikan ganti rugi garapan. Menimbang bahwa berdasarkan faktafakta tersebut di atas majelis berkesimpulan bahwa tanah yang menjadi obyek tindak pidana dalam perkara ini (tanah yang disewakan oleh terdakwa) masih belum jelas siapa yang berhak, karena baik saksi Muhammad Hatta Bin Muhammad Hasan, saksi Achmad Hasan, Saksi Paring/Suradi ataupun terdakwa masing-masing mengganggap berhak atas tanah yang menjadi obyek tindak pidana ini, sehingga dengan demikian terdakwa belum dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merupakan salah satu unsur dari perbuatan pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sebidang tanah yang dikuasai beberapa orang yang belum jelas pemiliknya, maka apabila salah seorang mengaku mempunyai hak atas tanah tersebut kemudian menjual, belum dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum yang merupakan salah satu unsure dari perbuatan pidana melanggar Pasal 385 ke-4 KUHP yang dikenal dalam hukum pidana sebagai Stallionet. Majelis sependapat dengan Penasehat Hukum terdakwa sepanjang pembuktian tentang tidak terbuktinya unsur melakukan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka terdakwa telah terbukti menyewakan tanah yang menjadi obyek tindak pidana dalam perkara ini kepada saksi Bambang Slamet Sugito, akan tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana, sehingga terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Majelis menimbang bahwa barangbarang bukti berupa surat-surat, sertifikat, akte jual beli dan kwitansi harus dikembalikan kepada yang berhak. Oleh karena terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum, maka biaya perkara dalam perkara ini dibebankan kepada Negara. Majelis hakim dengan memperhatikan Undang-undang No.49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman serta peraturan perundangan yang berlaku dalam KUHAP, dalam perkara ini mengadili: 1. Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa Hi.Idham Basa Majid Bin Abdul Majid telah terbukti,akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. 2. Melepaskan terdakwa Idham Basa Majid Bin Abdul Majid dari segala tuntutan hukum. 3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 4. Menyatakan barang bukti berupa 1(satu) bundle sertifikat Hak Milik No.9978/S.I atas nama Muhammad Hatta, Akta jual beli dari saksi Drs.Syarif Husin dengan Akte Jual beli No.23/6/Sr/1998 tanggal 8 April 1998 dihadapan PPAT/Notaris Marudin Pasaribu, Dikembalikan kepada saksi Muhammad Hatta. Kwitansi tanda terima uang senilai Rp.7.500.000,- dikembalikan kepada saksi Bambang Slamet Sugito dan Foto copy Kwitansi tanggal 5 Oktober 1985 yang ditandatangani oleh Suradi, terlampir dalam berkas perkara 5. Membebankan biaya perkara kepada Negara. Apabila seorang terdakwa diputus bebas, ataupun diputus lepas oleh suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, ia berhak untuk memperoleh suatu rehabilitasi. Rehabilitasi ini dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (2) KUHAP: “Rehabilitasi demikian diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)” Rehabilitasi lebih kepada hal yang tidak berhubungan dengan materi melainkan hanya menyangkut nama baik saja karena rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang hak atau kemampuan seseorang dalam posisi semula. Sementara pencemaran nama baik diatur dalam KUHP (mengenai pencemaran nama baik) adalah gugatan dari seseorang kepada orang lain yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Jadi tidak ada campur tangan aparat dalam hal upaya paksa. Permintaan rehabilitasi bisa diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya. Jadi ahli waris juga bisa mengajukan rehabilitasi Bentuk tanggung jawab pemerintah dalam mengembalikan kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat terdakwa yang diputus bebas dalam sidang pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP pada saat ini tidak efektif, dikarenakan pelaku yang oleh pengadilan diputus bebas tidak dikembalikan kembali harkat, martabat serta kedudukannya, dimana pengadilan hanya memberikan putusan lepas saja tanpa adanya perintah untuk memulihkan hak-hak terdakwa. Pada dasarnya seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi menyatakan: "memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya". Selanjutnya ditinjau dari aspek sosiologis antara lain dari sisi tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ternyata semua tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menganalisis bahwa akibat hukum putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah merupakan implikasi dari penegakan hukum. Penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.2 Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan hakim terhadap para terdakwa menunjukkan adanya upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum. Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit. Perlindungan hukum harus melihat 2 Mardjono Reksodiputro. Op. Cit, hlm.76. tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. B. Putusan Lepas oleh Majelis pada Perkara Tindak Pidana Penyerobotan Tanah dalam Perspektif Rasa Keadilan Masyarakat Majelis Hakim Tindak pidana penyerobotan tanah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dalam Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk, memutus lepas Idham Basa Majid Bin Abdul Majid terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah. Putusan lepas ini tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, karena perbuatan terdakwa mengakibatkan korban mengalami kerugian. Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. 3 Menurut Todo Batara Silalahi, ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat.4 Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. 3 Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 155. Hasil wawancara dengan Todo Batara Silalahi. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung. Rabu 8 Maret 2017 4 Hakim dalam menilai kebenaran keterangan para saksi maupun terdakwa, harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian keterangan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Tugas hakim sangatlah berat, karena tidak hanya mempertimbangkan kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang dihadapi melainkan juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar terwujud adanya kepastian hukum. Putusan hakim memang tetap dituntut oleh masyarakat untuk berlaku adil, namun sebagai manusia juga hakim dalam putusannya tidaklah mungkin memuaskan semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta hukum di dalam persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas) dan disertai dengan hati nurani hakim. Bahkan hakim juga disebut sebagai wakil Tuhan di dunia dalam arti harus tercermin dalam putusan perkara yang sedang ditanganinya, maka sebagai seorang hakim tidak perlu ragu, melainkan tetap tegak dalam garis kebenaran dan tidak berpihak (imparsial), namun putusan hakim juga paling tidak dapat dilaksanakan oleh pencari keadilan atau tidak hanya sekedar putusan yang tidak bisa dilaksanakan. Menurut Sanusi Husin, putusan hakim merupakan hasil dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk di dalamnya berat ringannya penerapan pidana penjara atau pidana perampasan kemerdekaan5 Penjelasan di atas sesuai asas hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber pada undang-undang, artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-Undang. Terkait hakim yang menjatuhkan pidana minimal terhadap terdakwa, menurut penulis hal tersebut tidak selamanya dapat diterapkan karena berpotensi menjadi yurisprudensi di masa-masa yang akan datang, namun demikian Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa putusan hakim bersifat independen dan harus bebas dari intervensi dari pihak manapun, dalam kondisi yang demikian semua putusan hakim harus memenuhi kepentingan korban atas keadilan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.6 Menurut pendapat penulis, pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah yang menyebabkan kerugian bagi korban belum memenuhi unsur keadilan, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana tidak mempertimbangkan besarnya kerugian materil yang dialami korban, tidak 5 Hasil wawancara dengan Sanusi Husin. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Jumat 17 Maret 2017 6 Satjipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. 33 memberikan efek jera dan tidak menjadi pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan kesalahan serupa. Hakim seharusnya sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan melalui putusannya yang didasarkan pada keyakinan, integritas moral yang baik serta mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa keadilan hakim dalam proses peradilan tidak hanya mengacu pada ketentuan hukum secara formal, tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kepentingan pelaku, korban, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Masyarakat menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturanperaturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama, akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana penyerobotan tanah seharusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan mendapatkan pidana maksimal sesuai dengan ketentuan undang-undang. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. III. PENUTUP B.Saran A.Simpulan 1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus lepas pelaku tindak pidana penyerobotan tanah dalam Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk adalah pertimbangan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana penyerobotan tanah sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Perbuatan terdakwa terbukti dilakukan, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Hakim mempertimbangkan tiga aspek yaitu yuridis, filosofis dan sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu hakim membuktikan unsurunsur Pasal 385 ke – 4 KUHP, pertimbangan filosofis yaitu hukum berfungsi sebagai alat untuk menciptakan keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum dan secara sosiologis yaitu tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. 2. Putusan lepas oleh majelis terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah belum memenuhi rasa keadilan karena, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana tidak mempertimbangkan besarnya kerugian materil yang dialami korban, tidak memberikan efek jera dan tidak menjadi pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan kesalahan serupa. Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Majelis hakim yang menangani tindak pidana penyerobotan tanah di masa yang akan datang diharapkan untuk mempertimbangkan rasa keadilan dalam menjatuhkan putusan, sebab penyerobotan tanah berdampak pada kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku. Selain itu untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai upaya untuk mengantisipasi agar tidak terjadi tindak pidana serupa dalam kehidupan masyarakat. 2. Masyarakat yang merasa dirugikan akibat tindak pidana penyerobotan tanah, disarankan untuk mengajukan gugatan secara perdata sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian materi yang dialaminya. Selain itu masyarakat hendaknya meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap kemungkinan adanya tindak pidana penyerobotan tanah, misalnya dengan selalu membuat perjanjian tertulis jika membuat kesepakatan atau kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Adityta Bakti, Bandung. Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. ----------, 2000. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Sinar Grafika. Jakarta. Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu, Surabaya. Nawawi Arief, Barda. 2001. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung. ----------,2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Prodjohamidjojo, Martiman, 1997. Pertanggungjawaban Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Setiadi, Edi. 1997. Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung. Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas IndonesiaPress. Jakarta. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakukan Kitab Undang- Undang (KUHP) Hukum Pidana Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Ordonansi Peraturan Hukum Sementara Istimewa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana