Jurnal Kata (Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya)

advertisement
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PENYEROBOTAN TANAH YANG DIPUTUS LEPAS
(Studi Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk)
(Jurnal Skripsi)
Oleh
FITRA SUANADIA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRAK
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PENYEROBOTAN TANAH YANG DIPUTUS LEPAS
(Studi Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk)
Oleh
Fitra Suanadia. Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Email: [email protected]. Erna Dewi, Budi Rizki Husin. Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri
Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145.
Pelaku tindak pidana penyerobotan tanah seharusnya mendapatkan hukuman paling lama
empat tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 385 Ayat (4) KUHP, tetapi pada kenyataannya
dalam Putusan Nomor 451/Pid.B/2014/PN.Tjk, Majelis Hakim memutus lepas terdakwa
dari segala tuntutan hukum. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah dasar
pertimbangan hakim dalam memutus lepas pelaku tindak pidana penyerobotan tanah
dalam Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk? (2) Apakah putusan lepas yang
dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Narasumber terdiri dari jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung, hakim pada
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan akademisi hukum pidana Fakultas Hukum Unila.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data
dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat
disimpulkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam memutus lepas pelaku tindak pidana
penyerobotan tanah dalam Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk adalah pertimbangan
bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana penyerobotan tanah sebagaimana
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Perbuatan terdakwa terbukti dilakukan, namun
perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Hakim mempertimbangkan tiga aspek
yaitu yuridis, filosofis dan sosiologis. Pertimbangan yuridis yaitu hakim membuktikan
unsur-unsur Pasal 385 ke – 4 KUHP, pertimbangan filosofis yaitu hukum berfungsi
sebagai alat untuk menciptakan keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum dan secara
sosiologis yaitu tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan
kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang. Berdasarkan pertimbangan
tersebut maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. (2) Putusan lepas oleh
majelis terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah belum memenuhi rasa keadilan
karena, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana tidak mempertimbangkan besarnya
kerugian materil yang dialami korban, tidak memberikan efek jera dan tidak menjadi
pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan kesalahan serupa.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Penyerobotan Tanah, Putusan Lepas
ABSTRACT
ANALYSIS OF JUDGES BASIS CONSIDERATION IN DECIDING OFF THE
PERPETRATORS OF CRIMINAL ACTS OF LAND GRABBING
(Study of Decision Number: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk)
By
FITRA SUANADIA
The perpetrator of the criminal act of land grabbing should get a maximum of four years
in accordance with the provisions of Article 385 Paragraph (4) of the Criminal Code, but
in fact in Decision Number 451/Pid.B/2014/PN.Tjk, the Panel of Judges dismissed the
defendant from all lawsuits . The problems of this research are: (1) What is the basis of
judges' consideration in breaking off the perpetrators of criminal acts of land grabs in
Decision Number: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk? (2) What is the freelance judge handed down
by the judge to the perpetrator of the crime of land grabbing in accordance with the sense
of community justice? This research uses juridical normative and juridical empirical
approach. The resource persons consisted of prosecutors at the Lampung High Court, the
judge at the Tanjung Karang District Court and the criminal law academician of the Law
Faculty of Unila. Data collection was done by literature study and field study. Data
analysis is done qualitatively. Based on the result of the research and discussion, it can be
concluded: (1) The basis of judges' consideration in deciding off the perpetrators of
criminal acts of land grabbing in Decision Number: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk is the
consideration that the defendant is not proven to commit the crime of land grabbing as
Charged by the Public Prosecutor. The defendant's actions are proven, but the act is not a
crime. The judge considers three aspects of juridical, philosophical and sociological.
Judicial consideration of the judges to prove the elements of Article 385 to - 4 of the
Criminal Code, philosophical considerations that the law serves as a tool to create
justice, order, and legal certainty and sociologically the goal of rehabilitation is as a
means and efforts to restore the good name, And one's dignity. Based on these
considerations, the defendant is released from all lawsuits. (2) The acquittal by the
assembly of the perpetrators of criminal acts of land grabs has not fulfilled the sense of
justice because, because the judge in the imposition of a criminal does not consider the
amount of material loss suffered by the victim, does not provide a deterrent effect and
does not become a learning for the other party in order to avoid similar mistakes.
Keywords: Judge's Consideration, Land Acquisition, Decision Off
I. Pendahuluan
Manusia dituntut untuk dapat Tindak
pidana merupakan perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang
dan patut dipidana sesuai dengan
kesalahannya sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang. Pelaku tindak
pidana adalah setiap orang yang
melakukan perbuatan melanggar atau
melawan
hukum
sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang.
Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi
demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum. 1
Penyerobotan tanah merupakan salah
satu jenis tindak pidana yang terjadi
dalam
kehidupan
masyarakat.
Pengaturan mengenai tindak pidana
penyerobotan tanah menurut Pasal 385
Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP): barangsiapa dengan
maksud yang sama, menggadaikan atau
menyewakan tanah dengan hak tanah
yang belum bersertifikat, padahal ia tahu
bahwa orang lain yang mempunyai hak
atau turut mempunyai hak atas tanah itu.
Pelaku tindak pidana penyerobotan tanah
seharusnya
mendapatkan
hukuman
paling lama empat tahun sesuai dengan
ketentuan Pasal 385 Ayat (4) KUHP,
tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim
memutus lepas Idham Basa Majid Bin
Abdul Majid dari segala tuntutan hukum
atas
dakwaan
tindak
pidana
penyerobotan tanah dalam Putusan
Nomor 451/Pid.B/2014/PN.Tjk.
Putusan hakim ini sangat jauh berbeda
dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa
1
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana
dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 17.
Penuntut Umum (JPU), yaitu menuntut
pidana penjara selama 1 tahun terhadap
terdakwa Idham Basa Majid Bin Abdul
Majid didakwa melakukan tindak pidana
penyerobotan
tanah
sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan Pasal 385
Ayat (4) KUHP. Sesuai dengan tuntutan
dan dakwaaan tersebut maka terlihat
adanya ketidaksamaan pandangan antara
JPU dan Majelis Hakim dalam
menentukan unsur-unsur tindak pidana
penyerobotan tanah, sehingga majelis
hakim justru memutus lepas terdakwa.
Putusan hakim ini dapat berdampak pada
timbulnya pandangan negatif masyarakat
terhadap
hakim
dan pengadilan.
Rendahnya
Pandangan
negatif
masyarakat terhadap hakim dapat
dihindari dengan memutus perkara
secara adil dan teliti, sehingga tidak
menimbulkan kesenjangan terhadap
suatu putusan. Dari dalam diri hakim
hendaknya
lahir,
tumbuh
dan
berkembang adanya sikap/sifat kepuasan
moral jika keputusan yang dibuatnya
dapat menjadi tolak ukur untuk kasus
yang sama, sebagai bahan referensi bagi
kalangan teoritis dan praktisi hukum
serta kepuasan nurani jika sampai
dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah
Agung jika perkara tersebut sampai ke
tingkat banding atau kasasi. Hakim
dalam
membuat
putusan
harus
memperhatikan
segala
aspek
di
dalamnya, yaitu mulai dari perlunya
kehati-hatian serta dihindari sedikit
mungkin ketidakcermatan, baik bersifat
formal maupun materiil sampai dengan
adanya
kecakapan teknik
dalam
membuatnya.
Ketentuan mengenai putusan lepas diatur
dalam Pasal 191 Ayat (1) dan Ayat (2)
KUHAP mengatur putusan bebas dan
putusan lepas, sebagai berikut:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan
itu tidak merupakan suatu tindakan
pidana, maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum.
Putusan
bebas
berarti
terdakwa
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum
dalam arti dibebaskan dari pemidanaan.
Tegasnya, terdakwa tidak dipidana.
Berbeda
halnya
jika
pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa tidak
dipidana. Terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum sebagaimana
disebut dalam Pasal 191 Ayat (2)
KUHAP, maka ini dinamakan putusan
lepas.
Penilaian bebas sebuah putusan tersebut
tergantung pada dua hal, yaitu:
a. Tidak memenuhi asas pembuktian
menurut
undang-undang secara
negatif
Pembuktian yang diperoleh di
persidangan
tidak
cukup
membuktikan kesalahan terdakwa
dan sekaligus kesalahan terdakwa
yang tidak cukup terbukti itu tidak
diyakini oleh hakim.
b. Tidak
memenuhi
asas
batas
minimum pembuktian
Kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa hanya didukung oleh satu
alat bukti saja, sedang menurut
ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar
cukup
membuktikan
kesalahan
seorang terdakwa harus dibuktikan
dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah.
Permasalahan penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah dasar pertimbangan
hakim dalam memutus lepas pelaku
tindak pidana penyerobotan tanah
dalam
Putusan
Nomor:
451/Pid.B/2014/PN.Tjk?
b. Apakah
putusan
lepas
yang
dijatuhkan hakim terhadap pelaku
tindak pidana penyerobotan tanah
sesuai
dengan
rasa
keadilan
masyarakat?
Penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan.
Analisis data dilakukan secara kualitatif.
II. Pembahasan
A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam
Memutus Lepas Pelaku Tindak
Pidana
Penyerobotan
Tanah
dalam
Putusan
Nomor:
451/Pid.B/2014/PN.Tjk
Putusan hakim merupakan puncak dari
perkara pidana, sehingga hakim harus
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya
selain dari aspek yuridis, sehingga
putusan
hakim
tersebut
lengkap
mencerminkan nilai-nilai sosiologis,
filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya
dengan
adanya
pertimbanganpertimbangan
tersebut
diharapkan
nantinya dihindari sedikit mungkin
putusan hakim menjadi batal demi
hukum karena kurang pertimbangan
hukum.
Praktik peradilan pidana pada putusan
hakim
sebelum
pertimbanganpertimbangan yuridis dibuktikan, maka
hakim terlebih dahulu akan menarik
fakta-fakta dalam persidangan yang
timbul
dan
merupakan
konklusi
kumulatif dari keterangan para saksi,
keterangan terdakwa, dan barang bukti
yang diajukan dan diperiksa di
persidangan. Putusan hakim atau putusan
pengadilan merupakan aspek penting
dan diperlukan untuk menyelesaiakn
perkara
pidana,
sehingga
dapat
dinyatakan bahwa putusan hakim di satu
pihak berguna bagi terdakwa guna
memperoleh kepastian hukum tentang
statusnya
dan
sekaligus
dapat
mempersiapakan langkah berikutnya
terhadap putusan tersebut dalam arti
dapat berupa menerima putusan,
melakukan upaya hukum verzet,
banding, atau kasasi, melakukan grasi,
dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila
ditelaah melalui visi hakim yang
mengadili perkara, putusan hakim adalah
mahkota dan puncak pencerminan nilainilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM,
penguasaan hukum atau fakta secara
mapan, mumpuni, dan faktual, serta
visualisasi etika, mentalitas, dan
moralitas dari hakim yang bersangkutan.
Terdakwa Idham Basa Majid Bin Abdul
Majid dalam Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung
Karang
Nomor
451/Pid.B/2014/PN.Tjk, tidak terbukti
melakukan tindak pidana penyerobotan
tanah tanah sebagaimana dimaksud
dalam dakwaan Pasal 385 Ayat (4)
KUHP oleh Penuntut Umum.
Pelaku tindak pidana penyerobotan tanah
seharusnya
mendapatkan
hukuman
paling lama empat tahun sesuai dengan
ketentuan Pasal 385 Ayat (4) KUHP,
tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim
memutus lepas Idham Basa Majid Bin
Abdul Majid dari segala tuntutan hukum
atas
dakwaan
tindak
pidana
penyerobotan tanah dalam Putusan
Nomor 451/Pid.B/2014/PN.Tjk.
Secara yuridis hakim dalam hal
menjatuhkan pidana kepada terdakwa
tindak pidana tidak boleh menjatuhkan
pidana kecuali dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah,
sehingga hakim memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat
bukti sah yang dimaksud adalah: (a)
Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli;
(c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan
Terdakwa, atau hal yang secara umum
sudah diketahui sehingga tidak perlu
dibuktikan (Pasal 184 KUHAP). Pasal
185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan
bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya, sedangkan
dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan
tersebut tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
(unus testis nullus testis). Saksi korban
juga berkualitas sebagai saksi, sehingga
apabila terdapat alat bukti yang lain
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3),
maka hal itu cukup untuk menuntut
pelaku tindak pidana.
Pertimbangan yang bersifat yuridis
adalah pertanggungjawaban hakim yang
didasarkan pada faktor-faktor yang
terungkap di dalam persidangan dan oleh
undang-undang telah ditetapkan sebagai
hal yang harus dimuat di dalam putusan.
Pertimbangan yang bersifat yuridis di
antaranya sebagai berikut:
a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan merupakan dasar hukum
acara pidana karena berdasarkan
itulah pemeriksaan di persidangan
dilakukan (Pasal 143 Ayat (1)
KUHAP). Dakwaan berisi identitas
terdakwa juga memuat uraian tindak
pidana serta waktu dilakukannya
tindak pidana dan memuat pasal
yang dilanggar (Pasal 143 Ayat (2)
KUHAP).
b. Keterangan saksi. Merupakan alat
bukti seperti yang diatur dalam Pasal
184 KUHAP. Sepanjang keterangan
itu mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri
dan alami sendiri, dan harus
disampaikan
dalam
sidang
pengadilan dengan mengangkat
sumpah.
c. Keterangan terdakwa. Menurut Pasal
184 KUHAP butir E keterangan
terdakwa digolongkan sebagai alat
bukti. Keterangn terdakwa adalah
apa yang dinyatakan terdakwa di
sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau yang ia alami sendiri.
d. Barang-barang Bukti
Benda tersangka atau terdakwa yang
seluruhnya atau sebagian diduga atau
diperoleh dari tindak pidana atau
sebagai hasil dari tindak pidana.
e. Pasal-pasal yang didakwakan. Hal
yang sering terungkap di persidangan
adalah pasal-pasal yang dikenakan
untuk menjatuhkan pidana kepada
terdakwa. Pasal-pasal ini bermula
dan terlihat dalam surat dakwaan
yang diformulasikan oleh penuntut
umum sebagai ketentuan hukum
tindak pidana yang dilanggar oleh
terdakwa.
Majelis hakim menimbang dakwaan
Jaksa
Penuntut
Umum
terhadap
terdakwa tindak pidana dengan Pasal
385 Ayat (4) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP): barangsiapa
dengan
maksud
yang
sama,
menggadaikan atau menyewakan tanah
dengan hak tanah yang belum
bersertifikat, padahal ia tahu bahwa
orang lain yang mempunyai hak atau
turut mempunyai hak atas tanah itu.
Ancaman hukumannya adalah paling
lama empat tahun penjara.
Pertimbangan majelis hakim dari aspek
yuridis adalah unsur-unsur Pasal 385 ke
– 4 KUHP adalah sebagai berikut:
1. Unsur “ Barang siapa”;
Menimbang, bahwa yang dimaksud
“Barang siapa” adalah siapa saja selaku
subyek
hukum
yang
mampu
bertanggung jawab; bahwa berdasarkan
fakta yang diperoleh dipersidangan
berdasarkan keterangan saksi Paring,
Ir.H.Muhammad Hatta, Ahkmad Hasan
dan saksi-saksi lainnya serta keterangan
terdakwa, terdakwa adalah orang yang
didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum
melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan Jaksa Penuntut Umum,
terdakwa adalah seorang yang sehat
jasmani dan rohani dan mampu
bertanggung jawab, sehingga dengan
demikian unsur “Barang siapa” telah
terpenuhi.
2. Unsur “Dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau
orang lain”
Berdasarkan fakta yang diperoleh
dipersidangan berdasarkan keterangan
saksi Bambang Slamet Sugito yang pada
pokoknya menyatakan bahwa saksi
menyewa tanah tersebut dari terdakwa
selama 3 (tiga) tahun dengan harga
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah),
namun baru dibayar Rp.7.500.000,(tujuh juta lima ratus ribu rupiah); dan
terdakwa mengakui telah menerima uang
dari Bambang Slamet Sigito sebesar
Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu
rupiah), yang berarti terdakwa mendapat
keuntungan dari menyewakan tanah
tersebut, sehingga dengan demikian
unsur “Dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain” telah
terpenuhi.
3. Unsur “Secara melawan hukum
menggadaikan atau menyewakan
tanah dengan hak Indonesia, padahal
diketahui bahwa orang lain yang
mempunyai atau turut mempunyai
hak atas tanah itu”;
Menurut keterangan saksi Muhammad
Hatta Bin Muhammad Hasan dan saksi
Drs.Syarif Husin menyatakan bahwa
tanah yang dikuasai terdakwa tersebut
adalah tanah milik saksi Muhammad
Hatta bin Muhammad Hasan yang
diperoleh dari Karim dengan cara
membeli pada tanggal 19 Februari 1998
seharga Rp.35.000.000,- (tiga puluh lima
juta rupiah), Karim mendapatkan tanah
tersebut
membeli dengan harga Rp.25.000.000,(dua puluh lima juta rupiah) dari saksi
Drs.Syarif Husin pada tahun 1994/1995;
sedangkan
Drs.Syarif
Husin
mendapatkan tanah tersebut membeli
dari
Rozhan
Husin
seharga
Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah pada
tahun 1991/1992, sedangkan Rozhan
Husin memperoleh tanah tersebut dari
Pembagian Pemda Tk-I Prop. Lampung;
Pada tahun 2003 saat saksi Muhammad
Hatta Bin Muhammad Hasan mau
mendirikan bangunan, dilarang oleh
saksi Ahmad Hasan, katanya tanah
tersebut miliknya; Bahwa saksi Ahmad
Hasan pernah menerima titipan bukti
garapan dari Suradi, karena pada saat itu
banyak orang yang menghendaki tanah
milik Suradi tersebut, dan penitipan
bukti garapan oleh Suradi dimaksudkan
agar aman;
Awalnya luas tanah milik Suradi adalah
sekitar kurang lebih 3 Ha Bahwa bukti
garapan milik Suradi yang dititipkan
pada saksi Achmad Hasan telah diambil
oleh terdakwa. Tanah milik Suradi telah
dibagikan ke beberapa orang yaitu :
dibagikan kepada terdakwa seluas 1 Ha;
Dibagikan kepada Zulkifli Majid seluas
0,5 Ha; dan dikuasai oleh saksi Achmad
Hasan seluas 1,5 Ha; Bahwa tanah
tersebut dibagi-bagi karena tanah
tersebut telah dibeli saksi Achmad
Hasan.
Menurut keterangan saksi Paring
terdakwa telah merampas tanah yang
sekarang dikuasainya serta Surat
Garapan yang dititipkan pada saksi
Achmad Hasan adalah atas nama suami
saksi yang bernama Suradi. Bahwa foto
copy Kwitansi yang menanda tangani
adalah suami saksi, tetapi sampai saat ini
uang sejumlah Rp. 200.000.- ( Dua ratus
ribu rupiah ) tersebut oleh terdakwa
belum dibayar; jadi itu masih tanah milik
pak Suradi. Orang yang meminta tanda
tangan pak Suradi pada kwitansi tanda
terima tersebut adalah saksi Akhmad
Hasan dengan janji jika uang dari
terdakwa sebanyak Rp.200.000.- telah
diberikan maka uang tersebut akan
diberikan kepada saksi / Pak Suradi;
Menurut keterangan terdakwa; pada
tahun 1985 sebagian dari tanah milik
Pak Suradi tersebut seluas 1 Ha
terdakwa beli dengan harga Rp.
200.000.- ( Dua ratus ribu rupiah )
sebagaimana tercantum dalam kwitansi
tanda terima tertanggal 05 Oktober 1985
yang ditanda tangani oleh Pak
Suradi;dan diberikan kepada Zulkifli
seluas 0,5 Ha dan dijual kepada Pak
Hasan seluas 1,5 Ha; dengan diberikan
ganti rugi garapan.
Menimbang bahwa berdasarkan faktafakta
tersebut
di
atas
majelis
berkesimpulan bahwa tanah yang
menjadi obyek tindak pidana dalam
perkara ini (tanah yang disewakan oleh
terdakwa) masih belum jelas siapa yang
berhak, karena baik saksi Muhammad
Hatta Bin Muhammad Hasan, saksi
Achmad Hasan, Saksi Paring/Suradi
ataupun
terdakwa
masing-masing
mengganggap berhak atas tanah yang
menjadi obyek tindak pidana ini,
sehingga dengan demikian terdakwa
belum dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum yang
merupakan salah satu unsur dari
perbuatan pidana yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa
sebidang tanah yang dikuasai beberapa
orang yang belum jelas pemiliknya,
maka apabila salah seorang mengaku
mempunyai hak atas tanah tersebut
kemudian menjual,
belum dapat
dikatakan
melakukan
perbuatan
melawan hukum yang merupakan salah
satu unsure dari perbuatan pidana
melanggar Pasal 385 ke-4 KUHP yang
dikenal dalam hukum pidana sebagai
Stallionet. Majelis sependapat dengan
Penasehat Hukum terdakwa sepanjang
pembuktian tentang tidak terbuktinya
unsur melakukan perbuatan melawan
hukum.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka
terdakwa telah terbukti menyewakan
tanah yang menjadi obyek tindak pidana
dalam perkara ini kepada saksi Bambang
Slamet Sugito, akan tetapi perbuatan
tersebut bukanlah merupakan tindak
pidana, sehingga terdakwa harus dilepas
dari segala tuntutan hukum dan
memulihkan hak terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya.
Majelis menimbang bahwa barangbarang
bukti
berupa
surat-surat,
sertifikat, akte jual beli dan kwitansi
harus dikembalikan kepada yang berhak.
Oleh karena terdakwa dilepas dari segala
tuntutan hukum, maka biaya perkara
dalam perkara ini dibebankan kepada
Negara.
Majelis hakim dengan memperhatikan
Undang-undang No.49 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman serta
peraturan perundangan yang berlaku
dalam KUHAP, dalam perkara ini
mengadili:
1. Menyatakan
perbuatan
yang
didakwakan
kepada
terdakwa
Hi.Idham Basa Majid Bin Abdul
Majid telah terbukti,akan tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan
suatu tindak pidana.
2. Melepaskan terdakwa Idham Basa
Majid Bin Abdul Majid dari segala
tuntutan hukum.
3. Memulihkan hak terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya.
4. Menyatakan barang bukti berupa
1(satu) bundle sertifikat Hak Milik
No.9978/S.I atas nama Muhammad
Hatta, Akta jual beli dari saksi
Drs.Syarif Husin dengan Akte Jual
beli No.23/6/Sr/1998 tanggal 8 April
1998
dihadapan
PPAT/Notaris
Marudin Pasaribu, Dikembalikan
kepada saksi Muhammad Hatta.
Kwitansi tanda terima uang senilai
Rp.7.500.000,- dikembalikan kepada
saksi Bambang Slamet Sugito dan
Foto copy Kwitansi tanggal 5
Oktober 1985 yang ditandatangani
oleh Suradi, terlampir dalam berkas
perkara
5. Membebankan biaya perkara kepada
Negara.
Apabila seorang terdakwa diputus bebas,
ataupun diputus lepas oleh suatu putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap, ia berhak untuk memperoleh suatu
rehabilitasi. Rehabilitasi ini dicantumkan
sekaligus dalam putusan pengadilan
yang membebaskan atau melepaskan
terdakwa tersebut. Hal ini diatur
dalam Pasal 97
ayat (2) KUHAP:
“Rehabilitasi demikian diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan
sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (1)”
Rehabilitasi lebih kepada hal yang tidak
berhubungan dengan materi melainkan
hanya menyangkut nama baik saja
karena rehabilitasi adalah pemulihan hak
seseorang
hak
atau
kemampuan
seseorang
dalam
posisi
semula.
Sementara pencemaran nama baik diatur
dalam KUHP (mengenai pencemaran
nama baik) adalah gugatan dari
seseorang kepada orang lain yang
dianggap telah mencemarkan nama
baiknya. Jadi tidak ada campur tangan
aparat dalam hal upaya paksa.
Permintaan rehabilitasi bisa diajukan
oleh tersangka, keluarga atau kuasanya.
Jadi ahli waris juga bisa mengajukan
rehabilitasi
Bentuk tanggung jawab pemerintah
dalam mengembalikan kemampuan,
kedudukan, harkat serta martabat
terdakwa yang diputus bebas dalam
sidang pengadilan berdasarkan ketentuan
Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP pada saat
ini tidak efektif, dikarenakan pelaku
yang oleh pengadilan diputus bebas tidak
dikembalikan kembali harkat, martabat
serta kedudukannya, dimana pengadilan
hanya memberikan putusan lepas saja
tanpa
adanya
perintah
untuk
memulihkan hak-hak terdakwa. Pada
dasarnya seseorang berhak memperoleh
rehabilitasi apabila oleh pengadilan
diputus bebas atau diputus lepas dari
segala tuntutan hukum yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Rehabilitasi tersebut diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan.
Amar
putusan
dari
pengadilan
mengenai
rehabilitasi
menyatakan: "memulihkan hak terdakwa
dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya".
Selanjutnya
ditinjau
dari
aspek
sosiologis antara lain dari sisi tujuan
rehabilitasi adalah sebagai sarana dan
upaya untuk memulihkan kembali nama
baik, kedudukan, dan martabat seseorang
yang telah sempat menjalani tindakan
penegakan
hukum
baik
berupa
penangkapan, penahanan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Padahal ternyata semua tindakan yang
dikenakan kepada dirinya merupakan
tindakan tanpa alasan yang sah menurut
undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis
dapat menganalisis bahwa akibat hukum
putusan lepas dari segala tuntutan hukum
terhadap
pelaku
tindak
pidana
penyerobotan tanah merupakan implikasi
dari penegakan hukum. Penegakan
hukum adalah upaya yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum dalam
rangka menjamin kepastian hukum,
ketertiban dan perlindungan hukum pada
era modernisasi dan globalisasi saat ini
dapat terlaksana, apabila berbagai
dimensi kehidupan hukum selalu
menjaga keselarasan, keseimbangan dan
keserasian antara moralitas sipil yang
didasarkan oleh nilai-nilai aktual di
dalam masyarakat beradab. Sebagai
suatu proses kegiatan yang meliputi
berbagai pihak termasuk masyarakat
dalam kerangka pencapaian tujuan,
adalah
keharusan
untuk
melihat
penegakan hukum pidana sebagai sistem
peradilan pidana.2
Putusan lepas dari segala tuntutan
hukum yang dijatuhkan hakim terhadap
para terdakwa menunjukkan adanya
upaya yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum dalam rangka menjamin
kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum. Kepastian hukum
ditujukan pada sikap lahir manusia, ia
tidak mempersoalkan apakah sikap batin
seseorang itu baik atau buruk, yang
diperhatikan
adalah
bagaimana
perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum
tidak memberi sanksi kepada seseorang
yang mempunyai sikap batin yang
buruk, akan tetapi yang di beri sanksi
adalah perwujudan dari sikap batin yang
buruk tersebut atau menjadikannya
perbuatan yang nyata atau konkrit.
Perlindungan hukum harus melihat
2
Mardjono Reksodiputro. Op. Cit, hlm.76.
tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat
yang
pada
dasarnya
merupakan kesepakatan masyarakat
tersebut untuk mengatur hubungan
prilaku
antara
anggota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan
dengan pemerintah yang dianggap
mewakili kepentingan masyarakat.
B. Putusan Lepas oleh Majelis pada
Perkara
Tindak
Pidana
Penyerobotan
Tanah
dalam
Perspektif
Rasa
Keadilan
Masyarakat
Majelis
Hakim
Tindak
pidana
penyerobotan tanah pada Pengadilan
Negeri Kelas IA Tanjung Karang dalam
Putusan Nomor: 451/Pid.B/2014/PN.Tjk,
memutus lepas Idham Basa Majid Bin
Abdul Majid terhadap pelaku tindak
pidana penyerobotan tanah. Putusan
lepas ini tidak sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat, karena perbuatan
terdakwa
mengakibatkan
korban
mengalami kerugian.
Pandangan negatif masyarakat terhadap
hakim dapat dihindari dengan memutus
perkara secara adil dan teliti, sehingga
tidak
menimbulkan
kesenjangan
terhadap suatu putusan. Dari dalam diri
hakim hendaknya lahir, tumbuh dan
berkembang adanya sikap/sifat kepuasan
moral jika keputusan yang dibuatnya
dapat menjadi tolak ukur untuk kasus
yang sama, sebagai bahan referensi bagi
kalangan teoritis dan praktisi hukum
serta kepuasan nurani jika sampai
dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah
Agung jika perkara tersebut sampai ke
tingkat banding atau kasasi. Hakim
dalam
membuat
putusan
harus
memperhatikan
segala
aspek
di
dalamnya, yaitu mulai dari perlunya
kehati-hatian serta dihindari sedikit
mungkin ketidakcermatan, baik bersifat
formal maupun materiil sampai dengan
adanya
kecakapan teknik
dalam
membuatnya. 3
Menurut Todo Batara Silalahi, ketentuan
mengenai perumusan pidana maksimum
dan minimum dikenal dengan pola
pemidanaan baru, yaitu minimum khusus
dengan tujuan untuk menghindari
adanya disparitas pidana yang sangat
mencolok untuk tindak pidana yang
secara hakiki tidak berbeda kualitasnya,
lebih mengefektifkan pengaruh prevensi
umum, khususnya bagi tindak pidana
yang dipandang membahayakan dan
meresahkan masyarakat.4
Ketentuan mengenai pidana penjara
menganut asas maksimum khusus dan
minimum khusus. Pada prinsipnya,
pidana minimum khusus merupakan
suatu pengecualian, yaitu hanya untuk
tindak pidana tertentu yang dipandang
sangat merugikan, membahayakan, atau
meresahkan masyarakat dan untuk
tindak pidana yang dikualifikasi atau
diperberat oleh akibatnya. Ketentuan
mengenai pidana minimum (khusus) dan
maksimum menegaskan bahwa terhadap
kejahatan-kejahatan yang meresahkan
masyarakat
diberlakukan
ancaman
secara khusus.
3
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 155.
Hasil wawancara dengan Todo Batara Silalahi.
Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung. Rabu 8
Maret 2017
4
Hakim dalam menilai kebenaran
keterangan para saksi maupun terdakwa,
harus
dengan
sungguh-sungguh
memperhatikan: persesuaian antara
keterangan saksi satu dengan yang lain,
persesuaian
keterangan
antara
keterangan saksi dengan alat bukti lain,
alasan yang mungkin dipergunakan oleh
saksi untuk memberi keterangan yang
tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi,
serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya.
Tugas hakim sangatlah berat, karena
tidak
hanya
mempertimbangkan
kepentingan hukum saja dalam putusan
perkara yang dihadapi melainkan juga
mempertimbangkan
rasa
keadilan
masyarakat agar terwujud adanya
kepastian hukum. Putusan hakim
memang tetap dituntut oleh masyarakat
untuk berlaku adil, namun sebagai
manusia juga hakim dalam putusannya
tidaklah mungkin memuaskan semua
pihak, tetapi walaupun begitu hakim
tetap diharapkan menghasilkan putusan
yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta
hukum di dalam persidangan yang
didasari pada aturan dasar hukum yang
jelas (azas legalitas) dan disertai dengan
hati nurani hakim. Bahkan hakim juga
disebut sebagai wakil Tuhan di dunia
dalam arti harus tercermin dalam
putusan
perkara
yang
sedang
ditanganinya, maka sebagai seorang
hakim tidak perlu ragu, melainkan tetap
tegak dalam garis kebenaran dan tidak
berpihak (imparsial), namun putusan
hakim juga paling tidak dapat
dilaksanakan oleh pencari keadilan atau
tidak hanya sekedar putusan yang tidak
bisa dilaksanakan.
Menurut Sanusi Husin, putusan hakim
merupakan hasil dari kewenangan
mengadili setiap perkara yang ditangani
dan didasari pada Surat Dakwaan dan
fakta-fakta
yang
terungkap
di
persidangan dan dihubungkan dengan
penerapan dasar hukum yang jelas,
termasuk di dalamnya berat ringannya
penerapan pidana penjara atau pidana
perampasan kemerdekaan5
Penjelasan di atas sesuai asas hukum
pidana yaitu asas legalitas yang diatur
pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu
Hukum Pidana harus bersumber pada
undang-undang, artinya pemidanaan
haruslah berdasarkan Undang-Undang.
Terkait hakim yang menjatuhkan pidana
minimal terhadap terdakwa, menurut
penulis hal tersebut tidak selamanya
dapat diterapkan karena berpotensi
menjadi yurisprudensi di masa-masa
yang akan datang, namun demikian
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
mengatur bahwa putusan hakim bersifat
independen dan harus bebas dari
intervensi dari pihak manapun, dalam
kondisi yang demikian semua putusan
hakim harus memenuhi kepentingan
korban atas keadilan dan memenuhi rasa
keadilan masyarakat.6
Menurut pendapat penulis, pidana yang
dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
penyerobotan tanah yang menyebabkan
kerugian bagi korban belum memenuhi
unsur keadilan, sebab hakim dalam
menjatuhkan
pidana
tidak
mempertimbangkan besarnya kerugian
materil yang dialami korban, tidak
5
Hasil wawancara dengan Sanusi Husin.
Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum
Unila. Jumat 17 Maret 2017
6
Satjipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. 33
memberikan efek jera dan tidak menjadi
pembelajaran bagi pihak lain agar tidak
melakukan kesalahan serupa.
Hakim seharusnya sebagai pelaksana
dari kekuasaan kehakiman mempunyai
kewenangan melalui putusannya yang
didasarkan pada keyakinan, integritas
moral
yang
baik
serta
mempertimbangkan
rasa
keadilan
masyarakat. Hal ini bermakna bahwa
keadilan hakim dalam proses peradilan
tidak hanya mengacu pada ketentuan
hukum secara formal, tetapi juga
mempertimbangkan berbagai aspek yang
berkaitan dengan kepentingan pelaku,
korban, keluarga dan masyarakat pada
umumnya. Masyarakat menginginkan
adanya suatu kepastian hukum, yaitu
adanya suatu peraturan yang dapat
mengisi kekosongan hukum tanpa
menghiraukan apakah hukum itu adil
atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini
memaksa pemerintah untuk segera
membuat peraturan secara praktis dan
pragmatis, mendahulukan bidang-bidang
yang paling mendesak sesuai dengan
tuntutan masyarakat tanpa perkiraan
strategis, sehingga melahirkan peraturanperaturan yang bersifat tambal sulam
yang daya lakunya tidak bertahan lama,
akibatnya kurang menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat
Setiap pelaku yang terbukti melakukan
tindak pidana penyerobotan tanah
seharusnya mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan hukum dan
mendapatkan pidana maksimal sesuai
dengan
ketentuan
undang-undang.
Seseorang yang melanggar hukum harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya
sesuai dengan aturan hukum.
III. PENUTUP
B.Saran
A.Simpulan
1. Dasar pertimbangan hakim dalam
memutus lepas pelaku tindak pidana
penyerobotan tanah dalam Putusan
Nomor:
451/Pid.B/2014/PN.Tjk
adalah
pertimbangan
bahwa
terdakwa tidak terbukti melakukan
tindak pidana penyerobotan tanah
sebagaimana didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Perbuatan terdakwa
terbukti dilakukan, namun perbuatan
tersebut bukan merupakan tindak
pidana. Hakim mempertimbangkan
tiga aspek yaitu yuridis, filosofis dan
sosiologis. Pertimbangan yuridis
yaitu hakim membuktikan unsurunsur Pasal 385 ke – 4 KUHP,
pertimbangan filosofis yaitu hukum
berfungsi
sebagai
alat
untuk
menciptakan keadilan, ketertiban,
dan kepastian hukum dan secara
sosiologis yaitu tujuan rehabilitasi
adalah sebagai sarana dan upaya
untuk memulihkan kembali nama
baik, kedudukan, dan martabat
seseorang.
Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
maka
terdakwa dilepaskan dari segala
tuntutan hukum.
2. Putusan lepas oleh majelis terhadap
pelaku tindak pidana penyerobotan
tanah belum memenuhi rasa keadilan
karena,
sebab
hakim
dalam
menjatuhkan
pidana
tidak
mempertimbangkan
besarnya
kerugian materil yang dialami
korban, tidak memberikan efek jera
dan tidak menjadi pembelajaran bagi
pihak lain agar tidak melakukan
kesalahan serupa.
Saran dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Majelis hakim yang menangani
tindak pidana penyerobotan tanah di
masa yang akan datang diharapkan
untuk
mempertimbangkan
rasa
keadilan
dalam
menjatuhkan
putusan, sebab penyerobotan tanah
berdampak pada kerugian yang
diakibatkan oleh perbuatan pelaku.
Selain itu untuk memberikan efek
jera kepada pelaku dan sebagai
upaya untuk mengantisipasi agar
tidak terjadi tindak pidana serupa
dalam kehidupan masyarakat.
2. Masyarakat yang merasa dirugikan
akibat tindak pidana penyerobotan
tanah, disarankan untuk mengajukan
gugatan secara perdata sebagai upaya
untuk mengembalikan kerugian
materi yang dialaminya. Selain itu
masyarakat
hendaknya
meningkatkan kewaspadaan dan
kehati-hatian terhadap kemungkinan
adanya tindak pidana penyerobotan
tanah, misalnya dengan selalu
membuat perjanjian tertulis jika
membuat
kesepakatan
atau
kerjasama dengan pihak lain dalam
rangka mengantisipasi hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem
Peradilan Pidana. Binacipta.
Bandung.
Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum
Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, PT.
Citra Adityta Bakti, Bandung.
Marpaung, Leden. 1992.
Proses
Penanganan Perkara Pidana.
Sinar Grafika. Jakarta.
----------, 2000. Tindak Pidana Terhadap
Nyawa dan Tubuh. Sinar
Grafika. Jakarta.
Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum
Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan
Kehakiman,
Bina
Ilmu,
Surabaya.
Nawawi Arief, Barda. 2001. Bunga
Rampai Kebijakan Hukum
Pidana. PT Citra . Aditya
Bakti. Bandung.
----------,2002. Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana. PT Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Prodjohamidjojo,
Martiman,
1997.
Pertanggungjawaban Pidana,
Rineka Cipta, Jakarta.
Setiadi, Edi. 1997. Permasalahan dan
Asas-Asas
Pertanggung
Jawaban
Pidana.
Alumni.Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar
Penelitian Hukum. Universitas
IndonesiaPress. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
Jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun
1958
tentang
Pemberlakukan Kitab Undang-
Undang
(KUHP)
Hukum
Pidana
Undang-Undang Darurat Nomor 12
Tahun 1951 tentang Ordonansi
Peraturan Hukum Sementara
Istimewa
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang
Perubahan
Atas
Undang-Undang Nomor
4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
Download